Oleh:
M Naufal Firdaus
1830912310125
Pembimbing:
BANJARMASIN
2020
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 3
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 23
2
BAB I
PENDAHULUAN
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks berupa defisit kognitif
psikis, intelektual dan lain-lain yang dapat bersifat sementara ataupun menetap.
Trauma atau cedera merupakan penyebab terbanyak kematian pada usia di bawah 45
di Indonesia sebesar 11,9% dari seluruh kasus cedera. Proporsi cedera kepala
17,9%, dan terendah oleh Banjarmasin sebesar 8,6% dengan rata rata cedera kepala
Scale). Fokus utama dalam penanganan pasien dengan kecurigaan cedera kepala,
terutama cedera kepala berat adalah harus mencegah cedera otak sekunder.1,3
perburukan pada pasien yang mengalami cedera kepala dan juga manajemen yang
Unit (ICU).3
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Definisi
didefinisikan sebagai trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun
tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik,
b. Etiologi
Trauma disebabkan oleh adanya tekanan dari luar tubuh yang dapat
disebabkan oleh beberapa situasi seperti: Kepala dibenturkan pada suatu objek,
kepala membentur suatu objek, otak mengalami pergerakan akselerasi atau deselerasi
tanpa disertai trauma eksternal yang mengenai kepala, benda asing yang menembus
otak, tekanan dari suatu situasi seperti ledakan ataupun situasi lain yang tidak dapat
didefinisikan. Penyebab tersering dari cedera kepala ialah kejadian kecelakaan lalu
lintas.5,6
c. Epidemiologi
Di Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, pada tahun 2011 terjadi
dengan kejadian cedera otak traumatika tahun 2010. Pada tahun 2011, kejadian
4
cedera otak traumatika 2.509 kasus yang terdiri atas 1.856 (74%) cedera otak
traumatika ringan, 438(17%) cedera otak traumatika sedang, dan 215 (9%) cedera
d. Derajat
Untuk menilai derajat cedera kepala secara klinis digunakan Glasgow Coma
Scale (GCS). Tercermin dari nilai GCS enam jam pertama atau sesudah resusitasi,
5
- Alur Diagnosis Cedera kepala
Penanganan kasus cedera kepala secara umum dapat mengikuti alur sebagai berikut:8
- Tatalaksana awal
Secara umum, setiap pasien dengan cedera kepala ditangani dengan prinsip-
prinsip berikut:
Primary survey
Lakukan primary survey pada seluruh pasien cedera kepala, terutama pasien
pada pasien. Inspeksi pada pasien untuk melihat apakah terdapat adanya benda asing,
identifikasi adanya fraktur pada bagian wajah (mandibular, trakea, dll). Dengarkan
apakah terdapat suara tambahan berupa stridor, gargling, atau snoring. Stridor
merupakan suara tambahan yang didapatkan pada obstruksi jalan napas akibat benda
padat (fraktur, benda asing). Sedangkan untuk gargling didapatkan saat pasien
memiliki obstruksi jalan napas berupa cairan (mukus, darah). Dan snoring
merupakan suara tambahan yang didapatkan ketika lidah pasien jatuh ke belakang
6
Jika ada objek yang berpotensi untuk menyebabkan sumbatan jalan nafas,
dilakukan suction. Pada pasien yang masih mampu berkomunikasi secara verbal,
masalah airway dapat disingkirkan, namun pada pasien dengan cedera kepala berat
yang disertai dengan penurunan kesadaran atau GCS kurang dari 8, dapat dilakukan
intervensi awal pada pengangan airway adalah melakukan jaw thrust maneuver,
head tilt chin lift, nasopharyngeal airway (NPA), oropharyngeal airway (OPA),
esophageal airway. Pada pasien dengan edem glottis, fraktur laring, dan perdarahan
hebat dari orofaring yang mampu menghambat jalan masuk dari udara atau pada
pasien yang tidak dapat dilakukan intubasi dengan ETT, dapat dilakukan surgical
sementara waktu. Pada saat menangani airway pada pasien, hindari gerakan berlebih
pada vertebra servikalis, karena pada kasus cedera kepala sering kali disertai dengan
cedera vertebra servikalis, hal tersebut dapat ditangani dengan pemasangan cervical
collar.9
B = Breathing (pernafasan).
Ventilasi dapat berkaitan dengan obstruksi jalan napas. Jika tatalaksana pada
obstruksi jalan napas tidak mengalami perbaikan, penyebab lain harus segera
7
diidentifikasi dan ditatalaksana dengan segera. Dapat dilakukan inspeksi pada dada
pasien (naik dan turun), simetris atau asimetris, dengarkan suara napas dengan
menggunakan stetoskop pada kedua lapang paru pasien, hitung laju pernapasan,
irregular atau tidak, dan pemeriksaan saturasi oksigen pada pasien. Dapat juga
digunakan kapnografi pada pasien dengan pernapasan spontan dan pasien dengan
faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam menilai sirkulasi. Yang dapat
dilakukan saat menilai sirkulasi adalah dengan menilai denyut nadi, tekanan darah,
dan perfusi kulit. Pada perfusi kulit dapat dilihat adanya perubahan warna kulit.
Pada primary survey ini dilakukan pemeriksaan status neurologis dasar yang
selesai primary survey, meliputi derajat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-
8
tanda lateralisasi dan gejala cedera spinal. GCS adalah metode yang cepat untuk
ukuran pupil, lateralisasi, dan menentukan batasan cedera tulang belakang pada
cepat, mudah, dan objektif untuk menilai derajat kesadaran pasien. Skor motorik
pada pemeriksaan GCS mengindikasikan outcome dari pasien. Skor GCS yang
rendah dapat mengindikasikan penurunan oksigenasi atau perfusi ke otak, atau bisa
juga disebabkan adanya trauma langsung pada otak. Jika belum bisa menyingkirkan
sistem saraf pusat. Cedera otak primer disebabkan oleh adanya efek kerusakan pada
struktur otak.9
pemeriksaan, pasien ditutupi menggunakan selimut atau penutup kain lainnya untuk
mencegah pasien jatuh pada kondisi hipotermia. Hipotermia dapat terjadi ketika
pasien telah sampai di ruang gawat darurat. Hipotermia merupakan suatu kondisi
yang sangat berbahaya, karena itu penting bagi pasien untuk dikondisikan di
lingkungan yang hangat dan mendapatkan cairan infus yang sudah dihangatkan.9
9
Sebelum melakukan
secondary survey¸ terdapat beberapa tindakan yang dapat
dilakukan untuk mendukung manajemen pasien dengan TBI. Pada hal ini mencakup
pemantauan laju nafas pasien, analisa gas darah. Pada pasien juga perlu dilakukan
nasogastric tube (NGT), pemeriksaan kadar laktat dalam darah, pemeriksaan x-ray,
Secondary survey
Setelah primary survey selesai, tanda vital pasien sudah normal, maka
dimulai secondary survey, mengevaluasi head to toe (seluruh tubuh pasien), meliputi
Sekitar 15% pasien dengan cedera otak yang terlihat di UGD memiliki cedera
sedang. Pasien-pasien ini masih dapat mengikuti perintah sederhana, tetapi mereka
biasanya bingung atau mengantuk dan bisa memiliki defisit neurologis fokal seperti
hemiparesis. Sekitar 10% hingga 20% dari pasien ini memburuk dan mengalami
koma. Untuk alasan ini, serial pemeriksaan neurologis sangat penting dalam
perawatan pasien ini. Manajemen pasien dengan cedera kepala sedang dapat dilihat
10
Gambar 2.2 Algoritma Manajemen Cedera Kepala Sedang. 9
11
Saat masuk ke UGD, dapatkan riwayat singkat dan memastikan stabilitas
hubungi ahli bedah saraf atau transfer ke pusat trauma jika transfer diperlukan.
Semua pasien dengan TBI sedang memerlukan observasi di unit yang mampu
jam direkomendasikan jika hasil CT awal tidak normal atau status neurologis
pasien memburuk.9
Sekitar 10% pasien dengan cedera otak yang dirawat di UGD merupakan
cedera kepala berat. Pasien tidak dapat mengikuti perintah sederhana, bahkan
melakukan CT scan. Manajemen awal cedera otak berat dapat dilihat pada gambar
dibawah.9
12
Gambar 2.3 Algoritma Manajemen Cedera Kepala Berat. 9
Untuk pasien dengan cedera kepala berat harus segera dilakukan CT scan
kali ada perubahan status klinis pasien dan secara rutin dalam 24 jam setelah
pasien menerima terapi antikoagulasi, pasien yang lebih tua dari 65 tahun, dan
Gambar 2.4 Prioritas Evaluasi Awal dan Triase Pada Pasien Cedera Kepala Berat. 9
13
2.3 Perawatan Pasien Cedera Kepala
Henti pernapasan sementara dan hipoksia sering terjadi pada pasien cedera
otak berat dan dapat menyebabkan cedera otak sekunder. Lakukan intubasi
endotrakeal dini pada pasien koma. Beri ventilasi pada pasien dengan oksigen
100% hingga didapatkan hasil analisis gas darah, dan kemudian lakukan
penyesuaian yang tepat untuk fraksi oksigen (FIO 2). Oksimetri nadi adalah
tambahan yang berguna, dan saturasi oksigen > 98% diinginkan. Atur parameter
hiperventilasi akut pada pasien dengan cedera otak parah untuk mereka yang
2. Monitor Sirkulasi
50 hingga 69 tahun atau pada ≥ 110 mm Hg atau lebih tinggi untuk pasien 15
hingga 49 tahun atau lebih tua dari 70 tahun. Ini dapat menurunkan angka
gambar.9
14
Gambar 2.5 Sasaran Terapi Pada Pasien Cedera Kepala Berat. 9
neurologis yang cepat, dan secara fokus. Ini terutama terdiri dari penentuan skor
GCS pasien, respons cahaya pupil, dan defisit neurologis fokal. Penting untuk
Tidak mengabaikan cedera otak yang parah pada pasien yang mabuk. Keadaan
dalam menit atau jam. Pada pasien koma, motoric respons dapat ditimbulkan
15
dengan menjepit otot trapezius atau dengan tekanan pada supraorbital. Menguji
pergerakan mata boneka (okulocephalic)/dolls eye, tes uji kalori dengan air es
pelemas otot dan agen penenang jangka panjang selama survei awal. Hindari
pemberian sedasi kecuali ketika keadaan gelisah pasien dan dapat menghadirkan
risiko. Gunakan agen jangka pendek yang tersedia ketika pelemas atau sedasi
Ketika seorang pasien memerlukan intubasi karena masalah jalan napas, pastikan
otot.9
pasien yang diduga atau dikonfirmasi cedera otak. Gunakan short-acting agent
untuk menghilangkan rasa sakit serta efek sedasinya ringan. Dosis rendah
16
Diprovan (Propofol) direkomendasikan untuk kontrol ICP. Diprovan dapat
(IIB).9
5. Manajemen Cairan
intravena cairan, darah, dan produk darah sesuai kebutuhan. Hipovolemia pada
pasien dengan TBI berbahaya. Dokter juga harus berhati-hati untuk tidak
resusitasi. Monitor dengan cermat kadar natrium serum pada pasien dengan cedera
kepala.9
17
Gambar 2.6 Reversal Antikoagulan Pada Pasien TBI yang mendapatkan terapi
antikoagulan.9
7. Perawatan Ventilasi
vasokonstriksi otak yang parah dan dengan demikian mengganggu perfusi otak.
Risiko ini sangat tinggi jika PaCO2 di bawah 30 mmHg (4,0 kPa). Hypercarbia
lebih disukai untuk menjaga PaCO2 di sekitar 35 mmHg (4,7 kPa). Hiperventilasi
18
akan menurunkan ICP pada pasien yang memburuk dengan ekspansi hematoma
8. Penggunaan Manitol
Persiapan yang paling umum adalah 20% larutan (20 g manitol per 100 ml
manitol tidak menurunkan ICP pada pasien dengan hipovolemia dan merupakan
diuretik osmotik yang kuat. Efek ini selanjutnya dapat memperburuk hipotensi
dan iskemia serebral. Kerusakan neurologis akut seperti ketika seorang pasien
kehilangan kesadaran adalah indikasi kuat untuk pemberian mannitol pada pasien
euvolemik. Beri pasien bolus mannitol (1 g/kg) dengan cepat (lebih dari 5 menit)
dan pindahkan segera ke pemindai CT atau langsung ke ruang operasi, jika lesi
bedah kausatif adalah teridentifikasi. Jika layanan bedah tidak tersedia, pindahkan
9. Salin Hipertonik
dalam konsentrasi 3% hingga 23,4%; ini mungkin agen yang lebih disukai untuk
lain, meskipun mereka seharusnya tidak digunakan pada keadaan hipotensi atau
19
hipovolemia. Selain itu, barbiturat sering menyebabkan hipotensi, sehingga
sakit dengan cedera kepala tertutup dan 15% individu dengan cedera kepala berat.
antikonvulsan awal tidak tidak mengubah hasil kejang traumatis jangka panjang.
fosphenytoin (Cerebyx) umumnya digunakan pada fase akut. Untuk dewasa, dosis
pemuatan yang biasa adalah 1 g fenitoin intravena diberikan tidak lebih cepat dari
50 mg/menit. Dosis pemeliharaan yang biasa adalah 100 mg/8 jam, dengan dosis
yang dititrasi untuk mencapai level dosis terapi. Valium (Diazepam) atau ativan
kejang terus menerus mungkin memerlukan anestesi umum. Sangat penting untuk
menjahit. Penyebab paling umum luka kulit kepala yang infeksi adalah
20
tidak cukupnya pembersihan dan debridement. Kehilangan darah akibat
luka kulit kepala mungkin luas, terutama pada anak-anak dan orang tua.
membakar atau ligase pembuluh darah besar. Kemudian jahit, klip, atau
bedah saraf dalam semua kasus fraktur tengkorak terbuka atau tertekan.10
ketebalan tengkorak yang berdekatan, atau ketika mereka terbuka dan kotor
Lesi massa intrakranial harus dikelola oleh ahli bedah saraf. Jika
ahli bedah saraf tidak tersedia di fasilitas yang awalnya menerima pasien
21
BAB III
PENUTUP
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Trauma atau cedera
lebih dari 50% diantaranya merupakan trauma kepala. Untuk itu diperlukan
penanganan yang cepat untuk mencegah terjadinya perburukan pada pasien yang
mengalami cedera kepala dan juga manajemen yang komprehensif saat berada di
22
DAFTAR PUSTAKA
10. Kirollos, R.W., Helmy A., & Thomson, S. Oxford textbook of neurological
surgery. Oxford: Oxford University Press. 2019.
23