DISUSUN OLEH:
KELOMPOK VII
Laporan Ini Telah Diperiksa Dan Disetujui Oleh Preseptor Akademik Dan
Preseptor Klinik Program Studi Profesi Ners STIKes Payung Negeri Pekanbaru.
Puji syukur kelompok ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan nikmat yang telah dilimpahkan kepada kelompok penyusun, kelompok dapat
menyelesaikan usulan laporan seminar dengan kasus “Asuhan Keperawatan
Cidera Kepala Sedang pada Tn. H Di Ruangan Instalasi Gawat darurat (IGD)
RSUD Arifin Achmad Pekanbaru”.
Kelompok VII
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi yang
disertai atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala adalah adanya pukulan atau
benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran
(Wijaya & Putri, 2013). Menurut Haryono & Utami (2019) cedera kepala
merupakan istilah luas yang menggambarkan sejumlah cedera yang terjadi
pada kulit kepala, tengkorak, otak, dan jaringan di bawahnya serta pembuluh
darah di kepala.
Cidera kepala juga dapat dijadikan sebagai kasus trauma yang paling
sering terjadi setiap harinya, bahkan paling sering dijumpai diunit gawat
darurat pada setiap rumah sakit. Cidera kepala didefinisikan sebagai penyakit
non degeneratif dan non kongenital yang disebabkan oleh massa mekanik dari
luar tubuh yang melibatkan scalp atau kulit kepala, tulang tengkorak, dan
tulang-tulang yang membentuk wajah atau otak (Siahaya, dkk. 2020).
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala. Trauma
yang dapat menyebabkan cedera kepala antara lain kejadian jatuh yang tidak
disengaja, kecelakaan kendaraan bermotor, benturan benda tajam dan tumpul,
benturan dari objek yang bergerak, serta benturan kepala pada benda yang
tidak bergerak. Cedera kepala secara langsung maupun tidak langsung
mengenai kepala yang mengakibatkan luka pada kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, dan kerusakan jaringan otak serta mengakibatkan gangguan
neurologis (Manurung, 2018). Pasien cedera kepala akan mengalami
perdarahan di tengkorak, peningkatan tekanan intrakranial, dan penurunan
tekanan perfusi otak. Jika keadaan semakin memburuk maka akan mengalami
bradikardi (denyut nadi menurun) bahkan akan berkurangnya frekuensi
respirasi. Tekanan darah dalam otak terus meningkat dan semua tanda vital
terganggu kemudian akan mengakibatkan kematian (Widyawati, 2012).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana “Asuhan Keperawatan Tn. H
dengan Cidera Kepala Sedang di Ruangan Instalasi Gawat Darurat (IGD) di
RSUD Arifin Achmad Pekanbaru?”
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Tn. H dengan Cidera Kepala
Sedang di Ruangan Instalasi Gawat Darurat (IGD) di RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan cidera kepala,
b. Mampu menegakkan diagnosa keperawatan sesuai dengan prioritas
pada pasien dengan cidera kepala,
c. Mampu menyusun rencana keperawatan pada pasien dengan cidera
kepala,
d. Mampu melakukan tindakan keperawatan pada pasien dengan cidera
kepala,
e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan cidera
kepala.
D. Manfaat
1. Pelayanan Kesehatan
Sebagai bahan informasi bagi pelayanan kesehatan dalam menyusun
rencana perawatan dan asuhan keperawatan yang sistematis dan
komprehensif pada pasien dengan cidera kepala.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber informasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
dibidang keperawatan.
3. Bagi Mahasiswa Keperawatan
Sebagai informasi dalam meningkatkan asuhan keperawatan pada pasien
dengan cidera kepala.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Anatomi Fisiologi
Anatomi Kepala
Kulit kepala terdri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu Skin
atau kulit, Connective Tissue atau jaringan subkutis, Aponeurosis galea,
Loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar, dan Pericranium
(perikranium), berikut diantaranya:
1. Skin atau kulit Sifatnya tebal dan mengandung rambut serta kelenjar
keringat (Sebacea).
2. Connective Tissue atau jaringan subkutis Merupakan jaringan kat lemak
yang memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama di atas
Galea. Pembuluh darah tersebut merupakan anastommistis antara arteri
karotis interna dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis eksterna.
3. Aponeurosis galea Lapisan ini merupakan lapisan terkuat, berupa fascia
yang melekat pada tiga otot, yaitu:
1) ke anterior – m. frontalis
2) ke posterior – m. occipitslis
3) ke lateral – m. temporoparietalis
4. Loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar Lapisan ini mengandung
vena emissary yang merupakan vena tanpa katup (valveless vein), yang
menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena intrakranial
(misalnya Sinus sagitalis superior). Jika terjadi infeksi pada lapisan ini,
akan muda menyebar ke intrakranial. Hematoma yang tebentuk pada
lapisan ini disebut Subgaleal hematom, merupakan hematoma yang paling
sering ditemukan setelah cedera kepala.
5. Pericranium (perikranium) Merupakan periosteum yang melapisi tulang
tengkorak, melekat erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini
periosteum akan langsung berhubngan dengan endosteum (yang melapisi
permukaan dalam tulang tengkorak).
B. Konsep Penyakit
1. Pengertian Cedera Kepala
Cedera kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai/tanpa
perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas dari otak (Nugroho, 2011). Cedera kepala juga dapat diartikan
suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau
otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala.
Cedera kepala merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi yang
disertai atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala adalah adanya pukulan atau
benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran
(Wijaya & Putri, 2013).
Berdasarkan defenisi cedera kepala diatas maka penulis dapat
menarik suatu kesimpulan bahwa cedera kepala adalah suatu cedera yang
disebabkan oleh trauma benda tajam maupun benda tumpul yang
menimbulkan perlukaan pada kulit, tengkorak, dan jaringan otak yang
disertai atau tanpa pendarahan.
2. Klasifikasi Cedera Kepala
Cedera kepala dapat dilasifikasikan sebagai berikut :
a. Berdasarkan Mekanisme
1) Trauma Tumpul : adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan
kendaraan bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat
bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).
2) Trauma Tembus : adalah trauma yang terjadi karena tembakan
maupun tusukan benda-benda tajam/runcing.
b. Berdasarkan Beratnya Cidera
1) Cedera Kepala Ringan/Minor (Kelompok Risiko Rendah) yaitu,
GCS 14-15, pasien sadar dan berorientasi, kehilangan kesadaran atau
amnesia < dari 30 menit, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat
terlarang, klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, tidak
terdapat fraktur tengkorak, kontusio, hematom , tidak ada kriteria
cedera sedang sampai berat.
2) Cedera Kepala Sedang (Kelompok Risiko Sedang) yaitu GCS 9-13
(konfusi, letargi dan stupor), pasien tampak kebingungan,
mengantuk, namun masih bisa mengikuti perintah sederhana, hilang
kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam, konkusi,
amnesia paska trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur kranium
(tanda battle, mata rabun, hemotimpanum, otorhea atau rinorhea
cairan serebrospinal).
3) Cedera Kepala Berat (Kelompok Risiko Berat) yaitu GCS 3-8
(koma), penurunan derajat kesadaran secara progresif, kehilangan
kesadaran atau amnesia > 24 jam, tanda neurologis fokal, cedera
kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium.
3. Etiologi Cedera Kepala
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala
meliputi trauma olehbenda/ serpihan tulang yang menembus jaringan otak,
efek dari kekuatan/energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan
perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak, selain itu dapat disebabkan
oleh Keceakaan, Jatuh, Trauma akibat persalinan (NINDS,2013). Menurt
Kristanty, dkk (2014) etiologi cedera kepala meliputi:
a. Trauma tajam
Trauma tajam disebabkan oleh pisau atau peluru atau fragmen
tulang pada fraktur tulang tengkorak. Kerusakan tergantung pada
kecepatan gerak (velocity) benda tajam tersebut menancap ke kepala
atau otak. Kerusakan terjadi hanya pada area dimana benda tersebut
merobek otak (lokal). Obyek dengan (velocity) tinggi (peluru)
menyebabka kerusakan struktur otak yang luas. Adanya luka terbuka
menyebabkan risiko infeksi.
b. Trauma tumpul
Kekuatan benturan akan menyebabkan kerusakan yang menyebar.
Berat ringannya cedera yang terjadi tergantung pada proses akselerasi-
deselerasi, kekuatan benturan dan kekuatan rotasi internal dapat
menyebabkan perpindahan cairan dan perdarahan ptekie karena pada
saat otak “bergeser” akan terjadi “pergesekan” antara pemukaan otak
dengan tonjolan-tonjolan yang terdapat dipermukaan dalam tengkorak
laserasi jaringan otak sehingga mengubah integritas vaskular otak.
c. Coup dan Countercoup
Pada cedera coup kerusakan terjadi segera pada daerah benturan
sedangkan pada cedera Countercoup kerusakan terjadi pada sisi yang
berlawanan cedera coup.
4. Patofisiologi dan WOC Cedera Kepala
Menurut Rendi and Margaret (2012) patofisiologi cedera kepala
berat yaitu: otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan
glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf
hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai
cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar
akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan
oksigen sebagai bahan bakar otak tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena
akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolic anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolism
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan
normal Cerebral Blood Flow (CBF) adalah 60 ml/ menit/ 100 gr. Jaringan
otak, yang merupakan 15% dari cardiac output. Cedera kepala
menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-
myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan
disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler,
dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh arah arteriol
akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada
pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
WOC Cidera Kepala
Penurunan perdarahan
Penurunan Perdarahan Robeknya arteri Penumpukan kesadaran, Gg. Saraf
Perdarahan hematoma, Fraktur
kesadaran darah diotak peningkatan motorik tulang
kerusakan jaringan
TIK Penurunan tengkorak
Kompensasi
Hematoma sirkulasi
tubuh : Penurunan
epidural Penurunan darah
Penekanan saraf sistem Bed rest lama vasodilatasi & kesadaran
kesadaran sensori Penurunan keginjal Terputusnya
pernafasan bradikardi nafsu makan, Gg. kontuinitas
Penurunan Perubahan mual dan keseimban tulang
C. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Keluhan utama
Keluhan utama adalah keluhan atau gejala saat awal dilakukan
pengkajian yang menyebabkan pasien berobat (Hidayat, 2021). Cedera
kepala sedang memiliki keluhan atau gejala utama yang berbeda-beda
tergantung dengan letak lesi. Keluhan utama yang timbul meliputi mual
dan muntah, kejang, amnesia pasca trauma, disorientasi, serta gangguan
pendengaran. Biasanya pasien akan mengalami penurunan kesadaran
dengan skala koma Glasgow 9-12 (kontusi, latergi atau stupor) karena
adanya benturan serta perdarahan pada bagian kepala klien yang
disebabkan oleh kecelakaan ataupun tindakan kejahatan.
b. Pengkajian primer
Dalam melakukan asuhan keperawatan pada kasus
kegawatdaruratan selalu diawali dengan melakukan pengkajian.
Pengkajian kegawatdaruratan pada umumnya menggunakan pendekatan
A-B-C (Airway : jalan nafas, Breathing : pernafasan dan Circulation :
sirkulasi). Perlu diingat sebelum melakukan pengkajian harus
memperhatikan proteksi diri (keamanan dan keselamatan diri) dan
keadaan lingkungan sekitar (Hamarno, 2016).
1) Airway
Pada pemeriksaan airway usahakan jalan napas stabil, dengan
cara kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah, adanya
benda asing. Perhatikan tulang leher, immobilisasi, cegah gerakan
hiperekstensi, hiperfleksi ataupun rotasi. Semua penderita cedera
kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera vertebrae
cervical sampai terbukti tidak disertai cedera cervica, maka perlu
dipasang collar barce. Jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen,
minimal saturasinya 90%, jika tidak, usahakan untuk dilakukan
intubasi dan support pernafasan (Manurung, 2018).
Pengkajian jalan nafas bertujuan menilai apakah jalan nafas paten
(longgar) atau mengalami obstruksi total atau partial sambil
mempertahankan tulang servikal. Pada kasus non trauma dan pasien
tidak sadar posisi kepala headtilt dan chin lift (hiperekstensi)
sedangkan pada kasus trauma kepala sampai dada harus terkontrol
atau mempertahankan tulang servikal posisi kepala (Hamarno, 2016).
Pada cedera kepala meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas
yang dapat disebabkan benda asing atau akumulasi sekret yang
disebabkan penurunan kesadaran penurunan reflek batuk dan menelan.
fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur larinks
atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin lift” atau “jaw
thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus
diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi
dari leher.
2) Breathing
Setelah jalan napas bebas, sedapat mungkin pernapasannya
(Breathing) diperhatikan frekuensinya normal antara 16-18x/menit,
dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas
buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan
pertahankan PCO2 antara 28-35 mmHG karena jika lebih dari 35
mmHg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya edema
serebri. Sedangkan jika kurang dari 20 mmHg akan menyebabkan
vasokontriksi yang berakibat terjadinya iskemia. Periksa tekanan O2
100mmHg, jika kurang berikan oksigen masker 8 liter/menit
(Manurung, 2018).
Pengkajian breathing (pernafasan) dilakukan setelah penilaian
jalan nafas. Mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola
pernafasan agar oksigenasi adekuat. Jika pasien merasa sesak segera
berikan terapi oksigen sesuai indikasi. Pengkajian pernafasan
dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi. Bila diperlukan auskultasi
dan perkusi. Pada cedera kepala inspeksi di dapatkan pasien batuk,
peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu
nafas, dan peningkatan frekuensi nafas. Terdapat retraksi dada,
pengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada menunjukkan
adanya etelektasis, lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur
tulang iga, pneumotoraks, atau penempatan endrotrakeal dan tube
trakeostomi yang kurang tepat. Pada observasi ekspansi dada juga
perlu di nilai reaksi dari otot interkostae, substernal, pernafasan
abdomen, dan retraksi abdomen saat inspirasi. Pola nafas ini dapat
terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu menggerakkan dinding
dada. Pada palpasi, fremitus menurun di bandingkan dengan sisi yang
lain akan didapatkan bila melibatkan trauma di rongga thoraks. Pada
perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan
trauma pada thoraks/ hemathotoraks. Pada auskultasi bunyi tambahan
seperti berbunyi, stridor, ronchi, pada pasien dengan peningkatan
produksi skret dan kemampuan batuk yang menurun sering di
dapatkan pada pasien cedera kepala dengan penurunan tingkat
kesadaran atau koma. pada pasien cedera kepala berat dan sudah
terjadi disfungsi pusat pernapasan, pasien biasanya terpasang ETT
dengan ventilator dan biasanya pasien di rawat di ruang perawatan
intensif sampai kondisi stabil (Muttaqin, 2011).
3) Circulation
Pada pemeriksaan sistem sirkulasi, periksa denyut nadi/jantung,
jika (tidak ada) lakukan resusitasi jantung, bila shock (tensi 100x per
menit dengan infus cairan RL, cari sumber perdarahan di tempat lain,
karena cedera kepala single pada orang dewasa hamper tidak pernah
menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala
meningkatkan angka kematian 2x (Manurung, 2018). Pengkajian
sirkulasi bertujuan untuk mengetahui dan menilai kemampuan jantung
dan pembuluh darah dalam memompa darah keseluruh tubuh.
Pengkajian sirkulasi meliputi: tekanan darah; jumlah nadi; keadaan
akral: dingin atau hangat; sianosis; bendungan vena jugularis
(Hamarno, 2016).
Mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan baik
bersifat hematom intraserebral, subdural, dan epidural, kesadaran,
warna kulit, keringat dingin, hipotermi, nadi lemah, tekanan darah
menurun, keadaan hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan
nadi. Pada pasien cedera kepala berat dapat ditemukan adanya
perubahan tekanan darah, nadi bradikardi, takikardi dan aritmia.
Gangguan perfusi ke otak yang ditandai penurunan kesadaran,
gambaran EKG abnormal (Muttaqin, 2008).
4) Disability
Pada permeriksaan disability/ kelainan kesadaran, pemeriksaan
kesadaran memakai glasgow coma scale, periksa kedua pupil bentuk
dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya langsung maupun
tidak langsung, periksa adanya hemiparase/plegi, periksa adanya
reflek patologis kanan kiri, jika penderita sadar baik, tentukan adanya
gangguan sensoris maupun fungsi misal adanya aphasia (Manurung,
2018). Kaji status umum dan neurologi dengan memeriksa atau cek
GCS dan cek reflek pupil. Pasien cedera kepala berat biasanya
mengalami kelemahan otot, tampak lemas, pusing, sakit kepala,
perubahan perilaku, kebingungan, penurunan fungsi kognitif, kejang-
kejang sampai penurunan kesadaran dan koma (Muttaqin, 2011)
5) Exposure
Pada pemeriksaan exposure, perhatikan bagian tubuh yang
terluka, apakah ada jejas atau lebam pada tubuh akibat benturan
(Manurung, 2018). Pengkajian ini yang dilakukan yaitu menentukan
apakah pasien mengalami cedera tertentu. Kaji adanya trauma pada
seluruh tubuh pasien. Kaji tanda vital pasien (Hamarno, 2016).
c. Pemeriksaan fisik head to toe
1) Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala tanda-tanda mikro atau makrosepali, adakah
dispersi bentuk kepala, apakah tanda-tanda kenaikan tekanan
intrakranial, adakah hematoma atau edema, adakah luka robek,
fraktur, perdarahan dari kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran
pada leher, telinga bagian luar dan membran timpani, cedera jaringan
lunak periorbital.
2) Sistem integument
Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit. Adanya
perubahan warna kulit, warna kebiruan menunjukkan adanya sianosis
(ujung kuku, ekstremitas, telinga, bibir, dan mebran mukosa). Pucat
pada wajah dan membrane mukosa dapat berhubungan dengan
rendahnya kadar hemoglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada klien
yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia.
Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukkan adanya demam, dan
infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan decubitus.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan
sensori atau paralise/hemiplegi, mudah lelah menyebabkan masalah
pada pola aktivitas dan istirahat.
3) Sistem pernafasan
Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi,
nafas bunyi ronchi. Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada.
Pada pasien cedera kepala berat dapat ditemukan adanya perubahan
pola pernafasan, pola napas abnormal, perubahan frekuensi napas,
dispnea, penggunaan otot bantu napas, pernafasan cuping hidung,
penurunan kemampuan batuk efektif, penumpukan sputum/secret
berlebih di jalan napas, adanya bunyi napas tambahan, bunyi napas
menurun, nilai gas darah arteri abnormal, PCO2 meningkat, PO2
menurun, SaO2 menurun, sianosis, napas mengap-mengap, adanya
penggunaan ventilator, upaya napas dan bantuan ventilator tidak
sinkron.
4) Sistem kardiovaskuler
Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah meningkat,
denyut nadi bradikardi kemudian takikardi. Perfusi jaringan menurun,
nadi perifer lemah atau berkurang, hipertensi/hipotensi, aritmia,
kardiomegalis.
5) Sistem gastrointestinal
Didapatkan adanya kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
mual dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan
dnegan peningkatan produksi asam lambung sehinggan menimbulkan
masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi
akibat penurunan peristaltic usus. Adanya inkontinensia alvi yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas. Pemeriksaan
rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya lesi pada
mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukkan adanya
dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknya
dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi
abdomen. Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik
ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama kurang
lebih 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat
tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang endotrakeal dan
nasotrakeal.
6) Sistem urinary
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik
urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan
peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi
pada ginjal. Setelah cedera kepala, klien mungkin mengalami
inkontinensia urine karena konfusi, ketidakmampuan untuk
menggunakan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol motorik
dan postural. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal
hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan katerisasi
intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
7) Sistem musculoskeletal
Kelemahan otot, deformasi
8) Sistem neurologis
Tingkat kesadaran/nilai GCS, reflek bicara, pupil, orientasi
waktu dan tempat, amnesia, vertigo, syncope, tinnitus, kehilangan
pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan pengecapan.
Perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental,
konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori.
9) Riwayat psikososial
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk
menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dlama
keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul
pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi
dan konsep diri didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada
harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif
2. Kemungkinan Diagnosa Keperawatan yang Muncul
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialami baik yang berlangsung actual maupun potensial. Diagnosis
keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu,
keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan
(PPNI, 2016). Adapun diagnosis yang muncul pada pasien dengan cedera
kepala sedang adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif
b. Pola nafas tidak efektif
c. Penurunan Kapasitas Adaptif Intracranial
d. Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif
e. Nyeri Akut
3. Intervensi Keperawatan
Terapeutik
- Atur interval waktu pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
Terapeutik
- Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi
pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi
bermain)
- Control lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan
tidur
- Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor
nyri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Gambaran Kasus
Seorang pasien laki-laki berusia 34 tahun berinisial Tn. H datang dibawa
polisi ke RSUD Arifin Achmad pada tanggal 21 Oktober 2022 di ruang
Instalasi Gawat Darurat (IGD) dengan kondisi pasien pasca kecelakaan
lalu lintas. Sebelumnya pasien telah dilarikan kepuskesmas daerah
kemudian dirujuk ke RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Pasien dengan
keadaan penurunan kesadaran dan terpasang neck collar. Berdasarkan hasil
pengkajian didapatkan pernafasan tidak paten, sumbatan jalan nafas (+),
suara napas tambahan beruba gurgling, terpasang O2 NRM 11L/menit, RR
15x/menit, irama napas ireguler, pernafasan lambat, pengembangan dada
(-), akral teraba hangat, CTR < 2 detik, HR 79x/menit, TD 125/79 mmHg,
sinanosis (-), perdarahan eksternal (+) pada hidung, mulut, dan telinga
serta daerah lutut kaki kanan dan kaki kiri. Pasien dengan tingkat
kesadaran somnolen, nilai GCS 9 E2 V2 M5, terdapat hematoma pada
mata sebelah kanan serta pada bagian kepala. Hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan Hb: 12,4 g/dL, Leukosit: 18,85 /mm 3 , Trombosit:
282 /mm3 , Eritrosit: 4,23 /mm3 , Hematokrit: 37,0 g/dL, Basofil: 0,2%,
Eosinofil: 0,1%, Neutrofil: 87,2%, Limfosit: 6,8%, Monosit: 5,7%. Pasien
terpasang infuse Nacl 1800 cc/24 jam, terpasang kateter urine, terpasang
NGT yang dialirkan, dan terapi obat yang didapatkan yaitu: Omeprazole
2x1, Keterolac 3x30 gr, Manitol 4x125 cc, Cefriaxone 2x1 gr.
B. Pengkajian
C. MCP Kasus
D. Diagnosa Keperawatan
E. Intervensi Keperawatan
A. Simpulan
Berdasarkan hasil Asuhan Keperawatan pada Tn. H di Ruang Instalasi
Gawat Darurat (IGD) RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau, maka dapat
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Masalah yang menjadi prioritas dalam kasus ini sesuai dengan yang
ditemukan pada Tn. H dengan Cidera Kepala di Ruang IGD RSUD Arifin
Achmad Provinsi Riau, adalah Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif, diikuti
dengan masalah keperawatan Pola Nafas Tidak Efektif dan Resiko Perfusi
Serebral Tidak Efekif.
2. Diagnosa keperawatan yang ditegakkan berdasarkan etiologi yang
ditemukan pada kasus dan merujuk pada Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia (SDKI.2016).
3. Rencana tindakan keperawatan pada kasus ini telah disusun dengan
diagnosa keperawatan yang ditegakkan dan merujuk pada Standar
Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI.2018).
4. Implementasi yang dilakukan pada pasien sesuai dengan perencanaan yang
disusun. Hubungan perawat dengan pasien serta keluarga yang terbuka
memudahkan perawat mengadakan pendekatan untuk melaksanakan
kegiatan direncanakan sesuai Standar Luaran Keperawatan (SLKI.2018)
dan jurnal-jurnal terkait.
5. Evaluasi yang dilakukan kepada pasien lebih kurang 30 menit- 1 jam
setelah diberikan intervensi.
B. Saran
1. Bagi pelayanan kesehatan
Diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi bagi pelayanan kesehatan
dalam menyusun rencana dan asuhan keperawatan yang kebih sistematis
terhadap pasien dengam Cidera Kepala
2. Bagi institusi pendidikan
Dijadikan sbagai sumber informasi untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan khususnya mengenai asuhan keperawatan pada pasien dengan
Cidera Kepala.
3. Bagi mahasiswi keperawatan
Daat dijadikan referensi dalam melakukan asuhan keperawatan pasien
dengan Cidera Kepala
DAFTAR PUSTAKA
Rendi dan Margaret. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Cidera Kepala
Berat. Yogyakarta: Nuha Medika.