Disusun Oleh:
Yuni Syafitri
22091040
Preceptor Akademik:
Preceptor Klinik
FAKULTAS KESEHATAN
PEKANBARU
2023
i
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Syukur alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan makalah
mini seminar” Asuhan Keperawatan pada An G dengan cedera kepala berat dan prolapse
cerebri di Ruangan Edelwis RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Terimakasih kepada
preceptor akademik yaitu ibu Ns. Raja Fitrina Lestari, M.Kep dan preceptor klinik yaitu ibu
Ns. Ade Dila Ruri, S.Kep., MNSc yang telah memberikan masukan serta saran sehingga saya
dapat membuat laporan makalah mini seminar ini dengan baik.
Saya menyadari bahwa dalam proses penulisan laporan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik secara materi maupun penulisannya. Namun demikian, saya telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang saya miliki sehingga dapat
selesai dengan baik dan oleh karenanya saya dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka
menerima masukkan, saran serta kritik dari berbagai pihak guna penyempurnaan laporan
makalah ini. Saya selaku penulis berharap semoga laporan makalah ini dapat bermanfaat bagi
seluruh pembaca, terimakasih
Yuni Syafitri
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
Berdasarkan GCS (Glasgow Coma Scale) cedera kepala dapat dibagi menjadi 3, yaitu cedera
kepala ringan dengan GCS 13-15, cedera kepala sedang dengan GCS 9-12, dan cedera kepala
berat dengan GCS kurang atau sama dengan 8. Cedera kepala sedang (CKS) merupakan
cedera kepala dengan angka GCS 9-12, yang mengalami kehilangan kesadaran (amnesia)
lebih dari 30 menit namun kurang dari 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, dan
diikuti oleh contusia serebral, laserasi, dan hematoma intrakranial. (Nurarif & Kusuma,
2013). Cedera kepala sedang memiliki tanda dan gejala sebagai berikut, yaitu disorientasi
ringan, amnesia post traumatik, sakit kepala, mual muntah, vertigo dalam perubahan posisi,
gangguan pendengaran (Wijaya & Putri, 2013). Selain tanda dan gejala tersebut, konfusi,
kejang, serta adanya tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battel, mata rabun,
hemotmpanum, otore, atau rinore cairan serebrospinal) juga merupakan tanda dan gejala yang
muncul pada pasien dengan cedera kepala sedang (Manurung, 2018). Menurut Surveillance
Report of Traumatic Brain Injury tahun 2014, di Amerika Serikat terdapat sekitar 2,87 juta
pasien cedera kepala. Diantaranya sekitar 2,53 juta orang datang ke Instalasi Gawat Darurat
yang didalamnya lebih dari 812.000 pasien merupakan anak-anak. Terdapat sekitar 288.000
pasien cedera kepala yang mengalami rawat inap dan sekitar 23.000 diantaranya merupakan
anakanak. Pasien cedera kepala yang meninggal dunia terdapat sekitar 56.800 orang yang
16
2.529 didalamnya merupakan anak-anak (Peterson et al., 2019). Menurut Riskesdas 2018,
prevalensi kejadian cedera kepala di Indonesia berada pada angka 11,9%. Cedera pada bagian
kepala menempati posisi ketiga setelah cedera pada anggota gerak bawah dan bagian anggota
gerak atas dengan prevalensi masing-masing 67,9% dan 32,7%. Penanganan pada pasien
cedera kepala yaitu dengan dilakukannya pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai
macam cedera atau gangguan gangguan di bagian tubuh lainnya, pemeriksaan neurologis
mencakup respon mata, motorik, verbal, pemeriksaan pupil, reflek okulosefalik, dan okuloves
tubuler, penanganan cedera-cedera dibagian tubuh lainnya, pemberian terapi pengobatan
seperti anti edema serebri, anti kejang, serta natrium bikarbonat, dan dilakukannya tindakan
pemeriksaan diagnostik seperti scan tomografi computer, angiografi serebral, dan lainnya
(Nurarif & Kusuma, 2013). Prolaps cerebri terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak
yang terbuka sehingga korteksserebri keluar dari tengkorak Adanya tekanan intrakranial yang
meninggi akan mendorong jaringan otak lebih keluar proses terjadinya prolaps serebri serta
gejala yang berkaitan dengan prolaps serebri jarang dikemukakan tindakan kraniotomi dapat
mengurangi tanda dan gejala serta mengkonsumsi diagnosis.
17
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Definisi
Cedera kepala atau trauma kapitisadalah suatu gangguan trauma dari otak disertai/tanpa
perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas dari
otak.(Nugroho, 2015). Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala (Suriadi dan Yuliani, 2013). Menurut Brain Injury Assosiation of
America (2012), cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik. 2.2 Etiologi
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma olehbenda/
serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan/energi yang diteruskan ke
otak dan efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak, selain itu dapat
disebabkan oleh Keceakaan, Jatuh, Trauma akibat persalinan.
2.3 Patofisiologi
Cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada parenkim
otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti
penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler.Patofisiologi cedera kepala
dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera
kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala
terbentur dan dapat memberi dampak kerusakan jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder
terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia dan
perdarahan. Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural hematoma,
berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter, subdura hematoma akibat
berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan subaraknoid dan intra cerebral,
hematoma adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian pada penderita
cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi
autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak.
(Tarwoto, 2010)
18
2.4 Manifestasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat ringan, dan morfologi. a. Mekanisme cedera
kepala Cedera kepala secara luas dapat dibagi atas cedera kepala tertutup dan cedera kepala
terbuka. Cedera kepala tertutup biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor,
jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedangkan cedera tembus disebabkan oleh luka
tembak atau tusukan. b. Beratnya cedera kepala Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan
suatu komponen untuk mengukur secara klinisberatnya cedera otak. Glasgow Coma Scale
meliputi 3 kategori yaitu respon membuka mata, respon verbal, dan respon motorik. Skor
ditentukan oleh jumlah skor dimasing -masing 3 kategori, dengan skor maksimum 15 dan
skor minimum 3 ialah sebagai berikut: 1) Nilai GCS kurang dari 8 didefinisikan sebagai
cedera kepala berat. Kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia > 24 jam, juga meliputi
kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial. 2) Nilai GCS 9 – 12 didefinisikan
sebagai cedera kepala sedang. Kehilangan kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam dan dapat mengalami fraktur tengkorak. 3) Nilai GCS 13 – 15 didefinisikan
sebagai cedera kepala ringan (D. Jong, 2010).
2.5 Komplikasi
b. Hidrosefalus
c. Spastisitas
d. Agitasi
2.6 Penatalaksanaan
1. Cedera kepala sedang (GCS 9 -12) Kurang lebih 10% pasien dengan cedera kepala di Unit
Gawat Darurat (UGD) menderita cedera otak sedang. Mereka umumnya masih mampu
menuruti perintah sederhana, namun biasanya tampak bingung atau mengantuk dan dapat
pula disertai defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sebanyak 10 -20% dari pasien
cedera otak sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Untuk alasan tersebut
19
maka pemeriksaan neurologi secara berkala diharuskan dalam mengelola pasien ini. Saat
diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera dilakukan stabilisasi
kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan. CT Scan kepala harus selalu
dilakukan dan segera menghubungi ahli bedah saraf. Pasien harus dirawat di ruang perawatan
intensif atau yang setara, dimana observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial dilakukan
selama 12-24 jam pertama. Pemeriksaan CT Scan lanjutan dalam 12-24 jam
direkomendasikan bila hasil CT Scan awal abnormal atau terdapat penurunan status
neurologis pasien (ATLS, 2010). 2. Cedera kepala berat (GCS < 8) Penderita ini biasanya
disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu disamping kelainan serebral juga disertai
kelainan sistemik.Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:
a. Resusitasi jantung paru ( airway, breathing, circulation =ABC) Pasien dengan cedera
kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia akibat gangguan
kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah: 1) Jalan nafas (Air way) Jalan
nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu
dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau
gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi
muntahan. 2) Pernafasan (Breathing) Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan
sentral atau perifer. Kelainansentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata,
pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer
adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan
pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen
kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator. 3) Sirkulasi
(Circulation) Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan
sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor
ekstrakranial, yakni berupa hipovolemik akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam,
trauma dada disertai tempo nadi jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya
adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah
yang hilang dengan plasma.
b. Pemeriksaan fisik Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran,
pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini
dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen
diatas bisa diartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan
menanggulangi penyebabnya.
20
c. Tekanan Intrakranial (TIK) Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi,
hematom intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya
dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0 -15 mmHg, diatas 20 mmHg
sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:
2) Drainase Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek
dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo
peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus.
3) Terapi diuretik a) Diuretik osmotik (manitol 20%) Cairan ini menurunkan TIK dengan
menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang
intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan.Cara pemberiannya :
Bolus 0,5 -1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam
selama 24 -48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm.
b) Loop diuretik (Furosemid) Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat
pembentukan cairan serebrospinal dan menarik cairan interstisial pada edema sebri.
Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek
osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/IV.
4) Terapi barbiturat (Fenobarbital) Terapi ini diberikan pada kasus -kasus yang tidak
responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya adalah bolus
10 mg/kgBB/IV selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu
pertahankan pada kadar serum 3-4 mg dengan dosis sekitar 1 mg/kgBB/jam. Setelah TIK
terkontrol 20 mmHg selama 24-48 jam dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
5) Steroid Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi
menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi
pada kasus cedera kepala.
21
6) Posisi Tidur Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan
bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi
atau laterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena
otak menjadi lancar.
c) Keseimbangan cairan elektrolit Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk
mencegah bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500 -2000 ml/hari diberikan
perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat
dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang
mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri.
Keseimbangan cairan.
tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume
urine normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa
nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan elektrolit,
pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes
insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretichormone (SIADH). Dalam keadaan ini perlu
dipantau kadar elektrolit, gula darah, ureum,kreatinin dan osmolalitas darah.
d. Nutrisi Setelah 3-4 hari dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui
pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000 - 3000 kalori/hari.
e. Epilepsi atau kejang Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut
early epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi
lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi,
hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik.
Proses keperawatan adalah penerapan pemecahan masalah keperawatan secara ilmiah yang
digunakan untuk mengidentifikasi masalah-masalah,
1. Pengkajian Pengkajian terdiri dari pengumpulan informasi subjektif dan objektif (misalnya
tanda vital, wawancara pasien/ keluarga, pemeriksaan fisik) dan peninjauan informasi riwayat
pasien pada rekam medik (NANDA-I, 2015).
22
2. diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan mengenai masalah kesehatan klien yang aktual atau
risiko mengidentifikasi dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi,
mencegah, atau menghilangkan masalah kesehatan klien yang ada pada tanggung jawabnya
(Tarwoto dan Wartonah, 2011). Setelah penulis melakukan analisa data didapatkan diagnosa
utama yang muncul menurut SDKI (2018), yaitu risiko perfusi serebral tidak efektif
3. Intervensi Keperawatan
Rencana keperawatan adalah pedoman formal untuk mengarahkan staf keperawatan untuk
memberi asuhan kepada klien. Biasanya berdasarkan prioritas, hasil yang diharapkan (sasaran
jangka pendek atau panjang) dan program keperawatan (Roshdal dan Kowalski, 2015).
23
BAB II
GAMBARAN KASUS
Identitas Pasien
24
Riwayat Penyakit
a. Keluhan Utama
Pasien datang ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran, pasien
merasakan nyeri dibagian kepala pad abekas operasi dengan skala nyeri 5
Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi
Riwayat Operasi
Pasien memiliki riwayat operasi pada tanggal 12 juni 2023 pasien datang
kerumah sakit dengan penurunan kesadaran dan luka terbuka pada kepala.
Pasien ditemukan tergeletak di jalan oleh warga dalam kondisi tidak
sadarkan diri dan dibawa ke igd rumah sakit arifin achmad
Riwayat Imunisasi
25
Riwayat Kesehatan Keluarga (Genogram)
Keterangan :
: perempuan
: laki-laki
: pasien
: garis keturuanan
: garis perkawinan
26
Riwayat Sosial
Tidak ada
Kebutuhan Dasar
4. Aktivitas bermain: tidak ada batasan untuk aktivitas, tetapi untuk saat ini
terbatas karena anak baru selesai operasi pada bagian kepala
Masalah keperawatan
27
Keadaan Kesehatan
1. Status Nutrisi
- BB (Berat Badan) : 45 kg
- TB (Tinggi Badan) : 148 cm
- LK (Lingkar Kepala) :
- LILA (Lingkar Lengan Atas) :
- BB/U :
- TB/U :
3. Obat-obatan :
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr, inj omeprazole 2x40 mg, inj phentolin
3x100mg,
4. Pemeriksaan Penunjang
- Hasil laboratorium :
- Hasil Xray :
5. Data Tambahan
Masalah keperawatan:
Pemeriksaan Fisik
28
Masalah Keperawatan:
Integumen
Masalah Keperawatan
Masalah Keperawatan
29
Mata
Masalah Keperawatan
- Rongga mulut, lidah dan bau : mulut bersih lidah, bersih dan
tidak berbau
Masalah Keperawatan
30
Torax dan paru-paru
Sistem kardiovaskuler
- Palpasi :
Denyut apikal TIM (Titik Impuls Maksimum): berada pada sela
iga ke empat
Pericordialfriction rib
Masalah Keperawatan:
Abdomen
31
- Bising usus : 13 kali
Masalah Keperawatan:
Laki-laki
Sistem Musculoskeletal
Masalah Keperawatan:
Sistem persyarafan
- Fungsi motorik :
- Uji romberg :
Masalah keperawatan:
Pemeriksaan Refleks
NO REFLEKS TEMUAN
33
Refleks Tendon Dalam Tidak ada
1 Biseps Tidak ada
2 Triseps Tidak ada
3 Brakhiaradialis Tidak ada
4 Patela Tidak ada
5 Achiles Tidak ada
6 Refleks Superfisial Tidak ada
7 Abdomen Tidak ada
8 Kremaster Tidak ada
9 Anus Tidak ada
Masalah keperawatan:
2. Motorik Halus
Tidak ada gangguan pada motoric halus
4. Motorik Kasar
Tidak ada gangguan pada motoric kasaer
34
Informasi Lain (Pemeriksaan penunjang & Terapi)
35
FORMAT ANALISA DATA
36
Diagnosa Keperawatan
1. nyeri akut b.d agen cedera fisik di tandai dengan mengeluh nyeri
2. Risiko perfusi serbral tidak efektif b.d cedera kepala d.d efek samping tindakan operasi
bagian kepala
37
FORMAT RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
16
nyei,
17
2. Risiko perfusi jaringan serebral tidak Perfusi serebral Manajemen peningkan TIK
efektif
Setelah dilakukan tindkaan keperawatan 1x8 jam Tindakan:
diharapkan hasil membaik
Observasi:
Kriteria hasil:
- Menidentifikasi penyebab peningkatan TIK
Tekanan intrakranial menurun
- montor tanda dan gejela peningkatan TIK
Gelisah menurun
Teraupetik:
Kolaborasi:
18
CATATAN PERKEMBANGAN
16
Sabtu 17 juni Risiko perfusi jaringan Menidentifikasi penyebab peningkatan TIK S: pasien gelisah, pasien
2023 serebral tidak efektif kesadaran apatis, pasien
18.00 -memonitor tanda dan gejela peningkatan TIK mengatakan nyeri dibagian post
19.00 - mengidenifikasi terjadinya kejang op
20.00
O: - anak tampak gelisah
- skala nyeri 5
- TD: 119/80 mmhg, Nadi: 102
x/mnt, RR: 13 x/menit.
- S: 36,5 C
17
18
19
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Nyeri akut b.d agen cedera fisik di tandai dengan mengeluh nyeri
2. Risiko perfusi serbral tidak efektif b.d cedera kepala d.d efek samping tindakan
operasi bagian kepala
Diagnosa yang lainnya tidak muncul pada tinjauan kasus karena tidak didapatkan
data pendukung
Pada diagnose nyeri akut penulis memberikan intervensi yaitu manajemen nyeri,
pada diagnosa risiko perfusi serebral intervensi yang digunakan yaitu manajemen
peningkatan TIK
20
Pada diagnosa nyeri akut penulis memberikan implementasi yaitu manajemen nyeri
dengan terapi music untuk mengatasi nyeri.
21
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dalam melaksanakan pengkajian terhadap An. G diperoleh data dari pasien melalui
wawancara, observasi langsung, pemeriksaan fisik, menelaah catatan medis maupun
catatan perawat. Dimana didapatkan bahwa pada teori hampir seluruh sistem dalam
tubuh mengalami gangguan, Sedangkan pada kasus hanya didapatkan sebagian sistem
yang mengalami masalah. Diagnosa yang lainnya tidak muncul pada tinjauan kasus
karena tidak ada data pendukung pada tinjauan kasus diatas. Dapat disimpulkan
bahwa tidak ada kesenjangan antara teori dan kasus yang telah diselesaikan.
22