Anda di halaman 1dari 8

Tuberkulosis Milier pada Anak

Elli Kusmayati1, Ayu Permata Sari Br Tarigan2


1)
Departemen ilmu kesehatan anak, RSUD Cut Meutia, Aceh Utara
2)
Mahasiswa Fakultas Kedokteran, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe

Corresponding Author : ayupermatasaribt@gmail.com

Abstrak
Tuberkulosis milier merupakan kelainan patologis berupa granuloma berukuran 1-2 mm, yang disebabkan
penyebaran Mycobacterium tuberculosis secara hematogen dan limfogen di organ paru atau ekstraparu.
Tuberkulosis bisa diderita oleh semua kalangan umur termasuk anak-anak dan biasanya ditularkan oleh
penderita TB dewasa yang dipengaruhi oleh imunitas tubuh anak. TB anak terjadi pada usia 0-14 tahun. Di
negara-negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh
populasi umum dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun. Kejadian TB ini semakin
meningkat pada akhir tahun 2020 yaitu diperkiran hampir 10 juta penduduk di dunia terdiagnosa dengan 1,1 juta
diantaranya adalah TB pada anak. Laporan kasus ini didapatkan dari data primer melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien mengeluh demam berulang dalam satu tahun terakhir dan
memberat empat hari sebelum dibawa ke rumah sakit. Hal ini diikuti dengan penurunan berat badan dan batuk
berdahak berulang. Pada pemeriksaan fisik ditemukan ronkhi pada kedua lapang paru. Hasil laboratorium
menunjukkan peningkatan nilai kadar leukosit. Hasil pemeriksaan radiologi thoraks menunjukkan gambaran
tuberkulosis milier dengan efusi pleura. Selanjutnya, pada pasien ini dilakukan penanganan berupa
penatalaksanaan non farmakologi dan farmakologi berupa diet tinggi kalori tinggi protein dan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) dengan kortikosteroid.

Kata kunci: Anak; Obat Anti Tuberkulosis (OAT); Tuberkulosis (TB) Milier

Miliary tuberculosis in a paediatric patient


Abstract
Miliary tuberculosis is a pathological disorder in the form of granulomas measuring 1-2 mm, which is caused by
the spread of Mycobacterium tuberculosis hematogenously and lymphogenously in the pulmonary or
extrapulmonary organs. Tuberculosis can be suffered by all ages including children and is usually transmitted by
adult TB sufferers who are influenced by the child's immune system. TB in children occurs at the age of 0-14
years. In developing countries the number of children aged less than 15 years is 40-50% of the total general
population and there are about 500,000 children in the world suffer from TB every year. The incidence of TB is
increasing at the end of 2020, it is estimated that almost 10 million people in the world are diagnosed with 1.1
million of them being TB in children. This case report was obtained from primary data through history taking,
physical examination and supporting examination. The patient complained of recurrent fever in the past year
and worsening four days before being admitted to the hospital. This is followed by weight loss and repeated
coughing up phlegm. On physical examination, crackles were found in both lung fields. Laboratory results
showed an increase in the value of leukocyte levels. The results of the chest radiology examination showed a
picture of miliary tuberculosis with pleural effusion. Furthermore, this patient was treated in the form of non-
pharmacological and pharmacological management in the form of a high-calorie, high-protein diet and Anti
Tuberculosis Drugs (OAT) with corticosteroids.

Keyword: Anti Tuberculosis Drugs; Miliary tuberculosis; Paediatric

Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis yang
bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi
terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. Tuberkulosis bisa diderita
oleh semua kalangan umur termasuk anak-anak dan biasanya ditularkan oleh penderita TB
dewasa yang dipengaruhi oleh imunitas tubuh anak. TB anak terjadi pada usia 0-14 tahun. Di
negara-negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dari
jumlah seluruh populasi umum dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia menderita TB
setiap tahun. Kejadian TB ini semakin meningkat pada akhir tahun 2020 yaitu diperkiran
hampir 10 juta penduduk di dunia terdiagnosa dengan 1,1 juta diantaranya adalah TB pada
anak. Indonesia menjadi negara ketiga setelah India dan China dalam menyumbang angka
kejadian TB. Berdasarkan data final 2021 di Indonesia, estimasi kasus TB sebesar 824.000
penduduk dengan 443.235 jiwa yang telah ternotifikai kasus TB dan 42.187 kasus TB anak 1–

3
.
Tuberkulosis milier merupakan kelainan patologis berupa granuloma berukuran 1-2
mm, yang disebabkan penyebaran Mycobacterium tuberculosis secara hematogen dan
limfogen di organ paru atau ekstraparu. Tuberkulosis milier menurut World Health
Organization (WHO) diklasifikasikan ke dalam TB paru karena didapatkan lesi di paru.
Organ tubuh yang paling sering tejadi penyebaran TB milier adalah organ yang mempunyai
banyak sel fagosit di dinding sinusoid. Faktor risiko TB milier antara lain keganasan,
transplantasi organ, penyakit HIV, malnutrisi, diabetes, silikosis, penyakit ginjal endstage,
bedah mayor, alkoholisme, kehamilan, dan obat imunosupresi 4.
Tuberkulosis milier dapat terjadi pada saat infeksi TB primer, atau reaktivasi TB
laten. Reaktivasi dan penyebaran TB milier terjadi karena adanya defek pada sel makrofag,
sel natural killer (NK), sel limfosit T γ/δ, serta adanya gangguan ekspansi sel limfosit Tγ/δ.
Gejala TB milier umumnya tidak spesifik dan didominasi keluhan sistemik disertai gejala lain
tergantung pada organ yang terinfeksi TB. Kriteria diagnosis TB milier berdasarkan
gambaran klinis TB, rontgen toraks menunjukkan pola milier, lesi retikulonoduler bilateral
difus pada rontgen toraks ataupun HRCT scan toraks, dan dibuktikan dengan pemeriksaan
mikrobiologi dan histopatologi TB 4.

Ilustrasi Kasus
Anak laki-laki, 14 tahun, suku Aceh datang ke IGD RSUD Cut Meutia Aceh Utara
dibawa oleh keluarga dalam keadaan sadar dengan keluhan utama sesak demam. Demam
sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam yang dirasakan naik turun dan meningkat
terutama pada malam hari namun suhu demam tidak terlalu tinggi. Pasien juga sering
keringat berlebih pada malam hari sejak satu minggu terakhir. Pasien juga menjadi tidak
nafsu makan dan lemas dikarenakan keluhan demam yang dirasakan. Sebelumnya demam
sudah muncul dan sembuh dengan pengobatan mandiri sejak satu bulan terakhir bersamaan
dengan batuk berdahak yang muncul sesekali. Keluarga pasien juga mengatakan berat badan
semakin menurun sejak satu tahun terakhir ±3-4 kg. Keluhan seperti muncul benjolan ditubuh
disangkal oleh keluarga dan pasien. Ibu pasien memiliki riwayat batuk lama yang tidak
sembuh namun belum pernah mengkonsumsi obat selama enam bulan.
Pada pemeriksaan berdasarkan kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) E4V5M6
(compos mentis), dengan pupil isokor 3 mm/ 3mm dengan refleks pupil yang positif dikedua
mata, pada sistem respirasi didapatkan saturasi oksigen (room air) 98%, laju pernafasan 32
kali per menit dengan jenis vesikuler pada kedua lapangan paru dan ditemuka suara nafas
tambahan berupa ronkhi pada kedua lapang paru, dari sistem kardiovaskular didapatkan
tekanan 100/80 mmHg, dengan denyut nadi 130 kali per menit, dengan S1S2 tunggal reguler
tanpa murmur. Pada pemeriksaan antropometri didapatkan berat badan 39 kg dan tinggi
badan 152 cm dengan kesan gizi kurang. Hasil skoring TB anak didapatkan 5 (lima).
Pada pemeriksaan penunjang foto polos dada yang dilakukan pada tanggal 30 Mei
2022 dijumpai adanya infiltrate tersebar dikedua pulmo, opasitas homogeny di hemitorax
dextra aspeklaterobasal, Sinus of dextra dan diafragma dextra tertutup perselubungan, sinus
of sinistra tumpul, diafragma licin. Dari pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 29 Mei
2022 dijumpai penurunan kadar hemoglobin yaitu 12,31 g/dl, dan peningkatan leukosit 18.28
ribu/uL, trombosit 398 ribu/uL, peningkatan kadar nitrofil segmen yaitu 84,02%. Selanjutnya,
pasien diharuskan untuk mengkonsumsi makanan tinggi kaloritinggi protein, lalu dimulai
dengan pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Medikasi lain yang juga diberikan adalah
IVFD RL 30 gtt (makro), Paracetamol 40 cc/8 jamm, Ceftriaxone 750 mg/12 jam, Ranitidin
12,5 mg/12 jam, ondansetron 2 mg/12 jam, Syrup solvita 2 x CI, rifampicin 1x450 mg,
isoniazid 1x300 mg, pirazinamide 1x1000 mg, etambutol 1x500 mg, methylprednisolone 4-3-
3, vit B6 1x1, curcuma 1x1.

Pembahasan
Anak laki-laki, 14 tahun, datang ke IGD RSU Cut Meutia dibawa oleh keluarga
dengan keluhan demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam yang dirasakan
naik turun dan meningkat terutama pada malam hari namun suhu demam tidak terlalu tinggi.
Pasien juga sering keringat berlebih pada malam hari sejak satu minggu terakhir. Pasien juga
menjadi tidak nafsu makan dan lemas dikarenakan keluhan demam yang dirasakan.
Sebelumnya demam sudah muncul dan sembuh dengan pengobatan mandiri sejak satu bulan
terakhir bersamaan dengan batuk berdahak yang muncul sesekali. Keluarga pasien juga
mengatakan berat badan semakin menurun sejak satu tahun terakhir ±3-4 kg.
Demam disebabkan karena kenaikan set point (oleh sebab infeksi) atau oleh adanya
ketidakseimbangan antara produksi panas dan pengeluarannya. Demam pada infeksi terjadi
akibat mikroorganisme merangsang makrofag atau PMN membentuk PE (faktor pirogen
endogenik) seperti IL-1, IL-6, TNF (tumor necrosis factor), dan IFN (interferon). Zat ini
bekerja pada hipotalamus dengan bantuan enzim cyclooxygenase pembentuk prostaglandin.
Prostaglandin-lah yang meningkatkan set point hipotalamus. Kemampuan anak untuk beraksi
terhadap infeksi dengan timbulnya manifestasi klinis demam sangat tergantung pada umur.
Semakin muda usia bayi, semakin kecil kemampuan untuk merubah set-point dan
memproduksi panas. Batuk merupakan salah satu cara untuk membersihkan saluran
pernafasan dari lendir atau bahan dan benda asing yang masuk sebagai refleks pertahanan
yang timbul akibat iritasi trakeobronkial. Batuk ini kemungkinan disebabkan oleh adanya
infeksi-inflamasi pada saluran pernapafasan karena disertai dengan gejala demam.
Berkeringat malam tanpa adanya aktivitas fisik pada penderita tuberkulosis aktif
terjadi sebagai respon salah satu molekul sinyal peptida yaitu tumour necrosis factor alpha
(TNF-α) yang dikeluarkan oleh sel-sel sistem imun di mana mereka bereaksi terhadap bakteri
infeksius (Mycobacterium tuberculosis). Monosit yang merupakan sumber TNF-α akan
meninggalkan aliran darah menuju kumpulan kuman Mycobacterium tuberculosis dan
menjadi makrofag migrasi. Walaupun makrofag ini tidak dapat mengeradikasi bakteri secara
keseluruhan, tetapi pada orang imunokompeten makrofag dan sel-sel sitokin lainnya akan
mengelilingi kompleks bakteri tersebut untuk mencegah penyebaran bakteri lebih lanjut ke
jaringan sekitarnya. TNF-α yang dikeluarkan secara berlebihan. Pada Tuberkulosis Anak
berkeringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik tuberkulosis apabila tidak disertai
dengan gejala-gejala sistemik/gejala umum lainnya.
Penurunan berat badan merupakan salah satu gejala yang cukup umum pada penderita
TB. Penurunan berat badan dapat terjadi akibat ketidakseimbangan kebutuhan dan cadangan
energi di dalam tubuh. Pada penderita TB, penurunan berat badan dapat terjadi akibat
peningkatan kebutuhan energi karena metabolisme yang meningkat dan juga akibat
kurangnya asupan. Penderita TB cenderung mengalami anoreksia, hal ini berkaitan dengan
kadar leptin dan ghrelin yang cenderung menurun. Leptin diproduksi di sel lemak dan
berikatan dengan reseptor di hipotalamus yang mengatur nafsu makan. Menurunnya kadar
leptin mengakibatkan penderita kehilangan nafsu makan dan menimbulkan masalah dalam
pemenuhan nutrisinya. Berdasarkan berat badan pada pasien ini yaitu 39 kg, pasien ini juga
menderita gizi kurang. Indeks masa tubuh (IMT) yang menurun dapat memengaruhi fungsi
sistem imun. Imunitas selular termasuk bagian dari sistem imun yang merupakan sistem
pertahanan tubuh terhadap TB. Status imun yang menurun merupakan faktor risiko yang
penting terhadap perkembangan TB. Status gizi yang kurang atau buruk sudah diketahui
sebagai faktor risiko dan juga kriteria diagnostik TB pada anak. 16 berdasarkan teori, gejala
umum yang terjadi pada tb milier antara lain demam tinggi intermitent (93%), keringat
malam (79%), penurunan berat badan (85%), sesak nafas (64%) dan batuk (82%). Sistem
organ yang dapat terlibat antara lain meningens, hati, ginjal, tulang, saluran pencernaan,
kelenjar getah bening, rongga serosa (pleura, perikardial, peritoneal, sendi), dan kulit.17,18
Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronkhi di kedua lapang paru. Suara ronkhi
merupakan suara napas tambahan yang bernada rendah yang terjadi karena adanya
penyumbatan jalan napas akibat adanya cairan atau lendir. Hal ini dapat terjadi pada proses
inflamasi yang mengakibatkan berpindahnya eksudat kejalan nafas.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium darah didapatkan kesan leukositosis yaitu
18,28 ribu/uL. Peningkatan leukosit pada pasien ini merupakan respon tubuh dalam
mengatasi infeksi. Pada pemeriksaan foto thorax didapatkan gambaran infiltrate yang tersebar
dikedua pulmo, opasitas homogeny di hemitorax dextra aspeklaterobasal yang menunjukkan
kesan TB Milier dengan efusi pleura dextra dan pleural reaction sinistra. Efusi pleura
tuberkulosis terjadi bila rongga pleura terinfeksi oleh M. Tuberkulosis. Efusi Pleura TB
terutama disebabkan oleh proses eksudasi. Angka kejadian efusi pleura adalah 31% dari
seluruh penderita TB Paru. Hipotesis terakhir mengenai patogenesis efusi pleura TB adalah
adanya fokus perkejuan di daerah subpleural yang pecah ke dalam rongga pleura dalam 6-12
minggu setelah infeksi primer. Kebanyakan pasien efusi pleura TB memiliki riwayat kontak
dengan pasien TB dalam keluarga.3
Diagnosis tuberkulosis pada anak bisa ditegakkan melalui pemeriksaan bakteriologis
terutama dilakukan pada anak diatas lima tahun yang pada biasanya sudah dapat
mengeluarkan sputum atau dahak secara langsung dengan berdahak, namun pada anak yang
sulit berdahak tidak bisa dilakukan pemeriksaan bakteriologis sehingga sering terjadi
misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan
merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis
tuberkulosis anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor. Pada pasien ini
didapatkan skor tb anak yaitu 5. Berdasarkan skor tersebut, pasien bukanlah tergolong dalam
penderita tuberkulosis namun, rontgen menunjukkan gambaran khas dari tb milier maka
berdasarkan hal tersebut pasien dilanjutkan pengobatan OAT.3
Pasien ini mendapatkan terapi cairan untuk membantu pemenuhan kebutuhan
cairannya dengan infus ringer laktat 30 tpm (makro). Pasien juga mendapatkan infus PCT
dengan kecepatan 40 cc/8jam untuk menurunkan demam yang di derita pasien. Sebelum di
dapatkan hasil pemeriksaan penunjang foto toraks, pasien di diagnosis terlebih dahulu
sebagai obs. Febris ec. dd 1. Demam tifoid 2. Susp. TB paru, sehingga pasien mendapatkan
antibiotik golongan sefalosporin berupa ceftriaxone 750 mg setiap 12 jam. Setelah didapatkan
hasil foto toraks dan skoring TB sudah menegakkan diagnosis TB, pasien langsung dimulai
pemberian OAT berupa 2RHZE. OAT tersebut dikonsumsi selama 2 bulan dimana terdiri
terdiri dari rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z) dan etambutol (E).3
Pasien juga mendapatkan terapi ranitidin 12,5 mg setiap 12 jam. Ranitidin merupakan
histamin agonis reseptor H2 yang bekerja secara selektif pada reseptor H2 dan mengurangi
sekresi dari asam lambung. Ranitidin ini diberikan pada pasien untuk mengurangi gejala
perut kembung yang di derita pasien. Selanjutnya pasien mendapatkan ondansetron 2 mg
setiap 12 jam, obat ini termasuk kelompok obat antagonis serotonin 5-HT3, yang bekerja
dengan menghambat secara selektif serotonin 5-hydroxytriptamine berikatan pada
reseptornya yang ada di chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan di saluran cerna untuk
mencegah mual dan muntah. Obat ini memblok reseptor di gastrointestinal dan area postrema
di CNS (Central Nervous System). Atas indikasi berupa TB milier yg diderita pasien, maka
diberikan kortikosteroid berupa methylprednisolon. Pemberian kombinasi preparat
kortikosteroid dengan OAT pada beberapa kasus tuberkulosis mungkin bermanfaat. Telah
dilaporkan, pemberian kortikosteroid pada efusi pleura dapat memperpendek durasi demam
dan mempercepat resorpsi cairan. Tujuan pemakaiannya adalah sebagai anti radang, anti
alergi, mencegah adhesi, dan membantu absorpsi cairan.19
Untuk membantu pemulihan dan mencukupi kebutuhan mikronutrien, pasien
diberikan solvita sirup yang mengandung Vit A 5,000 IU , vit B1 2.5 mg, vit B2 3 mg, vit B6
2.5 mg, vit B12 2 mcg, vit D 400 iu, nicotinamide 20 mg, dexpanthenol 5 mg, lysine HCl 100
mg, Ca pantothenate 5 mg, dan Ca gluconate 300 mg. Adapun edukasi yang diberikan kepada
pasien dan keluarga berupa meningkatkan diet tinggi kalori dan protein serta menyampaikan
respon keberhasilan yang mungkin terjadi pada pasien.
Dengan pengobatan yang tepat, perbaikan tb milier biasanya berjalan lambat. Respon
keberhasilan terapi antara lain adalah menghilangnya demam setelah 2-3 minggu pengobatan,
peningkatan nafsu makan, perbaikan kualitas hidup sehari-hari, dan peningkatan berat badan.
Gambaran milier pada foto toraks berangsur-angsur menghilang dalam 5-10 minggu.
Prognosis pada pasien ini baik karena tidak ada komplikasi yang berat dan pasien berada
pada usia 14 tahun. Angka kematian yang lebih tinggi terjadi pada anak-anak dibawah 5
tahun yaitu sekitar 20%.

Kesimpulan
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronis yang dapat dicegah dan disembuhkan.
TB pada anak menimbulkan gejala yang sangat tidak khas jika dibandingkan dengan dewasa,
sehingga sering terjadi underdiagnose pada anak. Tes diagnosis yang akurat untuk TB masih
belum ada, namun Indonesia melalui IDAI sudah telah membuat pedoman nasional
tuberkulosis anak dengan menggunakan sistem skoring untuk membantu diagnosis TB anak.
Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan mengurangi terjadinya underdiagnosis
maupun overdiagnosis TB.
Pada laporan kasus ini dilaporkan seorang pasien anak laki-laki, berumur 14 tahun,
dengan keluhan demam yang hilang timbul satu bulan terakhir dan memberat 4 hari SMRS.
Pasien juga mengeluhkan lemas serta penurunan nafsu makan diikuti penurunan berat badan
selama satu tahun terakhir. Pasien juga mengatakan keluhan seperti batuk muncul sesekali
diikuti dahak yang cukup banyak. Dari pemeriksaan fisik ditemukan ronkhi pada kedua
lapang paru tanpa adanya pembesaran kelenjar KGB. Berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukkan kesan leukositosis. Rontgen toraks didapatkan gambaran TB
milier dengan efusi pleura dextra sinistra dan berdasarkan hasil skoring pasien memiliki skor
5. Pasien di diagnosis TB milier dengan efusi pleura dextra sinistra. Prognosis pada anak ini
dubia ad bonam karena tidak ada komplikasi yang berat dan pasien berada di usia 14 tahun.

Daftar Pustaka
1. Kemenkes RI. TBC Indonesia.; 2021. https://tbindonesia.or.id/pustaka-tbc/dashboard-
tb/.
2. World Helath Organization. Tuberculosis.; 2021.
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/tuberculosis.
3. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Manajemen Dan Tatalaksana TB Anak. Kemenkes RI;
2016.
4. Setyawati A, Harsini. Tuberkulosis Milier. 2016.
5. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis.
6. World Helath Organization. Roadmap towards Ending TB in Children and
Adolescents.; 2018.
7. World Health Organization. Global Tuberculosis Report.; 2020.
8. U.S Departement of Health & Human service. TB and Children. 2021.
9. Herchline TE. Tuberculosis (TB)-Practice Essentials, Background, Pathophysiology.
MedScape.
10. CDC (Center for Diseae Control and Prevention). Chapter 2 : Transmission and
Pathogenesis of Tuberculosis.
11. Marlinae L, Arifin S, Noor IH, Rahayu A, Zubaidah T, Waskito A. Desain
Kemandirian Pola Perilaku Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita TB Anak
Berbasis Android. CV Mine; 2019.
12. Cruz AT, Starke JR. Clinical manifestations of tuberculosis in children. Paediatr
Respir Rev. 2007;8:107-117. doi:10.1016/j.prrv.2007.04.008
13. Dokter I, Indonesia A. Pedoman pelayanan medis. 2009.
14. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmes on the
management of tuberculosis in children. In: second. ; 2014.
15. Batra V. Pediatric Tuberculosis. MedScape.
https://emedicine.medscape.com/article/969401-overview#a1. Published 2020.
16. Dewi M, Utami A, Putu N, et al. Faktor Risiko Infeksi Tuberkulosis Milier dan
Ekstraparu pada Anak Tuberkulosis. Sari Pediatr. 2021;22(5).
17. Rumende CM. Tuberkulosis Diseminata.
18. Fort GG. Miliary Tuberculosis. In: Ferri’s Clinical Advisor. ; 2017:P1305-6.
19. Hisyam B. Manfaat terapi kortikosteroid pada tuberkulosis paru dan ekstraparu.
Berkala Ilmu Kedokteran. 2001;33(2).

Anda mungkin juga menyukai