Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

TATALAKSANA DAN PERAWATAN PASIEN CEDERA

KEPALA SEDANG DAN BERAT

Oleh:

M Naufal Firdaus

1830912310125

Pembimbing:

dr. Zainal Abidin, Sp.BS

BAGIAN/SMF ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN ULM

RSUD PENDIDIKAN ULIN

BANJARMASIN

2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 4

2.1 Cedera Kepala.................................................................................... 4

2.2 Tatalaksana Cedera Kepala Sedang dan Berat................................... 10

2.3 Perawatan Cedera Kepala................................................................... 14

BAB III PENUTUP....................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 23

2
BAB I

PENDAHULUAN

Trauma kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat

menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks berupa defisit kognitif

psikis, intelektual dan lain-lain yang dapat bersifat sementara ataupun menetap.

Trauma atau cedera merupakan penyebab terbanyak kematian pada usia di bawah 45

tahun dengan lebih dari 50% diantaranya merupakan trauma kepala.1

Data RISKESDAS 2018 menunjukkan prevalensi cedera kepala yang terjadi

di Indonesia sebesar 11,9% dari seluruh kasus cedera. Proporsi cedera kepala

berdasarkan provinsi di Indonesia tahun 2018 ditempati oleh Gorontalo sebesar

17,9%, dan terendah oleh Banjarmasin sebesar 8,6% dengan rata rata cedera kepala

se-Indonesia sebesar 11.9%.2

Trauma kepala diklasifikasikan berdasarkan derajatnya menjadi cedera kepala

ringan, sedang, berat dengan menggunakan pemeriksaan GCS (Glasgow Coma

Scale). Fokus utama dalam penanganan pasien dengan kecurigaan cedera kepala,

terutama cedera kepala berat adalah harus mencegah cedera otak sekunder.1,3

Untuk itu diperlukan penanganan yang cepat untuk mencegah terjadinya

perburukan pada pasien yang mengalami cedera kepala dan juga manajemen yang

komprehensif saat berada di pra-hospital, ruang emergensi maupun di Intensive Care

Unit (ICU).3

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cedera Kepala

a. Definisi

Menurut Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis, Cedera kepala

didefinisikan sebagai trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun

tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik,

kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.4

b. Etiologi

Trauma disebabkan oleh adanya tekanan dari luar tubuh yang dapat

disebabkan oleh beberapa situasi seperti: Kepala dibenturkan pada suatu objek,

kepala membentur suatu objek, otak mengalami pergerakan akselerasi atau deselerasi

tanpa disertai trauma eksternal yang mengenai kepala, benda asing yang menembus

otak, tekanan dari suatu situasi seperti ledakan ataupun situasi lain yang tidak dapat

didefinisikan. Penyebab tersering dari cedera kepala ialah kejadian kecelakaan lalu

lintas.5,6

c. Epidemiologi

Di Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, pada tahun 2011 terjadi

peningkatan kejadian cedera otak traumatika sebanyak 14,5% jika dibandingkan

dengan kejadian cedera otak traumatika tahun 2010. Pada tahun 2011, kejadian

4
cedera otak traumatika 2.509 kasus yang terdiri atas 1.856 (74%) cedera otak

traumatika ringan, 438(17%) cedera otak traumatika sedang, dan 215 (9%) cedera

otak traumatika berat.7

d. Derajat

Untuk menilai derajat cedera kepala secara klinis digunakan Glasgow Coma

Scale (GCS). Tercermin dari nilai GCS enam jam pertama atau sesudah resusitasi,

dibagi atas 3 kategori:8

- Cedera kepala ringan: GCS 13 – 15

- Cedera kepala sedang: GCS 9 – 12

- Cedera kepala Berat: GCS 3 – 8

Gambar 2.1 Glasgow Coma Scale (GCS)3

e. Diagnosis dan Tatalaksana Awal

5
- Alur Diagnosis Cedera kepala

Penanganan kasus cedera kepala secara umum dapat mengikuti alur sebagai berikut:8

Diagnosis klinis cedera kepala

Pemeriksaan penunjang (Schedel x-ray, CT Scan, Laboratorium)

Diagnosis morfologis (EDH/SDH/ICH, dsb)

Penanganan Operatif atau Non Operatif

- Tatalaksana awal

Secara umum, setiap pasien dengan cedera kepala ditangani dengan prinsip-

prinsip berikut:

Primary survey

Lakukan primary survey pada seluruh pasien cedera kepala, terutama pasien

dengan penurunan kesadaran, meliputi pemeriksaan dan penatalaksanaan:

A = Airway ( Jaga jalan nafas dengan perlindungan terhadap servikal spine).

Dilakukan pemeriksaan untuk menilai apakah terdapat obstruksi jalan napas

pada pasien. Inspeksi pada pasien untuk melihat apakah terdapat adanya benda asing,

identifikasi adanya fraktur pada bagian wajah (mandibular, trakea, dll). Dengarkan

apakah terdapat suara tambahan berupa stridor, gargling, atau snoring. Stridor

merupakan suara tambahan yang didapatkan pada obstruksi jalan napas akibat benda

padat (fraktur, benda asing). Sedangkan untuk gargling didapatkan saat pasien

memiliki obstruksi jalan napas berupa cairan (mukus, darah). Dan snoring

merupakan suara tambahan yang didapatkan ketika lidah pasien jatuh ke belakang

sehingga mengganggu jalan napas.9

6
Jika ada objek yang berpotensi untuk menyebabkan sumbatan jalan nafas,

dilakukan suction. Pada pasien yang masih mampu berkomunikasi secara verbal,

masalah airway dapat disingkirkan, namun pada pasien dengan cedera kepala berat

yang disertai dengan penurunan kesadaran atau GCS kurang dari 8, dapat dilakukan

patensi jalan nafas dengan melakukan pemasangan endrotrakeal tube (ETT),

intervensi awal pada pengangan airway adalah melakukan jaw thrust maneuver,

head tilt chin lift, nasopharyngeal airway (NPA), oropharyngeal airway (OPA),

laryngeal mask airway (LMA), laryngeal tube airway (LTA), multilumen

esophageal airway. Pada pasien dengan edem glottis, fraktur laring, dan perdarahan

hebat dari orofaring yang mampu menghambat jalan masuk dari udara atau pada

pasien yang tidak dapat dilakukan intubasi dengan ETT, dapat dilakukan surgical

intubation seperti cricothyroidotomy atau tracheostomy. Pada pasien dengan

hilangnya reflek muntah, dapat dipasangkan oropharyngeal airway (OPA) untuk

sementara waktu. Pada saat menangani airway pada pasien, hindari gerakan berlebih

pada vertebra servikalis, karena pada kasus cedera kepala sering kali disertai dengan

cedera vertebra servikalis, hal tersebut dapat ditangani dengan pemasangan cervical

collar.9

B = Breathing (pernafasan).

Ventilasi dapat berkaitan dengan obstruksi jalan napas. Jika tatalaksana pada

obstruksi jalan napas tidak mengalami perbaikan, penyebab lain harus segera

7
diidentifikasi dan ditatalaksana dengan segera. Dapat dilakukan inspeksi pada dada

pasien (naik dan turun), simetris atau asimetris, dengarkan suara napas dengan

menggunakan stetoskop pada kedua lapang paru pasien, hitung laju pernapasan,

irregular atau tidak, dan pemeriksaan saturasi oksigen pada pasien. Dapat juga

digunakan kapnografi pada pasien dengan pernapasan spontan dan pasien dengan

intubasi untuk menilai apakah ventilasi sudah adekuat.9

C = Circulation (nadi, tekanan darah, tanda-tanda syok dan kontrol perdarahan).

Permasalahan sirkulasi pada pasien trauma dapat disebabkan oleh beberapa

mekanisme cedera. Volume darah, cardiac output, dan pendarahan merupakan

faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam menilai sirkulasi. Yang dapat

dilakukan saat menilai sirkulasi adalah dengan menilai denyut nadi, tekanan darah,

dan perfusi kulit. Pada perfusi kulit dapat dilihat adanya perubahan warna kulit.

Tidak lupa juga untuk mengidentifikasi adanya pendarahan baik pendarahan

eksternal maupun internal. Sumber pendarahan biasanya dapat dilihat melalui

pemeriksaan fisik dan pencitraan.9

D = Disability (level kesadaran dan status neurologis lain).

Pada primary survey ini dilakukan pemeriksaan status neurologis dasar yang

disebut AVPU (Alert, Verbal stimuli response, Painful stimuli response or

unresponsive). Evaluasi neurologis yang cepat dan berulang dilakukan setelah

selesai primary survey, meliputi derajat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-

8
tanda lateralisasi dan gejala cedera spinal. GCS adalah metode yang cepat untuk

menentukan level kesadaran dan dapat memprediksi outcome pasien.3

Pemeriksaan neurologis cepat menilai derajat kesadaran, refleks pupil,

ukuran pupil, lateralisasi, dan menentukan batasan cedera tulang belakang pada

pasien. Pemeriksaan dengan Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan pemeriksaan

cepat, mudah, dan objektif untuk menilai derajat kesadaran pasien. Skor motorik

pada pemeriksaan GCS mengindikasikan outcome dari pasien. Skor GCS yang

rendah dapat mengindikasikan penurunan oksigenasi atau perfusi ke otak, atau bisa

juga disebabkan adanya trauma langsung pada otak. Jika belum bisa menyingkirkan

penyebab lainnya, selalu anggap penurunan kesadaran disebabkan adanya kerusakan

sistem saraf pusat. Cedera otak primer disebabkan oleh adanya efek kerusakan pada

struktur otak.9

E = Exposure (Seluruh tubuh pasien diekspose untuk pemeriksaan dan penanganan

menyeluruh, dengan memperhatikan faktor suhu dan lingkungan).

Selama primary survey, pasien dibuka seluruh pakaian yang menutupi

tubuhnya untuk mempermudah pemeriksaan lebih lanjut. Setelah selesai melakukan

pemeriksaan, pasien ditutupi menggunakan selimut atau penutup kain lainnya untuk

mencegah pasien jatuh pada kondisi hipotermia. Hipotermia dapat terjadi ketika

pasien telah sampai di ruang gawat darurat. Hipotermia merupakan suatu kondisi

yang sangat berbahaya, karena itu penting bagi pasien untuk dikondisikan di

lingkungan yang hangat dan mendapatkan cairan infus yang sudah dihangatkan.9

9
Sebelum melakukan
secondary survey¸ terdapat beberapa tindakan yang dapat

dilakukan untuk mendukung manajemen pasien dengan TBI. Pada hal ini mencakup

pemeriksaan EKG, pemasanagan pulse oxymetry, pemeriksaan kadar CO2,

pemantauan laju nafas pasien, analisa gas darah. Pada pasien juga perlu dilakukan

pemasangan kateter urin untuk memantau pengeluaran urin, pemasangan

nasogastric tube (NGT), pemeriksaan kadar laktat dalam darah, pemeriksaan x-ray,

FAST, eFAST, DPL.9

Secondary survey

Setelah primary survey selesai, tanda vital pasien sudah normal, maka

dimulai secondary survey, mengevaluasi head to toe (seluruh tubuh pasien), meliputi

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.9

2.2 Tatalaksana Cedera Kepala Sedang dan Berat

a. Manajemen Cedera Kepala Sedang

Sekitar 15% pasien dengan cedera otak yang terlihat di UGD memiliki cedera

sedang. Pasien-pasien ini masih dapat mengikuti perintah sederhana, tetapi mereka

biasanya bingung atau mengantuk dan bisa memiliki defisit neurologis fokal seperti

hemiparesis. Sekitar 10% hingga 20% dari pasien ini memburuk dan mengalami

koma. Untuk alasan ini, serial pemeriksaan neurologis sangat penting dalam

perawatan pasien ini. Manajemen pasien dengan cedera kepala sedang dapat dilihat

pada gambar dibawah ini.9

10
Gambar 2.2 Algoritma Manajemen Cedera Kepala Sedang. 9

11
Saat masuk ke UGD, dapatkan riwayat singkat dan memastikan stabilitas

kardiopulmoner sebelum penilaian neurologis. Lakukan CT scan kepala dan

hubungi ahli bedah saraf atau transfer ke pusat trauma jika transfer diperlukan.

Semua pasien dengan TBI sedang memerlukan observasi di unit yang mampu

melakukan observasi keperawatan dan penilaian neurologis yang sering untuk

setidaknya 12 hingga 24 jam pertama. CT scan follow up selanjutnya dalam 24

jam direkomendasikan jika hasil CT awal tidak normal atau status neurologis

pasien memburuk.9

b. Manajemen Cedera Kepala Berat

Sekitar 10% pasien dengan cedera otak yang dirawat di UGD merupakan

cedera kepala berat. Pasien tidak dapat mengikuti perintah sederhana, bahkan

setelah stabilisasi kardiopulmoner. Jangan menunda transfer pasien untuk

melakukan CT scan. Manajemen awal cedera otak berat dapat dilihat pada gambar

dibawah.9

12
Gambar 2.3 Algoritma Manajemen Cedera Kepala Berat. 9

Untuk pasien dengan cedera kepala berat harus segera dilakukan CT scan

kepala setelah stabilisasi hemodinamik. CT pemindaian juga harus diulang setiap

kali ada perubahan status klinis pasien dan secara rutin dalam 24 jam setelah

cedera untuk pasien dengan subfrontal/contusio intraparenchymal temporal,

pasien menerima terapi antikoagulasi, pasien yang lebih tua dari 65 tahun, dan

pasien yang memiliki perdarahan intrakranial dengan volume > 10 mL.

Pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih mengindikasikan kebutuhan operasi

untuk mengevakuasi gumpalan darah atau memar yang menyebabkan pergeseran.9

Gambar 2.4 Prioritas Evaluasi Awal dan Triase Pada Pasien Cedera Kepala Berat. 9

13
2.3 Perawatan Pasien Cedera Kepala

1. Monitoring Airway dan Breathing

Henti pernapasan sementara dan hipoksia sering terjadi pada pasien cedera

otak berat dan dapat menyebabkan cedera otak sekunder. Lakukan intubasi

endotrakeal dini pada pasien koma. Beri ventilasi pada pasien dengan oksigen

100% hingga didapatkan hasil analisis gas darah, dan kemudian lakukan

penyesuaian yang tepat untuk fraksi oksigen (FIO 2). Oksimetri nadi adalah

tambahan yang berguna, dan saturasi oksigen > 98% diinginkan. Atur parameter

ventilasi untuk mempertahankan PCO2 kurang lebih 35 mmHg. Batasi

hiperventilasi akut pada pasien dengan cedera otak parah untuk mereka yang

mengalami kerusakan neurologis akut atau tanda-tanda herniasi. Hiperventilasi

yang berkepanjangan dengan PCO2 < 25 mmHg tidak direkomendasikan (IIB).9

2. Monitor Sirkulasi

Pertahankan tekanan darah sistolik (SBP) pada ≥ 100 mm Hg untuk pasien

50 hingga 69 tahun atau pada ≥ 110 mm Hg atau lebih tinggi untuk pasien 15

hingga 49 tahun atau lebih tua dari 70 tahun. Ini dapat menurunkan angka

kematian dan meningkatkan hasil perbaikan (III). Sasaran terapi perawatan

termasuk klinis, laboratorium,dan parameter pemantauan dapat dilihat pada

gambar.9

14
Gambar 2.5 Sasaran Terapi Pada Pasien Cedera Kepala Berat. 9

3. Pemeriksaan Neurologis Berkala

Segera setelah status kardiopulmoner pasien dikelola, melakukan

neurologis yang cepat, dan secara fokus. Ini terutama terdiri dari penentuan skor

GCS pasien, respons cahaya pupil, dan defisit neurologis fokal. Penting untuk

mengenali masalah yang membingungkan pada evaluasi TBI, termasuk

keberadaan obat-obatan, alkohol/minuman keras lainnya, dan cedera lainnya.

Tidak mengabaikan cedera otak yang parah pada pasien yang mabuk. Keadaan

postictal setelah kejang traumatis akan biasanya memperburuk respons pasien

dalam menit atau jam. Pada pasien koma, motoric respons dapat ditimbulkan

15
dengan menjepit otot trapezius atau dengan tekanan pada supraorbital. Menguji

pergerakan mata boneka (okulocephalic)/dolls eye, tes uji kalori dengan air es

(oculovestibular), dan pengujian refleks kornea. Jangan pernah mencoba

pengujian mata boneka sampai cedera tulang belakang leher telah

dikesampingkan. Penting untuk mendapatkan skor GCS pemeriksaan pupillary

sebelum menenangkan atau mesedasi pasien, karena pengetahuan kondisi klinis

pasien penting untuk menentukan pengobatan selanjutnya. Jangan gunakan

pelemas otot dan agen penenang jangka panjang selama survei awal. Hindari

pemberian sedasi kecuali ketika keadaan gelisah pasien dan dapat menghadirkan

risiko. Gunakan agen jangka pendek yang tersedia ketika pelemas atau sedasi

singkat diperlukan untuk intubasi atau mendapatkan endotrakeal yang aman.

Ketika seorang pasien memerlukan intubasi karena masalah jalan napas, pastikan

lagi pemeriksaan neurologis sebelum memberikan obat penenang atau pelemas

otot.9

4. Penggunaan Anestesi, Anelgesi dan Obat Sedasi

Anestesi, sedasi dan anelgesik harus digunakan dengan hati-hati pada

pasien yang diduga atau dikonfirmasi cedera otak. Gunakan short-acting agent

untuk menghilangkan rasa sakit serta efek sedasinya ringan. Dosis rendah

narkotika IV dapat diberikan analgesia dan antidotumnya dengan nalokson jika

diperlukan. Short-acting IV benzodiazapines seperti midazolam dapat digunakan

untuk sedasi dan antidotum dengan flumazenil.9

16
Diprovan (Propofol) direkomendasikan untuk kontrol ICP. Diprovan dapat

menghasilkan morbiditas yang signifikan ketika digunakan dalam dosis tinggi

(IIB).9

5. Manajemen Cairan

Untuk meresusitasi pasien dan mempertahankan normovolemia, berikan

intravena cairan, darah, dan produk darah sesuai kebutuhan. Hipovolemia pada

pasien dengan TBI berbahaya. Dokter juga harus berhati-hati untuk tidak

membebani pasien pasien dengan cairan, dan hindari menggunakan cairan

hipotonik. Selain itu, penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat

menyebabkan hiperglikemia, yang dapat membahayakan otak yang terluka.

Karenanya, larutan laktat Ringer atau salin normal direkomendasikan untuk

resusitasi. Monitor dengan cermat kadar natrium serum pada pasien dengan cedera

kepala.9

6. Perawatan pada pasien yang menggunakan antikoagulan

Berhati-hatilah dalam menilai dan mengelola pasien dengan TBI yang

menerima antikoagulasi atau terapi anti-platelet. Evaluasi nilai international

normalized rasio (INR). Untuk normalisasi antikoagulasi umumnya diperlukan

menggunakan preparat yang ada pada gambar dibawah ini.9

17
Gambar 2.6 Reversal Antikoagulan Pada Pasien TBI yang mendapatkan terapi

antikoagulan.9

7. Perawatan Ventilasi

Pada kebanyakan pasien, normocarbia lebih disukai. Hiperventilasi

bertindak dengan mengurangi PaCO2 dan menyebabkan vasokonstriksi serebral.

Penggunaan hiperventilasi secara agresif dan berkepanjangan dapat menyebabkan

iskemia serebral pada otak yang sudah terluka dengan menyebabkan

vasokonstriksi otak yang parah dan dengan demikian mengganggu perfusi otak.

Risiko ini sangat tinggi jika PaCO2 di bawah 30 mmHg (4,0 kPa). Hypercarbia

(PaCO2 > 45 mmHg) akan meningkatkan vasodilatasi dan meningkatkan tekanan

intrakranial, dan karenanya harus dihindari.9

Gunakan hiperventilasi hanya dalam jumlah sedang. Secara umum, itu

lebih disukai untuk menjaga PaCO2 di sekitar 35 mmHg (4,7 kPa). Hiperventilasi

18
akan menurunkan ICP pada pasien yang memburuk dengan ekspansi hematoma

intrakranial sampai dokter dapat melakukan kraniotomi.9

8. Penggunaan Manitol

Mannitol (Osmitrol) digunakan untuk mengurangi peningkatan ICP.

Persiapan yang paling umum adalah 20% larutan (20 g manitol per 100 ml

larutan). Jangan memberikan manitol kepada pasien dengan hipotensi, karena

manitol tidak menurunkan ICP pada pasien dengan hipovolemia dan merupakan

diuretik osmotik yang kuat. Efek ini selanjutnya dapat memperburuk hipotensi

dan iskemia serebral. Kerusakan neurologis akut seperti ketika seorang pasien

dalam pengamatan menunjukkan tanda pupil melebar, hemiparesis, atau

kehilangan kesadaran adalah indikasi kuat untuk pemberian mannitol pada pasien

euvolemik. Beri pasien bolus mannitol (1 g/kg) dengan cepat (lebih dari 5 menit)

dan pindahkan segera ke pemindai CT atau langsung ke ruang operasi, jika lesi

bedah kausatif adalah teridentifikasi. Jika layanan bedah tidak tersedia, pindahkan

pasien ke perawatan definitif.9

9. Salin Hipertonik

Saline hipertonik juga digunakan untuk mengurangi peningkatan ICP,

dalam konsentrasi 3% hingga 23,4%; ini mungkin agen yang lebih disukai untuk

pasien dengan hipotensi, karena tidak bertindak sebagai diuretik.9

10. Penggunaan Barbiturat

Barbiturat efektif dalam mengurangi refrakter ICP untuk langkah-langkah

lain, meskipun mereka seharusnya tidak digunakan pada keadaan hipotensi atau

19
hipovolemia. Selain itu, barbiturat sering menyebabkan hipotensi, sehingga

mereka tidak diindikasikan dalam tahap resusitasi akut.9

11. Perawatan Kejang

Epilepsi post-traumatic terjadi pada sekitar 5% pasien dirawat di rumah

sakit dengan cedera kepala tertutup dan 15% individu dengan cedera kepala berat.

Kejang akut dapat dikontrol dengan antikonvulsan, tetapi penggunaan

antikonvulsan awal tidak tidak mengubah hasil kejang traumatis jangka panjang.

Antikonvulsan dapat menghambat pemulihan otak, jadi mereka harus digunakan

hanya ketika benar-benar diperlukan. Saat ini, fenitoin (Dilantin) dan

fosphenytoin (Cerebyx) umumnya digunakan pada fase akut. Untuk dewasa, dosis

pemuatan yang biasa adalah 1 g fenitoin intravena diberikan tidak lebih cepat dari

50 mg/menit. Dosis pemeliharaan yang biasa adalah 100 mg/8 jam, dengan dosis

yang dititrasi untuk mencapai level dosis terapi. Valium (Diazepam) atau ativan

(Lorazepam) sering digunakan selain fenitoin sampai kejang berhenti. Kontrol

kejang terus menerus mungkin memerlukan anestesi umum. Sangat penting untuk

mengontrol kejang akut sesegera mungkin, karena kejang berkepanjangan (30

hingga 60 menit) dapat menyebabkan kerusakan otak sekunder.9

12. Manajemen Pembedahan

Manajemen bedah mungkin diperlukan untuk kulit kepala luka, fraktur

tengkorak depresi, lesi massa intrakranial, dan cedera otak tembus.

A. Luka Kulit Kepala

Penting untuk membersihkan dan memeriksa luka teliti sebelum

menjahit. Penyebab paling umum luka kulit kepala yang infeksi adalah

20
tidak cukupnya pembersihan dan debridement. Kehilangan darah akibat

luka kulit kepala mungkin luas, terutama pada anak-anak dan orang tua.

Kontrol perdarahan kulit kepala dengan menerapkan tekanan langsung dan

membakar atau ligase pembuluh darah besar. Kemudian jahit, klip, atau

staples. Periksa luka dengan hati-hati, gunakan penglihatan langsung untuk

tanda-tanda fraktur tengkorak atau benda asing. Kebocoran CSF

menunjukkan bahwa ada robekan duramater. Konsultasikan dengan ahli

bedah saraf dalam semua kasus fraktur tengkorak terbuka atau tertekan.10

B. Fraktur tengkorak depresi

Umumnya tengkorak yang mengalami depresi fraktur

membutuhkan elevasi operatif saat derajat depresi lebih besar dari

ketebalan tengkorak yang berdekatan, atau ketika mereka terbuka dan kotor

terkontaminasi. Fraktur depresi yang kurang ringan dikelola dengan

penutupan kulit kepala di atas laserasi, jika ada.10

C. Lesi Masa Intrakranial

Lesi massa intrakranial harus dikelola oleh ahli bedah saraf. Jika

ahli bedah saraf tidak tersedia di fasilitas yang awalnya menerima pasien

dengan lesi massa intrakranial, pemindahan dini ke rumah sakit dengan

kemampuan bedah saraf sangat penting. Di keadaan yang tidak terduga,

hematoma intrakranial dapat mengancam hidup dalam waktu dekat

sehingga keadaan darurat kraniotomi pada pasien yang memburuk dengan

cepat oleh non-neurosurgeon harus dipertimbangkan. Prosedur ini hanya

dibenarkan ketika perawatan bedah saraf definitif tidak tersedia.10

21
BAB III

PENUTUP

Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat

menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Trauma atau cedera

merupakan penyebab terbanyak kematian pada usia di bawah 45 tahun dengan

lebih dari 50% diantaranya merupakan trauma kepala. Untuk itu diperlukan

penanganan yang cepat untuk mencegah terjadinya perburukan pada pasien yang

mengalami cedera kepala dan juga manajemen yang komprehensif saat berada di

pra-hospital, ruang emergensi maupun di Intensive Care Unit (ICU). Penggunaan

terapi-terapi agresif termasuk pengawasan tekanan intrakranial telah menurunkan

morbiditas dan mortalitas yang masih sangat tinggi.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Atmadja A. Indikasi Pembedahan Pada Trauma Kapitis. 2016;43(1);29-236.

2. Hasil Utama RISKESDAS 2018. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

3. Iskandar. Diagnosis dan Penanganan Cedera Kepala. Division of


Neurosurgery Departement of surgery DR Zainoel Abidin. 2017. 93-103.

4. Sitohang T. Gambaran Angka Kematian Pada Pentderita Traumatic


Intracranial Haemorrhage Pasca Operasi di RSUD dr. Pirngadi. 2018.

5. Liew BS, Zainab K, Cecilia A, Zarina Y, Clemen T. Early management of


head injury in adults in primary care. Malays Fam Physician. 2017;12(1);22-
25.

6. Tumul C, Stephen K, Yaseem A, Hari H. Pre-hospital and initial management


of head injury patients: 2014. Vol 8 Issue 1.

7. Arifin M. Head Injury Management. Departemen Bedah Saraf Fakultas


Kedokteran Universitas Padjadjaran. 2015.

8. Greenberg M. Handbook of Neurosurgery Eight Edition. Thieme. Florida.


2016.

9. ATLS (Advanced Trauma Life Support). Student course manual. Chicago.


American College of Surgeons. 2018.

10. Kirollos, R.W., Helmy A., & Thomson, S. Oxford textbook of neurological
surgery. Oxford: Oxford University Press. 2019.

23

Anda mungkin juga menyukai