Anda di halaman 1dari 44

Referat

CEPHALGIA PRIMER

Oleh:

Dwi Puspita Sari S.Ked.

NIM 712019017

Pembimbing:

dr. Isma Yulianti, Sp.S

SMF ILMU PENYAKIT SYARAF

RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH


PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PALEMBANG 2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referat yang Berjudul:

CEPHALGIA PRIMER

Oleh:

Dwi Puspita
Sari, S. Ked
NIM:
712019017

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti


Kepanitraan Klinik Senior di SMF/Bagian Ilmu Saraf, Rumah Sakit
Muhammaiyah Palembang Fakults Kedokteran Muhammadiyah
Palembang

Palembang,

Juni 2020
Pembimbing
dr. Isma Yulianti, Sp.S
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan refrat yang berjudul
“Cephalgia Primer” dengan baik. Shalawat dan salam juga disampaikan kepada
nabi Muhammad SAW dan para pengikut beliau hingga akhir zaman.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat


dalam pembuatan laporan ini. Penulis berharap laporan ini dapat digunakan
sebagai proses pembelajaran.

Palembang, Juni 2020

Dwi Puspita Sari, S.Ked


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................ii
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH..........................iii
DAFTAR ISI...................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang..................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Cephalgia....................................................................................................2
2.1.1 Definisi..................................................................................................2
2.1.2 Etiologi..................................................................................................2
2.1.3 Faktor risiko..........................................................................................3
2.1.4 Epidemiologi.........................................................................................3
2.1.5 Klasifikasi.............................................................................................4
2.2 Cephalgia Primer........................................................................................4
2.2.1 Migrain..................................................................................................5
2.2.2 Epidemiologi.........................................................................................5
2.2.3 Etiologi..................................................................................................5
2.2.4 Klasifikasi.............................................................................................6
2.2.5 Manifestasi Klinis.................................................................................8
2.2.6 Diagnosis...............................................................................................10
2.2.7 Tatalaksana............................................................................................11
2.2.8 Prognosis...............................................................................................13
2.2.9 Komplikasi............................................................................................13
2.3.1 Tension type headache..........................................................................13
2.3.2 Epidemiologi.........................................................................................14
2.3.3 Manifestasi Klinis.................................................................................14
2.3.4 Tatalaksana............................................................................................15
2.3.5 Prognosis...............................................................................................16
2.4.1 Nyeri Kepala Cluster.............................................................................16
2.4.2 Klasifikasi.............................................................................................17
2.4.3 Epidemiologi.........................................................................................17
2.4.4 Patofisiologi..........................................................................................17
2.4.5 Manifestasi Klinis.................................................................................20
2.4.6 Tatalaksana............................................................................................23

2.4.7 Prognosis...............................................................................................25

BAB III Kesimpulan.......................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................27
BAB I
PENDAH
ULUAN

1.1. Latar Belakang


Nyeri kepala (Cephalgia) merupakan salah satu gangguan
sistem saraf yang paling umum dialami oleh masyarakat. Cephalgia
merupakan suatu sensasi tidak nyaman yang dirasakan pada daerah
kepala mulai dari kening kearah atas, daerah wajah dan kepala
belakang.17
Rasa nyeri berasal dari jaringan dan struktur yang mengelilingi
otak karena otak itu sendiri tidak memiliki saraf yang menimbulkan
sensasi nyeri (serat nyeri). Periosteum yang mengelilingi tulang, otat
yang membungkus tengkorak, sinus, mata, dan telinga dan selaput
yang menutupi permukaan otak dan sumsum tulang belakang, arteri,
vena dan saraf semua bisa menjadi meradang atau terjadi iritasi
menyebabkan rasa nyeri dikepala. Nyeri yang timbul dapat bersifat
tajam, berdenyut, konstan, ringan, atau intens.17
Cephalgia atau nyeri kepala merupakan penyakit yang sering
dijumpai hingga saat ini dan dapat mengenai segala umur. Banyak
faktor yang dapat menyebabkan nyeri kepala, antara lain stress,
dehidrasi, anemia, kurang tidur, dan lain sebagainya. Namun, faktor
penyebab nyeri kepala yang paling banyak adalah karena stress.13
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Stovner di
Norwegia pada tahun 2007 persentase prevalensi nyeri kepala sebesar
46%. Data lain menurut World Health Organization (WHO) pada
tahun 2012, sekitar 90% populasi dewasa di dunia setidaknya pernah
mengalami satu kali nyeri kepala dalam satu tahun.
The International Classification of Headache Disorders, Edisi
3 (2013) mengklasifikasikan 14 jenis nyeri kepala yang dibagi
menjadi tiga kategori yaitu nyeri kepala primer, nyeri kepala
sekunder, dan neuralgia kranial, nyeri wajah central dan primer, dan
nyeri kepala lainnya. Sebanyak 90% dari keseluruhan keluhan nyeri
kepala adalah nyeri kepala primer dan 10% sisanya merupakan nyeri
kepala sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala tanpa
disertai adanya penyebab struktural organik sedangkan nyeri kepala
sekunder adalah nyeri kepala yang disertai penyebab struktural
organik (Nurwulandari, 2014). Nyeri kepala primer meliputi tension-
type headache, migrain, dan cluster headache.16
Cephalgia yang terjadi dapat menimbulkan dampak-dampak
negatif bagi masyarakat jika tidak diatasi, yaitu menurunkan kualitas
hidup, menurunkan kemampuan melakukan aktifitas dan menambah
beban sosial- ekonomi masyarakat.13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cephalgia

2.1.1. Definisi

Cephalgia adalah istilah medis dari nyeri kepala atau sakit


kepala. Cephalgia berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua
kata yaitu cephalo dan algos. Cephalo memiliki arti kepala,
sedangkan algos memiliki arti nyeri.
Nyeri kepala atau cephalgia merupakan salah satu gangguan
sistem saraf yang paling umum dialami oleh masyarakat. Cephalgia
merupakan suatu sensasi tidak nyaman yang dirasakan pada daerah
kepala yang meliputi daerah wajah dan leher.17

2.1.2. Etiologi Cephalgia


Penyebab nyeri kepala banyak sekali, meskipun kebanyakan
adalah kondisi yang tidak berbahaya (terutama bila kronik), namun
nyeri kepala yang timbul pertama kali dan akut adalah manifestasi
awal dari penyakit sistemik atau suatu proses intrakranial yang
memerlukan evaluasi sistemik yang lebih teliti.6
Nyeri kepala bisa sebabkan karena faktor intra kranial
(misalnya: meningitis, Sub Arachnoid Haemorhage (SAH), tumor
otak) atau faktor ekstra kranial yang umumnya bukan kasus
neurologi (misalnya: sinusitis, glaukoma) yang keduanya
digolongkan sebagai nyeri kepala sekunder.6
Menurut Bahrudin (2013), penyebab timbulnya nyeri kepala
sebagai berikut:
a. Circulation: Perdarahan intraserebral, perdarahan
subaraknoidal.
b. Encephalomeningitis.
c. Migraine.
d. Eye: Glaucoma, radang, keratitis, anomaly refraksi.
e. Neoplasm (Tumor otak).
f. Trauma capitis: Komusio, kontusio, perdarahan
ekstradural, perdarahan subdular.
g. Ear dan nose: Mastoiditis, otitis media, sinusitis, rhinitis.
h. Dental: Gigi, gusi.

i. Cluster headache.
j. Otot: Tension headache.
k. Arteritis temporalis.
l. Trigeminal neuralgia.

2.1.3. Faktor Risiko Cephalgia


Dalam penelitian Tandaju, Runtuwene, Kembuan (2016), stres
merupakan faktor risiko terbanyak yaitu pada 149 orang (84,6%),
sedangkan faktor pencetus yang paling sedikit ditemukan ialah
perubahan cuaca yang mempengaruhi 34 orang (19,3%) (Tabel 2.1)
(Tandaju, Runtuwene,
Kembuan, 2016).
Tabel 2.1 Distribusi Faktor Resiko Pencetus Nyeri Kepala
Pencetus Frekuensi %
Stress 149 84,6
Perubahan pola tidur 110 62,5
Melewatkan waktu malam 74 42
Menstruasi 66 37,5
Asap rokok 68 38,6
Perubahan cuaca 34 19,3
Menonton/bermain leptop 56 31,8
Selain itu beberapa penyakit seperti HIV, kanker, meningitis,
tumor metastasis, dan gangguan intra kranial lain dapat
mengakibatkan terjadinya nyeri kepala. Nyeri kepala karena adanya
gangguan struktural seperti HIV, kanker, meningitis, tumor
metastasis, dan gangguan intra kranial lain terkategori dalam nyeri
kepala sekunder. Bila didapatkan kasus nyeri kepala pada orang
dengan penyakit-penyakit yang berisiko untuk terjadi nyeri kepala
maka nyeri kepala ini masuk dalam (secondary headache risk factors)
(Hidayati, 2016).

2.1.4. Epidemiologi
Sebagian besar orang pernah mengalami nyeri kepala
(headache) pada sepanjang hidupnya, terbukti dari hasil penelitian
population base di Singapore didapati prevalensi life time nyeri
kepala penduduk Singapore adalah pria 80%, wanita 85% (p =
0.0002). Di Amerika Serikat, dalam satu tahun lebih dari 70%
penduduknya mengalami nyeri kepala.
Pada penelitian yang dilakukan di Singapura didapatkan
prevalensi life time nyeri kepala penduduk singapura adalah laki-laki
80%, wanita 85%. Angka tersebut hampir mirip dengan hasil
penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas
Kedokteran USU, didapatkan hasil laki-laki 78% sedangkan
wanitanya 88%. Dari hasil pengamatan jenis penyakit dari pasien
yang berobat jalan di praktek sore Syahrir selama tahun 2013,
ternyata nyeri kepala menduduki proporsi teratas, sekitar 42% dari
keseluruhan pasien neurologi.5 Nyeri kepala merupakan keluhan yang
paling sering dikeluhkan oleh pasien saat datang ke dokter, baik ke
dokter umum maupun neurolog. Sampai saat ini nyeri kepala masih
merupakan masalah. Masalah yang diakibatkan oleh nyeri kepala
mulai dari gangguan pada pola tidur, pola makan, depresi sampai
kecemasan.13

2.1.5. Klasifikasi Nyeri Kepala


The International Classification of Headache Disorders, Edisi
3 (2013) mengklasifikasikan 14 jenis nyeri kepala yang dibagi
menjadi tiga kategori yaitu nyeri kepala primer, nyeri kepala
sekunder, dan neuralgia kranial, nyeri wajah central dan primer, dan
nyeri kepala lainnya.
Kategori I : Nyeri kepala primer
1. Migraine
2. Nyeri kepala tipe tegang
3. Nyeri kepala cluster dan cephalgia otonom trigeminal lainnya
4. Nyeri kepala lainya
Kategori II : Nyeri kepala sekunder
5. Nyeri kepala yang berkaitan dengan trauma kepala dan atau
leher.
6. Nyeri kepala akibat gangguan pembuluh darah kranial dan
servical
7. Nyeri kepala akibat gangguan intrakranial non vascular
8. Nyeri kepala akibat zat atau racun
9. Nyeri kepala akibat infeksi
10. Nyeri kepala akibat gangguan homeostasis
11. Nyeri kepala atau nyeri diwajah berkaitan dengan gangguan
tengkorak, leher, mata, telinga, hidung, sinus, gigi, mulut
atau struktur wajah atau kranial lainnya.
12. Nyeri kepala akibat gangguan kejiwaan
Katerogi III: neuralgia kranial, nyeri wajah sentral dan primer,
dan nyeri kepala lainnya
13. Neuralgia kranial dan primer yang menyebabkan nyeri wajah
14. Nyeri kepala lainnya, neoralgia kranial, nyeri wajah sentral
dan primer.

2.2.Cephalgia Primer

Cephalgia primer merupakan nyeri kepala yang tidak


diasosiasikan dengan patologi atau kelainan lain yang
menyebabkannya. Nyeri kepala ini masih dibagi berdasarkan profil
gejalanya menjadi:

2.2.1 Migrain
Migrain adalah nyeri kepala berulang dengan serangan
berlangsung selama 4 sampai 72 jam, dengan karakteristik berlokasi
unilateral, nyeri berdenyut (pulsating), intensitas sedang atau berat,
diperberat oleh aktivitas fisik rutin, dan berhubungan dengan mual
dan/atau fotofobia serta fonofobia (Headache Classiffication
Subcomittee of the International Headache Society, 2004 dalam
Riyadina dan Turana, 2014).22

2.2.1.2 Epidemiologi
Nyeri kepala migrain diperkirakan dua sampai tiga kali lebih
sering pada perempuan daripada laki-laki, cenderung dijumpai dalam
satu keluarga, diperkirakan memiliki dasar genetik, dan biasanya
dijumpai pada perempuan muda yang sehat. Pengidap migrain yang
memiliki keluarga dekat yang juga mengidap migrain memiliki
persentase 75-80%. Migrain paling sering terjadi pada perempuan
berusia kurang dari 40 tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada
menopause akibat perubahan produksi hormon.19

2.2.1.3 Etiologi
Banyak teori telah dikemukakan mengenai patogenesis
migrain, diantaranya:
1) Teori Vaskular
Teori yang diusulkan oleh Wolff ini menduga bahwa
patogenesis migrain disebabkan oleh gangguan vaskular. Hal ini
diketahui dari migrain dengan aura, dimana terjadi vasokontsriksi
arteri intrakranial tertentu kemudian disusul oleh vasodilatasi
terutama dari cabang arteri karotis eksterna. Vasodilatasi akan
meregangkan ujung-ujung saraf dinding pembuluh darah sehingga
menimbulkan nyeri, selain itu juga terjadi pelepasan polipeptida
yang akan merendahkan ambang nyeri pada ujung saraf.24
2) Teori Sistem Trigemino-vaskular
Peneliti lain mengemukakan bahwa migrain dapat berasal dari
pelebaran pembuluh darah di otak dan duramater yang dipersarafi
oleh nervus trigeminus sebagai bagian dari sistem trigemino-
vaskular. Peptida substansi P (SP), Neurokinin A (NKA), dan
Calcitonin gen-related peptide (CGRP) ditemukan dalam sel nervus
trigeminus yang menimbulkan pelebaran pembuluh darah otak.
CGRP merupakan peptida yang paling sering dikaitkan dengan
migrain dibanding dengan jenis peptida lain yang disebutkan diatas.
Studi pada kultur dari neuron trigeminal menunjukkan bahwa CGRP
dilepas dari sel ganglia trigeminal, dengan transkripsi CGRP
meningkat dalam kondisi yang menyerupai inflamasi neurogenik.
Aktivasi nervus trigeminus dapat melepaskan CGRP dan peptida
lain yang menyebabkan pelepasan mediator-mediator inflamasi.
Mediator ini meningkatkan sintesis CGRP dan dilepaskan dalam
waktu beberapa jam sampai beberapa hari. Peningkatan sintesis dan
pelepasan CGRP dimediasi oleh pengaktifan protein mitogen- 11
activated kinase (MApK) pathway dan diatur oleh unsur endogen
inflammatory seperti TNF-α dan dipengaruhi oleh obat seperti
sumatriptan.24
3) Teori Aktivasi Perifer Nervus Trigeminus
Migrain adalah suatu kelainan dismodulasi sensoris, dimana
aktivitas aferen normal diterima sebagai hal yang berlebihan. Hal
tersebut berkaitan dengan kelainan yang terjadi di batang otak
(brainstem), yaitu daerah yang secara normal memegang kendali
neuron sensorik. Hasilnya berupa pelepasan sensoris berlebihan di
thalamus, sehingga pasien melaporkan sebagai nyeri, fotofobia,
fonofobia, atau gerakan kepala.24
4) Teori Inflamasi Neurogenik dan Aktivasi Sentral Nervus
Trigeminus Beberapa penelitian menyatakan bahwa
mungkin nyeri kepala
migrain merupakan suatu bentuk radang neurogenik steril, walaupun
sampai saat ini tidak ada data yang cukup kuat untuk mendukungnya.
Ekstravasasi plasma neurogenik, dan kebocoran plasma dari
duramater, dapat dilihat saat terjadi rangsangan elektrik pada
ganglion trigeminal.
Penelitian lain juga menyatakan bahwa terdapat suatu proses
inflamasi steril dari nervus trigeminus yang melepaskan neuropeptida
vasoaktif yang mengaktifkan sel endotel, sel mast, dan trombosit
untuk melepaskan substansi vasoaktif seperti histamin, serotonin,
peptikinin, prostaglandin, dan katekolamin. Substansi-substansi
tersebut menyebabkan kontraksi dan relaksasi otot-otot polos dan
gejala-gejala migrain.24
Fase sensitisasi sentral pada migrain serta induksi nyeri
ditimbulkan oleh komponen inflamasi yang dilepas dari duramater,
seperti ion potasium, proton-proton, serotonin, bradikinin,
prostaglandin E2 di pembuluh darah serebral, dan serabut saraf yang
dapat menimbulkan nyeri kepala.
5) Teori Calcium Channelopathy
Saluran ion dapat menjaga dan mengontrol potensial listrik membran
sel. Mutasi dari gen saluran ion Voltage-gated P/Q type calcium
channel genes berpengaruh terhadap pelepasan neurotransmitter.24

2.2.1.4. Klasifikasi
Teori tentang klasifikasi nyeri kepala migrain telah banyak
dikemukakan. IHS (International Headache Society) membagi
migrain menjadi dua, yaitu:
1) Migrain tanpa Aura
Migrain tanpa aura adalah tipe yang jauh lebih sering
dijumpai, karena ditemukan pada sekitar 80% dari semua
pengidap migrain. Migrain tanpa aura mungkin dimulai di
neuron-neuron nosiseptif di pembuluh darah. Sinyal nyeri
berjalan dari pembuluh darah ke aferen primer dan kemudian
ke ganglion trigeminus dan akhirnya mencapai nukleus
kaudalis trigeminus yang merupakan suatu daerah pengolah
nyeri di batang otak. Neuron-neuron aktif di sistem saraf pusat
kemudian mengekspresikan gen c-fos yang ditekan oleh
butabarbital di dalam nukleus kaudatus.
IHS (International Headache Society) mendefinisikan
migrain sebagai paling sedikit lima kali serangan nyeri kepala
seumur hidup yang memenuhi kriteria berikut:
a) Durasi 4 sampai 72 jam apabila tidak diobati.
b) Nyeri kepala dengan paling sedikit dua dari empat gambaran
berikut: lokasi unilateral, kualitas berdenyut (pulsating), intensitas
nyeri sedang sampai berat, atau nyeri yang diperparah oleh
aktifitas fisik rutin.
c) Paling sedikit terdapat satu dari dua hal berikut selama nyeri
kepala: (a) mual dan muntah atau keduanya, (b) fotofobia dan
fonofobia.

2) Migrain dengan Aura


Pasien yang mengalami migrain dengan didahului oleh aura
lebih besar kemungkinannya mengalami rangkaian perubahan
neurobiologik selama 24 sampai 48 jam sebelum awitan nyeri kepala.
Perubahan-perubahan fungsi neurologik tersebut biasanya dimulai
dan berakhir sebelum awitan nyeri kepala. Kualitas penyebaran
gejala neurologik fokal yang khas mengisyaratkan bahwa aura serupa
dengan “spreading depression” pada korteks yang terjadi saat suatu
gelombang depolarisasi listrik berjalan melintasi korteks dan
merangsang neuron-neuron sehingga fungsi neuron- neuron tersebut
terganggu dan terjadi pengaktifan trigeminus. Spreading depression
tersebut memerlukan aktivitas reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA)
glutamat. Gejala aura yang khas mencakup perubahan penglihatan
dan sensorik abnormal lainnya seperti kilatan atau cahaya tajam atau
merasa mengecap atau membaui sesuatu, serta defisit motorik dan
bicara (afasia). Aura juga dapat bersifat somatosensorik seperti rasa
baal di satu tangan atau satu sisi wajah.23
Kriteria diagnostik IHS untuk migrain dengan aura
mensyaratkan bahwa harus terdapat paling tidak tiga dari empat
karakteristik berikut:
a) Satu atau lebih gejala aura reversibel yang mengisyaratkan
disfungsi korteks serebrum atau batang otak atau keduanya.
b) Satu gejala aura timbul secara bertahap selama lebih dari 4
menit.

c) Tidak ada gejala aura yang menetap lebih dari 60 menit


(durasi secara proporsional meningkat apabila terdapat lebih
dari satu gejala aura).
d) Nyeri kepala mengikuti aura dengan interval bebas kurang
dari 60 menit dan dapat muncul sebelum atau bersama aura.
Nyeri kepala biasanya berlangsung 4 sampai 72 jam tetapi
mungkin tidak ada (aura tanpa nyeri kepala).19

Beberapa hal yang perlu diingat dalam penggunaan kriteria


IHS adalah tidak semua serangan migrain harus memenuhi semua
karakteristik tersebut, sebagai contoh banyak migrain yang bersifat
bilateral dan tidak berdenyut. Dampak dan hendaya migrain dapat
disebabkan oleh gejala yang memang menyebabkan hendaya, dan
menjadi sumber gangguan itu sendiri, selain nyeri dari serangan
migrain.24
Banyak fungsi fisiologik yang terganggu selama migrain,
diantaranya:
1) Gangguan pemrosesan sensorik menyebabkan disfungsi
penglihatan dan pendengaran (fotofobia dan fonofobia);
2) Gangguan motilitas gastrointestinal dapat menyebabkan
mual dan muntah serta kesulitan mengkonsumsi obat
antimigrain oral;
3) Gangguan otonom dapat menimbulkan berbagai gejala
seperti diare; dan
4) Gangguan serebrum dapat menyebabkan perubahan kognitif
dan suasana hati.19

2.2.1.5. Manifestasi Klinis


Gambar 1. Perjalanan Penyakit Migrain

Migrain merupakan nyeri kepala primer dengan serangan yang


sering berulang. Seseorang menjadi vulnerabel/beresiko, apabila
terdapat faktor gen

seperti ATP1A2 yang mengode subunit α2 pompa Na-K (kromosom


1), gen yang mengode kanal kalsium tipe P/Q, dan gangguan ekspresi
reseptor dopamin, maka ambang seseorang untuk terjadinya serangan
migrain itu lebih besar, dan kemungkinan rekurensinya juga lebih
besar.16
Selain faktor genetik, seseorang dengan lingkungan yang penuh
dengan pencetus migrain (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya)
juga membuat orang rentan terhadap migrain. Setelah kedua faktor itu
terpenuhi, maka terjadi serangan.
Fase prodromal terjadi beberapa hari hingga beberapa jam
sebelum nyeri kepala. Fase ini merupakan gejala-gejala non-spesifik
yang biasanya dialami penderita seperti lemas, terus mengantuk, rasa
haus, anorexia, sangat sensitif terhadap cahaya, aroma, dan suara,
sering berkemih, sangat menginginkan satu makanan tertentu, mudah
marah, dsb.16,4,20
Fase Aura yaitu fase yang dialami oleh penderita migrain dengan
aura (migrain klasik). Aura merupakan sekelompok manifestasi
neurologi fokal yang muncul maksimal selama 60 menit pada saat
sebelum serangan nyeri atau bersamaan dengan munculnya nyeri.
Aspek neurologi yang terkena itu visual, sensorik, dan berbahasa, baik
itu bersifat positif atau negatif, dan cenderung reversibel. Contoh
gejalanya yaitu terdapat skotoma multipel atau soliter, defek lapang
pandang homonim hemianopia, gangguan penglihatan total, gejala
sensorik seperti parestesia mulai dari tangan hingga kewajah yang
dapat diikuti oleh rasa baal, serta gejala gangguan berbahasa. Fase ini
dapat tidak ada pada pasien dengan migrain tanpa aura.16,4,20
Fase nyeri kepala, berlangsung 4-72 jam dengan intensitas nyeri
sedang- berat, berdenyut, bersifat unilateral (kadang bilateral)
dengan predileksi di fronto-temporal, serta cenderung bertambah
ketika aktivitas fisik meningkat.20 Fase postdromal merupakan gejala
ikutan pasca serangan nyeri kepala, dapat berlangsung hingga 24
jam, dengan karakteristik pasien merasa lelah,
mood tidak stabil, nyeri otot, dan kurang nafsu makan.4,20

2.2.1.6. Diagnosis

Diagnosis migraine, baik itu migraine tanpa aura (common


migraine) maupun migraine klasik (classic migraine) sepenuhnya
berdasarkan gejala klinik. Gejala yang paling utama adalah adanya
keluhan nyeri kepala unilateral di regio frontotemporal (meskipun
nyeri bilateral juga terdapat pada sebagian kecil kasus), yang terjadi
secara tiba-tiba akibat faktor pencetus dengan kualitas berdenyut
berintensitas nyeri sedang-berat. Adapun kriteria diagnosis untuk
migraine tanpa aura adalah sebagai berikut.16,4
A. Sedikitnya terdapat 5 serangan nyeri kepala, DAN memenuhi
criteria B-D
B. Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam
(belum diobati atau sudah diobati namun belum berhasil)
C. Nyeri kepala disertai dua dari empat ciri-ciri berikut :
1. Lokasi unilateral

2. Berdenyut

3. Intensitas nyeri sedang-berat

4. Keadaan diperberat oleh aktivitas fisik atau aktivitas di


luar kebiasaan rutin (berjalan atau menaiki tangga)
D. Selama serangan nyeri kepala, minimal terdapat satu dari
gejala berikut
1. Mual dan/atau muntah

2. Fotofobia dan fonofobia

E. Tidak berkaitan dengan penyakit lain

Selain migraine tanpa aura, dikenal juga migraine dengan aura


(classic migraine). Aura sendiri diartikan sebagai gejala disfungsi
serebral fokal yang pulih menyeluruh dalam jangka waktu < 60 menit
yang dapat terjadi sebelum serangan nyeri kepala (sebagian besar
kasus), pada saat serangan atau setelah serangan. Adapun kriteria
diagnosis migraine dengan aura, yaitu4,16 :
A. Sedikitnya dua serangan nyeri kepala yang memenuhi criteria B
dan C

B. Satu atau lebih gejala aura yang reversibel berikut :

1. Visual

2. Sensorik

3. Bicara dan/atau bahasa

4. Motorik

5. Batang Otak

6. Retinal

C. Sedikitnya dua dari empat karakteristik berikut :


1. Sedikitnya satu gejala aura yang berkembang secara
bertahap selama ≥ 5 menit, dan/atau dua atau lebih gejala
aura yang terjadi berurutan
2. Gejala aura berlangsung selama 5-60 menit

3. Sedikitnya satu gejala aura yang terjadi bersifat unilateral

4. Gejala aura bersamaan atau diikuti dengan gejala nyeri


kepala sesuai dengan criteria migrain tanpa aura
D. Tidak berkaitan dengan nyeri kepala akibat penyakit lain dan
Transient Ischemic Attack (TIA) telah disingkirkan.

2.2.1.7 Tatalaksana

Secara umum, penanganan migrain terbagi dalam terapi


farmakologis dan non-farmakologis. Di mana untuk terapi non-
farmakologis adalah dengan menghindari faktor pencetus serangan,
seperti perubahan pola tidur (kurang tidur/ tidur berlebih), makanan
yang merangsang, cahaya terlalu terang, stres, kelelahan, perubahan
cuaca, dsb.16
Untuk terapi farmakologis, dibagi dalam dua bagian, yaitu terapi
abortif dan terapi profilaksis. Terapi abortif bertujuan untuk
menangani serangan nyeri akut. Terapi lini pertama adalah sebagai
obat abortif nonspesifik untuk serangan ringan sampai sedang atau
serangan berat atau berespons baik terhadap obat yang sama, dapat
dipakai golongan analgesik atau NSAID yang dijual bebas. Dosis obat
lini 1 yang dapat diberikan yaitu16 :
 Paracetamol 100-600 mg/ 6-8 jam

 Aspirin 500-1000 mg/ 6-8 jam, maksimal 4 gram/ hari

 Ibuprofen 400-800 mg/ 6 jam, maksimal 2,4 gr/ hari

 Ketorolac 60 mg IM tiap 15-30 menit, maksimal 120 mg/hari,


tidak boleh lebih dari 5 hari
 Potasium diklofenak 50 mg-100 mg/hari, dosis tunggal

 Sodium naproksen 275 – 550 mg/ 2-6 jam, dosis maksimal


1,5 gr/ hari
 Steroid seperti dexametahson atau methylprednisolon dapat
menjadi pilihan pada pasien dengan status migrenosus
(serangan migrain >72 jam)
Terapi lini kedua adalah sebagai obat abortif spesifik apabila tidak
responsif terhadap analgesik dan NSAID (obat abortif nonspesifik)
seperti golongan triptan dan dihidroergotamin (DHE). Golongan
triptan digunakan pada migren sedang atau migren ringan sampai
sedang yang tidak responsif terhadap analgesik atau NSAID.
Sedangkan golongan dehidroergotamin seperti alkaloid ergot
(ergotamin tartat) walaupun efikasinya tidak lebih baik dari triptan
namun golongan tersebut memiliki rekurensi yang lebih rendah pada
beberapa pasien. Selain itu, alkaloid ergot dapat menginduksi drug
overuse headache sangat cepat pada dosis sangat rendah sehingga
penggunaannya dibatasi hanya sampai 10 hari per bulan dan tidak
boleh diberikan pada pasien dengan penyakit kardiovaskuer dan
cerebrovaskuler, hipertensi, gagal ginjal, kehamilan, dan masa laktasi.
Obat golongan triptan bekerja dengan cara agonisasi dari reseptor
5HTIB/ID seperti sumatriptan 6 mg subkutan atau 50-100 mg per oral,
atau derivat ergot seperti ergotamin 1-2 mg yang dapat diberikan
secara oral, subkutan ataupun rektal.3
Pemberian antiemetik diberikan pada serangan migren akut untuk
mengatasi nausea dan potensi emesis, diduga obat-obat antiemetik
meningkatkan resorpsi analgesik. Metoklopramid 20 mg
direkomendasikan untuk dewasa dan remaja sedangkan domperidon
10 mg untuk anak-anak.3
Terapi profilaktik umumnya diindikasikan apabila pasien
mengalami lebih dari dua kali serangan migren per bulan atau yang
aktivitas sehari-harinya terganggu akibat nyeri kepala. Obat yang
dapat digunakan antara lain amitriptilin, propranolol, dan nadolol
sebagai lini pertama. Untuk lini kedua dapat digunakan topiramat,
gabapentin, venlafaksin, kandesartan, lisinopril, magnesium, dan
riboflavin. Untuk lini ketiga, dapat dipakai flunarizin,pizotifen, dan
natrium divalproat. Beberapa pertimbangan khusus sebelum dokter
memberikan profilaktik meliputi ada tidaknya hipertensi atau penyakit
kardiovaskuler, gangguan mood, insomnia, kejang, obesitas,
kehamilan, dan toleransi rendah terhadap efek samping medikasi.3

2.2.1.8 Prognosis

Pada umumnya migren dapat sembuh sempurna jika dapat


mengurangi paparan atau menghindari faktor pencetus,dan meminum
obat yang teratur. Tetapi berdasarkan penelitian dalam beberapa studi,
terjadi peningkatan resiko untuk menderita stroke pada pasien riwayat
migren, terutama pada perempuan. Namun, hingga saat ini masih
kontroversial dan diperdebatkan.11

2.2.1.9 Komplikasi

Komplikasi dari migrain yaitu meningkatnya resiko untuk


terserang stroke. Didapatkan bahwa pasien migrain baik perempuan
maupun laki-laki beresiko 2-5 kali untuk mendapatkan stroke
subklinis serebellum, terutama yang mengalami migrain dengan aura.
Selain itu, migrain juga dapat memicu timbulnya komplikasi penyakit
metabolik pada seseorang seperti diabetes melitus dan hipertensi,
dyslipidemia, dan penyakit jantung iskemik.3
2.3.1 Nyeri Kepala Tipe Tegang (Tension Type Headache)

Tension-type Headache (TTH) adalah nyeri kepala


bilateral yang menekan (pressing/ squeezing), mengikat, tidak
berdenyut, tidak dipengaruhi dan tidak diperburuk oleh aktivitas
fisik, bersifat ringan hingga sedang, tidak disertai (atau minimal)
mual dan/ atau muntah, serta disertai fotofobia atau fonofobia.9
TTH dibedakan menjadi tiga subklasifi kasi diantaranya :

1) TTH episodik yang jarang (infrequent episodic): 1 serangan


per bulan atau kurang dari 12 sakit kepala per tahun.

2) TTH episodik yang sering (frequent episodic): 1-14 serangan


per bulan atau antara 12 dan 180 hari per tahun.
3) TTH menahun (chronic): lebih dari 15 serangan atau
sekurangnya 180 hari per tahun.

2.3.1.2 Epidemiologi

Sekitar 93% laki-laki dan 99% perempuan pernah mengalami


nyeri kepala. TTH dapat menyerang segala usia. Usia terbanyak
adalah 25-30 tahun, namun puncak prevalensi meningkat di usia 30-
39 tahun. Sekitar 40% penderita TTH memiliki riwayat keluarga
dengan TTH, 25% penderita TTH juga menderita migren. Prevalensi
seumur hidup pada perempuan mencapai 88%, sedangkan pada laki-
laki hanya 69%. Rasio perempuan:laki-laki adalah 5:4. Onset usia
penderita TTH adalah dekade ke dua atau ke tiga kehidupan, antara
25 hingga 30 tahun. Meskipun jarang, TTH dapat dialami setelah
berusia 50-65 tahun.9
2.3.1.3. Gejala klinis

TTH dirasakan di kedua sisi kepala sebagai nyeri tumpul


yang menetap atau konstan, dengan intensitas bervariasi, juga
melibatkan nyeri leher. Nyeri kepala ini terkadang dideskripsikan
sebagai ikatan kuat di sekitar kepala. Nyeri kepala dengan intensitas
ringan–sedang (nonprohibitive) dan kepala terasa kencang. Kualitas
nyerinya khas, yaitu: menekan (pressing), mengikat (tightening),
tidak berdenyut (nonpulsating). Rasa menekan, tidak enak, atau berat
dirasakan di kedua sisi kepala (bilateral), juga di leher, pelipis, dahi.
Leher dapat terasa kaku. TTH tidak dipengaruhi aktivitas fi sik rutin.
Dapat disertai anorexia, tanpa mual dan muntah. Dapat disertai
photophobia (sensasi nyeri/tidak nyaman di mata saat terpapar
cahaya) atau phonophobia (sensasi tak nyaman karena rangsang
suara). TTH terjadi dalam waktu relatif singkat, dengan durasi
berubah-ubah (TTH episodik) atau terus- menerus (TTH kronis).
Disebut TTH episodik bila nyeri kepala berlangsung selama 30
menit hingga 7 hari, minimal 10 kali, dan kurang dari 180 kali
dalam setahun. Disebut TTH kronis bila nyeri kepala 15 hari dalam
sebulan (atau 180 hari dalam satu tahun), selama 6 bulan. Penderita
TTH kronis sangat sensitif terhadap rangsangan.9

2.3.1.4. Tatalaksana

Tujuan penatalaksanaan adalah reduksi frekuensi dan


intensitas nyeri kepala (terutama TTH) dan menyempurnakan respon
terhadap terapi abortive. Terapi dapat dimulai lagi bila nyeri kepala
berulang.
Masyarakat sering mengobati sendiri TTH dengan obat
analgesik yang dijual bebas, produk berkafein, pijat, atau terapi
chiropractic. Terapi TTH episodik pada anak: parasetamol, aspirin,
dan kombinasi analgesik. Parasetamol aman untuk anak. Asam
asetilsalisilat tidak direkomendasikan pada anak berusia kurang dari
15 tahun, karena kewaspadaan terhadap sindrom Reye. Pada dewasa,
obat golongan anti-inflamasi non steroid efektif untuk terapi TTH
episodik. Hindari obat analgesik golongan opiat (misal: butorphanol).
Pemakaian analgesik berulang tanpa pengawasan dokter, terutama
yang mengandung kafein atau butalbital, dapat memicu rebound
headaches.
Beberapa obat yang terbukti efektif: ibuprofen (400 mg),
parasetamol (1000 mg), ketoprofen (25 mg). Ibuprofen lebih efektif
daripada parasetamol. Kafein dapat meningkatkan efek analgesik.
Analgesik sederhana, nonsteroidal anti-inflammatory drugs
(NSAIDs), dan agen kombinasi adalah yang paling umum
direkomendasikan.
Intervensi nonfarmakologis misalnya: latihan relaksasi,
relaksasi progresif, terapi kognitif, biofeedback training, cognitive-
behavioural therapy, atau kombinasinya. Solusi lain adalah modifi
kasi perilaku dan gaya hidup. Misalnya: istirahat di tempat tenang
atau ruangan gelap. Peregangan leher dan otot bahu 20-30 menit,
idealnya setiap pagi hari, selama minimal seminggu. Hindari terlalu
lama bekerja di depan komputer, beristirahat 15 menit setiap 1 jam
bekerja, berselang-seling, iringi dengan instrumen musik alam/klasik.
Saat tidur, upayakan dengan posisi benar, hindari suhu dingin.

Bekerja, membaca, menonton TV dengan pencahayaan


yang tepat. Menuliskan pengalaman bahagia.
Terapi tawa.9

2.3.1.5. Prognosis

Pada penderita TTH dewasa berobat jalan yang diikuti selama


lebih dari 10 tahun, 44% TTH kronis mengalami perbaikan signifi
kan, sedangkan 29% TTH episodik berubah menjadi TTH kronis.
Studi populasi potonglintang Denmark yang ditindaklanjuti selama 2
tahun mengungkapkan rata-rata remisi 45% di antara penderita TTH
episodik frekuen atau TTH kronis, 39% berlanjut menjadi TTH
episodik dan 16% TTH kronis. Secara umum, dapat dikatakan
prognosis TTH baik.9

2.4.1. Nyeri Kepala Cluster

Cluster headache merupakan suatu jenis nyeri kepala


primer akibat gangguan neurovaskuler. Jenis nyeri kepala ini dikenal
dengan berbagai nama, termasuk paroxysmal nocturnal cephalalgia
(Adams), migrainous neuralgia (Harris), histamine cephalalgia
(Horton), red migraine, dan erythromelalgia kepala. Kunkle dan
rekan, yang terkesan dengan karakteristik "pola cluster" dari serangan
nyeri kepala ini, kemudian mengajukan istilah yang digunakan saat
ini - " Cluster Headache”.15,10
Berdasarkan kriteria diagnosis yang disusun oleh
International Headache Society (IHS), nyeri kepala tipe cluster
memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Pasien mengeluhkan serangan nyeri kepala yang sangat hebat,
bersifat unilateral (orbital, supraorbital, atau temporal) yang
berlangsung selama 15- 180 menit, dan menyerang mulai dari
sekali hingga delapan kali per hari.
b. Serangan nyeri kepala disertai dengan satu atau lebih gejala
berikut (semuanya ipsilateral): injeksi konjungtiva, lakrimasi,
kongesti nasal, rinore, produksi keringat pada dahi dan wajah,
miosis, ptosis, atau edema palpebral.

2.4.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi Nyeri kepala tipe cluster dapat diklasifikasikan


menjadi dua tipe utama: a. Tipe episodic, dimana terdapat
setidaknya dua fase cluster yang berlangsung selama 7 hari
hingga 1 tahun, yang ditandai oleh periode bebas nyeri selama 1
bulan atau lebih lama b. Tipe kronis, dimana fase cluster terjadi
lebih dari sekali dalam setahun, tanpa disertai remisi, atau dengan
priode bebas nyeri yang kurang dari 1 bulan.10,5,15

2.4.1.3. Epidemiologi

Nyeri kepala tipe cluster mulai menyerang pada usia


pertengahan (di atas 30 tahun); namun demikian, terdapat laporan
kasus pada pasien berusia 1 tahun dan 79 tahun. Nyeri kepala tipe
ini lebih umum ditemukan pada pria dibandingkan dengan
wanita, dengan rasio 6:1. Presentasi klinis pada wanita dapat
berbeda dengan pada pria, berdasarkan data dari United States
Cluster Headache Survey yang menunjukkan bahwa wanita lebih
cenderung mengalami nyeri kepala cluster pada usia yang lebih
muda, serta lebih cenderung mengalami insiden setelah usia 50
tahun.5 Hubungan antara factor ras dan etnik belum diteliti
dengan baik, namun nyeri kepala ini ditemukan lebih prevalen
pada ras Afrika-Amerika, dan kurang terdiagnosis pada wanita
dengan kulit gelap.7

2.4.1.4 Patofisologi

Patofisiologi yang mendasari nyeri kepala tipe cluster


masih belum sepenuhnya dipahami. Pola periode serangan
menunjukkan adanya keterlibatan jam biologis yang diatur oleh
hipotalamus (yang mengendalikan ritme sikardian), yang disertai
dengan disinhibisi jalur nosisepif dan otonomik – secara spesifik,
jalur nosiseptif nervus trigeminus.7
Nervus trigeminus (N.V) adalah saraf campuran. Saraf ini
memiliki komponen yang lebih besar (porsio mayor) yang terdiri
dari serabut

sensorik untuk wajah, dan komponen yang lebih kecil (porsio


minor) yang terdiri dari serabut motoric untuk otot-otot
pengunyah (mastikasi).7
Ganglion trigeminale (gasserian) bersifat seperti ganglia
radiks dorsalis medulla spinalis untuk persarafan sensorik wajah.
Seperti ganglia radiks dorsalis, ganglion ini mengandung sel-sel
ganglion pseudounipolar, yang prosesus sentralnya berproyeksi
ke nucleus sensorik prinsipalis nervis trigemini (untuk raba dan
diskriminasi) dan ke nucleus spinalis tigemini (untuk nyeri dan
suhu). Nukleus mesensefali nervis trigemini merupakan kasus
khusus, karena sel-selnya mirip dengan sel-sel ganglion radiks
dorsalis meskipun terletak di dalam batang otak; yaitu seakan-
akan nucleus perifer telah dipindahkan ke system saraf pusat.
Prosesus perifer neuron pada nucleus ini menerima impuls dari
reseptor perifer di spindle otot yang berbeda di dalam otot-otot
pengunyah, dan dari reseptor lain yang memberikan respons
terhadap tekanan.7
Aktivasi area spesifik pada otak selama periode nyeri tipe cluster6
Ketiga nuclei yang disebutkan tadi membentang dari medulla
spinalis servikalis hingga ke mesensefalon, seperti yang terlihat pada
gambar diatas. Ganglion trigiminale terletak di basis kranii di atas apeks
os. Petrosus, tepat di lateral bagian posterolateral sinus kavernosus.
Ganglion ini membentuk tiga buah cabang nervus trigeminus ke area
wajah yang berbeda, yaitu nervus oftalmikus (V1), yang keluar dari
tengkorak melalui fisura orbitalis superior nervus maksilaris (V2), yang
keluar melalui foramen rotudum; dan nervus mandibularis (V3), yang
keluar melalui foramen ovale.7
Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET) dan
morfometri berhasil mengidentifikasi area abu-abu pada bagian
posterior hipotalamus sebagai area inti dari defek pada nyeri

kepala tipe cluster.5

Pencitraan Voxel-Based-Morphometry (VBM) menunjukkan area


spesifik pada otak (hipotalamus) yang mengalami perbedaan dengan pasien
tanpa nyeri kepala tipe
cluster.6

Terdapat perubahan pola sirkuit neuron tregimenus-fasial


sekunder terhadap sensitisasi sentral, yang disertai dengan
disfungsi jalur serotonergic nucleihipotalamus. Disfungsi
fungsional hipotalamus telah berhasil dikonfirmasi dengan
adanya metabolisme yang abnormal berdasarkan marker neuron
N-asetilaspartat pada pemeriksaan magnetic resonance
spectroscopy.6

Neuron-neuron substansia P membawa impuls motoric


dan sensorik pada divisi maksilaris dan oftalmik dari nervus
trigeminus. Nervus ini berhubungan dengan ganglion
sphenopalatina dan pleksus simpatis perivaskuler karotis.6
Dilatasi vaskuler mungkin memiliki peranan penting
dalam pathogenesis nyeri kepala tipe cluster, meskipun hasil
penelitian terhadap aliran darah masih menunjukkan hasil yang
tidak konsisten. Aliran darah ekstra kranial mengalami
peningkatan (hipertermi dan peningkatan aliran darah arteri
temporalis), namun hanya setelah onset nyeri. Sekalipun bukti-
bukti terkait peranan histamine masih inkosisten, namun nyeri
kepala tipe cluster dapat dipresipitasi dengan sejumlah kecil
histamine. Terdapat peningkatan jumlah sel mast pada kulit area
yang terasa nyeri pada beberapa pasien, namun temuan ini
tidaklah konsisten.6

2.4.1.5. Gejala Klinis

Serangan nyeri kepala tipe cluster secara tipikal


berlangsung pendek dan terjadi dengan periode yang jelas,
khususnya selama pasien tidur atau pada pagi hari, biasanya
berkoresponedensi dengan fase rapid eye movement pada saat
tidur. Berbeda dengan nyeri kepala migraine, nyeri kepala cluster
tidak didahului dengan aura dan biasanya tidak disertai dengan
mual, muntah, fotofobia, atau osmofobia. Pasien biasanya
mengalami 1-2 kali periode cluster dalam setahun, masing-
masing bertahan selama 2 minggu hingga 3 bulan.1
The International Headache Society (IHS)
mengkalisifikasikan nyeri kepala tipe cluster menjadi tipe
episodic dan kronis berdasarkan sebagai berikut:
a) Tipe episodic berlangsung selama 7 hari hingga 1 tahun;
serangan cluster diantarai oleh periode bebas nyeri yang
berlangsung hingga satu bulan.
b) Tipe kronis berlangsung selama lebih dari satu tahun,
tanpa adanya priode remisi, atau dengan periode remisi
kurang dari satu

bulan. Tipe kronis diklasifikasikan menjadi 2 sub-


kategori, yakni tipe kronis sejak awal dan tipe kronis yang
berkembang dari tipe episodic.2

Nyeri pada tipe cluster digambarkan sebagai berikut:

a. Karakterisitik: nyeri sangat hebat, menyiksa,


menusuk, tajam, bola mata seperti hendak dicungkil
keluar
b. Lokasi: unilateral, pada area periorbita, retro-orbital,
temporal, umumnya tidak menjalar sekalipun
kadang-kadang dapat menjalar ke area pipi, rahang,
oksipital, dan tengkuk
c. Distribusi: nyeri pada divisi pertama dan kedua dari
nervus trigemnius; sekitar 18-20% pasien
mengeluhkan nnyeri pada area trigeminus
d. Onset: tiba-tiba, memuncak dalam 10-15 menit

e. Durasi: 5 menit hingga 3 jam per episode

f. Frekuensi: dapat terjadi 1-8 kali sehari selama


berbulan-bulan

g. Periodisitas: regularitas sikardian pada 47% kasus

h. Remisi: periode panjang bebas nyeri dapat


ditemukan pada sebagian pasien; panjang remisi
rata-rata 2 tahun, namun dapat berikisar antara 2
bulan hingga 20 tahun.2
Nyeri dapat disertai dengan berbagai gejala parasipatis
kranial, antara lain:
a. Lakrimasi ipsilateral (84-91%) atau injeksi konjungtiva

b. Hidung tersumbat (48-75%) atau rinore

c. Edema palpebral ipsilateral

d. Miosis atau ptosis ipsilateral

e. Perspirasi pada dahi dan wajah sisi ipsilateral (26%)2

Produk alcohol dan tembakau dapat mempresipitasi


serangan. Pemicu lain dapat berupa cuaca panas, menonton
televisi, nitrogliserin, stress, relaksasi, rhinitis alergi, dan aktifitas
seksual.1

Selama periode serangan nyeri kepala tipe cluster,


sebanyak 90% dari pasien menjadi gelisah dan tidak dapat
beristirahat. Mereka tidak dapat berbaring untuk istirahat;
sebaliknya, pasien memilih untuk berjalan dan bergerak kesana
kemari. Pasien dapat merasa putus asa dan membenturkan
kepalanya pada permukaan yang keras, menjerit kesakitan, serta
berguling-guling.1
Kriteria Diagnosis Nyeri Kepala tipe Cluster berdasarkan
International Headache Society2 :
a) Nyeri hebat atau sangat hebat unilateral pada area orbital,
dan atau temporal yang berlangsung 15 – 180 menit
apabila tidak ditangani
b) Nyeri kepala disertai dengan setidaknya satu dari tanda
berikut:

o Ipsilateral injeksi konjungtiva dan atau lakrimasi


o Ipsilateral kongesti nasal dan/atau rhinorrhea.

o Ipsilateral edema palpebra

o Ipsilateral perspirasi pada dahi dan wajah

o Ipsilateral miosis dan/atau ptosis

o Perasaan gelisah dan tidak dapat beristirahat

c) Serangan dapat berlangsung sekali hingga delapan kali


dalam sehari
d) Tidak memiliki hubungan dengan penyakit lain

Kriteria diagnosis untuk nyeri kepala tipe cluster tipe Episodic


dan Kronis berdasarkan International Headache Society:
A. Tipe Episodic Deskripsi: Serangan berlangsung selama 7 hari – 1
tahun yang diantarai dengan periode bebas nyeri selama 1 bulan
atau lebih lama. Kriteria diagnosis: Setidaknya terdapat dua
periode cluster yang berlangsung selama 7 - 365 hari dan diantarai
dengan periode remisi selama lebih dari 1 bulan.
B. Tipe Kronik Deskripsi: Serangan berlangsung selama lebih dari 1
tahun tanpa adanya periode remisi, atau dengan periode remisi
kurang dari 1 bulan. Kriteria diagnosis: Serangan berlangsung
selama lebih dari 1 tahun

tanpa adanya periode remisi, atau dengan periode remisi kurang


dari 1 bulan.2

2.4.1.6. Tatalaksana

Agen-agen abortif diberikan untuk menghentikan atau mengurangi


nyeri serangan akut, sementara agen-agen profilaksis digunakan
untuk mengurangi frekuensi dan intensitas eksaserbasi nyeri
kepala. Mengingat tipe serangan dari nyeri kepala tipe cluster,
maka terapi profilaksis yang efektif harus dipertimbangkan
sebagai penatalaksanaan utama. Regimen profilaksis harus
dimulai saat onset siklus nyeri kepala tipe cluster dan dapat
diturunkan perlahan untuk mengurangi rekurensi.5
Agen-agen abortif

Oksigen (8 liter/ menit selama 10 menit) dapat


mengurangi nyeri apabila segera diberikan. Mekanisme kerjanya
tidak diketahui.5
Agonis reseptor 5-Hydroxytryptamine-1 (5-HT1), seperti triptan
atau alkaloid ergot dengan metoclopramide, sering kali digunakan
sebagai terapi lini pertama. Stimulasi reseptor 5-
Hydroxytryptamine-1 (5-HT1) menyebabkan efek vasokonstriksi
langsung dan dapat menghilangkan serangan. Jenis agen triptan
yang paling banyak diteliti sebagai terapi nyeri kepala tipe cluster
adalah sumatriptan. Injeksi per subkutaneus dapat efektif
menghilangkan nyeri oleh karena onset kerja yang cepat.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pemberian intranasal
lebih efektif dibandingkan placebo, namun tidak seefektif injeksi.
Tidak terdapat bukti bahwa pemberian per oral efektif. Dosis
umumnya sebesar 6 mg per subkutaneus, yang dapat diulangi
pemberiaannya dalam 24 jam. Semprot nasal (20 mg) juga dapat
digunakan.5
Jenis triptan lain yang dapat digunakan untuk terapi nyeri
kepala tipe cluster antara lain: zolmitriptan, naratriptan,
rizatriptan, almotriptan, frovatriptan, dan eletriptan. Beberapa
peneliti telah mulai mempelajari

kemungkinan digunakannya triptan sebagai agen profilaksis nyeri


kepala tipe cluster.5
Dihydroergotamine dapat menjadi agen abortif yang efektif. Obat
ini biasanya diberikan secara intravena atau intramuskuler; juga
dapat diberikan secara intranasal (0.5mg bilateral).
Dihydroergotamine lebih jarang menimbulkan vasokonstriksi
arterial dibandingkan dengan ergotamine tartrate, dan lebih efektif
jika diberikan sedini mungkin.5
Opiat parenteral dapat digunakan jika nyeri belum mereda.
Karakteristik nyeri kepala tipe cluster yang tidak dapat diprediksi
menyebabkan tidak efektifnya penggunaan agen narkosis atau
analgetik oral. Terdapat resiko penyalahgunaan obat.5
Cyanide dan capsaicin intranasal menunjukkan hasil
yang baik pada pengujian klinis. Penggunaan capsaicin pada
mukosa nasal menimbulkan penurunan angka kejadian dan
keparahan nyeri kepala tipe cluster yang signifikan.5
Pemberian tetes lidokain secara intranasal (1mL larutan 10%
yang di oleskan pada masing-masing nostril selama 5 menit) dapat
membantu meredakan nyeri; namun demikian merupakan teknik
yang sulit. Agen Profilaksis.5
Penyekat saluran kalsium merupakan agen yang
paling efektif untuk profilaksis nyeri kepala tipe cluster.
Pemberiannya dapat dikombinasikan dengan ergotamine atau
litium. Verapamil merupakan penyekat saluran kalsium yang
paling baik, sekalipun jenis lainnya seperti nimodipine dan
diltiazem juga telah dilaporkan efektif.5 Litium juga
dipertimbangkan sebagai salah satu pilihan oleh karena sifat siklik
dari nyeri kepala tipe cluster yang serupa pada gangguan bipolar.
Litium secara efektif mencegah terjadinya nyeri kepala tipe
cluster. Litium masih direkomendasikan sebagai agen lini pertama
untuk terapi nyeri kepala tipe cluster. Terdapat kecenderungan
terjadinya efek samping didalam minggu pertama penggunaan.5
Methysergide, sangat efektif untuk profilaksis nyeri kepala
tipe cluster tipe episodic dan kronis. Agen ini dapat mengurangi
frekuensi nyeri, khususnya pada pasien-pasien berusia muda
dengan tipe episodic. Agen ini tidak boleh diberikan secara
kontinu lebih dari 6 bulan.5
Beberapa penelitian kecil menunjukkan bahwa
antikonvulsan (misalnya topiramate dan divalproex) dapat efektif
sebagai agen profilaksis nyeri kepala tipe cluster, sekalipun
mekanisme kerjanya belum jelas.2,5 Kortikosteroid sangat efektif
dalam menghentikan siklus nyeri kepala tipe cluster dan
mencegah rekurensi nyeri. Prednison dosis tinggi diberikan untuk
beberapa hari pertama, diikuti dengan penurunan dosis secara
gradual. Mekanisme kerjanya masih belum jelas.5,18

2.4.1.7. Prognosis

Secara umum nyeri kepala tipe cluster akan berlangsung


seumur hidup. Beberapa prognosis meliputi serangan rekuren,
remisi yang memanjang, dan kemungkinan transformasi tipe
episodic menjadi tipe kronis dan begitupula sebaliknya.15
Sebanyak 80% pasien-pasien dengan nyeri kepala tipe
cluster tipe episodic tetap berada dalam periode episodiknya. Pada
4-13% kasus, tipe episodic berubah menjadi tipe kronis. Remisi
spontan terjadi pada 12% dari pasien, khususnya mereka dengan
tipe episodic. Tipe kronis menetap pada 55% dari kasus.
Meskipun jarang, nyeri kepala tipe cluster tipe kronis dapat
berubah menjadi tipe episodic.15
Tidak terdapat laporan mortalitas yang berhubungan
langung dengan nyeri kepala tipe cluster. Namun demikian,
pasien-pasien dengan nyeri kepala tipe cluster memiliki resiko
menciderai diri sendiri, melakukan upaya bunuh diri, konsumsi
alcohol, merokok, dan ulkus peptic. Upaya bunuh diri telah
dilaporkan pada kasus-kasus dengan serangan yang hebat dan
frekuen. Intensitas serangan pada nyeri kepala tipe cluster sering
kali menyebabkan pasien terganggu dalam menjalankan
aktifitasnya.1

BAB III

KESIMPULAN
1. Nyeri kepala (Cephalgia) merupakan salah satu gangguan
sistem saraf yang paling umum dialami oleh masyarakat.
2. Cephalgia bukan diagnosis suatu penyakit. Perbedaan
gejala, onset, dan nyeri cephalgia berbeda-beda, sehingga
perlu ketelitian dalam melakukan anamnesis, pemeriksaan
dalam memberikan pengobatan.
3. Cephalgia harus diklasifikasikan secara cermat untuk
mengetahui penyebabnya.
4. Cephalgia biasanya disebabkan oleh gaya hidup, kondisi
penyakit, jenis penyakit, dan faktor genetik.
Daftar Pustaka

1. Anonym. The International Clasification of Headache Disorders.


In: Cephalalgia International Journal of Headache. p. 629-808.
UK: SAGE Publication; 2013.
2. Anonym. Headache. In: Lerner AJ. Diagnostic Criteria in
Neurology. p.
113. New Jersey: Humana Press; 2006.
3. Anurogo D. Penatalaksanaan migren. RS PKU Muhammadiyah
Palangkaraya, Kalimantan Tengah, 2012.
4. Arifputra A AT. Migrain. In: Chris Tanto d, editor. Kapita Selekta

5. Ashkenazi A; Schwedt T. Cluster headache acute and


prophylactic theraphy. USA: Wiley Periodicals, Inc; 2011
6. Bahrudin, M, 2013, Nyeri Kepala, Neurologi Klinis, 1st edn,
UMM Press, pp 190-218, Malang
7. Blande M. Cluster headache. In: MedScape reference. Updated:
April, 8 2014.http://emedicine.medscape.com/article/1142459-
overview#a0104
8. Brainstem. In: Baehr M, Frotscher M, editors. Topical Diagnosis
in Neurology. 4th edition. p. 160-7. Stutgard: Thieme; 2005
9. Dito anurogo tension type headache. CDK-21 vol 41 no 3 tahun 2014

10. Forshaw M. Understanding headache and migraine. p.33.


America: John Wiley & Sons, Ltd.
11. Hartwig M WL. Nyeri. In: Price S WL, editor. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC; 2015. p. 1063-101.

12. Headache Classification Subcommittee of the International


Headache Society: The International Classification of Headache
Disorders, 2nd edn. Cephalalgia 2004;24(Supp 1):1–150.
13. Hidayati, H. B. (2016). Tinjauan Pustaka: Pendekatan Klinisi dalam
Manajemen Nyeri Kepala. Mnj, 2(2), 89–96
14. Kelompok Studi Nyeri Kepala PERDOSSI. Diagnostik
dan penatalaksanaan nyeri kepala. Surabaya: Airlangga
University Press;2011.
15. Leroux E, Ducros A. Cluster headache. In: Orphanet Journal of
Rare Diseases; BioMed Central Ltd. Published on 23 July 2008.
http://www.orjd.com/content/3/1/20
16.(IHS) IHS. Headache Classification. International Headache
Society.
2013;33(9):629-808.
17. Marks DB, Marks AD, Smith CM (2012). Biokimia kedokteran
dasar: sebuah pendekatan klinis. Jakarta: EGC, pp: 410- 418.
18. Matharu M. Cluster headache. In: Clinical evidence. p. 1-39. BMJ
Publishing Group Ltd; 2009
19. Price, A. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit,
Edisi
IV. Jakarta: EGC.
20. Ropper, A., Brown, R. Adams and Victor’s Principles of Neurology
ed 8th.
USA : McgrawHill; 2005
21. Stovner L. Hagen K. Jensen R. et al. The global burden of headache:
a documentation of headache prevalence and disability worldwide.
Cephalalgia 2007;27:193-210.
22. Tandaju, Yafet; Runtuwene, Theresia; Kembuan, M. A. H. . (2016).
Gambaran nyeri kepala primer pada mahasiswa angkatan 2013
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Jurnal E-
Clinic (eCI), 4(1), 4–7. Unversitas, K., & Kuala, S. (2014). Kuala
University, 39–50.
23. Woro Riyadina dan Yuda Turana, 2014, FAKTOR RISIKO DAN
KOMORBIDITAS MIGRAIN. Pusat Penelitian Kesehatan FK
UNIKA Atmajaya, Jl. Pluit Raya No. 2, Jakarta
24. Yusuf, M. (2009). Perbandingan Efek Terapi Kombinasi
Medikamentosa dan Akupungtur dengan Medikamentosa pada
Penderita Migren tanpa Aura. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Anda mungkin juga menyukai