Anda di halaman 1dari 36

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN CIDERA KEPALA SEDANG

PADA PASIEN Tn. H DI RUANGAN INSTALASI GAWAT DARURAT


(IGD) RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK VII

Citra Puspita Sari, S.Kep


Fitria Ulfa, S.Kep
M. Aldodinata Pratama, S.Kep
Resti Julita, S.Kep
Siti Nurjannah, S.Kep

PRESEPTOR AKADEMIK : Ns. Putri Indah Pratiwi, M.Kep


PRESEPTOR KLINIK : Ns. Mashudin, S.Kep

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES PAYUNG NEGERI
PEKANBARU
2022
LEMBAR PERSETUJUAN

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN CIDERA KEPALA SEDANG


PADA PASIEN Tn. H DI RUANGAN INSTALASI GAWAT DARURAT
(IGD) RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU

Laporan Ini Telah Diperiksa Dan Disetujui Oleh Preseptor Akademik Dan
Preseptor Klinik Program Studi Profesi Ners STIKes Payung Negeri Pekanbaru.

Pekanbaru, November 2022

Preseptor Akademik Presptor Klinik

Ns. Putri Indah Pratiwi, M.Kep Ns. Mashudin, S.Kep


KATA PENGANTAR

Puji syukur kelompok ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan nikmat yang telah dilimpahkan kepada kelompok penyusun, kelompok dapat
menyelesaikan usulan laporan seminar dengan kasus “Asuhan Keperawatan
Cidera Kepala Sedang pada Tn. H Di Ruangan Instalasi Gawat darurat (IGD)
RSUD Arifin Achmad Pekanbaru”.

Kelompok mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada


pihak-oihak yang telah membantu dalam proses penyusunan laporan seminr ini
antara lain: Ns. Putri Indah Pratiwi, M.Kep, selaku Preseptor Akademik, dan Ns.
Mashudin, S.Kep, selaku Preseptor Klinik, yang telah banyak meluangkan waktu,
pemikiran maupun tenaga dalam meberikan bimbingan, motivasi, kritik, dan saran
yang membenagun kepada kelompok sehingga penyusunan laporan seminar ini
dapat terselesaikan dengan baik.

Kelompok penyusun telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai


hasil yang baik, namun apabila terdapat kekurangan semua itu disebabkan
keterbatasan kemampuan kelompok. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangunkan kelompok. Akhirnya kelompok berharap semoga
penyusunan laporan seminar ini dapat bermanfaat bagi kita tenaga kesehatan
khususnya keperawatan.

Pekanbaru, November 2022

Kelompok VII
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi yang
disertai atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala adalah adanya pukulan atau
benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran
(Wijaya & Putri, 2013). Menurut Haryono & Utami (2019) cedera kepala
merupakan istilah luas yang menggambarkan sejumlah cedera yang terjadi
pada kulit kepala, tengkorak, otak, dan jaringan di bawahnya serta pembuluh
darah di kepala.

Cidera kepala juga dapat dijadikan sebagai kasus trauma yang paling
sering terjadi setiap harinya, bahkan paling sering dijumpai diunit gawat
darurat pada setiap rumah sakit. Cidera kepala didefinisikan sebagai penyakit
non degeneratif dan non kongenital yang disebabkan oleh massa mekanik dari
luar tubuh yang melibatkan scalp atau kulit kepala, tulang tengkorak, dan
tulang-tulang yang membentuk wajah atau otak (Siahaya, dkk. 2020).

Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala. Trauma
yang dapat menyebabkan cedera kepala antara lain kejadian jatuh yang tidak
disengaja, kecelakaan kendaraan bermotor, benturan benda tajam dan tumpul,
benturan dari objek yang bergerak, serta benturan kepala pada benda yang
tidak bergerak. Cedera kepala secara langsung maupun tidak langsung
mengenai kepala yang mengakibatkan luka pada kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, dan kerusakan jaringan otak serta mengakibatkan gangguan
neurologis (Manurung, 2018). Pasien cedera kepala akan mengalami
perdarahan di tengkorak, peningkatan tekanan intrakranial, dan penurunan
tekanan perfusi otak. Jika keadaan semakin memburuk maka akan mengalami
bradikardi (denyut nadi menurun) bahkan akan berkurangnya frekuensi
respirasi. Tekanan darah dalam otak terus meningkat dan semua tanda vital
terganggu kemudian akan mengakibatkan kematian (Widyawati, 2012).

Secara umum cedera kepala dibagi menjadi 3 yaitu cedera kepala


ringan, sedang dan berat yang dapat ditentukan berdasarkan hasil dari nilai
Glasgow Coma Scale (GCS). GCS merupakan indikator penting dalam
menilai tingkat keparahan cedera kepala dengan menilai respon mata,
motorik, dan verbal pada seseorang. Berdasarkan nilai GCS, cedera kepala
dibagi menjadi: Cedera Kepala Ringan (GCS 13-15) dapat terjadinya
kehilangan kesadaran atau amnesia selama kurang dari 30 menit, tidak ada
kontusio ten gkorak, tidak adanya fraktur serebral, hematoma. Cedera Kepala
Sedang (GCS 9-12) hilangnya kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit
namun kurang dari waktu 24 jam, bisa mengalami terjadinya fraktur
tengkorak. Cedera Kepala Berat (GCS 3-8) dapat kehilangan kesadaran dan
atau terjadi amnesia apabila lebih dari 24 jam meliputi kontusio serebral,
laserasi, atau hematoma intrakranial. Cedera Kepala Sedang (CKS) adalah
cedera kepala yang kemungkinan mengalami fraktur tengkorak, kontusio
sereberal, laserasi, hematoma serebral, hematoma intrakranial, kehilangan
kesadaran selama 30 menit tetapi kurang dari 24 jam (Amien & Hardhi,
2016). Insidensi dari kasus cedera kepala adalah 75-200 kasus/ 100.000
populasi. Kasus ini terjadi di semua usia dan terbanyak pada usia 15-24 tahun
pada laki-laki. Kasus cedera kepala atau cedera lain yang melibatkan cedera
kepala menyumbang 50% kematian dari total kematian akibat cedera, dimana
cedera merupakan penyebabab utama kematian pada pasien < 45 tahun.
Menurut laporan World Health Organization (WHO, 2018) angka kematian
akibat kecelakaan lalu lintas meningkat dari tahun ke tahun. Sebelumnya
mencapai 13,5 juta kematian setiap tahunnya. Kecelakaan lalu lintas adalah
penyebab utama trauma dan cedera bahkan kematian, bagi semua kelompok
usia seluruh dunia.
Kasus cedera kepala di Amerika mencapai 1,7 juta kasus / tahun
dimana 275.000 di rawat dan 52.000 meninggal. Di Eropa (Denmark) kira-
kira 300 orang / 7 juta penduduk menderita cedera kepala sedangberat dan
sepertiganya memerlukan rehabilitasi. Di indonesia data Riset Kesehatan
Dasar (RISKEDAS) menunjukan presentase kasus cedera kepala berada pada
angka 11,9 %. Cedera kepala merupakan masuk dalam 3 penyakit penyebab
kematian terbanyak di Indonesia juga masuk kedalam 5 penyakit terbanyak
dirawat di rumah sakit di Indonesia. Korps Lalu Lintas Kepolisian RI
(Korlantas Polri) mencatat, ada 6.707 kasus kecelakaan lalu lintas pada tahun
2022 dengan korban meninggal dunia sebanyak 452 orang, luka berat 972,
luka ringan 6.704 orang dengan kerugian material sekitar Rp13 miliar lebih.
Jumlah itu lebih rendah dibandingkan yang terjadi sepanjang 2021 sebanyak
83.694 kasus (Riskesdas, 2022).
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mengambil masalah dalam
penyusunan makalah yaitu mengenai “Asuhan Keperawatan Pada Tn. H
Dengan Cedera Kepala Sedang di Ruangan Instalasi Gawat Darurat (IGD)
RSUD Arifin Achmad Pekanbaru”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana “Asuhan Keperawatan Tn. H
dengan Cidera Kepala Sedang di Ruangan Instalasi Gawat Darurat (IGD) di
RSUD Arifin Achmad Pekanbaru?”

C. Tujuan

1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Tn. H dengan Cidera Kepala
Sedang di Ruangan Instalasi Gawat Darurat (IGD) di RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru

2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan cidera kepala,
b. Mampu menegakkan diagnosa keperawatan sesuai dengan prioritas
pada pasien dengan cidera kepala,
c. Mampu menyusun rencana keperawatan pada pasien dengan cidera
kepala,
d. Mampu melakukan tindakan keperawatan pada pasien dengan cidera
kepala,
e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan cidera
kepala.

D. Manfaat
1. Pelayanan Kesehatan
Sebagai bahan informasi bagi pelayanan kesehatan dalam menyusun
rencana perawatan dan asuhan keperawatan yang sistematis dan
komprehensif pada pasien dengan cidera kepala.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber informasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
dibidang keperawatan.
3. Bagi Mahasiswa Keperawatan
Sebagai informasi dalam meningkatkan asuhan keperawatan pada pasien
dengan cidera kepala.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Anatomi Fisiologi
Anatomi Kepala

Kulit kepala terdri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu Skin
atau kulit, Connective Tissue atau jaringan subkutis, Aponeurosis galea,
Loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar, dan Pericranium
(perikranium), berikut diantaranya:

1. Skin atau kulit Sifatnya tebal dan mengandung rambut serta kelenjar
keringat (Sebacea).
2. Connective Tissue atau jaringan subkutis Merupakan jaringan kat lemak
yang memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama di atas
Galea. Pembuluh darah tersebut merupakan anastommistis antara arteri
karotis interna dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis eksterna.
3. Aponeurosis galea Lapisan ini merupakan lapisan terkuat, berupa fascia
yang melekat pada tiga otot, yaitu:
1) ke anterior – m. frontalis
2) ke posterior – m. occipitslis
3) ke lateral – m. temporoparietalis
4. Loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar Lapisan ini mengandung
vena emissary yang merupakan vena tanpa katup (valveless vein), yang
menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena intrakranial
(misalnya Sinus sagitalis superior). Jika terjadi infeksi pada lapisan ini,
akan muda menyebar ke intrakranial. Hematoma yang tebentuk pada
lapisan ini disebut Subgaleal hematom, merupakan hematoma yang paling
sering ditemukan setelah cedera kepala.
5. Pericranium (perikranium) Merupakan periosteum yang melapisi tulang
tengkorak, melekat erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini
periosteum akan langsung berhubngan dengan endosteum (yang melapisi
permukaan dalam tulang tengkorak).
B. Konsep Penyakit
1. Pengertian Cedera Kepala
Cedera kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai/tanpa
perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas dari otak (Nugroho, 2011). Cedera kepala juga dapat diartikan
suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau
otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala.
Cedera kepala merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi yang
disertai atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala adalah adanya pukulan atau
benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran
(Wijaya & Putri, 2013).
Berdasarkan defenisi cedera kepala diatas maka penulis dapat
menarik suatu kesimpulan bahwa cedera kepala adalah suatu cedera yang
disebabkan oleh trauma benda tajam maupun benda tumpul yang
menimbulkan perlukaan pada kulit, tengkorak, dan jaringan otak yang
disertai atau tanpa pendarahan.
2. Klasifikasi Cedera Kepala
Cedera kepala dapat dilasifikasikan sebagai berikut :
a. Berdasarkan Mekanisme
1) Trauma Tumpul : adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan
kendaraan bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat
bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).
2) Trauma Tembus : adalah trauma yang terjadi karena tembakan
maupun tusukan benda-benda tajam/runcing.
b. Berdasarkan Beratnya Cidera
1) Cedera Kepala Ringan/Minor (Kelompok Risiko Rendah) yaitu,
GCS 14-15, pasien sadar dan berorientasi, kehilangan kesadaran atau
amnesia < dari 30 menit, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat
terlarang, klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, tidak
terdapat fraktur tengkorak, kontusio, hematom , tidak ada kriteria
cedera sedang sampai berat.
2) Cedera Kepala Sedang (Kelompok Risiko Sedang) yaitu GCS 9-13
(konfusi, letargi dan stupor), pasien tampak kebingungan,
mengantuk, namun masih bisa mengikuti perintah sederhana, hilang
kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam, konkusi,
amnesia paska trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur kranium
(tanda battle, mata rabun, hemotimpanum, otorhea atau rinorhea
cairan serebrospinal).
3) Cedera Kepala Berat (Kelompok Risiko Berat) yaitu GCS 3-8
(koma), penurunan derajat kesadaran secara progresif, kehilangan
kesadaran atau amnesia > 24 jam, tanda neurologis fokal, cedera
kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium.
3. Etiologi Cedera Kepala
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala
meliputi trauma olehbenda/ serpihan tulang yang menembus jaringan otak,
efek dari kekuatan/energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan
perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak, selain itu dapat disebabkan
oleh Keceakaan, Jatuh, Trauma akibat persalinan (NINDS,2013). Menurt
Kristanty, dkk (2014) etiologi cedera kepala meliputi:
a. Trauma tajam
Trauma tajam disebabkan oleh pisau atau peluru atau fragmen
tulang pada fraktur tulang tengkorak. Kerusakan tergantung pada
kecepatan gerak (velocity) benda tajam tersebut menancap ke kepala
atau otak. Kerusakan terjadi hanya pada area dimana benda tersebut
merobek otak (lokal). Obyek dengan (velocity) tinggi (peluru)
menyebabka kerusakan struktur otak yang luas. Adanya luka terbuka
menyebabkan risiko infeksi.
b. Trauma tumpul
Kekuatan benturan akan menyebabkan kerusakan yang menyebar.
Berat ringannya cedera yang terjadi tergantung pada proses akselerasi-
deselerasi, kekuatan benturan dan kekuatan rotasi internal dapat
menyebabkan perpindahan cairan dan perdarahan ptekie karena pada
saat otak “bergeser” akan terjadi “pergesekan” antara pemukaan otak
dengan tonjolan-tonjolan yang terdapat dipermukaan dalam tengkorak
laserasi jaringan otak sehingga mengubah integritas vaskular otak.
c. Coup dan Countercoup
Pada cedera coup kerusakan terjadi segera pada daerah benturan
sedangkan pada cedera Countercoup kerusakan terjadi pada sisi yang
berlawanan cedera coup.
4. Patofisiologi dan WOC Cedera Kepala
Menurut Rendi and Margaret (2012) patofisiologi cedera kepala
berat yaitu: otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan
glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf
hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai
cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar
akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan
oksigen sebagai bahan bakar otak tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena
akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolic anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolism
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan
normal Cerebral Blood Flow (CBF) adalah 60 ml/ menit/ 100 gr. Jaringan
otak, yang merupakan 15% dari cardiac output. Cedera kepala
menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-
myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan
disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler,
dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh arah arteriol
akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada
pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
WOC Cidera Kepala

Terkena peluru Kecelakaan, terjatuh,


Trauma trauma persalinan,
benda tajam Trauma kepala Trauma tumpul
tajam penyalahgunaan
obat/alkohol

Ekstrakranial/kulit kepala Tulang kranial Intrakranial/jaringan otak

Blood Brain bowel bladder bone


Breath

Penurunan perdarahan
Penurunan Perdarahan Robeknya arteri Penumpukan kesadaran, Gg. Saraf
Perdarahan hematoma, Fraktur
kesadaran darah diotak peningkatan motorik tulang
kerusakan jaringan
TIK Penurunan tengkorak
Kompensasi
Hematoma sirkulasi
tubuh : Penurunan
epidural Penurunan darah
Penekanan saraf sistem Bed rest lama vasodilatasi & kesadaran
kesadaran sensori Penurunan keginjal Terputusnya
pernafasan bradikardi nafsu makan, Gg. kontuinitas
Penurunan Perubahan mual dan keseimban tulang

kemampuan Aliran darah sirkulasi CSS Kemampuan muntah, Penurunan


Perubahan pola nafas
batuk keotak menurun mengernali disfagia produksi
stimulus MK: resiko MK:
urine
RR meningkat, cedera nyeri
hyperpnea, Akumulasi Hipoksia jaringan MK: akut/
Penurunan
hyperventilasi mukus peningkatan MK: Gg. Persepsi oliguria resiko
intake infeksi
TIK sensori
makanan dan
Penurunan MK:Perubahan
MK: Pola nafas tidak Batuk tidak cairan
kesadaran eliminasi urin
efektif efektif, ronkhi, RR

MK: gg. perfusi MK: Resiko defist Resiko nutrisi


MK: Bersihan jalan nafas jaringan volume cairan kurang dari
tidak efektif serebral kebutuhan
tubuh
5. Manifestasi Klinis Cedera Kepala
Menurut Manurung (2018), tanda dan gejala dari cedera kepala antara lain:
a. Commotio Cerebri
1) Tidak sadar selama kurang atau sama dengan 10 menit
2) Mual dan muntah
3) Nyeri kepala (pusing)
4) Nadi, suhu, tekanan darah menurun atau normal
b. Contosio cerebri
1) Tidak sadar lebih 10 menit
2) Amnesia anterograde
3) Mual dan muntah
4) Penurunan tingkat kesadaran
5) Gejala neurologi, seperti parese
6) Perdarahan
c. Laserasio Serebri
1) Jaringan robek akibat fragmen patah
2) Pingsan maupun tidak sadar selama berhari-hari/berbulan-bulan
3) Kelumpuhan anggota gerak
4) Kelumpuhan saraf otak
d. Manifestasi klinis spesifik
Manifestasi klinis pada pasien dengan cedera kepala sedang meliputi:
1) Skor skala koma Glasgow 9-12 (kontusi, latergi atau stupor)
2) Konfusi
3) Amnesia pasca trauma
4) Muntah
5) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda battle, mata rabun,
hemotimpanum, otore atau rinore cairan cerebrospinal
6) Kejang
6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Manurung (2018) hasil pemeriksaan laboratorium yang
sering ditemukan pada pasien dengan cedera kepala sebagai berikut :
a. Foto Polos
Foto polos indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus
(peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri
kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, dan gangguan
kesadaran.
b. CT – Scan
CT scan kepala adalah standart baku dalam penatalaksanaan cedera
kepala. Pemeriksaan CT scan kepala untuk memastikan adanya patah
tulang, pendarahan, pembengkakan jaringan otak, dan kelainan lain di
otak. Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak
menghilang setelah pemberian obat-obatan analgesia atau
antimuntah.
2) Adanya kejang-kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna
terdapat pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang
general.
3) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor – faktor
ekstrakranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat
terjadi misalnya karena syok, febris, dll).
4) 4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak
sesuai.
5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik
dari GCS
c. Untuk pemeriksaan laboratorium, umumnya pemeriksaan darah
lengkap, gula darah sewaktu, ureum-kreatinin, analisis gas darah dan
elektrolit. D
d. Pemeriksaan neuropsikologis (sistem saraf kejiwaan) adalah
komponen penting pada penilaian dan penatalaksanan cedera
(Anurogo and Usman, 2014).
e. MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien
yang memiliki abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT
Scan. MRI telah terbukti lebih sensitif daripada CT-Scan, terutama
dalam mengidentifikasi lesi difus non hemoragik cedera aksonal.
f. EEG
Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk
membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat
melihat perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi
landmark pemantauan EEG terus menerus pada pasien rawat inap
dengan cedera otak traumatik. Kejang konfulsif dan non konfulsif
tetap terlihat dalam 22%. Pada tahun 2012 sebuah studi melaporkan
bahwa perlambatan yang parah pada pemantauan EEG terus menerus
berhubungan dengan gelombang delta atau pola penekanan melonjak
dikaitkan dengan hasil yang buruk pada bulan ketiga dan keenam pada
pasien dengan cedera otak traumatik.
g. Serebral angiography: menunjukan anomalia sirkulasi serebral ,
seperti perubahan jarigan otak sekunder menjadi udema, perubahan
dan trauma.
h. Serial EEG: dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
i. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
i. BAER: mengoreksi bats fungsi corteks dan otak kecil
j. PET: mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
k. CSF, lumbalis punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
l. ABGs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
m. Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrakranial
n. Screen toxicologi: untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran (Rendy and Margaret Clevo,
2012)
o. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral) Rontgen thoraks
menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural
p. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
q. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup) Analisa gas darah adalah salah satu
tes diagnostic untuk menentukan status repirasi. Status respirasi yang
dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status
oksigenasi dan status asam basa.
7. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada cedera kepala menurut Wijaya (2013), yaitu:
a. Epilepsi Pasca Trauma adalah suatu kelainan dimana kejang beberapa
waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala.
Kejang ini terjadi sekitar 10% penderita yang memiliki luka tembus di
kepala.
b. Afisisa adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa
karena terjadinya cedera pada area bahasa dan otak. Penderita tidak
mampu memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang
mengalami fungsi bahasa adalah lobus temprolis sebelah kiri dan
bagian lobus frontalis di sebelahnya.

C. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Keluhan utama
Keluhan utama adalah keluhan atau gejala saat awal dilakukan
pengkajian yang menyebabkan pasien berobat (Hidayat, 2021). Cedera
kepala sedang memiliki keluhan atau gejala utama yang berbeda-beda
tergantung dengan letak lesi. Keluhan utama yang timbul meliputi mual
dan muntah, kejang, amnesia pasca trauma, disorientasi, serta gangguan
pendengaran. Biasanya pasien akan mengalami penurunan kesadaran
dengan skala koma Glasgow 9-12 (kontusi, latergi atau stupor) karena
adanya benturan serta perdarahan pada bagian kepala klien yang
disebabkan oleh kecelakaan ataupun tindakan kejahatan.
b. Pengkajian primer
Dalam melakukan asuhan keperawatan pada kasus
kegawatdaruratan selalu diawali dengan melakukan pengkajian.
Pengkajian kegawatdaruratan pada umumnya menggunakan pendekatan
A-B-C (Airway : jalan nafas, Breathing : pernafasan dan Circulation :
sirkulasi). Perlu diingat sebelum melakukan pengkajian harus
memperhatikan proteksi diri (keamanan dan keselamatan diri) dan
keadaan lingkungan sekitar (Hamarno, 2016).
1) Airway
Pada pemeriksaan airway usahakan jalan napas stabil, dengan
cara kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah, adanya
benda asing. Perhatikan tulang leher, immobilisasi, cegah gerakan
hiperekstensi, hiperfleksi ataupun rotasi. Semua penderita cedera
kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera vertebrae
cervical sampai terbukti tidak disertai cedera cervica, maka perlu
dipasang collar barce. Jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen,
minimal saturasinya 90%, jika tidak, usahakan untuk dilakukan
intubasi dan support pernafasan (Manurung, 2018).
Pengkajian jalan nafas bertujuan menilai apakah jalan nafas paten
(longgar) atau mengalami obstruksi total atau partial sambil
mempertahankan tulang servikal. Pada kasus non trauma dan pasien
tidak sadar posisi kepala headtilt dan chin lift (hiperekstensi)
sedangkan pada kasus trauma kepala sampai dada harus terkontrol
atau mempertahankan tulang servikal posisi kepala (Hamarno, 2016).
Pada cedera kepala meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas
yang dapat disebabkan benda asing atau akumulasi sekret yang
disebabkan penurunan kesadaran penurunan reflek batuk dan menelan.
fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur larinks
atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin lift” atau “jaw
thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus
diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi
dari leher.
2) Breathing
Setelah jalan napas bebas, sedapat mungkin pernapasannya
(Breathing) diperhatikan frekuensinya normal antara 16-18x/menit,
dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas
buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan
pertahankan PCO2 antara 28-35 mmHG karena jika lebih dari 35
mmHg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya edema
serebri. Sedangkan jika kurang dari 20 mmHg akan menyebabkan
vasokontriksi yang berakibat terjadinya iskemia. Periksa tekanan O2
100mmHg, jika kurang berikan oksigen masker 8 liter/menit
(Manurung, 2018).
Pengkajian breathing (pernafasan) dilakukan setelah penilaian
jalan nafas. Mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola
pernafasan agar oksigenasi adekuat. Jika pasien merasa sesak segera
berikan terapi oksigen sesuai indikasi. Pengkajian pernafasan
dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi. Bila diperlukan auskultasi
dan perkusi. Pada cedera kepala inspeksi di dapatkan pasien batuk,
peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu
nafas, dan peningkatan frekuensi nafas. Terdapat retraksi dada,
pengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada menunjukkan
adanya etelektasis, lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur
tulang iga, pneumotoraks, atau penempatan endrotrakeal dan tube
trakeostomi yang kurang tepat. Pada observasi ekspansi dada juga
perlu di nilai reaksi dari otot interkostae, substernal, pernafasan
abdomen, dan retraksi abdomen saat inspirasi. Pola nafas ini dapat
terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu menggerakkan dinding
dada. Pada palpasi, fremitus menurun di bandingkan dengan sisi yang
lain akan didapatkan bila melibatkan trauma di rongga thoraks. Pada
perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan
trauma pada thoraks/ hemathotoraks. Pada auskultasi bunyi tambahan
seperti berbunyi, stridor, ronchi, pada pasien dengan peningkatan
produksi skret dan kemampuan batuk yang menurun sering di
dapatkan pada pasien cedera kepala dengan penurunan tingkat
kesadaran atau koma. pada pasien cedera kepala berat dan sudah
terjadi disfungsi pusat pernapasan, pasien biasanya terpasang ETT
dengan ventilator dan biasanya pasien di rawat di ruang perawatan
intensif sampai kondisi stabil (Muttaqin, 2011).
3) Circulation
Pada pemeriksaan sistem sirkulasi, periksa denyut nadi/jantung,
jika (tidak ada) lakukan resusitasi jantung, bila shock (tensi 100x per
menit dengan infus cairan RL, cari sumber perdarahan di tempat lain,
karena cedera kepala single pada orang dewasa hamper tidak pernah
menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala
meningkatkan angka kematian 2x (Manurung, 2018). Pengkajian
sirkulasi bertujuan untuk mengetahui dan menilai kemampuan jantung
dan pembuluh darah dalam memompa darah keseluruh tubuh.
Pengkajian sirkulasi meliputi: tekanan darah; jumlah nadi; keadaan
akral: dingin atau hangat; sianosis; bendungan vena jugularis
(Hamarno, 2016).
Mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan baik
bersifat hematom intraserebral, subdural, dan epidural, kesadaran,
warna kulit, keringat dingin, hipotermi, nadi lemah, tekanan darah
menurun, keadaan hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan
nadi. Pada pasien cedera kepala berat dapat ditemukan adanya
perubahan tekanan darah, nadi bradikardi, takikardi dan aritmia.
Gangguan perfusi ke otak yang ditandai penurunan kesadaran,
gambaran EKG abnormal (Muttaqin, 2008).
4) Disability
Pada permeriksaan disability/ kelainan kesadaran, pemeriksaan
kesadaran memakai glasgow coma scale, periksa kedua pupil bentuk
dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya langsung maupun
tidak langsung, periksa adanya hemiparase/plegi, periksa adanya
reflek patologis kanan kiri, jika penderita sadar baik, tentukan adanya
gangguan sensoris maupun fungsi misal adanya aphasia (Manurung,
2018). Kaji status umum dan neurologi dengan memeriksa atau cek
GCS dan cek reflek pupil. Pasien cedera kepala berat biasanya
mengalami kelemahan otot, tampak lemas, pusing, sakit kepala,
perubahan perilaku, kebingungan, penurunan fungsi kognitif, kejang-
kejang sampai penurunan kesadaran dan koma (Muttaqin, 2011)
5) Exposure
Pada pemeriksaan exposure, perhatikan bagian tubuh yang
terluka, apakah ada jejas atau lebam pada tubuh akibat benturan
(Manurung, 2018). Pengkajian ini yang dilakukan yaitu menentukan
apakah pasien mengalami cedera tertentu. Kaji adanya trauma pada
seluruh tubuh pasien. Kaji tanda vital pasien (Hamarno, 2016).
c. Pemeriksaan fisik head to toe
1) Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala tanda-tanda mikro atau makrosepali, adakah
dispersi bentuk kepala, apakah tanda-tanda kenaikan tekanan
intrakranial, adakah hematoma atau edema, adakah luka robek,
fraktur, perdarahan dari kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran
pada leher, telinga bagian luar dan membran timpani, cedera jaringan
lunak periorbital.
2) Sistem integument
Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit. Adanya
perubahan warna kulit, warna kebiruan menunjukkan adanya sianosis
(ujung kuku, ekstremitas, telinga, bibir, dan mebran mukosa). Pucat
pada wajah dan membrane mukosa dapat berhubungan dengan
rendahnya kadar hemoglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada klien
yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia.
Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukkan adanya demam, dan
infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan decubitus.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan
sensori atau paralise/hemiplegi, mudah lelah menyebabkan masalah
pada pola aktivitas dan istirahat.
3) Sistem pernafasan
Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi,
nafas bunyi ronchi. Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada.
Pada pasien cedera kepala berat dapat ditemukan adanya perubahan
pola pernafasan, pola napas abnormal, perubahan frekuensi napas,
dispnea, penggunaan otot bantu napas, pernafasan cuping hidung,
penurunan kemampuan batuk efektif, penumpukan sputum/secret
berlebih di jalan napas, adanya bunyi napas tambahan, bunyi napas
menurun, nilai gas darah arteri abnormal, PCO2 meningkat, PO2
menurun, SaO2 menurun, sianosis, napas mengap-mengap, adanya
penggunaan ventilator, upaya napas dan bantuan ventilator tidak
sinkron.
4) Sistem kardiovaskuler
Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah meningkat,
denyut nadi bradikardi kemudian takikardi. Perfusi jaringan menurun,
nadi perifer lemah atau berkurang, hipertensi/hipotensi, aritmia,
kardiomegalis.
5) Sistem gastrointestinal
Didapatkan adanya kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
mual dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan
dnegan peningkatan produksi asam lambung sehinggan menimbulkan
masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi
akibat penurunan peristaltic usus. Adanya inkontinensia alvi yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas. Pemeriksaan
rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya lesi pada
mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukkan adanya
dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknya
dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi
abdomen. Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik
ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama kurang
lebih 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat
tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang endotrakeal dan
nasotrakeal.
6) Sistem urinary
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik
urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan
peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi
pada ginjal. Setelah cedera kepala, klien mungkin mengalami
inkontinensia urine karena konfusi, ketidakmampuan untuk
menggunakan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol motorik
dan postural. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal
hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan katerisasi
intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
7) Sistem musculoskeletal
Kelemahan otot, deformasi
8) Sistem neurologis
Tingkat kesadaran/nilai GCS, reflek bicara, pupil, orientasi
waktu dan tempat, amnesia, vertigo, syncope, tinnitus, kehilangan
pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan pengecapan.
Perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental,
konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori.
9) Riwayat psikososial
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk
menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dlama
keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul
pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi
dan konsep diri didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada
harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif
2. Kemungkinan Diagnosa Keperawatan yang Muncul
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialami baik yang berlangsung actual maupun potensial. Diagnosis
keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu,
keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan
(PPNI, 2016). Adapun diagnosis yang muncul pada pasien dengan cedera
kepala sedang adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif
b. Pola nafas tidak efektif
c. Penurunan Kapasitas Adaptif Intracranial
d. Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif
e. Nyeri Akut
3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi (SIKI)


Keperawatan Hasil (SLKI)
1 Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan Manajemen Jalan Nafas
tidak efektif tindakan keperawatan Observasi
selama …x…. - Monitor pola napas (frekuensi,
diharapkan bersihan kedalaman, usaha napas)
jalan nafas meninkat - Monitor bunyi napas tambahan
dengan kriteria hasil: (mis. Gurgling, mengi,
a. Batuk efektif weezing, ronkhi kering)
meningkat - Monitor sputum (jumlah,
b. Produksi warna, aroma)
sputum Terapeutik
menurun - Pertahankan kepatenan jalan
c. Mengi napas dengan head-tilt dan
menurun chin-lift (jaw-thrust jika curiga
d. Wheezing trauma cervical)
menurun - Posisikan semi-Fowler atau
e. Frekuensi nafas Fowler
membaik pola - Berikan minum hangat
nafas membaik - Lakukan fisioterapi dada, jika
perlu
- Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
- Lakukan hiperoksigenasi
sebelum
- Penghisapan endotrakeal
- Keluarkan sumbatan benda
pada dengan forsepMcGill
- Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
- Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak
kontraindikasi.
- Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
2 Pola nafas tidak Setelah dilakukan 1. Pemantauan Respirasi
efektif tindakan keperawatan
Observasi
selama …x…. - Monitor frekuensi, irama,
diharapkan inspirasi kedalaman, dan upaya napas
dan ekspirasi adekuat - Monitor pola napas (seperti
dengan kriteria hasil: bradipnea, takipnea,
a. Dispnea hiperventilasi, Kussmaul,
menurun Cheyne-Stokes, Biot, ataksik)
- Monitor kemampuan batuk
b. Penggunaan
efektif
otot antu nafas - Monitor adanya produksi
menurun sputum
c. Frekuensi - Monitor adanya sumbatan jalan
napas membaik napas
d. Keluhan napas - Palpasi kesimetrisan ekspansi
membaik paru
- Auskultasi bunyi napas
- Monitor saturasi oksigen
- Monitor nilai AGD
- Monitor hasil x-ray toraks
- Head up 45º
- Berikaan oksigen (nasal
canul/simple mask/NRM)

Terapeutik
- Atur interval waktu pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil
pemantauan

Edukasi

- Jelaskan tujuan dan prosedur


pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan,
jika perlu

3 Resiko perfusi Setelah dilakukan 1. Manajemen peningkatan TIK


serebral tidak efektif tindakan keperawatan Observasi
selama …x…. - Idenifikasi penyebab
diharapkan peningkatan TIK
keadekuatan aliran - Monitor tanda atau gejala
darah serebral untuk peningkatan TIK
menunjang fungsi otak - Monitor MAP
dengan kriteria hasil:
a. Kognitif Terapeutik
menigkat - Berikan posisi semi fowler
b. Tekanan - Hindari pemberian cairan IV
inrakranial hipotonik
menurun - Cegah terjadinya kejang
c. Sakit kepala
menurun Kolaborasi
d. Gelisah - Kolaborasi dalam pemberian
menurun sedasi dan anti konvulan
e. Kecemasan - Kolaborasi pemberian diuretik
menurun osmsis, jika perlu
f. Agitasi
menurun
g. Demam
menurun
h. Tekanan darah
sistolik
membaik
i. Tekanan darah
diastolik
membaik
j. Refleks saraf
membaik

Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Manajemen Nyeri


tindakan keperawatan Observasi
4 selama …x….
diharapkan tingkat - lokasi, karakteristik,
nyeri menurun dengan
durasi, frekuensi,
kriteria hasil:
a. Frekuensi nadi kualitas, intensitas nyeri
membaik - Identifikasi skala nyeri
b. Pola nafas - Identifikasi respon nyeri
membaik non verbal
c. Keluhan nyeri - Identifikasi faktor yang
menurun memperberat dan
d. Meringis
memperingan nyeri
menurun
e. Gelisah - Identifikasi pengetahuan
menurun dan keyakinan tentang
f. Kesulitan tidu nyeri
menurun - Identifikasi pengaruh
budaya terhadap respon
nyeri
- Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas
hidup
- Monitor keberhasilan
terapi komplementer
yang sudah diberikan
- Monitor efek samping
penggunaan analgetik

Terapeutik

- Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi
pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi
bermain)
- Control lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan
tidur
- Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri

Edukasi

- Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor
nyri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Gambaran Kasus
Seorang pasien laki-laki berusia 34 tahun berinisial Tn. H datang dibawa
polisi ke RSUD Arifin Achmad pada tanggal 21 Oktober 2022 di ruang
Instalasi Gawat Darurat (IGD) dengan kondisi pasien pasca kecelakaan
lalu lintas. Sebelumnya pasien telah dilarikan kepuskesmas daerah
kemudian dirujuk ke RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Pasien dengan
keadaan penurunan kesadaran dan terpasang neck collar. Berdasarkan hasil
pengkajian didapatkan pernafasan tidak paten, sumbatan jalan nafas (+),
suara napas tambahan beruba gurgling, terpasang O2 NRM 11L/menit, RR
15x/menit, irama napas ireguler, pernafasan lambat, pengembangan dada
(-), akral teraba hangat, CTR < 2 detik, HR 79x/menit, TD 125/79 mmHg,
sinanosis (-), perdarahan eksternal (+) pada hidung, mulut, dan telinga
serta daerah lutut kaki kanan dan kaki kiri. Pasien dengan tingkat
kesadaran somnolen, nilai GCS 9 E2 V2 M5, terdapat hematoma pada
mata sebelah kanan serta pada bagian kepala. Hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan Hb: 12,4 g/dL, Leukosit: 18,85 /mm 3 , Trombosit:
282 /mm3 , Eritrosit: 4,23 /mm3 , Hematokrit: 37,0 g/dL, Basofil: 0,2%,
Eosinofil: 0,1%, Neutrofil: 87,2%, Limfosit: 6,8%, Monosit: 5,7%. Pasien
terpasang infuse Nacl 1800 cc/24 jam, terpasang kateter urine, terpasang
NGT yang dialirkan, dan terapi obat yang didapatkan yaitu: Omeprazole
2x1, Keterolac 3x30 gr, Manitol 4x125 cc, Cefriaxone 2x1 gr.

B. Pengkajian

C. MCP Kasus
D. Diagnosa Keperawatan

E. Intervensi Keperawatan

F. Catatan Tindakan dan Perkembangan Pasien


BAB IV
PEMBAHASAN

Pembahasan ini menejlaskan kesenjangan antara teori dan tinjauan kasus


pada pasien dengan cedera kepala. Tinjauan kasus merupakan permasalahan yang
kelompok tentukan di ruangan Intalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Arifin
Achmad Provinsi Riau. Pembahasan ini dibuat dengan langkah proses
keperawatan yang dimulai dengan pengakajian, diagnosa, intervensi,
implementasi, dan evaluasi.

A. Interpretasi dan Diskusi (Pembahasan antara kesesuaian/kesenjangan


konsep dan kasus serta penerapan jurnal dalam implementasi)
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan hasil Asuhan Keperawatan pada Tn. H di Ruang Instalasi
Gawat Darurat (IGD) RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau, maka dapat
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Masalah yang menjadi prioritas dalam kasus ini sesuai dengan yang
ditemukan pada Tn. H dengan Cidera Kepala di Ruang IGD RSUD Arifin
Achmad Provinsi Riau, adalah Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif, diikuti
dengan masalah keperawatan Pola Nafas Tidak Efektif dan Resiko Perfusi
Serebral Tidak Efekif.
2. Diagnosa keperawatan yang ditegakkan berdasarkan etiologi yang
ditemukan pada kasus dan merujuk pada Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia (SDKI.2016).
3. Rencana tindakan keperawatan pada kasus ini telah disusun dengan
diagnosa keperawatan yang ditegakkan dan merujuk pada Standar
Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI.2018).
4. Implementasi yang dilakukan pada pasien sesuai dengan perencanaan yang
disusun. Hubungan perawat dengan pasien serta keluarga yang terbuka
memudahkan perawat mengadakan pendekatan untuk melaksanakan
kegiatan direncanakan sesuai Standar Luaran Keperawatan (SLKI.2018)
dan jurnal-jurnal terkait.
5. Evaluasi yang dilakukan kepada pasien lebih kurang 30 menit- 1 jam
setelah diberikan intervensi.

B. Saran
1. Bagi pelayanan kesehatan
Diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi bagi pelayanan kesehatan
dalam menyusun rencana dan asuhan keperawatan yang kebih sistematis
terhadap pasien dengam Cidera Kepala
2. Bagi institusi pendidikan
Dijadikan sbagai sumber informasi untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan khususnya mengenai asuhan keperawatan pada pasien dengan
Cidera Kepala.
3. Bagi mahasiswi keperawatan
Daat dijadikan referensi dalam melakukan asuhan keperawatan pasien
dengan Cidera Kepala
DAFTAR PUSTAKA

PPNI. 2016. Standar Dianosis Keperawatan Indonesia (SDKI) Edisi 1. Jakarta:


DPP PPNI

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) Edisi 1. Jakarta:


DPP PPNI

PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) Edisi 1. Jakarta:


DPP PPNI

HaRYONO & Utami. 2019. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Pustaka


Baru Press

Kartikawati, N. 2011. Dasar-dasar Keperawatan Gawat Darurat. Malang:


Salemba Medika.

Rendi dan Margaret. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Cidera Kepala
Berat. Yogyakarta: Nuha Medika.

Wijaya dan Putri. 2013. Keperawatan Medikal Bedah ((Keperawatan Dewasa).


Yogyakarta: Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai