Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELITUS TIPE II

Oleh:
Isma Azizah
PO. 62.20.1.15.127

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALANGKA RAYA
PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN
KELAS REGULER II
2019
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi
Persatuan Edokrinologi Indonesia (PERKENI) pada tahun 2015. Diabetes
Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik yang
terjadi yaitu hiperglikemia karena kelainan pada sekresi insulin, kerja insulin atau pada
kedua-duanya.
DM merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kelainan
kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia yang disebabkan defisiensi insulin atau
akibat kerja insulin yang tidak adekuat (Smeltzer & Bare, 2009).
Diabetes Mellitus Tipe II adalah keadaan dimana kadar glukosa tinggi, kadar
insulin tinggi atau normal namun kualitasnya kurang baik, sehingga gagal membawa
glukosa masuk dalam sel, akibatnya terjadi gangguan transport glukosa yang dijadikan
sebagai bahan bakar metabolisme energi.
2. Penyebab
Penyebab dari DM Tipe II antara lain (FKUI, 2015):
a. Penurunan fungsi cell β pancreas
Penurunan fungsi cell β disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1) Glukotoksisitas
Kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebabkan peningkatan
stress oksidatif, IL-1b DAN NF-kB dengan akibat peningkatan apoptosis sel β.
2) Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam proses
lipolisis akan mengalami metabolism non oksidatif menjadi ceramide yang
toksik terhadap sel beta sehingga terjadi apoptosis.
3) Penumpukan amyloid
Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat sehingga kadar glukosa
darah akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha mengkompensasinya
dengan meningkatkan sekresi insulin hingga terjadi hiperinsulinemia.
Peningkatan sekresi insulin juga diikuti dengan sekresi amylin dari sel beta
yang akan ditumpuk disekitar sel beta hingga menjadi jaringan amiloid dan
akan mendesak sel beta itu sendiri sehingga akirnya jumlah sel beta dalam
pulau Langerhans menjadi berkurang. Pada DM Tipe II jumlah sel beta
berkurang sampai 50-60%.
4) Efek incretin
Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara meningkatkan
proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan mengurangi apoptosis sel
beta.
5) Usia
Diabetes Tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin sering
terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut. Usia
lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa mencapai 50 – 92%. Proses
menua yang berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan
anatomis, fisiologis, dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut
pada tingkat jaringan dan ahirnya pada tingkat organ yang dapat
mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen tubuh yang mengalami
perubahan adalah sel beta pankreas yang mengahasilkan hormon insulin, sel-
sel jaringan terget yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain
yang mempengaruhi kadar glukosa.
b. Retensi insulin
Penyebab retensi insulin pada DM Tipe II sebenarnya tidak begitu jelas, tapi faktor-
faktor berikut ini banyak berperan:
1) Obesitas
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap glukosa darah
berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh termasuk di otot
berkurang jumlah dan keaktifannya kurang sensitif.
2) Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
3) Kurang gerak badan
4) Faktor keturunan (herediter)
5) Stress
Reaksi pertama dari respon stress adalah terjadinya sekresi sistem saraf
simpatis yang diikuti oleh sekresi simpatis adrenal medular dan bila stress
menetap maka sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan. Hipotalamus
mensekresi corticotropin releasing faktor yang menstimulasi pituitari anterior
memproduksi kortisol, yang akan mempengaruhi peningkatan kadar glukosa
darah
3. Patofisiologi
Patogenesis diabetes melitus Tipe II ditandai dengan adanya resistensi insulin
perifer, gangguan “hepatic glucose production (HGP)”, dan penurunan fungsi cell β,
yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. Mula-mula timbul resistensi
insulin yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin untuk
mengkompensasi retensi insulin itu agar kadar glukosa darah tetap normal. Lama
kelamaan sel beta tidak akan sanggup lagi mengkompensasi retensi insulin hingga
kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun saat itulah
diagnosis diabetes ditegakkan. Penurunan fungsi sel beta itu berlangsung secara
progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi mensekresi insulin (FKUI,
2015).

Pada diabetes tipe2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan
insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin
akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya
insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme
glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2 disertai dengan
penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin
dan mencegah terbentuknya glukagon dalam darah harus terdapat peningkatan
jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu,
keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian,
jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin,
maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes mellitus tipe 2. Meskipun
terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes mellitus tipe 2,
namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah
pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu,
ketoasidosis diabetic tidak terjadi pada diabetes mellitus tipe II. Meskipun demikian,
diabetes mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut
lainnya yang dinamakan sindrom Hiperglikemik Hiperosmoler Nonketotik (HHNK).

Pada keadaan tertentu glukosa dapat meningkat sampai dengan 1200 mg/dl
hal ini dapat menyebabkan dehidrasi pada sel yang disebabkan oleh ketidakmampuan
glukosa berdifusi melalui membran sel, hal ini akan merangsang osmotik reseptor
yang akan meningkatkan volume ekstrasel sehingga mengakibatkan peningkatan
osmolalitas sel yang akan merangsang hypothalamus untuk mengsekresi ADH dan
merangsang pusat haus di bagian lateral (Polidipsi). Penurunan volume cairan
intrasel merangsang volume reseptor di hypothalamus menekan sekresi ADH
sehingga terjadi diuresis osmosis yang akan mempercepat pengisian vesika urinaria
dan akan merangsang keinginan berkemih (Poliuria). Penurunan transport glukosa
kedalam sel menyebabkan sel kekurangan glukosa untuk proses metabolisme
sehingga mengakibatkan starvasi sel. Penurunan penggunaan dan aktivitas glukosa
dalam sel (glukosa sel) akan merangsang pusat makan di bagian lateral hypothalamus
sehingga timbul peningkatan rasa lapar (Polipagi).

Pada Diabetes Mellitus yang telah lama dan tidak terkontrol, bisa terjadi
atherosklerosis pada arteri yang besar, penebalan membran kapiler di seluruh tubuh,
dan degeneratif pada saraf perifer. Hal ini dapat mengarah pada komplikasi lain
seperti thrombosis koroner, stroke, gangren pada kaki, kebutaan, gagal ginjal dan
neuropati.
4. Pathway
5. Tanda dan Gejala
a. Tanda dan gejala spesifik DM Tipe II, antara lain:
1) Penurunan penglihatan
2) Poliuri ( peningkatan pengeluaran urine ) karena air mengikuti glukosa dan
keluar melalui urine.
3) Polidipsia (peningkatan kadar rasa haus) akibat volume urineyang sangat besar
dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel
mengikuti ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti
penurunan gradien konsentrasi keplasma yang hipertonik (konsentrasi tinggi)
dehidrasi intrasel menstimulasi pengeluaran hormon anti duretik (ADH,
vasopresin) dan menimbulkan rasa haus
4) Rasa lelah dan kelemahan otot akibat kataboisme protein di otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai
energi. Aliran darah yang buruk pada pasien DM kronis menyebabkan
kelelahan
5) Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pascaabsorptif yang kronis,
katabolisme protein dan lemak dan kelaparan relatif sel. Sering terjadi
penurunan berat badan tanpa terapi
6) Konfusi atau derajat delirium
7) Konstipasi atau kembung pada abdomen(akibat hipotonusitas lambung)
8) Retinopati atau pembentukan katarak
9) Perubahan kulit, khususnya pada tungkai dan kaki akibat kerusakan sirkulasi
perifer, kemungkinan kondisi kulit kronis seperti selulitis atau luka yang tidak
kunjung sembuh, turgor kulit buruk dan membran mukosa kering akibat
dehidrasi
10) Penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan reflek, dan kemungkinan nyeri
perifer atau kebas
11) Hipotensi ortostatik (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer,2007)
b. Tanda dan gejala non spesifik DM Tipe II, antara lain:
1) Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa diskresi
mukus, gangguan fungsi imun dan penurunan aliran darah
2) Gangguan penglihatan yang berhubungan dengan keseimbangan air atau pada
kasus yang berat terjadi kerusakan retina
3) Paretesia atau abnormalitas sensasi
4) Kandidiasis vagina (infeks ragi), akibat peningkatan kadar glukosa disekret
vagina dan urine, serta gangguan fungsi imun . kandidiasis dapat menyebabkan
rasa gatal dan kadas di vagina
5) Pelisutan otot dapat terjadi kerena protein otot digunakan untuk memenuhi
kebutuhan energi tubuh
6) Efek Somogyi: Efek somogyi merupakan komplikasi akut yang ditandai
penurunan unik kadar glukosa darah di malam hari, kemudian di pagi hari
kadar glukosa kembali meningkat diikuti peningkatan rebound pada paginya.
Penyebab hipoglikemia malam hari kemungkinan besar berkaitan dengan
penyuntikan insulin di sore harinya. Hipoglikemia itu sendiri kemudian
menyebabkan peningkatan glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon
pertumbuhan. Hormon ini menstimulasi glukoneogenesis sehingga pada pagi
harinya terjadi hiperglikemia. Pengobatan untuk efek somogyi ditujukan untuk
memanipulasi penyuntikan insulin sore hari sedemikian rupa sehingga tidak
menyebabkan hipoglikemia. Intervensi diet juga dapat mengurangi efek
somogyi. Efek somogyi banyak dijumpai pada anak-anak.
7) Fenomena fajar (Dawn Phenomenon) adalah hiperglikemia pada pagi hari
(antara jam 5 dan 9 pagi) yang tampaknya disebabkan oleh peningkatan
sirkadian kadar glukosa di pada pagi hari. Fenomena ini dapat dijumpai pada
pengidap diabetes Tipe I atau Tipe II. Hormone-hormon yang memperlihatkan
variasi sirkadian pada pagi hari adalah kortisol dan hormon pertumbuhan,
dimana dan keduanya merangsang glukoneogenesis. Pada pengidap diabetes
Tipe II, juga dapat terjadi di pagi hari, baik sebagai variasi sirkadian normal
maupun atau sebagai respons terhadap hormone pertumbuhan atau kortisol.
(Elizabeth J Corwin, 2009).
6. Pemeriksaan Penunjang dan Hasil
Pemeriksaan penunjang DM Tipe II antara lain:
a. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa dapat diukur dari sample berupa darah biasa atau plasma.
Pemeriksaan kadar glukosa darah lebih akurat karena bersifat langsung dan dapat
mendeteksi kondisi hiperglikemia dan hipoglikemia. Pemeriksaan kadar glukosa
darah menggunakan glukometer lebih baik daripada kasat mata karena informasi
yang diberikan lebih objektif kuantitatif. (FKUI,2015)
b. Pemeriksaan Kadar Glukosa Urine
Pemeriksaan kadar glukosa urin menggambarkan kadar glukosa darah
secara tidak langsung dan tergantung pada ambang batas rangsang ginjal yang
bagi kebanyakan orang sekitar 180 mg/dl. Pemeriksaan ini tidak memberikan
informasi tentang kadar glukosa darah tersebut, sehingga tak dapat membedakan
normoglikemia atau hipoglikemia. (FKUI, 2015)
c. Kadar Glukosa Serum Puasa dan Pemeriksaan Toleransi Glukosa
Memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan tetapi, pada lansia,
pemeriksaan glukosa serum postprandial 2 jam dan pemeriksaan toleransi glukosa
oral lebih membantu menegakan diagnosis karena lansia mungkin memiliki kadar
glukosa puasa hampir normal tetapi mengalami hiperglikemia berkepanjangan
setelah makan. Diagnosis biasanya dibuat setelah satu dari tiga kriteria berikut ini
terpenuhi:
1) Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg/dl atau lebih tinggi.
2) Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih tinggi.
3) Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per oral 200 mg/dl atau
lebih. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
d. Pemeriksaan Hemoglobin Terglikosilasi (hemoglobin A atau HbA1c)
Menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum dalam 3 bulan
sebelumnya, biasanya dilakukan untuk memantau keefektifan terapi antidiabetik.
Pemeriksaan ini sangat berguna, tetapi peningkatan hasil telah ditemukan pada
lansia dengan toleransi glukosa normal. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer,
2007)
e. Fruktosamina serum
Menggambarkan kadar glukosa serum rata-rata selama 2 sampai 3 minggu
sebelumnya, merupakan indicator yang lebih baik pada lansia karena kurang
menimbulkan kesalahan. Sayangnya pemeriksaan ini tidak stabil sehingga jarang
dilakukan. Namun pemeriksaan ini dapat bermanfaat pada keadaan dimana
pengukuran AIC tidak dapat dipercaya, misalnya pada keadaan anemia hemolitik.
(Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
f. Pemeriksaan keton urine
Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi dan kurang hormone insulin
menyebabkan tubuh menggunakan lemak sebagai sumber energy. Keton urin
dapat diperiksa dengan menggunkan reaksi kolorimetrik antara benda keton dan
nitroprusid yang menghasilkan warna ungu. (FKUI,2015)
g. Pemeriksaan Hiperglikemia Kronik (Test AIC)
Pada penyandang DM, glikosilasi hemoglobin meningkat secara
proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10 minggu terakhir.
Bila kadar glukosa darah dalam keadaan normal antara 70-140 mg/dl selama 8-10
minggu terakhir, maka test AIC akan menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan
AIC dipengaruhi oleh anemia berat, kehamilan, gagal ginjal dan
hemoglobinnopati. Pengukuran AIC dilakukan minimal 4bulan sekali dalam
setahun. FKUI, 2015)
h. Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)
PKGS memberikan informasi kepada penyandang DM mengenai kendali
glikemik dari hai kehari sehingga memungkinkan klien melakukan penyesuaian
diet dan pengobatan terutama saat sakit, latihan jasmani dan aktivitas lain. PKGS
memberikan feedback cepat kepada pasien terhadap kadar glukosa setiap hari.
(FKUI,2015)
i. Pemantauan Glukosa Berkesinambungan (PGB)
Merupakan metode sample glukosa cairan intestinal ( yang berhubungan
dengan glukosa darah) telah banyak digunakan untuk mengetahui kendali
glikemik. Caranya adalah menggunakan sistem mikrodialisis yang dinsersi secara
subkutan, konsentrasi glukosa kemudian diukur dengan detector elektroda
oksidasi glukosa. Sensor glukosa pada PGB memiliki alaram untuk mendeteksi
kondisi hipoglikemi dan hiperglikemi. (FKUI, 2015)
7. Penatalaksanaan Medis dan Obat
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin
dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta
neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa
darah normal
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes (FKUI, 2015) :
a. Diet
b. Latihan
c. Pemantauan
d. Terapi (jika diperlukan)
e. Pendidikan
Dalam penatalaksanaan medis, sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat
berupa:
a. Obat Hipoglikemik Oral
1) Pemicu sekresi insulin
a) Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan. Efek ekstra pankreas yaitu memperbaiki
sensitivitas insulin ada, tapi tidak penting karena ternyata obat ini tidak
bermanfaat pada pasien insulinopenik. Mekanisme kerja golongan obat ini
antara lain:
a. Menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan ( Stored insulin)
b. Menurunkan ambang sekresi insulin
c. Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa (FKUI,
2015)
b) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea,
dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari
2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivate asam benzoat) dan Nateglinid
(derivate fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.( FKUI, 2015)
2) Penambah sensitivitas terhadap insulin
a) Biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah metformin. Etformin
menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap insulin pada
tingkat selular, distal dari reseptor insulin serta juga pada efeknya
menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian
glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan menghambat
absorbsi glukosa dari usus pada keadaan sesudah makan. (FKUI, 2015)
b) Tiazolidindion
Tiazolidindion adalah golongan obat yang mempunyai efek farmakologis
meningkatkan sesitivitas insulin. Golongan obat ini bekerja meningkatkan
glukosa disposal pada sel dan mengurangi produksi glukosa dihati.( FKUI,
2015)
3) Penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa
dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan
tidak menyebabakan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar
insulin.( FKUI, 2015)
4) Incretin mimetic, penghambat DPP-4
Obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dan penekanan terhadap sekresi
glukagon dapat menjadi lama, dengan hasil kadar glukosa dapat diturunkan.
(FKUI, 2015)
b. Insulin
Insulin adalah suatu hormone yang diproduksi oleh sel beta dari pulau
Langerhanss kelenjar pankreas. Insulin dibentuk dari proinsulin yang bila
kemudian distimulasi, terutama oleh peningkatan kadar glukosa darah akan
terbelah untuk menghasilkan insulin dan peptide penghubung (C-peptide)yang
masuk kedalam aliran darah dalam jumlah ekuimolar.
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM Tipe II akan
memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Pada DM Tipe
II tertentu akan butuh insulin bila:
1) Terapi jenis lain tida dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa darah
2) Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark
miocard akut atau stroke.
Pengaruh insulin tehadap jaringan tubuh antara lain insulin menstimulasi
pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian meningkatkan sintesa protein.
Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan lemak
sebagai bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel
untuk di gunakan sebagai sumber energi dan membantu penyimpanan glikogen di
dalam sel otot dan hati.(FKUI,2015)
Pada penatalaksanaan keperawatan pada kasus DM Tipe II antara lain:
a. Memberikan penyuluhan tentang keadaaan penyakit, symptom, hasil yang
ditemukan dan alternative tindakan yang akan diambil pada pasien maupun
keluarga pasien.
b. Memberikan motivasi pada klien dan keluarga agar dapat memanfaatkan
potensi atau sumber yang ada guna menyembuhkan anggota keluarga yang
sakit dan menyelesaikan masalah penyakit diabetes dan resikonya
c. Konseling untuk hidup sehat yang juga dimengerti keluarga dalam pengobatan
dan pencegahan resiko komplikasi lebih lanjut
d. Memberikan penyuluhan untuk perawatan diri, budaya bersih, menghindari
alkohol, penggunaaan waktu luang yang positif untuk kesehatan,
menghilangkan stress dalam rutinitas kehidupan atau pekerjaan, pola makan
yang baik
e. Memotivasi penanggung jawab keluarga untuk memperhatikan keluhan dan
meluangkan waktu bagi anggota keluarga yang terkena DM atau yang memiliki
resiko
f. Mengawasi diit klien DM Tipe II, bila perlu berikan jadwal latihan jasmani
atau kebugaran yang sesuai.
Penatalaksanaan diet pada diabetes tipe II bertujuan untuk membantu orang
dengan diabetes memperbaiki kebiasaan gizi dan olahraga untuk mendapatakan
control metabolic yang lebih baik, dan beberapa tambahan tujuan khusus yaitu:
a. Mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal dengan
keseimbangan asupan makanan dengan insulin(endogen/eksogen) atau obat
hipoglikemik oral dan tingkat aktifitas
b. Mencapai kadar serum lipid yang optimal.
c. Memberikan energy yang cukup untuk mencapai atau mempertahankan berat
badan yang memadai pada orang dewasa mencapai pertumbuhan dan
perkembangan yang normal pada anak dan remaja, untuk peningkatan
kebutuhan metabolic selama kehamilan dan laktasi atau penyambuhan dari
penyakit metabolic
d. Dapat mempertahankan berat badan yang memadai
e. Menghindari dan menangani komplikasi akut orang dengan diabetes yang
menggunakan insulin seperti hipoglikemia, penyakit jangka pendek,
komplikasi kronik diabetes seperti penyakit ginjal, hipertensi, neuropati
autonomic dan penyakit jantung
f. Meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal.
Kebutuhan zat gizi penderita DM Tipe II
a. Protein
Menurut consensus pengelolaan diabetes di Indonesia tahun 2006,
Kebutuhan protein untuk penyandang diabetes sebesar 10-20% energi dari
protein total.
b. Total lemak
Asupan lemak di anjurkan <7% energy dari lemak jenuh dan tidak lebih 10%
energy dari lemak titk jenuh ganda, sedangkan selebihnya dari lemak tidak
jenuh tunggal. Anjuran asupan lemak di Indonesia adalah 20-25% energi.
c. Lemak jenuh dan kolesterol
Tujuan utama pengurangan konsumsi lemak jenuh dan kolesterol adalah
untuk menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu <7%
asupan energy sehari seharusnya dari lemak jenuh dan asupan kolesterol
makanan tidak lebih dari 300mg per hari.
d. Karbohidrat dan pemanis
Anjuran konsumsi karbohidrat untuk penderita diabetes di Indonesia adalah
45-65% energy.
1) Sukrosa
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan sukrosa bagian dari
perencanaan makan tidak memperburuk control glukosa darah pada
individu dengan diabetes.
2) Pemanis
Fruktosa menaikkan glikosa plasma lebih kecil daripada sukrosa dan
kebanyakan karbohidrat jenis tepung-tepungan. Sakarin, aspartame,
acesulfame K adalah pemanis tak bergizi yang dapat di terima sebagai
pemanis pada semua penderita DM.
3) Serat
Rekomendasi asupan serat untuk orang dengan diabetessama dengan
untuk orang yang tidak diabetes yaitu dianjurkan mengkonnsumsi 20-35
gr serat makanan dari berbagai sumber makanan. Di Indonesia anjurannya
adalah kira-kira 25gr /1000 kalori perhari dengan mengutamakan serat
larut
4) Natrium
Asupan untuk orang diabetes sama dengan orang biasa yaitu tidak lebih
dari 3000 mg, sedangkan bagi penderita hipertensi ringan sampai sedang
di anjurkan 2400 mg natrium perhari.
5) Alkohol
Asupan kalori dari alkohol di perhitungkan sebagai bagian dari asupan
kalori total dan sebagai penukar lemak ( 1 minuman alkohol = 2 penukar
lemak)
6) Mikronutrien: vitamin dan mineral
Apabila asupan gizi cukup, biasanya tidak perlu menambah suplemen
vitamin dan mineral ( FKUI, 2015).
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
Airway : kaji kepatenan jalan nafas pasien, ada tidaknya sputum atau benda asing
yang menghalangi jalan nafas
Breathing : kaji frekuensi nafas, bunyi nafas, ada tidaknya penggunaan otot bantu
pernafasan
Circulation : kaji nadi (biasanya nadi menurun), tanda dan gejala shock
Disability : Pemeriksaan GCS,
Allert : sadar penuh, respon bagus
Voice Respon : kesadaran menurun, berespon thd suara
Pain Respons : kesadaran menurun, tdk berespon thd suara, berespon thd
rangsangan nyeri
Unresponsive : kesadaran menurun, tdk berespon thd suara, tdk bersespon thd
nyeri
b. Pengkajian Sekunder
1) Aktivitas / istirahat
Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, tonus otot menurun,
gangguan istrahat/tidur
Tanda : Takikardia dan takipnea pada keadaan istrahat atau aktifitas, letargi
/disorientasi, koma
2) Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat hipertensi, IM akut, klaudikasi, kebas dan kesemutan
pada ekstremitas, ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama, takikardia.
Tanda : Perubahan tekanan darah postural, hipertensi, nadi yang menurun/tidak
ada, disritmia, krekels, distensi vena jugularis, kulit panas, kering, dan
kemerahan, bola mata cekung
3) Integritas/ Ego
Gejala : Stress, tergantung pada orang lain, masalah finansial yang
berhubungan dengan kondisi
Tanda : Ansietas, peka rangsang
4) Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, rasa nyeri/terbakar,
kesulitan berkemih (infeksi), ISK baru/berulang, nyeri tekan abdomen, diare.
Tanda : Urine encer, pucat, kuning, poliuri ( dapat berkembang menjadi
oliguria/anuria, jika terjadi hipovolemia berat), urin berkabut, bau busuk
(infeksi), abdomen keras, adanya asites, bising usus lemah dan menurun,
hiperaktif (diare)
5) Nutrisi/Cairan
Gejala : Hilang nafsu makan, mual/muntah, tidak mematuhi diet, peningkatan
masukan glukosa/karbohidrat, penurunan berat badan lebih dari beberapa
hari/minggu, haus, penggunaan diuretik (Thiazid)
Tanda : Kulit kering/bersisik, turgor jelek, kekakuan/distensi abdomen,
muntah, pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan
peningkatan gula darah), bau halisitosis/manis, bau buah (napas aseton)
6) Neurosensori
Gejala : Pusing/pening, sakit kepala, kesemutan, kebas, kelemahan pada otot,
parestesi, gangguan penglihatan
Tanda : Disorientasi, mengantuk, alergi, stupor/koma (tahap lanjut), gangguan
memori (baru, masa lalu), kacau mental, refleks tendon dalam menurun
(koma), aktifitas kejang (tahap lanjut dari DKA).
7) Nyeri/kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat)
Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati h.
8) Pernapasan
Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/tanpa sputum purulen
(tergantung adanya infeksi/tidak)
Tanda : Lapar udara, batuk dengan/tanpa sputum purulen, frekuensi
pernapasan meningkat
2. Diagnosa
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan kemampuan bernapas.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis (penurunan perfusi jaringan
perifer)
c. Ketidakseimbangan kadar gula darah (hipoglikemia/hiperglikemia)
d. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan penurunan metabolisme
karbohidrat akibat defisiansi insulin, intake tidak adekuat akibat adanya mual muntah
e. Resiko devisit volume cairan dean elektrolit b/d diuresis osmotic dan polyuria
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat penurunan produksi
energy
g. Gangguan integritas kulit b/d penurunan sensasi sensori, gangguan sirkulasi,
penurunan aktifitas/mobilisasi, kurangnya pengetahuan tentang perawatan kulit.
h. Gangguan citra tubuh b/d ekstremitas gangrene
i. Resiko cedera b/d penurunan fungsi penglihatan, pelisutan otot.
j. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi
leukosit.
3. Intervensi Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan kemampuan
bernapas.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
pola napas kembali teratur.
Kriteria Hasil :
1) Pola nafas pasien kembali teratur.
2) Respirasi rate pasien kembali normal.
3) Pasien mudah untuk bernafas.
Intervensi:
1) Kaji status pernafasan dengan mendeteksi pulmonal.
Rasional : Menentukan intervensi selanjutnya
2) Berikan fisioterapi dada termasuk drainase postural.
Rasional : Membantu pengeluaran sputum
3) Penghisapan untuk pembuangan lendir.
Rasional : Mengeluarkan sputum untuk membersihkan jalan napas
4) Identifikasi kemampuan dan berikan keyakinan dalam bernafas.
Rasional : Menentukan kemampuan klien dalam bernapas
5) Kolaborasi dalam pemberian terapi medis seperti suplai oksigen
Rasional : Memenuhi kecukupan oksigen yang dibutuhkan
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis (penurunan perfusi jaringan
perifer)
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
nyeri klien dapat berkurang atau mereda.
Kriteria Hasil :
1) Skala nyeri berkurang
2) Klien merasa aman dan nyaman
3) Tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi :
1) Lakukan pegkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan ontro presipitasi.
Rasional : Menentukan intervensi lebih lanjut
2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
Rasional : Menentukan skala nyeri yang dirasakan pasien
3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
nyeri klien sebelumnya.
Rasional : Mengetahui persepsi klien tentang nyeri
4) Kontrol ontro lingkungan yang mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan.
Rasional : Menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman
5) Kurangi ontro presipitasi nyeri.
Rasional : Mengurangi perasaan nyeri yang semakin meningkat
6) Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengetasi
nyeri.
Rasional : Membantu mengurangi perasaan nyeri
7) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
Rasional : Obat analgetik membantuk menghambat pelepasan mediator
nyeri
8) Evaluasi tindakan pengurang nyeri/ontrol nyeri.
Rasioanal : Menentukan keberhasilan tindakan yang talah dilakukan
9) Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain tentang pemberian analgetik
tidak berhasil.
Rasional : Menentukan intervensi pemberian obat lebih lanjut
10) Monitor penerimaan klien tentang manajemen nyeri.
Rasional : Mengkaji persepsi klien tentang nyeri
c. Ketidakseimbangan kadar gula darah (hipoglikemia/hiperglikemia)
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan gula darah
dalam keadaan stabil.
Kriteria Hasil :
1) Glukosa darah dalam batas normal
2) Tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi :
Managemen Hipoglikemia:
1) Monitor tingkat gula darah sesuai indikasi
Rasional : Mencegah terjadinya hipoglikemi yang dapat menimbulkan
komplikasi
2) Monitor tanda dan gejala hipoglikemi ; kadar gula darah < 70 mg/dl, kulit
dingin, lembab pucat, tachikardi, peka rangsang, gelisah, tidak sadar ,
bingung, ngantuk.
Rasional : Mengantisipasi terjadinya hipoglikemi
3) Jika klien dapat menelan berikan teh, jus jeruk, manisan setiap 15 menit
sampai kadar gula darah > 69 mg/dl
Rasional : Meningkatkan kadar glukosa dalam darah
4) Berikan glukosa 50 % dalam IV sesuai protokol
Rasional : Meningkatkan kadar glukosa dalam darah
5) K/P kolaborasi dengan ahli gizi untuk dietnya.
Rasional : Menentukan diet yang tepat
Managemen Hiperglikemia
1) Monitor GDR sesuai indikasi
Rasional : Mengantisipasi terjadinya hiperglikemi
2) Monitor tanda dan gejala diabetik ketoasidosis ; gula darah > 300 mg/dl,
pernafasan bau aseton, sakit kepala, pernafasan kusmaul, anoreksia, mual
dan muntah, tachikardi, TD rendah, polyuria, polidypsia,poliphagia,
keletihan, pandangan kabur atau kadar Na,K,Po4 menurun.
Rasional : Mencegah terjadinya komplikasi lebih parah dari hiperglikemi
3) Monitor v/s : TD dan nadi sesuai indikasi
Rasional : TTV abnormal dapat menjadi indikasi terjadinya hiperglikemi
4) Berikan insulin sesuai order
Rasional : Membantu menurunkan kadar glukosa
5) Pertahankan akses IV
Rasional : Membantu meningkatkan suplai cairan
6) Berikan IV fluids sesuai kebutuhan
Rasional : Membantu meningkatkan suplai cairan
7) Konsultasi dengan dokter jika tanda dan gejala Hiperglikemia menetap
atau memburuk
Rasional : Membantu menetapkan intervensi yang tepat
8) Dampingi/ Bantu ambulasi jika terjadi hipotensi
Rasional : Mencegah timbulnya cedera
9) Batasi latihan ketika gula darah >250 mg/dl khususnya adanya keton pada
urine
Rasional : Mencegah terjadinya cedera
10) Pantau jantung dan sirkulasi ( frekuensi & irama, warna kulit, waktu
pengisian kapiler, nadi perifer dan kalium
Rasional : Memantau perkembangan jantung dan sirkulasi
11) Anjurkan banyak minum
Rasional : Meningkatkan kebutuhan cairan
12) Monitor status cairan I/O sesuai kebutuhan
Rasional : Menentukan status balance cairan yang masuk dalam tubuh
d. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan penurunan metabolisme
karbohidrat akibat defisiansi insulin, intake tidak adekuat akibat adanya mual
muntah
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil : Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat, BB
stabil, nilai lab normal
Intervensi :
1) Timbang berat badan tiap hari atau sesuai dengan indikasi
Rasional : Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat
2) Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan
makanan yang dapat dihabiskan pasien
Rasional : Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari
kebutuhan terapeutik
3) Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrient) dan
elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui
pemberian cairan melalui oral
Rasional : Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien sadar
dan fungsi gastroisntetinal baik
4) Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti glukosa darah, aseton, pH, dan
HCO3
Rasional : Gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian
cairan dan terapi insulin terkontrol.
5) Kolaborasi dengan ahli diet
Rasional : Sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian diet
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien
e. Defisit volume cairan dan elektorlit b/d diuresis osmotic dan poliuria
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil : Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda
vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik,
haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
1) Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD orotstatik
Rasional : Hipovelemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan
takikardia.
2) Ukur berat badan setiap hari
Rasional : Memberikan hasil pengkajian yang terbaik di status cairan
yang sedang berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan
pengganti.
3) Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
Rasional : Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau volume
sirkulasi yang adekuat
4) Pantau pemeriksaan lab seperti : Hematoksit (Ht), BUN (kreatinin) dan
Osmulalitas darah, Natrium, kalium
Rasional :
Ht : Mengkaji tingkat hidrasi dan sering kali meningkat akibat
homokonsentrasi yang terjadi setelah dieresis osmotic
BUN : Peningkatan nilai dapat mencerminkan kerusakan sel karena
dehidrasi atau tanda awitan kegagalan ginjal.
Osmolalitas darah : Meningkat sehubungan dengan adanya hiperglikemia
dan dehidrasi
5) Natrium : Mungkin menurun yang dapat mencerminkan perpindahan
cairan dari intra sel (dieresis osmotik)
6) Kalium : Awalnya akan terjadi hiperkalemia dalam breepons pada asodisis
f. Intoleransi aktivitas b.d penurunan simpanan energi
Tujuan : Pada pasien tidak terjadi kelelahan dengan penurunan produksi energy
Kriteria Hasil :
1) Mengungkapkan peningkatan tingkat energi
2) Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas
yang diinginkan
Intervensi :
1) Diskusi dengan pasien kebutuhan akan aktivitas. Membuat jadwal
perencanaan dengan pasien dan identifikasi aktivitas yang menimbulkan
kelelahan
Rasional : Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan
tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah.
2) Beri aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup / tanpa
diganggu
Rasional : Mencegah kelelahan yang berlebihan.
3) Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan TD sebelum / sesudah melakukan
aktivitas
Rasional : Mengidentifikasi tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi
secara fisiologi.
4) Mendiskusikan cara menghemat kalori selama mandi, berpindah tempat.
Rasional : Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan
penurunan kegiatan akan pada energi pada setiap kegiatan.
5) Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai
dengan yang dapat ditoleransi.
Rasional : Meningkatkan kepercayan diri / harga diri positif sesuai
tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi pasien.
g. Gangguan integritas kulit b/d gangrene
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
integritas kulit dapat membaik
Kriteria Hasil :
1) Mempertahankan integritas kulit
2) Mendemonstrasikan perilaku / teknik mencegah kerusakan kulit.
Intervensi :
1) Lihat kulit, area sirkulasinya terganggu / pigmentasi atau kegemukan /
kurus
Rasional : Kulit beresiko karena gangguan sirkulasinya perifer,
imobilitas fisik dan gangguan status nutrisi.
2) Dapatkan kultur dari drainase luka saat masuk
Rasional : Mengidentifikasi pathogen dan terapi pilihan
3) Rendam kaki dalam air steril pada suhu kamar dengan larutan betadine
tiga kali sehari selama 15 menit
Rasional : Germisidal lokal efektif untuk luka permukaan
4) Balut luka dengan kasa kering steril. Gunakan plester kertas
Rasional : Menjaga kebersihan luka / meminimalkan kontaminasi
silang. Plester adesif dapat membuat abrasi terhadap jaringan mudah
rusak.
5) Berikan dikloksasi 500 mg per oral setiap 6 jam, mulai jam 10 malam
amati tanda-tanda hipersensitivitas, seperti : pruritus, urtikaria, ruam
Rasional : Pengobatan infeksi / pencegahan komplikasi. Makanan yang
mengganggu absorbsi obat memerlukan penjadwalan sekitar jam makan.
Meskipun tidak ada riwayat reaksi penicilin tetapi dapat terjadi kapan saja.
h. Gangguan citra diri b/d ekstremitas gangrene
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam pasien dapat
menerima keadaannya yang sekarang.
Kriteria Hasil :
1) Pasien menerima keadaannya yang sekarang
2) Menunjukkan pandangan yang realistis dan pemahaman diri dalam situasi.
Intervensi
1) Dengarkan dengan aktif masalah dan ketakutan pasien
Rasional : Menyampaikan perhatian dan dapat lebih efektif
mengidentifikasi kebutuhan dan masalah dan juga strategi koping pasien
dan seberapa efektif.
2) Dorong pengungkapan perasaan, penerima apa yang dikatakannya
Rasional : Membantu pasien / orang terdekat untuk memulai menerima
perubahan dan mengurangi ansietas mengenai perubahan fungsi atau gaya
hidup.
3) Diskusikan pandangan klien terhadap citra diri dan efek yang ditimbulkan
dari penyakit
Rasional : Persepsi pasien mengenai pada perubahan citra diri mungkin
terjadi secara tiba-tiba atau kemudian atau menjadi proses halus yang
secara terus menerus.
4) Bantu pasien atau orang terdekat dengan menjelaskan hal-hal yang
diharapkan dan hal-hal tersebut mungkin diperkukan untuk dilepaskan
atau diubah
Rasional : Memberi kesempatan untuk mengidentifikasi kesalahan
konsep dan mulai melihat pilihan-pilihan, meningkatkan orientasi realita.
5) Rujuk pada dukungan psikiatri atau group terapi, pelayanan sosial sesuai
petunjuk
Rasional : Mungkin dibutuhkan untuk membantu pasien / orang
terdekat untuk mencapai kesembuhan optimal.
i. Resiko injuri b/d gangguan penglihatan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
tidak terjadi injuri pada pasien
Kriteria hasil :
1) Mengidentifikasi faktor-faktor resiko injuri
2) Memodifikasi lingkungan sesuai petunjuk untuk meningkatkan keamanan
dan penggunaan sumber-sumber secara tepat.
Intervensi :
1) Hindarkan alat-alat yang dapat menghalangi aktivitas pasien
Rasional : Untuk meminimalisir terjadinya cedera
2) Gunakan bed yang rendah
Rasional : Meminimalkan resiko cedera
3) Orientasikan untuk pemakaian alat bantu penglihatan ex. Kacamata
Rasional : Membantu dalam penglihatan klien
4) Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi
Rasional : Agar tidak terjadi injuri
j. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan
fungsi leukosit.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan
tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil : TTV dalam batas normal, tanda-tanda infeksi tidak ada, nilai
leukosit dalam batas normal(4000-10000/mm3)
Intervensi :
1) Observasi tanda-tanda infeksi(rubor, dolor, calor, tumor, fungsiolaesa)
Rasional: pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah
mencetuskan keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi
nosocomial
2) Pertahankan teknik aseptic pada prosedur infasif
Rasional: kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media
terbaik bagi pertumbuhan kuman
3) Observasi hasil laboratorium(leukosit)
Rasional: gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian cairan
dan terapi insulin terkontrol
4) Kolaborasi dalam pemberian antibiotic sesuai indikasi
Rasional: Penanganan awal dapat membantu mencegah terjadinya sepsis. (
Husni,2013)
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2013. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC

Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi 6. Jakarta:
EGC

Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2015. Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Gibson, Jhon.2002. Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk Perawat Edisi 2. Jakarta:EGC

PERKENI. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus tipe 2 di Indonesia.
Jakarta. http://pbperkeni.or.id/doc/konsensus.pdf (diunduh pada tanggal 23 Februari 2019).

Smeltzer, S. C., & Bare B. G. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth (Edisi 8 Volume 1). Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai