Anda di halaman 1dari 40

Penanganan Anestesi pada Nyeri Kepala Karena Stroke dan Cedera Otak Traumatik

2.1 Cedera Otak Traumatik (TBI)

2.1.1 Definisi

Cedera otak traumatis (TBI) adalah masalah umum yang terjadi pada populasi umum

Pada 2010, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) memperkirakan bahwa TBI
menyumbang sekitar 2,5 juta kunjungan ruang gawat darurat, rawat inap, dan kematian di
Amerika Serikat. Prevalensi seluruh jenis cedera di Indonesia cukup tinggi yakni 8,2 persen dari
populasi penduduk Indonesiaa dengan etiologi cedera paling sering adalah terjatuh dan
kecelakaan kendaraan bermotor. Sebesar 0,4% dari total kejadian cedera tersebut di Indonesia
mengalami gegar otak dimana paling sering terjadi pada umur 65-74 tahun.

Sakit kepala adalah salah satu gejala umum setelah cedera kepala dan dapat bermanifestasi
sebagai sakit kepala sekunder atau de novo memperburuk sakit kepala primer yang sudah ada
sebelumnya. Istilahnya cedera kepala ringan, gegar otak, dan sakit kepala posttraumatic (PTH).
Berdasarkan derajatnya, nyeri kepala berkaitan dengan TBI menjadi tiga, yaitu nyeri kepala
dengan TBI ringan, sedang, dan berat.1

Klasifikasi

Berdasarkan tingkat keparahan yang dinilai dari skor Glasgow Coma Scale (GCS):

Ringan, GCS 14-15

Sedang, GCS 9-1

Berat, GCS 3-8


2.2.2 Patofisiologi

Nyeri dapat ditimbulkan karena mekanisme croup, contrecoup dan kontusio otak yang
terkait dan cedera geser atau difus bahkan pada cedera kepala yang relatif ringan. Kekuatan geser
mengganggu akson dan koneksi mereka. Kerentanan terhadap pengembangan PTH mungkin
tergantung pada epigenetik atau faktor genetik, jenis kelamin, perubahan otak terkait usia, faktor
neuroanatomis, keadaan fisiologis, dan biomekanik. Sejumlah gangguan dapat menyebabkan
berbagai patologi dari cedera sel hingga kematian, fokus perubahan luas, dan dengan efek pada
neuron, glia, jenis dan proses seluler lainnya. Ada gangguan penghalang darah otak
terkemukauntuk aktivasi sitokin dan glia, mediator proinflamasi, ekstravasasi komponen darah
perifer sitotoksik, disregulasi molekul dan ion, disfungsi mitokondria, stres oksidatif, dan
pembentukan edema.1
Sumber. Openi.

Baik struktural (mis. Cedera aksonal) dan jaringan sistem saraf pusat fungsional
perubahan dapat menyebabkan ekspresi fenotipik sakit kepala. Gangguan neurologis sementara
termasuk sakit kepala setelah cedera kepala ringan juga telah berteori untuk terjadi sekunder
untuk depresi penyebaran kortikal, substrat patologis yang mendasari untuk fase aura migrain.

Kekuatan yang timbul dari percepatan / perlambatan dan energi yang dihamburkan
melalui dampak menghasilkan serangkaian kejadian akut yang mengganggu mikroarsitektur
otak, termasuk kerusakan white matter terbukti sebagai gangguan mielin dan cedera membran
aksonal. Bukti modulasi nyeri disfungsional juga telah diamati dalam kasus PPTH, dan itu telah
dihipotesiskan bahwa PTH mungkin merupakan bentuk nyeri sentral. 2 Selama terjadinya TBI,
ada pelepasan neurotransmiter, mengakibatkan hilangnya ketidakseimbangan antara rangsang
dan penghambat neurotransmiter glutamat dan GABA dan perubahan fungsi seluler.1

Cidera kepala ringan dapat menghasilkan nyeri yang dihasilkan dari periosteum calvarial,
yang memiliki persarafan sensorik nosiseptif dan mungkin menghasilkan sakit kepala yang
berasal dari ekstrakranial. Selain itu, kepekaan kronis dapat muncul dari cedera jaringan
perikranial dan intrakranial dan mengarah ke PPTH. Pada model tikus, degranulasi sel mast dural
yang persisten telah ditunjukkan setidaknya selama 30 hari setelah cedera kepala concussive,
yang tidak responsif terhadap sumatriptan, anti-migrain obat, atau cromolyn, zat penstabil sel
mast. Degranulasi sel mast dianggap sebagai suatu respons inflamasi terhadap cedera kepala dan
dapat diinduksi oleh neuropeptida yang terkait dengan peradangan neurogenik, termasuk zat P
dan peptida terkait gen kalsitonin (CGRP). Kedua zat P dan CGRP meningkat pada migrain,
tetapi hanya pemblokiran agen CGRP menunjukkan potensi untuk pemberian terapeutik pada
migrain dan PTH.1,2

2.1.3 Terapi

Sebuah studi yang lebih baru dari North Texas Concussion Registry meneliti perubahan
dalam keparahan sakit kepala selama periode 3 bulan pada pasien gegar otak dengan PTH.
Penelitian membandingkan pengobatan dengan triptan dibandingkan over-the-counter (NSAID /
analgesik) atau opioid obat-obatan. Pasien yang diobati dengan triptan lebih mungkin
melaporkan sakit kepala parah 3 bulan setelah evaluasi awal dibandingkan dengan mereka yang
diobati dengan NSAID atau opioid. Secara khusus, individu yang diobati dengan triptan,
dibandingkan dengan mereka yang diobati dengan opioid atau NSAID / analgesik, 2,1 kali lebih
mungkin melaporkan gejala PPTH setelah 3 bulan perawatan.3

Penjelasan tentang relatif kurangnya khasiat triptan dalam hal ini kohort tidak jelas;
Namun, ada kemungkinan bahwa proses inflamasi yang mendasarinya berkontribusi terhadap
penyebaran PTH dan, dengan demikian, merespons lebih baik terhadap pengobatan NSAID yang
tepat sasaran.1

Studi prospektif departemen gawat darurat pertama PTH akut menyelidiki penggunaan
metoclopramide 20 mg dan diphenhydramine 25 mg pada 21 pasien yang terdaftar. Penghilang
nyeri yang berkelanjutan adalah ukuran hasil utama dan dicapai pada 60% pasien dengan data
yang tersedia setelah ditindaklanjuti melalui telepon.

Dalam studi berbasis klinik kecil, ada saran bahwa propranolol dan amitriptyline saja
atau dalam kombinasi mungkin efektif untuk bentuk kronis. Sebuah penelitian melaporkan
peningkatan PTH akut dalam kelompok pasien remaja (usia 13 tahun) yang diobati dengan
amitriptyline (median dosis 25 mg, kisaran 10 100 mg) . Obat ini pada umumnya ditoleransi
dengan baik, walaupun 23% pasien melaporkan sisi ringan. efek seperti sedasi berlebih.4

Terapi Prosedural/Intervensional

Blok saraf perifer adalah di antara prosedur intervensi paling umum untuk mengobati
PTH81. Situs terapi termasuk saraf oksipital yang lebih besar (GON), saraf oksipital yang lebih
rendah (LON), ganglion sphenopalatine (SPG), saraf auriculotemporal (ATN), saraf supraorbital
(SON), dan saraf supratroklear (STN). Dengan memperkenalkan anestesi lokal ke saraf dan /
atau ganglion ini, reduksi umpan balik aferen dikirim ke nukleus trigeminal caudalis. Dubrovsky
et al. menggunakan blok saraf perifer yang ditargetkan pada kulit kepala dalam kelompok kecil
pasien remaja.82 Subjek masing-masing memenuhi kriteria diagnostik sakit kepala akut atau
persisten yang dikaitkan dengan TBI ringan. Lokasi injeksi ditentukan oleh palpasi titik-titik
maksimal dan umumnya menargetkan GON dan dalam beberapa kasus LON atau SON. Dalam
penelitian ini, 93% dari kohort melaporkan efek terapi yang "baik" (yang didefinisikan sebagai
manfaat berkelanjutan 0,24 jam dan / atau pasien meminta blok saraf ulang). Racun botulinum
efektif dalam modulasi nyeri trigeminal melalui pengiriman langsung ke terminal aferen, serta
dermatom ekstrakranial superfisial. Pada tahun 2002, Loder dan Biondi pertama kali melaporkan
peningkatan PPTH setelah injeksi toksin botulinum.Baru-baru ini, Yerry et al. melaporkan
peningkatan fungsi harian dalam studi kohort retrospektif dari 64 anggota layanan tugas aktif
dengan PTH kronis fenotip migrain setelah pengobatan toxin botulinum.

Cedera Otak Traumatik

Cedera otak traumatik adalah cedera intrakranial akibat rudapaksa eksternal terhadap kepala
yang melebihi kapasitas protektif otak. Cedera otak traumatik (traumatic brain injury) adalah
terminologi yang menggantikan cedera kepala (head injury) di mana ditekankan pentingnya
keterlibatan otak dalam cedera tersebut.
Diagnosis cedera otak traumatik ditegakkan berdasarkan adanya riwayat trauma kepala dan
dibantu CT scan. Penatalaksanaan dapat berupa tatalaksana konservatif maupun operatif. Pada
pasien dengan cedera yang berat, harus dilakukan rujukan ke dokter Bedah Syaraf.

Epidemiologi cedera otak traumatik tiap negara sangat bervariasi. Di Indonesia, data spesifik
mengenai insidensi cedera otak traumatik masih belum jelas, namun prevalensi cedera secara
umum diketahui cukup tinggi.

Global

Epidemiologi cedera otak traumatik tiap negara sangat bervariasi karena kriteria cedera otak
traumatik yang bisa berbeda di tiap fasilitas kesehatan. Di Amerika Serikat angka insidensi
cedera otak traumatik adalah 579 per 100.000 populasi atau diperkirakan 1,7 juta kasus per
tahun.

Angka rawat inap akibat cedera otak traumatik di Amerika Serikat adalah 93,8 per 100.000
orang, sedangkan di Eropa angka rawat inapnya adalah 235 per 100.000 orang. Insidensi cedera
otak traumatik di negara berkembang lebih tinggi yang dihubungkan dengan penggunaan
kendaraan bermotor yang lebih banyak yakni 344 per 100.000 orang di wilayah Asia.[6,7]

Indonesia

Prevalensi seluruh jenis cedera di Indonesia cukup tinggi yakni 8,2 persen dari populasi
penduduk Indonesiaa dengan etiologi cedera paling sering adalah terjatuh dan kecelakaan
kendaraan bermotor. Sebesar 0,4% dari total kejadian cedera tersebut di Indonesia mengalami
gegar otak dimana paling sering terjadi pada umur 65-74 tahun.[8]

Etiologi

Pada pasien yang lebih tua di atas 65 tahun penyebab paling sering terjadinya cedera otak
traumatik adalah terjatuh, dimana paling sering akibat terpeleset dan tersandung (jatuh se level
dengan ketinggian berpijak). Sebagian lainnya, mekanisme terjatuh pada orang tua adalah akibat
jatuh dari tangga, menabrak dinding bangunan, dan atau perabot rumah tangga. [3]
Cedera otak traumatik yang berhubungan dengan ledakan sering diakibatkan terkena ledakan
bom pada peperangan modern. Pasien veteran perang sering ditemui mengalami ini.[4] Berikut
etiologi yang paling sering menyebabkan cedera otak traumatik:

Terjatuh

Kecelakaan kendaraan bermotor atau kecelakaan lalu lintas

Olahraga

Tusukan, luka tembak, dan ledakan pada saat peperangan [5]

Faktor Risiko

Cedera otak traumatik lazim ditemukan baik pada anggota militer maupun warga sipil. Faktor
risiko cedera otak traumatik antara lain:

Penggunaan kendaraan beroda dua, lebih sering terjadi di negara berkembang dengan tingkat
edukasi lalu lintas dan praktik keselamatan berkendara yang rendah

Penggunaan alkohol, penggunaan alkohol lebih tinggi di negara maju dibandingkan berkembang
dan meningkatkan potensi terjadinya cedera otak traumatik

Usia, di negara berkembang usia paling sering adalah usia muda akibat kecelakaan kendaraaan
bermotor, sementara pada negara maju lebih sering terjadi pada usia tua akibat terjatuh

Jenis kelamin, kejadian cedera otak traumatik lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan
perempuan [6]

Patofisiologi

Pada saat trauma terjadi, pertama sekali terjadi cedera primer oleh kerusakan mekanis yang dapat
berupa tarikan, robekan dan atau peregangan pada neuron, akson, sel glia dan pembuluh darah.
Cedera primer dapat bersifat fokal atau pun difus. Kebanyakan kasus cedera primer langsung
menyebabkan kematian sel neuron.

Cedera primer bersamaan dengan perubahan metabolik dan seluler memicu kaskade biokimia,
menyebabkan gelombang sekunder atau cedera sekunder. Hal ini berlangsung dari menit-menit
awal terjadinya proses trauma yang dapat berlangsung berhari-hari hingga berbulan-bulan dan
menyebabkan neurodegenerasi, dan memperparah cedera primer.

Cedera sekunder merupakan penyebab utama meningkatnya tekanan intrakranial pada cedera
otak traumatik, dimana terjadi edema pada jaringan otak. Cedera sekunder terjadi pada lokasi
cedera dan jaringan sekelilingnya. Proses cedera sekunder terdiri dari:

Eksitoksisitas, neuron yang rusak mengeluarkan glutamat ke ruang ekstraseluler dan


menstimulasi reseptor N-methyl-d-aspartate (NMDA) dan α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-
isoxazolepropionic acid (AMPA) berlebihan sehingga terjadi peningkatan radikal bebas dan nitrit
oksida dan faktor transkripsi untuk kematian sel

Stres oksidatif yang disebabkan oleh adanya akumulasi Ca2+ intraseluler di dalam mitokondria

Disfungsi mitokondria, kerusakan oksidatif yang dimediasi oleh peroksida lemak menyebabkan
terganggunya rantai transpor elektron dan pembentukan ATP sehingga memicu apoptosis sel

gangguan pada sawar darah-otak, permeabilitas sawar darah-otak meningkat. Akibatnya molekul
besar hingga leukosit dapat masuk ke jaringan otak dan menyebabkan tekanan osmosis jaringan
otak meningkat

Inflamasi, neuroinflamasi melibatkan sel imun, mikroglia, sitokin, faktor kemotaktik yang
mengeksaserbasi kematian sel neuron [1]

Sumber: Openi, 2014.

Gambar: Patofosiologi terjadinya neuroinflamasi yang dimediasi oleh mikroglia dan leukosit.


Pada cedera otak traumatik, leukosit menempel pada endotel, dimediasi oleh selektin dan
integrin lalu bermigrasi ke jaringan yang cedera. Mikroglia teraktivasi oleh trauma otak menjadi
bentuk amuboid lalu bermigrasi ke jaringan cedera. Mikroglia dan leukosit ini yang akan
memediasi terjadinya inflamasi yang mengeksaserbasi kematian sel neuron.

Cedera otak traumatik diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologinya.

Berdasarkan Mekanisme
Berdasarkan mekanisme:

Trauma tumpul, trauma tumpul dengan kecepatan tinggi (misalnya kecelakaan kendaraan
bermotor) atau trauma tumpul dengan kecepatan rendah (misalnya terjatuh atau serangan
pemukulan)

Trauma penetrasi, misalnya akibat luka tembak atau luka tusuk

Trauma ledakan, akibat ledakan benda eksplosif.

Berdasarkan Morfologi

Berdasarkan morfologi:

Fraktur tengkorak, yaitu fraktur kubah kranii dan fraktur basis kranii. Fraktur kubah kranii,
antara lain bentuknya linear atau stellata, depresi atau non depresi, fraktur terbuka atau fraktur
tertutup. Fraktur basis kranii, antara lain dengan atau tanpa cairan serebrospinal dan dengan atau
tanpa paralisis saraf kranial.

Lesi intrakranial, yakni fokal dan difus. Fokal, yakni perdarahan epidural, perdarahan subdural,
dan perdarahan intraserebral. Difus, yakni gegar otak ringan, gegar otak klasik, dan diffuse
axonal injury [2]

Diagnosis

Anamnesis

Pasien dengan kecurigaan cedera otak traumatik harus ditanyakan riwayat dan mekanisme
trauma. Penyebab paling sering adalah terjatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, olahraga, dan
akibat penyerangan. Pada kecelakaan bermotor perlu diperhatikan apakah pasien memakai alat
pelindung kepala atau tidak.

Pasien dapat mengalami hal berikut ini dan harus digali karena penting untuk diagnosis
penentuan pemeriksaan penunjang:

Riwayat muntah

Penurunan kesadaran
Hilang ingatan akibat post traumatic amnesia

Disorientasi

Gejala akut pada cedera otak traumatik yang lebih berat bermacam-macam namun pada
umumnya cedera berat disertai penurunan kesadaran bahkan hingga koma.

Menurut American Congress of Rehabilitation Medicine (ACRM), cedera otak traumatik ringan
(mild traumatic brain injury) adalah pasien dengan gangguan fungsi fisiologis otak yang
diakibatkan trauma dengan manifestasi minimal satu dari berikut ini:

Penurunan kesadaran kurang dari 30 menit

Hilang memori terhadap kejadian segera sebelum atau sesudah kejadian (post traumatic amnesia)
kurang dari 24 jam

Perubahan status mental saat kejadian (disorientasi atau kebingungan)

Defisit neurologis fokal transien atau non transien

Skor GCS 13-15 setelah 30 menit [6]

Setelah mengalami cedera otak traumatik, 30-80% pasien mengalami gejala setelah gegar otak
(post concussive). Pada umumnya membaik dalam beberapa jam hingga beberapa hari, sebagian
lainnya dapat berminggu-minggu. Manifestasi klinis pada cedera otak traumatik ringan (mild
TBI) terdiri dari kombinasi gejala fisik dan gejala neuropsikiatrik, antara lain:

Gejala fisik berupa nyeri kepala, pusing, mual, fatigue, gangguan tidur, gangguan pendengaran,
gangguan penglihatan, atau kejang bila terjadi kerusakan pada lobus temporal atau frontal, yang
harus dibedakan dari epilepsi

Gejala neuropsikiatrik yang terdiri dari gangguan kognitif, perilaku, dan gangguan lainnya.

Gangguan kognitif, dapat berupa gangguan pemusatan perhatian, gangguan memori dan
gangguan fungsi eksekutif. Gangguan pemusatan perhatian dapat berakibat pasien kesulitan
melakukan aktivitas sehari-hari. Luasnya gangguan kognitif berkorelasi dengan keparahan
cedera.
Gejala perilaku yaitu berhubungan dengan kepribadian pasien, antara lain irritabilitas, gangguan
mood, agresi, impulsif, perilaku egois.

Gejala lainnya yang berhubungan adalah depresi, gangguan cemas, dan post traumatic stress
disorder. [1]

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan dengan manajemen awal trauma yakni dengan prosedur
sesuai advance trauma life support (ATLS). Setelah mengamankan jalan napas, pemberian
ventilasi dan oksigen, dan resusitasi cairan, pasien diperiksa untuk menilai disabilitas yaitu
tingkat kesadaran dan pemeriksaan neurologis.

Tingkat kesadaran pasien dinilai menurut Glasgow Coma Scale (GCS). Nilai GCS juga sekaligus
menentukan tingkat keparahan cedera otak traumatik. Nilai GCS dihitung berdasarkan penilaian
respon terhadap stimulasi pembukaan mata (Eye), motorik (M), dan respon verbal (V) dengan
rentang nilai 3-15 sesuai dengan hasil pemeriksaan berikut:

Pembukaan mata (Eye/E)

4= membuka spontan

3= membuka dengan rangsang suara

2= membuka dengan rangsang nyeri

1= tidak ada respon

Respon motorik (Motoric/M)

6= mengikuti perintah

5= mampu melokalisasi rasa nyari

4= menjauhi rangsang nyeri

3= posisi fleksi (dekortikasi)

2= posisi ekstensi (deserebrasi)

1= tidak ada respon


Respon verbal (Verbal/V)

5= orientasi baik dan mampu berbicara normal

4= mampu mengucapkan kalimat namun disorientasi

3= hanya mampu mengucapkan kata tidak jelas artinya

2= mengerang atau merintih

1= tidak ada respon

Berdasarkan tingkat keparahannya cedera otak traumatik dibagi menjadi:

Ringan, GCS 14-15

Sedang, GCS 9-13

Berat, GCS 3-8 [9]

Selain daripada memeriksa tanda kegawatdaruratan dan GCS, tanda adanya cedera kepala lain
seperti fraktur atau laserasi, serta tanda cedera di bagian tubuh lainnya juga harus dinilai.

Diagnosis Banding

Diagnosis banding pada umumnya adalah kondisi yang tersamar akibat terjadinya suatu proses
trauma. Beberapa yang dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis banding adalah:

Stroke

Alzheimer

Stroke sirkulasi anterior

Tumor otak

Metastasis otak

Aneurisma serebral

Status konfusional dan gangguan memori akut

Epileptik dan ensefalopati epileptiform


Sindrom lobus frontalis

Serangan umum tonik-klonik

Hidrosefalus

Empiema subdural

Epilepsi lobus temporal

Penyakit akibat prion [10]

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium dan radiologi.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan sampel darah pada pasien cedera otak traumatik ditujukan untuk menilai kondisi
penyulit dan kondisi yang mendasari keadaan pasien. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:

Pemeriksaan kadar elektrolit, pada pasien koma sering diitemui hiponatremia akibat gangguan
pengaturan hormon diuretik. Kadar magnesium juga dapat menurun pada fase akut akibat proses
eksitotoksik

Pemeriksaan faktor koagulasi (aPTT, PT, tombosit), pasien orang tua mungkin sedang dalam
pengobatan dengan antikoagulan. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menilai risiko
perdarahan intrakranial

Kadar alkohol dalam darah, untuk menyingkirkan penyebab penurunan kesadaran atau
disorientasi [10]

Pemeriksaan Radiologi

CT-Scan kepala berperan penting dalam pencitraan cedera kepala. Namun pada pasien cedera
otak traumatik ringan, kelainan pada CT-Scan yang spesifik tidak sering ditemukan. Kelainan
pada gambaran CT-Scan lebih sering ditemukan pada cedera otak traumatik yang lebih berat.
Oleh karena itu perlu untuk mempertimbangkan indikasi dilakukannya CT-Scan.

Indikasi harus CT-Scan segera:


Tanda-tanda fraktur pada tulang tengkorak (basis kranii, depresi, atau fraktur terbuka)

Kelainan pada pemeriksaan neurologis

Serangan kejang

Muntah lebih dari 1 kali

Mekanisme trauma risiko tinggi (terlempar dari kendaraan, pejalan kaki ditabrak oleh kendaraan)

Penurunan skor GCS atau skor GCS persisten kurang dari 15

Indikasi pertimbangan perlu dilakukan CT-Scan:

Usia lebih dari 60 tahun

Amnesia anterograd persisten

Amnesia retrograd lebih dari 30 menit

Koagulopati

Terjatuh lebih dari 1 meter

Hilang kesadaran lebih dari 30 menit

Faktor sosial (tidak dapat dianamnesis untuk riwayat yang jelas) [2]
 

CT Scan pada cedera otak traumatik. Sumber: anonim, Openi, 2009.

Gambar: Hasil pencitraan CT scan pada level ventrikel lateral. Tampak lapisan tipis hematoma
subdural akut pada bagian kiri (tanda panah) dengan pergesaran garis tengah minimal.

Tatalaksana

Penatalaksanaan cedera otak traumatik pada unit gawat darurat mengikuti protokol advance
trauma life support (ATLS). Pasien penurunan kesadaran harus selalu dilakukan manajemen
jalan napas, pemberian ventilasi dan oksigen yang adekuat, dan pemberian cairan. Imobilisasi
spinal harus dilakukan kecuali jika sudah dilakukan pemeriksaan penunjang yang
mengindikasikan bahwa imobilisasi dapat dihentikan. Penilaian skor GCS dilakukan dan
secepatnya diputuskan apakah memerlukan pemeriksaan CT-Scan kepala atau tidak.
Pasien dengan perdarahan (subdural, epidural) langsung dipersiapkan untuk tindakan bedah.
Pasien cedera otak traumatik berat pada umumnya mengalami peningkatan tekanan intrakranial
(trias peningkatan tekanan intrakranial yaitu muntah proyektil, kejang, dan nyeri kepala) harus
dikontrol dengan medikamentosa atau tindakan antara lain:

Pengawasan tekanan darah, tekanan darah sistolik dipertahankan di atas 90 mmHg

Oksigenasi, pemberian oksigen dengan mempertahankan saturasi oksigen di atas 90%

Terapi hiperosmolar dengan manitol untuk menurunkan tekanan intrakranial dengan dosis 0,25
g/kgBB sampai 1 g/kgBB. Terapi manitol harus dihindari pada kondisi hipotensi dan tanda-tanda
herniasi transtentorial

Terapi hipersalin dengan cairan salin 3%, kadar elektrolit natrium dapat ditingkatkan hingga
batas atas 155 meq/L melalui infus kontinyu maupun bolus 250 mL cairan NaCl 3%. Hipertonik
salin tidak dapat dihentikan tiba-tiba karena dapat menyebabkan kembalinya peningkatan
tekanan intrakranial tiba-tiba. Harus dilakukan tappering-off.

Terapi hiperventilasi, tidak dianjurkan dilakukan dalam 24 jam pertama setelah trauma. Tujuan
hiperventilasi adalah membuat kondisi hipokapnia sehingga terjadi refleks vasokonstriksi
sehingga mengurangi aliran darah serebral.

Pemberian profilaksis antibiotik, untuk mencegah infeksi dan pneumonia akibat tindakan medis
(intubasi)

Pemberian steroid dalam menurunkan tekanan intrakranial berhubungan dengan peningkatan


mortalitas. [2]

Medikamentosa

Obat-obatan yang digunakan dalam manajemen cedera otak traumatik antara lain:

Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial dengan dosis 0,25 g/kgBB sampai 1
g/kgBB. Terapi manitol harus dihindari pada kondisi hipotensi dan tanda-tanda herniasi
transtentorial
Cairan NaCl atau salin 3%, infus kontinyu maupun bolus 250 mL cairan NaCl 3% untuk
meningkatkan kadar elektolit natrium hingga batas atas 155 meq/L apabila perlu. Penghentian
pemberian salin 3 % harus di tapering-off.

Pemberian profilaksis antibiotik, untuk mencegah infeksi dan pneumonia.

Pemberian steroid tidak dianjurkan

Tindakan Bedah

Tata laksana bedah umumnya dilakukan pada hematoma akut ekstra aksial yakni perdarahan
subdural dan perdarahan epidural. Sementara pada perdarahan intraserebral tindakan bedah
kontroversial untuk dilakukan karena tidak banyak bukti yang mendukung. Tindakan bedah pada
perdarahan intraserebral dilakukan setelah pertimbangan lokasi perdarahan dan jumlah
perdarahan.

Rujukan

Pasien cedera otak traumatik harus dirujuk dapat ke bagian bedah saraf atau ke bagian penyakit
saraf. Indikasi rujukan cedera otak traumatik ke bedah saraf antara lain:

Temuan abnormal pada CT-Scan kepala (hematoma, fraktur)

Skor GCS kurang dari 8 setelah resusitasi

Skor GCS yang semakin menurun terutama motorik

Tanda kelainan neurologis yang progresif

Luka tusuk pada kepala

Kebocoran cairan serebrospinal

Indikasi untuk evakuasi perdarahan pada perdarahan epidural (EDH) adalah:

Volume EDH lebih dari 30 cc tanpa mempertimbangkan skor GCS

Volume EDH kurang dari 30 cc, ketebalan kurang dari 15 mm, midline shift kurang dari 5 mm
dapat ditangani secara non operatif dengan observasi ketat.

Indikasi untuk evakuasi perdarahan pada perdarahan epidural (EDH) adalah:


SDH akut dengan ketebalan lebih dari 10 mm atau midline shift lebih dari 5 mm pada hasil CT
Scan kepala harus dievakuasi secara bedah tanpa mempertimbangkan skor GCS pasien.

Pasien dengan skor GCS kurang atau sama dengan 8, ketebalan SDH kurang dari 10 mm,
midline shift kurang dari 5 mm dilakukan evakuasi hematom secara bedah bila terdapat salah
satu berikut ini:

Skor GCS telah turun 2 atau lebih sejak penilaian GCS awal

Pupil anisokor atau tidak respon dan dilatasi.

Peningkatan tekanan intrakranial lebih dari 20 mmHg

Pasien juga dapat dirujuk ke spesialis saraf untuk kolaborasi dengan bedah saraf untuk
menangani pasien secara medikamentosa misalnya untuk pemberian manitol pada pasien yang
mengalami herniasi serebri. Pasien yang perlu dipantau ketat termasuk penanganan tekanan
intrakranial yang tinggi dapat dirawat di ruang rawatan intensif. [11]

Rehabilitasi

Rehabilitasi penting bagi pasien setelah mengalami cedera otak traumatik, karena gangguan
kognitif, gangguan emosional, serta gejala sisa defisit neurologis dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari pasien. Modalitas rehabilitasi bersifat kompleks karena tergantung dari kondisi
masing-masing pasien. Dukungan sosial sangat diperlukan dalam upaya rehabilitasi tersebut.

Prognosis

Prognosis cedera otak traumatik tergantung pada keparahan benturan. Angka morbiditas dan
mortalitas pasien cedera otak traumatik berat tinggi yakni masing-masing 38% dan 29%.

Komplikasi

Komplikasi yang paling sering ditemui pada cedera otak traumatik antara lain:

Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur basis kranii

Meningitis
Serangan kejang

Hidrosefalus akubat perdarahan subaraknoid

Cedera saraf kranial

Higroma subdural

Chronic subdural hematoma

Disfungsi pituitari akibat fraktur basis kranii anterior [11]

Komplikasi cedera otak traumatik dapat bertahan jangka panjang. Komplikasi tersebut menjadi
beban tersendiri karena muncul menjadi sekuele antara lain:

Post traumatic stress disorder, paling sering pada cedera otak traumatik yang berhubungan
dengan ledakan.[4]

Gangguan kognitif, sekuele yang sering ditemukan bahkan pada cedera otak traumatik ringan
sebanyak 65%. Gangguan kognitif menyebabkan pasien kesulitan dalam menjalankan aktivitas
sehari-harinya di rumah maupun di tempat kerja.[12]

Gangguan tidur dikeluhkan oleh 50% pasien yang pernah mengalami cedera otak traumatik.
Prevalensi insomnia, hipersomnia dan sleep apnea lebih tinggi masing 19%, 18%, dan 23% pada
pasien yang mengalami cedera otak traumatik dibandingkan populasi normal.[13]

Chronic Traumatic Encephalopathy (CTE) yaitu kelainan neuropatologis yang ditemukan pada


autopsi yang berhubungan dengan gangguan mood, gangguan perilaku, dan gangguan kognitif
yang pada awalnya ditemukan dalam seri kasus pada pemain American football. CTE
dihubungkan dengan cedera otak traumatik ringan yang repetitif.[14]

Prognosis

Angka morbiditas dan mortalitas pasien cedera otak traumatik berat tinggi yakni masing-masing
38% dan 29%. Sementara pada pasien cedera otak traumatik ringan tanpa kelainan pada CT-Scan
prognosisnya membaik dalam 24 jam dimana pasien sudah dapat kembali orientasi penuh. Gejala
gegar otak (post concussive) yakni gejalan somatik (nyeri kepala, pusing), gejala kognitif
(gangguan memori dan pemusatan perhatian), dan gejala emosional (iritabilitas, depresi)
berangsur-angsur pulih hingga dalam 12 minggu. Walaupun pemulihan mencapai 12 minggu,
namun pada umumnya pasien dapat kembali bekerja dalam waktu 1 bulan.[15]

4. Rosenfeld J V, McFarlane AC, Bragge P, Armonda RA, Grimes JB, Ling GS. Blast-related
traumatic brain injury. Lancet Neurol [Internet]. 2013 Apr 9;12(9):882–93. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/S1474-4422(13)70161-3

11. Kolias AG, Guilfoyle MR, Helmy A, Allanson J, Hutchinson PJ. Traumatic brain injury in
adults. Pract Neurol [Internet]. 2013 Jul 4;13(4):228 LP-235. Available from:
http://pn.bmj.com/content/13/4/228.abstract

12. Rabinowitz AR, Levin HS. Cognitive Sequelae of Traumatic Brain Injury. Psychiatr Clin N
Am [Internet]. 2014;37(1):1–11. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.psc.2013.11.004

13. Mathias JL, Alvaro PK. Prevalence of sleep disturbances, disorders, and problems following
traumatic brain injury: A meta-analysis. Sleep Med [Internet]. 2012 Apr 9;13(7):898–905.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.sleep.2012.04.006

14. Gardner RC, Yaffe K. Epidemiology of mild traumatic brain injury and neurodegenerative
disease. Mol Cell Neurosci [Internet]. 2015;66:75–80. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.mcn.2015.03.001
15. Levin HS, Diaz-Arrastia RR. Diagnosis, prognosis, and clinical management of mild
traumatic brain injury. Lancet Neurol [Internet]. 2015 Apr 11;14(5):506–17. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/S1474-4422(15)00002-2

Stroke

Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang
cepat akibat gangguan fokal atau global dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam
atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskuler.

2.2.2. Klasifikasi Stroke Hemoragik

a. Perdarahan Sub Araknoid (PSA)

Perdarahan Subaraknoid (PSA) adalah keadaan akut dimana terdapatnya/masuknya


darah ke dalam ruangan subaraknoid, atau perdarahan yang terjadi di pembuluh darah di luar
otak, tetapi masih di daerah kepala seperti di selaput otak atau bagian bawah otak. PSA
menduduki 7-15% dari seluruh kasus Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO). PSA paling
banyak disebabkan oleh pecahnya aneurisma (50%).

b. Perdarahan Intra Serebral (PIS)


Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah
dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma, dimana 70% kasus PIS terjadi di
kapsula interna, 20% terjadi di fosa posterior (batang otak dan serebelum) dan 10% di hemisfer
(di luar kapsula interna). PIS terutama disebabkan oleh hipertensi (50-68%). Angka kematian
untuk perdarahan intraserebrum hipertensif sangat tinggi, mendekati 50%. Perdarahan yang
terjadi diruang supratentorium (diatas tentorium cerebeli) memiliki prognosis yang baik
apabila volume darah sedikit. Namun, perdarahan kedalam ruang infratentorium didaerah pons
atau cerebellum memiliki prognosis yang jauh lebih buruk karena cepatnya timbul tekanan pada
struktur–struktur vital dibatang otak.

Patofisiologi

1. Perdarahan Intra cerebral


Pecahnya pembuluh darah otak terutama karena hipertensi mengakibatkan darah
masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa atau hematom yang menekan jaringan otak
dan menimbulkan oedema di sekitar otak. Peningkatan TIK yang terjadi dengan cepat dapat
mengakibatkan kematian yang mendadak karena herniasi otak. Perdarahan intracerebral sering
dijumpai didaerah putamen, thalamus, subkortikal, nucleus caudatus, pons, dan cerebellum.
Hipertensi kronis mengakibatkan perubahan struktur dinding pembuluh darah berupa
lipohyalinosis atau nekrosis fibrinoid.

2. Perdarahan Subarachnoid
Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma atau MVA. Aneurisma paling sering
didapat pada percabangan pembuluh darah besar di Sirkulus Wilisi. MVA dapat dijumpai pada
jaringan otak dipermukaan piamater dan vertikel otak ataupun didalam ventrikel otak dan
ruang subarachnoid. Pecahnya arteri dan keluarnya darah ke ruang subarachnoid
mengakibatkan terjadinya peningkatan TIK yang mendadak, meregangnya struktur peka nyeri,
sehingga timbul nyeri kepala hebat. Sering dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda rangsangan
selaput otak lainnya. Peningkatan TIK yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan
subarachnoid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan subarachnoid dapat
mengakibatkan vasospasme pembuluh darah sereberal. Vasospasme ini sering terjadi 3-5 hari
setelah timbulnya perdarahan, mencapai puncaknya hari ke 5-9 dan dapat menghilang setelah
minggu ke 2-5. Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi antara bahan-bahan yang
berasal dari darah dan dilepaskan kedalam cairan serebrospinal dengan pembuluh arteri di
ruang subarachnoid. Vasospasme ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri kepala,
penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparase, gangguan hemisensorik, afasia, dan lain-
lain). Otak dapat berfungsi jika kebutuhan O2 dan glukosa otak dapat terpenuhi. Energi yang
dihasilkan didalam sel saraf hamper seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya
cadangan O2 jadi kerusakan, kekurangan aliran darah otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar
metabolism otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa sebanyak 25 mg% dari kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma
turun sampai 70% akan terjadi gejala disfungsi serebral. Pada saat otak hipoksia, tubuh
berusaha memenuhi O2 melalui metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah otak.

2.5. Gejala Stroke Hemoragik

2.5.1. Perdarahan Sub Dural

Gejala-gejala perdarahan sub dural adalah nyeri kepala progresif, ketajaman


penglihatan mundur akibat edema papil yang terjadi, tanda-tanda defisiensi
neorologik daerah otak yang tertekan.

2.5.2. Perdarahan Sub Araknoid

a. Gejala prodormal : nyeri kepala hebat dan akut hanya 10%, 90% tanpa keluhan
sakit kepala.
b. Kesadaran sering terganggu, dari tidak sadar sebentar, sedikit delirium sampai koma.
c. Fundus okuli : 10% penderita mengalami papil edema beberapa jam setelah perdarahan.
d. Gangguan fungsi saraf otonom, mengakibatkan demam setelah 24 jam karena rangsangan
meningeal, muntah, berkeringat, menggigil, dan takikardi.
e. Bila berat, maka terjadi ulkus peptikum disertai hamtemesis dan melena (stress
ulcer), dan sering disertai peningkatan kadar gula darah, glukosuria dan albuminuria.

2.5.3. Perdarahan Intra Serebral

Gejala prodormal tidak jelas, kecuali nyeri kepala karena hipertensi. Serangan seringkali
di siang hari, waktu bergiat atau emosi/marah. Pada permulaan serangan sering disertai dengan
mual, muntah dan hemiparesis. Kesadaran biasanya menurun dan cepat masuk koma (65%
terjadi kurang dari setengah jam, 23% antara ½-2 jam, dan 12% terjadi setelah 2 jam sampai 19
hari).

2.8. Diagnosis Stroke

Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia 1999 mengemukakan bahwa


diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.

2.8.1. Anamnesis

Anamnesis dapat dilakukan pada penderita sendiri, keluarga yang mengerti tentang
penyakit yang diderita. Anamnesis dilakukan dengan mengetahui riwayat perjalanan penyakit,
misalnya waktu kejadian, penyakit lain yang diderita, faktor- faktor risiko yang menyertai
stroke.
2.8.2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain : pemeriksaan fisik umum (yaitu
pemeriksaan tingkat kesadaran, suhu, denyut nadi, anemia, paru dan jantung), pemeriksaan
neurologis dan neurovaskuler.

2.8.3. Pemeriksaan Penunjang

Kemajuan teknologi kedokteran memberi kemudahan untuk membedakan antara stroke


hemoragik dan stroke iskemik diantaranya : Computerized Tomograph scanning (CT Scan),
Cerebral angiografi, Elektroensefalografi (EEG), Magnetic Resonance Imaging (MRI),
Elektrokardiografi (EKG), pemeriksaan laboratorium dan lainnya.

2.7. Tindakan Medis Stroke Hemoragik

Tindakan medis pada stroke hemoragik ditujukan agar penderita tetap hidup dengan
harapan pendarahan dapat berhenti secara spontan. Sekali terjadi pendarahan maka terapi
medikanmentosa tidak dapat menghentikannya. Tindakan medis yang dilakukan pada penderita
stroke hemoragik meliputi :

2.7.1. Tindakan Operatif

Pertimbangan untuk melakukan operasi biasanya bila perdarahan berada di daerah


superficial (lobar) hemisfer serebri atau perdarahan sereberal. Penentuan waktu untuk
operasi masih bersifat kontroversial. Berdasarkan data mortalitas pasca operasi, disimpulkan
bahwa waktu untuk operasi adalah antara 7-9 pasca perdarahan. Tindakan operasi segera
setelah terjadi perdarahan merupakan tindakan berbahaya karena terjadinya retraksi otak
yang dalam keadaan membengkak. Sementara itu tindakan operasi yang dini dapat
menimbulkan komplikasi iskemi otak.
2.7.2. Tindakan Konservatif

a. Pencegahan peningkatan tekanan intrakranial lebih lanjut.

Upaya pencegahan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) lebih lanjut adalah


pengendalian hipertensi dan pengobatan kejang. Hipertensi yang menetap akan meningkatkan
edema otak dan TIK. Pengendalian hipertensi harus hati-hati karena apabila terjadi hipotensi
maka otak akan terancam iskemia dan kerusakan neuron. Pada stroke hemoragik akut
pemberian obat antihipertensi diberikan apabila tekanan darah sistol > 200 mmHg atau
tekanan darah diastol > 110 mmHg atau MAP >130 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat anti hipertensi Intra Vena kontinyu dipantau setiap 5 menit. Tetapi jika
sudah lebih dari fase akut maka obat anti hipertensi harus diberikan. Kejang biasanya terjadi
pada perdarahan otak sehingga pemberian anti konpulsan secara rutin tidak dianjurkan. Pada
hiperglikemia tidak diajurkan untuk diberi difenilhidantoin karena glukosa darah akan meninggi
dan kejang tidak terkontrol. Secara umum antikonfulson yang dianjurkan adalah
difenilhidantoin (bolus intravena) dan diazepam.

b. Pengendalian peningkatan tekanan intrakranial.

Secara umum terapi untuk hipertensi intrakranial meliputi hiperventilasi, diuretika, dan
kortikosteroid. Hipertventilasi paling efektif untuk menurunkan hipertensi intrakranial secara
cepat, biasanya dalam beberapa menit untuk mencapai tingkat hipokapnia antara 25-30 mmHg.

Urea intravena (0,30 gr/Kg BB), atau lebih umum dipakai manitol (0,25-1,0 gr/Kg BB)
dapat menurunkan TIK secara cepat, sering diberikan bersama-sama dengan hiperventilasi pada
kasus herniasi otak yang mengancam.

Managemen Anestesi TBI


Dalam beberapa tahun terakhir pendekatan awal yang disarankan adalah fokus untuk menangani
cedera yang mengancam jiwa, agak ingin memperbaiki semua lesi. Kemudian lanjutkan dengan
resusitasi dan, setelah pasien stabil, lanjutkan dengan perawatan luka trauma yang kurang parah.
2 Ketika pasien menjalani operasi, kita memiliki kesempatan unik untuk melakukan resusitasi
komprehensif, koreksi semua kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan sekunder. dan
membangun pemantauan invasif untuk manajemen ICU.

Evaluasi Pre-Anestesi

Evaluasi awal harus fokus pada memperkirakan tingkat dan signifikansi dari cedera, stabilitas
pernapasan dan hemodinamik pasien, memahami mekanisme trauma dan mengidentifikasi
adanya kondisi yang memperburuk seperti keracunan, komorbiditas dan perawatan sebelumnya.

Manajemen Anestesi

Jika pasien dalam keadaan koma (GCS <9), menunjukkan jalan napas atau pernapasan yang
tidak stabil, atau memerlukan resusitasi agresif atau pembiusan anestesi, operasi jalan nafas
harus diamankan. Perangkat pilihan adalah tabung endotrakeal karena alat supraglottic tidak
setuju untuk kontrol ventilasi yang tepat di setiap tas dan gagal melindungi pasien dari
bronchaspiration. Asumsi umum adalah bahwa setiap pasien trauma memiliki cedera sumsum
tulang belakang yang potensial dan perut penuh dan dengan demikian harus dikelola dengan
stabilisasi leher dan tindakan pencegahan untuk bron-choaspiration. Membuat pasien pingsan
juga merupakan kunci untuk menghindari respons hipertensi terhadap laringoskopi-intubasi yang
cenderung meningkatkan ICP dan menjadi sangat merusak. Agen yang direkomendasikan adalah
obat yang bekerja cepat: Thiopental, Propofol, Midazolam dan Ketamine. Dua yang pertama
cepat, efeknya dapat diprediksi, dan memiliki efek yang besar pada tekanan darah, sehingga
obat-obatan ini harus dititrasi sampai pasien tidak sadarkan diri. Midazolam adalah adjuvan yang
berharga, tetapi tidak cukup untuk induksi, meskipun mungkin sesuai ketika pasien sudah tidak
sadar. Ketamine baru-baru ini dianggap aman dalam situasi ini, asalkan diberikan dengan agen
hipnotis dan pada dosis sedang (0,6-1 mg / kg, sebagai bolus intravena lambat) .4 Penggunaan

narkotika (Fentanyl atau Remifentanil) direkomendasikan untuk membantu mempotensiasi efek


agen hipnosis. Setelah pasien diberikan ventilasi sungkup muka bawah sadar dan baik, relaksan
cepat dapat diberikan: Rocuro-nium atau Succinylcholine (SCh); kenaikan ICP yang sedikit dan
sementara akibat SCh (dosis hingga 1 mg / kg) tidak banyak berpengaruh secara klinis5;
sebaliknya, SCh memungkinkan untuk kontrol cepat dan efek jangka pendek yang berkontribusi
pada keamanan prosedur. Jangan lupa untuk menstabilkan leher, ventilasi masker di seluruh
prosedur untuk menghindari hiperkapnia dan verifikasi intubasi menggunakan kapnografi atau
fonendoskop. Manajemen ventilasi mekanis Dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi jelas
bahwa ventilasi yang memadai adalah faktor penting untuk menawarkan otak kondisi terbaik
untuk pemulihan. Sekarang jelas bahwa hiperventilasi profilaksis tidak berperan dalam
pengelolaan pasien-pasien ini6 dan bahwa menjaga PaCO2 mendekati nilai normal
meningkatkan kemungkinan hasil yang baik. ke manuver lain dengan efek yang diperluas
(operasi, drainase CSF, agen osmotik, dll.) 6,8 Ventilasi mekanis
dipertahankan selama periode pasca operasi pada semua pasien yang dirawat di OR diintubasi
atau tidak sadar. Manajemen cairan, resusitasi hemodinamik Pasien dengan TBI terisolasi
biasanya hadir dengan tekanan darah normal atau hipertensi. Hipotensi harus menimbulkan
kecurigaan cedera terkait (Tabel 1) dan harus memicu pengobatan yang memadai. Alat awal
selalu pemberian cairan kristaloid isotonik bebas glukosa; Tujuan utama adalah untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik di atas ambang syok biasa (90 mmHg), tetapi begitu
pemilahan terkendali, terutama jika diduga terjadi hipertensi endokranial, tujuannya berubah
menjadi MBP> 85 mmHg.9Dalam hal ini kasus lebih baik untuk mengukur tekanan intrakranial
(ICP) untuk memperkirakan tekanan perfusi otak (CPP) dan mempertahankannya pada> 60
mmHg. Sangat penting untuk mempertahankan CPP di atas batas bawah autoregulasi otak pada
pasien anak6; walaupun hanya ada sedikit informasi tentang batasan ini, beberapa rekomendasi
ahli tersedia (Tabel 3). Studi terbaru memberikan beberapa panduan terkait dengan penggunaan
kristaloid, karena koloid pati atau jenis gelatin gagal membantu dalam mencapai tujuan dan
dikaitkan dengan lebih tinggi kejadian gagal ginjal.10Albumin tidak diindikasikan karena ada
bukti kuat yang menunjukkan bahwa hal itu semakin menurunkan hasil neurologis.11 Kegagalan
untuk dengan cepat mengontrol panggilan tekanan untuk penggunaan vaso-pressors seperti
fenilefrin atau norepinefrin, 9yang membantu mempertahankan CPP tanpa mempengaruhi ICP,
selain membatasi risiko yang berkaitan dengan keseimbangan air yang berlebihan: edema paru,
koagulopati dilusional, dan sindrom kompartemen abdominal. 12 Manajemen anestesi untuk
pembedahan neurologis. Obat anestesi (hipnotik, agen amnesik, dan analgesik) harus diberikan
dengan sangat hati-hati pada trauma parah, menilai respons klinis dan pasien stabilitas harus
mengawal mengubah dosis. Sangat penting bahwa pasien menerima dosis yang cukup dari obat-
obatan ini untuk memastikan tidak sadar, amnesia dan analgesia yang memadai. Pemeliharaan
anestesi dapat dilakukan dengan anestesi inhalasi atau intra-vena, dengan hati-hati menghormati
tujuan manajemen (Tabel 3). Dianjurkan untuk mempertahankan tekanan ekspirasi di bawah 1
CAM ketika menggunakan agen anestesi inhalasi untuk menghindari efek vasodilator serebral
dari dosis yang lebih tinggi. Mungkin perlu juga menggunakan narkotika yang mempotensiasi
efek agen anestesi tanpa memengaruhi volume darah otak. Jika pasien berada di bawah anestesi
inhalasi dan menunjukkan edema serebral yang tidak dapat dikontrol dengan tindakan lain,
rekomendasinya adalah mengubah teknik untuk

total anestesi intravena (TIVA) menggunakan Propofol atau Thiopen-tal. Ada risiko yang lebih
tinggi dari hipotensi intrasurgikal ketika CT-scan menunjukkan hematoma yang besar atau
multipel, atau kompresi dari basal cistern. Manajemen edema serebral Edema serebral pasca
trauma membutuhkan beberapa jam untuk berkembang, tetapi biasanya ada perdarahan
intrakranial yang menyebabkan suatu efek massa dan meningkatkan tekanan intrakranial.Ini
adalah penyebab masalah bedah awal utama. Beberapa obat hipertonik tersedia dan telah
digunakan untuk mengendalikan volume otak: 20% Mannitol; 1,8–23% larutan hypertonicsaline
(konsentrasi tertinggi yang tersedia di pasar di Kolombia adalah 1,7% Natrol) dan hipertonik
bikarbonat. Semua dari mereka memiliki efek cepat untuk meningkatkan volemia dan tonisitas
plas-matic, yang mengarah ke drainase pengantara gratis dan air intraseluler. Penting untuk
dicatat bahwa Mannitol bersifat adiuretik dan dapat menginduksi hipovolemia, sehingga
memerlukan kontrol keseimbangan cairan dekat.14 Meskipun kemanjuran solusi Mannitol dan
larutan salin hipertonik telah terbukti, bukti yang dipublikasi menekankan keunggulan dari
larutan garam hipertonik.15 Rekomendasi kami adalah 7,5% SS pada dosis 2 ml / kg melalui
kateter sentral atau 20% Mannitol 0,5-1 g / kg. Manajemen anestesi untuk pembedahan non-
neurologis. Jika pasien mengalami hipotensi akibat perdarahan, prioritasnya adalah
menghentikan perdarahan dan mengendalikan lesi yang disebabkan oleh seperti pendarahan.
Pendekatan dalam kasus-kasus ini adalah untuk mengontrol kerusakan agar dapat diresusitasi
dengan benar. Meskipun prioritasnya bukan neurologis, manajemen kami harus dipicu oleh
tujuan yang ditetapkan (Tabel 3), dan harus mencakup pemantauan ICP yang diperlukan dalam
anestesi; akhirnya pembedahan non-neurologis adalah pilihan kedua; dalam kasus-kasus ini kita
harus memastikan bahwa tujuan tercapai (Tabel 3). Jika ICP diangkat, hiperventilasi sementara,
drainase CSF atau cairan vasoaktif atau obat yang meningkatkan MBP dapat digunakan.

Mengevaluasi dan memperbaiki koagulopati. Biasanya pasien BIT mengalami trauma akut
koagulopa-ti, terutama jika ada syok atau perdarahan yang cukup. Hal ini dimanifestasikan
melalui perpanjangan waktu pembekuan (waktu Prothrombin - PT) dengan fibrinolisis,
hipofibrinogin-mia, dan trombositopenia progresif. volume kristaloid dan koloid meningkatkan
pengenceran dan memperburuk situasi. Rekomendasi dalam kasus ini termasuk: resusitasi cairan
yang bijaksana, evaluasi perdarahan awal dan status koagulasi dengan thromboelastog-raphy jika
tersedia, atau serangkaian tes paraclinical (PT, fibrinogen, jumlah trombosit, dimmer D dan
FDP) yang membantu dalam memilih produk darah untuk transfusi untuk memperbaiki segala
kegagalan. Penggunaan asam aminoeksamat 17 telah disarankan, tetapi bukti yang tersedia tidak
konklusif dan oleh karena itu dicadangkan untuk pasien multipletrauma dan perdarahan yang
signifikan.18 Ketidakseimbangan elektrolit. Ketidakseimbangan elektrolit sering terjadi sebagai
akibat dari fisiofisiologi BIT atau iatrogenik. Gangguan antidiuretichormon jarang terjadi dan
terjadi akhir-akhir ini, tetapi selanjutnya dapat memperburuk ketidakseimbangan hidrolitik
elektrolit. Untuk alasan ini, Anda harus selalu memiliki ionogram baru-baru ini di tangan atau
permintaan seseorang ketika mengevaluasi pasien sehingga langkah-langkah perbaikan
diterapkan segera setelah ketidakseimbangan diidentifikasi. Kejadian yang paling sering terjadi
adalah hipernatremia - yang dapat ditoleransi (Tabel 3) - karena ada beberapa indikasi menjadi
bermanfaat dalam situasi ini19; hiponatremia biasanya tertunda atau iatrogenik dan harus diobati
secara agresif karena merupakan asal-usul edema serebral; hipokalemia, biasanya iatrogenik
(Mannitol) dan hipomagnes-emia, biasanya terlambat. Hipotermia Hipotermia adalah kondisi
yang sering terjadi pada trauma yang parah, dan telah dikaitkan dengan hasil yang buruk20 ;
Oleh karena itu penting untuk memantau suhu dan untuk secara aktif melawan hipotermia yang
biasanya menyertai generalanesthesia dan resusitasi cairan agresif. Setelah beberapa jam,
hipertermia dapat berkembang dan juga memiliki efek negativeprognostik yang memerlukan
intervensi agresif. Rekomendasi saat ini adalah penggunaan manajemen suhu yang ditargetkan
yang terdiri dalam mengatur suhu secara aktif antara 36 dan 37◦C.21Hasilnya telah menunjukkan
bahwa hipotermia terapeutik profilaksis (sebelum hipertensi endrokranial berkembang) gagal
memperbaiki hasil tetapi tidak meningkatkan morbiditas. 6,9Steroid penggunaan
direkomendasikan untuk waktu yang lama sebagai bagian dari pendekatan TBI yang
komprehensif. Namun, uji coba orang dewasa pada tahun 2004 jelas menunjukkan bahwa
penggunaan metilprednisolon dosis tinggi meningkatkan mortalitas dan mengarah ke hasil
negatif setelah enam bulan.1 Tidak ada uji coba konklusif pada anak-anak, tetapi rekomendasi
adalah untuk menghindari menggunakannya.

TEKANAN INTRACRANIAL / MANAJEMEN TEKANAN PERFUSI CEREBRAL

The Brain Trauma Foundation menerbitkan Pedoman berbasis bukti untuk Manajemen Cedera
Otak Traumatis Parah pada tahun 2007.23 Manajemen, baik dalam

unit perawatan intensif atau di ruang operasi, termasuk memelihara otak yang tepat

aliran darah dan oksigenasi untuk menghindari cedera otak sekunder. Di masa lalu, terapi ini

diarahkan pada manajemen ICP tetapi baru-baru ini telah terjadi perubahan

menuju strategi menjaga CPP yang memadai (Kotak 1). Pemantauan ICP digunakan untuk

memandu kedua strategi; Namun, percobaan multicenter acak terbaru (TERBAIK: TRIP
[Bukti Tolok Ukur dari Uji Coba Amerika Selatan: Penanganan Tekanan Intracranial]) dan meta-
analisis yang dipublikasikan telah menimbulkan kekhawatiran bahwa pemantauan ICP intensif
tidak memberikan manfaat tambahan.24,25

Target umum manajemen TBI adalah mempertahankan ICP kurang dari 20 mm Hg dan

tekanan perfusi otak antara 50 dan 70 mm Hg. Terapi agresif untuk meningkatkan CPP hingga
lebih dari 70 mm Hg telah dikaitkan dengan peningkatan insidensi akut.

sindrom gangguan pernapasan dan efek samping lainnya. Ketegangan oksigen jaringan otak

pemantauan juga dapat digunakan sebagai penanda untuk resusitasi dengan ambang pengobatan

tingkat tekanan oksigen kurang dari 15 mm Hg.23,26

Manajemen awal untuk mengurangi ICP mencakup teknik sederhana untuk mempromosikan
otak

drainase vena dengan ketinggian head-of-bed sampai 30 serta menjaga leher dalam

posisi netral dan memastikan bahwa kerah serviks tidak terlalu kencang. Posisi Reverse
Trendelenburg dapat digunakan secara intraoperatif jika ketinggian head-of-bed tidak layak

Sedasi sering digunakan untuk mengurangi ICP dan kebutuhan metabolisme otak juga
menumpulkan efek takikardia dan hipertensi. Propofol umumnya digunakan dalam pengaturan
perawatan intensif karena onset yang cepat dan durasi tindakan yang singkat, yang memfasilitasi
penilaian neurologis yang sering.

Obat hyperosmolar dapat menurunkan ICP dengan menciptakan gradien osmolar itu

menarik air melintasi sawar darah-otak ke ruang intravaskular dan dengan demikian menurunkan
volume interstitial. Agen yang umum digunakan termasuk manitol dan salin hipertonik. Selain
efek osmolar, manitol juga bisa

meningkatkan aliran darah otak dengan mengurangi sementara viskositas darah. Secara umum

Dosis 0,25-1 g / kg setiap 4 hingga 6 jam tetapi menjadi kurang efektif dengan dosis berulang.

Osmolalitas serum harus diukur secara serial selama terapi manitol untuk mempertahankannya

kurang dari 320 mOsm / L dan hati-hati harus digunakan pada pasien hipovolemik karena

efek diuretiknya. Saline hipertonik tersedia dalam berbagai konsentrasi

(1,5% -23,4%) dengan konsentrasi 3% atau lebih tinggi yang membutuhkan administrasi melalui
pusat

akses vena. Pemberian bolus tampaknya lebih unggul daripada infus berkelanjutan

Meskipun penurunan ICP adalah terapi lini pertama, dukungan hemodinamik dengan pressor
adalah

terkadang digunakan untuk mempertahankan CPP dengan meningkatkan MAP. Norepinefrin


adalah

agen yang disukai karena profil hemodinamiknya, walaupun dapat menyebabkan refleks

bradycardia.34 Namun, peningkatan CPP buatan hingga lebih dari 70 mm Hg telah terjadi

dikaitkan dengan peningkatan komplikasi dan tidak dianjurkan.

Hipovolemia harus dikoreksi sebelum dimulainya pressors. Normal isotonik


saline harus digunakan karena saline hipotonik dapat memperburuk edema serebral dan

penggunaan albumin pada pasien dengan TBI juga dapat berbahaya.35 Pada pasien dengan
poltrauma, hipovolemia dapat disebabkan oleh kehilangan darah akut. Penderita darah akut

kehilangan anemia harus ditransfusikan dengan produk darah untuk memperbaiki hipovolemia
hemoragik dan mungkin memerlukan prosedur untuk menghentikan sumber perdarahan yang
sedang berlangsung.

Pemicu transfusi untuk pasien yang sakit kritis biasanya kadar hemoglobinnya kurang dari

7 g / dL dan pasien dengan TBI tampaknya tidak meningkatkan hasil neurologis jika

ditransfusikan ke target hemoglobin yang lebih tinggi.36,37

Selain terapi medis yang dijelaskan sebelumnya, beberapa opsi bedah mungkin

sesuai dalam pengelolaan TBI.

Manajemen Anestesi Stroke

Anestesi neurovaskular meliputi resusitasi sebelum operasi

dan optimisasi, manajemen intraoperatif, dan perawatan neurointensif pasca operasi pasien
dengan lesi vaskular intrakranial. Pusat terapi mempertahankan oksigenasi dan perfusi dan
mengendalikan metabolisme otak dan tekanan intrakranial

Pendarahan subarakhnoid (SAH)

Aneurisma arteri serebral merupakan 80% dari SAH dan malformasi arteri-vena sebesar 5%;
sumbernya tidak ditemukan di 15% lainnya. Aneurisma arteri serebral timbul dari pembuluh
lingkaran Willis, biasanya pada bifurkasi. Mereka terjadi pada 2-5% dari populasi, dan tiga kali
lebih sering terjadi pada wanita. 90% aneurisma melibatkan sirkulasi anterior, dan 10%
melibatkan sirkulasi posterior. 20% pasien mengalami aneurisma multipel. SAH memiliki
insiden tahunan 15 / 100.000. Ini dapat terjadi pada segala usia, dengan insidensi puncak pada
55-60 tahun. Pembentukan aneurisma cenderung pada hipertensi, merokok, kehamilan, dan
kelainan genetik dan kolagen.

Manajemen Manajemen SAH non-bedah konservatif dikaitkan dengan mortalitas yang jauh lebih
tinggi daripada manajemen bedah (40% vs <10%). Alasannya termasuk berkurangnya risiko
perdarahan ulang, pengangkatan gumpalan darah, irigasi dan toilet di lokasi operasi, dan
peningkatan hasil fungsional akut, yang meningkatkan kelangsungan hidup jangka panjang.

Manajemen anestesi Manajemen berpusat pada mempertahankan oksigenasi dan perfusi, dan
mengendalikan metabolisme serebral dan ICP.

Premedikasi - penggunaan premedikasi sedatif masih kontroversial. Pasien kelas III-V SAH
jarang memerlukan premedikasi. Ini terbaik dicadangkan untuk pasien kelas I-II yang gelisah.
Profilaksis antasid wajib untuk mereka yang berisiko aspirasi. Pemantauan harus mencakup
EKG, oksimetri nadi, capnografi end-tidal, keluaran dan suhu urin. Pengukuran tekanan darah
arteri invasif harus dilakukan sebelum induksi untuk dapat mendeteksi dan merespons dengan
cepat terhadap fluktuasi tekanan darah. Kateter vena sentral dimasukkan setelah induksi, untuk
memandu manajemen cairan selama seringnya penggunaan manitol dan diuretik lainnya.
Pemantauan tekanan arteri paru harus digunakan jika ada gangguan fungsi miokard. Pemantauan
seperti ini berguna pada pasien usia lanjut dan mereka yang memiliki SAH tingkat rendah di
mana terapi 'Triple H' (hipertensi, hipervolemik, hemodilutional) digunakan. Pemantauan
intraoperatif yang lebih terspesialisasi dapat mencakup oksimetri bola jugularis, Doppler
transkranial, electroencephalogram (EEG), probe intraparenchymal, dan monitor fungsi otak.

Induksi anestesi - tujuan selama anestesi untuk SAH melibatkan tekanan darah dan kontrol ICP
(untuk mencegah pecahnya aneurysmal, sesuaikan kebutuhan bedah untuk kedalaman anestesi
dan menyediakan kondisi bedah yang baik) dan pengurangan tuntutan metabolisme otak untuk
mencegah iskemia serebral. Ruptur aneurisma berhubungan dengan tekanan transmural di
dinding aneurisma. Peningkatan tekanan arteri yang tiba-tiba, atau penurunan ICP yang tiba-tiba
dapat menyebabkan perdarahan ulang. Hiperventilasi yang agresif dan hipokapnia juga dapat
menyebabkan ruptur. Insiden ruptur saat induksi adalah 1-2%, dan dikaitkan dengan mortalitas
tinggi dan morbiditas pasca operasi. Ruptur harus dicurigai ketika peningkatan tekanan darah
yang berkelanjutan terjadi pada, atau segera setelah, induksi atau intubasi. Agen induksi
intravena dapat digunakan kecuali ketamin. Jika ada kebutuhan untuk kontrol cepat jalan napas,
suxamethonium dapat digunakan. Ini menyebabkan peningkatan sementara tekanan darah dan
ICP, tetapi ini tidak signifikan. Risiko herniasi otak, perdarahan ulang aneurisma atau ruptur
harus ditimbang terhadap aspirasi, hipoksia, atau hiperkapnia. Idealnya, intubasi didahului
dengan percobaan laringoskopi dengan pemantauan tekanan darah yang cermat. Respons
hipertensi yang signifikan harus memicu pemberian dosis tambahan agen induksi sebelum
intubasi dicoba. Dosis tambahan dari agen induksi atau opioid juga mungkin diperlukan untuk
menghindari respons pressor yang terkait dengan penempatan pin bedah. Jika aneurisma kembali
berdarah pada saat induksi, pembedahan harus ditunda jika memungkinkan, memungkinkan
penilaian rinci dari pasien. Pemeliharaan - suatu teknik yang menghasilkan otak 'kendur' (untuk
meminimalkan tekanan retraksi), sambil memastikan perlindungan otak maksimal dengan
menjaga kebutuhan metabolisme otak seminimal mungkin. Tidak ada bukti yang mendukung
satu teknik tertentu. Agen anestesi yang mudah menguap dapat digunakan dengan aman pada
tingkat I atau II SAH. Ketika metabolisme otak rendah (grade III atau IV SAH) anestesi volatil
memiliki efek bersih vasodilatasi otak. Propofol tidak memiliki efek vasodilatasi intrinsik dan
tidak meningkatkan ICP, CBF atau volume darah otak (CBV), yang membuatnya berguna pada
pasien dengan metabolisme otak yang tidak pasti atau edema serebral yang signifikan. Anestesi
total intravena, menggunakan propofol dan opioid (mis. Remifentanil), semakin banyak
digunakan untuk pemeliharaan anestesi selama operasi aneurisma. Propofol memungkinkan
penyesuaian kedalaman anestesi yang cepat, dan memiliki karakteristik pemulihan yang unggul
dibandingkan dengan agen lain.

Sevoflurane tidak mengganggu autoregulasi hingga 1,5 konsentrasi alveolar minimal (MAC) dan
metabolisme otak berkurang 25% pada konsentrasi ini. Fentanil, sufentanil dan alfentanil
meningkatkan ICP ketika diberikan sebagai bolus cepat dan harus diberikan secara bijaksana. Ini
kemungkinan disebabkan oleh hipotensi sistemik dan vasodilatasi serebral refleks. Relaksasi
otak - beberapa metode digunakan untuk mengurangi massa otak, volume CSF, dan CBV,
termasuk drainase CSF di tempat operasi, tilt head-up 15-30 °, hypocarbia ringan, manitol dan
furosemide. Kemiringan head-up memfasilitasi pengembalian vena dan mengurangi ICP.
Hipokarbia ringan (sekitar 4,5 kPa) dapat digunakan, tetapi efek iskemik potensial dari
hiperventilasi harus seimbang terhadap manfaat mengurangi CBV. Hiperventilasi adalah cara
cepat untuk mengurangi CBV. Aplikasinya paling baik dipandu oleh monitor kecukupan
oksigenasi otak, seperti monitor saturasi bola jugularis (SjO2). Hiperventilasi harus dititrasi
untuk menjaga SjO2 di atas 55%. Mannitol, 0,5-1,0 g / kg, adalah diuretik osmotik. Massal otak
dikurangi oleh dehidrasi osmotik, dan peningkatan volume intravaskular, CBV, dan CBF
sementara terjadi. Pengiriman oksigen juga dapat difasilitasi oleh perbaikan reologi sel darah
merah, dan produksi CSF berkurang. Efek ini menghasilkan penurunan ICP, yang memuncak
pada 45-60 menit. Namun, rebound hipertensi intrakranial dapat terjadi ketika manitol memasuki
jaringan otak. Furosemide dapat digunakan sendiri atau bersama manitol, terutama pada pasien
yang sistem kardiovaskularnya dapat terganggu oleh ekspansi intravaskular yang cepat.
Pemberian propofol bolus, tiopental, atau lidokain, juga mengurangi CBV dengan mengurangi
metabolisme otak, dan dengan demikian CBF. Saline hipertonik dapat digunakan sebagai
alternatif, tetapi efeknya pada SAH tetap belum teruji.

Hipotermia - sebagian besar agen farmakologis hanya mengurangi komponen aktif metabolisme
serebral. Namun, hipotermia mengurangi komponen aktif dan basal, yang meningkatkan waktu
iskemia ditoleransi. Metabolisme otak adalah 15% dari normal pada 20 ° C (Gambar 3).
Hipotermia juga dapat melemahkan peradangan, eksitotoksisitas dan cedera oksidan. Hipotermia
profilaksis selama kliping aneurisma telah terbukti tidak memberikan manfaat klinis dalam
konteks uji coba multisenter Tahap III (Hipotermia intraoperatif selama Aneurisma Bedah Trial
2; IHAST 2). Hipotermia bukan tanpa risiko. Masalah termasuk keakuratan pengukuran suhu,
suhu optimal yang digunakan, metode penghangatan kembali, kebangkitan terlambat, menggigil
pasca operasi, hipovolemia akibat diuresis yang diinduksi dingin, gangguan koagulasi, dan
kejengkelan penyakit kardiovaskular.

Pecahnya aneurisma intraoperatif adalah keadaan darurat. Resusitasi cairan yang cepat
diperlukan untuk mempertahankan normovolaemia dan tekanan perfusi. Penekanan burst yang
diinduksi propofol atau thiopental dapat memberikan beberapa tingkat perlindungan saraf, tetapi
ini tidak memiliki dasar bukti klinis. Pembuluh yang memasok aneurisma mungkin untuk
sementara terhalang oleh ahli bedah atau hipotensi dapat diinduksi untuk memudahkan kontrol.
Hipotermia permisif dapat membantu dalam situasi ini.

Pemulihan - kembalinya kesadaran dengan cepat memungkinkan penilaian neurologis dini.


Penting untuk menormalkan tekanan arteri rata-rata dan PaCO2 sebelum penutupan, untuk
mengungkapkan titik-titik perdarahan, dan memastikan bahwa pembengkakan otak intraoperatif
tidak meningkatkan kemungkinan hipertensi intrakranial pada pasien normokapnik.
Pembengkakan otak yang jelas dapat mendorong keputusan untuk meninggalkan flap tulang,
melembagakan pemantauan ICP, dan / atau memilih periode sedasi pasca operasi dan dukungan
ventilasi. Dengan asumsi kursus intraoperatif yang lancar, pasien kelas I dan II diekstubasi.
Pasien kelas III-V sering memerlukan periode ventilasi pasca operasi, kecuali level sadar
praoperasi mereka menuntut pemulihan yang lebih cepat. Tekanan darah harus dipantau secara
ketat untuk pemulihan. Hipertensi sering dianggap sebagai respons untuk memulihkan CPP dan
CBF. Hipertensi yang tidak terkontrol dalam periode segera pasca operasi

dapat memicu perdarahan intraserebral, dan / atau edema vasogenik. Bolus opioid kerja pendek,
propofol, atau lidokain dapat memfasilitasi kontrol tekanan darah saat ekstubasi. Hipertensi yang
lebih lama, meskipun analgesia yang adekuat, membutuhkan pengobatan segera dengan
nifedipine, labetalol atau esmolol. Kegagalan untuk pulih ke tingkat GCS yang diharapkan
menunjukkan faktor terkait anestesi. Namun, penurunan GCS yang terus-menerus atau
memburuk dapat menyarankan penyebab bedah. Setelah efek terkait obat dikeluarkan dan / atau
diobati, CT scan dilakukan untuk mengecualikan hidrosefalus, edema serebral, perdarahan
intrakranial, hematoma atau perdarahan ulang. CT scan negatif dapat menyebabkan angiogram
serebral untuk menyingkirkan oklusi vaskular atau vasospasme.

Anda mungkin juga menyukai