Anda di halaman 1dari 87

Referat

DERMATITIS

Disusun oleh:
Jhuvan Zulian Fernando, S.Ked
71 2018 004

Pembimbing Klinik:
dr. Lucille Annisa Suardin A, Sp. KK

DEPARTEMEN ILMU KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT

Judul :
Dermatitis

Oleh:
Jhuvan Zulian Fernando, S.Ked
71 2018 004

Telah dilaksanakan pada bulan Juni 2020 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di SMF/Bagian Ilmu Kulit dan Kelamin,
RSUD Palembang BARI Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang.

Palembang, Juni 2020


Dokter Pendidik Klinik

dr. Lucille Annisa Suardin A, Sp. KK

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Dermatitis” sebagai
syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian Ilmu Kulit dan Kelamin
RSUD Palembang BARI. Salawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita,
nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikut-pengikutnya
sampai akhir zaman.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada:
1. dr. Lucille Annisa Suardin A, Sp. KK selaku pembimbing Kepaniteraan
Klinik Senior di SMF/Bagian Ilmu Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang yang telah memberikan masukan,
arahan, serta bimbingan dalam penyelesaian laporan kasus ini
2. Rekan-rekan co-assistensi atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua dan
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan
Allah SWT. Amin

Palembang, 18 Juni 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iii
DAFTAR ISI............................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 3
2.1 Dermatitis Atopi ............................................................................... 3
2.2 Dermatitis Numularis ....................................................................... 18
2.3 Dermatitis Kontak Alergi ................................................................. 30
2.4 Dermatitis Kontak Iritan ................................................................... 43
2.5 Neurodermatitis ................................................................................ 58
2.6 Pompoliks ......................................................................................... 71
BAB V KESIMPULAN .............................................................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 81

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Dermatitis adalah peradangan kulit pada epidermis dan dermis sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, yang dapat
menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul,
vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal.1 Tanda polimorfik tidak selalu
muncul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis
cenderung residif dan dapat menjadi kronik.1 Sinonim dermatitis adalah ekzem.1
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen), misalnya bahan kimia
(contoh: detergen, bahan asam, basa, oli, semen), fisik (contoh: sinar matahari,
panas), mikroorganisme (contoh: bakteri, jamur); dapat pula berasal dari dalam
(endogen), misalnya dermatitis atopik. Sebagian lain tidak diketahui etiologinya
yang pasti.1 Banyak pula dermatitis yang belum diketahui dengan pasti
patogenesisnya, terutama yang banyak penyebab faktor endogen.1
Pada umumnya penderita dermatitis mengeluh gatal. Kelainan kulit
bergantung pada stadium penyakit, batasnya dapat sirkumsrip, dapat pula difuse.
Penyebarannya dapat setempat, generalisata, dan universalis.1
1. Stadium akut kelainan kulit berupa eritema, edema, vesikel atau bula,
erosi dan eksudasi, sehingga tampak basah (madidans).
2. Stadium subakut, eritema dan edema berkurang, eksudat mengering
menjadi krusta.
3. Stadium kronis lesi tampak kering, skuama, hiperpigmentasi, papul,
dan likenifikasi, mungkin bisa terdapat erosi dan eksoriasi akibat
garukan.
Gambaran klinis tidaklah harus sesuai stadium, karena suatu penyakit
dermatitis muncul dengan gejala stadium kronis. Begitu pula dengan efloresensi
tidak harus polimorfik, karena dapat muncul oligomorfik (beberapa) saja. Keluhan
penyakit dermatitis merupakan hal yang sering terjadi, karena penyakit ini dapat
enyerang pada orang dengan rentang usia yang bervariasi, mulai dari bayi hingga
dewasa serta tidak terkait dengan faktor jenis kelamin.1 Hingga kini belum ada

1
2

kesepakatan Internastional mengenai tata nama (nomenklatur) dan klasifikasi


dermatitis, tidak hanya karena penyebabnya multifaktor, tetapi seseorang dapat
mengalami lebih dari satu jenis dermatitis pada waktu bersamaan.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dermatitis Atopik


2.1.1 Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit berupa gangguan
inflamasi prurik kronis residif yang sering terjadi pada anak-anak dan
dapat pula terjadi pada dewasa. Kejadian DA diselingi oleh fase relaps
dan remisi. Terjadi peningkatan kadar IgE dalam serum serta adanya
riwayat genetik dan atopik lainnya pada keluarga maupun penderita
(biasanya rhinitis alergik, asma dan urtikaria).1,2 DA merupakan
manifestasi pertama dari triad atopik yaitu DA, asma bronkial dan hay
fever yang terjadi 60% - 88% pada tahun pertama kehidupan, sering
dimulai pada minggu-minggu pertama kehidupan. Selanjutnya
sebanyak 70-95% terjadi pada usia 5 tahun dan sisanya timbul pada saat
dewasa.4
Penyakit ini diturunkan sebagai autosomal dominan dengan
penetrasi yang tidak lengkap dan sering terjadi pada kembar
monozigotik (77%) daripada kembar dizigotik (15%).1 Pola pewarisan
(herediter) belum dipastikan, tetapi 60% orang dewasa dengan DA
memiliki anak dengan DA.7

2.1.2 Epidemiologi
Insidens dan prevalens DA yang pasti sulit diketahui karena
banyak kasus ringan yang tidak diketahui. Atopik sering ditemukan
pada populasi umum dengan prevalensi 22,5% (tahun 1992) dan
mungkin sekarang lebih besar lagi. Prevalensi di Denmark dan Amerika
Serikat saat ini sekitar 20%. Insidensi DA di China, Tanzania, Inggris,
Nigeria, dan Hongkong mencaai 2.9%, 0.7%, dan 20% secara berurut.4
Data mengenai penderita DA pada anak di Indonesia belum
diketahui secara pasti. Sebanyak 90% onset DA terjadi pada usia kurang
dari 5 tahun lebih dari separuh pasien DA mulai setelah usia 2 bulan.4

3
4

Berdasarkan rekapitulasi yang dilakukan oleh Kelompok Studi


Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI) dari lima kota besar di
Indonesia pada tahun 2000, DA menempati peringkat pertama
(23,67%) dari 10 besar penyakit kulit pada anak dan pada tahun 2010
kejadian DA mencapai 36% angka kejadian, sedangkan data Riskesdas
tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional DA mencapai 6,8%
berdasarkan keluhan responden. Sebanyak 14 provinsi yang
mempunyai prevalensi DA diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe
Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Bengkulu, Bangka Belitung, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara
Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tengah, dan Gorontalo.5
Insidensi DA 60% muncul di usia 2 bulan kehidupan dan 1 tahun
kehidupan, sekitar 30% kasus DA muncul pertama kali di usia 5 tahun
dan hanya 10% kasus DA pada usia 6 sampai 20 tahun. Jarang DA
terjadi pada dewasa. DA lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-
laki. 6,7

2.1.3 Etiopatogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit antara lain daerah
yang panas atau tropis, suhu/iklim/musim yang panas dan lembab,
kebersihan yang kurang baik, lingkungan yang banyak mengandung
sensitizer, iritan serta mengganggu emosi lebih mudah untuk
menimbulkan penyakit.6 Faktor pemicu lainnya berupa aeroalergen
spesifik terutama tungau, debu, serbuk sari, bulu, jamur dan kecoa. Hal
ini telah terbukti dapat menyebabkan eksaserbasi DA, agen mikrobial
yaitu eksotoksin dari S. aureus dapat berperan sebagai superantigen dan
stimulasi aktivasi sel T dan makrofag, makanan seperti susu, telur,
kacang, ikan laut, kerang laut dan gandum, bahan iritan atau alergen
yaitu wool, desinfektan, nikel, balsam dan sebagainya.3
Patogenesis DA belum sepenuhnya dipahami tetapi diduga
merupakan interaksi faktor genetik, disfungsi imun, disfungi sawar
5

epidermis, dan peranan lingkungan serta agen infeksius. Beberapa


kasus DA, 80% ditemukan eosinofilia, peningkatan IgE serum, positif
alergi saluran nafas, peningkatan transepidermal water loss, dan
berkurangnya hidrasi permukaan kulit.3,7
1. Genetik
Kromosom 5q31-33 mengandung kumpulan famili gen sitokin
IL-3, IL-4, IL-13 dan GM-CSF (granulocyte macrophage colony
stimulating factor) yang diproduksi oleh sel TH2.1,3,8 Ekspresi gen IL-4
berperan penting dalam DA. Perbedaan genetik aktivitas transkripsi gen
IL-4 mempengaruhi predisposisi DA. Ada hubungan erat antara
polimorfisme spesifik gen kinase sel mast dan DA, tetapi tidak dengan
asma bronkial atau rhinitis alergi. Varian genetik kinase sel mast, yaitu
serine protease yang disekresi oleh sel mast di kulit mempunyai efek
spesifik pada organ dan berperan dalam timbulnya DA.1 Mutasi pada
gen yang mengkode fillagrin yang mendasari iktiosis vulgaris dan
keratosis pilaris menyertai DA sampai 50%. Fillagrin ditemukan
diantara EDC dan kromosom 1q21. Kromosom ini mengandung gen
family yang mengkode protein dalam diferensiasi terminal epidermis.
Fungsi utama fillagrin adalah filamen keratin agregat yang
menghasilkan pemadatan keratinosit dan pembentukan korneum
stratum.1,4
2. Penurunan Fungsi Sawar Kulit
Fungsi sawar epidermis terletak pada stratum korneum sebagai
lapisan kulit terluar. Stratum korneum berfungsi mengatur
permeabilitas kulit dan mempertahankan kelembaban kulit. Lapisan ini
terbentuk dari korneosit yang dikelilingi lipid, yang terdiri dari seramid,
kolesterol, dan asam lemak bebas. Seramid berikatan dengan selubung
korneosit membentuk sawar yang menghalangi hilangnya air dari
lapisan kulit. Pada DA terjadi penurunan fungsi stratum korneum dan
lapisan epidermis lainnya, ini dipengaruhi karena adanya mutasi gen di
dalam kromosom 5q31-33 dan 1q21, sehingga terjadi kelainan struktur
epidermis formasi protein dan penurunan seramid kulit sebagai
pengikat air di ruang ekstrasel stratum korneum dan terjadilah
peningkatan transepidermal water loss (TEWL) 2-5x normal.
3. Faktor-faktor Pencetus Lainnya
a. Makanan
Banyak studi yang selama bertahun-tahun meneliti
hubungan antara DA dan hipersensitifitas terhadap
makanan pada anak dan dewasa. Diperkirakan 30-40% bayi
dan anak usia muda menderita DA sedang sampai berat
dengan alergi makanan sebagai faktor pencetus. Prevalensi
tertinggi alergi makanan dijumpai pada bayi, menurun pada
usia anak, dan makin berkurang pada dewasa. Makanan
yang paling sering sebagai faktor pencetus antaralain telur,
susu, gandum, kedelai, kacang tanah dan ikan laut.7
b. Aeroalergan
Paparan terhadap alergen inhalan seperti serbuk sari,
jamur, tungau, dan bulu binatang berhubungan dalam
perjalanan penyakit pada beberapa kasus DA. Pertama kali
dilaporkan oleh Walker (1918), alergen inhalan sering pada
anak-anak dan orang dewasa yang mengakibatkan rasa
gatal dan lesi atopik setelah individu tersebut tersensitisasi
secara inhalasi bronkial. Perbaikan klinis dapat terjadi bila
individu tersebut tidak terkena atau berada pada lingkungan
yang kurang alergen. Kadar IgE meningkat pada individu
yang sering tersensitisasi dengan tungau, serbuk sari, dan
bulu binatang, serta berhubungan erat dengan tingkat
keparahan penyakit.3

2.1.4 Gambaran Klinis


Dasar penyakit adalah faktor herediter yang juga dipengaruhi
oleh faktor luar sehingga menimbulkan kelainan kulit dimulai dengan
eritema, papul, vesikel sampai erosi, eskoriasi, krusta, dan likenifikasi.
Biasanya penderita tampak gelisah, gatal, dan sakit berat.6 Kelainan

87
7

kulit biasanya simetris. Lesi biasanya dimulai dari bagian wajah dan
menyebar ke sentral tubuh lalu ke perifer. DA juga mengenai bagian
lipat tubuh terutama pada kelopak mata, leher, siku, pergelangan
tangan, pergelangan kaki, lipat bokong, dan lutut.1 Pada DA lesi banyak
terdapat di lengan dan tungkai.4
Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup dikarenakan
kadar lipid di epidermis yang berkurang dan hilangnya air lewat
epidermis meningkat. Jari tangan penderita DA sering kali teraba
dingin. Penderita DA cenderung sering merasa cemas, egois, frustasi,
agresif, atau merasa tertekan. Gejala utama DA ialah gatal, dapat hilang
timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari.
Gatal tidak disertai rasa nyeri dan pedih. Akibatnya penderita akan
menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa
papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta.1
DA dapat terbagi menjadi tiga fase, yaitu: DA infantil (terjadi
pada usia 2 bulan sampai 2 tahun), DA anak (2 sampai 10 tahun), dan
DA pada remaja dan dewasa.4 Adapun gambaran klinik DA terkait usia,
yaitu.1,4
1. DA Infantil (Usia 2 bulan sampai 2 tahun)
Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulo-
vesikel yang halus, karena gatal digosok, pecah, eksudatif, dan
akhirnya berbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat lain
yaitu ke scalp, leher, pergelamgan tangan, lengan dan tungkai.
Bila anak mulai merangkak, lesi ditemukan di lutut. Rasa gatal
yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah
tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA infantil
banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi
sekunder. Lesi dapat meluas generalisata.lambat laun lesi menjadi
kronis dan residif. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak
likenifikasi. Pada sebagian penderita sembuh setelah usia 2 tahun.
2. DA Pada Anak (Usia 2 sampai 10 tahun)
8

Biasanya DA pada anak merupakan kelanjutan bentuk DA


infantile atau timbul sendiri (de novo). Lesi lebih kering, tidak
begitu eksudatif, lebih banyak papul miliar, likenifikasi, dan
sedikit skuama. Lokasi lesi serupa dengan DA pada dewasa yaitu
di lipat siku, siku, lipat lutut, lutut, tangan, pergelangan tangan,
kaki, pergelangan kaki, kelopak mata, leher dan jarang di muka.
Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk. Garukan
dapat menimbulkan lesi sekunder seperti erosi, ekskoriasi, krusta,
sedikit skuama dan likenifikasi, bahkan dapat menyebabkan
infeksi sekunder. Rangsangan menggaruk sering di luar kendali
sehingga terjadi lingkaran setan “siklus gatal-garuk”. Penderita
sensitif terhadap, wol, bulu kucing, anjing, ayam, burung dan
sejenisnya.
3. DA Pada Remaja dan Dewasa
Lesi berupa plak papular-eritematosa dan berskuama atau
plak likenifikasi yang gatal. Pada DA remaja lokalisasi lesi di
siku, lipat siku, lutut, lipat lutut, samping leher, dahi dan sekitar
mata. Pada DA dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik, sering
mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula ditemukan
setempat, misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva,
putting susu, atau scalp. Kadang lesi meluas, dan paling parah di
lipatan, mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul,
papul datar dan cenderung bergabung menjadi plak likenifikasi
dengan sedikit skuama, dan sering terjadi ekskoriasi dan
eksudasi. Lesi umumnya bersifat kronik sehingga sering
ditemukan likenifikasi, skuama, hipopigmentasi, dan
hiperpigmentasi.
Lesi sangat gatal terutama pada malam hari waktu
beristirahat. Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa
penyakitnya kambuh bila mengalami stress, mungkin stress dapat
menurunkan ambang rangsang gatal. Penderita atopik memang
sulit mengeluarkan keringat, sehingga rasa gatal timbul bila
9

mengadakan latihan fisik. Pada umumnya DA remaja atau


dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung menurun dan
membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun, jarang sampai umur
pertengahan, hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua.

Berbagai kelainan lainnya juga dapat menyertai DA, seperti


hiperlinearis palmaris, xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, pitiriasis alba
dan keratosis pilaris.

2.1.5 Diagnosis
Tidak ada uji diagnostik spesifik untuk DA, diagnosis hanya
ditegakkan berdasarkan kriteria spesifik dari anamnesis pasien dan
manifestasi klinis. Gatal yang lebih hebat di malam hari, garukan
berulang, lesi eksematosa, kronik dan kambuhan adalah ciri khas DA.6
Diagnosis DA didasarkan pada kriteria yang disusun oleh Hanifin
dan Rajka. Diagnosis DA harus mempunyai tiga kriteria mayor dan
kriteria minor.4 Kriteria diagnosis Hanifin-Rajka dapat dilihat pada
tabel 2.1, yaitu.2

Tabel 2.1. Kriteria Hanifin-Rajka untuk dermatitis atopik.


Kriteria Major Kriteria Minor
History of flexural dermatitis Dry skin
Onset under the age of 2 years ichthyosis
Presence history of asthma Palmar hyperlinearly
History of dry skin Keratosis pilaris
Visible flexural dermatitis Type I allergy and increased serum IgE
Hand and foot dermatitis
Cheilitis
Nipple eczema
Increased presence of S. aures and Herpes
simplex
Perifollicular keratosis
10

Pityriasis alba
Early age of onset
Recurrent conjunctivity
Dennie morgan infraorbital fold
Keratoconus
Cataract
Orbital darkening
Facial pallor/facial erythema
Anterior neck fold
Itch when sweating
Intolerance to wool and lipid solvent
Perifollicular accentuation
Food intolerance
Course influenced by environmental and
emotional factor
White dermographism or delayed blanch

Pruritus
Keluhan gatal pada dermatitis atopik sangat berat dan merupakan
tanda penting (hallmark). Gatal bertambah saat malam hari,
berkeringat, dan jika memakai baju wool. Gosokan, garukan, dan
cubitan dapat menimbulkan likenifikasi jika berulang dan sering.4

Xerosis
Xerosis (kulit kering), bersisik dapat ditemukan pada 80-89%
penderita DA. Gangguan fungsi sawar kulit akibat menurunnya air
dalam stratum korneum mempermudah masuknya iiritan ke dalam kulit
sehingga akan menimbulkan rasa gatal. 4

Keratosis pilaris
Keratinisasi yang berlebihan menimbulkan terjadinya horny
plaque dalam orifisium folikel rambut, mula-mula terlihat di bagian
11

lateral lengan atas, paha, dan pipi pada anak. Tampak eritem sekeliling
folikel rambut yang terlibat. Eritem pada bagian pipi dapat
bergabung/konfluens.4

Gambar 1.1 keratosis pilaris

2.1.6 Diagnosa Banding


Diagnosis banding dermatitis atopik antara lain.
1. Prurigo Hebra
Prurigo Hebra merupakan penyakit kulit kronik dimulai sejak
bayi atau anak yang bersifat kronik residif dengan efloresensi berupa
papul-papul miliar berbentuk kubah disertai vesikel kecil, sangat gatal,
lebih mudah diraba daripada dilihat terutama di daerah ekstremitas
bagian fleksor dan simetrik, dapat pula pada bagian tubuh yang tidak
tertutup pakaian (misalnya wajah). Biasanya bagian distal lengan dan
tungkai lebih parah daripada bagian proksimal. Penyakit ini sering
terjadi pada anak berumur di atas satu tahun dan wanita lebih banyak
daripada pria. Penyakit ini dianggap penyakit herediter karena pada
umumnya terdapat anggota keluarga yang menderita penyakit ini dan
sebagian para ahli berpendapat bahwa kulit penderita peka terhadap
gigitan serangga, misalnya nyamuk. Kejadian ini dapat disebabkan oleh
antigen atau toksin dalam ludah serangga menyebabkan alergi.
Beberapa faktor yang berperan dalam penyakit ini yaitu suhu dan iklim
12

panas, sosio-ekonomi rendah, lingkungan yang kebersihannya kurang,


gigitan serangga.1,6
Penderita biasanya mengeluh selalu gatal dan timbul bintil kecil
setelah digigit serangga seperti nyamuk atau semut, kelainan yang khas
juga berupa papul miliar tidak berwarna berbentuk kubah dan lebih
mudah diraba daripada dilihat. Gatal bersifat kronik akibatnya kulit
menjadi hitam dan menebal.3,6 Keadaan umum penderita biasanya
pemurung atau pemarah akibat kurang tidur, kadang-kadang nasfu
makan berkurang sehingga timbul anemia dan malnutrisi. Kelenjar
getah bening regional biasanya mengalami pembesaran, namun tidak
disertai infeksi, nyeri, tidak bersupurasi hanya teraba lebih lunak.1
Terdapat dua jenis prurigo, yaitu prurigo mitis (ringan) dan
prurigo feroks (berat). Prurigo mitis biasa terjadi pada anak-anak
sampai dewasa muda, lokalisasinya pada bagian ekstensor ekstremitas,
dahi, dan abdomen. Lesi berupa papul berwarna merah, selanjutnya
papul menjadi menjadi runcing dan timbul vesikel, ekskoriasi dan
likenifikasi. Prurigo feroks lesinya lebih banyak berupa papul yang
ukurannya lebih besar, keras, menonjol di atas kulit, hiperpigmentasi
dan likenifikasi tampak lebih luas. Lokalisasi lebih luas sampai
belakang telinga dan sekitar pusar. Selalu diserta adenopati (prurigo
bubo).6

Gambar 1.2 Prurigo Hebra


13

2. Miliaria rubra
Miliaria rubra merupakan dermatitis yang timbul akibat
tersumbatnya saluran kelenjar keringat. Penyakit ini mengenai
semua umur, namun paling sering pada anak. Frekuensi yang
sama terjadi pada pria dan wanita. Lingkungan yang panas dan
lembab mempengaruhi penyakit ini dan akan bertambah berat
pada musim/cuaca panas.6
Penderita umumnya mengeluhkan rasa gatal dan perih
terutama pada bagian tengah tubuh karena tertutupi oleh pakaian.
Lesi berupa makula eritematosa dengan papul atau vesikel
diatasnya berukuran miliar atau lebih kecil (1-2 mm).3,6
Lokasi lesi pada badan dan bagian tubuh lain seperti wajah,
leher, kulit kepala. Lokasi paling banyak adalah badan depan dan
punggung.6

Gambar 1.3. Miliaria Rubra

2.1.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat penyakit DA antara lain,
yaitu.2,4,7
1. Hiperpigmentasi
DA memiliki keluhan berupa rasa gatal yang hebat
sehingga sering terjadi siklus lingkaran setan “siklus gatal garuk”.
Hal ini memiliki konsekuensi berupa abnormalitas pigmen
setelah inflamasi berupa hipo/hiperpigmentasi
2. Infeksi sekunder oleh bakteri dan virus
14

Penderita DA baik yang bersifat akut maupun subakut dapat


terjadi infeksi sekunder, ini ditandai dengan pustul berwarna
kuning yang mengeluarkan bahan purulen berwarna kuning.
Penderita DA juga rentan terhadap infeksi virus seperti HPV dan
poks (veruka dan moluskum kontagiousum), juga rentan terkena
infeksi herpes simpleks. Adanya erosi dan krusta berdarah
merupakan tanda diagnosis. Pasien yang mengalami komplikasi
ini tampak berat dan membutuhkan antiviral parenteral.
3. Eritroderma
Lesi pada DA dapat meluas generalisata dan menyebabkan
eritroderma
4. Komplikasi akibat pengobatan
Pengobatan dengan kortikosteroid topikal maupun sistemik
jangka panjang dapat menyebabkan efek samping berupa striae,
ekimosis, telangiektasis, penyembuhan luka melambat, katarak,
dermatitis peri-oral/steroid-rosasea, cushing sindrom.

2.2.8 Pemeriksaan Penunjang


Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk menegakkan diagnosis
DA, sehingga anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menjadi dasar
penegakan diagnosis DA. pemeriksaan IgE spesifik yang hasilnya
positif hanya menunjukkan adanya sensitisasi terhadap alergen
bersangkutan, tetapi tidak berarti secara langsung menjadi penyebab.
Pemeriksaan biopsi kulit juga tidak spesifik dan hanya menunjukkan
hiperkeratotik dengan inflamasi perivaskular. Hal ini dikarenakan
peningkatan kadar IgE dalam serum juga dapat terjadi pada sekitar 15%
orang sehat.
Dermatografisme putih, untuk melihat perubahan dari rangsangan
goresan terhadap kulit. Percobaan asetilkolin akan menimbulkan
vasokonstriksi kulit yang tampak sebagai garis pucat selama satu jam.6
15

2.1.9 Tatalaksana
Tatalaksana DA meliputi non medikamentosa dan
medikamentosa. Secara konvensional pengobatan DA memiliki prinsip
sebagai berikut. (1) menghindari bahan iritan, (2) mengeliminasi
alergen yang telah terbukti, (3) pemberian pelembab kulit
(moisturizing) penderita, (4) kortikosteroid topikal, (5) pemberian
antihistamin, (6) pemberian antibiotik jika terjadi infeksi sekunder (7).
mengurangi stress dan (8). memberikan edukasi berupa upaya
penghindaran terhadap bahan alergen, terapi ini bersifat individual
berdasarkan riwayat pasien dan dapat mempertimbangkan hasil uji IgE
spesifik. Selain itu, harus dijelaskan pula bahwa pengobatan tidak
bersifat kuratif (menghilangkan penyakit) tetapi hanya mengurangi
gejala dan mencegah kekambuhan. Upaya untuk mengurangi keluhan
tersebut, antara lain.1,3,8,9
1. Menghindari bahan iritan seperti sabun, detergen, bahan kimiawi,
rokok, pakaian kasar, suhu yang ekstrem dan lembab harus
dihindari karena penderita DA mempunyai nilai ambang rendah
dalam merespon berbagai iritan. Penggunaan sabun mandi harus
yang berdaya larut minimal terhadap lemak dan memiliki pH
netral, hindari pemakaian sabun antibakterial karena berisiko
menginduksi resistensi. Pemakaian krim tabir surya perlu untuk
mencegah paparan sinar matahari yang berlebihan
2. Menghindari alergen yang telah terbukti sebagai pemicu
kekambuhan, seperti makanan, debu rumah, bulu binatang,
serbuk sari tanaman dan sebagainya.
3. Hidrasi kulit penderita atopik dengan memberikan pelembab baik
berbentuk cairan, krim atau salep. Pemakaian pelembab dapat
memperbaiki fungsi barier stratum korneum dan mengurangi
kebutuhan steroid topikal. Pemberian natural moisturizing factor
seperti krim hidrofilik urea 10% dalam euserin hidrosa.
Pemakaian pelembab dilakukan secara teratur 2x sehari dioleskan
segera setelah mandi walaupun sedang tidak dalam gejala DA.
16

4. Kortikosteroid topikal dipakai sebagai antiinflamasi dan antipruritus


dan berguna pada saat eksaserbasi akut. Selain itu berkhasiat pula
sebagai anti mitotik. Berdasar potensi kedua khasiat tadi steroid
digolongkan menjadi steroid dengan potensi lemah, sedang, kuat
dan sangat kuat. Golongan kortikosteroid yang dapat digunakan
pada anak adalah golongan rendah-sedang. Pada anak perlu
diperhatikan lokalisasi penyakit dan ketebalan kulit, sehingga
bentuk sediaan yang dipilih adalah krim. Contoh kortikosteroid
golongan potensi rendah (VII) yaitu hidrokortison 1-2%,
betametason 0,2% dan deksametason 0,1%. Golongan sedang (IV-
VI) yaitu fluosionolon asetonid 0,01%, hidrokortison valerat 0,2%,
triamsinolon asetonid 0,1%. Pemilihan obat dilakukan dari golongan
rendah terlebih dahulu baru ditingkatkan jika efek belum dirasakan.
Pemakaian 1-2x/sehari jika efek sudah dirasakan perlahan
pemakaian diturunkan menjadi 1-2x/hari, untuk pemeliharaan dapat
diberikan 2x seminggu. Lama pemakaian steroid topikal sebaiknya
tidak lebih dari 4-6 minggu untuk steroid potensi lemah dan tidak
lebih dari 2 minggu untuk potensi kuat. Prinsipnya penggunaan
steroid topikal dipilih yang paling lemah potensinya dan yang
efektif. Oleh karena makin kuat potensi makin banyak efek samping
seperti atrofi kulit, hipopigmentasi, erupsi akneformis, infeksi
sekunder dan terjadinya striae. Selain penggunaan kortikosteroid,
obat penghambat kalsineurin yaitu takrolimus krim 0,03% dapat
digunakan untuk DA. Obat ini merupakan inhibitor kalsineurin
topikal yang direkomendasikan sebagai pilihan terapi lini kedua
untuk kasus DA dan penanganan jangka Panjang DA persisten. Obat
ini tidak menyebabkan atrofi kulit sehingga dapat digunakan pada
kulit yang tipis dan sensitif.
5. Penderita DA mempunyai kepekaan yang meningkat terhadap
berbagai agen mikrobial, seperti virus jamur maupun bakteri. Lebih
dari 90% kulit penderita DA dapat ditemukan S. aureus di dalam lesi
kulit. S. aereus ini kadang-kadang dapat sebagai pemicu
17

kekambuhan, melalui produksi toksin yang dapat bersifat sebagai


superantigen. Penggunaan antibiotik terutama ditujukan pada lesi
DA dengan infeksi sekunder oleh S. aureus. Sebagai obat pilihan
adalah diklosaksilin/oksasilin/kloksasilin dari golongan penisilin
resisten penisilinase, apabila resisten dan alergi penisilin maka
eritromisin dapat digunakan. Eritromisin menyebabkan gangguan
gastroiintestinal sehingga jika terjadi hal ini atau resisten
eritromison maka obat alternatif yang dapat dipilih adalah
sefalasporin generasi pertama atau keempat. Mupirosin 2% sebagai
anti-staphylococcal topikal dapat mencegah meluasnya lesi kulit.
6. Antihistamin digunakan sebagai antipruritus yang cukup
memuaskan untuk terapi simptomatis pada DA. Klasifikasi
antihistamin berdasarkan ada tidaknya efek sedasi adalah
antihistamin generasi pertama dan antihistamin generasi kedua .
Generasi pertama dapat menembus sawar darah otak sehingga
mempunyai efek sedasi, contoh golongan pertama yaitu
klorfeneramin, difenhidramin, hidroksizin, prometazin, pirilamin
dan tripolidin. Antihistamin generasi kedua yaitu astemizol,
loratadin, ceterizin, terfenadin dan fexofenadin. Loratadin 10
mg/hari dewasa dan 5 mg/hari pada anak-anak. Ceterizin 10 mg/hari
untuk dewasa dan 5 mg/hari untuk anak-anak. Pemakaian ceterizin
dapat mengurangi gejala secara cepat. Ceterizin atau fexofenadin
mempunyai efek antiinflamasi dengan menghambat ekspresi adesi
molekul sehingga mengurangi migrasi sel-sel radang menuju
ketempat inflamasi. Ceterizin memiliki masa kerja lebih lama dan
efek sedasi lebih minimal dibandingkan loratadin. Apabila rasa gatal
pada malam hari masih mengganggu dapat diberikan antihistamin
generasi pertama seperti hidroksizin atau doxepin agar penderita
dapat tidur. Pemberian antihistamin lokal tidak dianjurkan oleh
karena mempunyai potensi sensitisasi, sehingga dapat menyebabkan
reaksi hipersensitivitas.
18

7. Stres emosional pada penderita DA merupakan pemicu


kekambuhan. Pada respon stress, rasa frustasi atau kekecewaan
sering kali dengan timbul gatal dan garukan maka terjadi lingkaran
setan “stres-gatal-garukan”. Garukan pada kulit merupakan trauma
pada keratinosit yang dapat merangsang keluarnya sitokin IL-1 dan
TNF-. Sitokin ini akan meningkatkan ekspresi molekul adesi yang
pada akhirnya akan lebih memudahkan terjadinya inflamasi. Usaha-
usaha mengurangi stres adalah dengan melakukan konseling
terutama pada penderita DA yang mempunyai kebiasaan
menggaruk. Pendekatan psiko-terapi perlu pula dilaksanakan untuk
mengurangi stress kejiwaan penderita.
8. Memberikan edukasi pada penderita maupun keluarganya berdasar
latar pendidikan agar penyakitnya mudah untuk mereka pahami.
Edukasi meliputi penjelasan untuk menghindari faktor pemicu
kekambuhan, kebiasaan hidup dan pengobatan.

2.1.10 Prognosis
DA akan membaik apabila tatalaksana yang diberikan tepat dan
baik, namun penderita dan keluarga juga harus memahami bahwa
penyakit ini tidak dapat sembuh sama sekali melainkan mengurangi
kekambuhan. Prognosis buruk jika riwayat keluarga memiliki penyakit
serupa, onset lebih awal dan luas, jenis kelamin perempuan, dan
bersamaan dengan rinitis alergika dan asma.7
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : malam
Quo ad cosmetica : bonam

2.2 Dermatitis Numularis


2.2.1 Definisi
Dermatitis numularis termasuk ke dalam pembagian dermatitis
berdasarkan bentuk. Dermatitis numularis adalah dermatitis berupa lesi
19

berbentuk mata uang (coin) atau agak lonjong, berbatas tegas dengan
efloresensi berupa papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga basah
(oozing). 1
Dermatitis numularis juga dikenal dengan nama ekzem numular; ekzem
discoid; neurodermatitis numular. Istilah ekzem numular diperkenalkan oleh
Devergie pada tahun 1857.ˡ

2.2.2 Epidemiologi
Prevalensi penyakit dermatitis numularis di dunia adalah 2
kasus per 1000 penduduk. Prevalensi yang sama didapatkan di negara
Amerika Serikat. Dermatitis numularis lebih terjadi sering pada pria
daripada wanita. Usia puncak awitan terbagi menjadi dua distribusi
usia, paling banyak terjadi pada dekade ke enam dan ke tujuh dan
banyak terjadi pada pria. Kebanyakan pada wanita dengan angka
kejadian lebih kecil, terjadi pada dengan dekade kedua dan ketiga dan
sering berhubungan dengan dermatitis atopi.10 Dermatitis numularis
sangat jarang ditemukan pada anak-anak. Bila ada timbulnya jarang
pada usia sebelum satu tahun, umumnya kejadian meningkat seiring
dengan meningkatnya usia.1

2.2.3 Etiologi
Penyebabnya tidak diketahui, banyak faktor secara sendiri atau
bersama-sama telah dikemukakan sebagai agen penyebab :
1. Truma lokal, baik fisik maupun kimia
Patogenesisnya belum diketahui secara pasti. Dermatitis
Numularis yang disebabkan trauma lokal terutama terjadi pada tangan,
misalnya gigitan serangga atau terkena bahan kimia yang menyebabkan
iritasi.1
2. Xerosis atau kekeringan kulit
Insiden Dermatitis Numularis meningkat pada musim kering
dengan kelembaban rendah. Lingkungan dengan kelembaban rendah
menyebabkan peningkatan hilangnya kandungan air dalam kulit,
20

selanjutnya terjadi perubahan komposisi lipid sawar epidermis


sehingga kulit menjadi kering atau xerosis.1
3. Insufisiensi vena dan varises
Ditemukannya kasus dengan lesi Dermatitis Numularis di
sepanjang vena tungkai menimbulkan dugaan bahwa Dermatitis
Numularis mungkin disebabkan oleh adanya varises dan edema pada
ekstremitas bawah, sehingga timbul istilah varicose eczema.1
4. Stres emosional /psikologis
60% kasus eksema dicetuskan oleh faktor stres, bahkan
dikatakan bahwa stres merupakan faktor pencetus utama pada
dermatitis.1
5. Bakteri
Stafilokokus dan mikrokokus ikut berperan ,mengingat jumlah
koloninya meningkat walaupun tanda infeksi secara klinis tak tampak;
mungkin juga lewat mekanisme hipersensitivitas. Eksaserbasi terjadi
bila koloni bakteri meningkat diatas 10 juta kuman/cm².1
6. Alkohol
Minuman beralkohol dapat menyebabkan eksaserbasi.3

2.2.4 Patogenesis
Dermatitis numular merupakan suatu kondisi yang terbatas pada
epidermis dan dermis saja. Hanya sedikit diketahui patofisiologi dari
penyakit ini, tetapi sering bersamaan dengan kondisi kulit yang kering.
Adanya fissura pada permukaan kulit yang kering dan gatal dapat
menyebabkan masuknya alergen dan mempengaruhi terjadinya
peradangan pada kulit. Suatu penelitian menunjukkan dermatitis
numularis meningkat pada pasien dengan usia yang lebih tua terutama
yang sangat sensitif dengan bahan-bahan pencetus alergi. Barrier pada
kulit yang lemah pada kasus ini menyebabkan peningkatan untuk
terjadinya dermatitis kontak alergi oleh bahan-bahan yang mengandung
metal. Karena pada dermatitis numular terdapat sensasi gatal, telah
dilakukan penelitian mengenai peran mast cell pada proses penyakit ini
21

dan ditemukan adanya peningkatan jumlah mast cell pada area lesi
dibandingkan area yang tidak mengalami lesi pada pasien yang
menderita dermatitis numularis. Suatu penelitian juga mengidentifikasi
adanya peran neurogenik yang menyebabkan inflamasi pada dermatitis
numular dan dermatitis atopik dengan mencari hubungan antara mast
cell dengan saraf sensoris dan mengidentifikasi distribusi neuropeptida
pada epidermis dan dermis dari pasien dengan dermatitis numular.
Peneliti mengemukakan hipotesa bahwa pelepasan histamin dan
mediator inflamasi lainnya dari mast cell yang kemudian berinteraksi
dengan neural C-fibers dapat menimbulkan gatal. Para peneliti juga
mengemukakan bahwa kontak dermal antara mast cell dan saraf,
meningkat pada daerah lesi maupun non lesi pada penderita dermatitis
numular. Substansi P dan kalsitonin terikat rantai peptide meningkat
pada daerah lesi dibandingkan pada non lesi pada penderita dermatitis
numular. Neuropeptida ini dapat menstimulasi pelepasan sitokin lain
sehingga memicu timbulnya inflamasi.10
Penelitian lain telah menunjukkan bahwa adanya mast cell pada
dermis dari pasien dermatitis numular menurunkan aktivitas enzim
chymase, mengakibatkan menurunnya kemampuan menguraikan
neuropeptida dan protein. Disregulasi ini dapat menyebabkan
menurunnya kemampuan enzim untuk menekan proses inflamasi.10

2.2.5 Gambaran Klinis


Penyakit dermatitis numularis biasanya menunjukkan gambaran
klinis:1
1. Lesi akut berupa plak eritematosa berbentuk koin dengan batas
yang tegas yang terbentuk dari papul dan papulovesikel yang
berkonfluens.
2. Plak (biasanya berukuran 1-3 cm)
3. Basah (oozing) dan krusta biasanya menutupi seluruh permukaan
lesi.
4. Pruritus bervariasi dari ringan hingga berat.
22

5. Penyembuhan dimulai dari tengah lesi.


6. Lesi lama cenderung kering, dapat berupa likenifikasi dan
skuama.
7. Cenderung kambuh-kambuhan, bila terjadi kekambuhan
umumnya timbul pada tempat semula dan dapat pula terjadi pada
tempat yang mengalami trauma (fenomena kobner).1

Predileksi dermatitis numularis paling banyak ditemukan di


punggung kaki, punggung tangan, bagian ekstensor ekstremitas,
bokong dan bahu.3

Tiga bentuk klinis dermatitis numular yaitu;


1. Dermatitis numular pada tangan dan lengan. Kelainannya
terdapat pada punggung tangan serta di bagian sisi atau punggung
jari-jari tangan. Sering dijumpai sebagai plak tunggal yang terjadi
pada sisi reaksi luka bakar, kimia atau iritan. Lesi ini jarang
meluas.10
2. Dermatitis numular pada tungkai dan badan. Bentuk ini
merupakan bentuk yang lebih sering dijumpai. Pada sebagian
kasus, kelainan sering didahului oleh trauma lokal ataupun
gigitan serangga. Umumnya kelainan bersifat akut, persisten dan
eksudatif. Dalam perkembangannya, kelainan dapat sangat
edematous dan berkrusta, cepat meluas disertai papul-papul dan
vesikel yang tersebar. Pada Dermatitis numular juga sering
dijumpai penyembuhan pada bagian tengah lesi, tetapi secara
klinis berbeda dari bentuk lesi tinea. Pada kelainan ini bagian tepi
lebih vesikuler dengan batas relatif kurang tegas. Lesi permulaan
biasanya timbul di tungkai bawah kemudian menyebar ke kaki
yang lain, lengan dan sering ke badan.10
3. Dermatitis numular bentuk kering. Bentuk ini jarang dijumpai
dan berbeda dari dermatitis numular umumnya karena di sini
dijumpai lesi diskoid berskuama ringan dan multipel pada tungkai
23

atas dan bawah serta beberapa papul dan vesikel kecil di bagian
tepinya di atas dasar eritematus pada telapak tangan dan telapak
kaki. Gatal minimal yang berbeda sekali dengan bentuk
dermatitis numular lainnya. Menetap bertahun-tahun dengan
fluktuasi atau remisi yang sulit diobati.10

Gambaran klinis

Gambar 2.1. Lesi yang khas berbentuk koin dari dermatitis numularis pada lengan dari
penderita.7

Gambar 2.2 Lesi yang khas berbentuk koin dari dermatitis numularis pada tangan dari
penderita.2
24

Gambar 2.3. Lesi yang khas berbentuk koin dari dermatitis numularis pada tungkai bawah
penderita.7

2.2.6 Diagnosis
Diagnosis dermatitis numularis didasarkan atas gambaran klinis.
Sebagai diagnosis banding antara lain ialah dermatitis kontak,
dermatitis atopik, neurodermatitis sirkumskripta, dan dermatomikosis.1

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


Histopatologi
Pada lesi akut ditemukan spongiosis, vesikel intraepidermal,
sebukan sel radang limfosit dan makrofag di sekitar pembuluh darah.
Lesi kronis ditemukan akantosis teratur, hipergranulosis dan
hiperkeratosis, mungkin juga spongiosis ringan. Dermis bagian atas
fibrosis, sebukan limfosit dan makrofag di sekitar pembuluh darah.
Limfosit di epidermis mayoritas terdiri atas sel T-CD8+, sedangkan
yang di dermis sel T-CD4+. Sebagian besar sel mast di dermis tipe
MCtc (mast cell tryptase), berisi triptase.10
25

Gambar 2.4. Gambaran histopatologi dari dermatitis numularis

1. Tes laboratorium
Patch test berguna untuk mengidentifikasi kasus
kronis yang tidak kunjung sembuh dan mengenyampingkan
dermatitis kontak sebagai diagnosis banding. Pada
dermatitis numularis IgE cenderung normal.7
2. Kultur dan uji resistensi sekret
Untuk melihat mikroorganisme penyebab dan penyerta.3
3. Biopsi
Untuk melihat perubahan histopatologis sehingga
dapat menentukan tahapan (akut atau kronis) dari penyakit
dermatitis numularis.7

2.2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari penyakit ini antara lain : 1,7
1. Liken simpleks kronikus (neurodermatitis).
Biasanya jarang, lesinya kering berupa plak yang
likenifikasi dengan distribusi tertentu.
26

Gambar 2.5. Bentuk lesi dari neurodermatitis pada daerah tengkuk leher, pergelangan
tangan dan punggung kaki.

2. Dermatitis kontak alergi.


Morfologi klinis primer antara dermatitis kontak dan
dermatitis numular sering sulit untuk dibedakan. Pada dermatitis
kontak biasanya lokal, dan ditemukan riwayat kontak
sebelumnya. Untuk membedakan dapat dilakukan pemeriksaan
patch test atau prick test.
27

Gambar 2.6. Bentuk lesi dari dermatitis kontak alergi yang lesinya muncul akibat
penggunaan plester dan reaksi sinar matahari.

3. Dermatitis atopik
Umumnya pada pasien dengan lesi pada tangan. Patch test
dan prick test dapat membantu jika terdapat riwayat dermatitis
atopik.

Gambar 2.7. Bentuk lesi dermatitis atopik persisten pada daerah telapak tangan
dan daerah dada.
4. Dermatomikosis
Dapat terlihat sebagai tinea dengan pinggir aktif, bagian
tengah agak menyembuh. tetapi secara klinis berbeda dari bentuk
lesi tinea. Pada dermatitis numularis bagian tepi lebih vesikuler
dengan batas relatif kurang tegas dibandingkan tinea. Pada tinea
dapat dicari hifa dari sediaan langsung.
28

Gambar 2.8. Bentuk lesi tinea corporis.

2.2.9 Tatalaksana
Pengobatan ditujukan untuk rehidrasi pada kulit dan perbaikan
barrier lipid epidermal, pengurangan peradangan dan pengobatan
infeksi apapun. Berendam air hangat atau dingin atau mandi untuk
mengurangi gatal dan membantu rehidrasi kulit. Pasien harus
diinstruksikan untuk mandi setidaknya 1-2 kali sehari, diikuti oleh
aplikasi pelembab atau preparat obat topikal untuk menahan air di
kulit.10
Obat yang bisa digunakan :
1. Steroid
Steroid terapi yang paling umum digunakan untuk
mengurangi peradangan. Steroid topikal (misalnya pemberian
triamcinolone 0,25-0,1%) efektif untuk mengurangi eritematosa.
Gatal dapat diobati dengan steroid potensi rendah (kelas III-VI).
Lesi yang sangat meradang dengan eritema intens, vesikel, dan
pruritus membutuhkan steroid potensi tinggi (kelas I-II). Steroid
oral, intramuskular, atau parenteral mungkin diperlukan dalam
kasus-kasus yang parah, erupsi menyeluruh. Jika sangat berat
diobati dengan suntikan kortikosteroid intralesi seperti
triamsinolon asetonida 0,1 mg/mg (0,1 ml/suntikan).6,8,10,
2. Ointment dan Emolien
Aplikasi obat pada kulit yang lembab memungkinkan
penetrasi yang lebih efektif dan penyembuhan lebih cepat.
29

Ointment biasanya lebih efektif daripada krim karena mereka


lebih oklusif, membentuk penghalang antara kulit dan
lingkungan, dan lebih efektif menahan air ke dalam kulit.
Emolien dan steroid topikal kelas I-III dapat digunakan jangka
pendek. Contoh emollients yang sering digunakan antara lain ;
aqueous cream, gliserine dan cetomacrogol cream, wool fat
lotions.10
3. Antiinflamasi topikal lainnya
Penggunaan tar sangat membantu untuk mengurangi
peradangan, terutama pada orangtua, lesi tebal, plak
berskuama.8,10
4. Immunomodulator
Immunomodulator topikal (tacrolimus dan pimecrolimus)
juga mengurangi peradangan. penggunaannya sering dimulai
beberapa hari setelah steroid topikal untuk mengurangi risiko
sensasi terbakar yang mungkin terjadi bila diterapkan ke kulit
yang sangat teriritasi.8,10
5. Fototerapi
Ketika erupsi menyeluruh dan berkepanjangan, fototerapi
(umumnya UVB) dapat membantu. UVB spektrum luas dan
sempit paling sering digunakan, meskipun PUVA (Psoralen +
UVA) dapat digunakan pada kasus yang berat.10
6. Antihistamin
Antihistamin oral atau sedatif dapat membantu mengurangi
gatal dan membantu tidur. Misalnya hydroxyzine (atarax,
vistaril,vistazine) dengan dosis oral 25-100 mg 4 kali per hari.8.10
7. Antibiotik
Antibiotik oral, seperti dicloxacillin, cephalexin, atau
erythromycin , dapat digunakan dalam kasus-kasus infeksi
sekunder. Kultur swab dapat menjadi panduan dalam pemilihan
antibiotik. Biasa digunakan dicloxacillin dosis oral 125-500 mg 4
kali per hari selama 7-10 hari.6,8,10
30

8. Pelembab lainnya
Setelah erupsi hilang, hidrasi agresif berkelanjutan dapat
mengurangi eritem, terutama di iklim kering. Pelembab yang
berat (lebih) atau petroleum jelly yang diaplikasikan pada kulit
setelah mandi dapat membantu.10
9. Immunosupresif
Penyakit bisa bertambah berat dan tidak responsif dengan
perawatan di atas. Obat immunosupresif seperti metotreksat telah
dijelaskan aman dan efektif pada pasien dengan lesi yang lebih
berat.8,10
10. Steroid sistemik
Digunakan untuk kasus-kasus dermatitis numular yang berat,
diberikan prednilson dengan dosis oral 40-60 mg 4 kali per hari
dengan dosis yang diturunkan secara perlahan-lahan. Hanya
berguna dalam beberapa minggu, dermatitis yang belum sembuh
sempurna, dapat ditangani dengan pemberian krim steroid dan
emolilients.8.10

2.2.10 Prognosis
Dari suatu pengamatan sejumlah penderita yang diikuti selama
berbagai interval sampai dua tahun, didapati bahwa 22% sembuh, 25%
pernah sembuh untuk beberapa minggu sampai tahun, 53% tidak pernah
bebas dari lesi kecuali masih dalam pengobatan.1

2.3 Dermatitis Kontak Alergi


2.3.1 Definisi
Dermatitis kontak ialah respon dari kulit dalam bentuk
peradangan yang dapat bersifat akut maupun kronik, karena paparan
dari bahan iritan/alergen eksternal yang mengenai kulit1, 7
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah reaksi inflamasi akibat
pemaparan bahan alergen pada dermal yang mampu mengaktivasi sel T
dan kemudian akan bermigrasi pada tempat pemaparan tersebut.
31

Dermatitis kontak alergi (DKA) terjadi pada seseorang yang telah


mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen. 1,7

2.3.2 Epidemiologi
Dermatitis kontak alergi dapat terjadi pada semua umur dan pria
maupun wanita memiliki frekuensi yang sama untuk terkena. Bila
dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita
dermatitis kontak alergi lebih sedikit, karena hanya mengenai orang
yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif) 1,11.
Penyakit ini terhitung sebesar 7% dari penyakit yang terkait
dengan pekerjaan di Amerika Serikat3. Berdasarkan beberapa studi
yang dilakukan, insiden dan tingkat prevalensi DKA dipengaruhi oleh
alergen-alergen tertentu. Pada penelitian epidemiologi di St Spiridion,
Romania tahun 200-2009 bahwa wanita lebih sering terkena dermatitis
kontak dibanding laki-laki, yaitu 1.83: 1 dan 64.46% berusia di atas 45
tahun. Akan tetapi, usia dan jenis kelamin sendiri sebenarnya bukan
merupakan faktor risiko DKA, tetapi berhubungan dengan paparan
alergen ketika beraktivitas di luar maupun ibu rumah tangga.11

2.3.3 Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergi adalah bahan kimia sederhana
dengan berat molekul umumnya rendah (< 1000 dalton) yang disebut
hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum
korneum sehingga mencapai sel epidermis dibawahnya (sel hidup)7.
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak
alergi, misalnya potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, lama
pajanan, suhu, dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga
faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan
stratum korneum, ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya
sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari)1.
32

2.3.4 Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak
alergi adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sistem
imun spesifik yang menyebabkan perkembangan sel T efektor atau
reaksi tipe IV 12,13.
Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak
alergik, terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas
pada kulitnya. Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan
bahan kimia sederhana berukuran sangat kecil (low molecul weight)
yang akan terikat dengan protein epiderma membentuk antigen lengkap
12
yang disebut hapten protein complex . Antigen ini ditangkap dan
diproses oleh makrofag dan sel Langerhans, diekspresikan ke
permukaan dengan bantuan MHC II. Antigen tidak hanya
dipresentasikan di kelenjar getah bening, tetapi juga di kulit ke sel
memori T spesifik14. Setelah kontak dengan yang telah diproses ini, sel
T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk berdeferensiasi dan
berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara
spesifik dan sel memori.12 Sel-sel ini kemudian tersebar melalui
sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem limfoid, sehingga menyebabkan
keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh. Fase saat kontak
pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif disebut fase induksi atau
fase sensitisasi12,13 Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu.
Fase sensitasi tidak menimbulkan gejala klinis pada kebanyakan kasus,
tetapi menginduksi DKA primer yang dikarakteristikan sebagai
inflamasi kulit karena hapten spesifik pada 5-15 hari setelah kontak
kulit5. Pada umumnya reaksi sensitisasi ini dipengaruhi oleh derajat
kepekaan individu, sifat sensitisasi alergen (sensitizer), jumlah alergen,
dan konsentrasi. Sensitizer kuat mempunyai fase yang lebih pendek,
sebaliknya sensitizer lembah seperti bahan-bahan yang dijumpai pada
kehidupan sehari-hari pada umumnya kelainan kulit pertama muncul
setelah lama kontak dengan bahan tersebut, bisa bulanan atau tahunan1.
33

Sedangkan periode saat terjadinya pajanan ulang dengan alergen


yang sama atau serupa sampai timbulnya gejala klinis disebut fase
elisitasi, umumnya berlangsung antara 24-48 jam pada tikus dan 72 jam
pada manusia. Sel T diaktifkan baik oleh kontak direk melalui ikatan
reseptor antigen dengan antigen-kompleks MHC, keratinosit, dan sel T
lain yang menginfiltrasi kulit. Sel T memproduksi sitokin antara lain IL
4 dan IFNγ pada dermatitis fase akut dan sitokin tipe I yang lebih
menonjol pada fase kronis. Sitokin dan kemokin menimbulkan
akumulasi sel T efektor6. Reaksi inflamasi ini akan bertahan selama
beberapa hari setelah itu akan menurun dengan mekanisme down
regulation13.

Gambar 3.1. Patogenesis DKA


34

2.3.5 Gejala Kelinis


Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit
bergantung pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan
bercak eritema berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel,
vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan
eksudasi (basah)1,7. Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama,
papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas1,7.
Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis;
mungkin penyebabnya juga campuran.1,7

Tabel 1. Erupsi akut, sub akut, atau kronis


Akut Subakut Kronis
- Vesikel atau bula yang terisi - Eritem bertambah - Kemerahan dan bengkak
cairan jernih multiple dan berat. - Edema mengurang - Lebih menonjolkan sisik,
Bila terjadi vesikel/berair, - Papul menggantikan hyperkeratosis, dan
timbul erosi dan eczema vesikel likenifikasi di daerah
- Edema, eritem yang terkena
- Infeksi sekunder dengan bakteri
gram (+)

Berbagai lokalisasi terjadinya dermatitis kontak1 :


1. Tangan. Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik
paling sering di tangan, misalnya pada ibu rumah tangga.
Demikian pula kebanyakan dermatitis kontak akibat kerja
ditemukan di tangan. Sebagian besar memang oleh karena bahan
iritan. Bahan penyebabnya misalnya deterjen, antiseptik, getah
sayuran/tanaman, semen, dan pestisida1.
35

Gambar 3.2. DKA pada Tangan, Subakut

2. Lengan. Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya


oleh jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan
tanaman. Di aksila umumnya oleh bahan pengharum1.

Gambar 3.3. DKA pada Lengan

3. Wajah. Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh


bahan kosmetik, obat topikal, alergen yang di udara, nekel
(tangkai kaca mata). Bila di bibir atau sekitarnya mungkin
disebabkan oleh lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan. Dermatitis
di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, cat rambut,
eyeshadows, dan obat mata1.
36

Gambar 3.4. DKA pada Wajah

4. Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab


dermatitis kontak pada cuping telinga. Penyebab lain, misalnya
obat topikal, tangkai kaca mata, cat rambut, hearing-aids1.
5. Leher. Penyebanya kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari
ujung jari), parfum, alergen di udara, zat warna pakaian1.

Gambar 3.5. DKA pada Leher

6. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh


pakaian, zat warna, kancing logam, karet (elastis, busa), plastik,
dan detergen1.
7. Genitalia. Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon,
kondom, pembalut wanita, dan alergen yang ada di tangan1.
37

8. Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat


disebabkan oleh pakaian, dompet, kunci (nikel) di saku, kaos kaki
nilon, obat topikal (misalnya anestesi lokal, neomisin,
etilendiamin), semen, dan sepatu.1

2.3.6 Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan klinis yang teliti1,7.
1. Anamnesis
Perempuan lebih sering mengalami DKA daripada laki-laki, dan
ada peningkatan insiden dengan bertambahnya usia. Riwayat awal
pasien terkena penyakit ini yang pada akhirnya akan dievaluasi sebagai
DKA merupakan standar anamnesa dermatologi. Riwayat dimulai
dengan diskusi tentang penyakit ini dan fokus pada tempat timbulnya
masalah dan agen topikal yang digunakan untuk mengobati masalah.
Riwayat penyakit kulit, atopi, dan kesehatan umum juga secara rutin
diselidiki. Gambaran klinis DKA tergantung pada jenis alergen yang
menyebabkan. Biasanya, dermatitis terjadi pada lokasi aplikasi alergen
tetapi penyebaran dermatitis juga mungkin terjadi. Dalam anamnesis
riwayat pasien, penting untuk mempertimbangkan pekerjaan, rumah
tangga, dan kemungkinan paparan terhadap alergen saat bepergian, dan
juga tentu saja waktu, lokalisasi, alergen sebelumnya diidentifikasi,
diatesis topik, perawatan kulit, kosmetik, dan obat topikal maupun
sistemik 1,7.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat
lokalisasi dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui
kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di
pergelangan tangan oleh jam tangan, dan di kedua kaki oleh sepatu.
Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh permukaan kulit, untuk
melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen.12
38

Penampilan klinis DKA dapat bervariasi tergantung pada lokasi


dan durasi. Pada kebanyakan kasus, erupsi akut ditandai dengan makula
dan papula eritema, vesikel, atau bula, tergantung pada intensitas dari
respon alergi. Namun, dalam DKA akut di daerah tertentu dari tubuh,
seperti kelopak mata, penis, dan skrotum, eritema dan edema biasanya
mendominasi dibandingkan vesikel. Batas-batas dermatitis umumnya
tidak tegas. DKA pada wajah dapat mengakibatkan pembengkakan
periorbital yang menyerupai angioedema. Pada fase subakut, vesikel
kurang menonjol, dan pengerasan kulit, skala, dan lichenifikasi dini
bisa saja terjadi. Pada DKA kronis hampir semua kulit muncul scaling,
lichenifikasi, dermatitis yang pecah-pecah (membentuk fisura), dengan
atau tanpa papulovesikelisasi yang menyertainya 1,15. DKA tidak selalu
tampak eksema, ada varian noneksema yang mencakup lichenoid
kontak, eritema multiformis (EM), hipersensitivitas kontak kulit seperti
selulitis, leukoderma kontak, purpura kontak, dan erythema
dyschromicum perstans16.
Daerah kulit yang berbeda juga berbeda dalam kemudahan
tersensitisasi. Tekanan, gesekan, dan keringat merupakan faktor yang
tampaknya meningkatkan sensitisasi. Kelopak mata, leher, dan alat
kelamin adalah salah satu daerah yang paling mudah peka, sedangkan
telapak tangan, telapak kaki, dan kulit kepala lebih resisten1.
3. Pemeriksaan Penunjang
Standar emas untuk menegakkan diagnosis DKA, termasuk yang
dicurigai akibat kerja adalah uji tempel15,17,18. Untuk melakukan uji
tempel diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan pabrik,
misalnya finn chamber system kit dan T.R.U.E test, keduanya buatan
Amerika Serikat. Terdapat juga antigen standar buatan pabrik di Eropa
dan negara lain.1,15,18

2.3.7 Diagnosis Banding


Kelainan kulit dermatitis kontak alergik sering tidak
menunjukkan gambaran morfologik yang khas. Diagnosis banding
39

yang terutama ialah dengan dermatitis kontak iritan. Dalam keadaan ini
pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan,
apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi.1,2

Tabel 3. Perbandingan DKA dan DKI6


Variabel Iritan Alergi
Penderita Banyak orang Tidak banyak yang
menderita
Timbulnya reaksi Biasanya dalam 48 jam Beberapa jam, 5-6 jam
sesudah kontak
Lokasi Terlokalisasi Tersebar
Batas tegas Sering khas Dapat terjadi
Waktu untuk resolusi Sering mengurang Beberapa hari
klinis setelah bahan setelah 96 jam
disingkirkan
Terjadinya reaksi Terjadi cepat dengan 24-72 jam
iritan kuat (menit-jam);
lambat dengan iritan
lemah
Hubungan dengan Membaik dengan Dapat membaik bahkan
pekerjaan liburan lama (4 pada akhir minggu
minggu)
Atopi Predisposisi Predisposisi tidak
diketahui
Morfologi Eritem, sisik, fisura Vesikel yang sulit
dibedakan dari iritan
Agen penyebab Tergantung pada Relatif tidak terkait
konsentrasi agen dan dengan jumlah aplikasi,
kondisi barier kulit; biasanya konsentrasi
hanya terjadi di atas yang sangat sedikit pun
ambang batas cukup menyebabkan
40

DKA, tetapi tergantung


pada derajat sensitasi
Sistem imun Respon imun tidak Tipe IV DTH
spesifik

2.3.8 Tatalaksna
Secara umum, penanganan DKA meliputi19:
1. Perlindungan terhadap kulit, seperti penggunaan sarung tangan
dan perubahan gaya hidup, termasuk edukasi adalah hal yang
sangat penting untuk dilakukan.
2. Pengobatan topical [emollient, cream/ointment corticosteroid,
topical immunomodulator, dan irradiasi dengan sinar ultraviolet
(UV) atau X-rays].
3. Pengobatan sistemik [azathioprine, methotrexate (MTX),
cyclosporine, retinoids, dan oral kortikosteroid jangka pendek].
Kebanyakan pasien akan membaik hanya dengan
perlindungan kulit dan pengobatan topical. Akan tetapi, pada
pasien yang masih persisten meski dengan pemberian topical
kortikosteroid yang adekuat, di mana hal ini merupakan terapi
utama pada DKA, sampai saat ini belum ada terapi yang
memuaskan untuk hal tersebut. Pengobatan sistemik mungkin
menyebabkan kesembuhan remisi temporer, tetapi tidak selalu
cocok untuk control jangka panjang19.

4. Menghindari Alergen
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis
kontak adalah upaya pencegahan terulangnya kontak kembali
dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan kulit yang
timbul.15,19
Deteksi dan menghindari allergen adalah hal yang penting
tetapi terkadang sulit untuk dilaksanakan15. Setelah kemungkinan
41

penyebab masalah dermatologi pasien telah ditentukan oleh uji


tempel, sangat penting untuk menyampaikan informasi ini kepada
pasien dengan cara yang mudah dimengerti. Ini melibatkan
penjelasan cermat terhadap bahan yang mengandung alergen15,19.
Secara keseluruhan, prognosis untuk alergi akibat kerja ini
buruk15. Menasihati pekerja dengan DKA untuk meninggalkan
posisi mereka saat ini mungkin bukan saran terbaik, terutama jika
perubahan pekerjaan akan menghasilkan dampak ekonomi yang
signifikan buruk15. Pekerja yang mempunyai riwayat DKA
terhadap allergen tertentu harus tercatat dalam rekam medis dan
riwayat tersebut akan selalu diperhatikan ketika dia menerima
pekerjaan baru agar pihak industri juga dapat ikut menjaga
kesehatan kulitnya17. Penggunaan sabun cuci tangan dengan
emulsi dan cream yang dipakai setelah bekerja dilaporkan dapat
menurunkan insidensi dan prevalensi dermatitis kontak15.
Pengobatan dengan agen fisikokimia yang mengurangi
respon juga mungkin diperlukan. Orang-orang ini mungkin dapat
menggunakan sarung tangan dengan bahan sesuai risiko paparan
allergen15.

Tabel 4. Bahan Sarung Tangan untuk Pencegahan Dermatitis Kontak


Hazard Tipe Sarung Tangan
Mikroorganisme NRL thermoplastic elastomer
Desinfektan NRL, polyvinyl chloride (PVC), polyethylene (PE),
ethylene methylmethacrylate (EMA)
Bahan farmasi NRL
Bahan material NRL, 4H glove
Bahan terlarut PE, PVC, nitril, NRL, neoprene, butyl rubber, viton, 4H
glove
Oli Mesin PVC, nitril, NRL, neoprene, 4H glove
42

5. Pengobatan Topikal
Kortikosteoroid topical digunakan secara luas untuk
pengobatan DKA. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa
kombinasi steroid topical dan antibiotic topical memiliki manfaat
pada pengobatan eczema yang disertai infeksi atau potensial
untuk terinfeksi15. Kortikosteroid oral dapat diberikan dalam
jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada dermatitis
kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema, edema, bula atau
vesikel. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa
hari. Kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam
faal1.
Bahan pengering seperti aluminium sulfat topikal, kalsium
asetat bermanfaat untuk vesikel akut dan erupsi yang basah,
sedangkan erupsi likenifikasi paling baik ditangani dengan
emolien. Pruritus dapat dikontrol dengan antipruritus topikal atau
antihistamin oral, antihistamin topikal atau anestesi sebaiknya
dihindari karena risiko merangsang alergi sekunder pada kulit
yang sudah mengalami dermatitis1.

2.3.9 Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaktannya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi
kronis, bila bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen
(dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau pajanan
dengan bahan iritan yang tidak mungkin dihindari.1,7
43

2.4 Dermatitis Kontak Iritan


2.4.1 Definisi
Dermatitis kontak iritan atau DKI merupakan peradangan pada
kulit non-imunologik, yaitu kerusakan kulit terjadi langsung tanpa
didahului proses pengenalan/sensitisasi.1

2.4.2 Epidemiologi
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari
berbagai golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Jumlah orang yang
mengalami DKI diperkirakan cukup banyak, terutama yang
berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun angka secara
tepat sulit diketahui. Hal ini disebabkan antara lain karena banyak
pasien dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak
mengeluh.1

2.4.3 Etiologi
Penyebab dermatitis jenis ini ialah pajanan dengan bahan yang
bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam,
alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan
oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut. Terdapat
juga faktor lain, yaitu : lama kontak, kekerapan (terus menerus atau
berselang), oklusi yang menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian
pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga
turut perperan.1

2.4.4 Patogenesisi
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh
bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Ada empat mekanisme
yang dihubungkan dengan dermatitis kontak iritan, yaitu:7
1. Hilangnya substansi daya ikat air dan lemak permukaan
2. Jejas pada membran sel
3. Denaturasi keratin epidermis
44

4. Efek sitotoksik langsung

Gambar 4.1 : (a-d) mekanisme imunologis terjadinya dermatitis kontak iritan (DKI). (a) bahan
iritan fisik dan kimia memicu pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya yang disebut
sinyal bahaya. (b) sel epidermis dan dermis merespon sinyal bahaya tersebut. (c) setelah itu,
sitokin inflamasi dikeluarkan dari sel residen dan sel inflamasi yang sudah terinfiltrasi. Sitokin
utama pada proses ini adalah CXCL 8 (bentuk yang dikelan adalah IL-8) (d) sebagai akibatnya,
dari produksi sitokin inflamasi, banyak sel inflamasi termasuk neutrofil diserang dan dibawa
pengaruh picuan inflamasi mengeluarkan mediator inflamasi. Hasilnya dapat dilihat secara
klinis pada DKI.

Pada respon iritan, terdapat komponen menyerupai respon


imunologis yang dapat didemonstrasikan dengan jelas, dimana hal
tersebut ditandai oleh pelepasan mediator radang, khususnya sitokin
dari sel kulit yang non-imun (keratinosit) yang mendapat rangsangan
kimia. Proses ini tidaklah membutuhkan sensitasi sebelumnya.
Kerusakan sawar kulit menyebabkan pelepasan sitokin-sitokin seperti
Interleukin-1α (IL-1α), IL-1β, tumor necrosis factor- α (TNF- α). Pada
dermatitis kontak iritan, diamati peningkatan TNF-α hingga sepuluh
kali lipat dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-
CSF) dan IL-2 hingga tiga kali lipat. TNF- α adalah salah satu sitokin
45

utama yang berperan dalam dermatitis iritan, yang menyebabkan


peningkatan ekspresi Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas
II dan intracelluler adhesin molecul-I pada keratinosit.7
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan peradangan klasik di
tempat terjadinya kontak dikulit berupa eritema, edema, panas, dan
nyeri bila iritan kuat. Ada dua jenis bahan iritan yaitu iritan kuat dan
iritan lemah. Iritan kuat akan menyebabkan kelainan kulit pada pajanan
pertama pada hampir semua orang, sedangkan iritan lemah akan
menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai
dengan kerusakan stratum korneum oleh karena depilasi yang
menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga
mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh iritan.1

2.4.5 Gejala Klinis


Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat
iritan. Iritan kuat memberi gejala akut, sedang iritan lemah memberi
gejala kronis. Berdasarkan penyebab dan pengaruh berbagai faktor
tersebut, ada yang mengklasifikasikan DKI menjadi 10 jenis, yaitu :

1. Dermatitis Kontak Iritan Akut


Dermatitis iritan kuat terjadi setelah satu atau beberapa kali
olesan bahan-bahan iritan kuat, sehingga terjadi kerusakan
epidermis yang berakibat peradangan. Biasanya dermatitis iritan
kuat terjadi karena kecelakaan kerja. Bahan-bahan iritan ini dapat
merusak kulit karena terkurasnya lapisan tanduk, denaturasi
keratin, dan pembengkakan sel.21
Tipe reaksinya tergantung pada bahan apa yang berkontak,
konsentrasi bahan kontak, dan lamanya berkontak. Reaksinya
dapat berupa kulit menjadi merah atau coklat. Kadang-kadang
menjadi edema dan rasa panas, atau ada papula, vesikula, pustula,
kadang-kadang terbentuk bula yang purulen dengan kulit di
sekitarnya normal.21
46

Contoh bahan kontak untuk dermatitis iritan kuat adalah


asam dan basa keras yang sering digunakan dalam industri.21

Gambar 4.2 : DKI akut akibat penggunaan pelarut industri.

2. Dermatitis Kontak Iritan Akut Lambat


Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut, tetapi
baru terjadi 8 sampai 24 jam setelah berkontak. Bahan iritan yang
dapat menyebabkan DKI akut lambat, misalnya podofilin,
antralin, tretinoin, etilen oksida, benzalkonium klorida, asam
hidrofluorat. Sebagai contohialah dermatitis yang disebabkan
oleh bulu serangga (dermatitis venenata); keluhan dirasakan
pedih keesokan harinya, sebagai gejala awal terlihat eritema
kemudian terjadi vesikel atau bahkan nekrosis.1

Gambar 4.3 : DKI Akut Lambat


47

3. Dermatitis Kontak Iritan Kronis (DKI Kumulatif)


Juga disebut dermatitis kontak iritan kumulatif. Disebabkan oleh
iritan lemah (misalnya deterjen, sabun, pelarut, tanah, bahkan air)
dengan pajanan yang berulang-ulang, biasanya lebih sering terkena
pada tangan. Kelainan kulit baru muncul setelah beberapa hari, minggu,
bulan, bahkan tahun. Sehingga waktu dan rentetan pajanan merupakan
faktor yang paling penting.22 Gejala berupa kulit kering, eritema,
skuama, dan lambat laun akan menjadi hiperkertosis dan dapat
terbentuk fisura jika kontak terus berlangsung.1

Gambar 4.4 : DKI kronis akibat efek korosif dari semen

DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh


karena itu lebih banyak ditemukan pada tangan dibandingkan dengan
bagian lain dari tubuh (contohnya: tukang cuci, kuli bangunan, montir
bengkel, juru masak, tukang kebun, penata rambut).1

4. Reaksi Iritan
Secara klinis menunjukkan reaksi akut monomorfik yang dapat
berupa skuama, eritema, vesikel, pustul, serta erosi, dan biasanya
terlokalisasi di dorsum dari tangan dan jari. Biasanya hal ini terjadi pada
orang yang terpajan dengan pekerjaan basah. Reaksi iritasi dapat
sembuh, menimbulkan penebalan kulit atau dapat menjadi DKI
kumulatif.1
48

Gambar 4.5 : Reaksi Iritan

5. Reaksi Traumatik (DKI Traumatik)


Reaksi traumatik dapat terbentuk setelah tauma akut pada kulit
seperti panas atau laserasi. Biasanya terjadi pada tangan dan
penyembuhan sekitar 6 minggu atau lebih lama. Lokasi tersering di
tangan.1

Gambar 4.6 : DKI Traumatik

6. Dermatitis Kontak Iritan Noneritematous


Juga disebut reaksi suberitematous. Pada tingkat awal dari iritasi
kulit, kerusakan kulit terjadi tanpa adanya inflamasi, namun perubahan
kulit terlihat secara histologi. Gejala umum yang dirasakan penderita
adalah rasa terbakar, gatal, atau rasa tersengat. Iritasi suberitematous ini
dihubungkan dengan penggunaan produk dengan jumlah surfaktan
49

yang tinggi.7 Penyakit ini ditandai dengan perubahan sawar stratum


korneum tanpa tanda klinis (DKI subklinis).1

7. Dermatitis Kontak Iritan Subyektif


Juga disebut DKI sensori; karena kelainan kulit tidak terlihat,
namun pasien merasa seperti tersengat (pedih) atau terbakar (panas)
setelah berkontak dengan bahan kimia tertentu, misalnya asam laktat.1

2.4.6 Pemeriksaan Penunjang


Standar utama pemeriksaan penunjang pada dermatitis kontak
adalah uji tempel (patch test).23
Dasar pelaksanaan uji tempel – Patch Test adalah sebagai berikut:
a. Bahan yang diujikan (dengan konsentrasi dan bahan pelarut
yang sudah ditentukan) ditempelkan pada kulit normal,
kemudian ditutup
b. Biarkan selam 2 hari (minimal 24 jam)
c. Kemudian bahan tes dilepas dan kulit pada tempat tempelan
tersebut dibaca tentang perubahan atau kelainan yang terjadi
pada kulit. Pada tempat tersebut bisa kemungkinan terjadi
dermatitis berupa: eritema, papul, oedema atau fesikel, dan
bahkan kadang-kadang bisa terjadi bula atau nekrosis.
Persiapan menjelang uji tempel tidak begitu ketat, sebaiknya
dihindari pemakaian obat-obatan antihistamin dan kortikosteroid,
terutama pada penggunaan lokalnya.24
Kulit yang ditempel ini perlu dievaluasi lagi pada hari ke 4 atau
5, karena reaksi positif mungkin tidak muncul sebelumnya. 25

Keadaan kulit
a. Bebas dari dermatitis
b. Pada bekas dermatitis sebaiknya dilakukan sebulan setelah
sembuh
50

c. Tidak terlalu dekat dengan dermatitisyang ada, sebab daerah


tersebut lebih peka hingga dapat menimbulkan reaksi positif
palsu
d. Bebas dari kelainan kulit yang lain terutama yang dapat
menyulitkan pembacaan atau akibat lain yang tidak kita
harapkan. Misalnya nevus atau tumor-tumor prakanker: kalau
terjadi reaksi berupa dermatitis dan gatal maka akan digaruk.
Ini merupakan rangsangan terhadap nevus atau prakanker tadi
untuk mengalami malignansi
e. Bebas dari rambut yang lebat
f.
Bebas dari kosmetik, salep-salep. Kortikosteroid topikal harus
dibebaskan pula paling sedikit 2 minggu sebelumnya.24

Daerah tempat tes


Pilihan utama: punggung, oleh karena:
a. Lapisan tanduk cukup tipis sehingga penyerapan bahan cukup
besar
b. Tempatnya luas sehingga banyak bahan yang bisa diteskan
secara serentak (bisa sampai 50 bahan atau lebih)
c. Tempatnya terlindung hingga tidak mudah lepas, baik disengaja
maupun tidak
d. B ahan yang menempel tidak banyak mengalami gerakan, lepas
atau kendor, sehingga kontaknya dengan kulit cukup terjamin
e. Jika terjadi dermatitis atau sampai terjadi sikatriks tidak tampak
dari luar oleh karena terlindung.
Pilihan lain:
a. Lengan atas bagian lateral
b. Lengan bawah bagian volar.24

Bahan tes
Mungkin bahan itu berupa benda padat atau cair. Jika bahan
tersebut dilakukan secara langsung mungkin akan memberikan reaksi
51

yang tidak kita diharapkan, misalnya reaksi iritasi. Bahan padat


atau cair dilarutkan atau dicampurkan dalam bahan tertentu dan
dalam konsentrasi tertentu pula, sehingga kemungkinan yang timbul
benar- benar reaksi alergi, bukan reaksi iritasi. Bahan pelarut atau
vehikulum yang dipilih yaitu:
a. Air
b. Ethyl alkohol absolut
c. Acetone
d. Isobuthyl ketone
e. Methyl ethyl ketone
f. Buthyl atau ethyl ketone
g. Olium olivarium
h. Parafin cair
i. Vaselin kuning
Konsentrasi yang digunakan pada umumnya sudah ditentukan
berdasarkan penelitian-penelitian. Menurut pengalaman para
peneliti dermatitis kontak. Ada beberapa zat yang sering menimbulkan
dermatitis kontak, sehingga Kelompok Rise t Der ma titi s K onta k
Inter nasiona l (ICDRG = International Contact Dermatitis
Research Group) menetapkan standar untuk tes dengan bahan-bahan
tersebut, dengan pelarut dan konsentrasi yang ditetapkan. Setiap
melakukan uji tempel, bahan-bahan tersebut hampir selalu disertakan.
Berikut daftar allergen standar uji tempel yang dianjurkan
oleh ICDRG (hanya menampilkan 5 contoh):
a. Kalium bichromat 0,5% dalam vaselin
b. Cobalt chloride 1% dalam vaselin
c. Nickel sulfat 5% dalam vaselin
d. Formaldehyde 2% dalam air
e. Para phenylene diamine 1% dalam vaselin
TRICONTACT (sebuah kelompok riset di Belgia)
menambahkan bahan dalam daftar tersebut dengan 5 buah lagi, yaitu
benzocaine, acidum abeticum, coal tar, sulfanilamide dan
52

promethazine. GERDA (kelompok riset di Perancis )


menambahkan 3 bahan, yaitu garam Hg, Resine formaldehyde p-t-
butyl-phenol dan Frulania (sejenis tumbuh-tumbuhan). Beberapa
negara di Amerika menetapkan standar sendiri yaitu Standar
Amerika (2 3 bahan), sedangka n untuk negara-negara Eropa juga
menetapkan Standar Eropa (23 bahan).24

Bahan Penutup
Untuk uji tempel tertutup digunakan bahan penutup yang
merupakan suatu kesatuan, disebut Unit Uji tempel, yang terdiri atas:
a. Kertas saring berbentuk bulat atau persegi, dengan
diameter kira-kira 1 cm.
b. Bahan impermeabel dengan diameter kira -kira 2,5 cm.
c. Plester dengan diameter kira -kira 4,5 cm.7
53

Cara Penempelan
Bahan ditempelkan pada kulit dengan jarak satu sama lain cukup
jauh sehingga jika terjadi reaksi tidak saling mengganggu.
Menempelnya cukup lekat, tidak mudah lepas, sehingga penyerapan
bahan lebih sempurna.24

Lamanya Tes
Penempelan dipertahankan selama 24 jam untuk memberi
kesempatan absorbsi dan reaksi alergi dari kulit yang memerlukan
waktu lama. Meskipun penyerapan untuk masing-masing bahan
bervariasi, ada yang kurang dan ada yang lebih dari 24 jam, tetapi
menurut para peneliti waktu 24 jam sudah memadai untuk
kesemuanya, sehingga ditetapkan sebagai standar.24

Penilaian atau Interpretasi atau Pembacaan

Setelah 48 jam bahan tadi dilepas. Pembacaan dilakukan 15-25


menit kemudian, supaya kalau ada tanda- tanda akibat tekanan,
penutupan dan pelepasan dari Unit uji tempel yang menyerupai
bentuk reaksi, sudah hilang. Cara penilaiannya ada bermacam-macam
pendapat. Yang dianjurkan oleh ICDRG sebagai berikut:24
54

Tabel 2. Interpretasi Hasil Patch Test10


Simbol Morfologi Interpretasi
- Tidak ada reaksi Negatif
? Hanya eritema, tanpa infiltrasi Hasil meragukan
+ Eritema, infiltrasi, dan bisa Reaksi positif lemah
ditemukan papul diskret
++ Eritema, infiltrasi, papul, vesikel Reaksi positif kuat
+++ Eritema, infiltrasi, vesikel konfluen Reaksi positif ekstrim
Ir Tipe reaksi yang berbeda (reaksi Reaksi iritan
sabun, vesikel, bula )
Nt Tidak dites

Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah


aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi24. Pembacaan kedua
ini penting untuk membantu membedakan antara respon alergi atau
iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak lagi respon positif
alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah 96 jam aplikasi, olek
karena itu perlu dipesan kepada pasien untuk melapor, bila hal itu
terjadi sampai 1 minggu setelah aplikasi. Dari hasil penelitian
didapatkan bahwa 10% pasien menjadi (+) pada hari ke-7, padahal pada
hari ke-2 dan ke-4 menunjukkan hasil negatif. Alergen yang paling
sering menjadi positif setelah hari ke-4 adalah neomycin, tixocortol
pivalate, dan nikel.24
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi
dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergi biasanya menjadi
lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua, berawal dari +/- ke +
atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe crescendo), sedangkan respon iritan
cenderung menurun (reaksi tipe descrecendo). Bila ditemukan respon
positif terhadap suatu alergen, perlu ditemukan relevannya dengan
keadaan klinik, riwayat penyakit dan sumber antigen di lingkungan
penderita. Mungkin respon positif tersebut berhubungan dengan
penyakit yang sekarang atau penyakit masa lalu yang pernah dialami,
55

atau merupakan reaksi silang dari allergen lain yang sejenis, atau
mungkin tidak ada hubungannya (tidak diketahui)24.
Reaksi positif klasik terdiri atas eritem, edem, dan vesikel-vesikel
kecil yang letaknya berdekatan. Reaksi positif palsu dapat terjadi antara
lain apabila konsentrasi terlalu tinggi, atau bahan tersebut bersifat iritan
bila dalam keadaan tertutup (oklusi), efek pinggir uji tempel, umumnya
karena iritasi, bagian tepi menunjukkan reaksi lebih kuat, sedang
dibagian tengahnya reaksi ringan atau sama sekali tidak ada. Ini
disebabkan karena meningkatnya konsentrasi iritasi cairan di bagian
pinggir. Sebab lain karena efek tekan, terjadi bila menggunakan bahan
padat. Reaksi negatif palsu dapat terjadi misalnya konsetrasi terlalu
rendah, vehikulum tidak tepat, bahan uji tempel tidak melekat dengan
baik atau longgar akibat pergerakan, kurang cukup waktu penghentian
pemakaian kortikosteroid sistemik atau topikal poten yang lama dipakai
pada uji tempel dilakukan.1

2.4.7 Diagnosis Banding


1. Dermatitis Kontak Alergi
56

Dermatitis (peradangan kulit) yang timbul setelah kontak dengan


alregen melalui proses sensitisasi. Penyebabnya biasa berupa bahan
logam berat, kosmetik, bahan perhiasan, obat-obatan, karet dan lainnya.
Dermatitis ini dapat terjadi pada semua umur dengan frekuensi yang
sama pada pria dan wanita. Terdapat kemerahan pada daerah kontak,
kemudian timbul eritema, papul, vesikel, erosi dan penderita selalu
mengeluhkan gatal.6
Penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe IV dan
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan timbul akibat
pajanan suatu alergen, yang sebelumnya sudah terpajan oleh alergen
yang sama.26

2. Dermatitis Atopik

Dermatitis atopik adalah penyakit peradangan kulit yang kronis,


ditandai rasa gatal ringan sampai berat, bersifat kumat-kumatan,
sebagian muncul pada saat bayi dan anak.27
Berbagai faktor turut berperan dalam patogenesis dermatitis
atopik antara lain faktor genetik terkait dengan kelainan sawar kulit,
kelainan imunologik, dan faktor lingkungan.27
Kelainan kulit dimulai dengan eritema, papul-papul, vesikel
sampai erosi dan likenifikasi. Penderita tampak gelisah, gatal dan sakit
berat.6
57

3. Tinea Pedis

Tinea pedis adalah salah satu infeksi kulit pada sela jari kaki dan
telapak kaki yang disebabkan oleh Trichophyton rubrum. Tinea pedis
sering menterang orang dewasa usia 20-50 tahun yang berkerja di
tampat basah seperti tukang cuci mobil dan motor, petani atau orang
yang harus setiap hari memakai sepatu tertutup.28
Terdapat 3 bentuk klinis yang paling sering dijumpai yaitu :
a. Bentuk intertriginosa, manifestasi klinis berupa maserasi,
deskuamasi, dan erosi pada sela jari. Tempak warna keputihan
basah dan dapat terjadi fisura yang terasa nyeri bila tersentuh.
b. Bentuk vesikular akut, terbentuknya vesikula dan bula yang
terletak agak dalam di bawah kulit dan sangat gatal. Lokasi paling
sering adalah telapak kaki bagian tengah dan kemudian melebar
serta vesikulanya memecah.
c. Bentuk moccasain foot, seluruh kaki dari telapak kaki, tepi
sempai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersuama.21

2.4.8 Tatalaksana
Pada dasarnya penatalakasanaan pada dermatitiis kontak iritan
terdapat 3 prinsip utama yaitu : penghentian pajanan terhadap bahan
iritan yang dicurigai, perlindungan bagian tubuh yang terpapar, dan
penggantian bahan iritan dengan yang tidak bersifat iritan.29
58

Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan


kortikosteroid topikal, misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan
yang kronis dapat diawali dengan kortikosteroid yang potensial kuat.1
Kortikosteroid topikal tidak boleh digunakan terus menerus
karena dapat menyebabkan takifilaksis dan beberapa efek samping
merugikan, misalnya atrofi dan stria.29
Pengobatan sistemik juga dapat diberikan berupa antihistamin
yang bertindak sebagai antipruritus. Antihistamin yang dipilih
sebaiknya disesuaikan dengan pekerjaan pasien, yang mana
antihistamin generasi pertama memiliki efek sedatif yang cukup kuat
sehingga penggunaan antihistamin generasi kedua seperti cetirizine dan
loratadine lebih baik diberikan.29

2.4.9 Prognosis
Prognosisnya kurang baik jika bahan iritan penyebab dermatitis
tersebut tidak dapat disingkirkan dengan sempurna. Keadaan ini sering
terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya multifaktor, juga pada
penderita atopi.1

2.5 Neurodermatitis
2.5.1 Defenisi
Neurodermatitis adalah peradangan kulit kronis, yang ditandai
dengan kulit tebal dan garis kulit tampak menonjol (likenifikasi)
menyerupai batang kayu. Gejala neurodermatitis timbul dikarenakan
respon kutaneus terhadap garukan atau gosokan yang terus menerus
karena rangsangan pruritogenik. Penyebab utama dari neurodermatitis
belum diketahui, namun pada dasarnya gejala pruritus memilki peran
sentral dalam timbulnya reaksi kulit berupa likenifikasi. 1,30.

2.5.2 Epidemiologi
Penyakit ini dapat mengenai semua kelompok umur mulai dari
anak-anak sampai dewasa. Kelompok usia dewasa 30 – 50 tahun paling
59

sering mengalami keluhan neurodermatitis. Neurodermatitis dapat


terjadi pada laki-laki dan wanita, tetapi lebih sering dilaporkan terjadi
pada wanita terutama pada umur pertengahan Individu.
Neurodermatitis jarang terjadi pada anak-anak, karena neurodermatitis
merupakan penyakit yang bersifat kronis dan dipengaruhi oleh keadaan
emosi dan penyakit yang mendasarinya. Dilihat dari ras dan suku
bangsa, Asia terutama ras mongoloid lebih sering terkena penyakit ini
kemungkinan karena faktor protein yang dikonsumsinya berbeda
dengan ras dan suku bangsa lainnya1,30

2.5.3 Etiopatogenesis
Pruritus memainkan peran sentral dalam timbulnya pola reaksi
kulit berupa likenifikasi. Hipotesis mengenai pruritus dapat oleh karena
adanya penyakit yang mendasari, misalnya gagal ginjal kronis,
obstruksi saluran empedu, limfoma Hodgkin, hipertiroid, penyakit kulit
seperti dermatitis atopik, dermatitis kontak alergi, gigitan serangga, dan
aspek psikologi dengan tekanan emosi. Pada neurodermatitis jumlah
eosinofil meningkat. Eosinofil yang berisi protein X dan protein
kationik akan menimbulkan degranulasi sel mast . Degranulasi sel mast
akan mengaktifkan sel-sel saraf sumsum tulang sebagai
kompensasinya. Sel-sel saraf yang berisi CGRP (Calcitonin Gene-
Related Peptide) dan SP (substance P), jumlahnya di dermis juga akan
meningkat sehingga akan melepaskan histamin dari sel mast yang
selanjutnya akan memicu pruritus. Semakin tinggi eosinofil pasien
yang mengalami neurodermatitis akan semakin sering pasien mengeluh
gejala gatal1,6,30.
Trauma mekanik kronis pada kulit berupa garukan atau gosokan
akan mengakibatkan penebalan pada kulit. Garukan dan gosokan
berulang (yang dipicu factor asing atau dari diri sendiri) menghasilkan
nodular likenifikasi dan hyperkeratosis. Gatal pada neurodermatitis
bersifat lokal. Tempatnya tergantung dimana sering terpapar
rangsangan pruritogenik. Pada individu yang mengalami
60

neurodermatitis rasa ingin menggaruk sangat besar, pasien akan


merasakan adanya gatal yang hebat dan tidak dapat mengontrol untuk
menggosok atau menggaruk pada tempat yang gatal30
Neurodermatitis dipengaruhi oleh keadaan emosi pasien.
Gejalanya akan timbul seiring dengan emosi pasien yang tinggi. Dari
pemeriksaan efloresensi akan tampak hiperpigmentasi pada kulit, lesi
purpura dengan permukaan tidak rata, ekskoriasi pada tempat yang
gatal dan dapat menjadi krusta. Hasil efloresensi ini disebabkan karena
seringnya pasien menggaruk bagian yang gatal. Dari hasil studi
immunohistokimia menunjukkan peningkatan jumlah dari sel-sel saraf
pada kulit terjadi terutama pada neurodermaitis. Pada pemeriksaan
biopsy kulit menunjukkan secara signifikan penurunan kepadatan
jaringan saraf intraepidermal, yang mengacu pada subklinikal neuropati
sejumlah kecil jaringan. Pada studi lainnya mengindikasikan bahwa
sitokin berhubungan dengan STAT 6 beraktivasi bersama dengan
beberapa stimulus yang tidak diketahui yang mengaktivasi STST 3
yang mempunyai peranan penting dalam pathogenesis
neurodermatitis.6,30
Pada pasien yang memiliki faktor predisposisi, garukan kronik
dapat menimbulkan penebalan dan likenifikasi. Jika tidak diketahui
penyebab yang nyata dari garukan, maka disebut neurodermatitis
sirkumskripta. Adanya garukan yang terus-menerus diduga karena
adanya pelepasan mediator dan aktivitas enzim proteolitik. Walaupun
sejumlah peneliti melaporkan bahwa garukan dan gosokan timbul
karena respon dari adanya stress. Adanya sejumlah saraf mengandung
immunoreaktif CGRP (Calsitonin Gene-Related Peptida) dan SP
(Substance Peptida) meningkat pada dermis. Hal ini ditemukan juga
pada prurigo nodularis, tetapi tidak pada neurodermatitis sirkumskripta.
Sejumlah saraf menunjukkan imunoreaktif somatostatin, peptide
histidine, isoleucin, galanin, dan neuropeptida Y, dimana sama pada
neurodermatitis sirkumskripta, prurigo nodularis dan kulit normal. Hal
tersebut menimbulkan pemikiran bahwa proliferasi nervus akibat dari
61

trauma mekanik, seperti garukan dan goresan. SP dan CGRP


melepaskan histamin dari sel mast, dimana akan lebih menambah rasa
gatal. Membran sel schwann dan sel perineurium menunjukkan
peningkatan dan p75 nervus growth factor, yang kemungkinan terjadi
akibat dari hyperplasia neural. Pada papilla dermis dan dibawah dermis
alpha-MSH (Melanosit Stimulating Hormon) ditemukan dalam sel
endotel kapiler31

2.5.4 Gejala Klinis


Keluhan utama dari neurodermatitis ialah gatal berulang. Pasien
akan mengeluh gatal yang hilang timbul terutama saat sore hari. Rasa
gatal memang tidak terus menerus, biasanya pada waktu tidak sibuk,
bila muncul sulit ditahan untuk tidak digaruk. Penderita merasa enak
bila digaruk; setelah luka, baru hilang rasa gatalnya untuk sementara
(karena diganti dengan rasa nyeri). Lesi biasanya tunggal, pada awalnya
berupa plak eritematosa, sedikit edema, lambat laun edema dan eritema
menghilang, bagian tengah berskuama dan menebal, likenifikasi dan
ekskoriasi; sekitarnya hiperpigmentasi, batas dengan kulit normal tidak
jelas. Gambaran klinis dipengaruhi juga oleh lokasi dan lamanya lesi
akibat digaruk. Letak lesi dapat timbul dimana saja, tetapi yang biasa
ditemukan adalah di scalp, tengkuk, samping leher, lengan bagian
ekstensor, pubis, vulva, skrotum, perianal, paha bagian medial, lutut,
tungkai bawah lateral, pergelangan kaki bagian depan, dan punggung
kaki1,6
Neurodermatitis di daerah tengkuk (lichen nuchae) umumnya
hanya pada wanita, berupa plak kecil di tengah tengkuk atau dapat
meluas hingga ke scalp. Biasanya skuamanya banyak menyerupai
psoriasis. Variasi klinis neurodermatitis dapat berupa prurigo nodularis,
akibat garukan atau korekan tangan penderita yang berulang-ulang pada
suatu tempat. Lesi berupa nodus berbentuk kubah, permukaan
mengalami erosi tertutup krusta dan skuama, lambat laun menjadi keras
dan berwarna lebih gelap (hiperpigmentasi). Lesi biasanya multipel;
62

lokalisasi tersering di ekstremitas; berukuran mulai beberapa milimeter


sampai 2 cm1
Keparahan gatal dapat diperburuk bila pasien berkeringat, pasien
berada pada suhu yang lembab, atau pasien terkena benda yang
merangsang timbulnya gatal (alergen). Gatal juga dapat bertambah
pada saat pasien mengalami stress psikologis. Pada pasien muda,
keluhan gatal umumnya kurang dirasakan karena tidak begitu
mengganggu aktivitasnya, akan tetapi keluhan gatalnya sangat
dirasakan seiring bertambahnya usia dan faktor pemicu stressnya.
Kelainan kulit yang terjadi bisa berupa eritem, edema, papul,
likenifikasi (bagian yang menebal), kering, berskuama atau
hiperpigmentasi. Ukuran lesi bervariasi, berbatas tidak tegas dan bentuk
umumnya tidak beraturan. Lesi pada setiap individu pasien berbeda.
Tidak ada penjelasan yang tegas mengenai berapa lama lesi pada
neurodermatitis terbentuk. lesi tergantung dari sering dan lamanya
pasien mengalami keluhan gatal dan menggaruknya. Dari pemeriksaan
efloresensi, lesi tampak likenifikasi berupa penebalan kulit dengan
garis-garis kulit yang semakin terlihat, terlihat plak dengan ekskoriasi
serta sedikit eritematosa (memerah) dan edema. Pada lesi yang sudah
lama, lesi akan tampak berskuama pada bagian tengahnya, terjadi
hiperpigmentasi (warna kulit yang digaruk berubah menjadi kehitaman)
pada bagian lesi yang gatal, bagian eritema dan edema akan
menghilang, dan batas lesi dengan bagian kulit normal semakin tidak
jelas.6,31

2.5.5 Pemeriksaan Penunjang


A. Pemeriksaan Uji Tempel
B. Pemeriksaan Laboratorium
Dasar gejala neurodermatitis ialah pruritus. Pruritus terjadi
bisa berasal dari reaksi alergi pasien atau reaksi penyakit yang
mendasarinya (gangguan metabolisme atau gangguan
hematologi). Untuk mengobati neurodermatitis kita juga harus
63

mengetahui penyakit dasar yang menyebabkan terjadinya


pruritus. Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk mengetahui
penyakit dasarnya. Dalam pemeriksaan laboratorium bisa
dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap, pemeriksaan hitung
jenis, pemeriksaan fungsi hati, pemeriksaan fungsi ginjal, dan
pemeriksaan gula darah.
Gangguan metabolism yang sering menyebabkan pruritus,
contohnya ialah diabetes mellitus. Pada pasien diabetes mellitus
yang lanjut, pasien akan mengalami neuropati. Neuropati
menyebabkan pasien kurang sensitif terhadap infeksi dan allergen
dari luar. Sehingga pasien akan terkena allergen secara berulang
tanpa disadari. Semakin sering pasien terkena allergen, semakin
sering pasien mengeluh gatal maka akan semakin mudah pasien
mengalami neurodermatitis. Pada pemeriksaan hitung jenis, kita
juga bisa memeriksa kadar eosinofil pasien, terutama pasien yang
memiliki riwayat alergi1,30
C. Histopatologi
Gambaran histopatologi neurodermatitis memperlihatkan
Penebalan epidermis sehingga tampak ortokeratosis,
hipergranulosis, akantosis dengan rate ridges memanjang teratur
dan kadang didapatkan sedikit papilomatosis dan spongiosis.
berserbukan sel radang limfosi dan histiosit dis ekitar pembuluh
darah dermis bagian atas, fibroblast bertambah, kolagen
menebal.7
64

Gambar 5.1. Gambaran histopatologi neurodermatitis berupa ortokeratosis,


hipergranulosis, akantosis dengan rate ridges memanjang teratur

2.5.6 Diagnosis
Diagnosis neurodermatitis ditegakkan berdasarkan anamnesa
pasien mengenai riwayat dan perjalanan penyakitnya dan gambaran
lesi dari kulitnya yang khas. Perlunya pemeriksaan lanjut digunakan
untuk membedakan diagnosis yang memiliki kesamaan dalam
morfologi maupun efloresensinya. Dari anamnesis, keluhan utama dari
pasien biasanya ialah gatal-gatal pada kulit lokal yang terjadi sudah
lama. Bisa disertai dengan riwayat alergi ataupun riwayat penyakit yang
mendasarinya (diabetes mellitus) atau tidak. Dari pemeriksaan
efloresensi bisa terlihat gambaran likenifikasi berupa penebalan kulit
dengan garis-garis kulit yang semakin terlihat, terlihat plak dengan
ekskoriasi serta sedikit eritematosa (memerah) dan edema. Pada lesi
yang sudah lama, lesi akan tampak berskuama pada bagian tengahnya,
terjadi hiperpigmentasi (warna kulit yang digaruk berubah menjadi
kehitaman) pada bagian lesi yang gatal, bagian eritema dan edema akan
menghilang7

Gambar 5.2 . lesi erosi hingga ekskoriasi,eritema,sirkumskripta,likenifikasi,lokasi : ekstensor


lengan bawah)
65

Gambar 5.3 likenifikasi pada bagian ekstensor ekstremitas inferior

2.5.7 Diagnosis Banding


A. Dermatitis atopik tipe dewasa

Dermatitis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan


residif.dengan keluhan utama gatal. Dermatitis atopik sering
berhubungan dengan peningkatan kadar igE dalam serum atau riwayat
atopi pada pasien atau keluarga pasien (Rhinitis alergi atau asma
bronkial). Kelainan kulit pada dermatitis atopik berupa papul,
ekskoriasi, dan likenifikasi. Persamaan dermatitis atopik dengan
neurodermatitis ialah adanya rasa gatal pada kulit disertai likenifikasi
dan hiperpigmentasi. Gangguan emosi juga mempengaruhi keadaan
dermatitis atopik. Penyakit ini lebih banyak terdapat pada wanita, anak-
anak dan remaja. Penyakit ini cenderung menurun setelah usia 30 tahun.
Dari hasil penelitian Hanifin dan Rajka, dapat disimpulkan
bahwa diagnosis dermatitis atopik dapat ditegakkan jika memiliki
kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor berupa keluhan pruritus
66

(gatal-gatal), memiliki riwayat atopi penderita atau keluarga, memiliki


riwayat dermatitis yang kronis dan residif, serta umumnya pada pasien
dewasa dermatitis terjadi dibagian fleksura. Sedangkan kriteria minor
berupa xerosis, gatal bila berkeringat, muka pucat atau eritem, orbita
gelap, sering mengalami infeksi kulit, dan sering mengalami dermatitis
nonspesifik pada tangan atau kaki. Perbedaan antara dermatitis atopik
dengan neurodermatitis bisa dilihat dari tempat predileksinya dan
riwayat atopi pada pasiennya. tempat predileksi dari dermatitis atopik
pada masa dewasa ialah disekitar lipat siku, lipat paha, disamping leher,
dahi dan disekitar mata7

B. Prurigo nodularis
Prurigo nodularis merupakan penyakit kronik pada orang dewasa
yang ditandai oleh adanya nodus kutan yang gatal, terutama terdapat
dibagian ekstremitas bagian ekstensor. Prurigo nodularis sering
dianggap neurodermatits sirkumpskripta bentuk nodular atipik atau
dengan liken planus bentuk hipertropik. Bentuknya yang nodul
membuat klinis sering salah mengartikan antara prurigo nodularis
dengan neurodermatitis sirkumpskripta bentuk nodular atipik. Kausa
dari prurigo nodularis belum diketahui, tetapi serangan-serangan gatal
timbul bila terdapat atau mengalami ketegangan emosional. Prurigo
nodularis merupakan penyakit kulit kronik yang sering menyerang
orang dewasa terutama wanita. Lesinya berupa nodus, yang tunggal
atau multiple, bisa mengenai ekstremitas terutama tempat predileksinya
anterior paha dan tungkai bawah. Lesi bisa sebesar kacang polong
dengan warna merah atau kecoklatan. Keluhan utama prurigo nodularis
ialah adanya rasa gatal lokal yang terjadi sudah lama. Persamaan
prurigo nodularis dengan neurodermatitis ialah keluhan gatal kronis
yang dipengaruhi oleh keadaan emosi, serta sering terjadinya proses
likenifikasi dan hiprepigmentasi jika sudah terjadi dalam jangka waktu
yang lama. Sedangkan perbedaan antara prurigo nodularis dengan
neurodermatitis ialah tempat predileksi prurigo nodularis pada bagian
67

ekstremitas ekstensor terutama anterior paha dan tungkai bawah,


Lesinya berbatas tegas antara lesi dengan kulit yang normal, Serta pada
pemeriksaan histologik didapatkan penebalan epidermis yang tampak
hyperkeratosis, hipergranulosis, dan akantosis yang tidak teratur
(hiperplasi psoriasiformis32

Gambar 5.4 Tampak Papula miliar,likenifikasi dan hiperpigmentasi,skuama.

2.5.8 Tatalaksana
Penjelasan mengenai munculnya pruritus yang disebabkan oleh
allergen atau penyakit dasar yang menyebabkan gatal hingga terjadinya
neurodermatitis merupakan terapi non medika mentosa terbaik untuk
pasien guna mencegah timbulnya keluhan gatal berulang. Perlu
dijelaskan kepada penderita bahwa garukan akan memperburuk
keadaan penyakitnya, oleh karena itu harus dihindari. Selain penjelasan
diatas, mengurangi paparan terhadap allergen yang memicu terjadinya
pruritus juga berguna untuk mengurangi keadaan gatal berulang33.
Terapi medika mentosa yang dapat diberikan ialah dengan
pemberian obat sesuai gejala. Untuk mengurangi rasa gatal dapat
diberikan antipruritus dan kortikosteroid topikal atau intralesi.
Antipruritus dapat berupa antihistamin yang mempunyai efek sedatif
(contoh: hidroksizin, difenhidramin, prometazin) atau tranquilizer.
Dapat pula diberikan secara topikal krim doxepin 5% dalam jangka
pendek (maksimum 8 hari). Kortikosteroid yang dipakai biasanya
berpotensi kuat, Ada pula yang mengobati dengan UVB dan PUVA.
68

Perlu dicari kemungkinan ada penyakit yang mendasarinya, bila


memang ada harus juga diobati 33
A. Antihistamin
Peranan antihistamin oral sangat penting dalam pengobatan
pruritus. Antihistamin siistemik sangat efektif untuk keluhan gatal yang
hebat. Antihistamin hanya digunakan untuk keluhan pruritus yang
disebabkan oleh pelepasan histamin. Karena belum tentu pruritus
disebabkan oleh histamine maka antihistamin hanya bisa mengurangi
gejala pada keluhan tertentu. Antihistamin golongan H1 (generasi
pertama) : Clemastin, hydroxyzine, dan promethazin dapat diberikan
untuk pasien yang mengalami keluhan gatal dan disertai keluhan sulit
tidur. Golongan H1 selain membantu pasien untuk menghilangkan
keluhan gatal, golongan H1 juga bersifat sedative yang juga
mengurangi pemicu pruritus seperti emosi. Antihistamin golongan H2
(generasi kedua) meliputi:cetirizin,levocetirizin, loratadin,
desloratadin, azelastin, fexofenadin, ebastin, atau rupatadin.
Antihistamin generasi kedua lebih ringan efek sedatifnya. Antihistamin
generasi kedua lebih tepat diberikan pada pasien-pasien muda agar
tidak menganggu aktivitasnya. Dalam pemberian antihistamin pasien
juga perlu diberitahu mengenai efek sampingnya. Berikut ini contoh
antihistamin topical33-35

1.) Dipenhidramin,
Untuk meringankan gejala pruritus yang disebabkan oleh
pelepasan histamine.
2.) Chlorpheniramine
Bekerja sama dengan histamine atau permukaan reseptor H1 pada
sel efektor di pembuluh darah dan traktus respiratori.
3.) Hidroxyzine
Reseptor H1 antagonis diperifer. Dapat menekan aktifitas
histamine diregion subkortikal sistem saraf pusat.
69

B. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada pasien
neurodermatitis. Kortikosteroid baik oral amupun salep berguna untuk
mempercepat penyembuhan dari lesi pasien. Obat kortikosteroid
sistemik yang sering digunakan prednisone 5 mg. Korikosteroid topical
ialah terapi medika mentosa pilihan karena dapat mengurangi
peradangan dan gatal serta perlahan-lahan menghaluskan
hiperkeratosisnya. Karena lesinya kronik. Pentalaksanaannya biasanya
lama. Pada lesi yang besar dan aktif, steroid potensi sedang dapat
digunakan untuk mengobati inflamasi akut. Tidak direkomendasikan
untuk kulit yang tipis (vulva, skrotum, axilla dan wajah). Steroid
potensi kuat digunakan selama 3 minggu pada area kulit yang lebih
tebal. Berikut ini contoh obat kortikosteroid topical36 :
1.) Clobetasol
Topical steroid super poten kelas 1: menekan mitosis dan
menambah sintesis protein yang mengurangi peradangan dan
menyebabakan vasokonstriksi.
2.) Betamethasone dipropionate cream 0,05%.
Untuk peradangan kulit yang berespon baik terhadap
steroid. Bekerja mengurangi peradangan dengan menekan
migrasi leukosit polimorfonuklear dan memeperbaiki
permeabilitas kapiler.
3.) Triamcinolone 0,025 %, 0.1%, 0.5 % or ointment
Untuk peradangan kulit yang berespon baik terhadap
steroid. Bekerja mengurangi peradangan dengan menekan
migrasi leukosit polimorfonuklear dan memeperbaiki
permeabilitas kapiler.
4.) Fluocinolone cream 0.1 % or 0.05%
Topical kortikosteroid potensi tinggi yang menghambat
proliferasi sel. Mempuyai sifat imonusupresif dan sifat anti
peradangan.
70

C. Kalsinuerin Inhibitor
Efek antipruritik dari topical kalsinerin inhibitor
ditunjukkan dalam berbagai studi.Pada kasus prurigo nodularis
menunjukkan kesuksesan dari penggunaan kalsinerin inhibitor
takrolimus 0,1%. Seperti halnya dengan penggunaan
kortikosteroid topical ,efek samping dari kalsinuerin inhibitor
dapat menyebabkan Atropi.Pada saat pemerian kalsinerin
inhibitor, pasien sebaiknya diberitahu mengenai efek samping
dan berhati-hati terhadap paparan sinar UV termasuk fototerapi37.

D. Siklosporin
Pemberian siklosporin 3-5 mg mikroemulsi perkg berat
badan perhari pada puritus memberikan respon yang signifikan.
Pada pemberian siklosporin sebaiknya tekanan
darah,pemeriksaan darah lengkap, transamin dan fungsi ginjal
harus dikontrol secara rutin. Siklosporin menghambat fungsi dari
limfosit juga sel mast dan dapat pula menekan pertumbuhan dari
pruritus37.

2.6.9 Komplikasi
Komplikasi dari neurodermatitis dapat terjadi bila tidak adanya
control dari kebiasaan menggaruk untuk keluhan gatalnya.
Komplikasinya bisa berupa perubahan warna pada kulit yang
permanen, terdapatnya bekas luka akibat garukan sampai terjadinya
ulkus karena seringnya pasien menggaruk30.

2.6.10 Prognosis
Prognosis untuk neurodermatitis bervariasi, tergantung dari
penyebab gatal dan status psikologi dari pasien. Perbaikan pada
neurodermtitis dapat sempurna jika diperoleh dasar penyakit yang
menyebabkan gatalnya dan mengobati penyakit yang mendasari.
71

Penyakit ini bersifat kronis dan setelah sembuh dengan pengobatan


biasanya residif1.
A. Fungsionam : dubia ad bonam, bersifat residif yang bisa
menganggu aktivitas pasien jika pasien tidak mampu mencegah
terjadinya keluhan berulang
B. Vitam : ad bonam : neurodermatitis tidak menganggu keadaan
vital pasien
C. Sanationam : dubia ad bonam : bersifat kronis dan residif,
bergantung dari kemampuan pasien untuk mencegah terjadinya
pengulangan terjadinya pruritus.

2.6 Pompoliks
2.6.1 Definisi
Sinonim penyakit ini meliputi dermatitis dishidrotik, pompoliks,
dermatitis pompiks vesikular palmaris. Penyakit ini merupakan
penyakit yang umum mempengaruhi kulit palmoplantar, hal ini karena
pada kulit palmoplantar kaya akan kelenjar keringat ekrin, telah
disarankan bahwa ada hubungan antara vesikel dan kelenjar ini. Saat
ini, penyakit ini dianggap sebagai jenis dermatitis khusus dengan
spongiosis yang jelas dan akumulasi edema cairan di regio yang
memiliki epidermis tebal dan lapisan tanduk yang bahkan lebih tebal di
atasnya. Vesikel spongiosis merupakan vesikel intraepidermal.31
Istilah "dishidrosis" berasal dari bahasa Yunani yang artinya
hidrosis/keringat, diciptakan oleh Fox pada tahun 1873 untuk
menggambarkan penyakit lepuh pada telapak tangan dan telapak kaki
yang dikaitkan dengan kelainan kelenjar keringat. Istilah "dishidrosis"
merupakan istilah yang keliru karena sekarang diketahui bahwa kondisi
ini tidak ada hubungannya dengan disfungsi kelenjar keringat.31,32 Kata
pompholyx diambil dari istilah Yunani yang berarti “bubble” sesuai
gambaran klinis.33
72

2.7.2 Epidemiologi
Kelainan ini terjadi sekitar 5-20% dari seluruh kasus dermatitis
pada tangan. Dapat dijumpai di hampir seluruh dunia, lebih banyak
pada ras Asia, lebih banyak pada wanita. Biasanya lebih sering di iklim
panas, selama musim semi dan musim panas. Penyakit ini dapat terjadi
pada semua usia, umumnya pada usia sebelum 40 tahun, jarang pada
usia di bawah 10 tahun. 32,33
Literatur lainnya mengatakan, prevalensi dermatitis tangan
bervariasi dari 2 hingga 8,9% dari populasi umum, pada satu populasi
penelitian, prevalensi satu tahun dermatitis dishidrotik diperkirakan
0,5%, walaupun dermatitis dishidrotik terjadi di seluruh dunia, penyakit
ini tidak jarang terjadi pada orang Asia, karena kondisi ini lebih sering
terjadi pada cuaca panas. Usia puncak penyakit ini antara 20 - 30 tahun.
Kejadian di usia sebelum 10 tahun sangat jarang. Distribusi kejadian
pada jenis kelamin kira-kira sama.32

2.5.3 Etiopatognesis dan Histopatologis


Penyebab pasti terjadinya dermatitis dishidrotik masih belum
diketahui, sebagian besar kasus merupakan idiopatik, namun terdapat
beberapa faktor penyebab yang dapat memengaruhi perkembangan
pompoliks antara lain riwayat atopi, kontak alergi dan kontak iritan
(khususnya logam nikel dan kobalt), infeksi dermatofit, stress
psikologis, faktor lingkungan (cuaca/suhu/kelembapan), penggunaan
sarung tangan pelindung yang berkepanjangan, reaksi obat, stres
psikologis, dan merokok. 31,32,33
Pompoliks terlihat di seluruh dunia, tetapi tampaknya kurang
umum di antara orang Asia timur. Pada kasus yang jarang terjadi
terdapat kaitannya dengan genetik, hal ini didukung oleh sebuah
penelitian dari Cina yaitu lokus gen pada kromosom 18q22.1 - 18-
1822.3 antara penanda D18S465 dan D18S1362 dapat diidentifikasi
dalam keluarga besar dengan jenis pompholyx autosom dominan,
namun sebagian besar kasus pompholyx bersifat sporadis.31
73

Tabel 1. Bahan dan Obat yang Dapat menyebabkan Pompoliks.31,33

Faktor eksogen seperti kontak terhadap bahan metal seperti


nikel/balsem/kobalt atau infeksi jamur/bakteri dapat menjadi pemicu.
Antigen-antigen tersebut dapat bertindak sebagai hapten dengan
afinitas spesifik terhadap protein di stratum lusidum daerah palmar dan
plantar. Selanjutnya dapat menginduksi hipersensitivitas tipe 1 dan 4,
serta mengaktivasi limfosit T. Pengikatan hapten pada reseptor jaringan
akan menginisiasi munculnya vesikel-vesikel di daerah
palmar/plantar.33
Pada fase akut, gambaran histologis meliputi spongiosis
intraepidermal dengan pembentukan vesikel dan infiltrat inflamasi
perivaskular superfisial yang sebagian besar terdiri dari limfosit dan
histiosit. Pada fase yang kronis, terdapat beberapa fokus parakeratosis,
akantosis, hiperplasia epidermal yang tidak teratur dengan spongiosis
minimal atau tidak ada.32

2.5.4 Gejala Klinis


Klinis bervariasi mulai dari ringan hingga berat yang dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari dan dapat mempengaruhi kualitas
hidup.33
74

Keadaan ini dapat akut, kronik, atau rekuren di telapak tangan


(palmar) dan telapak kaki (plantar). Sekitar 80% kasus terjadi tangan
dan bagian lateral jari-jari, sedangkan pada telapak kaki hanya sekitar
10%, keluhan mendadak timbul vesikel-vesikel dengan gambaram
“tapioca-like” yang gatal, pada kasus yang lebih jarang dapat berupa
bula terutama pada telapak tangan dan permukaan lateral jari-jari.
selanjutnya membentuk fisura dan likenifikasi. Erupsi kulit biasanya
bersifat bilateral dan terasa gatal. 32,33 Pada beberapa pasien rasa nyeri
dan sensasi terbakar juga dapat dirasakan. Pada fase kronis, skuama,
pengelupasan kulit (deskuamasi), fisura, dan bahkan likenifikasi dapat
terjadi. Kondisi ini dapat terjadi berulang, baik kondisi akut atau kronis
dapat terjadi secara bersamaan.32
Infeksi sekunder ditandai adanya pustul dan tidak jarang dijumpai
limfangitis. Sering menggaruk lesi dan terapi yang tidak tepat dapat
menyebabkan lesi sekunder yang meluas ke volar lengan, dorsal
telapak/jari-jari, dan kuku serta terjadi penebalan dan perubahan
warna.33

Gambar 6.1 Pompoliks Telapak Tangan dengan gambaran vesikel, patch


berskuama, krusta, dan fisura.

2.5.5 Diagnosis
Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan gambaran
klinis pada penampilan ruam. Pemeriksaan penunjang dilakukan hanya
75

pada kasus-kasus tertentu Pada anamnesis perlu ditanyakan faktor risiko


seperti riwayat atopi pasien dan keluarga, paparan antigen tertentu
(kosmetik, produk higienitas, bahan metal, dLl), stres emosional,
riwayat penggunaan obat (neomisin sulfat, amoksisilin, produk iodin,
asam salisilat, parasetamol, kontrasepsi oral, mycophenolate mofetil,
imunoglobulin intravena, dll) atau infeksi HIV. 33
Pada gambaran klinis, dapat dilihat dari klinis yang mendadak
muncul berupa vesikel-vesikel yang gatal. Gatal dapat mendahului
erupsi vesikel. Tidak ada eritema, namun ada sensasi panas/tajam
mendahului serangan. Vesikel dapat berkelompok lalu membentuk bula
besar. Gejala dapat mereda spontan atau berdeskuamasi dalam 2-3
minggu. Erupsi umumnya simetris, 80% mengenai telapak tangan dan
bagian lateral jari-jari, hanya 10% yang mengenai telapak kaki.
Rekurensi sering terjadi, dapat bervariasi dari minggu, bulan, hingga
tahun. Ciri khas kelainan ini yaitu vesikel “tapiocalike” yang gatal
dengan onset tiba-tiba. pada keadaan lanjut dapat ditemukan fisura dan
likenifikasi. Pada Infeksi sekunder ditandai adanya pustul dan tidak
jarang terjadi limfangitis.33
Pada lesi berskuama batas tegas dan asimetris disertai vesikel-
vesikel di palmar/plantar, perlu dicurigai dermatofitosis, dapat
dilakukan pemeriksaan jamur. Lesi eritema terbatas pada jari atau
permukaan dorsal tangan perlu dicurigai karena dermatitis kontak, perlu
anamnesis teliti dan uji tempel. Pada vesikel yang menjadi pustular pada
palmar/plantar disertai nyeri, perlu dicurigai infeksi bakteri sekunder,
dapat dilakukan kultur pus.33

2.5.6 Diagnosis Banding


Diagnosis banding yang umum meliputi: (1) dermatitis kontak
alergi, hal ini dapat ditentukan dengan uji temple (patch test) ke berbagai
kontaminan; (2) dermatitis kontak iritan (biasanya pencucian
berlebihan, menggunakan sabun keras dan / atau pelembab yang tidak
76

memadai); (3) dermatitis atopik (biasanya keluarga atau riwayat pribadi


terhadap atopi, asma, dan/atau rhinitis).31,32,33
Sedangkan diagnosis banding yang lebih jarang meliputi: (1)
epidermolisis bulosa simpleks, (2) impetigo bulosa, (3) infeksi herpes,
(4) reaksi id, (5) penyakit IgA linier, (6) dishidrotik tinea, (7) pemfigoid
dishidrosiform, (8) pemfigus vulgaris, (9) erupsi obat tetap, (10)
pustular psoriasis, (11) pustulosis palmoplantar, (12) sifilis sekunder,
dan (13) acrodermatitis enteropathica. 31,32,33

2.5.7 Tatalaksana
Terapi dermatitis dishidrotik tidak sederhana dan sering relaps,
hal ini mungkin karena epidermis yang tebal dengan stratum korneum
yang padat dan kelenjar keringat yang banyak pada kulit yang terkena.
Tujuan terapi meliputi: (1) menekan pembentukan blister dan inflamasi,
(2) meredakan keluhan gatal, (3) mencegah/ mengobati infeksi.
keberhasilan terapi tergantung pada pendekatan multiguna sistemik,
yang terdiri dari menghindari faktor pemicu, perawatan kulit yang
optimal, farmakoterapi selama eksaserbasi akut, dan edukasi pasien.
Penilaian beratnya pompholyx menggunakan dyshidrotic eczema area
and severity index (DASI) berdasarkan jumlah vesikel/cm2 , eritema,
deskuamasi, gatal, dan perluasan. DASI dapat digunakan untuk
memantau terapi.32,33
Non farmakologi, seperti penggunaan sabun dan deterjen harus
dihindari sebisa mungkin. Tangan harus dicuci dengan air hangat (tidak
panas) dan pembersih bebas sabun. Stres emosional sering
memperburuk lesi kulit pada dermatitis atopik. Jika penghindaran tidak
memungkinkan, mekanisme koping harus dicoba.
Farmakologi topikal dapat berupa hidrasi kulit membantu
mengurangi kelembapan dan rasa gatal, serta mengembalikan fungsi
barrier kulit yang terganggu. Dengan demikian, hidrasi kulit sangat
penting untuk pencegahan dan pengelolaan pompoliks. Pelembab atau
pelembut harus dioleskan sesegera mungkin setelah mencuci tangan
77

untuk mencegah penguapan air dan menjaga kulit tetap lembut dan
lentur. Secara umum, penggunaan bentuk salep paling efektif dalam
terapi, namun penggunaanya kurang rapi sehingga dapat menyebabkan
berantakan; bentuk krim lebih dapat ditoleransi dengan lebih baik. Jenis
pelembab atau emolien harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
kulit individu.32
Kortikosteroid topikal ultrapoten merupakan terapi andalan.
Kortikosteroid topikal tidak boleh diberikan lebih dari dua kali sehari,
pemakaian yang sering tidak meningkatkan kemanjuran dan
meningkatkan risiko efek samping.32 Veien, dkk. meneliti 120 pasien
pompoliks kronik di tangan, penggunaan krim mometasone furoate
dapat mengontrol penyakit. Penggunaan steroid topikal yang lebih baik
yaitu dengan clobetasol propionate kombinasi dengan plester
hidrokoloid.31,33
Imunomodulator topikal seperti takrolimus dan pimekrolimus
tidak secepat atau seefektif kortikosteroid topikal ultrapoten dalam
pengobatan kondisi kulit ini. walaupun mereka dapat dipertimbangkan
dalam fase perawatan perawatan.32 Namun, beberapa penelitian
membuktikan bahwa penggunaan tacrolimus topikal sama efektifnya
dengan salep mometason furoate 0,1% setelah 2 minggu perawatan, hal
ini ditunjukkan dengan berkurangan DASI lebih dari 50% dengan kedua
perawatan.32,33 Baik steroid topikal dan imunomodulator umum dan
aman digunakan pada anak-anak.32
Bexarotene (Agonis reseptor retinoid X), Senyawa ini
dikontraindikasikan pada wanita premenopause tanpa kontrasepsi yang
cukup karena potensi teratogenik retinoid. Pemakaian gel bexarotene
1% tunggal atau kombinasi dengan salep hidrokortison 1% ataupun
mometasone furoate 0,1% minimal 2 kali sehari akan menghasilkan
perbaikan sebesar 50% untuk dermatitis area tangan pada pemakaian
tunggal gel bexarotene 1%, sebesar 85% dengan kombinasi topikal
mometasone furoate 0,1%, dan sebesar 64% pada kombinasi
hidrokortison 1%. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi gel
78

bexarotene dengan kortikosteroid mid-potensi topikal seperti


mometasone furoate bermanfaat, sedangkan kortikosteroid yang lebih
lemah tidak menambah manfaat dalam kombinasi tersebut.31,33
Farmakologi sistemik dapat berupa kortikosteroid sistemik,
terapi ini diperlukan dalam kasus-kasus yang lebih sukar dan digunakan
untuk waktu sesingkat mungkin (biasanya 1 minggu atau lebih) sambil
menunggu respons terhadap terapi lain.32 Dosis awal 40-100 mg/hari
tergantung keparahan penyakit, diturunkan perlahan (5-10 mg/hari
setelah 7-14 hari) setelah vesikel atau bula melepuh. Banyak literature
merekomendasikan pemberian Triamnicolone acetonide intramuskular
dengan dosis 40-80 mg. Penggunaan steroid sistemik jangka panjang
tidak dianjurkan karena efek sampingnya.31,33
Imunosupresan lain. Pada kasus pompoliks yang sukar
disembuhkan dapat diberikan terapi kombinasi steroid imunosupresan
ataupun imunosupresan lain secara monoterapi. Penggunaan
azathioprine 100-150 mg/hari, methotrexate 15-25 mg 1x/minggu,
mycophenolate mofetil 2 g/hari atau cyclosporine 2,5 mg/kg/hari
terkadang digunakan walaupun belum ada cukup bukti mengenai efikasi
dan toleransi dari agen-agen tersebut. Dapat terjadi relaps (withdrawal)
saat penghentian terapi. 31,32,33
Alitretinoin (9-cis-retinoic acid) merupakan reninoid sistemik
yang dapat digunakan untuk pompoliks kronik tangan yang resisten
terhadap pengobatan. Penelitian pada 1.032 pasien pompoliks kronik
tangan yang berat menilai efikasi dan keamanan alitretinoin oral dosis
10 mg/hari, 30 mg/hari, dan plasebo selama 24 minggu. Respons
perbaikan klinis lebih tinggi pada grup alitretinoin 30 mg (48%) dan 10
mg (28%), dibandingkan plasebo (17%) (p<0.001). Terapi ini dapat
ditoleransi baik; efek samping tergantung dosis, yaitu nyeri kepala, efek
mukokutaneus (kulit kering, bibir kering, dan cheilitis), perubahan
trigliserida, kolesterol, dan TSH.31,33
Antihistamin dapat digunakan untuk kontrol gatal, tetapi belum
terbukti efektif.33
79

2.6.8 Komplikasi
Komplikasi pompoliks berupa infeksi bakteri sekunder dapat
menyebabkan selulitis, limfangitis, limfadenitis, dan septikemia.1,2
Selain itu, perubahan susunan dan bentuk kuku (garis melintang,
penebalan, dan perubahan warna).32,33

2.6.9 Prognosis
Dishidrosis merupakan penyakit yang jinak bisa berlangsung
kronis dan sering kambuh tetapi dapat terjadi remisi spontan dalam 2
sampai 3 minggu.32,33 Interval dalam serangan bisa terjadi dalam
minggu hingga bulan. Disabilitas dapat terjadi karena beratnya
manifestasi klinis dan seringnya kekambuhan. 32,33
BAB III
KESIMPULAN

1. Dermatitis adalah peradangan kulit pada epidermis dan dermis sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, yang dapat
menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema,
papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal.1
2. Penyakit dermatitis merupakan hal yang sering terjadi, karena penyakit ini
dapat menyerang pada orang dengan rentang usia yang bervariasi, mulai dari
bayi hingga dewasa serta tidak terkait dengan faktor jenis kelamin.1
3. Pada umumnya penderita dermatitis mengeluh gatal. Kelainan kulit
bergantung pada stadium penyakit, batasnya dapat sirkumsrip, dapat pula
difuse. Penyebarannya dapat setempat, generalisata, dan universalis.1
4. Gambaran klinis tidaklah harus sesuai stadium, karena suatu penyakit
dermatitis muncul dengan gejala stadium kronis. Begitu pula dengan
efloresensi tidak harus polimorfik, karena dapat muncul oligomorfik
(beberapa) saja.
5. Penatalaksaan padaa dermatitis umumnya pengobatan bersifat simtimatis,
yaitu dengan mengilakn/menguranfi keluhan dan gejala, serta menekan
peradangan.1

80
DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors. 2016. Ilmu Penyakit Kulit


dan Kelamin. Ed 7.Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
2. Du vivier, Anthony. Atlas of Clinical Dermatology. Edisi keempat. UK.
2013.
3. Kariosentono H. Dermatitis Atopik (Eksema). Jawa Tengah. 2006.
4. Kartowigno S. Sepuluh Besar Kelompok Penyakit Kulit. Edisi Kedua.
Palembang: FKUNSRI. 2011.
5. Lawita, Sarimin dan Karundeng. E-Kp: Hubungan Faktor Lingkungan
dengan Kejadian Dermatitis pada Usia Sekolah di Desa Tabang Barat
Kecamatan Rainis Kabupaten Kepulauan Talaud. Vol.3, No.2.
FKSamRatulangi. 2015.
6. Siregar. R.S. Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : EGC.
2004.
7. Wolff dan Johnson. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology. Edisi ketujuh. US. 2013.
8. Katzung. Farmakologi Dasar & Klinik. Edisi 12. Jakarta: EGC. 2014.
9. Wirantari dan Prakoeswa. Penggunaan Kalsineurin Inhibitor sebagai
Imunomodulator Topikal pada Dermatitis Atopik. FKAirlangga. 2014.
10. Miller JL. Nummular Dermatitis. Available at :
http://www.emedicine.com. Accessed on June 18, 2020.
11. Statescua L, Branisteanu D, Dobreb C, Solovastru LG, Vasilcab A, Petrescu
Z, Azoicaic D. Contact dermatitis – epidemiological study. Maedica A
Journal of Clinical Medicine, Volume 6 No.4; 2011. P 277-281
12. Matthias Peiser. Role of Th17 cells in skin Inflammation of allergic contact
dermatits. Clinical and Developmental Immunology Hindawi 2013, 261037
: p 1-10
13. Vocanson M, Hennino A, Rozi A, Poyet, Nicolas JF. Effector and
regulatory mechanisms in allergic contact dermatitis. John Wiley & Sons
A/S Allergy 2009: 64: 1699–1714

81
82

14. Baratawijaya KG, Rengganis I. Alergi Dasar. Edisi 1. 2009. Jakarta: Interna
Publishing, p 299-314
15. Bourke J, Coulson I, English J. Guidelines for care of contact dermatitis.
British Journal of Dermatology 2001; 145: 877-885
16. Bonamonte D, Foti C, Vestita M, Angelini G. Noneczematous contact
dermatitis. Allergy Hindawi 2013, p 1-10
17. Adisesh A, Robinson E, Nicholson PJ, Sen D, Wilkinson M. U.K. standards
of care for occupational contact dermatitis and occupational contact
urticaria. British Journal of Dermatology 2013, 168, pp1167–1175
18. Schnuch A, Aberer W, Agathos M, Becker D, Brasch J, Elsner P, Frosch
PJ, Fuchs T, Geier J, Hillen U, Löffler H, Mahler V, Richter G, Szliska C.
Patch testing with contact allergens. JDDG 9˙2008. P 770-775
19. Diepgen TL, Agner T, Aberer W, Jones JB, Cambazard FR, Elsner P,
Mcfadden J, Coenra PJ. Management of chronic hand eczema. Contact
Dermatitis 2007: 57: 203–210
20. J.M.Harrington & F.S. Gill. Buku Saku Kesehatan Kerja edisi
3.Jakarta:EGC;2005.p.95.
21. Harahap M, Ilmu Penyakit Kulit, Jakarta:Hipokrates, 2015
22. Wilkinson SM, and Beck MH. Rook’s Textbook Of Dermatology 8th ed.
Australia: Blackwell Publishing. 2008.chapter 25.
23. Ida Ayu.Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bangunan.2014.Diakses Januari
2018.from http://emedicine.medscape/ article/1049352-overview.htm
24. M.Sulaksmono. Keuntungan dan Kerugian Patch Test (Uji Tempel) Dalam
Upaya Menegakkan Diagnosa Penyakit Kulit Akibat Kerja (Occupational
Dermatosis).2015.diaksesjanuari2018.http://nlm.nih.gov/medlineplus/ency
/article /000869.htm
25. Trisna yuliharti. Dermatitis kontak alergi. diakses januari 2018. :
http://bhealthy4life.com/?p=1.htm
26. Aulia Dian.Characteristic of allergic contact dermatitis (ACD) in RSUP
DR.Kariadi.2013.diakses januari 2018.http://jurnal.edu.com.
27. Nanny Herwanto. Studi Retrospektif : Penatalaksanaan Dermatitis
Atopik.2015 Diakses januari 2018.http://bio.2344-57
83

28. Haidzar.M.The correlation between the duration of wearing boots and


incidence of tinea pedis on the workers of garbage collector of the
departement of cleanness.2016.diakses januari 2018.http://dindep.ipi44123
29. Diana Mayasari.Dermatitis kontak iritan et causa asam salisilat pada lesi
post herpes zoster thoracalis sinistra.2016.diakses januari 2018.http://e-
jurnalunair.com.
30. Koenig TW, Jones SG, Rencie A,Tausk FA.Noncutaneous manifestations
of skin.In:Freedberg IM,Eisen AZ,Wolff K,Austen KF, Goldsmith LA,
KATZ SC,editors.Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 8thed.
New York : Mc Graw Hill 2012.p.158-162
31. Wollina. Review Article: Pompholix, A Review of Clinical Features,
Different Diagnosis, and Management. Germany: Am J Clin Dermatol.
2010.
32. Leung, dkk. Research Article. Dyshidrotic Eczema. Hongkong: Enliven
Archive. 2014.
33. Purnamasari. Dermatitis Dishidrotik. Bali: CDK. 2018.

Anda mungkin juga menyukai