RESUME
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II
Oleh
191FK01009
2C
TAHUN 2021
ASUHAN KEPERAEATAN PADA SISTEM SYARAF : TRAUMA, KEGANASAN & ROM
1. Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala.
2. Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow Coma Scale (GCS):
a. Minor
GCS 13 – 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b. Sedang
GCS 9 – 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari
24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
GCS 3 – 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
3. Etiologi
Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
Cedera akibat kekerasan.
4. Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi)
terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma
akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera
perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak
bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara
bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang
terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi
dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan
robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau
tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume
darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder
meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar”
sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih
khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral
dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh
perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan
dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu:
cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar,
hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan
karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral,
batang otak, atau dua-duanya.
5. Manifestasi Klinis
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebungungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing kepala
7. Terdapat hematoma
8. Kecemasan
9. Sukar untuk dibangunkan
10. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal
6. Komplikasi
a. Hemorrhagie
b. Infeksi
c. Edema
d. Herniasi
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
b. Rotgen Foto
c. CT Scan
d. MRI
8. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah
sebagai berikut:
a. Observasi 24 jam
b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
d. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
e. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
f. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
g. Pemberian obat-obat analgetik.
h. Pembedahan bila ada indikasi.
9. Rencana Pemulangan
a. Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
b. Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran,
perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
c. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari
pemberian obat.
d. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah,
mempertahankan jalan nafas selama kejang.
e. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di
rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan
latihan ROM bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik.
f. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
g. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
h. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
b. Pemeriksaan fisik
1) Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi,
ataksik)
2) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
3) Sistem saraf :
Kesadaran GCS.
Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan
penurunan fungsi saraf kranial.
Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu,
anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
4) Sistem pencernaan
Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah,
adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar tanyakan pola makan?
Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
5) Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik hemiparesis/plegia, gangguan gerak
volunter, ROM, kekuatan otot.
6) Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan disfagia atau afasia
akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
7) Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari
keluarga.
2. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
a. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan
dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya
tekanan intrakranial.
b. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial.
c. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
d. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
e. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan
intrakranial.
f. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
2. Intervensi Keperawatan
a. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan
gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan
intrakranial.
Tujuan: Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak
atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi:
Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan
kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra
Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera
lakukan pengisapan lendir.
Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 –
30 derajat.
Pemberian oksigen sesuai program.
b. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan: Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat,
kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial.
Intervensi:
Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk
menurunkan tekanan vena jugularis.
Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi
kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau
suction, perkusi).
tekanan pada vena leher.
pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi
pada vena leher).
Bila akan memiringkan pasien, harus menghindari adanya tekukan pada anggota
badan, fleksi (harus bersamaan).
Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.
Hindari tangisan pada pasien, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan
therapeutic, hindari percakapan yang emosional.
Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai
program.
c. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
Tujuan: Kebutuhan sehari-hari pasien terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil
atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh anak bersih,
tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi:
Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum, mengenakan
pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.
Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
Perawatan kateter bila terpasang.
Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan BAB.
Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan
demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.
Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) ataupun ganas
(maligna) membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (intra cranial) atau di sumsum
tulang belakang (medulla spinalis). Neoplasma pada jaringan otak dan selaputnya dapat
berupa tumor primer maupun metastase. Apabila sel-sel tumor berasal dari jaringan otak itu
sendiri disebut tumor otak primer dan bila berasal dari organ-organ lain (metastase) seperti
kanker paru, payudara, prostate, ginjal, dan lain-lain disebut tumor otak sekunder.
Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) ataupun ganas
(maligna), membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (intra cranial) atau di sumsum
tulang belakang (medulla spinalis). Neoplasma pada jaringan otak dan selaputnya dapat
berupa tumor primer maupun metastase. Apabila sel-sel tumor berasal dari jaringan otak itu
sendiri, disebut tumor otak primer dan bila berasal dari organ-organ lain (metastase) seperti
; kanker paru, payudara, prostate, ginjal dan lain-lain, disebut tumor otak sekunder.
B. PENYEBAB
Penyebab tumor hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, walaupun telah
banyak penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang perlu ditinjau, yaitu :
1. Herediter
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali pada
meningioma, astrositoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada anggota-anggota
sekeluarga. Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber yang dapat dianggap sebagai
manifestasi pertumbuhan baru, memperlihatkan faktor familial yang jelas. Selain jenis-
jenis neoplasma tersebut tidak ada bukti-buakti yang kuat untuk memikirkan adanya
faktor-faktor hereditas yang kuat pada neoplasma.
2. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan yang
mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Tetapi ada kalanya
sebagian dari bangunan embrional tertinggal dalam tubuh, menjadi ganas dan merusak
bangunan di sekitarnya. Perkembangan abnormal itu dapat terjadi pada
kraniofaringioma, teratoma intrakranial dan kordoma.
3. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami perubahan
degenerasi, namun belum ada bukti radiasi dapat memicu terjadinya suatu glioma.
Pernah dilaporkan bahwa meningioma terjadi setelah timbulnya suatu radiasi.
4. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang dilakukan
dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam proses terjadinya
neoplasma, tetapi hingga saat ini belum ditemukan hubungan antara infeksi virus
dengan perkembangan tumor pada sistem saraf pusat.
5. Substansi-substansi Karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan. Kini telah
diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti methylcholanthrone, nitroso-
ethyl-urea. Ini berdasarkan percobaan yang dilakukan pada hewan.
6. Trauma
Trauma yang berulang menyebabkan terjadinya meningioma (neoplasma selaput otak).
Pengaruh trauma pada patogenesis neoplasma susunan saraf pusat belum diketahui.
C. KLASIFIKASI
E. GEJALA KLINIK
Tumor otak merupakan penyakit yang sukar terdoagnosa secara dini, karena
pada awalnya menunjukkan berbagai gejala yang menyesatkan dan eragukan tapi
umumnya berjalan progresif.
Manifestasi klinis tumor otak dapat berupa:
Gejala serebral umum
Dapat berupa perubahan mental yang ringan (Psikomotor asthenia), yang dapat
dirasakan oleh keluarga dekat penderita berupa: mudah tersinggung, emosi, labil,
pelupa, perlambatan aktivitas mental dan sosial, kehilangan inisiatif dan spontanitas,
mungkin diketemukan ansietas dan depresi. Gejala ini berjalan progresif dan dapat
dijumpai pada 2/3 kasus
1. Nyeri Kepala
2. Muntah
3. Kejang
4. Gejala Tekanan Tinggi Intrakranial
F. DIAGNOSIS
Bagi seorang ahli bedah saraf dalam menegakkan diagnosis tumor otak adalah
dengan mengetahui informasi jenis tumor, karakteristiknya, lokasinya, batasnya,
hubungannya dengan system ventrikel, dan hubungannya dengan struktur vital otak
misalnya sirrkulus willisi dan hipotalamus. Selain itu juga diperlukan periksaan
radiologist canggih yang invasive maupun non invasive. Pemeriksaan non invasive
mencakup ct scan dan mri bila perlu diberikan kontras agar dapat mengetahui batas-
batas tumor.Pemeriksaan invasive seperti angiografi serebral yang dapat memberikan
gambaran system pendarahan tumor, dan hungannya dengan system pembuluh darah
sirkulus willisy selain itu dapat mengetahui hubungan massa tumor dengan vena otak
dan sinus duramatrisnya yang fital itu.
Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yang dicurigai menderita tumor
otak yaitu melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologik yang teliti, adapun
pemeriksaan penunjang yang dapat membantu yaitu CT-Scan dan MRI. () Dari
anamnesis kita dapat mengetahui gejala-gejala yang dirasakan oleh penderita yang
mungkin sesuai dengan gejala- gejala yang telah diuraikan di atas. Misalnya ada
tidaknya nyeri kepala, muntah dan kejang. Sedangkan melalui pemeriksaan fisik
neurologik mungkin ditemukan adanya gejala seperti edema papil dan deficit
lapangan pandang.
G. KOMPLIKASI
Adapun komplikasi yang dapat kita temukan pada pasien yang menderita
tumor otak ialah :
1. Gangguan fisik neurologis
2. Gangguan kognitif
3. Gangguan tidur dan mood
4. Disfungsi seksual
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
I. DIAGNOSIS BANDING
Gejala yang paling sering dari tumor otak adalah peningkatan tekanan
intrakranial, kejang dan tanda deficit neurologik fokal yang progresif. Setiap proses
desak ruang di otak dapat menimbulkan gejala di atas, sehingga agak sukar
membedakan tumor otak dengan beberapa hal berikut :
a. Abses intraserebral
b. Epidural hematom
c. Hipertensi intrakranial benigna
d. Meningitis kronik.
J. THERAPI/TINDAKAN
1. Pembedahan
Pembedahan dilaksanakan untuk menegakkan diagnosis histologik dan untuk
mengurangi efek akibat massa tumor. Kecuali pada tipe-tipe tumor tertentu yang tidak
dapat direseksi.
Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu pembedahan tumor otak
yakni: diagnosis yang tepat, rinci dan seksama, perencanaan dan persiapan pra bedah
yang lengkap, teknik neuroanastesi yang baik, kecermatan dan keterampilan dalam
pengangkatan tumor, serta perawatan pasca bedah yang baik, Berbagai cara dan
teknik operasi dengan menggunakan kemajuan teknologi seperti mikroskop, sinar
laser, ultrasound aspirator, bipolar coagulator, realtime ultrasound yang membantu
ahli bedah saraf mengeluarkan massa tumor otak dengan aman.
2. Radiotherapi
Biasanya merupakan kombinasi dari terapi lainnya tapi tidak jarang pula
merupakan therapi tunggal.Adapun efek samping : kerusakan kulit di sekitarnya,
kelelahan, nyeri karena inflamasi pada nervus atau otot pectoralis, radang tenggorkan.
3. Chemotherapy
Jika tumor tersebut tidak dapat disembuhkan dengan pembedahan, kemoterapi
tetap diperlukan sebagai terapi tambahan dengan metode yang beragam. Pada tumor-
tumor tertentu seperti meduloblastoma dan astrositoma stadium tinggi yang meluas ke
batang otak, terapi tambahan berupa kemoterapi dan regimen radioterapi dapat
membantu sebagai terapi paliatif.Pemberian obat-obatan anti tumor yang sudah
menyebar dalam aliran
5. Terapi Steroid
Steroid secara dramatis mengurangi edema sekeliling tumor intrakranial, namun
tidak berefek langsung terhadap tumor.
A. PENGKAJIAN
Data Demografi
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama,
pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan
penanggung biaya.
Riwayat Sakit dan Kesehatan
1. Keluhan utama
Biasanya klien mengeluh nyeri kepala
2. Riwayat penyakit saat ini
Klien mengeluh nyeri kepala, muntah, papiledema, penurunan tingkat
kesadaran, penurunan penglihatan atau penglihatan double, ketidakmampuan
sensasi (parathesia atau anasthesia), hilangnya ketajaman atau diplopia.
3. Riwayat penyakit dahulu
Klien pernah mengalami pembedahan kepala
4. Riwayat penyakit keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang mungkin ada
hubungannya dengan penyakit klien sekarang, yaitu riwayat keluarga dengan
tumor kepala.
5. Pengkajian psiko-sosio-spirituab
Perubahan kepribadian dan perilaku klien, perubahan mental, kesulitan
mengambil keputusan, kecemasan dan ketakutan hospitalisasi, diagnostic test
dan prosedur pembedahan, adanya perubahan peran.
Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
Pemeriksaan fisik pada klien dengan tomor otak meliputi pemeriksaan fisik
umum per system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1
(breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone).
1. Pernafasan B1 (breath)
a. Bentuk dada : normal
b. Pola napas : tidak teratur
c. Suara napas : normal
d. Sesak napas : ya
e. Batuk : tidak
f. Retraksi otot bantu napas ; ya
g. Alat bantu pernapasan : ya (O2 2 lpm)
2. Kardiovaskular B2 (blood)
a. Irama jantung : irregular
b. Nyeri dada : tidak
c. Bunyi jantung ; normal
d. Akral : hangat
e. Nadi : Bradikardi
f. Tekanana darah Meningkat
3. Persyarafan B3 (brain)
a. Penglihatan (mata) : penurunan penglihatan, hilangnya ketajaman atau
diplopia.
b. Pendengaran (telinga) : terganggu bila mengenai lobus temporal
c. Penciuman (hidung) : mengeluh bau yang tidak biasanya, pada lobus frontal
d. Pengecapan (lidah) :ketidakmampuan sensasi (parathesia atau anasthesia)
e. Afasia :kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif
atau kesulitan berkata-kata, reseotif atau berkata-kata komprehensif,
maupun kombinasi dari keduanya.
f. Ekstremitas :kelemahan atau paraliysis genggaman tangan tidak
seimbang, berkurangnya reflex tendon.
g. GCS : Skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien,
(apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon
pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1- 6
tergantung responnya yaitu :
Eye (respon membuka mata)
(4) : Spontan
(3) : Dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : Dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya
menekan kuku jari
(1) : Tidak ada respon
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
C. INTERVENSI
4. Kerusakan komunikasi verbal b.d efek afasia pada ekspresi atau intepretasi.
Tujuan : Tidak mengalami kerusakan komunikasi verbal dan menunjukkan
kemampuan komunikasi verbal dengan orang lain dengan cara yang dapat di
terima.
Kriteria Hasil :
a. Pasien dapat mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi.
b. Pasien dapat membuat metode komunikasi dimana kebutuhan
dapat
diekspresikan
c. Pasien dapat menggunakan sumber-sumber
dengan tepat Intervensi
1. Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik.
2. Minta pasien untuk menulis nama atau kalimat yang pendek. Jika tidak dapat
menulis, mintalah pasien untuk membaca kalimat yang pendek.
3. Berikan metode komunikasi alternative, seperti menulis di papan tulis, gambar.
Berikan petunjuk visual (gerakan tangan, gambar-gambar, daftar kebutuhan,
demonstrasi).
4. Katakan secara langsung dengan pasien, bicara perlahan, dan dengan tenang.
Gunakan pertanyaan terbuka dengan jawaban “ya/tidak” selanjutnya
kembangkan pada pertanyaan yang lebih komplek sesuai dengan respon pasien.
6. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan efek
kemoterapi dan radioterapi.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi dengan
adekuat Kriteria hasil :
a. Antropometri: berat badan tidak turun (stabil)
b. Biokimia: albumin normal dewasa (3,5-5,0) g/dl Hb normal (laki-laki
13,5-18 g/dl, perempuan 12-16 g/dl)
c. Clinis: tidak tampak kurus, terdapat lipatan lemak, rambut tidak jarang
dan merah
d. Diet: klien menghabiskan porsi makannya dan nafsu makan
bertambah Intervensi
1. Kaji tanda dan gejala kekurangan nutrisi: penurunan berat badan, tanda-tanda
anemia, tanda vital
2. Monitor intake nutrisi pasien
3. Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering.
4. Timbang berat badan 3 hari sekali
5. Monitor hasil laboratorium: Hb, albumin
RANGE OF MOTION
Pendahuluan
• Range of Motion (ROM) adalah suatu teknik dasar yang digunakan untuk menilai
gerakan dan untuk gerakan awal ke dalam suatu program intervensi terapeutik
• Gerakan dapat dilihat sebagai tulang yang digerakkan oleh otot atau pun gaya ekternal
lain dalam ruang geraknya melalui persendian.
• Bila terjadi gerakan, maka seluruh struktur yang terdapat pada persendian tersebut
akan terpengaruh, yaitu: otot, permukaan sendi, kapsul sendi, fasia, pembuluh darah dan saraf
• Untuk mempertahankan ROM normal, setiap ruas harus digerakkan pada ruang gerak
yang dimilikinya secara periodik
• Teknik ROM tidak termasuk peregangan yang ditujukan untuk memperluas ruang
gerak sendi.
• Indikasi PROM
– Pada daerah di mana terdapat inflamasi jaringan akut yang apabila dilakukan
pergerakan aktif akan menghambat proses penyembuhan
– Ketika pasen tidak dapat atau tidak diperbolehkan untuk bergerak aktif pada ruas atau
seluruh tubuh, misalnya keadaan koma, kelumpuhan atau bed rest total
• Sasaran PROM
– Meningkatkan pergerakan sinovial untuk nutrisi tulang rawan serta difusi persendian
– Stabilitas sendi
• Pada saat mempersiapkan pasen untuk melakukan latihan dengan teknik peregangan
Indikasi AROM
• Pada saat pasen dapat melakukan kontraksi otot secara aktif dan menggerakkan ruas
sendinya baik dengan bantuan atau tidak
• Pada saat pasen memiliki kelemahan otot dan tidak dapat menggerakkan persendian
sepenuhnya, digunakan AAROM
• AROM dapat digunakan untuk program latihan aerobik
• AROM digunakan untuk memelihara mobilisasi ruas di atas dan dibawah daerah yang
tidak dapat bergerak
Sasaran AROM
• Apabila tidak terdapat inflamasi dan kontraindikasi, sasaran PROM serupa dengan
AROM.
• Keuntungan fisiologis dari kontraksi otot aktif dan pembelajaran gerak dari kontrol
gerak volunter.
• Sasaran spesifik:
– Meningkatkan sirkulasi
• Passive ROM
• Membantu sirkulasi
• Active ROM
– Untuk otot yang sudah kuat tidak akan memelihara atau meningkatkan kekuatan
• Latihan ROM tidak boleh diberikan apabila gerakan dapat mengganggu proses
penyembuhan cedera
– Gerakan yang terkontrol dengan seksama dalam batas-batas gerakan yang bebas nyeri
selama fase awal penyembuhan akan memperlihatkan manfaat terhadap penyembuhan dan
pemulihan
– Terdapatnya tanda-tanda terlalu banyak atau terdapat gerakan yang salah, termasuk
meningkatnya rasa nyeri dan peradangan
• ROM tidak boleh dilakukan bila respon pasen atau kondisinya membahayakan (life
threatening)
– PROM dilakukan secara hati-hati pada sendi-sendi besar, sedangkan AROM pada
sendi ankle dan kaki untuk meminimalisasi venous stasis dan pembentukan trombus
– Pada keadaan setelah infark miokard, operasi arteri koronaria, dan lain-lain, AROM
pada ekstremitas atas masih dapat diberikan dalam pengawasan yang ketat
– Gerakkan segmen di seluruh ruang gerak yang bebas rasa nyeri hingga sampai
terdapat resistensi/tahanan jaringan
• Pada PROM
– Gaya untuk gerakan adalah berasal dari eksternal (terapist atau mesin)
• Pada AROM