Anda di halaman 1dari 15

Penatalaksanaan Pada Kecelakaan dengan Cedera Kepala Sedang

Nobel Yonger
102014186 / C2
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email: yongernobel@gmail.com
Pendahuluan
Cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala
tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cidera baik yang
trauma tertutup maupun trauma tembus. Cidera kepala merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas. Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama
transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognonis selanjutnya. Cidera kepala dibagi menjadi tiga
yaitu cidera kepala ringan, sedang dan berat. Cidera kepala ringan adalah trauma kepala
dengan skala Glasgow Coma Scale 15 (sadar penuh) tidak ada kehilangan kesadaran,
mengeluh pusing dan nyeri kepala dapat terjadi abrasi, lacerasi, hematoma kepala dan tidak
ada kriteria cidera sedang dan berat. Sedangkan cidera berat adalah keadaan dimana struktur
lapisan otak mengalami cidera berkaitan dengan edema, hyperemia, hipoksia dimana pasien
tidak dapat mengikuti perintah, coma (GSC < 8) dan tidak dapat membuka mata.1

Cedera kepala traumatik merupakan masalah kesehatan yang serius di masyarakat


karena merupakan pemicu kecacatan dan kematian di seluruh dunia. Sekitar 11,5 juta jiwa
di Eropa dan Amerika Serikat mengalami cedera kepala tiap tahunnya. Selama 20 tahun
terakhir penatalaksanaan pasien cedera kepala telah meningkat secara bermakna dan
pedoman penatalaksanaan cedera kepala traumatik berbasis bukti telah dikembangkan,
namun walaupun ada metode diagnostik dan penatalaksanaan yang muktahir prognosis masih
jauh dari harapan.1

Anamnesis
Jenis anamnesis yang dapat dilakukan ialah autoanamnesis dan alloanamnesis.
Autoanamnesis dapat dilakukan jika pasien masih berada dalam keadaan sadar. Sedangkan
bila pasien tidak sadar, maka dapat dilakukan alloanamnesis yang menyertakan kerabat
terdekatnya yang mengikuti perjalanan penyakitnya.2

1
Pada setiap anamnesis selalu ditanyakan identitas pasien terlebih dahulu. Indentitas
pasien meliputi nama, tanggal lahir, umur, suku, agama, alamat, pendidikan dan pekerjaan.
Setelah itu dapat ditanyakan pada pasien : Identitas penderita, Riwayat penyakit sekarang,
Riwayat penyakit dahulu, Riwayat obat-obatan, Riwayat penyakit keluarga.2
Pada anamnesis yang dilakukan pada kasus ini didapatkan bahwa pasien tersebut laki-
laki 18 tahun dengan luka dikepala sebelah kanan dan tangan sebelah kanan. Dilakukan
alloanamnesis kepada tukang ojek yang mengantarnya bahwa pasien mengalami kecelakaan
motor dengan mobil 1 jam yang lalu. Pasien mengendarai motor tanpa menggunakan helm
dengan kecepatan cepat dan ditabrak mobil sehingga pasien tidak sadar selama beberapa saat
dan sadar kembali saat kerumah sakit. Pasien nyeri kepala hebat dan muntah beberapa kali. 2
jam kemudian pasien tidak sadar. Ada darah juga mengalr dari telinga kanannya tapi sudah
berhenti.

Pemeriksaan Fisik
Pertama-tama dilakukan pemeriksaan fisik umum dan generalis lalu penilaian
terhadap status neurologis pasien cedera kepala merupakan tindakan utama yang harus
dilakukan sebelum pengobatan diberikan. Perawat yang bertugas sebaiknya juga mampu
melakukan penilaian tersebut untuk membantu dokter dalam mengobservasi pasien. Adanya
perubahan status neurologis pasien sangat penting untuk diketahui. Perubahan tersebut dapat
berlangsung dalam beberapa menit hingga beberapa jam bahkan beberapa bulan tergantung
penyebabnya. Jika penurunan kondisi pasien yang terjadi tidak disadari, maka hasil akhirnya
adalah fatal. Pemeriksaan status neurologis pasien mencakup beberapa hal, antara lain: skala
koma Glasgow (GCS), ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya, respons motorik
anggota gerak tubuh, dan tanda-tanda vital. Untuk melakukan penilaian neurologis yang
akurat, semua pemeriksaan ini harus dilakukan dan hasilnya dinilai sebagai satu kesatuan.3

Pemeriksaan Tanda Vital

Tanda vital sangat penting dalam observasi pasien cedera kepala karena dapat
memberikan banyak informasi mengenai keadaan intrakranial. Perubahan intrakranial
biasanya akan didahului dengan perubahan tanda-tanda vital terlebih dahulu. Tanda
vital tersebut mencakup suhu, nadi, dan tekanan darah.3

- Suhu

2
Pada cedera kepala berat biasanya akan terjadi gangguan pengaturan suhu
tubuh karena kerusakan pusat pengatur suhu di hipotalamus. Metabolisme
meningkat sekitar 10% untuk setiap derajat peningkatan suhu tubuh. Hal ini
sangat berdampak buruk terhadap pasien tersebut yang memang sudah
mengalami gangguan suplai oksigen dan glukosa. Salah satu hasil
metabolisme tubuh adalah CO2 yang merupakan vasodilator dan
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.

- Nadi

Bradikardia dapat ditemukan pada cedera kepala yang disertai dengan cedera
spinal, atau dapat juga dijumpai pada tahap akhir dari peningkatan tekanan
intrakranial. Takikardia sebagai respons autonom terhadap kerusakan
hipotalamus juga dapat dijumpai pada tahap akhir dari peningkatan tekanan
intrakranial. Aritmia dapat ditemukan jika terdapat darah dalam CSF atau lesi
fossa posterior. Didapatkan nadi pasien tersebut 98x/menit, setelah 2 jam di
UGD menjadi 60x/menit.

- Tekanan Darah

Hipotensi dapat memperburuk keadaan cedera kepala. Perfusi otak yang


kurang dapat menyebabkan kerusakan sel-sel otak secara menyeluruh. Jika hal
ini terjadi, maka otak akan mengalami swelling (pembengkakan secara
menyeluruh), dengan hasil akhir peningkatan tekanan intrakranial dan
kematian. Didapatkan tekanan darah pasien 130/90 mmHg, setelah 2 jam di
UGD menjadi 150/90 mmHg.

- Frekuensi Pernapasan

Pola dan frekwensi pernafasan dapat memberikan gambaran tentang keadaan


intrakranial. Jika frekwensi nafasnya cepat (> 28 kali permenit) dan tidak
teratur, merupakan keadaan emergensi yang harus segera dilaporkan kepada
dokter. Tidak selamanya keadaan ini disebabkan oleh masalah dalam paru-
paru. Tetapi untuk tindakan awalnya dapat segera dinaikkan jumlah oksigen
yang diberikan. Didapatkan frekuensi pernapasan pasien 24x/menit, setelah 2
jam di UGD menjadi 32x/menit.

3
Skala koma Glasgow (GCS)

Tingkat kesadaran, sebelum adanya skala koma Glasgow (GCS) pada 1974,
dibedakan dengan berbagai istilah seperti stupor, semi koma, dan koma dalam, tetapi
istilah ini tidak dapat didefinisikan secara konsisten untuk membedakan tingkat
kesadaran dan sering memberikan hasil yang berbeda-beda jika pemeriksanya
berbeda. Sistem GCS ini dibuat untuk mengurangi keragaman hasil pemeriksaan,
untuk membedakan berat ringannya keadaan pasien dan mengevaluasi
penatalaksanaan, serta berguna untuk memperkirakan prognosis pasien. Salah satu
peranan GCS yang sangat penting dan sering tidak disadari adalah untuk
berkomunikasi, karena skala ini memiliki nilai objektivitas yang baik dan
pemeriksaannya sederhana. Pemeriksaan GCS tersebut mencakup tiga komponen
yaitu reaksi membuka mata, reaksi motorik, dan reaksi verbal, masing-masing diberi
nilai sebagai berikut:4

Berdasarkan pemeriksaan GCS pada pasien tersebut didapatkan E3M6V5, setelah 2


jam di UGD menjadi E3M5V4.

Bentuk dan Ukuran Pupil

Pupil yang normal (isokor) akan sama antara mata kiri dan kanan, berukuran 2-4 mm.
Pupil pinpoint tanpa keracunan opiate menunjukkan adanya perdarahan pons. Pupil

4
yang mengalami dilatasi dan terfiksir, menunjukkan kematian batang otak dan
hipoksia berat pada tingkat akhir. Bentuk pupil yang normal adalah bulat. Pupil yang
berbentuk oval mungkin merupakan tanda awal herniasi tentorial. Pupil berbentuk key
hole dapat ditemukan pada pasien setelah operasi katarak. Secara normal, pupil
memberikan reaksi yang cepat terhadap cahaya terang, karena pupil berfungsi sebagai
diafragma yang mengatur jumlah sinar yang sampai ke retina. Jika reaksi tersebut
lambat, menunjukkan adanya penekanan parsial pada nervus III , sedangkan jika
penekanan tersebut komplit maka reaksi tersebut tidak akan dijumpai. Pupil yang
unisokor pada orang yang sadar penuh tidak menunjukkan efek massa, tapi tetap
harus dikonfirmasikan kepada dokter yang merawat. Didapatkan hasil pupil isokor
tetapi setelah 2 jam menjadi unisokor.4

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan lab (hematologi) dan Computerized


tomography scanning (CT-Scan) yang merupakan modalitas diagnostik penting dalam
praktek neuradiologi dan merupakan langkah utama untuk menunjukkan adanya lesi
intrakranial, perluasan serta lokasinya. Yang dinilai dari pemeriksaan ini adalah tingkat
penurunan terbukanya mata, respon verbal, dan respon motorik dari penderita cedera kepala.
Cedera kepala dikatakan ringan bila derajat GCS total adalah 14-15, sedang bila derajat GCS
total adalah 9-13, dan berat bila derajat G CS total 3-8. Lesi intrakranial, perluasan serta
lokasinya. Pemeriksaan ini merupakan metode diagnostik standar terpilih (gold standart)
untuk kasus cedera kepala mengingat selain prosedur ini tidak invasive (sehingga aman), juga
memiliki kehandalan yang tinggi. Gambaran yang harus diperhatikan pada pemeriksaan CT
adalah sebagai berikut:5

Adanya epidural atau subdural hematoma

Terdapat darah pada subarachnoid atau intraventricular

Kontusio parenkim otak atau adanya pendarahan otak

Edema serebral

Pemeriksaan CT dengan setting bone window dapat mengidentifikasi adanya fraktur,


opasifikasi sinus, dan adanya pneumosefalus. Bila terbukti adanya mass effect dan pergeseran

5
jaringan otak, adanya kompresi atau obliterasi sisterna mesensefalik atau adanya pergeseran
garis tengah (midline shift) berkorelasi dengan meningkatnya tekanan intrakranial dan
menurunnya kesempatan bertahan hidup.5

Working Diagnosis
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan diagnosa kerja/working
diagnosis yaitu Cedera Kepala Sedang dengan Tekanan tinggi intracranial ec perdarahan
intracranial. Perdarahan Intrakranial adalah perdarahan di dalam tulang tengkorak.
Perdarahan bisa terjadi di dalam otak atau di sekeliling otak. Perdarahan yang terjadi di
dalam otak disebut perdarahan intraserebral. Perdarahan diantara otak dan rongga
subaraknoid disebut perdarahan subaraknoid.6

Diagnosis Banding
Diagnosis bandingnya adalah Cedera kepala sedang dengan peningkatan tekanan
intracranial ec perdarahan spontan. Perdarahan spontan adalah perdarahan berlebihan setelah
trauma dan jarang ditemukan kecuali jumlah trombosit < 20.000 per cu. Paling sering terjadi
disebabkan oleh luka, dan tergantung pada keadaan-keadaan, jumlah tenaga yang diperlukan
untuk menyebabkan perdarahan dapat menjadi sangat variable. Perdarahan spontan dapat
desebabkan (1) trauma tumpul, bagian luar tubuh mungkin tidak perlu rusak, namun tekanan
yang cukup mungkin terjadi pada organ-organ internal (dalam) untuk menyebabkan luka dan
perdarahan; (2) trauma perlambatan, organ-organ dalam tubuh digeser didalam tubuh; (3)
fraktur, tulang-tulang yang patah.7

Kelainan ini kurang lebih 10 sampai 15% dari seluruh jenis stroke dan menyebabkan
angka kecacatan dan kematian yang tinggi. Penyebab dari kelainan ini diantaranya hipertensi,
angiopati amiloid, gangguan pembekuan darah , kelainan pembuluh darah otak, tumor dan
efek samping obat-obat tertentu. Gejala yang terjadi mulai dari nyeri kepala, bicara pelo,
kelumpuhan sampai koma. Diagnosis ditegakkan secara cepat dengan CT Scan dan bila perlu
menggunakan MRI-MRA dan angiografi pada kasus kasus tertentu untuk mencari penyebab
terjadinya perdarahan. Modalitas diagnostik tersebut tersedia selama 24 jam sehingga
mempercepat diagnosis dan tindakan selanjutnya. Sebagian besar kasus perdarahan otak
spontan ditangani secara konservatif medikamentosa dengan perawatan intensif di ICU. Pada
beberapa kasus perlu tindakan pembedahan untuk mengambil bekuan darah, yaitu pada kasus
perdarahan luas, menimbulkan efek masa yang berat, terjadi penurunan kesadaran progresif,
resiko tinggi terjadi herniasi dan perdarahan pada serebellum (otak kecil) dengan efek masa.

6
Jenis pembedahan terdiri dari open evacuation, endoscopic evacuation atau extraventricular
drainage (EVD).7

Etiologi

Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil8

Kecelakaan pada saat olahraga, anak dan ketergantungan

Cedera akibat kekerasan

Epidemiologi
Angka kejadian cedera kepala atau head injury setiap tahunnya mengalami
peningkatan. Data di Amerika Serikat, terjadi sekitar 1,5 juta kasus pada era 1990an, dan
prevalensi terjadinya kerusakan otak pada pasien-pasien yang mengalami cedera kepala
berjumlah sekitar 503 kasus dari 100.000 orang. 4 Satu decade berlalu ternyata prevalensi ini
tidak turun melainkan justru malah naik, tahun 2010 tercatat bahwa rata-rata angka kejadian
cedera kepala berjumlah hampir 10 juta kasus dengan prevalensi terjadinya kerusakan otak
824 kasus dari 100.000 orang.4,5
Berdasarkna prevalensi usia, umumnya terjadi pada orang-orang yang berusia kurang
dari 35 tahun serta kasus terbanyak penyebab terjadinya cedera kepala adalah pada
kecelakaan kendaraan bermotor baik roda dua ataupun empat. 5 Namun kecelekaan motor
khususnya memiliki kecenderungan menyebabkan kematian serta berkontribusi sebanyaka
70% dari kasus cedera kepala yang terjadi.
Patofisiologi
Perdarahan ini berhubungan dengan luasnya kerusakan jaringan otak. Massa
perdarahan menyebabkan destruksi dan kompresi langsung terhadap jaringan otak sekitarnya.
Volume perdarahan menyebabkan tekanan dalam otak meninggi dan mempunyai efek
terhadap perfusi jaringan otak serta drainage pembuluh darah. Perubahan pembuluh darah ini
lebih nyata atau berat pada daerah perdarahan karena efek mekanik langsung menyebabkan
iskhemik dan jeleknya perfusi sehingga terjadi kerusakan sel-sel otak. Volume perdarahan
merupakan hal yang paling menentukan dari hasil akhirnya. Hal lain yang paling menentukan
yaitu status neurologis dan volume darah didalam ventrikel. Volume darah lebih dari 60 ml,
mortality nya 93% bila lokasinya deep subcortical dan 71 % bila lokasinya lobarl superfisial.
Untuk perdarahan cerebellum, bila volumenya 30 - 60ml, 75% fatal. Pada perdarahan

7
didaerah pons lebih dari 5ml, fatal. Bagaimanapun kerusakan jaringan otak dan perubahan-
perubahan karena perdarahan didalam otak tidak statis. Volume hematome selalu progressive.
Dalam satu jam setelah kejadian, volume darah akan bertambah pada 25% penderita; sekitar
10% dari semua penderita volumenya bertambah setelah 20 jam. Pada CT Scan tampak
daerah hipodensity disekitar hematome, ini disebabkan karena extravasasi serumd ari
hematome tersebut.9

Perdarahan intrakranial dibagi menjadi epidural, subdural, subarachnoid dan intraparenkimal


atau intraserebral.9

Epidural Hemorrhage

Perdarahan epidural terjadi diantara selaput dura dan tengkorak yang


disebabkan oleh fraktur tengkorak sehingga terdapat laserasi pada arteri meningea.
Biasanya, terdapat riwayat cedera region capitis (sering saat aktivitas olahraga) yang
menyebabkan kesadaran sedikit menghilang. Setelah cedera, biasanya pasien kembali
sadar dan mengalami suatu lucid interval untuk masa beberapa jam. Setelah itu pasien
cepat mengantuk diikuti penurunan kesadaran, yang dapat menuju kematian.

Subdural Hemorrhage

Perdarahan subdural terjadi di ruangan antara dura dan arachnoid yang sering
disebabkan oleh gesekan antara bridging veins antara otak dengan sinus vena pada
dura (vena cerebri saat venae memasuki sinus sagitalis superior). Pasien yang
beresiko tinggi mengalami hematoma subdurale adalah dewasa muda dan orang tua.
Biasanya riwayat klinis meliputi cedera biasa yang diikuti oleh hilangnya kesadaran
atau perubahan kepribadian.

Subarachnoid hemorrhage (SAH)

SAH diakibatkan pecahnya aneurisma intracerebrale yang berasal dari


pembuluh darah yang menyuplai dan di sekitar circulus arteriosus cerebri, tetapi dapat
terjadi pada pasien yang mengalami cedera cerebri yang bermakna.

Gejala klinis
Gejala klinis cedera kepala dengan keparahan sedang; Pasien yang tidak koma tetapi
mengalami konfusi yang menetap, perubahan tingkah laku, kesadaran kurang dari normal,

8
pusing ekstirm, atau tanda neurologi seperti hemiparesis harus dirawat dirumah sakit dan
menjalani pemeriksaan CT-Scan. Gejala yang paling umum selain sakit kepala, pusing
pascakonkusif, limlung, fotofobia dan vomitus cedera minor, adalah (1) delirium; bicara tak
menentu, resistensi jika terganggu, sering berkaitan dengan lobus temporalis anterior: (2)
keadaan mental melambat (abulia), diam, tidak tertarik: (3) hilangnya ingatan berat dengan
penampilan retrogad dan anterograde yang buruk, sakit kepala, fotofobia; (4) deficit fokal
seperti afasia atau hemiparesis; (5) konfusi global dengan tidak adanya perhatian; (6) muntah
berulang, nistagmus, mengantuk, dan ketidakstabilan; (7) mengantuk saja atau membisu; (80
diabetes insipidus dengan atau tanpa sindroma lobus frontalis-temporalis. Sindrom didahului
oleh kehilangan kesadaran singkat, dan banyak berkaitan dengan fraktur tengkorak.9

Penatalaksanaan Kegawatdaruratan
Pasien yang secara klinis dapa berbicara dengan baik, sadar penuh, frekuensi nafas
16-20 kali permenit, frekuensi nadi 60-100 kali permenit, tidak dingin, tidak pucat, dan tidak
berkeringat sangat kecil kemungkinan ia mengalami kondisi gawat darurat. Sebaliknya jika
pasien mengalami:11
a. Gangguan jalan nafas, tidak sadar, stridor, bronkospasme, menelan benda asing
b. Gangguan nafas, frekuensi nafas < 10 atau > 28 kali permenit, dan SpO2 < 93%
c. Gangguan sirkulasi jantung frekuensi jantung <50 atau > 120 kali permenit
d. Gangguan kesadaran, Glasgow coma scale < 12
Pasien dengan kondisi kondisi di atas berada dalam kondisi gawat darurat dan
membutuhkan perawatan segera. Agar dapat menilai kondisi awal pasien gawat daruratnya
segera dan tepat perlu dialkukan anamnesis singkat dan pemeriksaan secara sistematis
terhadap adanya gangguan jalan nafas:11
a. Airway
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa
muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi
lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi
muntahan.10
Pasien yang masih memiliki respon batuk artinya tidak memerlukan bantuan
alat bantu oropharyngeal airway yang mencentuskan muntah. Pilihan untuk pasien
dengan keadaan seperti ini adalah nasopharyngeal airway bila reflex batuk pasien

9
tidak ada maka cara aman untuk memberikan napas dan menjaga jalan napas adalah
dengan menggunakan intubasi endotrakeal.11
b. Breathing
Pemeriksaan pernafasan harus memeriksa apakah pasien dapat bernafas
dengan normal atau tidak. Hal yang harus diperiksa adalah apakah pasien bernafas
dengan normal, peningkatan kerja nafas, hipoksia, fatique, terdapat pneumothorax,
asma, anafilaksis, gagal jantung, pneumonia, atau PPOK. Kedua paru harus
diyakinkan terjadi ventilasi atau pernapasan yang adekuat dengan cara memerhatikan
inspirasi gerakan dada dan asukultasi suara nafas. 11 Parameter ventilator harus di atur
sebagai berikut PCo2 antara 35-40mmHg dan PO2 antara 90-100mmHg.

Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.


Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola
pernapasan. Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenic sentral, atau ataksik. Kelainan
perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi.10
Tata laksana:
Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
Cari dan atasi faktor penyebab
Kalau perlu pakai ventilator
c. Circulation
Pemeriksaan sirkulasi harus memeriksa sirkulasi berjalan normal atau tidak,
apakah pasien mengalami syok, perdarahan, sepsis atau terdapat sindrom koroner
akut, gagal jantung atau aritmia. Penilaian sirkulasi dapat dilakukan dengan menilai
warna kulit, suhu akral, waktu pengisian kapiler, perabaan nadi, dan pemeriksaan
jantung. Bisa juga dilakukan perabaan arteri, apabila a. carotis teraba TDs di atas 60
mmHg, a. femoral teraba bila TDs di atas 70 mmHg, dan a radialis teraba bila TDs di
atas 80 mmHg.11
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah
sistolik <90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko
kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial,
berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada
disertai tamponade jantung/ pneumotoraks, atau syok septik. Tata laksananya dengan
cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti darah
yang hilang, atau sement.10
10
d. Disability
Menilai kemampuan neurologis pasien yang mengalami kegawatdaruratan pada
pasien. Hal yang harus dilihat adalah, pasien mengalami penurunan kesadaran,
hipoglikemia, meningismus, kondisi pupil, anggota dan saraf kranial. Penilaian
permukaan tubuh harus mengkaji apakah mengalami demam dan tanda-tanda atau
stigmata penyakit kronis.11
e. Exposure
Intervensi Bedah
Luka sederhana pada kulit kepala harus dibersihkan dan dijahit. Komponen fraktur
pada tulang tengkorak harus dibersihkan. Tindakan bedah pada pasien dengan fraktur tulang
tengkorak harus dilakukan sesegera mungkin, namun bisa ditunda hingga 24 jam sampai
pasien sampai ke rumah sakit dengan peralatan yang memadai atau hingga hemodinamik
pasien dalam keadaan stabil. Elevasi dari fraktur depresi kecil tidak perlu intervensi bedah
yang darurat, namun fragmen yang terdepresi harus di elevasi sebelum pasien dipulangkan
dari rumah sakit, terlebih bila bagian tulang yang lebih dalam yang terlibat.
Tindakan bedah pada yang dilakukan pada subdural, epidural, atau parenkimal
hematoma akut dan kronik dengan efek massa adalah kraniotomi dan evakuasi bekuan darah.
Evakuasi dengan pembedahan berupa bekuan darah yang tebal menandakan subdural
hematoma akut biasanya perlu kraniotomi yang luas. Sumber pendarahan perlu dicari,
diligasi atau dipasang klip.
Hasil setelah evakuasi dengan pembedahan tergantung dengan tingkat keparahan
awal, bagian otak yang terkena cedera, dan jarak waktu antara cedera dengan tindakan bedah.
Angka mortalitas pada pasien epidural hematoma yang dilakukan tindakan bedah adalah 5-
30%. Semakin kecil jarak waktu antara cedera dengan tindakan bedah, meningkatkan daya
tahan hidup.
Pasien dengan cedera otak lebih sering karena subdural hematoma akut dibandingkan
epidural atau subdural hematoma kronik, dan apabila pasien tidak mengalami destruksi otak,
proses penyembuhan akan lebih baik setelah evakuasi secara pembedahan ditandai dengan
hilangnya hemiplegia atau tanda-tanda cedera neurologis fokal lain. Operasi ulang karena
subdural hematoma akut atau kronik terjadi pada 15% pasien.
Burr hole atau twist drill tidak cocok digunakan untuk subdural dan epidural
hematoma akut yang lebar, namun bisa dipakai untuk subdural hematoma kronik yang
mencair. Hasil setelah burr hole atau twist drill lebih baik daripada kraniotomi. Kateter

11
plastic (Jackson-Pratt drain) biasanya diletakkan di ruangan subdural untuk beberapa hari
sampai aliran mereda.
Pasien dengan Penurunan Kesadaran
Dilakukan pemeriksaan fisik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan
mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis. Observasi
minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya
riwayat lucid interval, nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala
lateralisasi (pupil anisokor, refleksi patologis positif ). Jika dicurigai ada hematoma,
dilakukan CT scan. Pasien cedera kranioserebral ringan (CKR) tidak perlu dirawat jika:10
a. orientasi (waktu dan tempat) baik
b. tidak ada gejala fokal neurologik
c. tidak ada muntah atau sakit kepala
d. tidak ada fraktur tulang kepala
e. tempat tinggal dalam kota
f. ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah, dan bila dicurigai ada perubahan
kesadaran, dibawa kembali ke RS
Cedera kranioserebral sedang (SKG=9-12), Pasien dalam kategori ini bisa mengalami
gangguan kardiopulmoner. Urutan tindakan:10
a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), dan sirkulasi
(Circulation)
b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera organ lain. Jika
dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas, lakukan fi ksasi leher dengan
pemasangan kerah leher dan atau fi ksasi tulang ekstremitas bersangkutan
c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defi sit fokal serebral lainnya
Cedera kranioserebral berat (SKG=3-8), Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai
cedera multipel. Bila didapatkan fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada
luka terbuka dan ada perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama.
Tindakan sama dengan cedera kranioserebral sedang dengan pengawasan lebih ketat dan
dirawat di ICU. Di samping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan sistemik. Pasien
cedera kranioserebral berat sering berada dalam keadaan hipoksi, hipotensi, dan hiperkapni
akibat gangguan kardiopulmoner.10
Pemeriksaan radiologi

12
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal, collar yang telah
terpasang tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan abdomen dilakukan atas indikasi. CT
scan otak dikerjakan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada
hematoma intrakranial.10
Foto polos hanya dilakukan apabila tidak terdapat fasilitas CT scan di tempat
pelayanan kesehatan. Namun apabila pasien didapatkan adanya fraktur linear, basis cranii
ataupun depresi tulang serta pneumocephalus pada sinus sphenoid dengan kemungkinan lesi
intracranial maka sangat perlu segera dilakukan pemeriksaan CT scan.12
Penatalaksanaan terbaru mengenai cedera kepala merekomendasikan untuk dilakukan
pemeriksaan CT scan apabila dibutuhkan, serta ketika pasien hanya menjalani rawat jalan.
Apalagi pasien yang berada status beresiko tinggi dapat mengalami cedera otak dan
hemotoma harus diwajibkan untuk menjalani CT scan. Pelaksaanaan CT scan di Inggris
berdasarkan NICE guidelines, bahwa pemeriksaan CT scan tidak tersedia 24 jam sehari dan
isinya merekomendasikan untuk melakukan CT scan pada pasien dengan mild case 1 jam
pasca kecelakaan dan maksimal menunggu selama 8 jam. 12 Pemeriksaan MRI, lebih sensitive
dibandingkan dengan CT dalam hal pemeriksaan terhadap cedera otak seperti diffuse axonal
injury dan lesi haemorrhagic.

Komplikasi

Komplikasi awal:6

- Cedera saraf kranial

- Fistula cairan cerebrospinal

- Pneumocephalus

- Fistula kavernosa karotis

- Thrombosis dan cedera vascular

- Infeksi

Komplikasi lanjut:6

- Sindroma post concussion (pasca gegar)

- Kejang dan epilepsy post traumatic

13
- Kegagalan kognitif

- Kelainan gerakan post traumatic

Prognosis
Delapan puluh lima persen (85%) dengan GCS yang memburuk (3 atau 4) meninggal
dalam 24 jam setelah cedera. 55% anak memiliki hasil yang baik pada 1 tahun dibandingan
dengan 21% orang dewasa. Meningkatnya tekanan intracranial, usia lanjut, dan tanda
kompresi sisterna dan pergeseran garis tengah pada pemindaian CT-Scan, semuanya
mempunyai makna prognostic yang buruk.11

Kesimpulan
Pasien tersebut mengalami cedera otak keparahan sedang dengan peningkatan tekanan
intracranial yang disebabkan oleh perdarahan intracranial. Gejala yang didapatkan adalah
penurunan kesadaran, bradikardi, dan pernapasan cepat, sakit kepala serta muntah-mu tah
berulang. Pengobatan yang diberikan dapat berupa pemberian mannitol untuk indikasi
pengobatan (peningkatan tekanan intracranial) dan analgesic. Pasien tersebut mempunyai
prognosis buruk.

Daftar Pustaka
1. Gleadle, Jonathan. Pengambilan anamnesis. Dalam : At a glance anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007. h. 1-4
2. Morton PG. Panduan pemeriksaan kesehatan dengan dokumentasi SOAPIE. Edisi 2.
Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC ; 2003. H. 56
3. Bickley LS. Bates : buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. Edisi 11.
Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC ; 2013. H. 741-2
4. Olson D. Head injury clinical presentation. 29 September 2016. Diakses 11 Januari
2017. Tersedia : http://emedicine.medscape.com/article/1163653-clinical#b4
5. Ropper AH. Concussion and other head injuries. Dalam : Hauser SL, Josephson SA.
Harrisons : neurology in clinical medicine. Edisi 2. Philadhelphia : McGrawHill ;
2010. H. 400-8
6. Maimaris C. Early phase care of patients with mild and minor head injury. Dalam :
Whitfield PC, Thomas EO, Summers F Whyte M, Hutchinson P. Head injury : a
multidisciplinary approach. Cambridge : Cambridge University Press ; 2009. H. 54-7

14
7. Grace PA, Borley. At a glance ilmu bedah. Edisi 3. Jakarta : EMS Erlangga Medical
Series ; 2007. H. 90-3
8. Satyanegara. Ilmu bedah saraf. Edisi 4. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama ; 2010. H. 206, 208
9. Ginsberg L. Lectures notes : neurologi. Edisi 8. Jakarta : EMS Erlangga Medical
Series. ; 2007. H. 96, 113
10. Soertidewi L. Penatalaksanaan kedaruratan cedera kranioserebral. Vol 39. No 5. CDK
193 ; 2012. H. 327-31
11. Mansjoer A. Pengkajian kegawatdaruratan medis. Dalam : Setiati S, Alwi I, Sudoyo
A, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 6.
Jilid III. Jakarta : InternaPublishing ; 2015. H. 4051-3

15

Anda mungkin juga menyukai