Anda di halaman 1dari 12

EVIDENCE BASED PRACTICE PENANGANAN

CEDERA KEPALA DI RSIY PDHI

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Keperawatan Kritis

Di Susun
Tulus Bukhori
220131005

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA

STIKES GUNA BANGSA YOGYAKARTA

2023
A. Pendahuluan
Trauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi
neurologis. Cedera kepala (Head Injury) adalah jejas atau trauma yang
terjadi pada kepala yang dikarenakan suatu sebab secara mekanik maupun
nonmekanik.
Cedera kepala adalah penyakit neurologis yang paling sering
terjadi diantara penyakit neurologis lainnya yang biasa disebabkan oleh
kecelakaan, meliputi: otak, tengkorak ataupun kulit kepala saja. (Brunner
& Suddart,1987:2210).
Di negara-negara berkembang, trauma merupakan penyebab
kematian terbanyak. Cedera kepala menjadi hampir sebagian penyebab
kematian dari keseluruhan angka kematian yang diakibatkan trauma, yang
sebagian besarnya mengakibatkan kematian pasien akibat trauma setelah
masuk ke rumah sakit.
Indonesia merupakan Negara berkembang yang masih memiiki
angka kejadian kecelakaan yang tinggi (Krisandi, 2013). Selama tahun
2013 angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia dinilai WHO menjadi
pembunuh terbesar ketiga setelah penyakit jantung dan tuberculosis (BIN,
2014).
Waktu lama sebelum pasien mencapai perawatan medis akan
menyebabkan cacat sementara atau permanen fisik. Perawatan medis yang
tepat dan respon cepat akan mengurangi risiko memiliki kedua efek buruk.
pasien cedera otak harus menerima perawatan pemantauan hemodinamik
seperti tertentu, tanda-tanda vital pengamatan dan pengaturan posisi
samping pengobatan konservatif dan terapi obat-obatan tertentu.
Head injury ini akan mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial yang merupakan kondisi bahaya dan harus segera ditangani.
Ciri-ciri peningkatan tekanan intrakranial adalah terjadi nyeri kepala yang
hebat, muntah proyektil, hipertensi, bradikardi, pupil anisokor, dan juga
terjadi penurunan kesadaran.
Nyeri merupakan sensasi yang mengindikasikan bahwa tubuh
sedang mengalami kerusakan jaringan, inflamasi, atau kelainan yang lebih
berat seperti disfungsi sistem saraf. Oleh karena itu nyeri sering disebut
sebagai alarm untuk melindungi tubuh dari kerusakan jaringan yang lebih
parah. Telah terbukti tanpa pengelolaan nyeri yang adekuat, penderita akan
mengalami gangguan fisiologis maupun psikologis yang pada akhirnya
secara bermakna meningkatkan angka morbiditas maupun mortalitas
(Lucas, 2004). Analgesik adalah obat yang selektif mengurangi rasa sakit
dengan bertindak dalam sistem saraf pusat atau pada mekanisme nyeri
perifer, tanpa secara signifikan mengubah kesadaran. Analgesik
menghilangkan rasa sakit, tanpa mempengaruhi penyebabnya (Tripathi,
2003).
Hipertensi intrakranial akibat edema serebral yang terjadi setelah
cedera neurologis sering berkaitan dengan luaran yang buruk. Manitol dan
NaCl 3% merupakan agen hiperosmolar yang direkomendasikan pada
pasien dengan cedera kepala akibat trauma. Beberapa penulis memberikan
argumen bahwa salin hipertonis lebih efektif, tetapi belum ada konsensus
berkaitan dengan indikasi, konsentrasi, dan cara pemberian yang terbaik.
Gangguan elektrolit merupakan salah satu efek samping yang perlu
dipantau dalam pemakaian manitol dan NaCl 3%. Tujuan dari penelitian
ini adalah membandingkan pemakaian manitol dan NaCl 3% pada anak
dengan cedera kepala akibat trauma yang dirawat di ruang rawat intensif,
dalam hal lama rawatan, mortalitas, dan gangguan elektrolit.
Disamping itu, hari hasil penelitian bahwa posisi semi fowler dapat
memperbaiki dari parameter hemodinamik, seperti tekanan darah sistolik
kembali ke kisaran normal, tekanan nadi menurun normal dibandingkan
sebelum diberikan posisi semi fowler, tingkat kesadaran meningkat di ukur
dengan Glasgow Coma Scale (GCS), dan tekanan darah diastolik dapat
dipertahankan dalam batas normal dapat disimpulkan bahwa posisi semi
fowler lebih efektif dari posisi supine atau telentang dalam stabilitas
hemodinamik pasien dengan cedera kepala (Mir, 2015).
B. Pembahasan
Cedera kepala adalah penyakit neurologis yang paling sering
terjadi diantara penyakit neurologis lainnya yang biasa disebabkan oleh
kecelakaan, meliputi: otak, tengkorak ataupun kulit kepala saja. (Brunner
& Suddart,1987:2210).
Penelitian Haryatun dan Sudaryanto (2008) dengan judul
“Perbedaan Waktu Tanggap Tindakan Keperawatan Pasien Cedera
Kepala Kategori 1 – V Di Instalasi Gawat Darurat Rsud Dr. Moewardi”.
Terdapat hubungan yang signifikan karena rata-rata waktu tanggap pasien
cedera kepala kategori V adalah paling cepat dengan rata-rata waktu
tanggap 33,92 menit, kemudian waktu tanggap paling lama (lambat)
adalah pada pasien cedera kepala kategori I dengan rata-rata waktu
tanggap 98,33 menit. Tindakan keperawatan pasien cedera kepala kategori
V sangat cepat dengan total waktu tindakan selama 33,92 menit karena
pasien datang tidak dengan tanda-tanda kegawatan klinis, pasien hanya
merasa khawatir dengan kondisinya. Pasien kategori V dengan cedera
kepala ringan dan bisa rawat jalan.
1. Pasien cedera kepala kategori I memerlukan waktu rata-rata
98,33 menit. Pasien kategori ini merupakan pasien yang
memerlukan resusitasi segera, pasien cedera kepala berat,
dengan gangguan sistem pernafasan, gangguan sistem
peredaran darah atau pasien dengan penurunan kesadaran.
Dengan gejala awal paling serius seperti peningkatan tekanan
intracranial, tanda-tanda neurologis lokal atau cedera tembus,
dilakukan konsultasi bedah saraf dan CT-Scan emergency.
Pasien dengan kategori I, hampir semua tindakan dilakukan.
2. Pasien cedera kepala Kategori II memerlukan waktu pelayanan
rata-rata 79,08 menit. Pasien kategori II merupakan pasien
yang bila tidak dilakukan pertolongan dengan segera akan
menjadi lebah buruk, seperta pasien cedera kepala mual-mual
atau muntah. Tindakan yang dianjurkan antara lain tanda-tanda
vital (pengukuran tensimeter, nadi, respirasi, suhu badan),
pertimbangan untuk CT-scan atau radiografi foto polos serta
konsultasi bedah saraf. Pasien kategori II, tindakan
keperawatan diprioritaskan untuk airway, breathing, dan
sirkulasi, sehingga perlu pengamatan yang ketat untuk
mengetahui apakah ada kenaikan tekanan intracranial atau
tidak.
3. Pasien cedera kepala Kategori III memerlukan waktu pelayanan
rata-rata 78,92. Pasien kategori III merupakan pasien urgen
yaitu pasien cedera kepala disertai dengan keadaan lain seperti
luka robek, rasa pusing, yang memerlukan bedah minor dengan
tanda-tanda dan gejala awal minimal seperti nyeri kepala
pusing.
4. Pasien Kategori IV memerlukan waktu pelayanan rata-rata
44,67 menit. Pasien kategori IV merupakan pasien dengan
keadaan seperti rasa pusing ringan, luka lecet atau luka yang
superfisial.
5. Pasien cedera kepala Kategori V memerlukan waktu pelayanan
paling cepat yaitu rata-rata hanya 33,92 menit. Pasien kategori
V merupakan pasien yang datang ke IGD tidak dengan indikasi
kegawatan menurut medis tetapi merasa gawat seperti
kecelakaan atau cedera kepala tanpa keluhan secara fisik.
Keberhasilan waktu tanggap sangat tergantung kepada kecepatan
yang tersedia serta kualitas pemberian pertolongan untuk menyelamatkan
nyawa atau mencegah cacat sejak di tempat kejadian, dalam perjalanan
hingga pertolongan rumah sakit (Moewardi, 2003).
Penelitian Chandra (2016) dengan judul “Studi Penggunaan Obat
Analgesik Pada Pasien Cedera Kepala (Concussion) Di Rsup Prof. Dr. Rd
Kandou Manado Periode Januari-Desember 2014”. Hasilnya peggunaan
obat analgesik pada pasien cedera kepala di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado adalah obat-obat dari golongan non-opioid. Pada terapi awal,
Ketorolac (59,61%), Metamizole (28,85%), Paracetamol (3,85%), Asam
Mefenamat (1,92%), Antalgin (1,92%) dan Ketorolac + Paracetamol
(3,85%). Pola penggunaan obat analgesik berdasarkan usia anak
menggunakan obat Metamizole (54,55%) dan dewasa menggunakan obat
Ketorolac (70,73%). Pola penggunaan obat analgesik pada pasien cedera
kepala, pada terapi awal diberikan secara intravena (92,30%) maupun
secara peroral (7,70%) dan pada terapi lanjutan diberikan secara intravena
(3,03%) dan peroral (96,97%).
Penelitian Saragih, R. A. C., Jiero, S., Saing, J. H., & Lubis, M.
(2016) dengan judul “Perbandingan Nacl 3% Dan Manitol Pada Cedera
Kepala Akibat Trauma Di Ruang Rawat Intensif Anak”. Hasilnya pada
penelitian ini didapatkan lama rawatan yang tidak berbeda antara
kelompok manitol dan NaCl 3%. Mortalitas kelompok NaCl 3% lebih
tinggi daripada mortalitas kelompok manitol, tetapi perbedaan tersebut
tidak bermakna secara statistik. Banyak faktor yang dapat memengaruhi
mortalitas, di antaranya tingkat keparahan penyakit dan lama pasien
mendapatkan terapi medikamentosa maupun tindakan surgical setelah
kejadian trauma. Tingkat keparahan penyakit saat awal rawatan tidak
berbeda antara kedua kelompok. Hal tersebut ditunjukkan dari skor
PELOD yang tidak berbeda bermakna secara statistik antara kelompok
manitol dengan kelompok NaCl 3%. Manitol menyebabkan penurunan
kadar natrium dalam darah yang cepat dan peningkatan kalium dengan
berjalannya waktu, sedangkan salin hipertonis menyebabkan peningkatan
segera kadar natrium (berlanjut selama 6 jam) dan penurunan segera kadar
kalium yang transien. Penelitian lain yang dilakukan terhadap anak dengan
peningkatan tekanan intracranial yang dirawat di ruang rawat intensif,
ditunjukkan adanya peningkatan kadar natrium dan klorida pada kelompok
yang mendapatkan salin hipertonis 3%, tetapi masih dalam rentang kadar
yang bisa diterima, untuk itu kadar elektrolit perlu dipantau selama
pemakaian agen hiperosmolar.

Penelitian Wayudi (2015) dengan judul “Head Up Inmanagement


Intracranial For Head Injury”. Dan penelitian yang dilakukan oleh Suryani
(2016) dengan judul “Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap Stabilitas
Hemodinamik Asuhan Keperawatan Tn. E Dengan Cedera Kepala Ringan
Di Ruang Igd Rumah Sakit Salatiga”.Hasilnya ada pola atau trend yang
menunjukkan bahwa kepala pada tempat tidur yang ditinggikan akan
meningkatkan vasospasme. Sebagian kelompok , tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam pasien pada posisi yang berbeda dari kepala yang
ditinggikan tempat tidurnya. Memanfaatkan lain langkah analisis varians,
nilai P berkisar tersebut menunjukan tidak ada kerusakan saraf terjadi.
Kesimpulan secara umum, elevasi kepala pada tempat tidur tidak
menyebabkan perubahan berbahaya dalam aliran darah di otak yang
berhubungan dengan vasospasme. Posisi semi fowler dapat menurunkan
nyeri pada cedera kepala ringan. Posisi semi fowler (setengah duduk)
adalah posisi tidur pasien dengan kepala dan dada lebih tinggi dari pada
posisi panggul dan kaki. Pada posisi semi fowler kepala dan dada
dinaikkan dengan sudut 30-45 derajat sedangkan pada posisi higt fowler,
posisi kepala dan dada dinaikkan 45-80 derajat. Tujuan posisi ini
digunakan untuk pasien yang mengalami masalah pernafasan dan pasien
dengan gangguan jantung. Posisi ini untuk mempertahankan kenyamanan
dan menfasilitasi fungsi pernafasan membuat oksigen didalam paru-paru
semakin meningkat sehingga memperingan kesukaran napas dan
menurunkan tekanan darah.
C. Telaah kritis

Hasil
penelusuran ,j
udul artikel Validity (V) Important (I)
Penulis dan Metode Hasil
Applicable (A)
tahun
penelitian
Deskriptif  Pasien cedera kepala Terdapat perbedaan yang signifikan
Perbedaan observasional. waktu tanggap tindakan
kategori I dengan rata-rata
Waktu dengan waktu tanggap 98,33 keperawatan pada pasien
Tanggap menggunakan menit. cedera kepala kategori I - V.
Tindakan bentuk  Pasien cedera kepala Pasien cedera kepala kategori I
Keperawatan rancangan kategori II memerlukan memperoleh waktu tindakan
Pasien Cedera penelitian waktu pelayanan rata-rata keperawatan lebih lama dan pasien
Kepala secara cross 79,08 menit. cedera kepala kategori V
Kategori 1–V sectional  Pasien cedera kepala memperoleh waktu keperawatan
Di Instalasi kategori III memerlukan yang lebih cepat.
Gawat waktu pelayanan rata-rata
Darurat Rsud 78,92.
Dr.  Pasien cedera kepala
kategori IV memerlukan
Moewardi.
waktu pelayanan rata-rata
Haryatun, N., &
44,67 menit.
Sudaryanto, A.
(2017)  Pasien cedera kepala
kategori V memerlukan
waktu pelayanan paling
cepat yaitu rata-rata hanya
33,92 menit.
Pada terapi awal, Ketorolac
Penggunaan Deskriptif  Ketorolac, sebanyak 31
dengan (59,61%), Metamizole (28,85%),
Obat pasien (59,61%) sebagai
pengambilan Paracetamol (3,85%), Asam
Analgesik terapi awal, 2 pasien
data secara Mefenamat (1,92%), Antalgin
Pada Pasien diantaranya anak-anak
retrospektif (1,92%) dan Ketorolac +
Cedera dan 29 pasien lainnya
Paracetamol (3,85%).
Kepala dewasa.
Pola penggunaan obat analgesik
(Concussion)  Metamizole, Sebanyak 15
berdasarkan usia anak
Di Rsup Prof. pasien (28,85%), 6 oarng
menggunakan obat Metamizole
Dr. Rd diantaranya anak-anak
(54,55%) dan dewasa
Kandou dan 9 lainnya pasien
menggunakan obat Ketorolac
dewasa.
Manado (70,73%). Pola penggunaan obat
 Paracetamol secara
Periode analgesik pada pasien cedera
tunggal sebagai terapi
Januari- kepala, pada terapi awal diberikan
awal sebanyak 2 pasien
Desember (3,85%).
secara intravena (92,30%)
Chandra, C. maupun secara peroral (7,70%)
 Asam mefenamat sebagai
(2016) dan pada
terapi awal sebanyak 1
pasien (1,92%).
 Antalgin sebagai terapi
awal sebanyak 1 pasien
(1,92%).
Pengambilan Ditunjukkan adanya Tidak ada perbedaan lama rawatan,
Perbandingan data secara peningkatan kadar natrium mortalitas, dan gangguan elektrolit
Nacl 3% Dan retrospektif dan klorida pada kelompok dengan penggunaan manitol dan
Manitol Pada data diolah yang mendapatkan salin NaCl 3% sebagai agen
Cedera Kepala dengan hipertonis 3%, tetapi masih hiperosmolar pada pasien cedera
Akibat perangkat dalam rentang kadar yang bisa kepala akibat trauma. Dibutuhkan
Trauma Di lunak statistik. diterima. penelitian lebih lanjut dengan
Ruang Rawat Mann Whitney metode prospektif dan besar sampel
U-test, chi yang lebih besar.
Intensif Anak. square, dan
Sari Pediatri Fisher exact
Saragih, R. A. test
C., Jiero, S.,
Saing, J. H., &
Lubis, M.
(2016)
Elevasi kepala pada tempat tidur
“Head Up Randomized Analisis varians, nilai P tidak menyebabkan perubahan
Inmanagement control trial berkisar 0,34-0,97, baik berbahaya dalam aliran darah di
Intracranial melampaui 05. Hal tersebut otak yang berhubungan dengan
For Head menunjukan tidak ada vasospasme .
Injury”. kerusakan saraf terjadi
Wayudi
(2015)
D. Pertanyaan klinis menggunakan format PICO

PICO (Population, Intervention, Comparison, Outcome) untuk Jurnal


"Pola Penggunaan Analgesik pada Pasien Cedera Kepala di RSUP
Prof.Dr.RD Kandou Manado":
1. Population (P):
 Pasien cedera kepala yang dirawat di RSUP Prof.Dr.RD
Kandou Manado.
2. Intervention (I):
 Penggunaan obat analgesik sebagai terapi pada pasien
cedera kepala. Termasuk jenis analgesik seperti Ketorolac,
Metamizole, Paracetamol, Asam Mefenamat, Antalgin, dan
kombinasi Ketorolac + Parasetamol.
3. Comparison (C):
 Perbandingan dilakukan antara kelompok usia pasien, yaitu
anak-anak (1-14 tahun) dan dewasa (>15 tahun). Juga,
perbandingan antar jenis analgesik yang digunakan dan
metode pemberian obat.
4. Outcome (O):
 Outcome utama adalah pola penggunaan analgesik,
termasuk proporsi penggunaan setiap jenis analgesik pada
kedua kelompok usia, serta cara pemberian obat (intravena
dan peroral).
Pertanyaan Klinis:
1. Apakah terdapat perbedaan pola penggunaan analgesik antara
pasien anak-anak dan dewasa yang mengalami cedera kepala di
RSUP Prof.Dr.RD Kandou Manado?

E. Daftar pustaka
1. Chandra, C. (2016). Studi Penggunaan Obat Analgesik Pada
Pasien Cedera Kepala (Concussion) Di Rsup Prof. Dr. Rd Kandou
Manado Periode Januari-Desember 2014. Pharmacon, 5(2).
2. Haryatun, N., & Sudaryanto, A. (2017). Perbedaan Waktu
Tanggap Tindakan Keperawatan Pasien Cedera Kepala Kategori
1–V Di Instalasi Gawat Darurat Rsud Dr. Moewardi. Berita Ilmu
Keperawatan, 1(2), 69-74.
3. Saragih, R. A. C., Jiero, S., Saing, J. H., & Lubis, M. (2016).
Perbandingan Nacl 3% Dan Manitol Pada Cedera Kepala Akibat
Trauma Di Ruang Rawat Intensif Anak. Sari Pediatri, 16(6), 375-8.
4. Suryani. (2016). Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap
Stabilitas Hemodinamik Asuhan Keperawatan Tn. E Dengan
Cedera Kepala Ringan Di Ruang Igd Rumah Sakit Salatiga.
Diakses Pada Tanggal 20 September 2017, Dari
Http://Digilib.Stikeskusumahusada.Ac.Id/Files/Disk1/39/01-Gdl
5. Wayudi (2015). Head Up Inmanagement Intracranial For Head
Injury. Diakses Pada Tanggal 20 September 2017, Dari
Http://Lppm.Unsil.Ac.Id/Files/2016/03/HEAD-UP-IN-
MANAGEMENT-INTRACRANIAL-FOR-HEAD-Injurypaper-
Evidence-Based-Practice-Ebp-Deni-Wahyudi.Pdf

Anda mungkin juga menyukai