Oleh:
Kelompok IX
2. Evidence Knowledge
Pemantauan atau penanganan traumatic brain injury pada pasien dapat
dilakukan dengan berbagai tindakan dalam perawatan kedaruratan di IGD.
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien traumatic brain injury
adalah memberikan terapi oksigen, terapi cairan, pemantauan hemodinamik,
penilaian GCS, memberikan posisi 15-30 derajat, monitoring intrakarnial dan
golden hour bagi pasien cidera kepala (Liew BS, 2017).
Kasus TBI memiliki tingkat kesembuhan yang tinggi apabila segera
dibawa ke rumah sakit dalam waktu 60 - 120 menit. Apabila lebih dari 120
menit akan memerlukan rehabilitasi berkelanjutan. Hasil penelitian ini pada
pasien yang datang dalam waktu 60 menit memiliki ketahanan hidup 30 hari
lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang datang setelah 60 menit.
Penelitian ini dilakukan untuk menegaskan kembali prinsip umum “golden
hour” pada pasien yang mengalami cedera kepala. Hal ini dpat digunakan
pada pasien dengan trauma kepala. (Dash Hari & Siddarth, 2018). “Golden
hour” pada cedera trauma selama 60 menit dimulai saat kejadian (Lemer,
2001).
Keberhasilan dalam penanganan gawat darurat tidak hanya ditentukan
dengan keberhasilan dalam memaksimalkan waktu tanggap untuk
menjalankan prosedur ABCD pada fase rumah sakit, tetapi penanganan fase
pra rumah sakit berupa sistem mobilisasi (transportasi) pasien menuju fasilitas
pelayanan gawat darurat juga memegang peranan sangat penting dalam
mempercepat waktu penanganan pertama pada korban kecelakaan atau trauma
(Sukoco, 2010). Penanganan awal dapat terwujud dengan memberikan
bantuan sejak dari tempat kejadian, yaitu sejak tahap pre-hospital, sehingga
menurunkan angka kematian dan kesakitan.
Selain itu, terdapat berbagai cara penilaian prognosis pada kasus
trauma kepala, salah satu diantaranya adalah dengan menggunakan Glasgow
Coma Score (GCS). Adanya sistem skoring dari Glasgow Coma Scale akan
dapat membantu menentukan pasien mana yang memiliki survival rate yang
masih bagus dan dapat dioptimalkan dengan strategi pengobatan yang efektif
dan efisien (Tjahjadi et al., 2013). Cidera kepala atau traumatic brain injury
memiliki 3 klasifikasi yaitu cidera kepala ringan, sedang, dan berat.
Menentukan cidera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan Glasgow
Coma Scale. Glasgow coma scale merupakan instrumen standar yang dapat
digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien trauma kepala. Glasgow
coma scale merupakan salah satu komponen yang digunakan sebagai acuan
pengobatan, dan dasar pembuatan keputusan klinis umum untuk pasien. Salah
satunya pada kasus cidera kepala, untuk menentukan jenis cidera kepala yang
dialami pasien (Agung T, 2017).
Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15) pada saat diperiksa bisa dibagi
dalam 2 jenis: Simple head injury (SHI) yaitu Pasien mengalami cedera
kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari anamnesa maupun gejala
serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan luka. Pemeriksaan
radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk mengobservasi
kesadaran. Selanjutnya pasien dnegan kesadaran terganggu sesaat Pasien
mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat
diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan
penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.
Pasien dengan kesadaran menurun dapat dilihat dari Cedera kepala
ringan / minor head injury (GCS=13-15). Kesadaran disoriented atau not obey
command, tanpa disertai defisit fokal serebral. Setelah pemeriksaan fisik
dilakukan perawatanluka, dibuat foto kepala. CT Scan kepala, jika curiga
adanya hematom intrakranial, misalnya ada riwayat lucid interval, pada follow
up kesadaran semakinmenurun atau timbul lateralisasi. Observasi kesadaran,
pupil, gejala fokal serebral disamping tanda-tanda vital.
Pasien dengan Cedera kepala sedang (GCS=9-12), Pasien dalam
kategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner. Pada pasien dengan
Cedera kepala berat (CGS=3-8), Penderita ini biasanya disertai oleh cedera
yang multiple, oleh karena itu disamping kelainan serebral juga disertai
kelainan sistemik. Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:
a.Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC) Pasien dengan
cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia
akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah:
Jalan nafas (Air way) Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke
belakang dengan posisi kepala ekstensi, Pernafasan (Breathing) dapat
disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer sehingga menyebabkan
gangguan pernafasan. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia
dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan
sekunder.
Sehingga semakin rendah hasil penilaian GCS, maka semakin berat
tingkat kerusakan neurologis yang dialami oleh serebrum atau batang otak
(Ting et al., 2010). Oleh karena itu, GCS menjadi faktor penting yang harus
diukur pada pasien dengan cedera kepala. Karena selain berfungsi sebagai alat
untuk mengevalusi tingkat kesadaran pasien dan menilai status klinis pasien,
GCS juga menjadi alat prognosis untuk pasien yang mengalami cedera kepala
(Kung et al., 2011).
Terapi oksigen juga penting dalam penatalaksanaan pada pasien cidera
kepala. Pemberian terapi oksigen untuk memenuhi oksigenasi pada tubuh
pasien, memelihara tekanan darah dan mencukupi oksigen di perfusi otak.
Maka perlu diberikan terapi oksigen sesuai dengan kebutuhan oksigenasi pada
pasien TBI (Patria, 2012). Fokus utama penatalaksanaan pasien- pasien yang
mengalami cedera kepala adalah mencegah terjadinya cedera otak sekunder.
Pemberian oksigenasi dan memelihara tekanan darah yang baik dan adekuat
untuk mencukupi perfusi otak adalah hal yang paling utama dan terutama
untuk mencegah dan membatasi terjadinya cedera otak sekunder yang
akhirnya akan memperbaiki hasil akhir penderita. Hal ini sesuai dengan apa
yang dijelaskan oleh Patria (2012) bahwa pada pasien cedera kepala
hendaknya diberikan terapi oksigen dengan menggunakan masker ataupun
masker reservoir dengan konsentrasi oksigen 40-80%. Oksigenasi jaringan
otak sangat berhubungan dengan beberapa parameter outcome dan prognosa
pasien. Penerapan terapi intervensi untuk tetap menjaga oksigenasi jaringan
otak diatas ambang tertentu dapat memperbaiki angka mortalitas dan outcome
neurologis pada pasien-pasien cedera kepala.
Cidera kepala dapat beresiko terjadinya peningkatan intrakranial atau
peningkatan TIK. Perlu dilakukannya pematauan TIK agar mencegah dan
mengontrol peningkatan TIK. Pemantauan TIK adalah pemantauan tekanan
intrakranial yang digunakan untuk mencegah dan mengontrol peningkatan
TIK serta mempertahankan tekanan perfusi serebral (Cerebral Perfusion
Pressure/CPP). Hal ini merupakan tujuan dasar penanganan cedera kepala.
Pemantauan TIK diperlukan karena TIK dapat berdampak pada tekanan
perfusi serebral. Tekanan perfusi serebral perlu untuk dipertahankan karena
dapat menyebabkan iskemia pada otak. Pemantauan TIK dapat dilakukan
dengan melihat atau mengecek hemodinamik dan karakteristik pasien,
keparahan cidera, pemeriksaan CT scan, skor GCS dan pemantauan tekanan
intra kranial secara signifikan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Qiang Yuan et, al.
2015 adalah pemantauan TIK akan mempengaruhi mortalitas pada pasien.
Mortalitas selama 6 bulan yang tidak menerima pemantauan TIK adalah
20,5% sedangkan mortalitas pasien yang menerima pemantauan TIK adalah
16,9 (p=0.086). Maka dapat disimpulkan pasien mortalitas pasien yang
menerima pemantauan TIK lebih rendah dari pada pasien yang tidak
dilakukan pemantauan TIK. Sehingga pada pasien cedera kepala perlu di
observasi pada peningkatan TIK nya (Yuan et al, 2015).
Pemantauan TIK digunakan untuk mencegah terjadinya fase
kompensasi ke fase dekompensasi. Secara obyektif, pemantauan TIK adalah
untuk mengikuti kecenderungan TIK tersebut, karena nilai tekanan
menentukan tindakan yang perlu dilakukan agar terhindar dari cedera otak
selanjutnya, dimana dapat bersifat ireversibel dan letal. Dengan pemantauan
TIK juga kita dapat mengetahui nilai CPP, yang sangat penting, dimana
menunjukkan tercapai atau tidaknya perfusi otak begitu juga dengan
oksigenasi otak (Smith, 2008). Peningkatan TIK merupakan kedaruratan yang
harus diatasi dengan segera. Ketika tekanan meninggi, substansi otak ditekan.
Fenomena sekunder disebabkan gangguan sirkulasi dan edema yang dapat
menyebabkan kematian.
Manajemen cairan dan elektrolit pada pasien cedera kepala mencakup
pemeliharaan osmolalitas yang meliputi pemeliharaan perfusi serebral dan
pencegahan hipertensi intrakranial (Syah, Gaus dan Rahardjo, 2016). Pada
cedera kepala sedang dan berat umumnya ditemukan lesi fokal maupun difus
seperti hematoma epidural, subdural, perdarahan sub araknoid dan perdarahan
intercerebral pada hasil gabaran CT-Scan. Hal tersebut memungkinkan adanya
peningkatan Tekanan Intrakranial yang ditunjukkan dengan gejala seperti sakit
kepala, muntah, penurunan kesadaran, papil edema, paralisis pada saraf
abdusen dan okulomotor, respon cushing (Arfianto, Ma’ruf dan Ibrahim,
2016).
Manajemen cairan menggunakan cairan hiperosmolar merupakan
penanganan konservatif pada peningkatan tekanan intrakranial (Arfianto, et al
2016). Pemberian dan jenis cairan mempertimbangkan kemampuan otak
dalam mengatasi perubahan volume, osmolalitas seluler dan peningkatan
konsumsi oksigen serebral (Syah, et al, 2016). Cairan hiperosmolar yang
sering digunakan adalah manitol dan hypertonic saline yang terdiri dari
krisaloid dan koloid. Manitol memiliki efek ekspansi plasma yang cepat dan
memperbaiki perfusi serebral karena menurunkan viskositas darah. Pemberian
manitol dianggap menurunkan volume otak dengan cara menurunkan
kandungan air, volume darah dengan vasokontriksi dan volume cairan
serebrospinal (Mishra, et al 2006 dalam dalam Syah, et al 2016). Penggunaan
manitol dalam angka waktu yang lama dapat berakibat dehidrasi intravaskular,
hipotensi dan azotemia pre-renal (Syah, et al 2016; Arfianto, et al, 2016;
Witherspoon dan Ashby, 2017).
Hipertonik saline merupakan cairan yang mengandung 1% sampai
23,4% sodium klorida. Mekanisme hipertonik saline pada prinsipnya sama
dengan manitol yaitu dengan menungkatkan tekanan osmotik intravaskular
(Arfianto, et al, 2016). Hipertonik saline memiliki beberapa manfaat pada
pasien dengan cedera kepala termasuk ekstrasi cairan dari ruang intraseluler,
menurunkan TIK, ekspansi volume intravaskular dan meningkatkan
kontraktilitas jantung (Syah, et al 2016). Hipertonik saline dianggap mampu
mempertahankan bahkan memperbaiki hemodinamik, panduan ATLS saat ini
menganjurkan resusitasi cairan yang agresif yang dimulai dengan bolus dua
liter kristaloid pada orang dewasa, dan sebaiknya dengan larutan Ringer Laktat
(RL).
Hal ini juga didukung dengan penelitian yang menyatakan bahwa TBI
dapat menyebabkan syok hipovolemik sehingga diperlukan pemberian cairan
seperti cairan kristaloid (Hernando etal, 2014). Sehingga hipertonik saline dapat
menjadi alternatif, namun harus dihindari bila kadar natrium serum lebih dari
160 mmol/L (Syah, et al 2016). Berdasarkan beberapa studi yang telah
dilakukan didapatkan bahwa hypertonic saline menunjukkan penuruan yang
signifikan pada PTIK, efek durasi yang lebih panjang, efek yang lebih baik
pada tekanan perfusi serebral dibandingkan manitol.
Selain terapi cairan, penanganan TIK dapat ditangani dengan posisi
head up. Posisi head up sendiri adalah 30 derajat bagi pasien TBI dengan
peningkatan TIK. Posisi 30 derajat memiliki tujuan untuk memenuhi oksigenasi
dan menstabilkan tekanan intra kranial pasien. Posisi ini juga efektif untuk
mencegah kerusakan otak sekunder dan fungsi respirasi pasien (Pertami, 2017).
Mengatur posisi pasien dengan kepala sedikit elevasi 30 derajat juga untuk
meningkatkan venous drainage dari kepala dan elevasi dapat menyebabkan
penurunan tekanan darah sistemik, yang mungkin dapat dikompromi oleh
tekanan perfusi serebral (Brunner & Suddarth, 2012).
Posisi kepala 30° bertujuan untuk mengamankan pasien dalam
pemenuhan oksigenasi untuk menghindari hipoksia pada pasien, dan tekanan
intrakranial mungkin stabil dalam rentang normal. Selain itu, posisi ini lebih
efektif untuk mempertahankan level kesadaran karena mempengaruhi posisi
anatomi tubuh manusia yang kemudian mempengaruhi hemodinamik pasien.
Posisi kepala 30° juga efektif untuk homeostasis otak dan mencegah kerusakan
otak sekunder oleh stabilitas fungsi pernapasan untuk mempertahankan perfusi
cerebral yang cukup.
3. Critical Thinking
Penatalaksanaan trumatic brain injury atau TBI sudah sesuai antara
teori dengan pelaksaan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP Dr.Kariadi
Semarang. Penerapan penatalaksanaan TBI di IGD RSUP Dr.Kariadi
Semarang sudah menerapkan primary assesment. Primary assesment yang
dilakukan meliputi ABCD. Airway managament, Breathing,Circulation dan
Dissability.
Airway managament meliputi mengecek kondisi jalan nafas pasien
dengan TBI. Apabila terdapat sumbatan dapat diakukan jaw trust and chin lift
serta penggunaan OPA pada pasien penurunan kesadaran dan jika diperlukan
menggunakan intubasi. Serta penggunaan neck collar pada pasien dengan
cidera kepala.
Breathing pada pasien TBI dapat menggunakan pemasangan terapi
oksigen. Terapi oksigen digunakan sesuai dengan kondisi kebutuhan oksigen
pasien. pada kasus pasien dengan cidera kepala berat sudah menggunakan
NRM 100% dikarenakan kondisi cidera yang berat dan saturasi oksigen yang
menurun. Hal ini sudah sesuai dengan penelitian yang menyatakan bahwa
terapi oksigen digunakan pada pasien TBI.
Circulation pada pasien TBI adalah dengan memberikan terapi cairan.
Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko syok hipovolemik dan penurunkan
tekanan TIK pada pasien TBI. Cairan yang digunakan adalah hipertonik yaitu
cairan kristaloid (RL). Hal ini sudah diterapkan dengan menggunakan cairan
RL melalui IV. Pemberian cairan disesuaikan dengan kondisi pasien.
Disability pada pasien TBI adalah dengan memonitoring nilai GCS
pasien. Melakukan penilaian GCS memiliki tujuan agar dapat menentukan
jenis cidera kepala pasien termasuk kedalam cidera ringan atau sedang atau
berat. Hal ini sudah diterapkan dengan selalu memonitoring GCS pasien TBI
saat dilakukannya tindakan.
Monitoring tekanan intra kranial juga perlu diperhatikan. Pasien
dengan TBI dapat beresiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
Peningkatan TIK dapat diketahui melalui keluhan dan kondisi pasien, nilai
GCS, pemantauan tanda TIK, melakukan pemeriksaan CT Scan, terapi cairan
dan posisi head up.
Posisi head up yang digunakan adalah ukuran 30 derajat. Hal ini sudah
sesuai dengan perawat yang memberikan posisi 30 derajat pada pasien TBI
dengan cidera kepala ringan.
DAFTAR PUSTAKA