Anda di halaman 1dari 45

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.

A DENGAN
DIAGNOSA MEDIS CEDERA KEPALA
BERAT DI RUANG NEUROLOGI

Di susun oleh:

Nama : Yun Triasmita


NIM :2018.C.10a.0956

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRORAM STUDI SARJANA
KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN
2020/2021
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan ini di susun oleh :
Nama : Yun Triasmita
NIM : 2018.C.10a.0956
Program Studi : S-1 Keperawatan
Judul : Asuhan Keperawatan Pada Tn. A Dengan Diagnosa
Medis Cedera Kepala Berat Di Ruang Neurologi
Telah melakukan asuhan keperawatan sebagai persyaratan untuk
menyelesaikan Praktik Pra Klinik Keperawatan II Program Studi Sarjana
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya

Laporan keperawatan ini telah disetujui oleh :

Mengetahui
Ketua Program Studi Pembimbing Akademik
Sarjana Keperawatan

Meilitha Carolina, Ners, M.Kep. Isna Wiranti, S.Kep., Ners


KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan
Pendahuluan yang berjudul “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan
Pada Tn. A Dengan Diagnosa Medis Cedera Kepala Berat Sistem Persyarafan”.
Laporan pendahuluan ini disusun guna melengkapi tugas (PPK II).
Laporan Pendahuluan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes selaku Ketua STIKES Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners, M.Kep selaku Ketua Program Studi Ners
STIKES Eka Harap Palangka Raya.
3. Ibu Isna Wiranti, S.Kep.,Ners selaku pembimbing akademik yang telah
banyak memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam penyelesaian
asuhan keperawatan ini
4. Ibu Meida Sinta Araini, S.Kep., Ners selaku koordinator Praktik Pra Klinik
2 Program Studi Sarjana Keperawatan
5. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksaan kegiatan
pengabdian kepada masyarakat ini.
Saya menyadari bahwa laporan pendahuluan ini mungkin terdapat kesalahan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca dan mudah-mudahan laporan pendahuluan
ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Palangka Raya, 28 September 2020

Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa pendarahan intestinal dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak. Cedera kepala merupakan adanya pukulan atau benturan
mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran (Febriyanti, dkk,
2017), cedera kepala biasanya diakibatkan salah satunya benturan atau
kecelakaan. Sedangkan akibat dari terjadinya cedera kepala yang paling fatal
adalah kematian. Akibat trauma kepala pasien dan keluarga mengalami perubahan
fisik maupun psikologis, asuhan keperawatan pada penderita cedera kepala
memegang peranan penting terutama dalam pencegahan komplikasi.
Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di dunia kejadian
cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari jumlah
di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari
100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala
tersebut (Depkes, 2012). Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya
akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang
memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia di
bawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari
setengah dari semua pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap
cedera bagian tubuh lainnya.
Angka kematian akibat cedera kepala di Indonesia pada tahun 2005 berkisar 6,211
hampir dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan standar rata rata
internasional yang berkisar 38%. Sebagian besar penyebab cedera kepala di
Indonesia adalah kecelakaan kendaraan bermotor, dimana proporsi terbesar
terletak pada pengendara sepeda motor. Kelompok usia dewasa muda (umur 18 –
40 tahun) merupakan yang paling rentan mengalami cedera kepala. Hal ini
disebabkan tingginya frekuensi pengguna kendaraan bermotor pada kelompok
usia ini. Pencegahan cedera kepala dapat dilakukan dengan langkah-langkah
berikut: Menggunakan alat pengaman saat melakukan olahraga-olahraga, seperti
sepakbola, bersepeda, menyelam, tinju, dan sebagainya. Selalu menggunakan alat
pelindung diri, seperti helm atau pelindung kepala, saat bekerja. Memasang
pegangan besi di kamar mandi dan samping tangga untuk mengurangi risiko
terpeleset. Memastikan lantai selalu kering dan tidak licin. Memasang penerangan
yang baik di seluruh rumah. Memeriksa kondisi mata secara rutin. Berolahraga
secara teratur untuk mereggangkan otot.
Dari latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka penulis tertarik untuk
mengambil judul “Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada Tn. A
Dengan Diagnose Cidera Kepala Berat Sistem Persyarafan” dengan harapan klien
dapat memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan serta untuk mencapai
gambaran tentang asuhan keperawatan pada klien dengan kasus Otitis Media
Ktonik menggunakan proses keperawatan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka dapat
dirumuskan masalah dalam studi kasus ini adalah:
1.2.1 Bagaimana Pengkajian, Diagnosa, Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi
Keperawatan Mandiri pada pasien yang mengalami Cedera Kepala Berat di
Ruang Neurologi.
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memahami dan melakukan peran sebagai perawat dalam
pencegahan dan penanganan masalah Cedera Kepala Berat di Ruang
Neurologi.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mampu melakukan pengkajian, menganalisa, menentukan diagnose
keperawatan, membuat intervensi keperawatan, mampu melakukan
perawatan dan mengevaluasi tindakan keperawatan yang sudah diberikan.
1.3.2.2 Mampu memberikan tindakan keperawatan yang diharapkan dapat
mengatasi masalah keperawatan pada kasus tersebut.
1.3.2.3 Mampu mengungkapkan faktor-faktor yang menghambat dan mendukung
serta permasalahan yang muncul dari asuhan keperawatan yang diberikan.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Untuk Mahasiswa
Untuk mengembangkan ilmu dan wawasan dari ilmu keperawatan
khususnya penyakit cedera kepala berat dan pengalaman langsung dalam
melakukan penelitian.
1.4.2 Untuk Klien dan Keluarganya
Menambah informasi mengenai penyakit otitis media kronik dan
pengobatannya sehingga dapat digunakan untuk membantu program
pemerintah dalam pemberantasan cedera kepala berat.
1.4.3 Untuk Institusi
Sebagai bahan atau sumber data bagi penneliti berikutnya dan bahan
pertimbangan bagi yang berkepentingan untuk melanjutkan penelitian
sejenis dan untuk publikasi ilmiah baik jurnal nasional maupun
internasional.
1.4.4 Untuk IPTEK
Memberikan informasi dalam pengembangan ilmu keperawatan terutama
dalam keperawatan komunitas yang menjadi masalah kesehatan pada
masyarakat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Penyakit


2.1.1 Definisi
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa pendarahan intestinal dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala merupakan adanya pukulan atau
benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran
(Febriyanti, dkk, 2017).
Cedera kepala berat merupakan cedera kepala yang mengakibatkan
penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8, mengalami amnesia > 24 jam
(Haddad, 2012).
Cedera kepala adalah suatu trauma mekanik terhadap kepala, baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis
yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen
(Sudiharto dan Sartono, 2010).
Dari tiga pengertian diatas dapat disimpulkan cedera kepala adalah suatu
gangguan traumatik dari fungsi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas pada
kepala baik secara langsung atau tidak langsung yang menyebabkan gangguan
fungsi neurologis. Cedera kepala berat adalah proses terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang mnyebabkan suatu gangguan traumatik dari
fungsi otak yang disertai atau tanpa perdarahan interstitial dimana mengalami
penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8 dan mengalami amnesia > 24
jam.

2.1.2 Anatomi Fisiologi


Otak adalah organ vital yang terdiri dari 100-200 milyar sel aktif yang
saling berhubungan dan bertanggung jawab atas fungsi mental dan intelektual
kita. Otak terdiri dari sel - sel otak yang disebut neuron. Otak merupakan organ
yang sangat mudah beradaptasi meskipun neuron-neuron di otak mati tidak
mengalami regenerasi kemampuan adaptif atau plastisitas. Pada otak dalam situasi
tertentu bagian - bagian otak dapat mengambil alih fungsi dari bagian-bagian yang
rusak. Otak sepertinya belajar kemampuan baru. Ini merupakan mekanisme paling
penting yang berperan dalam pemulihan stroke.
Secara garis besar sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat
dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak dan medulla
spinalis. Sistem saraf disisi luar SSP disebut sistem saraf tepi (SST). Fungsi dari
SST adalah menghantarkan informasi bolak balik antara SSP dengan bagian tubuh
lainnya.
Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf dengan komponen
bagiannya adalah :
2.1.2.1 Cerebrum
Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang
hemisfer kanan dan kiri serta tersusun dari korteks. Korteks ditandai
dengan sulkus (celah) dan girus. Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus,
yaitu:

1) Lobus Frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih
tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area
broca di hermisfer kiri), pusat penghidit dan emosi. Bagian ini
mengandung pusat pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis
(area motorik primer) dan terdapat area asosiasi motorik (area
premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang mengatur
ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan sadar, perilaku sosial,
berbicara, motivasi dan inisiatif.

2) Lobus Temporalis
Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke
bawah dari fisura lateral dan sebelah posterior dari fisura parieto-
oksipitalis (White, 2008). Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya
ingat verbal, visual, pendengaran dan berperan dalam pembentukan
dan perkembangan emosi.

3) Lobus Parietalis
Lobus Parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus
post sentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran.

4) Lobus Oksipitalis
Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi
penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan
dari nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini dengan
informasi saraf lain dan memori.

5) Lobus Limbik
Lobus limbik untuk mengatur emosi manusia, memori emosi dan
bersama hipothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian
atas susunan endokrin dan susunan autonomy.

2.1.2.2 Cerebellum
Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih banyak
neuron dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki peran koordinasi
yang penting dalam fungsi motorik yang didasarkan pada informasi
somatosensori yang diterima inputnya 40 kali lebih banyak dibandingkan
output.
Cerebellum terdiri dari tiga bagian fungsional yang berbeda yang
menerima dan menyampaikan informasi ke bagian lain dari sistem saraf
pusat. Cerebellum merupakan pusat koordinasi untuk keseimbangan dan
tonus otot. Mengendalikan kontraksi otot - otot volunter secara optimal.
Bagian - bagian dari cerebellum adalah lobus anterior, lobus medialis dan
lobus fluccolonodularis.
2.1.2.3 Brainstem
Brainstem adalah batang otak, berfungsi untuk mengatur seluruh proses
kehidupan yang mendasar. Berhubungan dengan diensefalon diatasnya dan
medulla spinalis dibawahnya. Struktur - struktur fungsional batang otak
yang penting adalah jaras asenden dan desenden traktus longitudinalis
antara medulla spinalis dan bagian - bagian otak, anyaman sel saraf dan 12
pasang saraf cranial. Secara garis besar brainstem terdiri dari tiga segmen,
yaitu mesensefalon, pons dan medulla oblongata.

2.1.3 Etiologi
Kejadian cedera kepala bervariasi mulai dari usia, jenis kelamin, suku, dan
faktor lainnya. Kejadian-kejadian dan prevalensi dalam studi epidemiologi
bervariasi berdasarkan faktor -faktor seperti nilai keparahan, apakah disertai
kematian, apakah penelitian dibatasi untuk orang yang dirawat di rumah sakit dan
lokasi penelitian (NINDS, 2013).
Penyebab cedera kepala berat adalah:
2.1.3.1 Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi kontusio serebral,
hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan
masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
2.1.3.2 Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi).
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu
cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar,
hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar
pada hemisfer serebral, batang otak atau kedua-duanya.
Akibat trauma tergantung pada :
1) Kekuatan benturan (parahnya kerusakan).
2) Akselerasi dan Deselerasi
3) Cup dan kontra cup Cedera cup adalah kerusakan pada daerah dekat
yang terbentur. Sedangkan cedera kontra cup adalah kerusakan cedera
berlawanan pada sisi desakan benturan.
a) Lokasi benturan
b) Rotasi
Pengubahan posisi pada kepala menyebabkan trauma regangan dan
robekan substansia alba dan batang otak.
c) Depresi fraktur
Kekuatan yang mendorong fragmen tulang turun menekan otak
lebih dalam. Akibatnya CSS (Cairan Serebro Spinal) mengalir
keluar ke hidung, telinga → masuk kuman → kontaminasi dengan
CSS → infeksi → kejang.

2.1.4 Klasifikasi
Cedera kepala pada umumnya dikategorikan berdasarkan Glasgow coma
scale (GCS). Glasgow coma scale (GCS) pertama kali diperkenalkan oleh
Teasdale dan Jennet tahun 1974 untuk menyediakan suatu metode yang mudah
dan dapat dipercaya untuk menilai tingkat kesadaran pasien dan mengawasi
perubahan yang terjadi. Glasgow coma scale (GCS) menilai tingkatan kesadaran
berdasarkan tiga komponen klinis yaitu respon membuka mata, motorik dan
verbal.
Nilai GCS adalah nilai total dari ketiga komponen yaitu antara 3-15. Nilai 3
berarti penderita tidak memberikan respon terhadap rangsangan apapun
sedangkan nilai 15 berarti penderita sadar penuh. Penilai GCS dilakukan pasca
resusitasi setelah trauma.
Klasifikasi cedera kepala dibagi menjadi 3 dimana cedera kepala berat
dengan skor GCS dibawah 8, cedera kepala sedang dengan skor GCS 9 sampai
12, cedera kepala ringan dengan skor GCS 13 sampai 15.

2.1.5 Patofisiologi (Pathway)


Otak dapat berfungsi dengan baik oksigen dan glukosa terpenuhi. Energi
yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses okidasi.
Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak
walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan perfusi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari
20mg%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari
seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 75% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik an aerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat hipoksia atau kerusakan otak dapat terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme an aerob. Dalam keadaan normal
cerebral blood flow (CBF) adalah 50-60 ml/menit/100gr. Jaringan otak, yang
merupakan 15% dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocordial, perubahan tekanan vaskuler dan uedem paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan
distritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel, takikardia.
Akibat adanya perubahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler,
dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh
darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar (Tarwoto, 2012).
WOC Kecelakaan, terjatuh, trauma
Terkena peluru/ benda Trauma tumpul persalinan, penyalahgunaan
Trauma tajam Trauma kepala
tajam obat/alkohol

Ekstra kranial/kulit
Tulang kranial Tulang kranial
kepala

Breath (B1) Blood (B2) Brain (B3) Bowel (B4) Bladder (B5) Bone (B6)

Perdarahan, Perdarahan Penumpukan P↓ kesadaran Perdarahan Fraktur tulang


hematoma, P↓ kesadaran Robeknya Gg. saraf
darah di otak & P↑ TIK tengkorak
kerusakan jaringan arteri motorik
meningen
Kompensasi P↓ sirkulasi Gg.
Bed rest lama P↓ kesadaran P↓ nafsu volume darah
tubuh yaitu: P↓ kesadaran Koordinas Terputusnya
Penekanan saraf sensori makan, mual, ke ginjal
vasodilatasi i gerak kontinuitas
sistem pernapasan Hemotoma muntah
& bradikardi ektremitas tulang
epidural
P↓ P↓ Gg.
P↓ produksi
kemampuan kemampuan P↓ intake keseimbanga
Perubahan pola urine MK: Nyeri
batuk Aliran darah Perubahan mengenali makanan dan Hemipares
napas Akuta
ke otak↓ sirkulasi CSS stimulus cairan e/hemiple
Akumulasi oliguria MK: Resiko gi
mukus Cedera MK: Resiko
RR↑, hiperpneu, MK: Resiko Infeksi
Hipoksia Kesalahan
hiperventilasi PK: P↑ TIK Defisit
jaringan interpretasi
Batuk tidak Nutrisi MK: MK:
efektif, Perubahan Gangguan
MK: Pola Nafas Pola
ronchi, RR↑ MK: Gg. Mobilitas
Tidak Efektif MK: Gg.
Persepsi MK: Resiko Eliminasi fisik
Perfusi
Sensori Ketidakseimb Urine
MK: Serebral
angan Cairan
Bersihan Tidak Efektif
Jalan nafas
tidak efektif
2.1.6 Manifestasi klinis (Tanda dan Gejala)
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal
3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat - ringan, dan morfologi
2.1.6.1 Mekanisme cedera kepala
Cedera kepala secara luas dapat dibagi atas cedera kepala tertutup dan
cedera kepala terbuka. Cedera kepala tertutup biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.
Sedangkan cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.
2.1.6.2 Beratnya cedera kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan suatu komponen untuk mengukur
secara klinisberatnya cedera otak. Glasgow Coma Scale meliputi 3
kategori yaitu respon membuka mata, respon verbal, dan respon motorik.
Skor ditentukan oleh jumlah skor dimasing -masing 3 kategori, dengan
skor maksimum 15 dan skor minimum 3 ialah sebagai berikut:

1) Nilai GCS kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera kepala berat.


Kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia > 24 jam, juga meliputi
kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

2) Nilai GCS 9 – 12 didefinisikan sebagai cedera kepala sedang.


Kehilangan kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi kurang dari 24
jam dan dapat mengalami fraktur tengkorak.

3) Nilai GCS 13 – 15 didefinisikan sebagai cedera kepala ringan (D.


Jong, 2010). Kehilangan kesadaran atau amnesia < 30 menit, tidak ada
fraktur tengkorak dan tidak ada kontusio serebral atau hematoma.
2.1.6.3 Morfologi
Secara morfologis cedera kepala dapat meliputi fraktur kranium, kontusio,
perdarahan, dan cedera difus.
1) Fraktur kranium Fraktur tulang tengkorak (cranium) dapat terjadi pada
atap atau dasar tengkorak (basiscranii), dan dapat berbentuk garis atau
linear dan dapat pula terbuka atautertutup. Fraktur cranium terbuka
dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala
dengan permukaan otak karena robeknya selaputdura.
1 Respon buka mata (E) 4 Spontan
3 Terhadap suara
2 Terhadap nyeri
1 Tidak ada
2 Respon motorik (M) 6 Turut perintah
5 Melokalisir nyeri
4 Fleksi normal (menarik anggota
yang dirangsang)
3 Fleksi abnormal (dekortikasi)
2 Ekstensi abnormal (deserebrasi)
1 Tidak ada (flaksid)
3 Respon verbal (V) 5 Berorientasi baik
4 Disorientasi tempat dan waktu
3 Kata-kata tidak teratur
2 Suara tidak jelas
1 Tidak ada
4 Nilai GCS = (E + M +V) : Nilai tertinggi = 15, dan terendah =
3 ( D. Jong, 2010).
2) Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi
difus, walaupun kedua jenis lesi ini sering terjadi bersamaan. Lesi
fokal adalah perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio
(hematom intraserebral), dan perdarahan intra serebral.
3) Cedera otak difusi
Cedera otak difusi mulai dari konkusi ringan dimana gambaran CT
scan normal, sampai cedera iskemi-hipoksik yang berat.Cedera otak
difus berat biasanya diakibatkan oleh hipoksia, iskemi otak karena
syok yang berkepanjangan atau periode apneu yang terjadi segera
setelah trauma. Pada kasus tersebut, awalnya CT scan sering
menunjukkan gambaran normal, atau gambaran otak bengkak secara
merata dengan batas area substasia putih dan abu-abu hilang. Kelainan
difus lainnya, seringterlihat pada cedera dengan kecepatan tinggi atau
cedera deselerasi, yang dapat menunjukkan gambaran titik perdarahan
multipel diseluruh hemisfer otak tepat dibatas area putih dan abu-abu.
4) Perdarahan epidural
Perdarahan epidural relatif jarang, lebih kurang 0,5% dari semua
cedera otak dan 9% dari pasien yang mengalami koma. Hematom
epidural itu secara tipikal berbentuk bikonveks atau cembung sebagai
akibat dari pendorongan perdarahan terhadap duramater yang sangat
melekat di tabula interna tulang kepala. Perdarahan ini sering terjadi
pada area temporal atau temporoparietal dan biasanya disebabkan oleh
robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
5) Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural,
kira -kira 30% dari cedera otak berat. Perdarahan ini sering terjadi
akibat robekan pembuluh darah atau vena -vena kecil di permukaan
korteks serebri. Berbeda dengan perdarahan epidural yang berbentuk
lensa cembung pada CT scan, perdarahan subdural biasanya mengikuti
dan menutupi permukaan hemisfer otak. Perdarahan ini dapat
menutupi seluruh permukaan otak. Kerusakan otak yang berada di
bawah perdarahan subdural biasanya lebih berat dan prognosisnya
lebih buruk daripada perdarahan epidural.
6) Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera otak
berat). Sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal,
meskipun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio
serebri dapat terjadi dalam waktu beberapa jam atau hari, berkumpul
menjadi perdarahan intraserebral atau kontusio yang luas.

2.1.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan cedera kepala antara lain:
2.1.7.1 Deficit neurologis
2.1.7.2 Infeksi sistemik (pneumonia, septikemia)
2.1.7.3 Infeksi bedah neuro (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventrikulitis,
abses otak)
2.1.7.4 Osifikasi heterotrofik (nyeri tulang pada sendi-sendi yang menunjang berat
badan)
2.1.7.5 Epidural hematoma (EDH) adalah berkumpulnya darah di dalam ruang
epidural di antara tengkorak dan dura meter. Keadaan ini sering di
akibatkan karena terjadi fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri
meningeal tengah terputus atau rusak (laserasi) dimana arteri ini berada
diantara dura meter dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis
tulang temporal dan terjadi hemoragik sehingga menyebabkan penekanan
pada otak.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang


2.1.8.1 Foto polos kepala
Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan untuk
pemeriksaan foto polos kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang
sekarang mungkin sudah ditinggalkan. Jadi, indikasi meliputi jejas lebih
dari 5 cm , luka tembus (peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan
palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, dan
gangguan kesadaran.
2.1.8.2 CT – Scan
Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat-obatan analgesia atau antimuntah.
2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat
pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor – faktor ekstrakranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi misalnya karena
syok, febris, dll).
4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai. e. Luka
tembus akibat benda tajam dan peluru.
5) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS
(Sthavira, 2012).
2.1.8.3 MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien yang
memiliki abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT Scan.
MRI telah terbukti lebih sensitif daripada CT-Scan, terutama dalam
mengidentifikasi lesi difus non hemoragik cedera aksonal.
2.1.8.4 EEG
Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk
membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat
perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi landmark
pemantauan EEG terus menerus pada pasien rawat inap dengan cedera
otak traumatik. Kejang konfulsif dan non konfulsif tetap terlihat dalam
22%. Pada tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa perlambatan yang
parah pada pemantauan EEG terus menerus berhubungan dengan
gelombang delta atau pola penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil
yang buruk pada bulan ketiga dan keenam pada pasien dengan cedera otak
traumatik.
2.1.8.5 X – Ray Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan atau edema), fragmen tulang (Rasad, 2011).

2.1.9 Penatalaksanaan Medis


2.1.9.1 Penatalaksanaan di rumah sakit menurut Padila (2012), adalah:
1) Berikan infuse dengan cairan non osmotik (kecuali dextrose oleh karena
dexstrose cepat dimetabolisme menjadi H2O+CO2 sehingga dapat
menimbulkan edema serebri)
2) Diberikan analgesia atau antimuntah secara intravena
3) Berikan posisi kepala dengan sudut 15-45 derajat tanpa bantal kepala,
dan posisi netral, karena dengan posisi tersebut dari kaki dapat
meningkatkan dan memperlancar aliran balik vena kepala sehingga
mengurangi kongesti cerebrum dan mencegah penekanan pada syaraf
medula spinalis yang menambah TIK.
2.1.9.2 Penatalaksanaan menurut Tarwoto (2012), adalah :
1) Prinsip penatalaksanaan cedera kepala adalah memperbaiki perfusi
jaringan serebral, karena organ otak sangat sensitif terhadap kebutuhan
oksigen dan glukosa. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan
diperlukan keseimbangan antara suplay dan demand yaitu dengan
meningkatkan suplai oksigen dan glukosa otak. Untuk meningkatkan
suplai oksigen di otak dapat dilakukan melalui tindakan pemberian
oksigen atau dengan mengajarkan teknik nafas dalam, mempertahankan
tekanan darah dan kadar hemoglobin yang normal. Sementara upaya
untuk menurunkan kebutuhan oksigen otak dengan cara menurunkan
laju metabolisme otak seperti menghindari keadaan kejang, stress,
demam, suhu lingkungan yang panas, dan aktifitas yang berlebihan.
2) Untuk menjaga kestabilan oksigen dan glukosa otak juga perlu
diperhatikan adalah tekanan intrakranial dengan cara mengontrol
cerebral blood flow (CBF) dan edema serebri. Keadaan cerebral blood
flow (CBF) ditentukan oleh berbagai faktor seperti tekanan darah
sistemik, cerebral metabolic rate (CMR). Pada keadaan hipertensi
menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah otak, hal ini akan
menghambat oksigenasi otak. Demikian juga pada peningkatan
metabolisme akan mengurangi oksigenasi otak karena kebutuhan
oksigen meningkat. Disamping itu pemberian obat-obatan untuk
mengurangi edema serebral, memperbaiki metabolisme otak dan
mengurangi gejala seperti nyeri kepala sangat diperlukan.

2.3 Manajemen Asuhan Keperawatan


2.3.1 Pengkajian Keperawatan
Pengumpulan data pasien baik subjektif atau objektif pada gangguan sistem
persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi,
jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu
didapati adalah sebagai berikut :

1) Pengkajian primer
a) Airway Kaji kepatenan jalan nafas, observasi adanya lidah jatuh,
adanya benda asing pada jalan nafas (bekas muntahan, darah, sekret
yang tertahan), adanya edema pada mulut, faring, laring, disfagia,
suara stridor, gurgling atau wheezing yang menandakan adanya
masalah jalan nafas.

b) Breathing Kaji keefektifan pola nafas, respiratory rate, abnormalitas


pernafasan, bunyi nafas tambahan, penggunaan otot bantu nafas,
adanya nafas cuping hidung, saturasi oksigen.

c) Circulation Kaji heart rate, tekanan darah, kekuatan nadi, capillary


refill, akral, suhu tubuh, warna kulit, kelembaban kulit, perdarahan
eksternal jika ada.

d) Disability Berisi pengkajian kesadaran dengan Glasgow Coma Scale


(GCS), ukuran dan reaksi pupil. e) Exposure Berisi pengkajian
terhadap suhu serta adanya injury atau kelainan lain, kondisi
lingkungan yang ada di sekitar pasien.
2) Pengkajian sekunder

a) Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab) : nama, umur, jenis


kelamin, agama, alamat, golongan darah, hubungan pasien dengan
keluarga.

b) Riwayat kesehatan : tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS)


(< 15), muntah, dispnea atau takipnea, sakit kepala, wajah simetris
atau tidak, lemah, luka pada kepala, akumulasi pada saluran nafas
kejang.

c) Riwayat penyakit dahulu : haruslah diketahui dengan baik yang


berhubungan dengan sistem persyarafan maupun penyakit sistem
sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama
yang mempunyai penyakit keturunan atau menular.

d) Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari pasien atau keluarga


sebagai data subjektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat
mempengaruhi prognosa pasien.
3) Data focus

a) Breathing Pengkajian breathing meliputi : pergerakan otot dada,


pemakaian otot bantu napas, frekuensi nadi tekanan dan irama nadi,
suara tambahan, batuk ada (produktif, tidak produktif) atau tidak,
sputum (warna dan konsistensi), pemakaian alat bantu napas.

b) Blood Pengkajian blood meliputi : suara jantung, irama jantung,


capillary refill time (CRT), jugularis vena pressure (JVP), edema.

c) Brain Pengkajian brain meliputi : pengkajian tingkat kesadaran


(tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap lingkungan),
pengkajian fungsi serebral (status mental, fungsi intelektual, lobus
frontalis, hemisfer), pengkajian saraf kranial, pemeriksaan kepala
(raut muka, bibir, mata, sclera, kornea, gerakan bola mata, reflek
kornea, persepsi sensori).

d) Bladder Pengkajian bladder meliputi : urin (jumlah, bau, warna),


penggunaan kateter, kesulitan BAK (oliguri,poliuri, dysuri,
hematuri,nocturi).

e) Bowel Pemeriksaan bowel meliputi : mukosa bibir, lidah, keadaan


gigi, nyeri telan, distensi abdomen, peristaltik usus, mual ,muntah,
hematemesis, melena, penggunaan NGT, diare, konstipasi, asites.

f) Bone Pengkajian bone meliputi : turgor kulit, perdarahan kulit,


ikterus, akral, pergerakan sendi, fraktur, luka.
4) Pemeriksaan fisik Aspek neurologis yang di kaji adalah : tingkat
kesadaran, biasanya GCS <15, disorentasi orang, tempat dan waktu,
perubahan nilai tanda-tanda vital, kaku kuduk, hemiparese.
5) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien cedera kepala adalah :
a) CT-Scan : CT-Scan berguna untuk mendiagnosis dan memantau lesi
intrakranial atau mengevaluasi dan menentukan luasnya cedera
neurologis. Radiogram dilakukan dengan komputer setiap interval 1
derajat dalam suatu busur sebesar 180 derajat. CT-Scan telah dapat
menggantikan echoensefalogrofi dan memiliki kemampuan diagnostic
yang jauh lengkap.
b) Magnetic Resonance Imaging (MRI) : Digunakan sama seperti CT-
Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
c) Cerebral Angiography : Menunjukkan anomali sirkulasi cerebral,
seperti perubahan pada jaringan otak sekunder menjadi uedem,
perdarahan dan trauma.Serial Elektroensefalografi (EEG) : Dapat
melihat perkembangan gelombang yang patologis.
d) SinarX-Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang.
e) Brain system Auditory Evoked Response (BAER) : Mengoreksi batas
fungsi korteks dan otak kecil.
f) Possitron Emission Tomography (PET) : Mendeteksi perubahan
aktifitas metabolisme otak.
2.3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Risiko perfusi serebral tidak efektif b.d peningkatan tekanan intracranial
(D.0009 hal. 37)
2. Pola nafas tidak efektif b.d depresi pada pusat nafas di otak (D.0005 hal.
26)
3. Nyeri akut b.d agen cedera fisik (D.0077 hal. 172)
4. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d penumpukan sputum (D.0001 hal.
18)
5. Deficit nutrisi b.d kemampuan mencerna makanan (D.0019 hal. 56)
6. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular (D.0054 Hal. 124)

2.3.3 Intervensi Keperawatan


1. Risiko perfusi serebral tidak efektif b.d peningkatan tekanan intracranial
Tujuan: klien tidak menunjukan peningkatan tekanan intracranial
Kriteria hasil:
- Tidak ada ortostatik hipertensi
- Mencegah cedera
- GCS dalam batas normal
- Tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi:
1) Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis. lesi, gangguan
metabolism, edema serebral)
2) Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (mis. tekanan darah meningkat,
tekanan nadi melebar, bradikardia, pola napas ireguler, kesadaran
menurun)
3) Monitor gelombang ICP
4) Monitor status pernapasan
5) Monitor intake-output cairan
6) Berikan posisi semi fowler
7) Cegah terjadinya kejang
8) Hindari penggunaan PEEP
9) Pertahankan suhu tubuh normal
10) Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan, jika perlu
11) Kolaborasi pemberian diurektik osmosis, jika perlu

2. Pola nafas tidak efektif b.d depresi pada pusat nafas di otak
Tujuan: diharapkan pola nafas efektif
Kriteria hasil:
- Tidak menggunakan alat bantu otot pernafasan
- Tidak ada tanda-tanda sianosis atau tanda-tanda hipoksia
- Menunjukan jalan nafas normal
- Tanda-tanda vital dalam rentang normal
Intervensi:
1) Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
2) Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi kering)
3) Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
4) Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-
thrust jika curiga trauma servikal)
5) Posisikan semi fowler atau fowler
6) Berikan minum hangat
7) Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
8) Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
9) Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
10) Berikan oksigen, jika perlu
11) Anjurkan cairan 2000ml/hari, jika tidak kontraindikasi
12) Ajarkan teknik batuk efektif
13) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekpektoran, mukolitik, jika perlu

3. Nyeri akut b.d agen cedera fisik


Tujuan: nyeri dapat teratasi
Kriteria hasil:
- Pasien mampu mengenali nyeri
- TTV dalam batas normal
- Pasien mampu mengontrol nyeri
- Tidak ada gangguan pola tidur
Intervensi:
1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri
2) Identifikasi skala myeri
3) Identifikasi respon nyeri non verbal
4) Identifikasi faktor yang meperberat dan memperingan nyeri
5) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
6) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
7) Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akurpresur, terapi music, biofeedback, terapi pijat,
teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
8) Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
9) Fasilitasi istirahat dan tidur
10) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
11) Jelaskan strategi meredakan nyeri
12) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
13) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
14) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri
15) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
4. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d penumpukan sputum
Tujuan: Bersihan jalan napas efektif
Kriteria hasil: Observasi keadaan napas klien, klien tidak mempunyai
suara napas tambahan
Intervensi:
1) Monitor pola napas (frekuensi kedalam, usaha napas)
2) Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, weezing, ronkhi
kering)
3) Monitor adanya sumbatan jalan napas
4) Posisikan semi fowler atau fowler
5) Berikan minum hangat
6) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari jika tidak kontraindikasi
7) Atur interval waktu pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
8) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu

5. Deficit nutrisi b.d kemampuan mencerna makanan


Tujuan: diharapkan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil: berat badan dalam keadaan normal, nafsu makan bertambah
Intervensi:
1) Identifikasi status nutrisi
2) Beri makanan tinggi kalori dan tinggi protein
3) Anjurkan posisi duduk, jika mampu
4) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu
6. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
Kriteria hasil: mobilitas tidak terganggu
Kriteria hasil:
- Klien meningkat dalam hal fisik
- Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
- Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan
kemampuan berpindah.
- Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi (walker).
Intervensi:
1) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
2) Identifikasi toleransi melakukan ambulasi
3) Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
ambulasi
4) Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
5) Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu (mis. tongkat, kruk)
6) Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu
7) Jelaskan tujuan prosedur ambulasi
8) Anjurkan melakukan ambulasi dini
9) Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (mis. berjalan dari
tempat tidur ke kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi,
berjalan sesuai toleransi)
2.3.4 Implementasi Keperawatan
Pada langkah ini, perawat memberikan asuhan keperawatan yang
pelaksanaanya berdasarkan rencana keperawatan yang telah disesuaikan pada
langkah sebelumnya (intervensi)

2.3.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi dimaksudkan yaitu untuk pencapaian tujuan dalam asuhan keperawatan
yang telah dilakukan pasien. Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses
keperawatan dan berasal dari hasil yang ditetapkan dalam rencana keperawatan.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Pasien
Pada saat dilakukan pengkajian pada hari senin, 28 Maret 2020 pukul 11.00
WIB pada Tn. A jenis kelamin laki-laki, berusia 45 Tahun, suku
Dayak/Indonesia, agama Kristen, pekerjaan pegawai swasta, Pendidikan
Strata 1, status perkawinan kawin, alamat Jl. Tingang, Masuk Rumah Sakit
D pada tanggal 26 September 2020 dengan diagnosa medis Cedera Kepala
Berat.
3.1.2 Riwayat Kesehatan/ Perawatan
3.1.2.1 Keluhan Utama
Cedera kepala berat
3.1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Klien post KLL pada tgl. 26 September 2020, terdapat luka lebam pada
pipi sebelah kanan, brill hematoma pada kedua mata. Kesadaran menurun,
terdengar suara napas tambahan (gurgling), bedrest total, infus sementara
di aff karena plebitis, gerakan ekstremitas tidak terkoordinasi, terdapat
akumulasi produksi sekret pada saluran pernapasan, febris, hyperventilasi.
3.1.2.3 Riwayat Penyakit Sebelumnya (riwayat penyakit dan riwayat operasi)
Klien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya.
3.1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Klien mengatakan bahwa keluarga tidak memiliki riwayat penyakit.
3.1.2.5 Genogram Kelurga
GENOGRAM :

KETERANGAN:
= Laki-laki
= Perempuan
= Meninggal
= Hubungan keluarga
= Menikah
= Tinggal serumah
= Pasien

3.1.3 Pemeriksaan Fisik


3.1.3.1 Keadaan Umum
Kesadaran klien apatis, klien tampak bedrest total, infus sementara di aff
karena phlebitis, penampilaan kurang rapi.
3.1.3.2 Status Mental
Tingkat kesadaran sopor, ekpresi meringis, bentuk badan simetris, cara
berbaring terlentang, berbicara kurang jelas, suasana hati tidak tenang,
penampilan kurang rapi. Fungsi kognitif : pasien mengetahui waktu (pagi,
sore, malam), pasien mampu mengenal keluarga dan perawat ruangan,
pasien mengetahui dirinya berada di Rumah Sakit.
3.1.3.3 Tanda-Tanda Vital
S: 38,9⁰C Axilla, N: 103x/menit, RR: 32x/menit, TD: 120/60mmHg.
3.1.3.4 Pernapasan (Breathing)
Suara napas vesikuler, ada napas tambahan seperti gurgling, , pasien tidak
perokok, pola napas pasien tidak teratur, terdapat akumulasi produksi
sekret, bentuk dada dan pergerakan dada simetris, tipe pernafasan dada dan
perut, terpasang Oksigen 3 liter/menit
Masalah Keperawatan: Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
3.1.3.5 Cardiovaskular (Bleeding)
Tekanan darah : 120/60 mmHg, Nadi 103 x/menit dan teraba kuat, suara
jantung normal S1 S2 tunggal, suhu 38,9º C, CRT < 2 detik, tidak sianosis,
akral teraba hangat.
Masalah keperawatan : Tidak ada masalah
3.1.3.6 Persyarafan (Brain)
Penilaian kesadaran pada Tn.A di dapatkan nilai. GCS : 6 dimana E : 2
(membuka mata jika ada rangsang nyeri), V : 1 (tidak mengeluarkan suara
sedikitpun), M : 3 (menekuk lengan, memutar bahu saat diberi rangsangan
nyeri). Kesadaran Tn. A Sopor, kesadaran klien tidak tampak normal,
pupil isokor, reflex cahaya kanan positif, kiri positif , tidak nyeri pada
tangan kiri, tangan kanan, kaki kiri, kaki kanan, tidak vertigo, tampak
gelisah, tidak aphasia, klien tidak merasakan kesemutan, tidak bingung,
tidak dysarthria dan tidak mengalami kejang.
Uji 12 saraf kranial : Nervus Kranial I : (Olfaktrius) klien dapat
membedakan bau parfum dengan minyak kayu putih. Nervus Kranial II :
(Optikus) Klien dapat melihat dengan jelas. Nervus Kranial III :
(Okulomotorius) pasien dapat menggerakan bola mata ke atas dan ke
bawah. Nervus Kranial IV : (Troklear) klien dapat memutar bola mata.
Nervus Kranial V (Trigeminal) klien dapat memejamkan mata. Nervus
Kranial VI : (Abdusen) :klien dapat memejamkan mata kerateral. Nervus
Kranial VII : (Facial) klien dapat mengerutkan wajah. Nervus Kranial
VIII : (Albitorius)klien dapat mendengar suara dengan jelas. Nervus
Kranial IX : (Glosofaringeal) tidak diuji. Nervus Kranial X : (Vagus) klien
mampu menelan. Nervus Kranial XI : (Asesoris) gerakan ekstremitas tidak
terkoordinasi. Nervus Kranial XII (Hipoglosal) klien dapat menggerakan
lidahnya.
Hasil uji koordinasi ekstremitas atas jari ke jari positif, jari ke hidung
positif. Ektremitas bawah tumit ke jempol kaki, uji kestabilan positif;
pasien dapat menyeimbangkan tubuhnya, reflex bisep dan trisep kanan dan
kiri positif dengan skala 5, reflex brakioradialis kanan dan kiri positif
dengan skala 5, reflex patella kanan dan kiri positif dengan skala 5, reflex
akhiles kanan dan kiri positif dengan skala 5, reflex Babinski kanan dan
kiri positif dengan skala 5. Uji sensasi pasien di sentuh bisa merespon
Masalah Keperawatan : Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif
3.1.3.7 Eliminasi Uri (Bladder)
Kandung kemih tidak tegang, produksi urine ± 1.500 ml 4x/hari jam,
warna kuning, bau khas amoniak.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah
3.1.3.8 Eliminasi Alvi (Bowel)
Bibir tampak kering, gigi lengkap, gusi tidak ada lesi, tidak ada lesi, lidah
lembab, mukosa lembab, tonsil tidak ada peradangan, rectum tidak ada,
haemoroid tidak ada BAB 1x sehari warna coklat padat.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah
3.1.3.9 Tulang-Otot-Intergumen (Bone)
Kemampuan pergerakan sendi bebas, tidak ada patah tulang, tulang
belakang normal, ukuran otot simetris, uji kekuatan otot ekstremitas atas
normal, ekstremitas bawah normal. 5 5
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah
3.1.3.10 Kulit-Kulit Rambut 5 5
Tidak ada riwayat alergi obat, tidak ada riwayat alergi makanan, tidak ada
riwayat alergi kosmesik, suhu kulit hangat, warna kulit normal, turgor
normal, tekstur kulit halus, bentuk kuku simetris.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah
3.1.3.11 Sistem Peginderaan
1) Sistem penglihatan
Fungsi penglihatan Baik, bola mata bergerak normal, skerela
normal/putih, kunjungtiva anemis, kornea bening dan tidak
menggunakan alat bantu penglihatan, respon mata 2.
2) Sistem pendengaran
Fungsi pendengaran baik, terpasang tampon pada telinga sebelah kanan,
ada sedikit pengeluaran darah, tidak teraba adanya benjolan.
3) Sistem penciuman
Bentuk hidung simetris, tidak ada lesi dan nyeri tekan sinus.
Masalah Keperawatan : Tidak Ada Masalah Keperawatan
3.1.3.12 Leher dan Kelenjar Limfe
Massa tidak teraba, jaringan parut tidak teraba kelenjar limfe tidak teraba,
kelenjat tiroid tidak teraba, mobilitas leher bebas.
3.1.3.13 Sistem Reproduksi
Bagian reproduksi klien tidak tampak adanya kemerahan, tidak ada gatal-
gatal, gland penis baik/normal, meatus uretra baik/normal, tidak ada
discharge, skrotum normal, tidak ada hernia, tidak ada keluhan.
3.1.4 Pola Fungsi Kesehatan
3.1.4.1 Presepsi terhadap kesehatan dan penyakit :
Pasien mengatakan ingin cepat pulang dan lekas sembuh agar bisa
berkumpul bersama keluarga serta bisa melakukan aktivitas kembali.
3.1.4.2 Nutrisida Metabolisme
TB : 162 cm
BB Sekarang : 65 kg
BB Sebelum Sakit : 60 kg

Diet : lunak Diet khusus :


Pola makan sehari-hari Sesudah sakit Sebelum sakit
Frekuensi 3x sehari 3x sehari
Porsi ½ porsi 1 porsi
Nafsu Makan Baik Baik
Jenis Makanan Bubur,ayam,sayur,dll Nasi.sayur,ikan dll.
Jenis Minuman Air putih Air putih dan teh hangat
Jumlah minum/cc/24 ± 600-1000cc 1100-1500
jam
Kebiasaan makan Disiapakan oleh RS Masak sendiri dan
makanan cepat saji
Keluhan/masalah Tidak ada masalah Tidak ada masalah

Masalah keperawatan : Tidak Ada Masalah Keperawatan


3.1.4.3 Pola istirahat dan Tidur
Klien mengatakan pola tidur saat sakit dan sebelumnya sakit sama saja.
Masalah keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
3.1.4.4 Kongnitif
Klien mengatakan sudah mengetahui tentang penyakit yang dideritanya
sekarang.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
3.1.4.5 Konsep diri
Gambaran diri : Pasien seorang yang sakit yang perlu perawatan
Ideal diri : Ingin cepat sembuh
Identitas Diri : Seorang Perempuan, ibu dari keempat anaknya dan seorang
istri
Peran diri : Sebagai ibu rumah tangga, peran sebagai istri selama di rumah
sakit pasien mengatakan tidak bisa melakukan apa-apa karena masih sakit
Harga diri : pasien tidak merasa malu dengan keadaanya sekarang
Masalah Keperawatan : Tidak ada Masalah Keperawatan
3.1.4.6 Aktivitas Sehari-hari
Kegiatan sehari-hari jalan-jalan dengan masa otot 5/5 + 5/5
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
3.1.4.7 Koping-Tolerasi terhadap stress
Klien mengatakan bila ada masalah biasanya ia ceritakan kepada
keluarganya.
Masalah keperawatan : Tidak ada Masalah Keperawatan
3.1.4.8 Nilai-Pola Keyakinan
Menganut agama Kristen ,nilai keyakinan dengan tindakan medis tidak ada
pengaruhnya, pasien menerima tindakan medis dan klien mengatakan
meyakini agamanya sendiri
Masalah Keperawatan : Tidak ada Masalah Keperawatan.
3.1.5 Sosial Spiritual
3.1.5.1 Kemampuan Berkomunikasi
Klien berkomunikasi dengan baik.
Masalah Keperawatan : Tidak ada Masalah Keperawatan
3.1.5.2 Bahasa Sehari-hari
Pasien menggunakan bahasa Dayak dan Indonesia
3.1.5.3 Hubungan Dengan Keluarga
Baik dan Harmonis
3.1.5.4 Hubungan dengan teman/petugas kesehatan/orang lain
Baik, klien dapat bekerja sama dengan tim kesehatan dalam pemberian
tindakan keperawatan.
3.1.5.5 Orang Penting / terdekat
Orang yang berarti bagi klien adalah keluarganya
3.1.5.6 Kebiasaan Menggunakan Waktu Luang
Klien mengatakan waktu luang berkumpul dengan keluarganya

3.1.5.7 Kegiatan Beribadah


Kegiatan beribadah klien baik dan aktif.
1.1.1. Data Penunjang (Radiologis, Laboratorium, Penunjang Lainnya)
1. Tabel pemeriksaan laboratorium dan radiologi
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 12,9 g/dL 11,5-16,5 g/dL
WBC 29,4 3,5-10,0 mg/dL
Grand 25,5 1,2-8,0 mg/dL
Mid 1,6 0,1-1,5 mg/L
Lim% 8,0 15,0-50,0%
Gra% 86,7 35,0-80,0%
2. Pemeriksaan penunjang rontgen/CT-Scan tanggal 27 September 2020
dengan hasil:
- Sub Dural Hematoma (SDH) tipis TB sinistra
- Fraktur maxilla dextra
- U.app frontalis sinistra

1.1.2. PENATALAKSANAAN MEDIS


Nama Obat Dosis Obat Rute
Nacl 20 tpm IV
Ceftriaxone 1gr/8 jam IV
Ranitidine 1 ampul/8 jam IV
Ketorolak 1 ampul/8 jam IV
Phenitoin 100 mg/jam IV
Manitol 4x100 cc IV
Palangka Raya, 23 Maret 2020
Mahasiswa

(Yun Triasmita)
3.2 TABEL ANALISA DATA
DATA SUBYEKTIF DAN KEMUNGKINAN MASALAH
DATA OBYEKTIF PENYEBAB
1) DS: - Perdarahan Risiko perfusi
DO: serebral tidak efektif
- Kesadaran menurun
- Bedrest total Kompensasi tubuh yaitu:
- GCS 6 vasodilatasi & bradikardi
- Terpasang tampon pada
telinga kanan, ada
pengeluaran cairan Aliran darah ke otak↓
- Hyperventilasi
- CT-scan : Sub Dural
Hematoma TB sinistra, Hipoksia jaringan
fraktur maxilla dextra,
U.app frontalis sinistra
- Febris, S: 38,9˚C Risiko perfusi serebral
- N: 103x/menit tidak efektif

2) DS: - P↓ kesadaran Bersihan jalan napas


DO:
tidak efektif
- Bedrest total
- Terdengar bunyi napas
tambahan (gurgling) Bedrest lama
- Hyperventilasi
- RR: 32x/menit
- Terdapat akumulasi secret
- terpasang Oksigen 3 P↓ kemampuan batuk
liter/menit

Akumulasi mukus

Batuk tidak efektif,


gurgling, RR↑

Bersihan jalan napas


tidak efektif
PRIORITAS MASALAH

1. Risiko perfusi serebral tidak efektif b.d peningkatan tekanan intracranial d.d
kesadaran menurun, bedrest total, Terpasang tampon pada telinga kanan, ada
pengeluaran cairan, hiperventilasi, CT-scan : Sub Dural Hematoma TB
sinistra, fraktur maxilla dextra, U.app frontalis sinistra, Febris, S: 38,9˚C, N:
103x/menit
2. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d penumpukan sputum d.d bedrest total,
terdengar bunyi napas tambahan gurgling, hiperventilasi, RR: 32x/menit,
terdapat akumulasi sekret
RENCANA KEPERAWATAN

Nama Pasien : Ny. N


Ruang Rawat : Ruang Gardenia
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan
1. Risiko perfusi Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK 1. Deteksi dini untuk
serebral tidak efektif keperawatan 1x7 jam pada (mis. lesi, gangguan metabolism, memprioritaskan intervensi,
b.d peningkatan klien tidak menunjukan edema serebral) mengkaji status neurologi
tekanan intracranial peningkatn tekanan atau tanda-tanda kegagalan
d.d kesadaran intracranial dengan kriteria untuk menentukan
menurun, bedrest hasil: perawatan kegawatan
total, Terpasang - Kesadaran 2. Monitor tanda dan gejala peningkatan 2. Untuk mengetahui potensial
tampon pada telinga composmenthis TIK peningkatan TIK
kanan, ada - GCS dalam rentang 3. Monitor gelombang ICP 3. Membantu menentukan
pengeluaran cairan, normal intervensi selanjutnya
hiperventilasi, CT- - TTV dalam rentang 4. Berikan posisi semi fowler 4. Memberi rasa nyaman bagi
scan : Sub Dural normal klien
Hematoma TB
5. Pertahankan suhu tubuh normal 5. Suhu tubuh meningkat
sinistra, fraktur
menunjukan adanya
maxilla dextra,
peningkatan tekanan
U.app frontalis
intracranial
sinistra, Febris, S:
6. Kolaborasi pemberian diuretic osmosis 6. Diuretic mungkin
38,9˚C, N:
digunakan pada fase akut
103x/menit
untuk mengalirkan air ari
brain cells, mengurangi
edema serebral dan TIK
3. Bersihan jalan napas Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi kemampuan batuk 1. Untuk menentukan
tidak efektif b.d keperawatan 1x7 jam pada intervensi selanjutnya
penumpukan sputum klien menunjukan bersihan
2. Monitor adanya rentensi sputum 2. Mengetahui adanya sputum
d.d bedrest total, jalan napas efektif, dengan
terdengar bunyi kriteria hasil: 3. Monitor tanda dan gejala infeksi 3. Membantu menentukan
napas tambahan - Gurgling hilang saluran napas intervensi selanjutnya
gurgling, - Secret berkurang 4. Monitor input dan output cairan 4. Mengetahui pengeluaran
hiperventilasi, RR: - Respirasi normal (16 – 20 dan masukan cairan
32x/menit, terdapat x/menit) 5. Atur posisi semi-fowler atau fowler 5. Posisi membantu
akumulasi sekret memaksimalkan ekspansi
paru dan menurunkan upaya
pernapasan
6. Ajarkan latihan teknik batuk efektif 6. Untuk memudahkan
pengeluaran lendir atau
secret.
7. Kolaborasi pemberian mukolitik 7. Membantu mengencerkan
atau ekspekektoran secret sehingga mudah
dikeluarkan
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

Nama Pasien : Ny. N


Ruang Rawat :
Hari/Tanggal/Jam Implementasi Evaluasi (SOAP) TTD Perawat
Selasa, 29 September 2020 Diagnosa 1: S: klien mengatakan
Pukul, 09:20 WIB 1. Mengidentifikasi penyebab peningkatan TIK kepalanya pusing
(mis. lesi, gangguan metabolism, edema O:
serebral) -Tampak kesadaran
2. Memonitor tanda dan gejala peningkatan TIK composmenthis
(YUN
3. Memberikan posisi semi fowler -GCS 15
4. Mempertahankan suhu tubuh normal -TTV: S: 36,9˚C, N: TRIASMITA)
5. Berkolaborasi pemberian diuretic osmosis 83x/menit, RR: 26x/menit,
TD: 120/90x/menit
A: Masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan intervensi
Rabu, 30 September 2020 Diagnosa 2: S: pasien megatakan
Pukul, 12.15 WIB 1. Mengidentifikasi kemampuan batuk dahaknya susah
2. Memonitor adanya rentensi sputum dikeluarkan
3. Memonitor tanda dan gejala infeksi saluran O: - tampak batuk
napas -Terdengar suara napas
(YUN
4. Memonitor input dan output cairan tambahan (gurgling)
5. Mengatur posisi semi-fowler atau fowler -Mampu melakukan TRIASMITA)
6. Mengajarkan latihan teknik batuk efektif batuk efektif saat
7. Berkolaborasi pemberian mukolitik atau diajarkan
ekspekektoran A: Masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan Intevensi
SATUAN ACARA PENYULUHAN

Topik : Cedera Kepala


Sasaran : Keluarga Pasien
Hari/Tanggal : Selasa, Oktober 2020
Waktu : 30 menit
Penyuluh : Yun Triasmita

A. Tujuan Instruksional Umum


Setelah mengikuti penyuluhan mengenai penyakit cedera kepala selama
1x30 menit, diharapkan keluarga pasien mampu memahami tentang cedera
kepala dan penanganan secara tepat

B. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah diberikan penyuluhan selama 1x30 menit diharapkan keluarga
pasien dapat:
1. Mampu menjelaskan pengertian dari cedera kepala
2. Mampu menyebutkan apa faktor penyebab terjadinya cedera kepala
3. Mampu menyebutkan tanda dan gejala dari cedera kepala
4. Mampu mennyebutkan komplikasi dari cedera kepala
5. Mampu menjelaskan cara melakukan penanganan cedera kepala

C. Materi Penyuluhan (Terlampir)

D. Metode
1. Ceramah
2. Tanya jawab

E. Media
1. Lembar balik
2. Leaflet
F. Kegiatan Penyuluhan
Tahap Waktu Kegiatan Penyuluh Kegiatan Peserta
Pembukaan 5 menit 1. Membuka kegiatan dengan 1. Keluarga
mengucapkan salam pasien
2. Menjelaskan tujuan dari menjawab
penyuluhan salam
3. Menyebutkan materi yang 2. Mendengarkan
akan diberikan dan
4. Mengkaji tingkat memperhatikan
pengetahuan keluarga
tentang kebutuhan cairan dan
elektrolit
Pelaksanaan 15 menit 1. Menjelaskan pengertian 1. Mendengarkan
cedera kepala penyuluh
2. Menjelaskan faktor menyampaikan
penyebab cedera kepala materi
3. Menjelaskan tanda dan 2. Mengikuti dan
gejala dari cedera kepala memperhatikan
4. Menjelaskan komplikasi dari langkah-
cedera kepala langkah latihan
5. Menjelaskan cara gerak aktif
melakukan penanganan
cedera kepala
Evaluasi 5 menit Menanyakan kepada keluarga Menjawab
dan klien tentang materi yang pertanyaan
telah diberikan dan meminta
keluarga dan klien untuk
mengulang kembali secara
singkat
Terminasi 5 menit 1. Mengucapkan terimakasih 1. Mendengarkan
atas perhatian peserta 2. Menjawab
2. Mengucapkan salam salam
penutup
G. Evaluasi Hasil
Setelah dilakukan pendidikan kesehatan tentang cedera kepala dan cara
penanganannya diharapkan peserta dapat:
1. Memahami pengertian dari cedera kepala
2. Memahami apa faktor penyebab terjadinya cedera kepala
3. Mengetahui tanda dan gejala dari cedera kepala
4. Mengetahui komplikasi dari cedera kepala
5. Mengetahui cara melakukan penanganan cedera kepala

Anda mungkin juga menyukai