Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan
salah satu indikator yang digunakan untuk melihat derajat kesehatan seorang ibu
dan bayi di suatu wilayah. AKI dan AKB juga merupakan salah satu target
pembangunan millennium (Millennium Development Goals/MDGs), yaitu target
kelima untuk meningkatkan kesehatan ibu dengan mengurangi risiko kematian
pada ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas (Safari, 2017).
Berdasarkan data Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada
tahun 2012, Indonesia merupakan negara dengan angka kematian ibu (AKI)
sebanyak 359 per 100.000 kelahiran hidup dengan angka kematian bayi (AKB) 32
per 1000 kelahiran hidup. Oleh karena itu perlu target dimasa mendatang, dimana
AKI sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 23 per 1000
kelahiran hidup. Diharapkan dengan mengetahui sedini mungkin faktor-faktor
risiko untuk terjadinya komplikasi selama kehamilan dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi. Hal ini masih membutuhkan komitmen
dan usaha keras yang terus menerus untuk mewujudkan MDGs (BAPPENAS,
2015).
Salah satu penyebab kematian pada bayi baru lahir adalah asfiksia. Asfiksia
pada bayi baru lahir (asfiksia neonatorum) adalah keadaan bayi baru lahir yang
gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini disertai
dengan hipoksia dan hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis. Hipoksia yang
terdapat pada penderita asfiksia pada bayi baru lahir merupakan faktor terpenting
yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ektrauterin.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO), diperkirakan empat sampai
sembilan juta bayi baru lahir (neonatus) mengalami asfiksia neonatorum pada
saat lahir setiap tahunnya (WHO, 2015). Data Survei Demografi Kesehatan
Indonesia (SDKI) pada tahun 2014 angka kematian bayi sebesar 34 kematian per

Universitas Muhammadiyah Palembang


2

1.000 kelahiran hidup. Sebanyak 47% meninggal pada masa neonatal, setiap lima
menit terdapat satu neonatus yang meninggal. Penyebab kematian bayi baru lahir
di Indonesia, salah satunya adalah asfiksia sebesar 27% yang merupakan
penyebab kedua kematian bayi baru lahir setelah bayi berat lahir rendah (BBLR)
(Dinkes Prop. Sumsel, 2014). Salah satu faktor yang menyebabkan asfiksia pada
bayi baru lahir adalah ketuban pecah dini (Prawirahardjo, 2016).
Ketuban pecah dini akan mengakibatkan terjadinya oligohidramnion yang
dapat menyebabkan terjadinya hipoksia hingga gawat napas dan berlanjut menjadi
asfiksia pada bayi baru lahir, penanganan dalam menghadapi kasus ketuban pecah
dini (KPD) perlu mendapat perhatian lebih yang nantinya sangat menentukan
prognosis ibu dan neonatus ( Sholeh Kasim, 2012).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang, Angka Kematian
Bayi (AKB) pada tahun 2012 sebanyak 1,5% per 1.000 kelahiran hidup,
meningkat pada tahun 2012 sebesar 1,6% per 1.000 kelahiran hidup, meningkat
kembali pada tahun 2013 sebanyak 1,8% per 1.000 kelahiran hidup dan semua itu
disebabkan berbagai masalah mulai dari pernapasan (asfiksia), infeksi pada bayi,
berat bayi lahir rendah, dan hipotermi (Dinkes Kota Palembang, 2014).
Berdasarkan penelitian Sulistyorini (2014), dengan judul gambaran umur ibu dan
usia kehamilan ibu yang melahirkan bayi asfiksia di rumah sakit Muhammadiyah
Palembang tahun 2014 bahwa kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di RS
Muhammadiyah Palembang sebanyak (21,9%) terjadi pada usia kehamilan
preterm, dan sebanyak (14,7 %) terjadi pada usia kehamilan posterm, selanjutnya
sebagian besar yang mengalami asfiksia sebanyak (63,4%) yaitu terjadi pada usia
kehamilan aterm. Dan dari data tersebut faktor predisposisi asfiksia neonatorum
pada kehamilan aterm yaitu bayi dengan berat badan bayi lahir rendah, ketuban
pecah dini, ibu yang mengalami eklamsi dan preeklamsi dan lain-lain
(Sulistyorini, 2014). Sedangkan berdasarkan penelitian Desfauza( 2007), dengan
judul faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asfiksia neonatorum pada bayi
baru lahir yang dirawat di RS DR Pirngadi Medan tahun 2007 hasil penelitiannya
menunjukan bahwa tidak ada pengaruh anatara KPD dengan asfiksia neonatorum
(Desfauza, 2007).

Universitas Muhammadiyah
Palembang
3

Berdasarkan tingginya prevalensi asfiksia pada bayi baru lahir di RS


Muhammadiyah Palembang dan salah satu faktor yang mempengaruhinya yaitu
ketuban pecah dini, serta penelitian mengenai pengaruh ketuban pecah dini
terhadap asfiksia neonatorum masih terdapat perbedaan, oleh karena itu peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara ketuban pecah dini
pada kehamilan aterm dengan kejadian asfiksia neonatorum di RS
Muhammadiyah Palembang.

1.2. Rumusan Masalah


“Apakah terdapat hubungan antara ketuban pecah dini pada kehamilan
aterm dengan kejadian asfiksia neonatorum di RS Muhammadiyah Palembang?”

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara ketuban pecah dini pada
kehamilan aterm dengan kejadian asfiksia neonatorum di RS
Muhammadiyah Palembang.

1.3.2. Tujuan Khusus


1. Mengidentifikasi distribusi frekuensi ibu yang melakukan persalinan
dengan ketuban pecah dini pada kehamilan aterm di RS
Muhammadiyah Palembang.
2. Mengidentifikasi angka kejadian asfiksia neonatorum dari ibu yang
mengalami ketuban pecah dini di RS Muhammadiyah Palembang.
3. Mengidentifikasi angka kejadian ketuban pecah dini di RS
Muhammadiyah Palembang berdasarkan usia ibu.
4. Mengidentifikasi angka kejadian ketuban pecah dini di RS
Muhammadiyah Palembang berdasarkan paritas ibu.
5. Mengidentifikasi angka kejadian asfiksia neonatorum di RS
Muhammadiyah berdasarkan jenis persalinan.

Universitas Muhammadiyah
Palembang
4

6. Menganalisis hubungan antara ketuban pecah dini dengan kejadian


asfiksia neonatorum di RS Muhammadiyah Palembang.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Manfaat Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuktikan kesesuian kejadian
di lapangan dengan teori yang diuraikan dan dapat menambah pengetahuan
serta pengalaman bagi penulis dalam penerapan ilmu yang didapat selama
pendidikan khususnya tentang metodologi penelitian.

1.4.2. Manfaat Bagi Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang


Hasil Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk:
1. Bahan untuk kepustakaan dan referensi sehingga dapat menambah
wawasan.
2. Meningkatkan kesadaran rumah sakit didalam melakukan tindakan
preventif terhadap risiko asfiksia pada bayi baru lahir.
3. Menjadi bahan pertimbagan bagi para praktisi maupun institusi
kesehatan agar dapat mengambil tindakan cepat dan tepat dalam
rangka meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan bayi.
1.4.3. Manfaat bagi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan untuk
kepustakaan dan referensi yang bermanfaat bagi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang dan Fakultas Kedokteran lainnya.
1.4.4. Manfaat bagi Subjek atau Masyarakat
Dapat menambah pengetahuan dan kesadaran masyarakat, terutama
bagi ibu hamil, mengenai ketuban pecah dini yang dapat menyebabkan
asfiksia pada bayi baru lahir sehingga dapat menumbuhkan kesadaran untuk
menjaga kehamilan dengan baik untuk mencegah terjadinya asfiksia pada
bayi lahir.

Universitas Muhammadiyah
Palembang
5

1.5. Keaslian Penelitian


Telah ada penelitian terdahulu yang mengkaji hal-hal yang menyangkut
kejadian Asfiksia pada bayi baru lahir, yaitu:
Nama Judul penelitian Desain Hasil
penelitian
Rakhmawatie, Faktor-faktor yang Cross sectional Faktor-faktor yang
2012 berhubungan berhubungan dengan
dengan kejadian asfiksia neonatorum adalah
asfiksia neonatorum Usia ibu, perdarahan ante
di RSUD Tugurejo partum, BBRL, dan
Semarang ketuban pecah dini.

Azizah, N, 2013 Hubungan Antara Cross sectional Terdapat hubungan antara


Ketuban Pecah Dini ketuban pecah dini dengan
Dan Kejadian kejadian asfiksia pada bayi
Asfiksia Pada Bayi baru lahir.
Baru Lahir di
Bapelkes RSD
Jombang
Keshi, 2010 Hubungan antara Cross sectional Terdapat hubungan antara
lama ketuban pecah lama ketuban pecah dini
dini dengan dengan kejadian asfiksia
kejadian asfiksia neonatorum pada
neonatorum pada kehamilan aterm.
usia kehamilan
aterm di RS Bhakti
Yudha Depok tahun
2010
Widuri, M. 2009 Hubungan ketuban Case control Ada hubungan yang
pecah dini dengan bermakna antara ketuban
kejadian asfiksia pecah dini dengan asfiksia
pada bayi baru lahir pada bayi baru lahir
di RSU PKU (p=0,012 dengan OR =
Muhammadiyah 3,667)
Bantul Yogyakarta
pada tahun 2007-
2009
Desfauza, E. 2007 Faktor faktor yang Case control Tidak ada pengaruh antara
mempengaruhi KPD dengan asfiksia
terjadinya asfiksia neonatorum.
neonatorum pada
bayi baru lahir yang
dirawat di RS DR
Pirngadi Medan
tahun 2007

Universitas Muhammadiyah
Palembang
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ketuban Pecah Dini (KPD)

2.1.1 Definisi Ketuban Pecah Dini


Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban
sebelum persalinan (Prawirohardjo, 2016). Sedangakan menurut Manuaba,
2012, ketuban pecah dini didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum
waktunya tanpa disertai tanda inpartu dan setelah satu jam tetap tidak
diikuti dengan proses inpartu sebagaimana mestinya. Selain itu ketuban
pecah dini juga didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum waktunya
melahirkan atau inpartu ,pada pembukaan ≤4 cm (fase laten) (Nugroho,
2012).

2.1.2 Epidemiologi Ketuban Pecah Dini


Insiden ketuban pecah dini adalah 5-10% dari persalinan, 1% dari
seluruh kehamilan. Mencapai 70% dari kasus ketuban pecah dini terjadi
pada kehamilan aterm, namun pada beberapa penelitian lebih dari 50%
terjadi saat kehamilan preterm (Medscape Journal of Medicine, 2011). Pada
kehamilan aterm, onset terjadinya persalinan dalam 24 jam setelah ketuban
pecah dini pada 80-90% pasien. Pada periode laten lebih dari 24 jam pada
57-83%, atau lebih dari 72 jam pada 15-26% pasien, dan dalam 7 hari atau
lebih pada 19-41% pasien. Pada 8-10% kehamilan aterm terjadi KPD.
Naiknya insidensi ketuban pecah dini sebanding dengan angka faktor risiko
seperti kurang gizi saat masa kehamilan, konsumsi alkohol, dan keadaan
kandungan seperti hidramnion (Medscape Journal of Medicine, 2011).

Universitas Muhammadiyah
Palembang
7

2.1.3 Etiologi Ketuban Pecah Dini


Walaupun banyak publikasi tentang KPD, penyebabnya masih belum
diketahui dan tidak dapat ditemukan secara pasti. Beberapa laporan
menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD, namun
faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Menurut Manuaba
(2012), yang menjadi faktor predisposisi pada ketuban pecah dini adalah :
A. Faktor Umum
Faktor umum yang mempengaruhi terjadinya ketuban pecah
dini yaitu :
1. Infeksi lokal pada saluran kelamin
2. Faktor sosial seperti: perokok, peminum dan keadaan sosial
ekonomi rendah
B. Faktor keturunan
Faktor keturunan yang mempengaruhi terjadinya ketuban
pecah dini yaitu:
1. Kelainan genetik
2. Faktor rendahnya vitamin dan ion Cu dalam serum karena
asupan nutrisi makanan ibu yang kurang
C. Faktor obstetrik
Faktor obstetrik yang mempengaruhi terjadinya ketuban pecah
dini yaitu:
1. Overdistensi uterus seperti kehamilan kembar dan
hidramnion.
2. Serviks inkompeten yaitu, ketidakmampuan serviks untuk
mempertahankan suatu kehamilan oleh karena efek fungsi
maupun struktur pada serviks.
3. Serviks konisasi atau menjadi pendek
4. Terdapat sefalopelvik disproporsi yaitu, kepala janin belum
masuk pintu atas panggul dan kelainan letak janin, sehingga
ketuban bagian terendah langsung menerima tekanan
intrauteri yang dominan. Menurut Caughey, Julian dan

Universitas Muhammadiyah
Palembang
8

Errol (2008), ada salah satu faktor obstetrik yang


berpengaruh yaitu grandemultipara.
D. Faktor yang tidak diketahui sebabnya

2.1.4 Faktor – faktor yang mempengaruhi Ketuban Pecah Dini (KPD)


Menurut Morgan (2009), Kejadian Pecah Dini (KPD) dapat
disebabkan oleh beberapa faktor meliputi :
a. Usia
Berdasarkan teori dan beberapa penelitian, usia ibu sangat
berpengaruh terhadap kesiapan ibu selama kehamilan maupun
menghadapi persalinan. Menurut Prawirohardjo, 2016 usia reproduksi
optimal bagi seorang ibu adalah antara umur 20-35 tahun. Di bawah
atau di atas usia tersebut akan meningkatkan resiko kehamilan dan
persalinan. Usia seseorang sedemikian besarnya akan mempengaruhi
sistem reproduksi, karena organ-organ reproduksinya sudah mulai
berkurang kemampuannya dan keelastisannya dalam menerima
kehamilan (Prawirohardjo, 2016).
b. Paritas
Wanita yang telah melahirkan beberapa kali maka akan lebih berisiko
tinggi mengalami KPD pada kehamilan berikutnya. Paritas adalah
banyaknya anak yang dilahirkan oleh ibu dari anak pertama sampai
dengan anak terakhir. Adapun pembagian paritas yaitu nulipara,
primipara, multipara, dan grandemultipara. Nulipara adalah seorang
wanita yang belum pernah melahirkan dengan usia kehamilan lebih
dari 28 minggu atau belum pernah melahirkan janin yang mampu
hidup di luar rahim. Primipara adalah seorang wanita yang melahirkan
untuk pertama kalinya. Multipara adalah seorang wanita yang telah
melahirkan 2 kali atau lebih. Sedangkan grande multipara adalah
seorang wanita yang telah melahirkan lebih dari 5 kali (Cunninghan,
2013). Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan pernah
mengalami KPD pada kehamilan sebelumnya serta jarak kelahiran

Universitas Muhammadiyah
Palembang
9

yang terlampau dekat diyakini lebih beresiko akan mengalami KPD


pada kehamilan berikutnya (Cunninghan, 2013). Kehamilan yang
terlalu sering dapat memengaruhi embriogenesis, selaput ketuban
lebih tipis sehingga mudah pecah sebelum waktunya dan semakin
banyak paritas semakin mudah terjadi infeksi amnion karena rusaknya
struktur servik pada persalinan sebelumnya. Wanita dengan paritas
kedua dan ketiga pada usia reproduktif biasanya relative memiliki
keadaan yang lebih aman untuk hamil dan melahirkan, karena pada
keadaan tersebut dinding uterus lebih kuat karena belum banyak
mengalami perubahan, dan serviks belum terlalu sering mengalami
pembukaan sehingga dapat menyanggah selaput ketuban dengan baik.
Wanita yang telah melahirkan beberapa kali akan lebih berisiko
mengalami KPD, karena jaringan ikat selaput ketuban mudah rapuh
yang diakibatkan oleh vaskularisasi pada uterus mengalami gangguan
yang mengakibatkan akhirnya selaput ketuban mengalami pecah
spontan.

c. Pembesaran Uterus
Over distensi dapat menyebabkan terjadinya KPD karena distensi
uterus atau over distensi yang membuat rahim lebih besar sehingga
selaput ketuban lebih tipis dan mudah pecah. Menurut Caughay bahwa
over distensi yang disebabkan oleh polihidramnion dan kehamilan
kembar mengakibatkan lebih tinggi resiko terjadi KPD. Wanita
dengan kehamilan kembar beresiko tinggi mengalami KPD. Hal ini
disebabkan oleh peningkatan massa plasenta dan produksi hormon
yang dap memungkinkan ketegangan rahim meningkat sewaktu-waktu
selaput ketuban dapat pecah secara tiba-tiba yang dapat diidentifi kasi
sebagai KPD.

Universitas Muhammadiyah
Palembang
10

d. Anemia
Anemia pada kehamilan terjadi karena kekurangan zat besi. Ibu hamil
yang mengalami anemia biasanya ditemukan ciri-ciri lemas, pucat,
cepat lelah, mata berkunang-kunang. Darah ibu hamil akan mengalami
hemodelusi atau pengenceran dengan peningkatan volume 30%
sampai 40% yang puncaknya pada kehamilan 32 sampai 34 minggu.
Pemeriksaan darah dilakukan minimal dua kali selama kehamilan
yaitu pada trimester pertama dan trimester ke tiga. Efek anemia pada
janin antaralain: abortus, terjadi kematian intrauterin, prematuritas,
berat badan lahir rendah, cacat bawaan dan mudah infeksi. Efek pada
ibu saat kehamilan dapat mengakibatkan abortus, persalinan
prematuritas, ancaman dekompensasi kordis dan ketuban pecah dini.
(Manuaba, 2012).

e. Riwayat Ketuban Pecah Dini


Ibu bersalin dengan pengalaman kejadian ketuban pecah dini dapat
berpengaruh besar dalam menghadapi kondisi kehamilan. Ibu yang
memiliki riwayat ketuban pecah dini sebelumnya berisiko 2-4 kali
mengalami ketuban pecah dini kembali. Resiko tersebut dapat terjadi
karena komposisi membran yang menjadi rapuh dan kandungan
kolagen yang semakin menurun pada kehamilan berikutnya
(Cunninghan, 2013).

2.1.5 Gejala Klinis Ketuban Pecah Dini


Tanda yang terjadi pada ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan
ketuban melalui vagina. Aroma air ketuban berbau amis, berbeda dengan
urin yang berbau pesing seperti bau amoniak, dengan ciri pucat. Cairan ini
tidak akan habis atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran.
Cairan ketuban berwarna jernih, kadang-kadang bercampur lendir darah
(Manuaba, 2012). Apabila terjadi infeksi, maka dapat terjadi demam,

Universitas Muhammadiyah
Palembang
11

keluarnya bercak vagina yang banyak, nyeri perut, dan denyut jantung janin
bertambah cepat (Prawirohardjo, 2016).
Tanda dan gejala lain yang timbul pada ketuban pecah dini yaitu :
A. Tanda maternal
Keluarnya cairan ketuban berwarna putih keruh, jernih, kuning, hijau,
atau kecoklatan sedikit-sedikit atau sekaligus banyak, disertai demam
apabila sudah terdapat infeksi, pada pemeriksaan dalam tampak
selaput ketuban tidak ada dan air ketuban sudah kering atau tampak
cairan ketuban mengalir, bercak vagina yang banyak serta nyeri perut.
B. Tanda fetal
Janin mudah diraba, denyut jantung janin bertambah cepatyang
merupakan tanda dari infeksi yang terjadi
C. Tanda cairan amnion
Tanda pada cairan amnion antara lain, volume cairan ketuban
berkurang (Sukarni, 2013).

2.1.6 Patofisiologi Ketuban Pecah Dini


Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh
kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena
pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput
ketuban inferior rapuh (Prawirohardjo, 2016).
Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi ekstraseluler
matriks. Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen
menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban
pecah. Faktor risiko untuk terjadinya ketuban pecah dini adalah
berkurangnya asam askorbik sebagai komponen kolagen serta kekurangan
tembaga dan asam askorbik yang berakibat pertumbuhan struktur abnormal
karena antara lain merokok. Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks
metalloproteinase (MMP) yang dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik
dan inhibitor protease (TIMP-1). Mendekati waktu persalinan,
keseimbangan antara MMP dan TIMP-1 mengarah pada degradasi

Universitas Muhammadiyah
Palembang
12

proteolitik dari matriks ekstraseluler dan membran janin. Aktivitas


degradasi proteolitik meningkat menjelang persalinan. Pada penyakit
periodontitis dimana terdapat peningkatan MMP, cenderung terjadi ketuban
pecah dini (Prawirohardjo, 2016).
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester
ketiga, selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput
ketuban ada hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim dan
gerakkan janin. Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia pada
selaput ketuban. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal
fisiologis. Ketuban pecah dini prematur sering terjadi pada polihidramnion,
inkompetens serviks dan solusio plasenta. Selain itu, faktor yang paling
sering menyebabkan ketuban pecah dini adalah faktor eksternal misalnya
infeksi (Prawirohardjo, 2016).
Pecahnya selaput ketuban berkaitan dengan proses biokimia yang
terjadi dalam kolagen matriks ekstraseluler amnion, kotion dan apoptosis
membran janin. Membran janin dan desidua bereaksi terhadap stimuli
seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan memproduksi
mediator seperti prostaglandin, sitokinin, dan protein hormon yang
merangsang aktivitas “matriks degrading enzyme” (Prawirohardjo, 2016).

2.1.7 Diagnosis Ketuban Pecah Dini


Menegakkan diagnosis ketuban pecah dini secara tepat sangat penting.
Diagnosis yang positif palsu berakibat untuk melakukan intervensi seperti
melahirkan bayi terlalu awal atau melakukan seksio yang sebetulnya tidak
ada indikasinya. Sebaliknya diagnosis yang negatif palsu berakibat untuk
membiarkan ibu dan janin mempunyai risiko infeksi yang akan mengancam
kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu diperlukan diagnosis
yang cepat dan tepat (Prawirohardjo, 2016). Menetapkan diagnosis
pecahnya ketuban tidak terlalu mudah, jelas tampak atau dirasakan oleh
pemeriksa, yaitu mengalirnya air ketuban dari mulut rahim.

Universitas Muhammadiyah
Palembang
13

Secara prosedural, diagnosis ketuban pecah dini ditegakkan dengan


cara :
A. Anamnesa
Menanyakan adanya riwayat pengeluaran cairan ketuban secara tiba-
tiba dari jalan lahir, Jumlah cairan yang keluar, bau cairan yang keluar
dan perlu juga diperhatikan warna keluarnya cairan tersebut, his
belum teratur atau belum ada dan belum ada pengeluaran lendir darah
(Varney, 2010).

B. Pemeriksaan fisik
- Inspeksi
Terdapat pengeluaran cairan ketuban dari vagina yang tampak
oleh mata, apabila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban
masih banyak maka pemeriksaan ini akan tampak lebih jelas
(Norma, 2013).
- Palpasi
Palpasi abdomen dilakukan untuk memastikan volume cairan
amnion. Apabila ketuban benar-benar pecah maka saat palpasi
abdomen kadang-kadang dapat mendeteksi berkurangnya cairan
karena terdapat peningkatan molase uterus serta dinding abdomen
disekeliling janin dan penurunan ballotement (Kriebs, 2010).
- Pemeriksaan dengan spekulum steril
Inspeksi genitalia eksternal untuk melihat adanya ostium serviks,
melihat cairan yang mengalir dari ostium serviks, melihat adanya
genangan cairan amnion, meminta pasien untuk mengejan lalu
tekan fundus dengan lembut atau angkat bagian presentasi
perabdomen sehingga cairan bisa mengalir, mengobservasi cairan
untuk mengetahui adanya lanugo atau vernik kaseosa. Melihat
serviks untuk mengetahui adanya prolaps tali pusat atau
ekstremitas janin (Kriebs, 2010). Melihat seviks untuk
memperkirakan pembukaan jika pemeriksaan dalam tidak

Universitas Muhammadiyah
Palembang
14

dilakukan. Mengenai pemeriksaan vagina dengan toucher perlu


dipertimbangkan, apabila kehamilan masih kurang bulan yang
belum dalam persalinan maka perlu diadakan pemeriksaan dalam,
karena jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawahrahim
dengan flora normal vagina. Mikroorganisme tersebut dapat
dengan cepat menjadi patogn. Pemeriksaan dalam vagina hanya
dilakukan pada KPD yang sudah dalam persalinan atau yang
dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin
(Norma, 2013).

C. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan leukosit darah: >15.000/ul bila terjadi infeksi, tes
lakmus merah berubah menjadi biru, amniosintesis, USG untuk
menentukan usia kehamilan dan indeks cairan amnion berkurang
(Sukarni, 2013). Tes pakis positif, tes nitrazin positif, Spesimen
untuk kultur streptokokus grup B, kultur herpes jika diindikasikan,
hasil observasi adanya cairan pada ostium serviks. Semakin cepat
dilakukan pemeriksaan seelah ketuban pecah, semakin mudah
menegakkan diagnosis ketuban pecah. Apabila sudah lebih dari 6
hingga 12 jam, banyak observasi diagnostik menjadi tidak reliabel
karena kurang cairan (Kriebs, 2010).

2.1.8 Prognosis Ketuban Pecah Dini


Prognosis ketuban pecah dini ditentukan oleh cara penatalaksanaan
dan komplikasi-komplikasi dari kehamilan. Prognosis untuk janin
tergantung pada :
a. Maturitas janin: bayi yang beratnya di bawah 2500 gram mempunyai
prognosis yang lebih jelek dibanding bayi lebih besar.
b. Presentasi: presentasi bokong menunjukkan prognosis yang jelek,
khususnya jika bayinya premature.

Universitas Muhammadiyah
Palembang
15

c. Infeksi intra uterin meningkat mortalitas janin.


d. Semakin lama kehamilan berlangsung dengan ketuban pecah, semakin
tinggi insiden infeksi (Manuaba, 2012).

2.1.9 Komplikasi Ketuban Pecah Dini


Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada
usia kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan
prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin,
meningkatnya insiden seksio sesarea, atau gagalnya persalinan normal
(Prawirohardjo, 2016).
Adapun pengaruh ketuban pecah dini terhadap ibu dan janin adalah :
A. Bagi Ibu
1. Infeksi dalam persalinan
2. Partus lama
3. Pendarahan pasca persalinan
4. Meningkatkan tindakan operatif obstetrik (khususnya seksio sesaria)
5. Morbiditas dan mortalitas maternal.
(Norwitz, 2009)
B. Bagi Janin
1. Persalinan prematur
Masalah yang dapat terjadi pada persalinan prematur diantaranya
adalah sindrom gawat napas, hipotermia, masalah asupan makanan
neonatus, prematuritas retinopati, perdarahan, intraventrikular,
necrotizing enterocolitis, gangguan otak (risiko untuk cerebral palsy).
Hiperbilirubinemia, anemia, dan sepsis.
2. Prolaps funiculli penurunan tali pusat
Hal ini bisa menyebabkan gawat janin dan kematian janin akibat
hipoksia, (sering terjadi pada presentasi bokong atau letak lintang).
3. Hipoksia dan asfiksia sekunder

Universitas Muhammadiyah
Palembang
16

Mengakibatkan kompresi tali pusat, prolaps tali pusat, nilai APGAR


rendah, ensefalopati, cerebral palsy, perdarahan intrakranial, gagal
ginjal, dan sindrom gawat napas.
(Blumenfeld et al,. 2010)

2.1.10 Diagnosa Banding Ketuban Pecah Dini


Ada beberapa diagnosa banding tentang ketuban pecah dini yaitu:
1. Inkompetensi serviks
2. Kebocoran urin
3. Sekret vagina
(Norwitz, 2009)

2.1.11 Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini


Menurut Prawirohardjo (2016), penanganan ketuban pecah dini bisa
dilakukan dengan 2 hal yaitu :
A. Tatalaksana Konservatif
1. Rawat dirumah sakit
2. Berikan antibiotika (ampisilin 4 x 500 mg atau eritromisin bila tak
tahan ampisilin) dan metrodinazol 2 x 500 mg selama 7 hari.
3. Jika umur kehamilan < 32-34 minggu, dirawat selama air ketuban
masih keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
4. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes
busa negatif : beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan
kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu.
5. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi
berikan tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24
jam.
6. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi beri antibiotik dan
lakukan induksi.
7. Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intra
uterin).

Universitas Muhammadiyah
Palembang
17

8. Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memacu


kematangan paru janin dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin
dan spingomielin tiap minggu. Dosis deksametason IM 5 mg setiap 6
jam sebanyak 4 kali.
B. Tatalaksana Aktif
1. Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio
sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 50 mg, intravaginal tiap 6
jam maksimal 4 kali.
2. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi, dan
persalinan diakhiri: a. Bila skor pelvik <5, dilakukan pematangan
serviks, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan
seksio sesarea; b. Bila skor pelvik >5, induksi persalinan partus
pervaginam.

2.1.12 Pencegahan Ketuban Pecah Dini


Menurut Morgan (2009), pencegahan ketuban pecah dini terbagi 2
yaitu ;
A. Pencegahan primer
Untuk mengurangi terjadiya pecah ketuban dini, dianjurkan bagi
ibu hamil untuk mengurangi aktivitas pada akhir trimester kedua dan
awal trimester ke 3, serta tidak melakukan kegiatan yang
membahayakan kandungan selama kehamilan. Ibu hamil juga harus
dinasihatkan supaya berhenti merokok dan minum alkohol. Berat
badan ibu sebelum kehamilan juga harus cukup mengikuti indeks
masa tubuh (IMT) supaya tidak berisiko timbul komplikasi. Selain
itu, pasangan juga dinasihatkan supaya menghentikan koitus pada
trimester akhir kehamilan bila ada faktor predisposisi.
B. Pencegahan Sekunder
Mencegah infeksi intrapartum dengan antibiotika spektrum luas:
gentamicin iv 2 x 80 mg, ampicillin iv 4x 1 mg, amoxicillin iv 3x1
mg, penicillin iv 3x 1.2 juta IU, metronidazol drip. Pemberian

Universitas Muhammadiyah
Palembang
18

kortikosteroid pada ibu bisa menimbulkan kontroversi, karena disatu


pihak dapat memperburuk keadaan ibu karena menurunkan imunitas,
di lain pihak dapat menstimulasi pematangan paru janin (surfaktan).

2.2. Asfiksia Neonatorum


2.2.1 Definisi Asfiksia Neonatorum
Asfiksia neonatorum menurut IDAI (Ikatatan Dokter Anak Indonesia)
adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau
beberapa saat setelah lahir (Prambudi, 2013).
Menurut American College of Obstetricans and Gynecologists
(ACOG) dan American Academy of Pediatrics (AAP), seorang neonatus
disebut mengalami asfiksia neonatorum bila memenuhi kondisi sebagai
berikut :
1. Nilai APGAR menit kelima 0-3
2. Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH <7,0)
3. Gangguan neorologis (misalnya; kejang, hipotonia atau koma)
4. Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan
kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem
renal)
5. Asfiksia neonatorum dapat bermanifestasi sebagai disfungsi
multiorgan, kejang dan ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia
metabolik. Bayi yang mengalami episode hipoksia-iskemik yang
signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari berbagai organ,
dengan disfungsi otak sebagai petimbangan utama ( Prambudi, 2013).

2.2.1 Epidemiologi Asfiksia Neonatorum


Diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus
diseluruh dunia disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir
mati yang lebih besar. Laporan dari organisasi kesehatan dunia (WHO)
menyebutkan bahwa sejak tahun 2000-2003 asfiksia menempati urutan ke 6,

Universitas Muhammadiyah
Palembang
19

yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak diseluruh dunia setelah
pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur.
Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir
kini hidup dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy,
retardasi mental, dan gangguan belajar (Depkes, 2008).
Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, tiga penyebab utama
kematian perinatal di Indonesia adalah gangguan pernapasan (35,9%),
prematuritas (32,4%) dan sepsis neonatorum (12,0%) (Sunshine, 2010).
Asfiksia pada bayi baru lahir dirumah sakit Provinsi Jawa Barat ialah
25,5 % dan angka kematian asfiksia neonatorum di rumah sakit pusat
rujukan provinsi di Indonesia sebesar 41,94% (Sholeh Kasim 2012).

2.2.2 Etiologi Asfiksia Neonatorum


Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses
persalinan dan melahirkan atau periode segera setelah lahir. Perubahan
pertukaran gas dan transport oksigen selama kehamilan dan persalinan akan
mempengaruhi oksigenasi sel-sel tubuh yang selanjutnya dapat
mengakibatkan gangguan fungsi sel. Gangguan fungsi sel ini dapat ringan
dan sementara atau menetap, tergantung dari perubahan homeostatis yang
terdapat pada janin. Perubahan homeostatis ini berhubungan erat dengan
beratnya dan lamanya anoksia atau hipoksia yang diderita dan
mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi sistem kordiovaskuler
(McGuire, W, 2007).

2.2.3 Faktor Risiko Asfiksia Neonatorum


Sholeh Kasim (2012), menggolongkan faktor risiko asfiksia
neonatorum terdiri dari :
Faktor risiko antepartum
A. Faktor risiko antepartum yang mengakibatkan asfiksia neonatorum
yaitu:
1. Diabetes pada ibu

Universitas Muhammadiyah
Palembang
20

2. Hipertensi dalam kehamilan atau hipertensi kronik


3. Anemia janin
4. Pendarahan antepartum
5. Infeksi ibu
6. Ibu dengan penyakit jantung, ginjal, paru, tiroid, atau kelainan
neurologi
7. Polihidramnion
8. Oligohidramnion
9. Ketuban pecah dini
B. Faktor risiko intrapartum
Faktor risiko intapartum yang mengakibatkan asfiksia neonatorum
yaitu:
1. Seksio sesarea darurat
2. Kelahiran dengan ekstraksi vakum atau forsep
3. Presentasi abnormal
4. Kelahiran kurang bulan
5. Ketuban pecah lama (>18 jam sebelum persalinan)
6. Partus lama, kala dua lama, Makrosomia dan air ketuban
bercampur meconium
7. Solusio plasenta
8. Plasenta previa

2.2.4 Patogenesis Asfiksia Neonatorum


Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau
jalan untuk mengeluarkan karbon dioksida. Pembuluh arteriol yang ada
didalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen
(PO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat
melalui paru konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah di alirkan
melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus
kemudian masuk ke aorta (Helmy, 2014).

Universitas Muhammadiyah
Palembang
21

Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai


sumber utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam
jaringan paru, dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara
akan memungkinkan oksigen akan mengalir kedalam pembuluh darah di
sekitar alveoli (Helmy, 2014).
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan
tahanan pada sirkulasi plasenta dan peningkatkan kadar oksigen di alveoli,
pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap
aliran darah berkurang (Helmy, 2014).
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah di bandingkan
tekanan sistemik sehingga aliran darah meningkat sedangkan aliran darah
pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang di absorbsi di alveoli oleh
pembuluh darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung
oksigen kembali ke bagian jantung kiri, kemudian di pompakan keseluruh
tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan
oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat
kadar oksigen meningkat dan pembuluh darah mengalami relaksasi, duktus
arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak oksigen
untuk dialirkan keseluruh tubuh (Helmy, 2014).
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan
menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama
dan teriakan napas yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya.
Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi
pembuluh paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah,
warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan
(Helmy, 2014).
Bila terdapat gangguan pertukaran gas/pengangkutan O2 selama
kehamilan ataupun persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat.
Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi

Universitas Muhammadiyah
Palembang
22

akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat


reversibel/tidak tergantung kepada berat dan lamanya asfiksa.
Asfiksa yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnu (primery
apnea) disertai dengan penurunan frekuensi jantung selanjutnya bayi akan
memperlihatkan usaha bernafas (gasping) yang kemudian diikuti oleh
pernafasan teratur, pada penderita asfiksa berat, usaha bernafas ini tidak
tampak dan bayi selanjutnya berada dalam periode apnu kedua (secondary
apnea). Pada tingkat ini di temukan bradikardi dan penurunan tekanan darah
(Helmy,2014).
Disamping adanya perubahan klinis, akan terjadinya pula gangguan
metabolisme dan pemeriksaan keseimbangan asam basa pada tubuh bayi,
pada tingkat pertama dan pertukaran gas mungkin hanya menimbulkan
asidosis repiratorik, bila gangguan berlanjut pada tubuh bayi akan terjadi
metabolisme anaerobik yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga
glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkurang. Asam
organik terjadi akibat metabolisme ini akan menyebabkan terjadinya
asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan
kardiovaskuler yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya
hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi
jantung terjadinya asidosis metabolik akan mengakibatkan menurunnya sel
jaringan termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung
dan pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan
resistensinya pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan
kesistem tubuh lain akan mengalami gangguan. Asidosis dan gangguan
kardiovaskuler yang terjadi dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel otak.
Kerusakan sel otak yang terjadi menimbulkan kematian atau gejala sisa pada
kehidupan bayi selanjutnya (Helmy, 2014).

Universitas Muhammadiyah
Palembang
23

2.2.6 Diagnosis Asfiksia Neonatorum


Dalam melakukan penegakan diagnosis asfiksia neonatorum ada
beberapa tahapan yang harus dilakukan yaitu:
A. Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terjadinya asfiksia seperti
dari keadaan ibu, masa gestasi atau perkiraan persalinan, gawat janin yang
dapat menyebabkan asfiksia serta cara persalinan, serta riwayat kelahiran
langsung menangis atau tidak (Ghai, 2010).

B. Pemeriksaan fisik
Ada beberapa tanda yang didapat saat melakukan pemeriksaan fisik yaitu:
1. Bayi tidak bernafas atau menangis
2. Denyut nadi kurang dari 100x/menit
3. Tonus otot menurun
4. Bisa didapat cairan ketuban ibu bercampur meconium atau sisa
mekonium pada tubuh bayi
C. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium berupa analisis gas darah pada tali pusat
menunjukan hasil asidosis pada darah tali pusat. Bila bayi tidak
membutuhkan bantuan resitutasi aktif pemeriksaan penunjang diarahkan
pada kecurigaan atas komplikasi, berupa :
1. Darah perifer lengkap
2. Analisis gas darah sesudah lahir
3. Gula darah sewaktu
4. Elektrolit darah (kalsium, natrium dan kalium)
5. Ureum kreatinin dan laktat
6. Rontgen dada dan rontgen abdomen tiga posisi
7. Pemeriksaan USG Kepala
8. Pemeriksaan EEG dan CT Scan kepala
(Prawirohardjo, 2016)

Universitas Muhammadiyah
Palembang
24

2.2.7 Prognosis Asfiksia Neonatorum


Hasil akhir asfiksia perinatal bergantung pada apakah komplikasi
metabolik dan kardiopulmonalnya (hipoksia, hipoglikemia dan syok) dapat
diobati, pada umur kehamilan bayi (hasil akhir paling jelek jika bayi
preterm), dan pada tingkat keparahan ensefalopati hipoksik-iskemik
(Behrman, 2008).
Prognosis tergantung pada kekurangan O2 dan luasnya perdarahan
dalam otak. Bayi yang dalam keadaan asfiksia dan pulih kembali harus
dipikirkan kemungkinannya menderita cacat mental seperti epilepsi dan
bodoh pada masa mendatang (Sholeh Kasim, 2012).

2.2.8 Komplikasi Asfiksia Neonatorum


Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi yang mengalami asfiksia
neonatorum adalah asidosis metabolik, hipoglikemia, enselofati hipoksik
iskemik dan gagal ginjal. Kompresi dada juga dapat menyebabkan trauma
pada bayi. Organ vital dibawah tulang iga adalah jantung, paru, dan
sebagian hati. Tulang rusuk juga mudah rapuh dan patah. Kompresi harus
dilakukan dengan hati-hati supaya tidak merusak organ di bawahnya
(Sholeh Kasim, 2012).

2.2.9 Diagnosa Banding Asfiksia Neonatorum


Menurut Norwitz (2007) ada beberapa diagnose banding tentang
asfiksia neonatorum, yaitu :
1. Aspirasi meconium
2. Aspirasi air ketuban
3. Bronkhopneumonia

2.2.10 Penatalaksanaan Asfikisa Neonatorum


Tujuan utama mengatasi asfiksia ialah untuk mempertahankan
kelangsungan hidup bayi dan membatasi gejala sisa yang mungkin timbul di
kemudian hari. Tindakan yang dikerjakan pada bayi lazim disebut resusitasi

Universitas Muhammadiyah
Palembang
25

bayi baru lahir. Penilaian awal dilakukan pada setiap bayi baru lahir untuk
menentukan apakah tindakan resusitasi harus segera di mulai. Segera setelah
lahir dilakukan penilaian pada semua bayi dengan cara melihat:
1. Apakah bayi lahir cukup bulan?
2. Apakah air ketuban jernih dan tidak bercampur mekonium?
3. Apakah bayi bernafas adekuat atau menangis?
4. Apakah tonus otot baik?
Apabila semua jawaban diatas “ya”, berarti bayi baik dan tidak perlu
memerlukan tindakan resusitasi. Pada bayi ini segera dilakukan asuhan bayi
normal. Bila salah satu jawaban “tidak” bayi memerlukan resusitasi segera
(Sholeh Kasim, 2012).
Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam melakukan
resusitasi neonatus yang mengalami asfiksia yaitu:
A. Langkah awal dalam stabilisasi
Langkah awal dalam stabilisasi bayi yang mengalami asfiksia yaitu:
1. Memberikan kehangatan
Bayi diletakan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer)
dalam keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan
memudahkan eksplorasi seluruh tubuh serta memposisikan bayi
dengan sedikit mengadahkan kepalanya.
2. Membersihkan jalan nafas sesuai keperluan.
3. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakan pada
posisi yang benar.
B. Ventilasi tekanan positif
Setelah dilakukan langkah awal resusitasi, ventilasi tekanan positif harus
dimulai bila bayi tetap apnea setelah stimulasi atau pernapasan tidak
adekuat, dan atau frekuensi memadai tetapi sianosis sentral, bayi diberi
oksigen aliran bebas. Bila setelah ini bayi tetap sianosis, dapat dicoba
melakukan ventilasi tekanan positif (Sholeh Kasim, 2012).
C. Pemberian oksigen

Universitas Muhammadiyah
Palembang
26

Bila bayi masih terlihat sianosis sentral, maka diberikan tambahan


oksigen. Pemberian oksigen aliran bebas dapat dilakukan dengan
melakukan sungkup oksigen. Penghentian pemberian oksigen dilakukan
secara bertahap bila tidak terdapat sianosis sentral lagi yaitu bayi tetap
merah atau saturasi oksigen tetap baik walaupun konsentrasi oksigen
sama dengan konstrasi oksigen ruangan. Bila bayi kembali sianosis,
maka pemberian oksigen perlu dilanjutkan sampai sianosis sentral hilang.
Kemudian secepatnya dilakukan pemeriksaan gas darah arteri dan
oksimetri untuk menyesuaikan kadar oksigen mencapai normal (Sholeh
Kasim, 2012).
D. Kompresi dada
Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60x/menit
setelah dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik. Kompresi
dada dilakukan dengan menekan sternum menggunakan 1 jempol atau 2
jari tegak lurus di linea parasentralis kiri sedalam 1/3 diameter
anteroposterior rongga dada dengan 3 kali penekanan dan 1 kali ventilasi
dalam 2 detik (45 kali kompresi dada dalam 15 kali ventilasi selama 30
detik) (Sholeh Kasim, 2012).
E. Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa yang digunakan pada neonatus yang mengalami
asfiksia yaitu:
1. Epinefrin 1:10.000
Dosis : 0,1-0,3 ml/kg berat badan atau 0,01-0,03 mg/kg berat badan
diberikan secara cepat, dilarutkan dengan larutan NaCI 0,09% menjadi
1-2 ml bila secara endotrakea.
2. Cairan penambah volume darah (plasma expander)
Dosis awal 10 ml/kg dengan kecepatan 5-10 menit secara intravena.
Bila bayi menunjukan perbaikan yang minimal setelah pemberian
dosis pertama, dapat diberikan dosis tambahan lagi 10 ml/kg.
3. Nalokson
Dosis : 0,1 ml/kg diberikan secara intrevena atau intramuscular

Universitas Muhammadiyah
Palembang
27

4. Natrium Bikarbonat
Dosis : 1-2 mEq/kg diberikan secara intrevena setelah ventilasi dan
perfusi adekuat dicapai, diberikan dalam kira-kira 2 menit yaitu 1
mEq/kg/menit (Sholeh Kasim, 2012).
2.2.11 Pencegahan Asfiksia Neonatorum
Pencegahan terhadap asfiksia neonatorum adalah dengan
menghilangkan atau meminimalkan faktor risiko penyebab asfiksia. Derajat
kesehatan wanita, khususnya ibu hamil harus baik. Komplikasi saat
kehamilan, persalinan dan melahirkan harus dihindari. Upaya peningkatan
derajat kesehatan ini tidak mungkin dilakukan dengan satu intervensi saja
karena penyebab rendahnya kesehatan wanita adalah akibat banyak faktor
seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah, kepercayaan, adat istiadat dan
lain sebagainya. Untuk itu dibutuhkan kerjasama banyak pihak dan lintas
sektoral yang saling terkait (Sholeh Kasim, 2012).

2.3. Hubungan Ketuban Pecah Dini Pada Kehamilan Aterm dengan


Asfiksia Neonatorum
Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum proses
persalinan atau sebelum ada tanda-tanda persalinan. Ketuban pecah dini
merupakan salah satu penyebab terjadinya asfiksia neonatorum (Prawirohardjo,
2016). Asfiksia neonatorum diperberat jika ada pada ibu hamil mengalami
ketuban pecah dini sebelum masa inpartu (Sunarto, 2008). Asfiksia neonatorum
adalah keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur
segera setelah bayi baru lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus
yang hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang dapat timbul dalam
kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir (Prawirohardjo, 2016).
Dengan pecahnya selaput ketuban sebelum proses persalinan tersebut terjadi
oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia.
Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion,
semakin sedikit air ketuban janin semakin gawat (Prawirohardjo, 2016).

Universitas Muhammadiyah
Palembang
28

Berdasarkan Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Azizah, N (2013)


hasil penelitian ini terdapat hubungan antara ketuban pecah dini dengan kejadian
asfiksia pada bayi baru lahir (Azizah, N 2013).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widuri, M.R didapatkan hasil
jumlah kasus asfiksia 32 kasus (50 %) dari 64 total sampel penelitian, kelompok
kasus asfiksia sebagian besar adalah dengan ketuban pecah dini (68,75%).
Pravelensi neonatal yang mengalami asfiksia pada ketuban pecah dini (34.4%).
Prevalensi neonatal yang mengalami Asfiksia namun tidak mengalami ketuban
pecah dini (31,2 %), dengan kesimpulan ada hubungan yang bermakna antara
ketuban pecah dini dengan asfiksia pada bayi baru lahir (p=0,012 dengan OR =
3,667) (Widuri, 2009).
Namun dari beberapa penilaian yang telah dilakukan mengenai ketuban
pecah dini dengan asfiksia neonatorum, penelitian yang dilakukan oleh Desfauza
hasil penelitian ini menunjukan bahwa tidak ada pengaruh antara KPD dengan
asfiksia neonatorum (Desfauza, 2007).

Universitas Muhammadiyah
Palembang
29

2.2. Kerangka Teori

Usi Paritas Kehamilan Serviks Sefalopelvik infeksi


a gemeli inkompeten disproporsi
ibu

Ketuban pecah dini

Oligohidramnion

Gangguan sirkulasi uteroplasenta

Gangguan transport O2 ke janin

Hipoksia janin

Asfiksia neonatorum

Faktor antepartum (faktor ibu) : Faktor intrapartum (faktor janin) :

1. Ketuban pecah dini 1. Persalinan dengan tindakan


2. Perdarahan antepartum 2. Presentasi abnormal
3. Polihidramnion 3. Kelahiran kurang bulan
4. Oligohidramnion 4. Partus lama
5. Ibu dengan riwayat 5. Makrosomia
penyakit kronik

= Yang diteliti = Yang tidak diteliti


Gambar 2.2 Kerangka Teori
Sumber : Prawirohardjo, 2016

Universitas Muhammadiyah
Palembang
30

2.3. Hipotesis
Menurut Sastroasmoro (2008), hipotesis adalah pernyataan sebagai
jawaban sementara atas jawaban pertanyaan penelitian, yang harus di uji
validitasnya secara empiris.

1.5.1. Hipotesis null


Tidak terdapat hubungan antara ketuban pecah dini pada kehamilan
aterm dengan kejadian asfiksia neonatorum di RS Muhammadiyah
Palembang.
1.5.2. Hipotesis alternatif
Terdapat hubungan antara ketuban pecah dini pada kehamilan aterm
dengan kejadian asfiksia neonatorum di RS Muhammadiyah Palembang.

Universitas Muhammadiyah
Palembang
31

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang akan dilakukan berdasarkan ada atau tidaknya
intervensi adalah penelitian observasional, berdasarkan cara menganalisa yaitu
analitik dengan menggunakan desain cross sectional.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian


3.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober-Desember
2017.
3.2.2 Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dibagian kebidanan dan kandungan RS
Muhammadiyah Palembang.

3.3. Populasi dan Sampel


2.1.11 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu pasca persalinan
yang persalinannya dilakukan di RS Muhammadiyah Palembang.

3.3.2 Sampel dan besar sampel

Sampel yang akan digunakan pada penelitian ini adalah ibu pasca
persalinan secara pervaginam maupun seksio sesarea yang dirawat inap di
RS Muhammadiyah Palembang pada bulan Oktober – Desember 2017 dan
tercatat dalam rekam medik. Rumus besar sampel yang digunakan adalah
sebagai berikut :

Universitas Muhammadiyah
Palembang
32

n=Z x P−Q ¿ ¿2
2

n=(1,64) x 0,40−0,60 ¿ ¿ 2
2

0,10

n=64,5504( dibulatkan menjadi65)

Keterangan :

n = Derivat baku alfa (10% = 1,64)

P = Proporsi kategori variabel yang diteliti (40%)

Q = 1- P (0,60)

D = Presisi (10%)

(Dahlan, 2010)

Jadi besar sampel minimal yang dapat diambil pada penelitian ini adalah 65
responden. Untuk menghindari drop out pada penelitian ini sampel ditambah 10%
dari jumlah sampel perhitungan 65+ (10% x 65)= 71,5 responden, maka sampel
menjadi 72 responden.

3.3.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi


A. Kriteria inklusi
Karakteristik umum dari subyek penelitian pada popolusi
penelitian ini sebagai berikut :
1. Ibu yang persalinanya dilakukan di RS Muhammadiyah Palembang
2. Usia kehamilan cukup bulan (37-42 minggu)
3. Janin tunggal hidup
B. Kriteria eksklusi
1. Ibu yang melahirkan pada bulan Januari-Desember 2017 yang
rekam mediknya tidak lengkap
2. Ibu yang memiliki penyakit kronik
3. Bayi gemeli

Universitas Muhammadiyah
Palembang
33

3.3.4 Cara Pengambilan Sampel


Data diperoleh dari data sekunder yaitu data rekam medik ibu yang
melakukan persalinan di RS Muhammadiyah Palembang. Sampel penelitian
diambil menggunakan teknik purposive sampling.Dengan menggunakan
teknik ini peneliti mengambil responden ibu pasca persalinan secara
pervaginam maupun seksio sesarea yang dirawat inap di RS
Muhammadiyah Palembang pada bulan Oktober – Desember 2017 sesuai
kriteria inklusi sampai jumlah sampel minimal terpenuhi.

3.4. Variabel Penelitian

3.4.1. Variabel Dependen

Variabel dependen pada penelitian ini adalah asfiksia neonatorum.

3.4.2. Variabel Independen

Variabel Independen pada penelitian ini adalah ketuban pecah dini pada
kehamilan aterm.

3.5 Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Hasil Ukur


yang Ukur
diukur
Ketuban Pecahnya Menganalisi Data Nominal 1. Ya : jika ibu
pecah dini selaput s ketuban primer : didiagnosis
ketuban pecah dini wawancara mengalami
sebelum dari rekam Data ketuban
masuk medik dan sekunder: pecah dini
pembukaan melakukan rekam 2. Tidak : jika
serviks ≤3/fase wawancara medik ibu tidak
laten, yang langsung didiagnosis
dapat terjadi mengalami
pada usia ketuban
kehamilan pecah dini
cukup waktu
atau kurang
waktu
Asfiksia Keadaan bayi Menganalisi Data Nominal 1. Ya : jika skor
neonatorum yang baru lahir s asfiksia sekunder : Apgar pada

Universitas Muhammadiyah
Palembang
34

gagal bernafas dari rekam Rekam menit kelima


secara spontan medik 0-3
dan teratur 2. Tidak : jika
segera setelah skor Apgar
lahir. >3

Usia ibu Usia ibu pada Menganalisi Data Nominal 1. Berrisiko :


saat s usia ibu skunder : jika<20 atau
melahirkan dari rekan rekam >35 tahun
medik medik
2. Tidak
berrisiko 20-
30 tahun
Persalinan Proses Menganalisi Data Nominal 1. Spontan
pengeluaran s persalinan skunder :
hasil konsepsi ibu dari rekam 2. Seksio
(janin dan uri) rekam medik sesarea
yang telah medik
cukup bulan
atau dapat
hidup diluar
kandungan
melalui jalan
lahir atau
melalui jalan
lain dengan
bantuan atau
tanpa bantuan
Paritas Banyaknya Menganalisi Data Nominal 1. Berrisiko( m
anak yang s paritas ibu skunder : ultipara dan
yang dari rekam rekam grandemultip
dilahirkan oleh medik medik ara)
wanita dari
anak pertama 2. Tidak
sampai dengan berrisiko
anak terakhir. (nulipara dan
primipara)

Universitas Muhammadiyah
Palembang
35

3.6. Cara Pengumpulan Data


3.6.1 Data Primer
Data primer didapatkan dengan cara wawancara langsung pada ibu
pasca persalinan secara pervaginam maupun seksio sesarea yang dirawat
inap di RS Muhammadiyah Palembang pada bulan Oktober – Desember
2017.
3.6.2 Data Sekunder
Data sekunder didapatkan dari rekam medik. Pengumpulan data
dilakukan dengan mengambil data rekam medik ibu pasca persalinan
secara pervaginam maupun seksio sesarea yang dirawat inap di bagian
kebidanan RS Muhammadiyah Palembang pada bulan Oktober –
Desember 2017.

3.7 Cara Pengolahan dan Analisis Data


3.7.1 Cara Pengolahan Data
Menurut (Sastroasmoro, 2008) Cara pengolahan data sebagai berikut :
1. Editing (Pengolahan Data)
Pada tahap ini, data yang telah dikumpulkan diperiksa kembali
apakah sudah lengkap, jelas, relevan dan konsisten.
2. Coding (Pengkodean Data)
Setelah melalui proses editing, data yang telah terkumpul dan
dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya kemudian diberi kode
tertentu oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan
komputer sehingga memudahkan dalam melakukan analisis data.
3. Entry (Pemasukan Data)
Pada tahap ini, data yang telah diklarifikasi kemudian dimasukkan
keprogram komputer untuk diolah.
4. Cleaning (Pembersihan Data)
Merupakan pengecekan kembali data yang sudah dimasukkan
apakah ada kesalahan atau tidak.

Universitas Muhammadiyah
Palembang
36

3.7.2 Analisis Data


1. Analisis Univariat
Analisis univariat dalam penelitian ini dilakukan untuk
menggambarkan distribusi frekuensi masing - masing variabel, baik
variabel dependent maupun variabel independent.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dalam penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui hubungan dari variabel dependent dan variabel
independent menggunakan uji chi square dengan program statistik
komputerisasi SPSS dengan tingkat kepercayaan 95%. Jika
probabilitas velue (p) ≤ 0,05, hipotesis null ditolak maka terdapat
hubungan antara variabel depanden dan variabel independen. Apabila
value (p) 0,05, hipotesis null diterima maka tidak terdapat hubungan
antara variabel dependen dan variabel independen.

Universitas Muhammadiyah
Palembang
37

3.8 Alur Penelitian

Populasi

Semua ibu yang melahirkan di RS Muhammadiyah Palembang


dari bulan Oktober-Desember 2017

Memenuhi kriteria inklusi

Teknik pengambilan sampel dengan


purposive sampling

Sampel (n=65)

Variabel dependen Variabel Independen

Asfiksia Neonatorum Ketuban pecah dini

Analisis :

- Analisis univariat
- Analisis bivariat dengan uji Chi-Square

Hasil

Gambar 3.1 Skema Alur Penelitian Hubungan Antara Ketuban Pecah Dini Pada Kehamilan Aterm
Dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum Di RS Muhammadiyah Palembang

Universitas Muhammadiyah
Palembang
38

3.9 Rencana atau Jadwal Kegiatan


Adapun jadwal kegiatan penelitian skripsi yaitu :
Tabel 3.1. Jadwal Kegiatan Penelitian

No Kegiatan Waktu
1. Penyusunan proposal skripsi Juli – Agustus
2. Seminar skripsi September
3. Perbaikan proposal September – Oktober
4. Surat izin pengambilan data September – Oktober
5. Pelaksanaan penelitian Oktober – Desember
6. Penyusunan skripsi Oktober – Desember

3.10 Anggaran Penelitian


Penelitian ini akan membutuhkan sejumlah biaya demi kelancaran
prosesnya. Berikut ini perkiraan biaya yang akan dikeluarkan selama
penelitian ini berlangsung:
Tabel 3.2. Rencana Anggaran
a. Pembuatan proposal Kertas HVS A4 70 gram x1 rim Rp. 40.000,00
Pencetakan :
Tinta hitam 1 botol
Tinta Warna x1 botol Rp. 35.000,00
Biaya internet Rp. 40.000,00
Rp. 100.000,00
b. Seminar proposal Kertas HVS A4 70 gram x1 rim Rp. 40.000,00
Pencetakan :
Tinta hitam 1 botol
Tinta Warna x1 botol Rp.35.000,00
Map kertas 4x Rp. 40,000,00
Jilid 7x Rp. 12.000,00
Rp. 21.000,00
c. Penyusunan laporan  Kertas HVS A4 80 gram 1 rim Rp. 45.000,00
 Pencetakan :
Tinta hitam x1 botol Rp. 35.000,00
Tint warna x1 botol Rp. 40,000,00
 Map kertas 7x Rp. 21.000,00
 Jilid 7x Rp. 350.000,00
 Transportasi Rp. 100.000,00
 Biaya tak terduga Rp. 200.000,00
d. Total pengeluaran Rp. 1.187.000,00

Universitas Muhammadiyah
Palembang

Anda mungkin juga menyukai