A. PENGERTIAN
Trauma capitis adalah gangguan traumatic yang menyebabkan gangguan fungsi otak disertai atau
tanpa disertai perdarahan in testina dan tidak mengganggu jaringan otak tanpa disertai pendarahan
in testina dan tidak mengganggu jaringan otak. Brunner & Suddarth (2000).
Trauma merupakan penyebab utama kematian pada populasi dibawah umur 45 tahun dan
merupakan penyebab kematian no. 4 pada seluruh populasi.Lebih dari 50% kematian disebabkan
oleh cidera kepala. Kecelakaan kendaraan bermotor menrupakan penyebab cedera kepala pada
lebih dari 2 juta orang setiap tahunnya, 75.000 orang meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang
yang selamat akan mengalami disabilitas permanent” (York, 2000).
B. ETIOLOGI
Benda Tumpul, dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/ kekuatan
diteruskan kepada otak.
1. Lokasi
2. Kekuatan
4. Rotasi
1. Akselerasi, ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam. Contoh : akibat
pukulan lemparan.
3. Deformitas. Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan integritas bagan tubuh
yang dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak.
C. PATOFISIOLOGI
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi
patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang
bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena
kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek
yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin
terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang
terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan
pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada
substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak,
laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi
sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya
meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan
tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder
meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai
kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera
fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral,
serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau
hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi
dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan
karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang
otak, atau dua-duanya.
D. MANIFESTASI KLINIS
2. Kebungungan
3. Iritabel
4. Pucat
6. Pusing kepala
7. Terdapat hematoma
8. Kecemasan
10. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan
telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
E. PENATALAKSANAAN MEDIK
Pentalaksanaan medic cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya cedera otak sekunder
. cedera otak sekunder di sebabkan oleh factor sistemik seperti hipotesis atau hipoksia atau oleh
karena kompresi jaringan otak (tunner 2000) .
Pengatasan nyeri yang adekuat juga di rekomendasikan pada penderita cedera kepala (tunner 2000).
F. DIAGNOSTIK TEST
3. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan dan trauma.
5. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan garis
tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
6. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak..
10. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK.
11. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran.
12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif
untuk mengatasi kejang.
G. KOMPLIKASI
1. Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.
2. Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini, minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
3. Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis meyulitkan
penghentian sekresi hormone antidiupetik.
H. PROGNOSA
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan
cedera berat. Skor GCS waktu masuk kerumah sakit memiliki nilai prognostic yang besar : skor pasien
3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetative , sedangkan pada
pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetative hanya 5-10% .sindrom
pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala , keletihn , iritabilitas , dan
perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala , sering kali
bertumpang tindih dengan gejala depresi.
PENYIMPANGAN KDM
Fraktur
JARINGAN KULIT
pemasangan traksi
G3 MOBILITAS FISIK
A. RIWAYAT KEPERAWATAN
Pengkajian
1. Identitas pasien : nama , umur ,jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, pendapaatan, alamat dan nomor registrasi.
2. Keluhan utama
B. PEMERIKSAAN FISIK
c. Sistem saraf :
Fungsi saraf kranial adalah trauma yang mengenai /meluas kebatang otak atau melibatkan
penurunan fungsi saraf kranial.
Fungsi sensori – motor adalah kelumpuhan , rasa baal, nyeri ,gangguan diskriminasi suhu, anestesi,
hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
d. Sistem pencernaan
Bagaimana sensasi adanya makanandi mulut , refleks, menelan , kemempuan menguyah, adanya
refleks batuk, mudah tersedak . jika pasien sadar tanyakan pola makan.?
e. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik a/ hemiparesis/ plegia, gangguan gerak volunter,
ROM , kekuatan otot.
f. Kemempuan komunikasi m : kerusakan pada hemister noinan a/ disfagia atau afosis akibat
kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
g. Psikososial a/ data ini penting untuk mengetahui dukungan yang di dapat pasien di keluarga.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi
Hasil yang diharapkan : Pasien dapat mempertahankan mobilitas fisik seperti yang di tunjukkan
dengan tidak adanya kontraktur.
Intervensi
Intervensi
Rasional : penekanan yang terlalu lama pada salah satu lokasi kulit akan menimbulkan nekrose.
4. Jaga alat tenun tempat tidur pasien kering dan tidak terlipat
Rasional : kain basah dan terlipat akan menimbulkan kerusakan pada kulit
Intervensi
Rasional : proses kehilangan bagian tubuh membutuhkan penerimaan ,sehinggan pasien dapat
membuat rencana untuk masa depan
Rasional : Reaksi umum terhadap tife prosedur dan kebutuhan dapat di kenali dan di ukur
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Brunner & Suddarth, 2002,Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa : Waluyo
Judith M Wilkinson, 2007, Buku Saku Daignosis Keperawatan: dengan intervensi NIC dan Kriteria
Hasil NOC, EGC., Jakarta.
Arif Mansjoer, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius., Jakarta.
Marilynn E. Doengoes,1993, Rencana Asuhan Keperawatan, alih bahasa : I Made Kariasa, S.Kep., Ni
Made Sumarwati, S.Kep: EGC, Jakarta
Suzanne cs & Brenda GB. Buku ajar medikl bedah.edisi 8 Volume 3 .jakarta : EGC: 1999