Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Dasar Medis
2.1.1 Pengertian
          Head injury adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai/tanpa perdarahan intestinal
dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas dari otak (Nugroho, 2011).
         Head injury adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau
otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi
dan Yuliani, 2001).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2001), cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Cedera kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul
maupun trauma tajam. Defisit neorologis terjadi karena robekannya subtansia alba, iskemia, dan
pengaruh massa karena hemorogik, serta edema serebral disekitar jaringan otak (Batticaca, 2008).
Berdasarkan defenisi cedera kepala diatas maka penulis dapat menarik suatu kesimpulan
bahwa cedera kepala adalah suatu cedera yang disebabkan oleh trauma benda tajam maupun
benda tumpul yang menimbulkan perlukaan pada kulit, tengkorak, dan jaringan otak yang disertai
atau tanpa pendarahan.

2.1.2 Klasifikasi
       Cedera kepala dapat dilasifikasikan sebagai berikut :
1.  Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul : adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor,
kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun cedera akibat
kekerasaan (pukulan).
b. Trauma Tembus : adalah trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-
benda tajam/runcing.
2.  Berdasarkan Beratnya Cidera
       The Traumatic Coma Data Bank mengklasifisikan berdasarkan Glasgow Coma Scale
( Mansjoer, dkk, 2000) :
a. Cedera Kepala Ringan/Minor (Kelompok Risiko Rendah) yaitu, GCS 14-15, pasien sadar
dan berorientasi, kehilangan kesadaran atau amnesia < dari 30 menit, tidak ada intoksikasi
alkohol atau obat terlarang, klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, tidak terdapat
fraktur tengkorak, kontusio, hematom , tidak ada kriteria cedera sedang sampai berat.
b. Cedera Kepala Sedang (Kelompok Risiko Sedang) yaitu GCS 9-13 (konfusi, letargi dan
stupor), pasien tampak kebingungan, mengantuk, namun masih bisa mengikuti perintah
sederhana, hilang kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam, konkusi, amnesia
paska trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal).
c. Cedera Kepala Berat (Kelompok Risiko Berat) yaitu GCS 3-8 (koma), penurunan derajat
kesadaran secara progresif, kehilangan kesadaran atau amnesia > 24 jam, tanda neurologis
fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium.

2.1.3 Etiologi
          Penyebab cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh, cedera olah
raga, kecelakaan kerja, cedera kepala terbuka sering disebabkan oleh pisau atau peluru (Corwin,
2000).

2.1.4 Patofisiologi
          Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada
parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak
seperti  penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler.
          Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala primer dan
cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi
secara langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi dampak kerusakan jaringan otat. Pada
cedera kepala sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia,
iskemia dan perdarahan.
          Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural hematoma,
berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter, subdura hematoma akibat
berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan subaraknoid dan intra cerebral,
hematoma adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian pada penderita
cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi
menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak (Tarwoto, 2007).

2.1.5 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya cedera kepala, yaitu:
1. Perubahan kesadaran adalah merupakan indikator yang paling sensitive yang dapat dilihat
dengan penggunaan GCS ( Glascow Coma Scale).
2. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti: nyeri kepala karena regangan dura
dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus
optikus;  muntah seringkali proyektil.

2.1.6 Komplikasi
1. Perdarahan intra cranial
2. Kejang
3. Parese saraf cranial
4. Meningitis atau abses otak
5. Infeksi
6. Edema cerebri
7. Kebocoran cairan serobospinal
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak
3. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak maupun thorak.
6. CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
7. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Kadar Elektrolit:Untuk mengkoreksi  keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial (Musliha, 2010).

2.1.8 Penatalaksanaan
                Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya cedera otak
sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotensi atau hipoksia
atau oleh karena kompresi jaringan otak (Tunner, 2000). Pengatasan nyeri yang adekuat juga
direkomendasikan pada pendertia cedera kepala (Turner, 2000).
      Penatalaksanaan umum adalah:
1. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi
2. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma
3. Berikan oksigenasi
4. Awasi tekanan darah
5. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik
6. Atasi shock
7. Awasi kemungkinan munculnya kejang.
Penatalaksanaan lainnya:
1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan
berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetika
4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40 %
atau gliserol 10 %.
5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
6. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat diberikan
apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan
terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak.
Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5%
untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam
ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui NGT
(2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea.
Tindakan terhadap peningktatan TIK yaitu:
1. Pemantauan TIK dengan ketat
2. Oksigenisasi adekuat
3. Pemberian manitol
4. Penggunaan steroid
5. Peningkatan kepala tempat tidur
6. Bedah neuro.
Tindakan pendukung lain yaitu:
1. Dukungan ventilasi
2. Pencegahan kejang
3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi
4. Terapi anti konvulsan
5. Klorpromazin untuk menenangkan klien
6. Pemasangan selang nasogastrik (Mansjoer, dkk, 2000).

2.2. Konsep Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
1. Pre Operasi
a. Pola Presepsi Kesehatan
Pasien yang mengalami head injury biasanya memiliki riwayat trauma, sering
merasakan sakit kepala dan kaku leher. Menurut Engram.B,(1999), riwayat kesehatan
yang perlu dilakukan adalah pengkajian neurologis cepat amati kepala dan belakang
kepala bila terjadi luka atau edema. Periksa hidung dan telinga kalau memungkinkan
ada darah atau cairan bening yang keluar. Bila ada gunakan kertas deabetik untuk
memeriksa ada tidaknya cairan serebrospinal (CSS). Bila tes glukosa positif
menunjukkan adanya CSS, bila pasien sadar dan orientasinya penuh, kaji respon klien
terhadap kondisi dan pemahamannya tentang kondisi serta rencana penanganan.
b. Pola Nutrisi Metabolik
Pasien yang mengalami head injury sering mengeluh mual, muntah, anoreksia,
gangguan menelan, kehilangan penyerapan dan hipertermi.
c. Pola Eliminasi
Pasien sering mengeluh perubahan pada pola berkemih dan buang air besar
(inkontinensia), apabila dilakukan pemeriksaan bising usus maka biasanya hasilnya
negative dan mengalami gangguan BAB (obstipasi).
d. Pola aktivitas dan latihan
Pasien yang mengalami head injury akan mengalami kelemahan fisik dan
gangguan tonus otot dimana mengalami kelemahan otot. Pasien akan sulit mengalami
pergerakan dan aktivitas dibantu oleh perawat dan keluarga. Selain itu pasien akan
mengalami gangguan penurunan kesadaran. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia
seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, bingung, baal pada
ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya yang diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia, gangguan pengecapan dan penciuman.
Kesemutan. Tanda-tandanya Perubahan kesadaran bisa sampai koma, Perubahan status
mental orientasi kewaspadaan, perhatian, konsentrasi pemecahan masalah, perubahan
pupil (respons terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata, ketidakmampuan
mengikuti kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran,
wajah tidak simetris, gangguan lemah tidak seimbang, refleks tendon dalam tidak ada
atau lemah, apraksia, hemiparese quadreplegia, postur (dekortikasi desebrasi), kejang,
sangat sensitive terhadap sentuhan dan gerakan kehilangan sensasi sebagai posisi
tubuh, perubahan orientasi, efek perilaku. Penurunan refleks tendon dalam pada cedera
extremitas.
e. Pola Istirahat dan Tidur
Pada pasien head injury akan mengalami gangguan pola tidur dan istirahat.
Dimana pasien akan sulit tidur dan sering terbangun pada malam hari karena
mengalami nyeri.
f. Pola persepsi sensori dan kognitif
Pasien mengalami perubahan pola persepsi sensori dan kognitif dimana pasien
akan mengalami perubahan status mental (orientasi, perhatian , emosi, tingkah laku,
memori), gangguan penglihatan, kehilangan reflex tendon, kelemahan, hilangnya
rangsangan sensorik, gangguan rasa pengecapan dan penciuman, penurunan kesadaran
sampai dengan koma, penurunan memori, pemecahan masalah dan kehilangan
kemampuan masuknya rangsangan visual.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Pasien merasa tidak berdaya dan putus asa dengan penyakitnya, kesulitan untuk
mengekspresikan kesulitan dan emosi labil. Persiapan psikologis pasien sangat
dibutuhkan untuk membantu pasien mempersiapkan diri dalam menghadapi operasi.
Maka peran perawat, keluarga dan dokter sangat diperlukan untuk memberi penguatan
kepada pasien.
h. Pola Coping Toleransi Stress
Pada pasien preoperasi dapat mengalami berbagai ketakutan . Takut terhadap
anestesi, takut terhadap nyeri atau kematian, takut tentang ketidaktahuan atau takut
tentang derformitas atau ancaman lain terhadap citra tubuh dapat menyebabkan
ketidaktenangan atau ansietas (Smeltzer and Bare, 2002).
i. Pola peran hubungan dengan sesama
Pasien akan mengalami gangguan kehilangan kemampuan dalam berkomunikasi
secara verbal / bicara pelo sehingga sulit berkomunikasi dengan sesamanya.
i. Pola reproduksi seksualitas
Pasien yang mengalami head injury tidak dapat melakukan hubungan seksual dan
mengalami penyimpangan seksualitas.
j. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress
Pasien mengalami perasaan tidak berdaya, putus asa, emosi labil, dan mudah
tersinggung
k. Pola sistem kepercayaan
Pasien tidak dapat menjalankan sistem kepercayaannya seperti biasanya (kegiatan
ibadah terganggu).
2. Post Operasi
a. Pola persepsi kesehatan
Kaji pasien terhadap pandangannya tentang penyakit yang dideritanya dan
pentingnya kesehatan bagi pasien. Bagaimana pandangan klien tentang penyakitnya
setelah pembedahan? Apakah klien merasa lebih baik setelah pembedahan?
b. Pola nutrisi metabolik
Untuk mempercepat proses penyembuhan dan pemulihan kondisi pasien setelah
operasi, maka klien perlu dianjurkan:
1) Makan makanan bergizi
2) Konsumsi makanan (lauk pauk) berprotein tinggi, seperti : daging, telur, ayam,
ikan.
3) Minum sedikitnya 8-10 gelas sehari
Namun pasien tidak mau makan telur atau ikan karena takut lukanya gatal dan
lama sembuh. Maka perawat perlu memberitahukan kepada klien tentang pentingnya
konsumsi protein seperti telur dan ikan untuk penyembuhan luka pasca operasi.
c. Pola eliminasi
Control eliminasi urin klien pasca operasi, baik warna, bau, frekuensi. Lihat
apakah klien kesulitan dalam BAB maupun BAK. Perawat juga harus memperhatikan
pemakaian drain redonm. Drain redonm harus tetap vakum dan diukur jumlah cairan
yang tertampung dalam botol drain tiap pagi, bila drain buntu, misalnya terjadi
bekuan darah, bilain drain dengan PZ 5-10 cc supaya tetap lancar. Pada mastektomi
radikal atau radikal modifikasi, drain umumnya dicabut setelah jumlah cairan dalam
24 jam tidak melebihi 20-30 cc, pada eksisi tumor mamma tidak melebihi 5 cc.
d. Pola aktivas latihan
Pada pasien pasca mastektomi perlu adanya latihan-latihan untuk mencegah
atropi otot-otot kekakuan dan kontraktur sendi bahu, untuk mencegah kelainan bentuk
(diformity) lainnya, maka latihan harus seimbang dengan menggunakan secara
bersamaan.
e. Pola istirahat tidur
Kaji perubahan pola tidur klien selama sehat dan sakit, berapa lama klien tidur
dalam sehari? Biasanya pasien mengalami gangguan tidur karena nyeri pasca operasi.
f. Pola kognitif persepsi
Kaji tingkat kesadaran klien, Kaji apakah ada komplikasi pada kognitif,
sensorik, maupun motorik setelah pembedahan.
g. Pola persepsi diri dan konsep diri
Payudara merupakan alat vital seseorang ibu dan wanita, kelainan atau
kehilangan akibat operasi payudara sangat terasa oleh klien. Klien akan merasa
kehilangan haknya sebagai wanita normal, ada rasa kehilangan tentang hubungannya
dengan ssuami, dan hilangnya daya tarik serta serta pengaruh terhadap anak dari segi
menyusui.
h. Pola peran hubungan
Klien merasa malu dalam berhubungan dengan orang lain karena kondisinya
saat ini. Kaji tingkat kekhawatiran klien.
i. Pola reproduksi dan seksualitas
Setelah operasi, akan adanya gangguan pada seksualitas pasien. Hal ini dapat
terjadi karena klien merasa rendah diri ketika berhubungan dengan suaminya karena
kondisinya saat ini.
j. Pola koping dan toleransi stress
Kaji apa yang biasa dilakukan klien saat ada masalah? Apakah klien
menggunakan obat-obatan untuk menghilangkan stres? Diperlukan dukungan
keluarga dan orang sekitar termasuk perawat untuk menghilangkan kecemasan dan
rasa rendah diri klien terhadap keadaan dirinya.
k. Pola nilai dan kepercayaan
Kaji bagaimana pengaruh agama terhadap klien menghadapi penyakitnya?
Apakah ada pantangan agama dalam proses penyembuhan klien? Diperlukan
pendekatan agama supaya klien dapat menerima kondisinya dengan lapang dada
- Pemeriksaan Diagnostik
1. pemeriksaan sinar X tulang tengkorak
2. pemeriksaan sinar X servikal
3. CT Scan
4. MRI (Magnetic Reaconance Imaging)
5. Punksi lumbal, pengambilan contoh CSS
6. Pneumoensefalogram
7. Sistogram
8. GDA (Gas Darah Arteri)
9. EEG (Elektro Ensefalo Grafi)
10. EKG (Elektro Kardio Grafi)
Menurut Doenges, (1999) pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam menegakkan media
adalah :
1. CT Scan
2. MRI (Magnetic Reaconance Imaging)
3. Angiografi
4. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
5. PET (Posttarn Emission Tomography)
- Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan peningkatan TIK
2. Nyeri kronik berhubungan dengan agen cedera biologis (00133)
3. Anxietas berhubungan dengan ancaman pada status kesehatan (00146)
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik, penurunan kesadaran
5. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive terhadap tindakan pembedahan
(00004)
- Intervensi Keperawatan
NO DIAGNOSA NOC NIC
1 Ketidakefektifan perfusi Setelah dilakukan asuhan Monitoring tekanan intrakranium:
jaringan cerebral keperawatan 3x24 jam klien 1. Kaji, observasi, evaluasi tanda-tanda
berhubungan dengan menunjukan status sirkulasi dan penurunan perfusi serebral:
peningkatan TIK tissue perfusion cerebral membaik gangguan mental, pingsan, reaksi
dengan K/H: pupil, penglihatan kabur, nyeri
1. TD dalam rentang normal (120/80 kepala, gerakan bola mata.
mmHg) 2. Hindari tindakan valsava manufer
2. Tidak ada tanda peningkatan TIK (suction lama, mengedan, batuk terus
3. Klien mampu bicara dengan jelas, menerus).
menunjukkan konsentrasi, 3. Berikan oksigen sesuai instruksi
perhatian dan orientasi baik dokter
4. Fungsi sensori motorik cranial utuh4. Lakukan tindakan bedrest total
: kesadaran membaik (GCS 15, 5. Posisikan pasien kepala lebih tinggi
tidak ada gerakan involunter) dari badan (30-40 derajat)
6. Minimalkan stimulasi dari luar.
7. Monitor Vital Sign serta tingkat
kesadaran
8. Monitor tanda-tanda TIK
9. Batasi gerakan leher dan kepala
10. Kolaborasi pemberian obat-obatan
untuk meningkatkan volume
intravaskuler sesuai perintah dokter.
2 Nyeri kronik berhubungan Setelah dilakukan Asuhan Manajemen nyeri :
dengan agen cedera keperawatan 3x24 Jam tingkat 1. Kaji nyeri secara komprehensif
biologis kenyamanan klien meningkat, nyeri (lokasi, karakteristik, durasi,
terkontrol  dg K/H: frekuensi, kualitas dan faktor
1. Klien melaporkan nyeri berkurang presipitasi).
dg scala nyeri 2-3 2. Observasi  reaksi nonverbal dari
2. Ekspresi wajah tenang ketidaknyamanan.
3. Klien dapat istirahat dan tidur 3. Gunakan teknik komunikasi
terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri klien sebelumnya.
4. Kontrol faktor lingkungan yang
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan.
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
6. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologis/non farmakologis).
7. Ajarkan teknik non farmakologis
(relaksasi, distraksi dll) untuk
mengatasi nyeri.
8. Kolaborasi untuk pemberian
analgetik
9. Evaluasi tindakan pengurang
nyeri/kontrol nyeri
3 Ancietas berhubungan - Kontrol kecemasan 1. Identifikasi tingkat kecemasan
dengan ancaman pada - Koping 2. Gunakan pendekatan yang
status kesehatan Setelah dilakukan tindakan menyenagkan
keperawatan 3x24 jam kecemasan 3. Instruksiksn pada pasien untuk
klien dapat teratasi dengan kriteria menggunakan teknik relaksasi
1. Klien mampu mengidentifikasi nafas dalam
dan mengungkapkan gejala 4. Bantu pasien mengenal situasi yang
cemas menimbulkan cemas
2. Vital sign dalam batas normal 5. Anjurkan pasien melakukan teknik
3. Postur tubuh, ekspresi wajah, relaksasi
bahasa tubuh dan tingkat aktivitas 6. Anjurkan pasien untuk istrahat
menunjukan berkurangnya cukup
kecemasan 7. Libatkan keluarga untuk
mendampingi pasien
8. Kolaborasi dengan tim kesehatan
lain untuk pemberian tindakan
prognosis
4 Defisit perawatan diri Setelah dilakukan askep 3x24 jam Bantuan perawatan diri
berhubungan dengan klien dan keluarga dapat merawat diri : 1. Monitor kemampuan pasien terhadap
kelemahan fisik, dengan kriteria : perawatan diri yang mandiri
penurunan kesadaran 1. kebutuhan klien sehari-hari 2. Monitor kebutuhan akan personal
terpenuhi (makan, berpakaian, hygiene, berpakaian, toileting dan
toileting, berhias, hygiene, oral makan, berhias
hygiene) 3. Beri bantuan sampai klien
2. klien bersih dan tidak bau. mempunyai kemapuan untuk
merawat diri
4. Bantu klien dalam memenuhi
kebutuhannya sehari-hari.
5. Anjurkan klien untuk melakukan
aktivitas sehari-hari sesuai
kemampuannya
6. Pertahankan aktivitas perawatan diri
secara rutin
7. Dorong untuk melakukan secara
mandiri tapi beri bantuan ketika klien
tidak mampu melakukannya.
8. Anjurkan keluarga untuk ikutserta
dalam memenuhi ADL klien
5 Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan Konrol infeksi :
berhubungan dengan keperawatan 3x24 jam infeksi 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai
prosedur invasive terdeteksi dengan K/H: pasien lain.
terhadap tindakan 1. Tidak ada tanda-tanda infeksi 2. Batasi pengunjung bila perlu.
pembedahan 2. Suhu normal ( 36-37 c ) 3. Lakukan cuci tangan sebelum dan
sesudah tindakan keperawatan.
4. Gunakan baju, masker dan sarung
tangan sebagai alat pelindung.
5. Pertahankan lingkungan yang aseptik
selama pemasangan alat.
6. Lakukan perawatan luka, drainage,
dresing infus dan dan kateter setiap
hari, jika ada.
7. Berikan antibiotik sesuai program.
Proteksi terhadap infeksi
1. Monitor tanda dan gejala infeksi
sistemik dan lokal.
2. Monitor hitung granulosit dan WBC.
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi.
4. Pertahankan teknik aseptik untuk
setiap tindakan.
5. Inspeksi kulit dan mebran mukosa
terhadap kemerahan, panas, drainase.
6. Inspeksi kondisi luka, insisi bedah.

Anda mungkin juga menyukai