Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus

BEHAVIORAL AND PSYCHOLOGICAL SYMPTOMS OF


DEMENTIA

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
BLUD Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh

Disusun oleh :

M. Habibie Runanda
1807101030026

Dokter Pembimbing

dr. Rina Hastuti Lubis, Sp.KJ

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BLUD RUMAH SAKIT JIWA ACEH
BANDA ACEH
2019
i

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Shalawat
beserta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita
dari zaman jahiliyah ke zaman islamiyah, serta kepada sahabat dan keluarga beliau.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Rina Hastuti, Sp.KJ yang
telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam penyusunan
laporan kasus yang berjudul “Behavioral and Psychological Symptoms of
Dementia”, serta para dokter di bagian/ SMF Ilmu Kedokteran Jiwa yang telah
memberikan arahan serta bimbingan hingga terselesaikannya laporan kasus ini.

Tidak ada kata sempurna dalam pembuatan sebuah laporan kasus. Keterbatasan
dalam penulisan maupun kajian yang dibahas merupakan beberapa penyebabnya.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan terhadap laporan kasus ini
demi perbaikan di masa yang akan datang.

Banda Aceh, 23 Juli 2019

Penulis

i
ii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3

BAB III LAPORAN KASUS .............................................................................. 16

Identitas Pasien ........................................................................................... 16

Riwayat Psikiatri........................................................................................... 16

Pemeriksaan Fisik ........................................................................................ 18

Status Mental............................................................................................... 21

Resume ........................................................................................................ 23

Diagnosis Banding ........................................................................................ 24

Diagnosis Klinik ............................................................................................ 24

Diagnosis Multiaksial ................................................................................... 24

Tatalaksana .................................................................................................. 24

Prognosis ..................................................................................................... 25

BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................. 26

BAB V KESIMPULAN ..................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 30

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
BPSD merupakan gejala gangguan persepsi, proses pikir, suasana perasaan,
dan perilaku yang sering terjadi pada pasien demensia. Dahulu penyakit ini disebut
sebagai Psychosis in Dementia atau Psychosis of Alzheimer’s Disease (PAD).
Peningkatan jumlah populasi lanjut usia (lansia) memberi dampak pula pada
meningkatnya gangguan neuropsikiatri pada lansia. Individu yang berusia lebih dari
80 tahun akan mempunyai risiko tinggi untuk mengalami gangguan neuropsikiatri.1,2
Hingga kini demensia masih merupakan salah satu gangguan pada lansia
yang sangat ditakuti. Di seluruh dunia saat ini diperkirakan lebih dari 30 juta orang
menderita demensia. Angka untuk BPSD yang bermakna secara klinis meningkat
sampai hampir 80% untuk pasien demensia yang berada di lingkungan perawatan.
Dua penelitian berbasis populasi dari Amerika dan dari Inggris, menunjukkan
angka prevalensi yang sama, yaitu sekitar 20% untuk BPSD pada orang dengan
penyakit Alzheimer.
Aspek psikiatri yang sangat penting untuk diperhatikan dalam rangka
penatalaksanaan yang komprehensif dan berkesinambungan adalah adanya BPSD.1
Dalam sebuah penelitian terhadap 100 pasien dengan otopsi yang dikonfirmasi
Penyakit Alzheimer (AD), Jost dan Grossberg terdokumentasi iritabilitas, agitasi,
agresi dan di 81% dari orang rata-rata dari 10 bulan setelah diagnosis; depresi,
perubahan suasana hati, penarikan sosial, dan keinginan bunuh diri pada 72% dari
orang 26,4 bulan sebelum diagnosis; dan halusinasi, paranoid, perilaku menuduh, dan
delusi di 45% dari orang-orang 1 bulan setelah diagnosis.
Perubahan perilaku pada penderita demensia diperkirakan berhubungan
dengan proses neurodegenerative secara progresif dari sel otak khususnya di daerah
sistem limbik dan neokorteks (akumulasi amyloid, kekusutan nerofibril, dan defisit
neurotransmitter cholinergik, serotonergik, dopaminergik). Kondisi medis tertentu
yang juga dapat mempengaruhi seperti nyeri kronis, dispepsia, konstipasi, disuria

1
2

sering membuat pasien demensia gelisah dan menjadi agresif karena


ketidakmampuan mengutarakan keluhannya.1
Prevalensi seumur hidup gangguan skizoafektif kurang dari satu persen,
mungkin berkisar antara 0,5 sampai 0,8 persen. Namun, gambaran tersebut
merupakan perkiraan; berbagai studi mengenai gangguan skizoafektif telah
menggunakan berbagai kriteria diagnostik. Pada praktik klinis, diagnosis permulaan
gangguan skizoafektif sering digunakan bila seorang klinisi tidak yakin akan
diagnosis.
Gangguan skizoafektif tipe depresi mungkin lebih sering terjadi pada orang
tua daripada orang muda, dan tipe campuran lebih sering pada dewasa muda daripada
dewasa tua. Prevalensi gangguan tersebut dilaporkan lebih rendah pada laki-laki
daripada perempuan, terutama perempuan menikah; usia awitan untuk perempuan.
BPSD dapat terjadi pada stadium yang sangat dini dari demensia tipe
Alzheimer, meskipun demikian, BPSD seringkali terlambat dikenali atau bahkan
salah di diagnosis sebagai depresi atau late onset schizophrenia. Berdasarkan hal
tersebut. Maka dari itu penulis ingin memaparkan tulisan berupa laporan kasus yang
berjudul Behavioral And Psychological Symptoms Of Dementia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Asosiasi Psychogeriatric Internasional mendefinisikan istilah BPSD sebagai
“Gejala gangguan persepsi, isi pikir, suasana hati, atau perilaku yang sering terjadi
pada pasien dengan demensia”. Angka untuk BPSD yang bermakna secara klinis
meningkat sampai hampir 80% untuk pasien demensia yang berada di lingkungan
perawatan. Dua penelitian berbasis populasi dari Amerika Serikat dan dari Inggris,
menunjukkan angka prevalensi yang sama, yaitu sekitar 20% untuk BPSD pada orang
dengan penyakit Alzheimer. Berbeda dengan disfungsi kognitif pada demensia yang
semakin memburuk dari waktu ke waktu, BPSD cenderung berfluktuasi, dengan
agitasi psikomotor yang paling persisten.5

2.1 Gejala Perilaku pada Demensia


A. Disinhibisi
Pasien dengan disinhibisi berperilaku impulsif, menjadi mudah terganggu,
emosi tidak stabil, memiliki wawasan yang kurang sehingga sering menghakimi, dan
tidak mampu mempertahankan tingkat perilaku sosial sebelumnya. Gejala lain
meliputi: menangis, euforia, agresi verbal, agresi fisik terhadap orang lain dan benda-
benda, perilaku melukai diri sendiri, disinhibisi seksual, agitasi motorik, campur
tangan, impulsif, dan mengembara.3

B. Agitasi
Agitasi didefinisikan sebagai aktivitas yang tidak pantas, baik secara verbal,
vokal, atau motor. Subtipe dari agitasi tercantum dalam tabel berikut:

3
4

Tabel 2.1 Subtipe Agitasi:3

Perilaku fisik non agresif: Perilaku verbal non agresif:


 Kegelisahan umum  Negativism
 Mannerism berulang  Tidak menyukai apapun
 Mencoba mencapai tempat yang berbeda  Meminta perhatian
 Menangani sesuatu secara tidak sesuai  Berkata-kata seperti bos
 Menyembunyikan barang  Mengeluh/melolong
 Berpakaian tidak sesuai atau tidak  Interupsi yang relevan
Berpakaian  Interupsi yang irelevan
 Menghukum berulang
Perilaku fisik agresif: Perilaku verbal agresif:
 Memukul  Menjerit
 Mendorong  Mengutuk
 Menggaruk  Perangai meledak-ledak
 Merebut barang  Membuat suara aneh
 Kejam terhadap manusia
 Menendang dan menggigit 

C. Wandering
Beberapa perilaku yang termasuk wandering, yaitu:3
 memeriksa (berulang kali mencari keberadaan caregiver)
 menguntit
 berjalan tanpa tujuan
 berjalan waktu malam
 aktivitas yang berlebihan
 mengembara, tidak bisa menemukan jalan pulang
 berulang kali mencoba untuk meninggalkan rumah.
5

D. Reaksi Ledakan Amarah / Katastrofik


Dalam salah satu penelitian terhadap 90 pasien dengan gangguan AD cukup
ringan, ledakan marah tiba-tiba terjadi pada 38% pasien. Selain itu, didapatkan hal-
hal sebagai berikut:
 ledakan amarah tiba-tiba dikaitkan dengan meningkatnya aktivitas dan perilaku
agresif
 tidak ada hubungan yang ditemukan antara ledakan amarah dan penampilan sikap
apati, depresi, atau kegelisahan
 perilaku agresif memberikan kontribusi paling banyak terkait gejala nonkognitif
dan ledakan marah tiba-tiba
 reaksi bencana dapat dipicu oleh gejala kognitif dan non-kognitif, seperti :
kesalahpahaman, halusinasi, dan delusi.3

2.2 Gejala Psikologis pada Demensia


A. Gejala Mood
1. Depresi
Adanya depresi pada pasien dengan demensia sebelumnya mungkin
memperburuk deficit kognitif pasien. Gangguan depresi harus dipertimbangkan
ketika ada satu atau lebih kondisi berikut ini: mood depresi yang meresap dan
anhedonia, pernyataan menyalahkan diri dan menyatakan keinginan untuk mati, dan
riwayat depresi pada keluarga atau pasien sebelum timbulnya demensia.3,6
Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan pada pasien dengan AD
menunjukkan mood depresi terjadi paling sering (40-50% pasien) dan gangguan
depresi mayor yang tidak begitu umum (10 - 20%). Riwayat premorbid depresi
meningkatkan kemungkinan perkembangan depresi pada AD. Pasien dengan
demensia vaskular dilaporkan mengalami mood depresi lebih sering daripada pasien
dengan AD.7
6

2. Apati
Apati terlihat menonjol pada demensia frontotemporal, penyakit Alzheimer,
dan kelumpuhan supranuclear progresif. Apati terjadi hingga 50% dari pasien pada
tahap awal dan menengah AD dan demensia lainnya. Pasien yang apati menunjukkan
kurangnya minat dalam kegiatan sehari-hari, perawatan pribadi dan penurunan dalam
berbagai jenis interaksi sosial, ekspresi wajah, modulasi suara, respon emosional, dan
inisiatif. 2,3

3. Kecemasan
Kecemasan dalam demensia mungkin terkait dengan manifestasi BPSD lain
atau terjadi secara independen. Pasien demensia dengan kecemasan akan
mengekspresikan keprihatinan mengenai masalah keuangan, masa depan, kesehatan
(termasuk memori mereka), kekhawatiran tentang acara nonstressful sebelumnya, dan
kegiatan seperti berada jauh dari rumah.3
Karakteristik gejala kecemasan lain dari pasien demensia adalah takut
ditinggalkan sendirian. Ketakutan ini dapat dianggap fobia apabila kecemasan di luar
batas kewajaran. Pasien dengan AD kadang-kadang memperlihatkan fobia lainnya,
seperti takut kerumunan, perjalanan, gelap, atau aktivitas seperti mandi.3

B. Gejala Psikotik
1. Waham
Manifestasi psikosis mencakup gejala positif (waham, halusinasi, gangguan
komunikasi, aktivitas motorik yang abnormal) dan gejala negatif (avolition,
kemiskinan isi pikiran, afek datar).
Lima tipe waham terlihat pada demensia (terutama demensia tipe Alzheimer), yaitu:
a. Barang kepunyaannya telah dicuri.
b. Rumah bukan kepunyaannya (misidentifikasi).
c. Pasangan (atau pengasuh lainnya) adalah seorang penipu (Sindrom Capgras).
d. Pengabaian / Ditinggalkan
e. Ketidaksetiaan.3
7

2. Halusinasi
Perkiraan frekuensi halusinasi pada demensia berkisar dari 12%-49%.
Halusinasi visual adalah yang paling umum (terjadi pada 30% pasien dengan
demensia) dan ini lebih sering terjadi pada demensia yang moderat dibandingkan
demensia ringan atau berat. Gambaran halusinasi secara umum berupa gambaran
orang-orang atau hewan-hewan. Pada demensia Lewy Body, laporan frekuensi
halusinasi visual sekitar 80%. Pasien demensia juga mungkin mengalami halusinasi
auditorik (sekitar 10%), namun jarang untuk halusinasi jenis lain, seperti yang
bersifat penciuman atau taktil. 3
3. Misidentifikasi
Misidentifikasi dalam demensia adalah kesalahan persepsi stimuli eksternal.
Misidentifikasi terdiri dari:
 Kehadiran orang-orang di rumah pasien sendiri (Boarder Phantom Syndrome)
 Kesalahan identifikasi diri pasien sendiri (tidak mengenali bayangan diri sendiri di
cermin)
 Kesalahan identifikasi orang lain
 Kesalahan identifikasi peristiwa di televisi (pasien mengimajinasikan peristiwa
tersebut terjadi secara nyata).

3.1 Perubahan Neuropatologi


A. Gejala Psikotik
Forstl et al. (1994), meneliti hubungan antara neuropatologi dan gejala
psikotik pada pasien AD (23% dengan halusinasi, 16% dengan waham paranoid, dan
25% dengan waham misidentifikasi). Dibandingkan dengan kontrol, pasien AD
dengan gejala psikotik memiliki jumlah neuron yang lebih rendah pada daerah otak
berikut ini: girus parahippocampal, regio CA1 hippocampus, raphe dorsalis, dan
lokus seruleus.
3,8
8

Gejala psikotik berhubungan dengan peningkatan yang bermakna dari


kepadatan senile plaques dan neurofibrillary tangles di prosubiculum dan
pertengahan kortex frontal serta jumlah neuron yang berkurang di wilayah
parahippocampal. Selain itu, waham atau halusinasi berhubungan dengan
peningkatan densitas kekusutan ekstraseluler di lobus parietalis serta jumlah plak
neurites yang lebih tinggi di korteks oksipital.3,9
Bondareff (1996) melaporkan bahwa waham kebanyakan terdapat pada
gangguan ekstrapiramidal dan juga gangguan lobus temporalis, serta lebih sering
terjadi pada gangguan otak hemisfer kiri dibandingkan kanan. Waham juga
berhubungan dengan kalsifikasi dari ganglia basalis, disfungsi sistem limbik, dan
penyakit yang paling banyak dengan manifestasi waham melibatkan lobus temporal
atau struktur sistem limbik subkortikal. 10
Ketika membandingkan subyek AD dengan atau tanpa gejala psikotik,
penelitian dengan Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan
Positron Emission Tomography (PET) menunjukkan penurunan perfusi di lobus
frontal dan temporal. Kuantitatif EEG (qEEG) pasien AD dengan gejala psikotik
menunjukkan disfungsi otak yang lebih parah (peningkatan delta dan penurunan daya
alfa) dibandingkan yang tanpa gejala ini, terlepas dari keparahan demensia dan tanpa
perbedaan topografi. Analisis visual EEG menunjukkan bahwa pasien AD dengan
waham dan halusinasi secara bermakna mempunyai proporsi EEG yang abnormal
secara moderat, dan analisis spektral qEEG mengkonfirmasi sejumlah peningkatan
aktivitas delta dan teta, sehingga menunjukkan tingkat disfungsi serebral yang lebih
besar. Penelitian dengan pencitraan telah menunjukkan hubungan antara kelainan
frontotemporal dengan psikosis atau agitasi. 9,11
B. Gejala Depresi
Gangguan yang mempengaruhi lobus frontal, lobus temporal, dan ganglia
basalis (terutama inti caudatus) sangat mungkin akan disertai oleh sindrom depresi.
Keterlibatan dari lobus frontal kiri atau nukleus caudatus kiri lebih mungkin
mencetuskan depresi dibanding disfungsi sisi kanan. 2
9

Perubahan mood sering pada lesi dorsolateral prefrontal. Sekitar 60% pasien
dengan lesi akut di area ini memiliki gejala depresi. Setengah dari pasien memiliki
episode depresi mayor, dan setengah memiliki depresi minor atau distimia.
Kecemasan sering menyertai depresi pada pasien dengan lesi yang mempengaruhi
korteks frontal. Penelitian dengan PET menunjukkan bahwa pasien dengan depresi
idiopatik mengalami penurunan metabolisme di area ini dibandingkan dengan pasien
yang tidak depresi. 2
Dikatakan bahwa depresi berat pada penderita AD berhubungan dengan
peningkatan degenerasi nukleus aminergik batang otak khususnya nukleus seruleus
dan raphe midbrain. Sultzer (1996) melaporkan bahwa terdapat hubungan antara
gejala mood dengan hipometabolisme pada korteks parietal. 10
C. Gejala Apati
Disfungsi lobus frontalis terutama regio medio frontal seringkali berhubungan
dengan sindrom apati (penurunan minat, afek dan psikomotor) yang menyerupai
depresi.10,11
Gangguan lobus frontal yang menimbulkan sindrom apati melibatkan daerah
medio frontal, terutama korteks anterior cingulate. Sindrom mutisme akinetik
sementara terjadi pada pasien dengan lesi frontal medial unilateral, mutisme akinetik
permanen diamati pada disfungsi frontal medial bilateral. Apati juga terjadi pada
pasien dengan lesi nukleus kaudatus, globus pallidus, dan thalamus, yang merupakan
bagian dari struktur sirkuit frontal- medial subkortikal.2
D. Gejala Agitasi dan Agresif
Terdapat hubungan yang bermakna antara faktor skor agitasi / disinhibisi dan
metabolisme kortikal di lobus frontal dan temporal. Penelitian terbaru menunjukkan
adanya hubungan antara agitasi dengan penurunan metabolisme di daerah
frontotemporal, bertambahnya neurofibrillary tangle terutama di daerah frontal dan
defisit kolinergik. Tekin et al juga menunjukkan bahwa jumlah neurofibrillary tangle
lebih tinggi di daerah cingulate anterior orbitofrontal pada pasien AD dengan
agitasi.3,9
10

Pada pemeriksaan SPECT, subyek dengan agresi memperlihatkan hipoperfusi


yang bermakna di korteks temporal anterior kiri.9 Agitasi intermiten dan agresivitas
yang sering berkembang pada pasien demensia mungkin berhubungan dengan lesi
dari sistem limbik, terutama di daerah amigdale dan regio yang berhubungan. 12
Perilaku agresif dilaporkan terkait dengan lesi neuropatologis di basal nucleus
Meynert dan lokus seruleus, dan dengan banyaknya neuron di substansia nigra pars
compacta. Lokus seruleusrostral mengalami kehilangan sel lebih besar pada pasien
agresif. 9

E. Disinhibisi
Disinhibisi merupakan perubahan perilaku yang dominan pada sindrom
orbitofrontal yang sering ditemui pada demensia frontotemporal. Sindrom
orbitofrontal adalah yang paling dramatis dari semua gangguan lobus frontal.
Individu yang perilaku sebelumnya normal mengalami perubahan perilaku karena lesi
prefrontal.
3.2 Perubahan Neurotransmitter
A. Peran Serotonin
Beberapa gejala BPSD yang dapat terjadi karena kelainan pada sistem
serotonergik adalahmood depresi, kecemasan, agitasi, gelisah, dan agresivitas.3
Neuron serotonergik berasal dari inti rafe dorsal dan median yang mempersarafi
banystruktur dalam korteks dan sistem limbik. Proyeksi ini secara luas
memungkinkan sistemserotonergik untuk mengatur agresi, mood, aktivitas makan,
tidur, suhu, seksual, dan motorik. Olekarena itu, perubahan dalam fungsi sistem
serotonergik pusat memiliki dampak klinis yang terlihpada perilaku.13
Tabel berikut menggambarkan peranan reseptor serotonin dalam BPSD.
11

B. Peran Norepinefrin / Noradrenergik


Peran NE pada BPSD dapat dilihat pada tabel berikut ini : 8

C. Peran Dopamin
Pada demensia Lewy Body, metabolit dopamin secara bermakna menurun
pada pasien yang tidak berhalusinasi dalam hubungannya dengan kelainan
serotonergik (yakni, penurunan ikatan reseptor serotonergik 5-HT2 dan penurunan
metabolit 5-HT). 13
Sistem dopaminergik telah terlibat dalam depresi, perilaku agitasi, dan
psikotik pada pasien yang tidak demensia, dan dengan demikian sistem ini memiliki
potensi secara langsung mempengaruhi BPSD. Penelitian post mortem telah
menunjukkan pada pasien AD terdapat gangguan dalam sistem dopaminergik
dibandingkan dengan subyek kontrol.13
12

Pasien AD dengan BPSD berat mungkin memiliki disfungsi metabolisme


dopamin striatal dibandingkan dengan mereka yang tidak BPSD. Ketika
dikombinasikan dengan temuan bahwa kolin asetiltransferase (CHAT) menurun pada
pasien berhalusinasi, hasil ini menunjukkan bahwa ketidakseimbangan antara
transmitter monoaminergik dan kolinergik terlibat dalam halusinasi visual pada
demensia Lewy Body. Perilaku gelisah dan agresif mungkin terkait dengan preservasi
relatif fungsi DA pada pasien AD.13,14
D. Peran GABA
GABA adalah penghambat utama neurotransmitter pada SSP, penghambat
interneuron lokal untuk neurotransmitter lain yang merupakan kunci dalam
mengendalikan perilaku. GABA mempengaruhi fungsi perilaku melalui interaksi
dengan serotonin.13
Keterlibatan neurotransmitter GABA telah ditunjukkan dalam perilaku seperti
agresi, dimana peningkatan GABA dikaitkan dengan penurunan agresi. 8
E. Peran Asetilkolin
Cummings dan Back menunjukkan bahwa defisit kolinergik dapat
berkontribusi pada gejala seperti psikosis, agitasi, apati, disinhibisi, dan perilaku
motorik menyimpang.13
Defisit dalam sistem kolinergik terutama timbul pada basal otak depan dan
memproyeksikan ke korteks. Terdapat penurunan penanda kolinergik kolin
asetiltransferase (CHAT) dan asetilkolinesterase (ACHE) pada korteks, khususnya
korteks temporal; kehilangan bermakna dalam nukleus basalis Meynert; dan
pengurangan densitas reseptor muskarinik 2 (M2) presinaptik. Peningkatan reseptor
M2 muskarinik kolinergik telah ditemukan pada korteks frontal dan temporal pada
pasien AD dengan gejala psikotik.9,13,15
F. Peran Glutamat dalam BPSD
Glutamat adalah neurotransmitter excitatory di otak yang dominan. Pasien AD
memiliki kehilangan glutamat yang cukup berat. Ketidakseimbangan antara glutamat
13

dan sistem dopaminergik dapat menyebabkan disfungsi dalam sirkuit talamik kortikal
neostriatal, yang dapat menyebabkan gejala psikotik.3

G. Disfungsi Neuroendokrin
Pada pasien AD, kadar somatostatin, vasopresin, corticotropin-releasing
hormone (CRH), substansi P, dan neuropeptida Y secara bermakna berkurang di
daerah kortikal dan sub kortikal otak, sedangkan kadar dari galanin peptida
meningkat. Namun, di hipotalamus, kadar somatostatin, vasopresin, dan neuropeptida
Y seperti galanin meningkat secara bermakna, dapat menyebabkan agitasi, gelisah,
gangguan tidur dan gejala yang terkait dengan stres.3

4. Terapi BPSD
Non. Farmakologi
a. Intervensi Lingkungan
Lingkungan yang ideal bagi pasien BPSD adalah suasana yang tenang, langgeng dan
kekeluargaan. Pasien BPSD sangat mudah mengalami kebingungan ketika
menghadapi Pasien BPSD sangat mudah mengalami kebingungan ketika menghadapi
perubahan dari situasi rutin. Oleh sebab itu usahakan jadwal kegiatan yang bersifat
stabil/rutin. Gangguan tidur adalah masalah yang paling sering dihadapi pasien
BPSD. Higiene tidur yang buruk sangat mempengaruhi suasana emosi dan perilaku
pasien. Olah raga rutin, berjemur, memandikan dengan air hangat pada setiap pagi
dan sore hari, adalah rangkaian upaya yang sangat efektif membenahi pola tidur
pasien BPSD

b. Intervensi perilaku
 Mengenali gejala gejala psikologik dan perilaku yang akan menjadi target
terapi
 Mengenali situasi dan kondisi khusus yang dapat mencetuskan respons
perilaku tertentu
14

 Mengevaluasi secara berkala perubahan respons perilaku terhadap situasi


tertentu
 Menetapkan tujuan terapi secara realistik
 Menyusun program terapi perilaku yang bersifat fleksibel, mudah
dimodifikasi, dan disesuaikan problem aktual

 Membantu keluarga/care giver untuk mengatasi tekanan psikososial yang


mereka alami dalam merawat pasien BPSD

Terapi Farmakologi
 Terapi farmakologi merupakan terapi tambahan sesudah pendekatan non
farmakologi tidak memberikan hasil optimal
 Terapi farmakologi biasanya diterapkan pada BPSD sedang sampai berat, dan
diberikan bersama sama dengan intervensi perilaku ataupun pendekatan
psikososial lainnya
 Terapi farmakologi pada umumnya mendasarkan pada alasan target gejala
yang menjadi sasaran kerja obat, yaitu: Antipsikotik, Antidepresan,
Antiansietas, mood stabilizer, hipnotik sedatif
 Obat anti demensia yaitu obat obat anticholinesterase inhibitor juga
bermanfaat untuk mengendalikan BPSD
 Kombinasi anticholinesterase dengan obat antipsikotik secara efektif
mengatasi gejala gejala psikotik dan perilaku disruptif

Obat yang digunakan pada Demensia:


Anticholinesterase Inhibitor
Target gejala: Gangguan fungsi kognitif (memori, orientasi, fungsi eksekutif), BPSD
(apatis, depresi, disinhibisi, ansietas):
- Donepezil : selective Ache Inhibitor
- Galantamin : selective Ache Inhibitor
- Rivastigmin: dual action Ache & Buche Inhibitor
NMDA Receptor Antagonism
15

- Memantine
Antioksidan & Vitamin
- Asam folat
- Vitamin E
Psikofarmaka sesuai target gejala
- Antipsikotik, antidepresan, antianxietas
BAB III
LAPORAN KASUS

I IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 63 tahun
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Warga Negara : Indonesia
Pendidikan : SMP
Alamat : Jl. Cut Nyak Dhien, Desa Keuneu Eu, Aceh Besar

II RIWAYAT PSIKIATRI
Data diperoleh dari:
1. Rekam medis : 1906017259
2. Alloanamnesis : 4 Juli 2019

A. Keluhan Utama
Sering keluar tengah malam, keluyuran di luar rumah. BAB sembarangan.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Autoanamnesis: Saat dilakukan anamnesis, pasien tidak kooperatif dan
mudah marah.
Alloanamnesis: Tn. S, 43 tahun, pendidikan terakhir D3, pekerjaan swasta
(anak kandung pasien). Pasien dibawa ke RSJ Aceh oleh anaknya karena pasien
sering keluar tengah malam, keluyuran di luar rumah. Aktivitas sehari-hari dengan
bantuan (mandi, BAK dll) namun sejak 1,5 bulan yang lalu sering BAB
sembarangan.

16
17

Pasien sejak 3 tahun yang lalu sudah mulai mengalami lupa terhadap sesuatu
yang umum dalam kehidupannya sehari-hari. Pasien sudah tidak mengenal lagi orang
terdekatnya, tidak mengetahui waktu dan juga tempat. Dan pasien juga dikatakan
sudah tidak bisa menahan buang air kecil.

Sejak 1,5 tahun yang lalu pasien bicara kacau, sering gelisah. Pasien juga
sering keluyuran di luar rumah. Dan tidak memperdulikan keluarga ketika diminta
untuk kembali ke rumah. Hal ini terjadi ketika istrinya meninggal 1,5 tahun yang lalu.
Sejak saat itu perilaku pasien sudah berubah, menjadi pemarah, dan sulit mengontrol
emosi. Menurut keluarga, pasien mulai tidak bisa diajak berbicara, pasien sering
kebingungan.

Akhir-akhir ini, sejak 1,5 bulan yang lalu pasien sering mengamuk, BAB
sembarangan, dan terkadang BAK di celana. tidak mau makan, tidak mau mandi,
bicara kadang melantur, serta pasien sulit tidur. Keluarga tidak mengetahui pasti
penyebab bertambah beratnya gangguan perilaku pasien. Namun pasien tampak
semakin murung dari hari ke hari. Menurut keluarga pasien, pasien mengaku adanya
suara bisikan, namun tidak mengetahui asalnya dari mana, bisikan tersebut berisi
perintah-perintah untuk pasien keluar dari rumah tersebut. Pasien cenderung
mengikuti dan mempercayai berbagai bisikan yang didengarnya, namun tidak ada
bisikan yang menyuruh pasien untuk bunuh diri.

Semenjak dirawat di RSJ Aceh menurut keluarga pasien, pasien sudah mulai
tampak tenang, namun masih tampak emosi dan marah apabila diajak berbicara dan
diberikan banyak pertanyaan, dan pasien seketika bisa merasa sedih apabila teringat
tidak ada satupun keluarga yang menjenguknya. Namun pasien mengaku tidak
mendengar lagi bisikan yang sebelumnya ia dengar saat berada dirumah.

C. Riwayat Penyakit Sebelumnya


1. Riwayat psikiatrik: Pasien belum pernah dirawat di RSJ Aceh
sebelumnya
18

2. Riwayat penyakit medis umum: Riwayat DM 1 tahun yang lalu, pasien


pernah jatuh dan terbentur di kepala 5 tahun yang lalu.
3. Riwayat merokok : Tidak merokok
4. Penggunaan NAPZA : Tidak ada

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Menurut anaknya, tidak ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa

E. Riwayat Pengobatan
Tidak ada

F. Riwayat Sosial
Pasien lahir normal dan cukup bulan, pasien bersekolah hingga tamat
SMP Pasien mempunyai anak sebanyak 4 orang dari pernikahan pasien
dengan istrinya. Istri pasien meninggal 1,5 tahun yang lalu.

G. Riwayat Pendidikan
Pendidikan terakhir pasien ialah SMP

H. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Riwayat perinatal : Normal
2. Riwayat masa bayi : Normal
3. Riwayat masa anak : Normal
4. Riwayat masa remaja : Normal

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Internus
1. Kesadaran : Compos Mentis
2. Tekanan Darah : 140/70 mmHg
3. Frekuensi Nadi : 80 x/ menit
19

4. Frekuensi Napas : 18 x/ menit


5. Temperatur : Afebris

B. Status Generalisata
1. Kepala : Normocephali (+)
2. Leher : Distensi vena jugular (-), pembesaran KGB (-)
3. Paru : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
4. Jantung : BJ I >BJII , bising (-), iktus cordis di ICSV Linea
midclavicular sinistra
5. Abdomen : Asites (-), hepatomegali (-), nyeri tekan (-)

6. Ekstremitas
Superior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
Inferior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
7. Genetalia : Tidak diperiksa

C. Status Neurologi
1. Kesadaran : Bingung
2. Tanda rangsangan meningeal : (-)
3. Peningatan TIK : (-)
4. Mata : Pupil isokor (+/+), Ø3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+)
5. Motorik : Dalam batas normal
6. Sensibilitas : Dalam batas normal
7. Fungsi luhur : Dalam batas normal
8. Gangguan kognitif : MMSE : 3
20
21

D. Pemeriksaan penunjang

Hasil pemeriksaan laboratorium darah lengkap tanggal 29 juni 2019 dalam


batas normal

IV. STATUS MENTAL


A. Deskripsi Umum
1. Penampilan : Tidak Rapi
2. Kebersihan : Kurang Bersih
3. Kesadaran : Bingung
4. Perilaku & Psikomotor : Gelisah
5. Sikap terhadap Pemeriksa : Tidak Kooperatif
B. Mood dan Afek
1. Mood : Irritable
2. Afek : Labil
3. Keserasian Afek : Inappropriate Affect

C. Pembicaraan
Lambat, gagap

D. Pikiran
1. Arus pikir
 Koheren : (-)
 Inkoheren : (+)
 Neologisme : (-)
 Sirkumstansial : (-)
 Tangensial : (-)
 Asosiasi longgar : (-)
22

 Flight of idea : (-)


 Blocking : (+)

2. Isi pikir
 Waham
1. Waham Bizzare : (-)
2. Waham Somatik : (-)
3. Waham Erotomania : (-)
4. Waham Paranoid
 Waham Persekutor : (-)
 Waham Kebesaran : (-)
 Waham Referensi : (-)
 Waham Dikendalikan : (-)
 Thought
1. Thought Echo : (-)
2. Thought Withdrawal : (-)
3. Thought Insertion : (-)
4. Thought Broadcasting : (-)

E. Persepsi
1. Halusinasi
 Auditorik : (+)
 Visual : (-)
 Olfaktorius : (-)
 Taktil : (-)
2. Ilusi : (-)
23

F. Intelektual
1. Intelektual : Kurang Baik
2. Daya konsentrasi : Terganggu
3. Orientasi
 Diri : Terganggu
 Tempat : Terganggu
 Waktu : Terganggu
4 Daya ingat
 Seketika : Terganggu
 Jangka Pendek : Terganggu
 Jangka Panjang : Terganggu
5 Pikiran Abstrak : Sulit dinilai

H. Daya nilai
 Normo sosial : Terganggu
 Uji Daya Nilai : Terganggu
I. Pengendalian Impuls: Terganggu
J. Tilikan : T1
K. Taraf Kepercayaan : Tidak dapat dipercaya

V. RESUME
Pasien mengatakan dibawa ke RSJ Aceh oleh karena pasien sering keluar
tengah malam, keluyuran di luar rumah. Aktivitas sehari-hari dengan bantuan (mandi,
BAK dll) namun sejak 1,5 bulan yang lalu sering BAB sembarangan.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran bingung, tekanan darah 140/70
mmHg, frekuensi nadi 80x /menit, frekuensi napas 18x /menit, temperatur afebris.
Hasil pemeriksaan umum didapatkan dalam batas normal.
Pada pemeriksaan status mental, tampak laki-laki, berpenampilan tidak rapi,
perawakan sesuai usia, kurang bersih, dan bingung. Aktivitas psikomotor: gelisah,
sikap terhadap pemeriksa: tidak kooperatif, mood: irritable, afek : labil, keserasian
24

afek: inappropriate, pembicaraan: lambat gagap, arus pikir : inkoheren dan blocking,
isi pikir : tidak ada waham, persepsi: halusinasi auditorik (+). Pasien mengalami
tilikan T1 karena menyangkal penuh atas penyakit yang dideritanya, dengan taraf
kepercayaan tidak dapat dipercaya.

VI. DIAGNOSIS BANDING


1. F03.9 BPSD (Behavioral and psychological symptoms of dementia)
2. F01.0 Demensia vaskuler
3. F00.0 Demensia pada penyakit Alzheimer

VII. DIAGNOSIS KERJA


F03.9 BPSD (Behavioral and psychological symptoms of dementia)

III. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL


Axis I : Behavioral and psychological symptoms of dementia
Axis II : Tidak ditemukan gangguan kepribadian
Axis III : Diabetes Melitus tipe 2
Axis IV : Masalah dengan “primary support group” (keluarga)
Axis V : GAF 40-31

IX. TATALAKSANA
A. Farmakoterapi
- Inj. Lodomer ½ ampul / IM
- Risperidon 2 mg 2x ¼
- Diazepam 2 mg 1x1 k/p
- Donepezil 5 mg 1x1
- Asam folat 1mg 1x1
- Vit B Complex 1x1
25

B. Terapi Psikososial
1. Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai penyakitnya dan
menjelaskan pentingnya kepatuhan minum obat bagi kesembuhan
penyakit pasien.
2. Meningkatkan kemampuan sosial pasien seperti membina komunikasi
interpersonal yang baik, serta meningkatkan kemampuan pasien dalam
mengendalikan emosi
3. Menjelaskan kepada keluarga & orang disekitar pasien mengenai
kondisi pasien dan meyakinkan mereka untuk selalu memberi
dukungan kepada pasien agar proses penyembuhannya lebih baik.
4. Mengajarkan dengan cara berulang untuk memperbaiki orientasi
orang, tempat dan waktu
5. Menjelaskan kepada keluarga mengenai masalah sensorik pasien yag
menyebabkan demensia, untuk diperbaiki dahulu.

X. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam
26

BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesa dengan keluarga pasien, pasien dibawa dengan akibat


keluyuran, dan BAB sembarangan. Diceritakan sejak 3 tahun yang lalu sudah mulai
mengalami lupa terhadap kehidupannya sehari-hari. Pasien mengalami gangguan
orientasi tempat, orang, dan waktu. Sejak 1,5 tahun yang lalu pasien bicara kacau,
sering gelisah. Pasien juga sering keluyuran di luar rumah. Hal ini terjadi ketika
istrinya meninggal 1,5 tahun yang lalu. Sejak saat itu perilaku pasien sudah berubah,
menjadi pemarah, dan sulit mengontrol emosi. Akhir-akhir ini, sejak 1,5 bulan yang
lalu pasien sering mengamuk, BAB sembarangan, dan terkadang BAK di celana.
tidak mau makan, tidak mau mandi, bicara kadang melantur, serta pasien sulit tidur.
Keluarga tidak mengetahui pasti penyebab bertambah beratnya gangguan perilaku
pasien. Namun pasien tampak semakin murung dari hari ke hari. Menurut keluarga
pasien, pasien mengaku adanya suara bisikan, namun tidak mengetahui asalnya dari
mana, bisikan tersebut berisi perintah-perintah untuk pasien keluar dari rumah
tersebut. Pasien cenderung mengikuti dan mempercayai berbagai bisikan yang
didengarnya, namun tidak ada bisikan yang menyuruh pasien untuk bunuh diri.

Berdasarkan teori, BPSD merupakan gejala gangguan persepsi, isi pikir,


suasana hati, atau perilaku yang sering terjadi pada pasien dengan demensia dari hasil
alloanamnesis dan pemeriksaan status mental pasien ini, didapatkan pasien bicara
lambat dan gagap, mood distimia, afek labil dan tidak serasi, mengaku tidak tidur
selama dua hari, perilaku normoaktif, halusinasi auditorik (+), dan hasil MMSE
didapatkan 3. Oleh karena itu pasien ini didiagnosis BPSD, dikarenakan adanya
demensia dan gangguan kebiasaan serta kognitif yang sama-sama menonjol pada saat
yang bersamaan (simultaneously).
Pada kasus BPSD, dapat ditemukan perubahan neuropatologi. Pada pasien ini
ditemukan gejala psikotik berupa halusinasi auditorik dan misidentifikasi. Selain itu
sesuai dengan teori BPSD, dapat ditemukan gejala psikologis pada demensia, yaitu
26

depresi apati dan kecemasan. Disfungsi lobus frontalis terutama regio medio frontal
seringkali berhubungan dengan sindrom apati (penurunan minat, afek dan
psikomotor) yang menyerupai depresi. Gejala depresi yang dapat kita temui pada
pasien ini diantaranya adalah afek depresif, berkurang energi dan aktivitas yang
menurun, konsentrasi dan perhatian berkurang, adanya perbuatan yang
membahayakan diri seperti keluyuran, pasien mengatakan sudah dua hari ini tidak
tidur.
Beberapa gejala BPSD yang dapat terjadi karena kelainan pada sistem
serotonergik adalah mood depresi, kecemasan, agitasi, gelisah, dan agresivitas.3
Neuron serotonergik berasal dari inti rafe dorsal dan median yang mempersarafi
banystruktur dalam korteks dan sistem limbik. Proyeksi ini secara luas
memungkinkan sistemserotonergik untuk mengatur agresi, mood, aktivitas makan,
tidur, suhu, seksual, dan motorik. Olekarena itu, perubahan dalam fungsi sistem
serotonergik pusat memiliki dampak klinis yang terlihpada perilaku

Berdasarkan teori, obat yang digunakan untuk terapi BPSD adalah


anticholinesterase inhibitor (donepezil, rivastigmin), antioksidan (asam folat, vitamin
E), psikofarmaka antipsikotik (tipikal dan atipikal), antidepresan (SSRI), dan
antianxietas (benzodiazepine), mood stabilizer. Pasien ini mendapatkan terapi
anticholinesterase inhibitor Donepezil 5 mg 1x1, antipsikotik Lodomer ½ ampul IV,
Risperidon 2x0,5 mg, antianxietas Diazepam 2 mg, Diazepam 2 mg 1x1.

Pemberian psikofarmaka pada pasien ini sudah sesuai dengan teori. Kombinasi
anticholinesterase inhibitor dengan obat antipsikotik secara efektif mengatasi gejala
psikotik dan perilaku disruptif. Pasien tidak diberikan antidepresan karena tidak
adanya gejala depresi pada pasien. Pasien juga tidak mendapatkan mood stabilizer,
hal ini dikarenakan masih terbatasnya bukti atau efikasi obat tersebut pada BPSD,
juga mempertimbangkan efek samping yang ditimbulkannya, kecuali diberikan pada
pasien dengan gangguan mood yang berat dan dibawah pengawasan yang ketat.
Disamping itu pasien juga tidak diberikan tambahan pengobatan seperti asam folat
dan vitamin E.
27

Lodomer atau haloperidol Haloperidol merupakan suatu antipsikotik tipikal


(generasi pertama) bekerja dengan memblokir reseptor dopamin postsinaptik dan
terdapat dalam sediaan oral, injeksi intravena, dan intramuskular. Haloperidol adalah
termasuk golongan butyrophenones bersama dengan droperidol dan spiperone. Cara
kerja utama antipsikotik generasi pertama hingga saat ini masih belum begitu jelas.
Efek samping haloperidol yaitu memiliki efek ekstrapiramidal, seperti akatisia,
distonia, parkinsonism, tardive dyskinesia, neuroleptic malignant syndrome (NMS).

Antipsikotik generasi pertama diduga bekerja dengan memblokir reseptor


dopamin postsinaptik (D2) dalam sistem mesolimbik otak. Hipotesa dopamin
menyatakan bahwa obat antipsikotik menurunkan gejala psikosis positif dengan
menurunkan aktivitas dopamin pada sistem mesolimbik otak tersebut. Sehingga obat
ini diberikan pada pasien dengan adanya indikasi gejala psikotik pada fase akut yang
dialami pasien, dan diberikan secara intramuscular saat pasien ditangani di ruang
IGD.

Secara total, terdapat 4 jalur dopamin utama pada otak yaitu jalur nigrostriatal,
jalur tuberoinfundibular, mesokortikal, dan mesolimbic, Haloperidol sebagai
antipskotik golongan pertama dapat memblokir semua jalur dopamin utama tersebut
sehingga dapat menyebabkan efek samping:

 Jalur nigrostriatal: salah satu fungsi utama jalur nigrostriatal adalah unutk pergerakan.
Antogonisme pada reseptor D2 pada jalur ini dapat menyebabkan gejala
ekstrapiramidal.

 Jalur tuberoinfundibular: Pada jalur ini dopamine bekerja sebagai suatu faktor inhibisi
prolaktin. Blokade pada jalur ini dapat menyebabkan sekresi prolaktin yang berlebih
oleh hipofisis sehingga terjadi hiperprolaktinemia.

 Jalur mesokortikal: Patofisiologi skizofrenia juga mencakup disfungsi pada jalur


mesokortikal sehingga terjadi gangguan kognitif dan dan gejala negatif. Blokade pada
jalur ini dapat menyebabkan gejala negatif sekunder dan efek kognitif.
28

 Jalur mesolimbic: Patofisiologi utama skizofrenia mencakup hipotesa dopamin yang


menyatakan timbulnya gejala positif oleh karena berlebihannya dopamin pada jalur
ini. Blokade pada jalur ini oleh antipsikotik generasi pertama menyebabkan
penurunan gejala skizofrenia tersebut.21

Pada pasien juga diberikan terapi maintenance Risperidone. Obat ini termasuk
antipsikotik atipikal (generasi dua) turunan benzisoxazole, obat ini antagonis
monoaminergik selektif dengan afinitas tinggi terhadap reseptor serotonergic dan
dopaminergic. Risperidone berikata dengan reseptor alpha1-adrenergik. Meskipun
obat ini merupakan antagonis D2 kuat, sehingga dapat memperbaiki gejala postif
skizofrenia. Dapat menyebabkan berkurangnya depresi aktivitas motoric dan induksi
katalepsi. Antagonis serotonin dan dopamine sentral yang seimbang dapat
mengurangi kecenderungan timbulnya EPS. Indikasi pemberian obat ini pada pasien
yaitu adanya gangguan psikotik dan gejala negatif pada pasien, yaitu menarik diri,
pasif, miskin kontak emosional, dan kehilangan dorongan inisiatif.

Sebuah studi menyatakan, penggunaan antipsikotik atipikal, seperti olanzapin,


quetiapin, dan risperidon berkaitan dengan memburuknya fungsi kognitif, sehingga
pemberian obat ini pada kasus demensia maupun Alzheimer harus dalam pengawasa,
dan tidak diberikan dalam jangka waktu panjang. Disamping itu, efek samping
risperidone lainnya pada kasus BPSD ini juga perlu dipertimbangkan, yaitu terkait
dengan diabetes yang dialami pasien.22 Studi lainnya menyatakan bahwa ada kaitan
terjadinya hiperglikemia pada pasien yang mendapatkan antipsikotik atipikal,
mekanisme yang mendasari yaitu zat antipsikotik tersebut dapat menghambat
transpor glukosa kedalam sel PC12, dan meningkatkan GLUT1 serta GLUT3. Hal ini
dapat menyebabkan keadaan hiperglikemia dan terjadilah pelepasan insulin.
Hiperinsulinemia dalam jangka panjang dapat menyebabkan resistensi insulin.
Namun jika dibandingkan dengan obat antipsikotik atipikal lainnya, risperidone
memiliki efek yang paling sedikit dalam menyebabkan hiperglikemia.23
29

Obat utama yang diberikan yaitu donepezil, atas indikasi demensia yang
diderita pasien. Donepezil merupakan penghambat asetilkolinesterase yang bersifat
sementara (reversibel). Galantamin adalah penghambat asetilkolinesterase yang
bersifat sementara (reversibel) dan memiliki aktivitas agonis reseptor nikotinik.
Rivastigmin merupakan penghambat asetilkolinesterase non kompetitif yang bersifat
sementara (reversibel). Penghambat asetil kolinesterase dapat menyebabkan efek
kolinergik yang tidak diinginkan, yang berhubungan dengan dosis. Oleh karena itu,
obat sebaiknya dimulai pada dosis rendah dan ditingkatkan sesuai dengan respons
dan toleransi pasien. Interaksi obat ini jika digunakan dengan dengan obat
antipsikotik, dapat meningkatkan risiko neuroleptic malignant syndrome (NMS).

Patofisiologi NMS terjadi akibat dihambatnya dopamin sentral dan perifer.


Neurotransmitter dopamin memiliki koneksi postsinap dengan neuron kolinergik.
Ketika pasien diberikan antipsikotik, dopamin tidak mampu menekan pelepasan
asetilkolin karena adanya blokade resptor D2, sehingga membuat asetilkolin terlalu
aktif (Dalam striattum ini dapat menyebabkan parkinsonisme dan distonia). Keadaan
NMS ini dapat dikompensasi dengan penggunaan penggunaan antikolinergik seperti
benztropin. Namun ketika penghambat kolinesterase seperti donepezil diberikan,
enzim yang mendegradasi asetilkolin (asetilkolinesterase) dihambat dan
menyebabkan penumpukan asetilkolin, ketidakseimbangan antara dopamin dan
asetilkolin dianggap sebagai salah satu mekanisme yang berkontribusi pada NMS.24
Sehingga, pemberian donepezil bersamaan dengan antipsikotik pada pasien ini harus
diberikan dengan pengawasan ketat dan perhatian penuh, untuk menilai NMS sejak
awal, terutama pada 1 minggu pemberian obat tersebut.

Pasien ini juga diberikan diazepam 2 mg. Diazepam merupakan


benzodiazepin kerja lama potensi medium. Diazepam berikatan pada seluruh reseptor
benzodiazepin dengan afinitas yang seimbang. Pada dosis rendah efek diazepam
bekerja pada antiansietas yang dimediasi oleh reseptor BZ2. Benzodiazepin bekerja
pada reseptor gamma amino butyric acid (reseptor GABA-A), reseptor ini merupakan
30

saluran ion selektif klorida. GABA merupakan neurotransmiter yang bekerja sebagai
inhibitor yang akan menurunkan eksitabilitas sel-sel neuron. GABA menghasilkan
efek menenangkan pada otak, dan ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi pada
korteks dan sistem limbik. Reseptor GABA ada 3 yaitu A,B, dan C. Benzodiazepin
berinteraksi dengan reseptor GABA-A. Kompleks reseptor GABA-A terdiri dari 5
subunit glikoprotein: 2 subunit a, 2 subunit b, dan 1 subunit g. Benzodiazepin
berikatan pada lekukan antara subunit a dan subunit g dan menginduksi terjadinya
perubahan konformasional pada reseptor GABA-A sehingga GABA dapat berikatan
dengan reseptor GABA-A. Ikatan GABA akan menyebabkan hiperpolarisasi ion
klorida sel sehingga efek inhibisi dari GABA bekerja pada seluruh sistem saraf pusat.

Sebuah studi menyatakan bahwa, penggunaan benzodiazepine dalam waktu


yang lama, terutama golongan kerja lama, berkaitan dengan peningkatan risiko
terjadinya demensia. Pada pasien ini, diazepam diberikan dengan anjuran pro renata,
yaitu saat pasien sedang gelisah saja.25

Literatur mengatakan apabila seseorang telah bereaksi terhadap perawatan


medis (farmakologis), hal yang sangat penting dilakukan adalah tetap melanjutkam
pengobatan sesuai resep yang telah dibuat oleh dokter dan dibarengi dengan terapi
non farmakologi.

Untuk mencegah kekambuhan, banyak hal lainnya yang dapat dilakukan


selain menganjurkan pasien untuk konsisten dalam terapi farmakologi, diantaranya
dengan cara memberikan psikoedukasi yang baik kepada pasien terkait kondisinya.
Selain itu perawatan berbasis keluarga juga sangat diperlukan, keluarga diharapkan
lebih memahami kondisi sakit mental yang dialami pasien, memahami pula berbagai
cara yang dapat dianjurkan kepada pasien untuk menangani gejala yang timbul, serta
keluarga dapat menunjang perbaikan komunikasi pada pasien. Hal ini bisa
membangkitkan perbaikan fungsi sosial di dalam diri pasien sehingga pasien bisa
semakin produktif dari hari ke hari, dan tentunya dapat meminimalisir angka
31

kekambuhan. Terapi nonfarmakologis seperti terapi lingkungan dilanjutkan dengan


terapi perilaku, dapat meningkatkan kualitas hidup dan prognosis menjadi lebih baik.
BAB V

KESIMPULAN

BPSD merupakan gejala gangguan persepsi, isi pikir, suasana hati, atau
perilaku yang sering terjadi pada pasien dengan demensia. Meskipun etiologi BPSD
masih belum jelas, ada beberapa faktor yang dapat berkontribusi, seperti faktor
genetik, aspek neurobiologi, aspek psikologis, dan aspek social. BPSD merupakan
problem yang dapat membebani keluarga, sehingga deteksi dini dan pengelolaan
kasus BPSD yang tepat dapat memperbaiki kualitas hidup pasien Demensia dan
keluarganya.

Terapi pada pasien BPSD terbagi menjadi terapi farmakologis dan terapi non-
farmakologis. Intervensi psikososial (non farmakologi) merupakan terapi lini pertama
pada pasien BPSD ringan sampai sedang. Pilihan terapi farmakologis diberikan sesua
target gejala, yaitu antipsikotik, antidepresi, antianxietas, dan mood stabilizer, dengan
dosis pemberiann 1/3-1/2 dosis dewasa dan dengan prinsip start low go slow. Obat
anti demensia golongan anticholinesterase inhibitor juga efektif dalam
mengendalikan disruptive behavior pada BPSD.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003, Konsensus Nasional Pengenalan dan


Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia Lainnya, Edisi 1, 39-47.

2. Cummings JL, Trimble MR, 2002, Neuropsychiatry and Behavioral Neurology


Second Edition, Washington, American Psychiatric Publishing, Inc. p.19-84.

3. International Psychogeriatric Association, 2002, BPSD Educational Pack, Belgia,


Janssen Cilag Organon, p.18-59. 4. Ferri CP, Ames D, 2004, BPSD in developing
countries, International Psychogeriatrics, p. 441– 459.

5. Lawlor B, 2002, Managing BPSD, British Journal of Psychiatry, 181, p.463-465.

6. Moore DP, 2008, Textbook of Clinical Neuropsychiatry Second edition, London,


Hodder Education, p.162-169.

7. Kaplan GB, Hammer RP, 2002, Brain Circuitry and Signaling in Psychiatry Basic
Science and Clinical Implications, Washington, American Psychiatric Publishing,
Inc.p.201-222. 8. Herrmann N et al, 2004, The Role of Norepinephrine in the BPSD,
The Journal of Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences, 16, p.261–276.

9. Robert PH, Verhey FR, Byrne EJ, Hurt C, De Deyn PP, Nobili F, et al, 2005,
Grouping for BPSD: clinical and biological aspects, European Psychiatry, 20:
p.490–496

10. Sadock BJ, Sadock VA, Pedro R, (Ed.), 2009, Kaplan & Sadock's Comprehensive
Textbook of Psychiatry, 9th Edition, Lippincott Williams & Wilkins, p.1167-1197.

11. Cummings JL, Psiquiatr JB, 2007, The Neuropsychiatric disturbances in


demential disorders or BPSD, 56(2): p.81-82

12. Tonkonogy JM., Puente AE., 2009, Localization of Clinical Syndromes in


Neuropsychology and Neuroscience, New York, Springer Publishing Company,
p.621-666.

13. Lancto KL, Siever LJ, Klar HM, Maurer G, Cochrane K, Cooper TB, et al, 2001,
Role of Serotonin in the BPSD, The Journal of Neuropsychiatry and Clinical
Neurosciences, 13, p.5-21.

14. Tanaka Y, Kenichi M, Satoshi Y, 2003, Decreased striatal D2 receptor density


associated with severe behavioral abnormality in Alzheimer’s disease, Annals of
Nuclear Medicine, Vol. 17, No. 7, p.567-573

15. Kaufman DM, 2007, Clinical Neurology for Psychiatrists, 6th Ed, Philadelphia,

30
Elsevier Inc. p.115-140.

16. Ames D, Chiu E, Lindesay J, Shulman K.I , 2010, Guide to the Psychiatry of Old
Age, Cambridge UK, Cambridge University Press, p.4955.

17. Aupperle P, 2006, Management of aggression, agitation, and psychosis in


dementia: Focus on atypical antipsychotics, American Journal of Alzheimer's Disease
and Other Dementias, Volume 21, Number 2,March/April 2006, p.101-106

18. Coffey, Cummings JL, 2000, Textbook of Geriatric Neuropsychiatry, USA,


American Psychiatric Press, Inc,p.491-529.

19. Cohen GD, Finkel SI, 2002, BPSD Assisting the caregiver and managing the
patient Geriatrics, Volume 57,Number 11

20. Karen HW, 2008, Clinical Management of BPSD, Medical Bulletin, vol. 13, No
9, p.17

21. Ayano G. First Generation Antipsychotics: Pharmacokinetics,


Pharmacodynamics, Therapeutic Effects and Side Effects: A Review. Research &
Reviews: Journal of Chemistry [Internet]. 2016Sep;5(3):53–63. Available from:
http://www.rroij.com/open-access/first-generation-antipsychotics-pharmacokinetics-
pharmacodynamicstherapeutic-effects-and-side-effects-a-review-.pdf

22. Vigen C, Mack W, Keefe R, Sano M, Sultzer D, Stroup S, et al.Cognitive Effects


on Atypical Antipsychotic Medication in Patients with Alzherimer Disease: Outcome
from CaTIE-AD, Journal Psychiatry, 2011 aug;168(8): 831-839.

23. Lean M, Gerald F, Patients on Atypical Antipsychotic Drugs, another high-risk


group for type 2 diabetes. Diabetes Care 2003, May; 26 (5): 1597-1605

24. Mican LM, Schulenberg S, In the Balance, A case of neuroleptic malignant


syndrome when donepezil is added to maintenance haloperidol decanoate. Journal of
Pharmacy Technology. 2014 Jul;39(6): 235-239

25. Takada M, Fujimoto M, Hosomi K, Association between Benzodiazepine Use


and Dementia: Data Mining of different Medical Diabetes, International Journal of
Medical Sciences 2016; 13 (11): 825-834.

31

Anda mungkin juga menyukai