Anda di halaman 1dari 17

Cedera Kepala dan Penatalaksanaannya

Reinanda Desiana Toyo

102015104

D6

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

Email:Reinanda.2015fk104@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak,
durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cidera baik yang trauma tertutup maupun trauma
tembus. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan diagnosa kerja yaitu cedera kepala
sedang dengan tekanan tinggi intracranial ec perdarahan intrakcranial. Cedera kepala adalah trauma
mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan
fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.
Dan perdarahan intrakranial adalah perdarahan di dalam tulang tengkorak. Diagnosis bandingnya
adalah peningkatan tekanan intracranial ec perdarahan spontan. Cedera kepala dapat disebabkan oleh
kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan pada saat
olahraga, anak dan ketergantungan, dan dapat juda cedera akibat kekerasan. Cedera kepala
diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu
berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi. Untuk penatalaksaannya dapat dilakukan
penatalaksanaan umum, operasi, menilai sirkulasi, obat-obatan, dan mengatasi peningkatan tekanan
intracranial. Prognosisnya bergantung kepada nilai GCS, baik apabila dilakukan penatalaksanaan
yang cepat dan tepat.

Kata kunci: cedera kepala, tekanan intracranial

Abstract

Head injury is a condition in which the structure of the brain layer from the scalp lining the skull,
durameter, blood vessels and brain are injured either closed trauma or penetrating trauma. Based on
anamnesis and physical examination, got a working diagnosis of moderate head injury with
intracranial intracranial intracranial hemorrhage. Head injury is a mechanical trauma to the head
either directly or indirectly causing impaired neurological function of physical disturbance,
cognitive, psychosocial function both temporary and permanent. And intracranial hemorrhage is
bleeding within the skull bone. The differential diagnosis is an increase in intracranial pressure of
EC spontaneous bleeding. Head injuries can be caused by accidents, falls, motor vehicle accidents or
bicycles, and cars, accidents during sports, children and dependence, and may be injured by violence.
Head injuries are classified in various aspects. It is practically known 3 description descriptions, that
is based on; mechanism, severity of injury, and morphology. For the management can be performed
general management, surgery, assess the circulation, drugs, and cope with increased intracranial
pressure. The prognosis depends on the value of GCS, whether it is performed promptly and
appropriately.

Keywords: head injury, intracranial pressure

1
Pendahuluan

Cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala
tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cidera baik yang
trauma tertutup maupun trauma tembus. Cidera kepala merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas. Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama
transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognonis selanjutnya. Cidera kepala dibagi menjadi tiga
yaitu cidera kepala ringan, sedang dan berat. Cidera kepala ringan adalah trauma kepala
dengan skala Glasgow Coma Scale 15 (sadar penuh) tidak ada kehilangan kesadaran,
mengeluh pusing dan nyeri kepala dapat terjadi abrasi, lacerasi, haematoma kepala dan tidak
ada kriteria cidera sedang dan berat. Sedangkan cidera berat adalah keadaan dimana struktur
lapisan otak mengalami cidera berkaitan dengan edema, hyperemia, hipoksia dimana pasien
tidak dapat mengikuti perintah, coma (GSC < 8) dan tidak dapat membuka mata.1

Cedera kepala traumatik merupakan masalah kesehatan yang serius di masyarakat


karena merupakan pemicu kecacatan dan kematian di seluruh dunia.1,2 Sekitar 1–1,5 juta
jiwa di Eropa dan Amerika Serikat mengalami cedera kepala tiap tahunnya.2 Selama 20
tahun terakhir penatalaksanaan pasien cedera kepala telah meningkat secara bermakna dan
pedoman penatalaksanaan cedera kepala traumatik berbasis bukti telah dikembangkan,
namun walaupun ada metode diagnostik dan penatalaksanaan yang muktahir prognosis masih
jauh dari harapan.1,2

Anamnesis

Jenis anamnesis yang dapat dilakukan ialah autoanamnesis dan alloanamnesis.


Autoanamnesis dapat dilakukan jika pasien masih berada dalam keadaan sadar. Sedangkan
bila pasien tidak sadar, maka dapat dilakukan alloanamnesis yang menyertakan kerabat
terdekatnya yang mengikuti perjalanan penyakitnya.2
Pada setiap anamnesis selalu ditanyakan identitas pasien terlebih dahulu. Indentitas
pasien meliputi nama, tanggal lahir, umur, suku, agama, alamat, pendidikan dan pekerjaan.

2
Setelah itu dapat ditanyakan pada pasien : Identitas penderita, Riwayat penyakit sekarang,
Riwayat penyakit dahulu, Riwayat obat-obatan, Riwayat penyakit keluarga.1,2
Pada anamnesis yang dilakukan pada kasus ini didapatkan bahwa pasien tersebut laki-
laki 18 tahun dengan luka dikepala sebelah kanan dan tangan sebelah kanan. Dilakukan
alloanamnesis kepada tukang ojek yang mengantarnya bahwa pasien mengalami kecelakaan
motor dengan mobil 1 ham yang lalu. Pasien mengendarai motor tanpa menggunakan helm
dengan kecepatan cepat dan ditabrak mobil sehingga pasien tidak sadar selama beberapa saat
dan sadar kembali saat kerumah sakit. Pasien nyeri kepala hebat dan muntah beberapa kali. 2
jam kemudian pasien tidak sadar. Ada darah juga mengalr dari telinga kanannya tapi sudah
berhenti.2

Pemeriksaan Fisik

Pertama tama dilakukan pemeriksaan fisik umum dan generalis lalu penilaian terhadap
status neurologis pasien cedera kepala merupakan tindakan utama yang harus dilakukan
sebelum pengobatan diberikan. Adanya perubahan status neurologist pasien sangat penting
untuk diketahui. Perubahan tersebut dapat berlangsung dalam beberapa menit hingga
beberapa jam bahkan beberapa bulan tergantung penyebabnya. Jika penurunan kondisi pasien
yang terjadi tidak disadari, maka hasil akhirnya adalah fatal. Pemeriksaan status neurologis
pasien mencakup beberapa hal, antara lain: skala koma Glasgow (GCS), ukuran pupil dan
reaksi pupil terhadap cahaya, respons motorik anggota gerak tubuh, dan tanda-tanda vital.
Untuk melakukan penilaian neurologis yang akurat, semua pemeriksaan ini harus dilakukan
dan hasilnya dinilai sebagai satu kesatuan.3

 Pemeriksaan Tanda Vital


Tanda vital sangat penting dalam observasi pasien cedera kepala karena dapat
memberikan banyak informasi mengenai keadaan intrakranial. Perubahan intrakranial
biasanya akan didahului dengan perubahan tanda-tanda vital terlebih dahulu. Tanda
vital tersebut mencakup suhu, nadi, dan tekanan darah.2,3
- Suhu
Pada cedera kepala berat biasanya akan terjadi gangguan pengaturan suhu
tubuh karena kerusakan pusat pengatur suhu di hipotalamus. Metabolisme
meningkat sekitar 10% untuk setiap derajat peningkatan suhu tubuh. Hal ini
sangat berdampak buruk terhadap pasien tersebut yang memang sudah

3
mengalami gangguan suplai oksigen dan glukosa. Salah satu hasil
metabolisme tubuh adalah CO2 yang merupakan vasodilator dan
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.2
- Nadi
Bradikardia dapat ditemukan pada cedera kepala yang disertai dengan cedera
spinal, atau dapat juga dijumpai pada tahap akhir dari peningkatan tekanan
intrakranial. Takikardia sebagai respons autonom terhadap kerusakan
hipotalamus juga dapat dijumpai pada tahap akhir dari peningkatan tekanan
intrakranial. Aritmia dapat ditemukan jika terdapat darah dalam CSF atau lesi
fossa posterior. Didapatkan nadi pasien tersebut 98x/menit, setelah 2 jam di
UGD menjadi 60x/menit.3
- Tekanan Darah
Hipotensi dapat memperburuk keadaan cedera kepala. Perfusi otak yang
kurang dapat menyebabkan kerusakan sel-sel otak secara menyeluruh. Jika hal
ini terjadi, maka otak akan mengalami swelling (pembengkakan secara
menyeluruh), dengan hasil akhir peningkatan tekanan intrakranial dan
kematian. Didapatkan tekanan darah pasien 130/90 mmHg, setelah 2 jam di
UGD menjadi 150/90 mmHg.1,2
- Frekuensi Pernapasan
Pola dan frekwensi pernafasan dapat memberikan gambaran tentang keadaan
intrakranial. Jika frekwensi nafasnya cepat (> 28 kali permenit) dan tidak
teratur, merupakan keadaan emergensi yang harus segera dilaporkan kepada
dokter. Tidak selamanya keadaan ini disebabkan oleh masalah dalam paru-
paru. Tetapi untuk tindakan awalnya dapat segera dinaikkan jumlah oksigen
yang diberikan. Didapatkan frekuensi pernapasan pasien 24x/menit, setelah 2
jam di UGD menjadi 32x/menit.2,3
 Skala koma Glasgow (GCS)
Tingkat kesadaran sebelum adanya skala koma Glasgow (GCS), dibedakan
dengan berbagai istilah seperti stupor, semi koma, dan koma dalam, tetapi istilah ini
tidak dapat didefinisikan secara konsisten untuk membedakan tingkat kesadaran dan
sering memberikan hasil yang berbeda-beda jika pemeriksanya berbeda. Sistem GCS
ini dibuat untuk mengurangi keragaman hasil pemeriksaan, untuk membedakan berat
ringannya keadaan pasien dan mengevaluasi penatalaksanaan, serta berguna untuk

4
memperkirakan prognosis pasien. Salah satu peranan GCS yang sangat penting dan
sering tidak disadari adalah untuk berkomunikasi, karena skala ini memiliki nilai
objektivitas yang baik dan pemeriksaannya sederhana.4
Berdasarkan pemeriksaan GCS pada pasien tersebut didapatkan E3M6V5,
setelah 2 jam di UGD menjadi E3M5V4.
 Bentuk dan Ukuran Pupil
Pupil yang normal (isokor) akan sama antara mata kiri dan kanan, berukuran
2-4 mm. Pupil pinpoint tanpa keracunan opiate menunjukkan adanya perdarahan
pons. Pupil yang mengalami dilatasi dan terfiksir, menunjukkan kematian batang otak
dan hipoksia berat pada tingkat akhir. Bentuk pupil yang normal adalah bulat. Pupil
yang berbentuk oval mungkin merupakan tanda awal herniasi tentorial. Pupil
berbentuk key hole dapat ditemukan pada pasien setelah operasi katarak. Secara
normal, pupil memberikan reaksi yang cepat terhadap cahaya terang, karena pupil
berfungsi sebagai diafragma yang mengatur jumlah sinar yang sampai ke retina. Jika
reaksi tersebut lambat, menunjukkan adanya penekanan parsial pada nervus III ,
sedangkan jika penekanan tersebut komplit maka reaksi tersebut tidak akan dijumpai.
Pupil yang unisokor pada orang yang sadar penuh tidak menunjukkan efek massa, tapi
tetap harus dikonfirmasikan kepada dokter yang merawat. Didapatkan hasil pupil
isokor tetapi setelah 2 jam menjadi unisokor.4
 Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer.
Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya
harus dicatat.1-3
 Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak
Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman
leaserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak
dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan,
dan memar.2,3

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan lab (hematologi) dan Computerized


tomography scanning (CT-Scan) yang merupakan modalitas diagnostik penting dalam

5
praktek neuradiologi dan merupakan langkah utama untuk menunjukkan adanya lesi
intrakranial, perluasan serta lokasinya. Yang dinilai dari pemeriksaan ini adalah tingkat
penurunan terbukanya mata, respon verbal, dan respon motorik dari penderita cedera kepala.
Cedera kepala dikatakan ringan bila derajat GCS total adalah 14-15, sedang bila derajat GCS
total adalah 9-13, dan berat bila derajat GCS total 3-8. Lesi intrakranial, perluasan serta
lokasinya. Pemeriksaan ini merupakan metode diagnostik standar terpilih (gold standart)
untuk kasus cedera kepala mengingat selain prosedur ini tidak invasive (sehingga aman), juga
memiliki kehandalan yang tinggi. Gambaran yang harus diperhatikan pada pemeriksaan CT
adalah sebagai berikut:3

 Adanya epidural atau subdural hematoma


 Terdapat darah pada subarachnoid atau intraventricular
 Kontusio parenkim otak atau adanya pendarahan otak
 Edema serebral

Pemeriksaan CT dengan setting bone window dapat mengidentifikasi adanya fraktur,


opasifikasi sinus, dan adanya pneumosefalus. Bila terbukti adanya mass effect dan pergeseran
jaringan otak, adanya kompresi atau obliterasi sisterna mesensefalik atau adanya pergeseran
garis tengah (midline shift) berkorelasi dengan meningkatnya tekanan intrakranial dan
menurunnya kesempatan bertahan hidup.3,4

Diagnosis Kerja

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan diagnosa kerja yaitu cedera
kepala sedang dengan tekanan tinggi intracranial ec perdarahan intrakcranial. Cedera kepala
adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang
menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial
baik temporer maupun permanen Perdarahan Intrakranial adalah perdarahan di dalam tulang
tengkorak. Perdarahan bisa terjadi di dalam otak atau di sekeliling otak: Perdarahan yang
terjadi di dalam otak disebut perdarahan intraserebral. Perdarahan diantara otak dan rongga
subaraknoid disebut perdarahan subaraknoid.4,5

Diagnosis Banding

6
Diagnosis bandingnya adalah peningkatan tekanan intracranial ec perdarahan spontan.
Perdarahan spontan adalah perdarahan berlebihan setelah trauma dan jarang ditemukan
kecuali jumlah trombosit < 20.000 per cu. Paling sering terjadi disebabkan oleh luka, dan
tergantung pada keadaan-keadaan, jumlah tenaga yang diperlukan untuk menyebabkan
perdarahan dapat menjadi sangat variable. Perdarahan spontan dapat desebabkan (1) trauma
tumpul, bagian luar tubuh mungkin tidak perlu rusak, namun tekanan yang cukup mungkin
terjadi pada organ-organ internal (dalam) untuk menyebabkan luka dan perdarahan; (2)
trauma perlambatan, organ-organ dalam tubuh digeser didalam tubuh; (3) fraktur, tulang-
tulang yang patah.5,6

Kelainan ini kurang lebih 10 sampai 15% dari seluruh jenis stroke dan menyebabkan
angka kecacatan dan kematian yang tinggi. Penyebab dari kelainan ini diantaranya hipertensi,
angiopati amiloid, gangguan pembekuan darah, kelainan pembuluh darah otak, tumor dan
efek samping obat-obat tertentu. Gejala yang terjadi mulai dari nyeri kepala, bicara pelo,
kelumpuhan samapai koma. Diagnosis ditegakkan secara cepat dengan CT Scan dan bila
perlu menggunakan MRI-MRA dan angiografi pada kasus–kasus tertentu untuk mencari
penyebab terjadinya perdarahan. Modalitas diagnostic tersebut tersedia selama 24 jam
sehingga mempercepat diagnosis dan tindakan selanjutnya. Sebagian besar kasus perdarahan
otak spontan ditangani secara konservatif medikamentosa dengan perawatan intensif di ICU.
Pada beberapa kasus perlu tindakan pembedahan untuk mengambil bekuan darah, yaitu pada
kasus perdarahan luas, menimbulkan efek masa yang berat, terjadi penurunan kesadaran
progresif, resiko tinggi terjadi herniasi dan perdarahan pada serebellum (otak kecil) dengan
efek masa. Jenis pembedahan terdiri dari open evacuation, endoscopic evacuation atau
extraventricular drainage (EVD).6

Anatomi Kepala

Anatomi yang bersangkutan antara lain :


 Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar

7
e. Perikranium.
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium
dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit kepala
memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit
kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-
anak.7

 Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria
khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal.
Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian dasar otak saat
bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3
fosa yaitu: fosa anterior, fosa media, dan fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat
lobus frontalis, fosa media adalah tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah
ruang bagian bawah batang otak dan serebelum.3,7
 Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu: duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri
atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang
potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural.3,7
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan
otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.7
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan
laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang
paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).3,4,7
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan
tembus pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang

8
melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam
ruang sub araknoid.4,7
 Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum
terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan
duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat
pusat bicara manusia. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut
sebagai hemisfer dominan.4,7,8
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi
dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan
fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus
oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.8
Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula
oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang
berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi
yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang
berat.7,8
Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan,
terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis, batang otak, dan
juga kedua hemisfer serebri.3,7
 Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui
foramen monro menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju
ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang
subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan
direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili araknoid.7,8
 Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial
(terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial
(berisi fosa kranii posterior).8

9
Etiologi9

 Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.


 Kecelakaan pada saat olahraga, anak dan ketergantungan.
 Cedera akibat kekerasan.

Epidemiologi

Tergantung dari sumber informasi, estimasi cedera otak traumatis pada cedera kepala
adalah 500,000 hingga 1 juta kasus setiap tahunnya. Jenis cedera paling banyak adalah cedera
ringan dan 20% diklasifikasikan ke sedang menuju berat. Hampir 50% dari 150,000 kematian
akibat trauma setiap tahunnya karena cedera kepala. Diestimasikan 5.3 juta orang hidup
dengan disabilitas yang berhubungan dengan cedera otak, dan estimasi biaya yang dihabiskan
adalah 4 milyar dolar setiap tahunnya. Berdasarkan hasil penelitian, dida-patkan jumlah
penderita laki-laki sebanyak 68 penderita (76%) dan perempuan sebanyak 21 penderita
(24%). Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan jumlah penderita yang paling banyak adalah
kelompok umur >15 – 20 tahun dengan jumlah penderita 23 orang (26%). Jumlah penderita
yang paling sedikit yaitu kelompok umur >40 – 45 tahun dan >55 – 60 tahun dengan jumlah
penderita 2 orang (2%). Penyebab cedera kepala paling sering adalah kecelakaan lalu lintas
(KLL) sebanyak 65 kasus (73%). Sedangkan yang paling sedikit akibat dibacok sebanyak 1
kasus (1%).1,6

Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda
keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.8
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater,
dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio
“coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi.
Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak

10
selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat
trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat
akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate.
Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup
dan countrecoup.8,9
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid)
dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan
dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).9
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera
sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali
jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat
diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa
perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam
terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.6,9
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada
suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap
cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi
otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada
beberapa daerah tertentu dalam otak.10

Gejala klinis

Gejala klinis cedera kepala dengan keparahan sedang; Pasien yang tidak koma tetapi
mengalami konfusi yang menetap, perubahan tingkah laku, kesadaran kurang dari normal,
pusing ekstirm, atau tanda neurologic seperti hemiparesis harus dirawat dirumah sakit dan
menjalani pemeriksaan CT-Scan. Gejala yang paling umum selain sakit kepala, pusing
pascakonkusif, limbung, fotofobia dan vomitus cedera minor, adalah (1) delirium; bicara tak
menentu, resistensi jika terganggu, sering berkaitan dengan lobus temporalis anterior: (2)
keadaan mental melambat (abulia), diam, tidak tertarik: (3) hilangnya ingatan berat dengan
penampilan retrogad dan anterograde yang buruk, sakit kepala, fotofobia; (4) deficit fokal

11
seperti afasia atau hemiparesis; (5) konfusi global dengan tidak adanya perhatian; (6) muntah
berulang, nistagmus, mengantuk, dan ketidakstabilan; (7) mengantuk saja atau membisu; (80
diabetes insipidus dengan atau tanpa sindroma lobus frontalis-temporalis. Sindrom didahului
oleh kehilangan kesadaran singkat, dan banyak berkaitan dengan fraktur tengkorak.1,9

Klasifikasi Trauma Kapitis


Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera.7
 Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda
tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.8
 Morfologi

o Fraktur Kranium

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun
tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan
dengan teknik “bone window” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya
tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan
untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.8,9

Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara


laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura.
Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan
bahwa benturan yang terjadi cukup berat.7,10

o Lesi Intra Kranial

 Lesi fokal

 Perdarahan Epidural

Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam


rongga tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal

12
atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya
arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.7,8

 Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada


perdarahan epidural. Perdarahan ini terjadi akibat robeknya
vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak.
Biasanya kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh
lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.7

 Perdarahan intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar


terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga
terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat,
dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi
perdarahan intra serebral yang membutuhkan tindakan
operasi.7,8

 Lesi difus

Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal


sampai kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya
kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia
retro/anterograd.8

Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia,


iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe
yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan
sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan
batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah
Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat
dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis
menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada
manifestasi klinisnya.7,8

 Beratnya Cedera Kepala

13
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya
secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total
sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid
dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau
sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau
cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai
GCS 9-12 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS
13-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.9,10

Penatalaksaan

 Penatalaksanaan Umum11
Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan
tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal.
- Monitor respirasi : bebaskan jalan nafas, monitor keadaan ventilasi,
pemeriksaan AGD, bahkan oksigen bila perlu.
- Monitor tekanan intrakranial.
- Atasi syok bila ada.
- Kontrol tanda-tanda vital.
- Keseimbangan cairan elektrolit.
 Operasi1,11

Dilakukan untuk mengeluarkan darah pada intraserebral, debridemen luka,


kraniotomi.

 Menilai sirkulasi1
 Obat-obatan12
- Diuretik; Untuk mengurangi edema serebral misalnya manitol 20 %, furosemid
(lasik).
- Antikonvulsan; Untuk menghentikan kejang misalnya dilantin, fegretol, valium.
- Kortikosteroid; Untuk menghambat pembentukkan edema misalnya dengan
dexamethasone.

14
- Antagonis histamin; Mencegah terjadinya iritasi lambung karena hipersekresi
akibat trauma kepala misalnya dengan cimetidine, ranitidine.
- Antibiotik; Jika terjadi luka yang besar.
 Peningkatan tekanan intracranial1,12
- Naikan kepala 30 ▫
- Oksigen adekuat
- Hyperventilasi
- Mannitol. Dosis: 0,25 - 1g / Kg / dosis (= 1,25 - 5 ml / kg dari 20%) diulang
jika perlu
- ICP monitoring
 Analgesic11,12
- Parasetamol: 20mg / kg Stat maka 15mg / kg / dosis 4hrly (max 90mg / kg /
hari). Menggunakan dosis yang lebih rendah di bayi kurang dari 3 bulan.10

Komplikasi

 Cedera Otak Sekunder akibat hipoksia dan hipotensi


Hipoksia dapat terjadi akibat adanya trauma di daerah dada yang terjadinya
bersamaan dengan cedera kepala. Adanya obstruksi saluran nafas, atelektasis,
aspirasi, pneumotoraks, atau gangguan gerak pernafasan dapat berdampak pasien
mengalami kesulitan bernafas dan pada akhirnya mengalami hipoksia.6,8
 Edema Serebral
Edema adalah tertimbunnya cairan yang berlebihan di dalam jaringan. Edema
serebral akan menyebabkan bertambah besarnya massa jaringan otak di dalam rongga
tulang tengkorak yang merupakan ruang tertutup. Kondisi ini akan menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang selanjutnya juga berakibat
penurunan perfusi jaringan otak.6,7
 Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Tekanan intrakranial dapat meningkat karena beberapa sebab, yaitu pada
perdarahan selaput otak (misalnya hematoma epidural dan subdural). Pada perdarahan
dalam jaringan otak (misalnya laserasi dan hematoma serebri), dan dapat pula akibat
terjadinya kelainan parenkim otak yaitu berupa edema serebri.1,6,9
 Herniasi Jaringan Otak

15
Adanya penambahan volume dalam ruang tengkorak (misalnya karena adanya
hematoma) akan menyebabkan semakin meningkatnya tekanan intrakranial. Sampai
batas tertentu kenaikan ini akan dapat ditoleransi. Namun bila tekanan semakin tinggi
akhirnya tidak dapat diltoleransi lagi dan terjadilah komplikasi berupa pergeseran dari
struktur otak tertentu kearah celah-celah yang ada.6-8
 Infeksi
Cedera kepala yang disertai dengan robeknya lapisan kulit akan memiliki
resiko terjadinya infeksi, sebagaimana pelukaan di daerah tubuh lainnya. Infeksi yang
terjadi dapat menyebabkan terjadinya Meningitis, Ensefalitis, Empyema subdural,
Osteomilietis tulang tengkorak, bahkan abses otak.6
 Hidrosefalus
Hidrosefalus merupakan salah satu komplikasi cedera kepala yang cukup
sering terjadi, khususnya bila cedera kepala cukup berat.6-9

Prognosis

Delapan puluh lima persen (85%) dengan GCS yang memburuk (3 atau 4) meninggal
dalam 24 jam setelah cedera. 55% anak memiliki hasil yang baik pada 1 tahun dibandingan
dengan 21% orang dewasa. Meningkatnya tekanan intracranial, usia lanjut, dan tanda
kompresi sisterna dan pergeseran garis tengah pada pemindaian CT-Scan, semuanya
mempunyai makna prognostic yang buruk.9,10

Kesimpulan

Dari anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik dan penunjang yang mendukung, maka
dapat disimpulkan bahwa pasien pada skenario ini menderita cedera kepala ringan ec suspect
perdarahan intrakranial. Prognosisnya bergantung kepada nilai GCS, baik apabila dilakukan
penatalaksanaan yang cepat dan tepat, terutama dalam penanganan ABC-nya.

16
Daftar pustaka

1. Moppet IK. Traumatic brain injury: assessment, resuscitation and early


management. Br J Anaesth 2007; 99 : 18–31.
2. Gleadle J. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:
Erlangga; 2007.p140-1
3. Ghazali Malueka. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia; 2007
4. Dewanto G, suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis
diagnosis & tata laksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2009. h.145-8
5. John C, Brust M. Current diagnosis & treatment in neurology. USA:
McGraw-Hill;2007.h.199-206.
6. Isellbscher, Barunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Prinsip-prinsip
Ilmu Penyakit Dalam. Vol 5. Jakarta: EGC, 2010. h. 2566
7. Ginsberg L. Lecture notes: neurology. Ed 8. Jakarta: Erlangga; 2008.
h. 100-4
8. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Gramedia; 2010.h. 357
9. Clark S. The neurologic system. In: Pathopysiology. 6th ed. USA:
Mosby Elsevier;2010.h.560-1.
10. Hafid A. Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC; 2007
11. Brain Trauma Foundation (2007). Guidliness for management of
severe traumatic brain injury. Ed-3.
12. Neal MJ. At a glance farmakologi medis. Ed 5. Jakarta: Erlangga;
2006. h. 26

17

Anda mungkin juga menyukai