Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
BLUD Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh
Disusun oleh :
M. Habibie Runanda
1807101030026
Dokter Pembimbing
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Shalawat
beserta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita
dari zaman jahiliyah ke zaman islamiyah, serta kepada sahabat dan keluarga beliau.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Rina Hastuti, Sp.KJ yang
telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam penyusunan
laporan kasus yang berjudul “Behavioral and Psychological Symptoms of
Dementia”, serta para dokter di bagian/ SMF Ilmu Kedokteran Jiwa yang telah
memberikan arahan serta bimbingan hingga terselesaikannya laporan kasus ini.
Tidak ada kata sempurna dalam pembuatan sebuah laporan kasus. Keterbatasan
dalam penulisan maupun kajian yang dibahas merupakan beberapa penyebabnya.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan terhadap laporan kasus ini
demi perbaikan di masa yang akan datang.
Penulis
i
ii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
Riwayat Psikiatri........................................................................................... 16
Status Mental............................................................................................... 21
Resume ........................................................................................................ 23
Tatalaksana .................................................................................................. 24
Prognosis ..................................................................................................... 25
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
BPSD merupakan gejala gangguan persepsi, proses pikir, suasana perasaan,
dan perilaku yang sering terjadi pada pasien demensia. Dahulu penyakit ini disebut
sebagai Psychosis in Dementia atau Psychosis of Alzheimer’s Disease (PAD).
Peningkatan jumlah populasi lanjut usia (lansia) memberi dampak pula pada
meningkatnya gangguan neuropsikiatri pada lansia. Individu yang berusia lebih dari
80 tahun akan mempunyai risiko tinggi untuk mengalami gangguan neuropsikiatri.1,2
Hingga kini demensia masih merupakan salah satu gangguan pada lansia
yang sangat ditakuti. Di seluruh dunia saat ini diperkirakan lebih dari 30 juta orang
menderita demensia. Angka untuk BPSD yang bermakna secara klinis meningkat
sampai hampir 80% untuk pasien demensia yang berada di lingkungan perawatan.
Dua penelitian berbasis populasi dari Amerika dan dari Inggris, menunjukkan
angka prevalensi yang sama, yaitu sekitar 20% untuk BPSD pada orang dengan
penyakit Alzheimer.
Aspek psikiatri yang sangat penting untuk diperhatikan dalam rangka
penatalaksanaan yang komprehensif dan berkesinambungan adalah adanya BPSD.1
Dalam sebuah penelitian terhadap 100 pasien dengan otopsi yang dikonfirmasi
Penyakit Alzheimer (AD), Jost dan Grossberg terdokumentasi iritabilitas, agitasi,
agresi dan di 81% dari orang rata-rata dari 10 bulan setelah diagnosis; depresi,
perubahan suasana hati, penarikan sosial, dan keinginan bunuh diri pada 72% dari
orang 26,4 bulan sebelum diagnosis; dan halusinasi, paranoid, perilaku menuduh, dan
delusi di 45% dari orang-orang 1 bulan setelah diagnosis.
Perubahan perilaku pada penderita demensia diperkirakan berhubungan
dengan proses neurodegenerative secara progresif dari sel otak khususnya di daerah
sistem limbik dan neokorteks (akumulasi amyloid, kekusutan nerofibril, dan defisit
neurotransmitter cholinergik, serotonergik, dopaminergik). Kondisi medis tertentu
yang juga dapat mempengaruhi seperti nyeri kronis, dispepsia, konstipasi, disuria
1
2
2.1 Definisi
Asosiasi Psychogeriatric Internasional mendefinisikan istilah BPSD sebagai
“Gejala gangguan persepsi, isi pikir, suasana hati, atau perilaku yang sering terjadi
pada pasien dengan demensia”. Angka untuk BPSD yang bermakna secara klinis
meningkat sampai hampir 80% untuk pasien demensia yang berada di lingkungan
perawatan. Dua penelitian berbasis populasi dari Amerika Serikat dan dari Inggris,
menunjukkan angka prevalensi yang sama, yaitu sekitar 20% untuk BPSD pada orang
dengan penyakit Alzheimer. Berbeda dengan disfungsi kognitif pada demensia yang
semakin memburuk dari waktu ke waktu, BPSD cenderung berfluktuasi, dengan
agitasi psikomotor yang paling persisten.5
B. Agitasi
Agitasi didefinisikan sebagai aktivitas yang tidak pantas, baik secara verbal,
vokal, atau motor. Subtipe dari agitasi tercantum dalam tabel berikut:
3
4
C. Wandering
Beberapa perilaku yang termasuk wandering, yaitu:3
memeriksa (berulang kali mencari keberadaan caregiver)
menguntit
berjalan tanpa tujuan
berjalan waktu malam
aktivitas yang berlebihan
mengembara, tidak bisa menemukan jalan pulang
berulang kali mencoba untuk meninggalkan rumah.
5
2. Apati
Apati terlihat menonjol pada demensia frontotemporal, penyakit Alzheimer,
dan kelumpuhan supranuclear progresif. Apati terjadi hingga 50% dari pasien pada
tahap awal dan menengah AD dan demensia lainnya. Pasien yang apati menunjukkan
kurangnya minat dalam kegiatan sehari-hari, perawatan pribadi dan penurunan dalam
berbagai jenis interaksi sosial, ekspresi wajah, modulasi suara, respon emosional, dan
inisiatif. 2,3
3. Kecemasan
Kecemasan dalam demensia mungkin terkait dengan manifestasi BPSD lain
atau terjadi secara independen. Pasien demensia dengan kecemasan akan
mengekspresikan keprihatinan mengenai masalah keuangan, masa depan, kesehatan
(termasuk memori mereka), kekhawatiran tentang acara nonstressful sebelumnya, dan
kegiatan seperti berada jauh dari rumah.3
Karakteristik gejala kecemasan lain dari pasien demensia adalah takut
ditinggalkan sendirian. Ketakutan ini dapat dianggap fobia apabila kecemasan di luar
batas kewajaran. Pasien dengan AD kadang-kadang memperlihatkan fobia lainnya,
seperti takut kerumunan, perjalanan, gelap, atau aktivitas seperti mandi.3
B. Gejala Psikotik
1. Waham
Manifestasi psikosis mencakup gejala positif (waham, halusinasi, gangguan
komunikasi, aktivitas motorik yang abnormal) dan gejala negatif (avolition,
kemiskinan isi pikiran, afek datar).
Lima tipe waham terlihat pada demensia (terutama demensia tipe Alzheimer), yaitu:
a. Barang kepunyaannya telah dicuri.
b. Rumah bukan kepunyaannya (misidentifikasi).
c. Pasangan (atau pengasuh lainnya) adalah seorang penipu (Sindrom Capgras).
d. Pengabaian / Ditinggalkan
e. Ketidaksetiaan.3
7
2. Halusinasi
Perkiraan frekuensi halusinasi pada demensia berkisar dari 12%-49%.
Halusinasi visual adalah yang paling umum (terjadi pada 30% pasien dengan
demensia) dan ini lebih sering terjadi pada demensia yang moderat dibandingkan
demensia ringan atau berat. Gambaran halusinasi secara umum berupa gambaran
orang-orang atau hewan-hewan. Pada demensia Lewy Body, laporan frekuensi
halusinasi visual sekitar 80%. Pasien demensia juga mungkin mengalami halusinasi
auditorik (sekitar 10%), namun jarang untuk halusinasi jenis lain, seperti yang
bersifat penciuman atau taktil. 3
3. Misidentifikasi
Misidentifikasi dalam demensia adalah kesalahan persepsi stimuli eksternal.
Misidentifikasi terdiri dari:
Kehadiran orang-orang di rumah pasien sendiri (Boarder Phantom Syndrome)
Kesalahan identifikasi diri pasien sendiri (tidak mengenali bayangan diri sendiri di
cermin)
Kesalahan identifikasi orang lain
Kesalahan identifikasi peristiwa di televisi (pasien mengimajinasikan peristiwa
tersebut terjadi secara nyata).
Perubahan mood sering pada lesi dorsolateral prefrontal. Sekitar 60% pasien
dengan lesi akut di area ini memiliki gejala depresi. Setengah dari pasien memiliki
episode depresi mayor, dan setengah memiliki depresi minor atau distimia.
Kecemasan sering menyertai depresi pada pasien dengan lesi yang mempengaruhi
korteks frontal. Penelitian dengan PET menunjukkan bahwa pasien dengan depresi
idiopatik mengalami penurunan metabolisme di area ini dibandingkan dengan pasien
yang tidak depresi. 2
Dikatakan bahwa depresi berat pada penderita AD berhubungan dengan
peningkatan degenerasi nukleus aminergik batang otak khususnya nukleus seruleus
dan raphe midbrain. Sultzer (1996) melaporkan bahwa terdapat hubungan antara
gejala mood dengan hipometabolisme pada korteks parietal. 10
C. Gejala Apati
Disfungsi lobus frontalis terutama regio medio frontal seringkali berhubungan
dengan sindrom apati (penurunan minat, afek dan psikomotor) yang menyerupai
depresi.10,11
Gangguan lobus frontal yang menimbulkan sindrom apati melibatkan daerah
medio frontal, terutama korteks anterior cingulate. Sindrom mutisme akinetik
sementara terjadi pada pasien dengan lesi frontal medial unilateral, mutisme akinetik
permanen diamati pada disfungsi frontal medial bilateral. Apati juga terjadi pada
pasien dengan lesi nukleus kaudatus, globus pallidus, dan thalamus, yang merupakan
bagian dari struktur sirkuit frontal- medial subkortikal.2
D. Gejala Agitasi dan Agresif
Terdapat hubungan yang bermakna antara faktor skor agitasi / disinhibisi dan
metabolisme kortikal di lobus frontal dan temporal. Penelitian terbaru menunjukkan
adanya hubungan antara agitasi dengan penurunan metabolisme di daerah
frontotemporal, bertambahnya neurofibrillary tangle terutama di daerah frontal dan
defisit kolinergik. Tekin et al juga menunjukkan bahwa jumlah neurofibrillary tangle
lebih tinggi di daerah cingulate anterior orbitofrontal pada pasien AD dengan
agitasi.3,9
10
E. Disinhibisi
Disinhibisi merupakan perubahan perilaku yang dominan pada sindrom
orbitofrontal yang sering ditemui pada demensia frontotemporal. Sindrom
orbitofrontal adalah yang paling dramatis dari semua gangguan lobus frontal.
Individu yang perilaku sebelumnya normal mengalami perubahan perilaku karena lesi
prefrontal.
3.2 Perubahan Neurotransmitter
A. Peran Serotonin
Beberapa gejala BPSD yang dapat terjadi karena kelainan pada sistem
serotonergik adalahmood depresi, kecemasan, agitasi, gelisah, dan agresivitas.3
Neuron serotonergik berasal dari inti rafe dorsal dan median yang mempersarafi
banystruktur dalam korteks dan sistem limbik. Proyeksi ini secara luas
memungkinkan sistemserotonergik untuk mengatur agresi, mood, aktivitas makan,
tidur, suhu, seksual, dan motorik. Olekarena itu, perubahan dalam fungsi sistem
serotonergik pusat memiliki dampak klinis yang terlihpada perilaku.13
Tabel berikut menggambarkan peranan reseptor serotonin dalam BPSD.
11
C. Peran Dopamin
Pada demensia Lewy Body, metabolit dopamin secara bermakna menurun
pada pasien yang tidak berhalusinasi dalam hubungannya dengan kelainan
serotonergik (yakni, penurunan ikatan reseptor serotonergik 5-HT2 dan penurunan
metabolit 5-HT). 13
Sistem dopaminergik telah terlibat dalam depresi, perilaku agitasi, dan
psikotik pada pasien yang tidak demensia, dan dengan demikian sistem ini memiliki
potensi secara langsung mempengaruhi BPSD. Penelitian post mortem telah
menunjukkan pada pasien AD terdapat gangguan dalam sistem dopaminergik
dibandingkan dengan subyek kontrol.13
12
dan sistem dopaminergik dapat menyebabkan disfungsi dalam sirkuit talamik kortikal
neostriatal, yang dapat menyebabkan gejala psikotik.3
G. Disfungsi Neuroendokrin
Pada pasien AD, kadar somatostatin, vasopresin, corticotropin-releasing
hormone (CRH), substansi P, dan neuropeptida Y secara bermakna berkurang di
daerah kortikal dan sub kortikal otak, sedangkan kadar dari galanin peptida
meningkat. Namun, di hipotalamus, kadar somatostatin, vasopresin, dan neuropeptida
Y seperti galanin meningkat secara bermakna, dapat menyebabkan agitasi, gelisah,
gangguan tidur dan gejala yang terkait dengan stres.3
4. Terapi BPSD
Non. Farmakologi
a. Intervensi Lingkungan
Lingkungan yang ideal bagi pasien BPSD adalah suasana yang tenang, langgeng dan
kekeluargaan. Pasien BPSD sangat mudah mengalami kebingungan ketika
menghadapi Pasien BPSD sangat mudah mengalami kebingungan ketika menghadapi
perubahan dari situasi rutin. Oleh sebab itu usahakan jadwal kegiatan yang bersifat
stabil/rutin. Gangguan tidur adalah masalah yang paling sering dihadapi pasien
BPSD. Higiene tidur yang buruk sangat mempengaruhi suasana emosi dan perilaku
pasien. Olah raga rutin, berjemur, memandikan dengan air hangat pada setiap pagi
dan sore hari, adalah rangkaian upaya yang sangat efektif membenahi pola tidur
pasien BPSD
b. Intervensi perilaku
Mengenali gejala gejala psikologik dan perilaku yang akan menjadi target
terapi
Mengenali situasi dan kondisi khusus yang dapat mencetuskan respons
perilaku tertentu
14
Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi merupakan terapi tambahan sesudah pendekatan non
farmakologi tidak memberikan hasil optimal
Terapi farmakologi biasanya diterapkan pada BPSD sedang sampai berat, dan
diberikan bersama sama dengan intervensi perilaku ataupun pendekatan
psikososial lainnya
Terapi farmakologi pada umumnya mendasarkan pada alasan target gejala
yang menjadi sasaran kerja obat, yaitu: Antipsikotik, Antidepresan,
Antiansietas, mood stabilizer, hipnotik sedatif
Obat anti demensia yaitu obat obat anticholinesterase inhibitor juga
bermanfaat untuk mengendalikan BPSD
Kombinasi anticholinesterase dengan obat antipsikotik secara efektif
mengatasi gejala gejala psikotik dan perilaku disruptif
- Memantine
Antioksidan & Vitamin
- Asam folat
- Vitamin E
Psikofarmaka sesuai target gejala
- Antipsikotik, antidepresan, antianxietas
BAB III
LAPORAN KASUS
I IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 63 tahun
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Warga Negara : Indonesia
Pendidikan : SMP
Alamat : Jl. Cut Nyak Dhien, Desa Keuneu Eu, Aceh Besar
II RIWAYAT PSIKIATRI
Data diperoleh dari:
1. Rekam medis : 1906017259
2. Alloanamnesis : 4 Juli 2019
A. Keluhan Utama
Sering keluar tengah malam, keluyuran di luar rumah. BAB sembarangan.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Autoanamnesis: Saat dilakukan anamnesis, pasien tidak kooperatif dan
mudah marah.
Alloanamnesis: Tn. S, 43 tahun, pendidikan terakhir D3, pekerjaan swasta
(anak kandung pasien). Pasien dibawa ke RSJ Aceh oleh anaknya karena pasien
sering keluar tengah malam, keluyuran di luar rumah. Aktivitas sehari-hari dengan
bantuan (mandi, BAK dll) namun sejak 1,5 bulan yang lalu sering BAB
sembarangan.
16
17
Pasien sejak 3 tahun yang lalu sudah mulai mengalami lupa terhadap sesuatu
yang umum dalam kehidupannya sehari-hari. Pasien sudah tidak mengenal lagi orang
terdekatnya, tidak mengetahui waktu dan juga tempat. Dan pasien juga dikatakan
sudah tidak bisa menahan buang air kecil.
Sejak 1,5 tahun yang lalu pasien bicara kacau, sering gelisah. Pasien juga
sering keluyuran di luar rumah. Dan tidak memperdulikan keluarga ketika diminta
untuk kembali ke rumah. Hal ini terjadi ketika istrinya meninggal 1,5 tahun yang lalu.
Sejak saat itu perilaku pasien sudah berubah, menjadi pemarah, dan sulit mengontrol
emosi. Menurut keluarga, pasien mulai tidak bisa diajak berbicara, pasien sering
kebingungan.
Akhir-akhir ini, sejak 1,5 bulan yang lalu pasien sering mengamuk, BAB
sembarangan, dan terkadang BAK di celana. tidak mau makan, tidak mau mandi,
bicara kadang melantur, serta pasien sulit tidur. Keluarga tidak mengetahui pasti
penyebab bertambah beratnya gangguan perilaku pasien. Namun pasien tampak
semakin murung dari hari ke hari. Menurut keluarga pasien, pasien mengaku adanya
suara bisikan, namun tidak mengetahui asalnya dari mana, bisikan tersebut berisi
perintah-perintah untuk pasien keluar dari rumah tersebut. Pasien cenderung
mengikuti dan mempercayai berbagai bisikan yang didengarnya, namun tidak ada
bisikan yang menyuruh pasien untuk bunuh diri.
Semenjak dirawat di RSJ Aceh menurut keluarga pasien, pasien sudah mulai
tampak tenang, namun masih tampak emosi dan marah apabila diajak berbicara dan
diberikan banyak pertanyaan, dan pasien seketika bisa merasa sedih apabila teringat
tidak ada satupun keluarga yang menjenguknya. Namun pasien mengaku tidak
mendengar lagi bisikan yang sebelumnya ia dengar saat berada dirumah.
E. Riwayat Pengobatan
Tidak ada
F. Riwayat Sosial
Pasien lahir normal dan cukup bulan, pasien bersekolah hingga tamat
SMP Pasien mempunyai anak sebanyak 4 orang dari pernikahan pasien
dengan istrinya. Istri pasien meninggal 1,5 tahun yang lalu.
G. Riwayat Pendidikan
Pendidikan terakhir pasien ialah SMP
B. Status Generalisata
1. Kepala : Normocephali (+)
2. Leher : Distensi vena jugular (-), pembesaran KGB (-)
3. Paru : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
4. Jantung : BJ I >BJII , bising (-), iktus cordis di ICSV Linea
midclavicular sinistra
5. Abdomen : Asites (-), hepatomegali (-), nyeri tekan (-)
6. Ekstremitas
Superior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
Inferior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
7. Genetalia : Tidak diperiksa
C. Status Neurologi
1. Kesadaran : Bingung
2. Tanda rangsangan meningeal : (-)
3. Peningatan TIK : (-)
4. Mata : Pupil isokor (+/+), Ø3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+)
5. Motorik : Dalam batas normal
6. Sensibilitas : Dalam batas normal
7. Fungsi luhur : Dalam batas normal
8. Gangguan kognitif : MMSE : 3
20
21
D. Pemeriksaan penunjang
C. Pembicaraan
Lambat, gagap
D. Pikiran
1. Arus pikir
Koheren : (-)
Inkoheren : (+)
Neologisme : (-)
Sirkumstansial : (-)
Tangensial : (-)
Asosiasi longgar : (-)
22
2. Isi pikir
Waham
1. Waham Bizzare : (-)
2. Waham Somatik : (-)
3. Waham Erotomania : (-)
4. Waham Paranoid
Waham Persekutor : (-)
Waham Kebesaran : (-)
Waham Referensi : (-)
Waham Dikendalikan : (-)
Thought
1. Thought Echo : (-)
2. Thought Withdrawal : (-)
3. Thought Insertion : (-)
4. Thought Broadcasting : (-)
E. Persepsi
1. Halusinasi
Auditorik : (+)
Visual : (-)
Olfaktorius : (-)
Taktil : (-)
2. Ilusi : (-)
23
F. Intelektual
1. Intelektual : Kurang Baik
2. Daya konsentrasi : Terganggu
3. Orientasi
Diri : Terganggu
Tempat : Terganggu
Waktu : Terganggu
4 Daya ingat
Seketika : Terganggu
Jangka Pendek : Terganggu
Jangka Panjang : Terganggu
5 Pikiran Abstrak : Sulit dinilai
H. Daya nilai
Normo sosial : Terganggu
Uji Daya Nilai : Terganggu
I. Pengendalian Impuls: Terganggu
J. Tilikan : T1
K. Taraf Kepercayaan : Tidak dapat dipercaya
V. RESUME
Pasien mengatakan dibawa ke RSJ Aceh oleh karena pasien sering keluar
tengah malam, keluyuran di luar rumah. Aktivitas sehari-hari dengan bantuan (mandi,
BAK dll) namun sejak 1,5 bulan yang lalu sering BAB sembarangan.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran bingung, tekanan darah 140/70
mmHg, frekuensi nadi 80x /menit, frekuensi napas 18x /menit, temperatur afebris.
Hasil pemeriksaan umum didapatkan dalam batas normal.
Pada pemeriksaan status mental, tampak laki-laki, berpenampilan tidak rapi,
perawakan sesuai usia, kurang bersih, dan bingung. Aktivitas psikomotor: gelisah,
sikap terhadap pemeriksa: tidak kooperatif, mood: irritable, afek : labil, keserasian
24
afek: inappropriate, pembicaraan: lambat gagap, arus pikir : inkoheren dan blocking,
isi pikir : tidak ada waham, persepsi: halusinasi auditorik (+). Pasien mengalami
tilikan T1 karena menyangkal penuh atas penyakit yang dideritanya, dengan taraf
kepercayaan tidak dapat dipercaya.
IX. TATALAKSANA
A. Farmakoterapi
- Inj. Lodomer ½ ampul / IM
- Risperidon 2 mg 2x ¼
- Diazepam 2 mg 1x1 k/p
- Donepezil 5 mg 1x1
- Asam folat 1mg 1x1
- Vit B Complex 1x1
25
B. Terapi Psikososial
1. Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai penyakitnya dan
menjelaskan pentingnya kepatuhan minum obat bagi kesembuhan
penyakit pasien.
2. Meningkatkan kemampuan sosial pasien seperti membina komunikasi
interpersonal yang baik, serta meningkatkan kemampuan pasien dalam
mengendalikan emosi
3. Menjelaskan kepada keluarga & orang disekitar pasien mengenai
kondisi pasien dan meyakinkan mereka untuk selalu memberi
dukungan kepada pasien agar proses penyembuhannya lebih baik.
4. Mengajarkan dengan cara berulang untuk memperbaiki orientasi
orang, tempat dan waktu
5. Menjelaskan kepada keluarga mengenai masalah sensorik pasien yag
menyebabkan demensia, untuk diperbaiki dahulu.
X. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam
26
BAB IV
PEMBAHASAN
depresi apati dan kecemasan. Disfungsi lobus frontalis terutama regio medio frontal
seringkali berhubungan dengan sindrom apati (penurunan minat, afek dan
psikomotor) yang menyerupai depresi. Gejala depresi yang dapat kita temui pada
pasien ini diantaranya adalah afek depresif, berkurang energi dan aktivitas yang
menurun, konsentrasi dan perhatian berkurang, adanya perbuatan yang
membahayakan diri seperti keluyuran, pasien mengatakan sudah dua hari ini tidak
tidur.
Beberapa gejala BPSD yang dapat terjadi karena kelainan pada sistem
serotonergik adalah mood depresi, kecemasan, agitasi, gelisah, dan agresivitas.3
Neuron serotonergik berasal dari inti rafe dorsal dan median yang mempersarafi
banystruktur dalam korteks dan sistem limbik. Proyeksi ini secara luas
memungkinkan sistemserotonergik untuk mengatur agresi, mood, aktivitas makan,
tidur, suhu, seksual, dan motorik. Olekarena itu, perubahan dalam fungsi sistem
serotonergik pusat memiliki dampak klinis yang terlihpada perilaku
Pemberian psikofarmaka pada pasien ini sudah sesuai dengan teori. Kombinasi
anticholinesterase inhibitor dengan obat antipsikotik secara efektif mengatasi gejala
psikotik dan perilaku disruptif. Pasien tidak diberikan antidepresan karena tidak
adanya gejala depresi pada pasien. Pasien juga tidak mendapatkan mood stabilizer,
hal ini dikarenakan masih terbatasnya bukti atau efikasi obat tersebut pada BPSD,
juga mempertimbangkan efek samping yang ditimbulkannya, kecuali diberikan pada
pasien dengan gangguan mood yang berat dan dibawah pengawasan yang ketat.
Disamping itu pasien juga tidak diberikan tambahan pengobatan seperti asam folat
dan vitamin E.
27
Secara total, terdapat 4 jalur dopamin utama pada otak yaitu jalur nigrostriatal,
jalur tuberoinfundibular, mesokortikal, dan mesolimbic, Haloperidol sebagai
antipskotik golongan pertama dapat memblokir semua jalur dopamin utama tersebut
sehingga dapat menyebabkan efek samping:
Jalur nigrostriatal: salah satu fungsi utama jalur nigrostriatal adalah unutk pergerakan.
Antogonisme pada reseptor D2 pada jalur ini dapat menyebabkan gejala
ekstrapiramidal.
Jalur tuberoinfundibular: Pada jalur ini dopamine bekerja sebagai suatu faktor inhibisi
prolaktin. Blokade pada jalur ini dapat menyebabkan sekresi prolaktin yang berlebih
oleh hipofisis sehingga terjadi hiperprolaktinemia.
Pada pasien juga diberikan terapi maintenance Risperidone. Obat ini termasuk
antipsikotik atipikal (generasi dua) turunan benzisoxazole, obat ini antagonis
monoaminergik selektif dengan afinitas tinggi terhadap reseptor serotonergic dan
dopaminergic. Risperidone berikata dengan reseptor alpha1-adrenergik. Meskipun
obat ini merupakan antagonis D2 kuat, sehingga dapat memperbaiki gejala postif
skizofrenia. Dapat menyebabkan berkurangnya depresi aktivitas motoric dan induksi
katalepsi. Antagonis serotonin dan dopamine sentral yang seimbang dapat
mengurangi kecenderungan timbulnya EPS. Indikasi pemberian obat ini pada pasien
yaitu adanya gangguan psikotik dan gejala negatif pada pasien, yaitu menarik diri,
pasif, miskin kontak emosional, dan kehilangan dorongan inisiatif.
Obat utama yang diberikan yaitu donepezil, atas indikasi demensia yang
diderita pasien. Donepezil merupakan penghambat asetilkolinesterase yang bersifat
sementara (reversibel). Galantamin adalah penghambat asetilkolinesterase yang
bersifat sementara (reversibel) dan memiliki aktivitas agonis reseptor nikotinik.
Rivastigmin merupakan penghambat asetilkolinesterase non kompetitif yang bersifat
sementara (reversibel). Penghambat asetil kolinesterase dapat menyebabkan efek
kolinergik yang tidak diinginkan, yang berhubungan dengan dosis. Oleh karena itu,
obat sebaiknya dimulai pada dosis rendah dan ditingkatkan sesuai dengan respons
dan toleransi pasien. Interaksi obat ini jika digunakan dengan dengan obat
antipsikotik, dapat meningkatkan risiko neuroleptic malignant syndrome (NMS).
saluran ion selektif klorida. GABA merupakan neurotransmiter yang bekerja sebagai
inhibitor yang akan menurunkan eksitabilitas sel-sel neuron. GABA menghasilkan
efek menenangkan pada otak, dan ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi pada
korteks dan sistem limbik. Reseptor GABA ada 3 yaitu A,B, dan C. Benzodiazepin
berinteraksi dengan reseptor GABA-A. Kompleks reseptor GABA-A terdiri dari 5
subunit glikoprotein: 2 subunit a, 2 subunit b, dan 1 subunit g. Benzodiazepin
berikatan pada lekukan antara subunit a dan subunit g dan menginduksi terjadinya
perubahan konformasional pada reseptor GABA-A sehingga GABA dapat berikatan
dengan reseptor GABA-A. Ikatan GABA akan menyebabkan hiperpolarisasi ion
klorida sel sehingga efek inhibisi dari GABA bekerja pada seluruh sistem saraf pusat.
KESIMPULAN
BPSD merupakan gejala gangguan persepsi, isi pikir, suasana hati, atau
perilaku yang sering terjadi pada pasien dengan demensia. Meskipun etiologi BPSD
masih belum jelas, ada beberapa faktor yang dapat berkontribusi, seperti faktor
genetik, aspek neurobiologi, aspek psikologis, dan aspek social. BPSD merupakan
problem yang dapat membebani keluarga, sehingga deteksi dini dan pengelolaan
kasus BPSD yang tepat dapat memperbaiki kualitas hidup pasien Demensia dan
keluarganya.
Terapi pada pasien BPSD terbagi menjadi terapi farmakologis dan terapi non-
farmakologis. Intervensi psikososial (non farmakologi) merupakan terapi lini pertama
pada pasien BPSD ringan sampai sedang. Pilihan terapi farmakologis diberikan sesua
target gejala, yaitu antipsikotik, antidepresi, antianxietas, dan mood stabilizer, dengan
dosis pemberiann 1/3-1/2 dosis dewasa dan dengan prinsip start low go slow. Obat
anti demensia golongan anticholinesterase inhibitor juga efektif dalam
mengendalikan disruptive behavior pada BPSD.
29
DAFTAR PUSTAKA
7. Kaplan GB, Hammer RP, 2002, Brain Circuitry and Signaling in Psychiatry Basic
Science and Clinical Implications, Washington, American Psychiatric Publishing,
Inc.p.201-222. 8. Herrmann N et al, 2004, The Role of Norepinephrine in the BPSD,
The Journal of Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences, 16, p.261–276.
9. Robert PH, Verhey FR, Byrne EJ, Hurt C, De Deyn PP, Nobili F, et al, 2005,
Grouping for BPSD: clinical and biological aspects, European Psychiatry, 20:
p.490–496
10. Sadock BJ, Sadock VA, Pedro R, (Ed.), 2009, Kaplan & Sadock's Comprehensive
Textbook of Psychiatry, 9th Edition, Lippincott Williams & Wilkins, p.1167-1197.
13. Lancto KL, Siever LJ, Klar HM, Maurer G, Cochrane K, Cooper TB, et al, 2001,
Role of Serotonin in the BPSD, The Journal of Neuropsychiatry and Clinical
Neurosciences, 13, p.5-21.
15. Kaufman DM, 2007, Clinical Neurology for Psychiatrists, 6th Ed, Philadelphia,
30
Elsevier Inc. p.115-140.
16. Ames D, Chiu E, Lindesay J, Shulman K.I , 2010, Guide to the Psychiatry of Old
Age, Cambridge UK, Cambridge University Press, p.4955.
19. Cohen GD, Finkel SI, 2002, BPSD Assisting the caregiver and managing the
patient Geriatrics, Volume 57,Number 11
20. Karen HW, 2008, Clinical Management of BPSD, Medical Bulletin, vol. 13, No
9, p.17
31