Anda di halaman 1dari 12

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

TRAUMA KEPALA

Dosen Mata Kuliah : Reni Devianti, M.Kep,Sp.KepMB

OLEH:
KELOMPOK 6
KARMILA SARI (P00320020067)
FRIDA WULANDARI (P00320020063)
ST HADIJAH SUFANDI (P00320020087)
SISKA (P00320020084)
RASNI (P00320020080)

TINGKAT II.B JURUSAN KEPERAWATAN

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES KENDARI
TAHUN AJARAN 2021\2022

1
A. Definisi
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala.
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai otak adalah
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun
tajam. Deficit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia,
dan pengaruh massa karena hemoragik, serta edema serebral di sekitar
jaringan otak

B. Insiden
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow Coma Scale
(GCS):
1. Minor
 GCS 13 – 15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
 Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
2. Sedang
 GCS 9 – 12
 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.
 Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
 GCS 3 – 8
 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
 Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

C. Etiologi
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan
mobil
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.

2
D. Manifestasi Klinik
 Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
 Kebungungan
 Iritabel
 Pucat
 Mual dan muntah
 Pusing kepala
 Terdapat hematoma
 Kecemasan
 Sukar untuk dibangunkan
 Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

E. Faktor Resiko
1. Edema serebral dan herniasi
Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan TIK
pada pasienyang mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang
terjadi kira kira 72jam setelah cedera. TIK meningkat karena
ketidakmampuan tengkorak untukmembesar meskipun peningkatan
volume oleh pembengkakan otak diakibatkantrauma.
2. Defisit neurologik dan psikologik
Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal
seperti anosmia(tidak dapat mencium bau bauan) atau abnormalitas
gerakan mata, dan defisitneurologik seperti afasia, defek memori, dan
kejang post traumatic atau epilepsy.
3. Komplikasi lain secara traumatic :
a. Infeksi sitemik (pneumonia, SK, sepsis)
b. Infeksi bedah neurologi (infeksi luka, osteomielitis, meningitis,
ventikulitis,abses otak)
c. Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi sendi)
4. Komplikasi lain:
a. Peningkatan TIK

3
b. Hemorarghi
c. Kegagalan nafas
d. Diseksi ekstrakranial

F. Patofisiologi
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera
percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur
kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena
kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila
kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan
mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila
terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi
bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang
otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai
kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal”
dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari
kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral,
serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi,
pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan
kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu:
cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak

4
menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini
menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak
tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau
dua-duanya.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus, tetapi untuk memonitoring
kadarO2 dan CO2 dalam tubuh di lakukan pemeriksaan AGD adalah salah
satu testdiagnostic untuk menentukan status respirasi.
2. CT-scan : mengidentifikasi adanya hemoragik dan menentukan
pergeseranjaringan otak.
3. Foto Rontgen : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur)
perubahanstruktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
4. MRI : sama dengan CT-scan dengan/ tanpa kontras.
5. Angiografi serebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral, perdarahan.
6. Pemeriksaan pungsi lumbal: mengetahui kemungkinan perdarahan
subarahnoid

H. Terapi Pengobatan
1. Manitol IV
Dosis awal 1 g / kg BBEvaluasi 15-20 menit (bila belum ada perbaikan
tambahan dosis0,25 g / kg BB)
Hati-hati terhadap kerusakan ginjal
2. Steroid
Digunakan untuk mengurangi edema otak
3. Bikarbonas Natrikus
Untuk mencegah terjadinya asidosis
4. Antikonvulsan
Masih bersifat kontroversialTujuan : untuk profilaksis kejang
5. Terapi Koma
Merupakan langkah terakhir untuk mengendalikan TIK secarakonservatif.
Terapi ini menurunkan metabolisme otak,mengurangiedema &
menurunkan TIK. Biasanya dilakukan 24-48 jam.

5
6. Antipiretik
Demam akan memperburuk keadaan karena akan
meningkatkanmetabolisme dan dapat terjadi dehidrasi, kerusakan otak.
Jika penyebab infeksi tambahkan antibiotic.
7. Sedasi
Gaduh, gelisah merupakan gejala yang sering ditemukan pada penderita
cidera otak dan dapat meningkatkan TIK. Lorazepam(ativan) 1-2 mg IV/IM
dapat diberikan dan dapat diulang pemberiannya dalam 24 jam.
Kerugian : tidak dapat memantau kesadaran penderita.8)
8. Antasida-AH2
Untuk mencegah perdarahan GIT : simetidin, ranitidin,
famotidin.Furosemid adakalanya diberikan bersama dengan obat anti
edemalain. Dosis : 1 mg/kg BB IV, dapat diulang tiap 6-12 jam.

I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat
kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang
diberikan segera setelah kejadian.
b. Pemeriksaan fisik
1) Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene
stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)
2) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh
PTIK
3) Sistem saraf :
 Kesadaran  GCS.
 Fungsi saraf kranial  trauma yang mengenai/meluas ke
batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
 Fungsi sensori-motor  adakah kelumpuhan, rasa baal,
nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia,
hiperalgesia, riwayat kejang.
4) Sistem pencernaan

6
 Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks
menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk,
mudah tersedak. Jika pasien sadar  tanyakan pola
makan?
 Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan
cairan.
 Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
5) Kemampuan bergerak : kerusakan area
motorikhemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM,
kekuatan otot.
6) Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer
dominandisfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus
dan saraf fasialis.
7) Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang
didapat pasien dari keluarga.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
a. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya
pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi,
gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan
intrakranial.
b. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
c. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan
menurunnya kesadaran.
d. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
e. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau
meningkatnya tekanan intrakranial.
f. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
g. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma
kepala.
h. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
3. Intervensi

7
a. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas
berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan
fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan: Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai
dengan tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas
bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi:
- Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
- Kaji, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari
memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur
posisi bila ada cedera vertebra
- Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila
ada secret segera lakukan pengisapan lendir.
- Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
- Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit
ekstensi dan tinggikan 15 – 30 derajat.
- Pemberian oksigen sesuai program.
b. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan: Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan
tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak
terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi:
- Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline”
untuk menurunkan tekanan vena jugularis.
- Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya:
 peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau
hiperekstensi pada leher, rotasi kepala, valsava
meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan
lendir atau suction, perkusi).
 tekanan pada vena leher.
 pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat
menyebabkan kompresi pada vena leher).

8
- Bila akan memiringkan pasien, harus menghindari adanya
tekukan pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan).
- Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava
maneuver.
- Hindari tangisan pada pasien, ciptakan lingkungan yang tenang,
gunakan sentuhan therapeutic, hindari percakapan yang
emosional.
- Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan
intracranial sesuai program.
c. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan
menurunnya kesadaran.
Tujuan: Kebutuhan sehari-hari pasien terpenuhi yang ditandai
dengan berat badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat
badan, tempat tidur bersih, tubuh bersih, tidak ada iritasi pada kulit,
buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi:
- Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan –
minum, mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan
tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.
- Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
- Perawatan kateter bila terpasang.
- Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja
untuk memudahkan BAB.
- Libatkan keluarga dalam perawatan pemenuhan kebutuhan
sehari-hari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara
memandikan anak.
d. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan
muntah.
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran
atau dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab,
integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.
Intervensi:
- Kaji intake dan out put.

9
- Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan
ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine.
- Berikan cairan intra vena sesuai program.
- Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau
meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan: Pasien terbebas dari injuri.
Intervensi:
- Kaji status neurologis pasien: perubahan kesadaran, kurangnya
respon terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil,
aktivitas pergerakan menurun, dan kejang.
- Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
- Monitor tanda-tanda vital pasien setiap jam atau sesuai dengan
protokol.
- Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
- Berikan analgetik sesuai program.
e. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau
meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan: Pasien terbebas dari injuri.
Intervensi:
- Kaji status neurologis pasien: perubahan kesadaran, kurangnya
respon terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil,
aktivitas pergerakan menurun, dan kejang.
- Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
- Monitor tanda-tanda vital pasien setiap jam atau sesuai dengan
protokol.
- Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
- Berikan analgetik sesuai program.
f. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Tujuan: Pasien akan merasa nyaman yang ditandai dengan tidak
mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi:

10
- Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat
lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas
cepat atau lambat, berkeringat dingin.
- Mengatur posisi sesuai kebutuhan pasien untuk mengurangi
nyeri.
- Kurangi rangsangan.
- Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
- Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
- Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
g. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.
Tujuan: Anak akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak
ditemukan tandatanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal,
tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal.
Intervensi:
- Kaji adanya drainage pada area luka.
- Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
- Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
- Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk,
iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang.
4. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah akhir dalam proses keperawatan.
Evaluasi adalah kegiatan yang di sengaja dan terus-menerus dengan
melibatkan klien, perawat, dan anggota tim kesehatan lainnya. Dalam
hal ini diperlukan pengetahuan tentang kesehatan, patofisiologi, dan
strategi evaluasi. Tujuan evaluasi adalah untuk menilai apakah tujuan
dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak dan untuk melakukan
pengkajian ulang.

11
Daftar Pustaka
Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC

https://id.scribd.com/doc/133298562/Askep-Cedera-Kepala

https://www.studocu.com/id/document/universitas-muhammadiyah-
palembang/keperawatan/laporan-pendahuluan-cedera-kepala/
7810803

Purwanto Hadi. 2016. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC

12

Anda mungkin juga menyukai