Anda di halaman 1dari 40

Laporan Kasus

TINEA CAPITIS KERION

Oleh :
Afifah Yasmin Ibrahim, S. Ked
712019090

Pembimbing :
dr. Lucile Annisa Suardin, Sp.KK, FINSDV

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul:
TINEA CAPITIS KERION

Oleh:
Afifah Yasmin Ibrahim, S. Ked
712019090

Telah dilaksanakan pada bulan Februari 2021 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI

Palembang, Februari 2021


Pembimbing

dr. Lucile Annisa Suardin, Sp.KK, FINSDV

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
Judul: “Tinea Capitis Kerion” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam selalu
tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan
pengikutnya sampai akhir zaman.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :
1. dr. Lucile Annisa Suardin, Sp.KK, FINSDV selaku pembimbing yang telah
memberikan masukan serta bimbingan dalam penyelesaian laporan kasus ini,
2. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua.

Palembang, Februari 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1. Latar Belakang.........................................................................................1
1.2. Maksud dan Tujuan.................................................................................2
1.3. Manfaat....................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................3


2.1 Definisi..................................................................................................3
2.2 Epidemiologi.........................................................................................3
2.3 Etiologi..................................................................................................3
2.4 Patogenesis............................................................................................4
2.5 Manifestasi Klinis.................................................................................7
2.6 Diagnosis...............................................................................................9
2.7 Diagnosis Banding................................................................................11
2.8 Tatalaksana...........................................................................................15
2.9 Prognosis...............................................................................................17

BAB III LAPORAN KASUS............................................................................18


BAB IV ANALISIS KASUS.............................................................................23
BAB III KESIMPULAN...................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................35

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari
lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital
serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat
kompleks, elastis, sensitif dan bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis
kelamin, ras dan juga sangat bergantung pada lokasi tubuh.1
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku yang
disebabkan golongan jamur dermatofita.2 Penyakit ini bersifat kronik dan
residif, sehingga penyakit ini dapat menyebabkan gangguan kenyamanan dan
menurunkan kualitas hidup bagi penderitanya.3
Tinea capitis adalah infeksi jamur superfisial, yang menyerang kulit kepala
dan rambut. Penyebabnya adalah spesies jamur, paling sering yaitu
Trichophyton dan Microsporum. Jamur diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok menurut transmisinya yaitu organisme geofilik hidup di tanah,
organisme zoofilik pada hewan, dan organisme antropofilik pada manusia.
Gambaran klinis tinea capitis dapat diklasifikasikan menjadi tipe gray patch
ring worm, tipe kerion, tipe black dot ring worm dan tipe favus.4
Pada akhir abad 19 dan awal 20, M. audouinii, diikuti oleh M. canis,
merupakan agen penyebab utama tinea capitis di Eropa Barat dan Mediterania,
sedangkan T. schoenleinii adalah agen utama di Eropa Timur. Penyebab
tersering di seluruh dunia adalah M. canis. Di Amerika Serikat agen penyebab
terbanyak adalah T. tonsurans diikuti oleh M. canis. Dermatofit antropofilik,
khususnya T. tonsurans, kini telah muncul sebagai agen dominan di banyak
wilayah. Di Timur Tengah, T. vioolaceum bertanggung jawab atas sebagian
besar kasus tinea capitis.4
Penegakan diagnosis dermatofitosis pada umumnya dilakukan secara
klinis, dapat diperkuat dengan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan
pemeriksaan dengan lampu Wood pada spesies tertentu.5

1
1.1 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari laporan kasus ini adalah sebagai berikut:
1) Diharapkan bagi semua dokter muda agar dapat memahami kasus Tinea
Capitis Kerion
2) Diharapkan kemudian hari dokter muda mampu mengenali dan memberikan
tatalaksana secara benar tentang penyakit Tinea Capitis Kerion

1.2 Manfaat
1.1.1 Manfaat Teoritis
a. Bagi institusi, diharapkan laporan kasus ini dapat menambah
bahan referensi dan studi kepustakaan dalam bidang ilmu
penyakit dalam terutama tentang Tinea Capitis Kerion
b. Bagi penulis selanjutnya, diharapkan laporan kasus ini dapat
dijadikan landasan untuk penulisan laporan kasus selanjutnya.

1.1.2 Manfaat Praktis


Diharapkan agar dokter muda dapat mengaplikasikan ilmu yang
diperoleh dari laporan kasus ini dalam kegiatan kepaniteraan klinik
senior (KKS) dan diterapkan di kemudian hari dalam praktik klinik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku yang
disebabkan golongan jamur dermatofita. Jamur ini dapat menginvasi seluruh
lapisan stratum korneum dan menghasilkan gejala melaui aktivasi respons
imun pejamu. Tinea Capitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala
yang disebabkan oleh spesies dermatofita. Kelainan ini dapat ditandai dengan
lesi bersisik, kemerah-merahan, alopesia, dan kadang-kadang terjadi
gambaran klinis yang lebih berat, yang disebut kerion.2

2.2 Epidemiologi
Tinea capitis terjadi di seluruh dunia tetapi lebih sering diamati pada
individu keturunan Afrika dibandingkan dengan Kaukasia dan Hispanik.
Kondisi ini biasanya ditemukan pada anak-anak pra-remaja dengan kejadian
puncak antara usia 3 dan 14 tahun. Tinea capitis jarang terlihat pada orang
dewasa dan jarang terlihat pada bayi dan orang tua. Di Amerika Serikat,
prevalensi pada anak-anak prapubertas berkisar antara 3-8%. Diduga,
peningkatan prevalensi pada anak-anak prapubertas disebabkan oleh produksi
sebum yang rendah, yang mengakibatkan penurunan asam lemak dan
peningkatan pH kulit kepala, sehingga memfasilitasi kolonisasi dan infeksi
selanjutnya oleh dermatofita. Pada kelompok usia anak, tinea capitis lebih
sering terjadi pada pria daripada wanita. Pada orang dewasa, tinea capitis
lebih sering terjadi pada wanita daripada pria.6

2.3 Etiologi
Dermatofit dikelompokkan sebagai antropofilik (manusia), zoofilik
(hewan), atau geofilik (tanah). Infeksi jamur antropofilik pada kulit kepala
adalah yang paling umum. Contoh jamur antropofilik meliputi T. tonsurans,
T. soundanense, T. schoenleinii, T. violaceum, T. rubrum, Microsporum

3
audouinii, dan Epidemophyton floccosum. Infeksi jamur zoofilik pada kulit
kepala biasanya didapat melalui kontak langsung dengan hewan yang
terinfeksi, terutama kucing dan anjing liar, serta anak kucing, anak anjing,
dan kelinci peliharaan. Contoh jamur zoofilik antara lain M. canis, M. nanum,
M. distortum, M. ferrugineum, M. nanum, T. mentagrophytes var.
interdigitale, T. equinum, dan T. verrucosum. M. gypseum adalah jamur
geofilik yang merupakan penyebab langka tinea capitis. Spesies jamur yang
bertanggung jawab bervariasi menurut wilayah geografis dan dapat berubah
seiring waktu. Saat ini, T. tonsurans merupakan penyebab paling sering dari
tinea capitis di Amerika Serikat, Inggris, Brazil, Jamaika, dan di beberapa
bagian Eropa Barat, sedangkan M. canis adalah penyebab tersering di
Amerika Selatan, Eropa Selatan dan Tengah. Afrika, Timur Tengah, dan Asia
Barat. Di Asia Tengah dan Selatan, T. verrucosum adalah agen penyebab
paling umum. Di Cina, T. violaceum adalah agen utama diikuti oleh T.
verrucosum.7
Faktor predisposisi termasuk kebersihan yang buruk, paparan rumah
tangga, lingkungan hidup yang ramai, status sosial ekonomi yang lebih
rendah, infeksi jamur yang terjadi bersamaan, berbagi fomites yang
terkontaminasi (misalnya, sisir, sikat, bantal, atau topi), partisipasi dalam
olahraga dengan kontak fisik yang dekat, lingkungan yang hangat dan
lembab, dan imunodefisiensi. Rambut pendek juga merupakan faktor
predisposisi karena spora jamur dapat mengakses kulit kepala dengan lebih
mudah.8

2.4 Patogenesis
Seorang manusia dapat terinfeksi melalui kontak dekat dengan orang
yang terinfeksi, pembawa asimtomatik, hewan (khususnya, hewan peliharaan
rumah), tanah, atau fomites yang terkontaminasi (misalnya sisir, topi, bantal).
Penularan spora jamur di antara anggota keluarga adalah jalur yang paling
umum; anak-anak sering terinfeksi oleh spora yang dilepaskan oleh kontak
dalam rumah tangga.7

4
Berdasarkan ekologinya dermatofita terbagi atas golongan antropofilik,
geofilik dan zoofilik. Spesies dermatofita geofilik bertahan hidup di
lingkungan dengan materi keratin, antropofilik hanya menginfeksi manusia
dan dermatofita zoofilik hanya menginfeksi hewan namun seringkali pula
menginfeksi manusia. Artrokonidia (artrospora) yang muncul di lingkungan
atau skuama kulit yang terkelupas adalah materi yang berperan dalam proses
inokulasi.7
Bentuk morfologis dermatofita tersebut dapat bertahan hidup hingga
beberapa bulan di luar tubuh pejamu. Setelah proses inokulasi, artrokonidia
akan menempel pada keratinosit. Protease yang disekresi oleh dermatofita
berperan dalam fase penetrasi. Protease yang disekresi tersebut diidentifikasi
sebagai faktor virulensi. Sekali menempel pada keratinosit manusia,
dermatofita akan segera berpenetrasi ke stratum korneum, karena stratum
korneum dan ostium folikel rambut menyediakan kebutuhan pH dan nutrisi
untuk dermatofita. Proses tersebut dapat difasilitasi oleh perubahan kondisi
lingkungan stratum korneum, contohnya kelembapan dan trauma.7
Saat dermatofita menginvasi kulit manusia, dermatofita akan dihadang
oleh respons imun non spesifik dan respons imun seluler. Respons imun non
spesifik bekerja menghadang dermatofita dengan terjadinya peningkatan turn
over epidermis, peranan faktor serum yaitu unsaturated transferin, dan
aktivasi sel polimorfonuklear di lokasi infeksi. Sementara itu, respons imun
seluler dimulai setelah jamur yang hidup di stratum korneum bermultiplikasi
dan melepaskan antigen. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa respons
imun seluler berperan utama dalam perjalanan penyakit dan kesembuhan
infeksi dermatofita.7
Komponen dermatofita yang bersifat antigenik adalah dinding miselium
yang terdiri atas glikopeptida dan keratinase. Selain itu, dinding sel miselium
mengandung manan yang terdiri atas glikoprotein dengan komposisi beragam
pada tiap spesies dermatofita, yang semuanya bersifat juga sebagai antigen.
Perbedaan struktur kimia manan yang beragam untuk spesies dermatofita
berperan pada manifestasi inflamasi yang ditimbulkan, sehingga gambaran
klinis dapat berbeda-beda dan perlu diidentifikasi spesies penyebabnya.7

5
Infeksi rambut oleh dermatofita mengikuti 3 pola utama berdasarkan
tempat inokulasi artrospora, yaitu ektotriks, endotriks dan favus. Pada infeksi
ektotriks, artrokonidia hanya terlihat di permukaan batang rambut, meskipun
hifa juga didapat di dalam batang rambut; proses tersebut akan berlanjut
dengan hancurnya kutikula. Kolonisasi dermatofita pada manusia oleh jamur
zoofilik atau geofilik akan menghasilkan penyakit dengan tipe inflamasi
tertentu. Infeksi ektotriks oleh Trichophyton sp. (Trichophyton
mentagrophytes var mentagrophytes dan Trichophytonverrucosum) secara
klinis nampak berbeda dengan yang lain karena reaksi inflamasi yang lebih
hebat. Pada infeksi oleh Trichophyton sp, kerion yang merupakan tipe
inflamasi yang lebih berat, lebih sering terjadi dibandingkan dengan
Microsporum sp. Pada inflamasi tipe kerion celsi timbul folikulitis supuratif
dan infiltrasi subkutan. Gambaran ‘boggy’ disertai pus yang tampak
membasah dari folikel. Pembengkakan tersebut nyeri dan rambut mudah
lepas. Perlu digarisbawahi bahwa pus yang timbul bukan akibat infeksi
sekunder dari invasi bakteri, namun dari dermatofita semata-mata, oleh
karena itu tidak diperlukan terapi antibakteri (antibiotik). Seringkali, plak
berwarna dull-red berbatas tegas yang dipenuhi pustul, dan disebut sebagai
agminate folikulitis. Organisme patogen biasanya didapatkan dari kontak
dengan hewan, yang merupakan sumber yang umum ditemukan.7
Pada infeksi endotriks, artrokonidia dan hifa berada di dalam batang
rambut dan korteks serta kutikula tetap utuh. Pola tinea kapitis ini memberi
tampilan “black dot” yang terdiri atas rambut patah tepat di dekat orifisium
folikel rambut dan meninggalkan conidia-filled stub area skalp. Semua
dermatofita berpola endotriks adalah dermatofita antropofilik yang seringkali
menyebabkan infeksi kronik disertai reaksi inflamasi minimal. Favus
memiliki karakteristik hifa yang tersusun secara longitudinal dan didapatkan
ruang berisi udara dalam batang rambut. Artrokonidia biasanya tidak terlihat
di rambut yang terinfeksi.9

6
2.5 Manifestasi klinis
Masa inkubasi tinea capitis kira-kira beberapa minggu. Tinea capitis
noninflamasi biasanya muncul sebagai bercak halus dengan plak bersisik
tunggal atau multipel dari alopesia melingkar (grey patches) (gambar 2.1);
atau satu atau beberapa plak dari area alopecia berbatas tegas dengan sisik
halus, bertabur rambut putus di permukaan kulit kepala, menghasilkan
munculnya “black dot” (gambar 2.2). Rambut patah sering kali diakibatkan
oleh kerapuhan batang rambut akibat infeksi endothrix. Eritema pada kulit
kepala mungkin ada tetapi mungkin sulit untuk diketahui pada pasien berkulit
hitam. Gatal pada kulit kepala biasa terjadi pada berbagai presentasi tinea
capitis dan penyakit awal dapat dibatasi pada gatal dan bersisik. Tinea capitis
juga bisa muncul sebagai deskuamasi kulit kepala yang persisten. Pasien
dengan tinea capitis mungkin memiliki papula eritematosa, sisik, celah, atau
plak di atas heliks, antihelix dan regio retroaurikuler, yang disebut sebagai
“ear sign”. Bulu mata dan alis juga mungkin terlibat. Limfadenopati regional
(servikal/ suboksipital) sering ditemukan.7

Gambar 2.1. bercak abu-abu bersisik kering dari alopecia dengan


tunggul rambut patah yang terlihat pada kulit kepala.7

7
Gambar 2.2. Tinea capitis muncul sebagai patch bulat dari alopecia
dengan sisik halus, bertabur rambut putus-putus di garis kulit, menghasilkan
penampilan "black dot". Fluoresensi kuning hijau pada rambut yang
terinfeksi
M. canis dengan pemeriksaan lampu Woods.7

Varian inflamasi dari tinea capitis termasuk kerion (kerion celsi) dan
favus (tinea favus). Kerion adalah reaksi inflamasi parah yang dihasilkan dari
reaksi hipersensitivitas yang dimediasi sel-T yang intens terhadap dermatofit
penyebab. Kondisi ini paling sering terjadi pada anak-anak berusia antara 5
dan 10 tahun. Awalnya, kerion bisa muncul sebagai folikulitis supuratif yang
menyakitkan. Seiring waktu, kerion biasanya berkembang menjadi alopecia
yang menyebar dan tidak merata dengan pustula yang tersebar atau folikulitis
derajat rendah; lesi indurasi yang sangat menyakitkan; atau plak edema boggy
yang nyeri dan supuratif seperti karbunkel dengan pustula dan krusta tebal
atau nodul yang sering dikaitkan dengan drainase purulen dan alopesia
(gambar 2.3). Lesi biasanya soliter dan terjadi di daerah oksipital kulit kepala.
Limfadenopati regional yang menyakitkan sering ditemukan.7
Peradangan pada tipe ini berupa pembengkakakn yang menyerupai
sarang lebah dengan sebukan sel radang yang padat disekitarnya. Bila
penyebabnya M. canis dan M. gypseum, pembentukan kerion ini lebih sering
dilihat, dan agak kurang bila penyebabnya T. tonturans, dan sedikit sekali
bila
T. violaceum.7

8
Gambar 2.3. Plak besar, eritematosa, boggy, dan lunak dengan alopecia
yang terlihat pada verteks kulit kepala dengan tinea capitis kerion.7

2.6 Diagnosis
Diagnosis tinea capitis harus dicurigai pada anak dengan bercak yang
tidak merata, halus, putih, kulit kepala melekat, lesi pruritus di kulit kepala,
alopecia atau penipisan rambut kulit kepala, eritema kulit kepala, atau
munculnya "black dot" pada kulit kepala, terutama jika terdapat
limfadenopati servikal atau oksipital. Plak edema supuratif dengan pustula
dan krusta tebal atau nodul menandakan kerion, sedangkan kerak folikel
berwarna kuning atau berwarna madu menunjukkan favus.7
Tampilan klinis tinea capitis bervariasi, tergantung pada jenis invasi
rambut, tingkat resistensi inang, dan derajat respons inflamasi inang. Dalam
semua jenis, ciri utamanya adalah rambut rontok sebagian dengan peradangan
pada tingkat tertentu. Sangat penting untuk memastikan diagnosis dengan
kultur jamur sebelum pasien melakukan pengobatan. Limfadenopati serviks
atau oksipital yang menonjol terjadi pada semua jenis tinea capitis dan ini
merupakan petunjuk klinis penting untuk diagnosis penyakit yang tepat.
Tanpa adenopati, diagnosis tinea capitis harus dipertanyakan karena jarang
berhubungan dengan penyebab kerontokan rambut non infeksius lainnya.4
Bentuk inflamasi tinea capitis dibagi menjadi 2 kelompok. Yang paling
umum adalah tipe hipersensitivitas atau kerion celsi, ditandai dengan massa
inflamasi yang nyeri pada palpasi dan disertai adenopati regional, dimulai
sebagai tinea kering yang melibatkan satu atau lebih plak pseudoalopecia
dengan scalling, eritema dan peradangan menghasilkan lesi yang
menyakitkan dengan batas jelas yang ditutupi dengan banyak pustula yang

9
menghasilkan banyak nanah dan puing-puing keratin. Dalam waktu sekitar 8
minggu, respon jaringan dan imunitas yang dimediasi sel menyebabkan
eliminasi lengkap jamur, tetapi akibatnya meninggalkan area alopesia
definitif dengan fibrosis.4
Pemeriksaan lampu wood akan menunjukkan fluoresensi rambut hijau
terang sampai kuning hijau yang terinfeksi M. canis dan M. audouinii dan
fluoresensi rambut yang terinfeksi oleh T. schoenleinii berwarna biru muda
atau kusam/abu-abu-hijau. Di sisi lain, rambut yang terinfeksi oleh T.
tonsurans, penyebab paling umum dari tinea capitis di Amerika Utara, tidak
berpendar.7
Dermoskopi adalah alat yang praktis, cepat, noninvasif, hemat biaya,
dan sangat sensitif untuk diagnosis tinea capitis. Beberapa penulis
menyarankan dermoscopy untuk digunakan sebagai alternatif diagnosis
mikrobiologis. Penemuan dermoscopic yang khas termasuk sisik
perifollicular putih, rambut patah, rambut distrofi, rambut pigtail, rambut
zigzag, rambut koma, rambut mirip kode Morse (rambut seperti kode batang),
rambut selubung keputihan; dan black dot. Selain itu, sisik dan keratosis
folikuler biasanya terlihat pada tinea capitis non-inflamasi dan kerak rambut
berbentuk V dan pustula folikel terutama terlihat pada inflamasi tinea kapitis.
Telah disarankan bahwa dermoskopi dapat digunakan untuk memantau
respons terhadap pengobatan karena hilangnya kelainan dermoskopik yang
terkait dengan tinea capitis merupakan penanda penyembuhan klinis.7
Pemeriksaan mikologi untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan
klinis yang dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku. Bahan untuk
pemeriksaan diambil dan dikumpulkan. Pada kulit yang berambut, rambut
dicabut pada bagian kulit yang mengalami kelainan lalu kulit dibagian
tersebut dikerok untuk mengumpulkan sisik kulit. Pemeriksaan langsung
sediaan basah dilakukan dengan mikroskop. Sediaan basah dibuat dengan
meletakkan bahan diatas gelas alas, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan
KOH 10% untuk sediaan rambut dan KOH 20% untuk sediaan kulit dan
kuku. Untuk melihat elemen jamur yang lebih nyata dapat ditambahkan zat
warna misalnya tinta parker superchroom blue black. Pada sediaan kulit dan

1
kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat,
dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit lama
dan/atau sudah diobati. Pada sediaan rambut yang dilihat adalah spora kecil
(mikrospora) atau besar (makrospora). Spora dapat tersusun diluar rambut
(ektotriks) atau didalam rambut (endotriks). Kadang-kadang dapat terlihat
juga hifa pada sediaan rambut.2
Pada tinea capitis dapat dilakukan pemeriksaan kalium hidroksida wet-
mount pada kerokan kulit kepala dari batas aktif lesi atau titik hitam atau
rambut pendek yang patah. Setetes 10 sampai 20% kalium hidroksida, dengan
atau tanpa dimetil sulfoksida, ditambahkan ke spesimen. Spesimen kemudian
dipanaskan perlahan untuk mempercepat penghancuran sel skuamosa jika
tidak ada dimetil sulfoksida yang ditambahkan. Kalium hidroksida
melarutkan jaringan epitel, meninggalkan hifa septate dan spora jamur yang
mudah terlihat. Spora M. canis akan terlihat melapisi batang rambut
sedangkan spora T. tonsurans akan terlihat di dalam batang rambut. Dalam
favus, hifa dan ruang udara terlihat di dalam batang rambut. Namun, biakan
jamur mahal dan membutuhkan waktu 7 hingga 14 hari untuk hasilnya
sehingga dalam praktiknya, biakan jamur biasanya tidak dilakukan, kecuali
jika diagnosis meragukan atau jika infeksinya parah, meluas, atau resisten
terhadap pengobatan.7

2.7 Diagnosis banding


A. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit papuloskuamosa dengan
predileksi di daerah kaya kelenjar sebasea, skalp, wajah dan badan.
Dermatitis seboroik sering ditemukan dan biasanya mudah dikenali. Kulit
yang terkena biasanya warna merah muda (eritema), membengkak,
ditutupi dengan sisik berwarna kuning kecokelatan dan berkerak.10
Prevalensi dermatitis seboroik secara umum berkisar 3-5% pada
populasi umum. Dermatitis seboroik dapat terjadi pada semua kelompok
usia, namun biasanya terpisah menjadi dua golongan usia yaitu neonatus
dan dewasa. Pada bayi, penyakit memuncak pada 3 bulan pertama,

1
sedangkan pada dewasa pada usia 30 hingga 60 tahun. Dalam usia lanjut
dapat dijumpai bentuk yang ringan, sedangkan pada bayi dapat terlihat
lesi berupa kerak kulit kepala (cradle cap). DS biasanya diderita lebih
banyak oleh lelaki dibandingkan dengan perempuan, dalam berbagai
golongan usia dan ras. Di berbagai negara Asia, pasien DS berusia antara
12 hingga 20 tahun. DS juga dapat ditemukan pada pasien dengan
kondisi imunosupresi (misalnya pasien dengan HIV/AIDS, transplantasi
organ) dan penyakit lain misalnya Parkinson, serta gangguan nutrisi dan
kelainan genetik.2
Penyebab dermatitis seboroik belum diketahui dengan pasti. Faktor
presdiposisinya ialah kelainan konstitusi berupa status seboroik genetik,
prosesnya belum diketahui secara pasti. Penderita pada dasarnya
memiliki kulit yang berminyak (seborrhoea), tetapi mengenai hubungan
antara kelenjar minyak dan penyakit ini belum jelas. Patogenesis DS
masih belum diketahui dengan pasti, namun berhubungan erat dengan
jamur Malassezia, kelainan imunologis, aktivitas kelenjar sebasea dan
kerentanan pasien. Pada orang yang mempunyai faktor predisposisi,
timbulnya DS dapat disebabkan oleh faktor kelelahan, stress, emosional,
infeksi, atau defisiensi imun. Kondisi ini dapat diperburuk dengan
meningkatnya keringat. Stress emosional dapat mempengaruhi penyakit
ini juga. Pencetus kekambuhan DS umumnya akibat stres emosional,
letih, depresi, perubahan suhu, higiene pribadi, pajanan matahari,
perubahan pola makan, infeksi, obat dan berada di ruangan dingin cukup
lama.10
Pada kulit kepala umumnya tingkat keparahan DS sedang, skuama
sedikit, kering, warna putih dan mudah lepas. Pada gejala yang lebih
berat terdapat plak berasal dari skuama kering yang tebal kekuningan. 11
Lesi dapat terlihat juga di wajah secara simetris yaitu di alis, dahi,
kelopak mata atas, plika nasolabialis dan cuping hidung. Tempat lain
yang sering terkena pada regio retroaurikularis, kanal auditori eksternal,
aurikula dan conchae bowl. Gejala yang ditemukan berupa eritema dan
gatal disertai rasa terbakar dan gatal ringan terutama di kulit kepala.

1
Folikulitis pitirosporum juga dapat ditemukan di daerah seboroik.
Biasanya dimulai saat remaja sebagai akibat respons aktivitas androgen
yang meningkatkan produktivitas kelenjar sebasea. DS pada orang
dewasa mengalami periode remisi dan eksaserbasasi. 10
Ketombe atau ptiriasis sicca merupakan bentuk awal dermatitis
seboroik. Pada fase lanjut, lesi berbentuk eritroskuamosa di perifolikuler
lalu meluas mengenai sebagian besar skalp.12,13 Dapat sampai batas
depan rambut yang disebut sebagai corona seborrhoica atau ke belakang
meluas ke daun telinga, leher, dan periauricular. Tipe yang berminyak
atau disebut ptiriasis steatoides mempunyai karakteristik warna kuning
kemerahan, infiltrat yang ringan dan berminyak, skuama yang tipis, dan
krusta. Kadang-kadang dapat disertai otitis eksterna, dan ketika kronis
akan mengakibatkan kerontokan rambut hingga mencapai alopesia.12,14

B. Psoriasis Vulgaris
Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kulit yang kronis
progresif residif, dengan dasar genetik yang kuat, karena kelainan yang
kompleks pada pertumbuhan dan diferensiasi epidermal, dan
abnormalitas multipel dari biokimia, imunologi, dan vaskular.
Penyebabnya belum diketahui. Kelainan utamanya terdapat pada
keratinosit.15
Prevalensi psoriasis bervariasi antara 0,1-11,8% di berbagai
populasi dunia. Insidens di Asia cenderung rendah (0,4%). Tidak ada
perbedaan insidens pada pria maupun wanita. Mortalitas psoriasis rendah
namun morbiditas tinggi, dengan dampak luas pada kualitas hidup pasien
ataupun kondisi sosioekonominya. Penyakit ini terjadi di segala usia,
tersering pada usia 15-30 tahun. Puncak usia kedua adalah 57-60 tahun.
Bila terjadi pada usia dini, terkait HLA (Human Leukocyte Antigen) I
antigen (terutama HLA Cw6), serta ada riwayat keluarga, lesi kulit akan
lebih luas dan persisten.16
Sampai saat ini tidak ada pengertian yang kuat mengenai
patogenesis psoriasis, tetapi peranan autoimunitas dan genetik dapat

1
merupakan akar yang dipakai dalam prinsip terapi. Faktor lingkungan
jelas berpengaruh pada pasien dengan predisposisi genetik. Beberapa
faktor pencetus kimiawi, mekanik dan termal akan memicu psoriasis
melalui mekanisme Koebner, misalnya garukan, aberasi superfisial,
reaksi foto toksik, atau pembedahan. Ketegangan emosional dapat
menjadi pencetus yang mungkin diperantarai mekanisme
neuroimunologis. Beberapa macam obat misalnya beta-bloker,
angiotensin-converting enzyme inhibitors, antimalaria, litium,
nonsteroid antiinflamasi, gembfibrosil dan beberapa antibiotik. Bakteri,
virus, dan jamur juga merupakan faktor pembangkit psoriasis. Stres
juga menjadi faktor pencetus pada psoriasis.17
Gambaran klasik berupa plak eritematosa dengan skuama putih
keperakan, lamelar, dan mudah dilepas akibat garukan disertai titik-titik
pendarahan bila skuama dilepas (Auspitz sign). Berukuran dari
seujung jarum sampai dengan plakat menutupi sebagian besar area tubuh,
umumnya simetris. Biasanya disertai rasa gatal, sehingga kulit
sering teriritasi karena garukan. Selain itu, anamnesis juga sangat penting
dalam mengetahui adanya konsumsi obat-obatan yang dapat memicu
psoriasis, onset penyakit dan adanya riwayat psoriasis pada anggota
keluarga lain. Psoriasis beronset dini dengan adanya anggota keluarga
lain yang menderita psoriasis telah dihubungkan dengan lesi yang
lebih luas dan bersifat rekuren. Penyakit ini dapat menyerang kulit,
kuku, mukosa dan sendi tetapi tidak mengganggu rambut. Penampilan
berupa infiltrat eritematosa, eritema yang muncul bervariasi dari yang
sangat cerah sampai merah pucat. Pada lidah dapat dijumpai plak putih
berkonfigurasi mirip peta yang disebut lidah geografik. Fenotip
psoriasis dapat berubah-ubah, dari asimtomatik sampai dengan
generalisata (eritroderma). Pada beberapa kasus, dapat terjadi pada
lipatan kulit seperti pangkal paha atau di antara bokong, di bawah ketiak,
di area genital atau di bawah dan di antara payudara pada wanita. Pada
daerah ini seringkali kurang bersisik karena kulit di daerah ini
umumnya tidak kering dan ada gesekan yang konstan sehingga tidak

1
banyak plak yang berkembang. Stadium akut dapat dijumpai pada orang
muda, tetapi dalam waktu tidak terlalu lama dapat berjalan kronik residif.
Lesi psoriasis umumnya dijumpai pada bagian ekstensor ekstremitas
terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral bagian bawah, bokong
dan genitalia, meskipun sekali lagi lokasi lesi ditentukan oleh tipe
psoriasis yang diderita. Selain di tempat-tempat tersebut lesi juga
dapat dijumpai pada umbilikus dan celah intergluteal.15,18

2.8 Tatalaksana
Agen antifungi oral seperti terbinafine, griseofulvin, itraconazole, dan
flukonazole adalah obat pilihan. Durasi pengobatan yang biasa adalah 4-6
minggu kecuali griseofulvin yang mungkin memerlukan 6-12 minggu
pengobatan.7
Griseofulvin terakumulasi di keratin rambut, membuat keratin baru
tahan terhadap invasi jamur. Obatnya fungistatik; itu menghambat sintesis
asam nukleat, menahan pembelahan sel di metafase, dan merusak sintesis
dinding sel jamur. Penyerapan griseofulvin dapat ditingkatkan bila obat
diberikan bersamaan dengan makanan berlemak. Efek samping griseofulvin
terjadi pada sekitar 20% kasus dan termasuk sakit kepala, mual, muntah,
fotosensitifitas, ruam kulit, dan, yang lebih jarang, leukopenia,
granulositopenia, dan hepatotoksisitas. Obat harus dihindari pada wanita
hamil dan dikontraindikasikan pada pasien dengan porfiria, lupus
eritematosus, dan penyakit hati yang parah.7 Dosis 0,5-1 g untuk dewasa dan
0,25-0,5 g untuk anak-anak per hari atau 10-25 mg/kgBB, diberikan 1-2x
sehari.2
Terbinafine bekerja pada membran sel jamur dengan menghambat
epoksidase squalene dan bersifat fungisida. Obat ini hanya tersedia dalam
bentuk tablet, oleh karena itu mungkin tidak memungkinkan untuk
individualisasi dosis. Selain itu, penyerapan obat dapat terganggu saat
dihancurkan atau ditaburkan ke dalam saus apel atau buah-buahan. Efek
samping terbinafine jarang terjadi dan termasuk sakit kepala,
ketidaknyamanan gastrointestinal, gangguan rasa, ruam kulit, peningkatan

1
enzim hati, dan, yang lebih jarang, pansitopenia, reaksi seperti penyakit
serum, lupus eritematosus, Reaksi Obat dengan Eosinofilia dan Gejala
Sistemik (DRESS) , Sindrom Steven-Johnson, kegagalan hati, dan
pankreatitis.7 Pemberian selama 2-3 minggu dengan dosis 62,5 mg-250 mg
sehari tergantung pada berat badan.2
Itraconazole ini fungistatik dan bekerja dengan memblokir sintesis
ergosterol, komponen utama dari membran sel jamur. Obat tersedia sebagai
larutan oral atau sebagai kapsul. Penyerapan obat dapat ditingkatkan bila obat
diberikan bersamaan dengan makanan berlemak. Efek samping dari
itraconazole termasuk sakit kepala, pusing, mengantuk, peningkatan enzim
hati, dan, yang lebih jarang, gagal jantung. Obat tersebut telah terbukti aman
dan efektif untuk digunakan pada bayi.7 Pemberian obat cukup 2x100-200 mg
sehari dalam kapsul selama 3 hari. Khusus untuk onikomikosis dikenal
sebagai dosis denyut selama 3 bulan. Cara pemberian adalah diberikan 3
tahap dengan interval 1 bulan. Setiap tahap selama 1 minggu dengan dosis
2x200 mg sehari dalam kapsul.2
Flukonazol adalah agen terapi alternatif yang efektif untuk tinea capitis.
Obatnya bersifat fungistatik, yang bertindak dengan mencegah konversi
lanosterol menjadi ergosterol. Obat tersedia dalam bentuk suspensi oral atau
tablet. Efek samping flukonazol termasuk sakit kepala, gangguan
gastrointestinal, ruam kulit, peningkatan enzim hati, dan, lebih jarang,
hepatotoksisitas, reaksi seperti penyakit serum, sindrom Steven-Johnson,
perpanjangan interval QT, dan Torsades de pointes.7
Terdapat tinjauan sistematis yang lebih baru yang mencakup 21 uji
coba terkontrol secara acak dan 17 uji klinis dengan total 4.856 anak. Telah
terbukti bahwa terbinafine lebih efektif melawan spesies Trichophyton
sedangkan griseofulvin lebih efektif melawan spesies Microsporum.7
Meskipun terapi antifungi topikal memiliki efek samping minimal, agen
antifungi topikal saja tidak dianjurkan untuk pengobatan tinea capitis karena
agen ini tidak menembus ke akar folikel rambut, yang terletak jauh didalam
dermis. Terapi antifungi topikal bagaimanapun dapat digunakan untuk
mengurangi transmisi spora dan dapat digunakan sebagai terapi adjuvant

1
untuk antifungi sistemik. Terapi kombinasi dengan antifungi sistemik dan
topikal dapat meningkatkan angka kesembuhan. Sampo antifungi (mis.
Selenium sulfida, ketokonazole, ciclopirox, povidoneiodine, zinc pyrithione)
setidaknya dua kali seminggu selama dua hingga empat minggu dapat
digunakan sebagai tindakan tambahan untuk mengurangi pelepasan spora
jamur dan untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi ke individu lain.7
Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu semua anggota rumah tangga
harus diperiksa dan dirawat secara bersama jika ditemukan tinea capitis.
Orang tua dari teman sekelas dan teman bermain juga. Berbagi fomites harus
dicegah. Membersihkan fomite dengan benar seperti sisir, dan topi.7

2.9 Prognosis
Prognosis tinea capitis non-inflamasi sangat baik dengan pengobatan
dini dan tepat. Pasien dengan inflamasi tinea capitis yang parah seperti kerion
dan favus berisiko mengalami alopecia permanen. Meskipun demikian,
sebagian besar rambut yang hilang sering kali tumbuh kembali.7

1
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 30 tahun
Tempat Tanggal Lahir : 27 April 1990
Alamat : jl. Panca, Palembang, Sumatera Selatan.
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Karyawan
Tanggal Pemeriksaan : 10 Februari 2021

3.2 Anamnesis
Autoanamnesis (10 Februari 2021 pukul 08.05 WIB)

3.2.1 Keluhan Utama


Timbul koreng pada bagian kepala, sejak ± 10 hari yang lalu.

3.2.2 Keluhan Tambahan


Gatal dan sempat demam

3.2.3 Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak sepuluh hari yang lalu pasien mengeluh terdapat koreng pada
kepala yang disertai rasa gatal dan terdapat demam sebelumnya. Pada
awalnya, timbul bercak berwarna merah di kepala dan di dekat leher.
Bercak merah disertai rasa gatal. Gatal yang dirasakan hilang timbul dan
bertambah gatal terutama saat berkeringat atau cuaca panas. Pasien suka
menggaruk kepalanya ketika gatal. Bintil yang digaruk menjadi koreng.
Koreng tidak berbau dan disekitarnya terdapat sisik halus. Pasien tidak
pernah memiliki ketombe di kepala sebelumnya. Pasien tidak pernah
memiliki sisik berminyak kekuningan yang memberat saat saat stres atau

1
cuaca panas dan dingin. Pasien juga tidak pernah memiliki sisik tebal
transparan yang memberat saat stres sebelumnya. Saat menyisir rambut,
banyak rambut pasien yang rontok dan tidak disertai rasa sakit. Pasien
mengatakan bahwa ia mudah berkeringat. Stress disangkal. Nyeri sendi
yang memburuk pada pagi hari disangkal. Kerusakan pada kuku jari
disangkal. Lidah yang bercorak disangkal. Pasien belum pernah berobat
atas keluhan ini sebelumnya.

3.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat menderita keluhan serupa sebelumnya disangkal. Riwayat
memiliki penyakit autoimun sebelumnya disangkal. Pasien tidak
mengkonsumsi obat kortikosteroid jangka panjang. Keluhan baru pertama
kali dirasakan.

3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat anggota keluarga memiliki keluhan yang sama disangkal.
Riwayat anggota keluarga memiliki penyakit autoimun disangkal.

3.2.6 Riwayat Sosioekonomi dan Personal Higine


Pasien mandi dua kali dalam sehari dan keramas dengan sampo
setiap mandi. Setelah mandi pasien mengeringkan rambutnya dengan
handuk. Pasien mengaku tidak menggunakan barang pribadi secara
bersama-sama dengan orang lain (mis. Sisir, pakaian, topi, dan handuk).
Pasien tidak menggunakan minyak rambut. Pasien mengaku sering
menggunakan topi saat beraktivitas. Pada kisaran satu sampai dua bulan
terakhir, topi tidak sering dicuci. Pasien mengaku memiliki hewan
peliharaan berupa kucing dan burung. Pasien sering kontak dengan hewan
peliharaannya. Setelah kontak dengan hewan peliharaan, pasien kadang
mencuci tangannya. Setelah kontak dengan hewan peliharaan, pasien
mengaku terkadang mengusap rambut kepalanya. Pasien membersihkan
kucingnya satu bulan sekali dan tidak membersihkan burung

1
peliharaannya. Kucing pasien sering bermain keluar rumah. Pasien tinggal
di lingkungan kompleks perumahan.

3.3. Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Status
Generalisata
Keadaan Umum
Keadaan Umum : Dalam Batas Normal
Kesadaran : Dalam Batas
Normal
Berat Badan : Dalam Batas
Normal Tekanan darah: Dalam Batas
Normal Nadi : Dalam Batas
Normal
Suhu : Dalam Batas Normal
Pernapasan : Dalam Batas Normal
Berat Badan : 60 kg

Keadaan Spesifik
Kepala : Sesuai status dermatologikus, alopesia
Wajah : Dalam Batas Normal
Mulut : Dalam Batas Normal
Leher : Regio Colli dextra Posterior (pembesaran KGB)
Thoraks : Dalam Batas Normal
Punggung : Dalam Batas Normal
Abdomen : Dalam Batas Normal
Ekstremitas : Dalam Batas Normal

2
3.4 Status Dermatologikus

Pada regio parietalis didapatkan plak eritema berbatas tegas


tunggal berbentuk bulat berukuran 7,5 cm x 9 cm x 0,1 cm dan terdapat
pustul eritema berbatas tegas multiple berbentuk bulat berukuran diameter
0,5 cm distribusi diskret sampai konflues disertai skuama halus putih
keabuan dan krusta kemerahan.

3.5 Pemeriksaan Penunjang


Tes yang dapat dilakukan berupa:
1. Fluoresensi dengan Lampu Wood (+) didapatkan warna kuning
kehijauan.
2. Tes tetesan lilin (-)
3. Tes Koebner (-)
4. Tes Auspitz(-)
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan KOH 10%
(+) didapatkan hifa panjang bersekat, spora berderet (artrospora).
Rencana pemeriksaan dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi.

2
3.6 Diagnosis Banding
1. Tinea Capitis Kerion
2. Dermatitis Seboroik
3. Psoriasis Vulgaris

3.7 Diagnosis Kerja


Tinea Capitis Kerion

3.8 Penatalaksanaan
A. Non-medikamentosa
a) Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, penyebabnya
serta cara penggunaan obat.
b) Menganjurkan agar tidak menggaruk lesi karena dapat menyebabkan
lecet dan berdarah.
c) Menjelaskan untuk menjaga keadaan kepala agar tidak lembab,
menghindari pemakaian topi dalam jangka waktu lama dan sering,
ketika berkeringat keringkan kepala dengan handuk atau mandi,
hindari pemakaian barang secara bersama-sama (mis. Handuk, sisir,
topi), dan menjaga kebersihan hewan peliharaan.

B. Farmakologis
a) Sistemik:
Griseofulvin per oral 1x500 mg/ hari selama 6 minggu
b) Topikal:
Rambut dicuci menggunakan sampo Selenium sulfida 1%
2x/minggu, diamkan dalam 5 menit.

3.9 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad cosmetika : dubia ad bonam

2
BAB IV
ANALISA KASUS

4.1 Hasil dan Pembahasan

Pada kasus ini akan dibahas mengenai seorang pasien Tn. A berusia 30
tahun. Penyakit ini timbul koreng di kepala yang disertai rasa gatal dan
terdapat demam sebelumnya. Pada awalnya, timbul bercak berwarna merah di
kepala dan di dekat leher. Bercak merah disertai rasa gatal. Gatal yang
dirasakan hilang timbul dan bertambah gatal terutama saat berkeringat atau
cuaca panas. Pasien suka menggaruk kepalanya ketika gatal. Bintil yang
digaruk menjadi koreng. Koreng tidak berbau dan disekitarnya terdapat sisik
halus. Pasien tidak pernah memiliki ketombe di kepala sebelumnya. Pasien
tidak pernah memiliki sisik berminyak kekuningan yang memberat saat saat
stres atau cuaca panas dan dingin. Pasien juga tidak pernah memiliki sisik
tebal transparan yang memberat saat stres sebelumnya. Saat menyisir rambut,
banyak rambut pasien yang rontok dan tidak disertai rasa sakit. Pasien
mengatakan bahwa ia mudah berkeringat. Pada status dermatologikus, pada
regio parietalis didapatkan plak eritema berbatas tegas tunggal berbentuk
bulat berukuran 7,5 cm x 9 cm x 0,1 cm dan terdapat pustul eritema berbatas
tegas multiple berbentuk bulat berukuran diameter 0,5 cm distribusi diskret
sampai konflues disertai skuama halus putih keabuan dan krusta kemerahan.
Pasien mandi dua kali dalam sehari dan keramas dengan sampo setiap mandi.
Setelah mandi pasien mengeringkan rambutnya dengan handuk. Pasien
mengaku tidak menggunakan barang pribadi secara bersama-sama dengan
orang lain (mis. Sisir, pakaian, topi, dan handuk). Pasien mengaku sering
menggunakan topi saat beraktivitas. Pada kisaran satu sampai dua bulan
terakhir, topi tidak sering dicuci. Pasien mengaku memiliki hewan peliharaan
berupa kucing dan burung. Pasien sering kontak dengan hewan
peliharaannya. Setelah kontak dengan hewan peliharaan, pasien kadang
mencuci tangannya. Setelah kontak dengan hewan peliharaan, pasien
mengaku terkadang mengusap rambut kepalanya. Pasien membersihkan
kucingnya satu bulan sekali dan tidak membersihkan burung peliharaannya.

2
Kucing pasien sering bermain keluar rumah. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan adanya alopesia pada regio parietalis dan pembesaran KGB pada
regio colli dextra posterior.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan terdapat tiga
diagnosis banding pada kasus yaitu tinea capitis kerion, dermatitis seboroik,
dan psoriasis vulgaris.
Tinea Capitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang
disebabkan oleh spesies dermatofita. Tinea capitis biasanya ditemukan pada
anak-anak pra-remaja dengan kejadian puncak antara usia 3 dan 14 tahun.
Tinea capitis jarang terlihat pada orang dewasa dan jarang terlihat pada bayi
dan orang tua. Diduga, peningkatan prevalensi pada anak-anak prapubertas
disebabkan oleh produksi sebum yang rendah, yang mengakibatkan
penurunan asam lemak dan peningkatan pH kulit kepala, sehingga
memfasilitasi kolonisasi dan infeksi selanjutnya oleh dermatofita. Pada
kelompok usia anak, tinea capitis lebih sering terjadi pada pria daripada
wanita. Pada orang dewasa, tinea capitis lebih sering terjadi pada wanita
daripada pria. Tampilan klinis tinea capitis bervariasi, tergantung pada jenis
invasi rambut, tingkat resistensi inang, dan derajat respons inflamasi inang.
Dalam semua jenis, ciri utamanya adalah rambut rontok sebagian dengan
peradangan pada tingkat tertentu. Sangat penting untuk memastikan diagnosis
dengan kultur jamur sebelum pasien melakukan pengobatan. Limfadenopati
serviks atau oksipital yang menonjol terjadi pada semua jenis tinea capitis
dan ini merupakan petunjuk klinis penting untuk diagnosis penyakit yang
tepat. Tanpa adenopati, diagnosis tinea capitis harus dipertanyakan karena
jarang berhubungan dengan penyebab kerontokan rambut non infeksius
lainnya. Bentuk inflamasi tinea capitis dibagi menjadi 2 kelompok. Yang
paling umum adalah tipe hipersensitivitas atau kerion celsi, ditandai dengan
massa inflamasi yang nyeri pada palpasi dan disertai adenopati regional,
dimulai sebagai tinea kering yang melibatkan satu atau lebih plak
pseudoalopecia dengan scalling, eritema dan peradangan menghasilkan lesi
yang menyakitkan dengan batas jelas yang ditutupi dengan banyak pustula
yang menghasilkan banyak nanah dan puing-puing keratin. Awalnya, kerion

2
bisa muncul sebagai folikulitis supuratif yang menyakitkan. Seiring waktu,
kerion biasanya berkembang menjadi alopecia yang menyebar dan tidak
merata dengan pustula yang tersebar atau folikulitis derajat rendah; lesi
indurasi yang sangat menyakitkan; atau plak edema boggy yang nyeri dan
supuratif dengan pustula dan krusta tebal atau nodul yang sering dikaitkan
dengan drainase purulen dan alopesia. Lesi biasanya soliter dan terjadi di
daerah oksipital kulit kepala. Limfadenopati regional (servikal/suboksipital)
sering ditemukan.
Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit papuloskuamosa dengan
predileksi di daerah kaya kelenjar sebasea, skalp, wajah dan badan.
Dermatitis seboroik dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun biasanya
terpisah menjadi dua golongan usia yaitu neonatus dan dewasa. Pada bayi,
penyakit memuncak pada 3 bulan pertama, sedangkan pada dewasa pada usia
30 hingga 60 tahun. Dalam usia lanjut dapat dijumpai bentuk yang ringan,
sedangkan pada bayi dapat terlihat lesi berupa kerak kulit kepala (cradle cap).
DS biasanya diderita lebih banyak oleh lelaki dibandingkan dengan
perempuan, dalam berbagai golongan usia dan ras. Pada kulit kepala
umumnya tingkat keparahan DS sedang, skuama sedikit, kering, warna putih
dan mudah lepas. Pada gejala yang lebih berat terdapat plak berasal dari
skuama kering yang tebal kekuningan. Lesi dapat terlihat juga di wajah secara
simetris yaitu di alis, dahi, kelopak mata atas, plika nasolabialis, cuping
hidung, regio retroaurikularis, kanal auditori eksternal, aurikula dan conchae
bowl. Gejala yang ditemukan berupa eritema dan gatal disertai rasa terbakar
dan gatal ringan terutama di kulit kepala. Folikulitis pitirosporum juga dapat
ditemukan di daerah seboroik. Biasanya dimulai saat remaja sebagai akibat
respons aktivitas androgen yang meningkatkan produktivitas kelenjar
sebasea. DS pada orang dewasa mengalami periode remisi dan eksaserbasasi.
Ketombe (ptiriasis sicca) merupakan bentuk awal dermatitis seboroik. Pada
fase lanjut, lesi berbentuk eritroskuamosa di perifolikuler lalu meluas
mengenai sebagian besar skalp. Dapat sampai batas depan rambut yang
disebut sebagai corona seborrhoica atau ke belakang meluas ke daun telinga,
leher, dan periauricular. Tipe yang berminyak (ptiriasis steatoides)

2
mempunyai karakteristik warna kuning kemerahan, infiltrat yang ringan dan
berminyak, skuama yang tipis, dan krusta. Kadang-kadang dapat disertai
otitis eksterna, dan ketika kronis akan mengakibatkan kerontokan rambut
hingga mencapai alopesia.
Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kulit yang kronis progresif
residif, dengan dasar genetik yang kuat, karena kelainan yang kompleks pada
pertumbuhan dan diferensiasi epidermal, dan abnormalitas multipel dari
biokimia, imunologi, dan vaskular. Penyebabnya belum diketahui. Sampai
saat ini tidak ada pengertian yang kuat mengenai patogenesis psoriasis, tetapi
peranan autoimunitas dan genetik dapat merupakan akar yang dipakai dalam
prinsip terapi. Tidak ada perbedaan insidens pada pria maupun wanita.
Mortalitas psoriasis rendah namun morbiditas tinggi, dengan dampak luas
pada kualitas hidup pasien ataupun kondisi sosioekonominya. Penyakit ini
terjadi di segala usia, tersering pada usia 15-30 tahun. Puncak usia kedua
adalah 57-60 tahun. Gambaran klasik berupa plak eritematosa dengan
skuama putih keperakan, lamelar, dan mudah dilepas akibat garukan disertai
titik-titik pendarahan bila skuama dilepas (Auspitz sign). Berukuran dari
seujung jarum sampai dengan plakat menutupi sebagian besar area tubuh,
umumnya simetris. Biasanya disertai rasa gatal, sehingga kulit sering
teriritasi karena garukan. Penyakit ini dapat menyerang kulit, kuku, mukosa
dan sendi tetapi tidak mengganggu rambut. Penampilan berupa infiltrat
eritematosa, eritema yang muncul bervariasi dari yang sangat cerah sampai
merah pucat. Pada lidah dapat dijumpai plak putih berkonfigurasi mirip
peta yang disebut lidah geografik. Lesi psoriasis umumnya dijumpai pada
bagian ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala,
lumbosakral bagian bawah, bokong dan genitalia, meskipun sekali lagi lokasi
lesi ditentukan oleh tipe psoriasis yang diderita. Selain di tempat-tempat
tersebut lesi juga dapat dijumpai pada umbilikus dan celah intergluteal.

2
Tabel 1. Perbandingan teori dan kasus
Teori Kasus
Epidemiologi Tinea capitis biasanya ditemukan Pasien adalah seorang
anak-anak pra-remaja dengan laki-laki berusia 30
kejadian puncak antara usia 3-14 tahun
tahun. Tinea capitis jarang terlihat
pada orang dewasa dan jarang
terlihat pada bayi dan orang tua.
Pada kelompok usia anak, (sering
terjadi pada pria > wanita). Pada
orang dewasa (sering terjadi pada
wanita > pria).
Anamnesis Dalam semua jenis, ciri utamanya Timbul koreng disertai
(rambut rontok sebagian dengan rasa gatal. Gatal
peradangan pada tingkat tertentu, memberat pada saat
dan Limfadenopati serviks atau berkeringat atau cuaca
oksipital yang menonjol)Pada tipe panas. Terdapat keluhan
kerion, ditandai massa inflamasi rambut rontok. Terdapat
yang nyeri pada palpasi dan riwayat penggunaan topi
disertai adenopati regional, yang lama dan memiliki
dimulai sebagai tinea kering yang hewan peliharaan.
melibatkan satu atau lebih plak
pseudoalopecia dengan scalling,
eritema dan peradangan
menghasilkan lesi yang
menyakitkan dengan batas jelas
yang ditutupi dengan banyak
pustula.
Faktor predisposisi yaitu
kebersihan yang buruk, paparan

2
rumah tangga, lingkungan hidup
yang ramai, status sosial ekonomi
yang lebih rendah, infeksi jamur
yang terjadi bersamaan, berbagi
fomites yang terkontaminasi
(misalnya, sisir, sikat, bantal, atau
topi), partisipasi dalam olahraga
dengan kontak fisik yang dekat,
lingkungan yang hangat dan
lembab, dan imunodefisiensi.
Terinfeksi melalui kontak dekat
dengan orang yang terinfeksi,
pembawa asimtomatik, hewan
(khususnya, hewan peliharaan
rumah), tanah, atau fomites yang
terkontaminasi (misalnya sisir,
topi, bantal).
Gambaran Papula eritematosa, sisik, atau Pada pemeriksaan fisik
klinis plak. Untuk kerion awalnya bisa didapatkan pada regio
muncul sebagai folikulitis parietalis terdapat
supuratif yang menyakitkan. alopesia dan regio colli
Seiring waktu, kerion biasanya dextra posterior terdapat
berkembang menjadi alopecia pembesaran KGB
yang menyebar dan tidak merata regional.
dengan pustula yang tersebar atau Pada regio parietalis
folikulitis derajat rendah; lesi didapatkan plak eritema
indurasi yang menyakitkan; atau berbatas tegas tunggal
plak edema boggy yang nyeri dan berbentuk bulat dan
supuratif dengan pustula dan Pustul eritema berbatas
krusta tebal atau nodul dan tegas multiple berbentuk
alopesia. Lesi biasanya soliter dan bulat distribusi diskret
terjadi di daerah oksipital kulit sampai konflues disertai

2
kepala. Limfadenopati regional skuama putih keabuan
sering ditemukan. halus dan krusta
kemerahan.
Tabel 2. Perbandingan diagnosis banding pada kasus
Tinea Capitis Dermatitis Psoriasis Vulgaris
Kerion Seboroik
Epi- Tinea capitis Dermatitis seboroik Tidak ada perbedaan
demiologi biasanya dapat terjadi pada insidens pada pria
ditemukan anak- semua kelompok maupun wanita.
anak pra-remaja usia, namun Penyakit ini terjadi
dengan kejadian biasanya terpisah di segala usia,
puncak antara usia menjadi dua tersering pada usia
3-14 tahun. Tinea golongan yaitu 15-30 tahun. Puncak
capitis jarang neonates usia kedua adalah
terlihat pada orang (memuncak pada 3 57-60 tahun.
dewasa dan jarang bulan pertama) dan
terlihat pada bayi dewasa (pada usia
dan orang tua. 30 hingga 60 tahun).
Pada kelompok DS biasanya diderita
usia anak, (sering (lelaki >
terjadi pada pria > perempuan), dalam
wanita). Pada berbagai golongan
orang dewasa usia dan ras. DS
(sering terjadi pada juga dapat
wanita > pria). ditemukan pada
pasien dengan
kondisi
imunosupresi (mis.
HIV/AIDS,
transplantasi organ)
dan penyakit lain
(mis. Parkinson,

2
serta gangguan
nutrisi dan kelainan
genetik).

Etiologi Faktor predisposisi Faktor Erat kaitan peranan


yaitu kebersihan presdiposisinya ialah autoimunitas dan
yang buruk, kelainan konstitusi genetik. Beberapa
paparan rumah berupa status faktor pencetus
tangga, lingkungan seboroik genetic. kimiawi, mekanik
hidup yang ramai, Patogenesis DS dan termal,
status sosial masih belum Ketegangan
ekonomi yang diketahui namun emosional, Beberapa
lebih rendah, berhubungan erat macam obat
infeksi jamur yang dengan jamur misalnya beta-
terjadi bersamaan, Malassezia, kelainan bloker, angiotensin-
berbagi fomites imunologis, aktivitas converting enzyme
yang kelenjar sebasea dan inhibitors,
terkontaminasi kerentanan pasien. antimalaria, litium,
(misalnya, sisir, Pada orang yang nonsteroid
sikat, bantal, atau mempunyai faktor antiinflamasi,
topi), partisipasi predisposisi, gembfibrosil dan
dalam olahraga timbulnya DS beberapa antibiotic,
dengan kontak disebabkan oleh Bakteri, virus, dan
fisik yang dekat, faktor kelelahan, jamur merupakan
lingkungan yang stress, emosional, faktor pembangkit
hangat dan lembab, infeksi, atau psoriasis dan Stres.
dan defisiensi imun.
imunodefisiensi. Kondisi ini dapat
Terinfeksi melalui diperburuk dengan
kontak dekat meningkatnya
dengan orang yang keringat, cuaca dan
terinfeksi, stress emosional.

3
pembawa Pencetus
asimtomatik, kekambuhan DS
hewan (khususnya, umumnya akibat
hewan peliharaan stres emosional,
rumah), tanah, atau letih, depresi,
fomites yang perubahan suhu,
terkontaminasi higiene pribadi,
(misalnya sisir, pajanan matahari,
topi, bantal). perubahan pola
makan, infeksi, obat
dan berada di
ruangan dingin
cukup lama.
Gejala Dalam semua jenis, Pada kulit kepala Pada kulit tampak
klinis ciri utamanya (lesi skuama sedikit, plak eritematosa
pruritus di kulit kering, warna putih dengan skuama
kepala, rambut dan mudah lepas. putih menutupi
rontok sebagian Lesi dapat terlihat di sebagian besar area
dengan peradangan wajah secara tubuh, umumnya
pada tingkat simetris, regio simetris. Disertai
tertentu, dan retroaurikularis, rasa gatal,
Limfadenopati kanal auditori anamnesis adanya
serviks atau eksternal, aurikula konsumsi obat-
oksipital yang dan conchae bowl. obatan yang memicu
menonjol). Gejala berupa psoriasis, onset
eritema dan gatal penyakit dan adanya
disertai rasa terbakar riwayat psoriasis
dan gatal ringan pada anggota
terutama di kulit keluarga lain.
kepala. Biasanya Penyakit ini dapat
dimulai saat remaja. menyerang kulit,
DS pada orang kuku, mukosa dan

3
dewasa mengalami sendi tetapi tidak
periode remisi dan mengganggu
eksaserbasasi. rambut.

Gambaran Papula eritematosa, Ketombe (ptiriasis Plak eritematosa


klinis sisik, atau plak. sicca) merupakan dengan skuama
Untuk kerion bentuk awal putih keperakan,
awalnya bisa dermatitis seboroik. lamelar, dan mudah
muncul sebagai Pada fase lanjut, lesi dilepas disertai titik-
folikulitis supuratif berbentuk titik pendarahan
yang menyakitkan. eritroskuamosa di bila skuama dilepas
Seiring waktu, perifolikuler lalu (Auspitz sign)
kerion biasanya meluas mengenai fenomena tetesan
berkembang sebagian besar lilin, dan fenomena
menjadi alopecia skalp. Dapat sampai koebner, infiltrat
yang menyebar dan batas depan rambut eritematosa, eritema
tidak merata atau ke belakang bervariasi dari
dengan pustula meluas ke daun sangat cerah sampai
yang tersebar atau telinga, leher, dan merah pucat. Pada
folikulitis derajat periauricular. Tipe lidah dapat
rendah; lesi yang berminyak dijumpai plak putih
indurasi yang (ptiriasis steatoides) berkonfigurasi
menyakitkan; atau karakteristiknya mirip peta disebut
plak edema boggy warna kuning lidah geografik. Lesi
yang nyeri dan kemerahan, infiltrat dijumpai pada
supuratif dengan yang ringan dan bagian ekstensor
pustula dan krusta berminyak, skuama ekstremitas terutama
tebal atau nodul tipis, dan krusta. siku dan lutut, kulit
dan alopesia. Lesi Kadang dapat kepala, lumbosakral
biasanya soliter disertai otitis bagian bawah,
dan terjadi di eksterna, ketika bokong dan
daerah oksipital kronis genitalia, namun

3
kulit kepala. mengakibatkan lokasi lesi
Limfadenopati kerontokan rambut ditentukan oleh tipe
regional sering hingga mencapai psoriasis yang
ditemukan. alopesia. diderita.

Diajukan pemeriksaan penunjang pada kasus ini berupa tes fluoresensi


dengan lampu Wood, yang mana akan terlihat warna kuning kehijauan pada
tinea kapitis. Selain itu dilakukan juga pemeriksaan KOH 10% untuk sediaan
rambut, pada tinea kapitis akan tampak hifa panjang bersekat, spora berderet
(artrospora). Pemeriksaan lampu wood akan menunjukkan fluoresensi rambut
hijau terang sampai kuning hijau yang terinfeksi M. canis dan M. audouinii.
Pemeriksaan mikologi untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis
yang dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku. Pada sediaan rambut
yang dilihat adalah spora kecil (mikrospora) atau besar (makrospora). Spora
dapat tersusun diluar rambut (ektotriks) atau didalam rambut (endotriks).
Kadang-kadang dapat terlihat juga hifa pada sediaan rambut.
Penatalaksanaan non-medikamentosa menjelaskan kepada pasien
mengenai penularan yang terjadi antar manusia ke manusia, manusia ke
hewan, manusia melalui kontak benda yang terkontaminasi. Sehingga
menjaga kebersihan diri dan barang-barang yang dipakai sangat diperlukan.
Penatalaksaan medikamentosa sitemik menggunakan Griseofulvin per
oral 1x500 mg/ hari selama 6 minggu. Griseofulvin terakumulasi di keratin
rambut, membuat keratin baru tahan terhadap invasi jamur. Obatnya
fungistatik; itu menghambat sintesis asam nukleat, menahan pembelahan sel
di metafase, dan merusak sintesis dinding sel jamur. Terdapat tinjauan
sistematis bahwa terbinafine lebih efektif melawan spesies Trichophyton
sedangkan griseofulvin lebih efektif melawan spesies Microsporum.

3
BAB V
KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis banding
pada kasus ini yaitu Tinea Capitis Kerion, Dermatitis Seboroik dan
Psoriasis Vulgaris dan diagnosis kerja pada kasus adalah Tinea Capitis
Kerion.
2. Penyebab Tinea Capitis Kerion adalah infeksi dermatofita pada kulit dan
rambut kepala dan penularannya melalui kontak langsung dan tidak
langsung.
3. Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada kasus ini adalah fluoresensi
dengan lampu wood dan pemeriksaan KOH 10% untuk membantu
penegakan diagnosis.
4. Tatalaksana yang dapat diberikan pada kasus adalah edukasi pasien
berkaitan tentang penyakitnya, pemberian Griseofulvin per oral 1x500 mg/
hari selama 6 minggu dan Selenium sulfida 1% sampo 2x/minggu,
diamkan dalam 5 menit.

3
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, Richard S. 2015. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC.


2. Menaldi S.L, et al, 2016. Ilmu penyakit kulit dan kelamin Edisi Ketujuh.
Jakarta: Badan Penerbit FK UI. Hal. 109-116
3. Soebono, H., 2001. Dermatomikosis Superfisialis. Jakarta; Balai Penerbit
FKUI.
4. Anggraini D.D., Setyaningrum T. 2014. Tinea Capitis Kerion Type: A Case
Report. Departement of Dermato and Venereology Faculty of Medicine
Airlangga University. Dr.Soetomo General Hospital Surabaya-
Indonesia.Vol. 26 (3).
5. Devi D., Ervianty E. 2018. Studi Retrospektif: Karakteristik Dermatofitosis.
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Soetomo Surabaya. Vol. 30(1).
6. John AM, Schwartz RA, Janniger CK. 2018. The kerion: An angry tinea
capitis. Int J Dermatol. 57(1): 3-9. http://dx.doi.org/10.1111/ijd.13423
PMID: 27696388
7. Barankin B. 2020. Tinea Capitis: An Updated Review. Bentham Science.
Recent Patents on Inflammation & Allergy Drug Discovery. 14: pp.58-68
8. Mirmirani P, Tucker LY. 2013. Epidemiologic trends in pediatric tinea
capitis: A population-based study from Kaiser Permanente Northern
California. J Am Acad Dermatol. 69(6): 916-21.
http://dx.doi.org/10.1016/j.jaad.2013.08.031 PMID: 24094452
9. Nugroho A.R.L., Basuki S. 2019. Kerion Celsi yang disebabkan oleh
Trichophyton Verrucosum. FK Universitas Brawijaya. RSUD dr.Saiful
Anwar, Malang. Vol.46(1).
10. Widaty S, Marina A. 2016. Pilihan Pengobatan Jangka Panjang pada
Dermatitis Seboroik. Mdvi. 43(4):153–9.
11. Plewig G. 2004. Seborrheic dermatitis. In Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Wolff
K, Freedberg IM, Austen KF. Dermatology in general medicine. Volume 1.
Fourth edition. United Stases of America: Mc Grow Hill. 1569-73.

3
12. Tjarta A., Sularsito S.A., Kurniati D.D, Rihatmaja R. 2003. Metode
Diagnostik dan Penatalaksanaan Psoriasis dan Dermatitis. Jakarta: FKUI
13. Freedberg I.M., Eisen A.Z., Wolff K., Austen K.F., Goldsmith L.A., Katz
S.L. 2003. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 6th ed. New
York: The McGrow Hill.
14. Champion RH, Burton JL, Ebling FJG. 2005. Seborrhoic dermatitis.
Textbook of dermatology. Volume I. Fifth edition. Oxford: Blackwell
Scientific Publications. 545-51.
15. Johan dan Hamzah. 2016. Gejala Klinis dan Terapi Psoriasis Pustulosa
Generalisata tipe von Zumbuch. Bandung: SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin RS Immanuel Bandung.
16. Yuliastuti D. 2015. Psoriasis. Rumah Sakit Meilia Cibubur. Depok. Vol
42(12).
17. Kamiya K., et al. 2019. Risk Factors For The Development of Psoriasis.
International Journal of Molecular Sciences. Int. J. Mol. 20. 4347.
Doi:10.3390/ijms20184347.
18. Gudjonsson dan Elder. Psoriasis. 2012. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leff el DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc.

Anda mungkin juga menyukai