Anda di halaman 1dari 48

CEDERA KEPALA PEDIATRIK BERAT:

PERTIMBANGAN KHUSUS.

Syaiful Saanin. http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/ckanak.html. Tgl 19 agust 2014

Dalam banyak aspek, pengelolaan cedera kepala pada anak serupa dengan dewasa. Namun dalam
beberapa hal sedikit berbeda atau sangat khusus. Anak-anak terutama yang berusia 2 tahun kebawah
rentan terhadap komplikasi dan sekuele berat setelah cedera kepala berat. Banyak dari komplikasi tsb.
berkaitan dengan cedera sekunder otak seperti edema, hiperemia, hipoksia. Akan dibahas pengelolaan
pasien dengan cedera kepala berat dimana pasien tidak dapat ikut perintah, koma (GCS £ 8), dan tidak
dapat membuka mata.

Mekanisme cedera.

Mekanisme cedera kepala berat serupa dengan dewasa, namun anak yang tertabrak kendaraan 3 kali
lebih sering dari dewasa. Kecelakaan sepeda juga sering, namun akibat jatuh tidak sesering dewasa.
Walau begitu, derajat kerusakan yang diakibatkan oleh jatuh tidak sama dengan dewasa.

Evaluasi.

Tindakan serupa dengan dewasa. Menjamin jalan nafas adekuat, mencegah hipoksia dan hiperkapnia,
pemberian cairan intravena atau darah, tindakan agresif terhadap hipotensi, kontrol temperatur,
penilaian dan tindakan terhadap cedera penyerta, serta transport segera ke RS dengan fasilitas bedah
saraf semuanya wajib dilaksanakan. Oksigen segera diberikan baik melalui masker ataupun ETT.
Pernafasan spontan harus memadai, atau gunakan respirator. Bila respirator diperlukan, mulai
hiperventilasi untuk mempertahankan pCO2 25-30 mmHg. Pada bayi mudah melaksanakannya dengan
memberikan inspirasi hingga dada mengembang penuh secara simetris serta memberikan 30-40
pernafasan per menit. Gas darah segera diperiksa. Nilai pO2 dikoreksi dengan oksigen. Asidosis
menunjukkan hipoksia berat. Pemeriksaan darah dan urin dimulai segera agar kelainan bisa segera
dikoreksi.

Anak kecil bisa kehilangan sejumlah besar darah baik keintrakranial, kulit kepala, atau kejaringan lunak
sekitar fraktura. Terutama pada neonatal dan bayi muda, shok dapat terjadi tanpa tampak perdarahan
luar. Karenanya persiapan cairan dan darah harus memadai. Pada usia ini fraktura tengkorak dapat
secara drastis menurunkan hematokrit hingga terkadang diperlukan transfusi.
Protokol laboratori pada cedera kepala berat :

1. Darah lengkap beserta hitung jenis.

2. Amilase.

3. Creatinin.

4. Nitrogen urea darah.

5. Prothrombine time.

6. Partial thromboplastin time.

7. Platelet.

8. Jenis dan x-match 2 kantong darah lengkap.

9. Gas darah arterial.

Tanda-tanda awal shok ditindak dengan 20 ml/kg RL untuk mempertahankan sistol 80 mmHg, + 2 kali
umur dalam tahun, misal 88 mmHg untuk usia 4 tahun. Bila hipotensi tetap, ulangi dosis yang sama.
Shok berat atasi dengan 20 ml/kg darah lengkap. Dianjurkan setiap saat menyiapkan donor darah
lengkap universal titer rendah, karena tidak ada waktu untuk melakukan x-match pada pasien shok.

Terapi cairan intravena :

1. Pemeliharaan cairan normal :

10 kg. Pertama : 100 ml/kg/hari.

10 kg. Kedua : 50 ml/kg/hari.

Selanjutnya : 20 ml/kg/hari.

2. Bila terjadi shok :


Start 2 jalur IV.

Pompakan 20 ml/kg RL.

Bila sistol tetap dibawah 70 :

Ulang bolus RL.

Bila sistol tetap dibawah 70 :

Transfusi 20 ml/kg PRC.

Semua pasien dengan cedera kepala otak penetrasi, fraktura tengkorak depres, semua jenis
perdarahan intrakranial, atau GCS 5 atau kurang harus dipikirkan pemberian anti kejang. Pemberian dini
sering mengurangi komplikasi serius. Tujuannya menghindari kerusakan otak sekunder karena kejang
sangat meninggikan tekanan intrakranial dengan akibat kerusakan otak lebih lanjut. Fenitoin terpilih
karena efek sedatifnya lebih rendah dari fenobarbital. Dosis pembebanan 15 mg/kg. dengan dosis
pemeliharaan 5 mg/kg/hari. Status epileptik diberikan diazepam 0,1 – 0,25 mg/kg, selalu persiapkan
intubasi dan respirator agar seketika bisa digunakan.

Setelah stabilisasi inisial tanda-tanda vital, segera tegakkan diagnosis. X-ray leher dilakukan di UGD, dan
bila kondisi telah stabil dibuat sken CT yang merupakan tindakan terpilih. Alasannya adalah bahwa lessi
massa harus segera didiagnosis dan ditindak. Lessi massa pada anak tidak sesering dewasa, namun
bermakna, yaitu 25% kejadian.

Setelah patologi diketahui, segera dilakukan tindakan bedah bila diindikasikan. Sangat tidak
diperkenankan menunggu sampai anak menunjukkan tanda-tanda dekompensasi dalam melakukan
tindakan diagnostik dan terapi.
X-ray tengkorak kontroversial. Lazimnya diindikasikan bila :

1. Tanda-tanda cedera jaringan lunak.

2. Tanda-tanda cedera penetrasi.

3. Cedera kulit kepala terbuka.

4. Tanda-tanya atas penyebab datang ke RS.

5. Cedera kepala diduga cukup kuat menimbulkan fraktur.

CT bisa menunjukkan kelainan berikut :

A. Lessi massa :

1. Lessi massa ekstra aksial :

a. SDH.

b. EDH.

c. Tak pasti.

2. Hematoma Intraserebral.

3. Kontusi.

B. Bukan lessi massa :

1. Pneumosefalus.

2. Perdarahan Intraventrikuler.

3. Perdarahan Subarakhnoid.

4. Pergeseran ventrikuler tanpa adanya massa.

5. Fraktura depres.

6. Pembengkakan bilateral.

7. Lain-lain (sista porensefalik).


Selalu pikirkan kelainan penyerta yang juga memerlukan evaluasi segera.

1. Fraktura ekstremitas dan atau pelvik.

2. Trauma dada.

3. Trauma abdominal.

4. Fraktura fasial.

5. Cedera kord spinal.

6. Cedera kolumna spinal.

7. Lain-lain.

Semua lesi tsb. menyebabkan hipotensi, karenanya semua anak dengan shok harus dipikirkan adanya
kelainan penyerta dan jangan pikirkan hipotensi diakibatkan cedera kepalanya. Konsekuensinya semua
penyebab harus segera dicari dan ditindak. Seperti halnya pada dewasa, hipotensi dan hipoksia harus
dicegah secara tepat dengan penggantian volume dan menindak cedera penyerta.

Beberapa tanda-tanda dan gejala-gejala peninggian tekanan intrakranial serupa dengan dewasa, lainnya
tidak. Ini membantu melihat bagaimana tiap kelompok mungkin tampil secara klinik dengan lessi massa
atau peninggian tekanan intrakranial lainnya. Pada masing-masing kelompok dapat tampil dengan
tanda-tanda tidak spesifik seperti letargi, muntah dan kelumpuhan saraf kranial. Namun pada bayi muda
tanda-tanda ini mungkin tidak terlokalisir sebagaimana halnya anak yang lebih besar. Bayi muda
umumnya mudah terangsang, dengan ubun-ubun penuh dan perubahan fungsi vital, sedang anak yang
lebih besar tampil dengan tanda-tanda terlokalisir seperti hemiparesis dan kelumpuhan saraf ketiga.
Dewasa bisa ikut perintah, namun bayi yang muda tidak mengerti apa yang diharap darinya. Dalam hal
ini, pengamatan tingkah-laku dan reaksi terhadap lingkungan lebih penting dari pada dewasa.

Kriteria Rawat.

Jelas tidak semua cedera kepala pediatrik serius.Kebanyakan tidak. Karenanya diperlukan beberapa
kriteria untuk memutuskan apakah anak harus dirawat. Evaluasi terhadap semua anak adalah sama :

1. Riwayat jelas sekitar kejadian serta reaksi anak atas cedera tsb.

2. Pemeriksaan neurologis singkat namun adekuat serta pemeriksaan fisik umum.

3. Lakukan pemeriksaan radiografi dan laboratorium,

kemudian tentukan apakah anak akan dirawat dan apa tindakan yang akan diambil. Dengan kriteria
rawat dibawah ini, luputnya cedera kepala berat akan terhindarkan :

1. Semua defisit neurologis.

2. Kejang.

3. Muntah.

4. Nyeri kepala berat.

5. Demam.
6. Fraktura tengkorak.

7. Pingsan lama.

8. Perubahan status mental.

9. Cedera yang tidak bisa dijelaskan (child abuse).

Tindakan.

Agak berbeda dengan dewasa. Lessi massa harus segera dibuang, dan kebanyakan pasien dipasang
monitor tekanan intrakranial. Tanda-tanda vital dan tekanan intrakranial dipertahankan normal. 12%
pasien dengan peninggian tekanan intrakranial tidak dapat diatasi dengan cara apapun, yaitu
hiperventilasi, drainase ventrikuler, diuretik osmotik dan barbiturat. Sisanya bereaksi dengan baik.
Peninggian tekanan intrakranial terjadi pada pasien baik kelompok bedah maupun non bedah.
Karenanya semua pasien koma harus dipasang monitor tekanan intrakranial. Kekecualian adalah pasien
dengan CT normal serta tanpa posturing.

Diuretik osmotik mempunyai peran terbatas di UGD khususnya pada anak-anak karena (1)
menyebabkan hiperemia pada daerah otak yang cedera hingga meninggikan tekanan intrakranial, (2)
memalsukan gambaran klinik karena disaat hematom kecil, gejala belum jelas, otak mengkerut hingga
perluasan perdarahan tidak menimbulkan gejala hingga secara tiba-tiba memburuk dan bisa mematikan
karena hematoma yang sudah besar dan (3) menyebabkan shok pada anak dengan volume yang sudah
berkurang karena perdarahan.
Hal penting lainnya adalah meninggikan kepala kecuali pada kelainan jantung, posisikan leher pada garis
tengah supaya tidak mengganggua aliran vena juguler dengan akibat peninggian tekanan intrakranial,
atasi nyeri karena tegangan otot bisa berakibat peninggian tekanan intrakranial hingga terkadang
diperlukan paralisis, serta mencari dan mengatasi cedera penyerta secara bersamaan.

Perawatan Di ICU.

Anak-anak dengan cedera kepala berat sering mati sebelum tiba di RS atai beberapa jam setelah
kejadian. Namun bila ia bertahan dari cedera primer otaknya sebagian besar akan selamat kecuali bila
ada komplikasi sekunder. Perawatan harus meminimalkan cedera otak sekunder dan memberikan
lingkungan yang baik untuk pemulihan. Terapi diarahkan untuk mempertahankan aliran darah otak
normal, metabolisme otak normal, dan tekanan intrakranial normal.

Aliran darah otak dipertahankan dengan cara mempertahankan tekanan perfusi otak > 50 mmHg bila
monitor TIK tersedia. Jenis cedera pada anak-anak yang khas adalah edema malignan atau sindroma
hiperemia otak yang biasa datang dengan GCS rendah. Ini akibat peninggian tekanan intrakranial karena
peninggian aliran darah otak. Ini bisa dikoreksi dengan baik dengan respirator dan pengontrolan tekanan
intrakranial.

Metabolisme otak dipertahankan normal dengan mempertahankan glukosa dalam batas normal dan
pO2 100 mmHg atau sedikit lebih tinggi.
Indikasi pemasangan monitor TIK adalah bila GCS 5 atau kurang (kecuali MBO), GCS 6-7 dengan kelainan
pada CT. Pada kenyataannya pasien dengan CT normal biasanya tekanan intrakranialnya normal, namun
bila GCS 3-4 walau CT normal tetap dipasang monitor TIK, karena kerusakan otak berat akan
menyebabkan edema otak.

Pasien selalu dipasang jalur arterial agar memudahkan pemeriksaan gas darah. Bila tekanan intrakranial
normal, pCO2 dipertahankan 25-30. Bila kemudian TIK meninggi diturunkan menjadi 21-25 mmHg. Bila
TIK normal, pCO2 21-25 akan menghilangkan peluang tindakan pada saat TIK meninggi.

Paralisis otot terkadang bermakna menurunkan TIK karena penurunan aliran darah otak pada pasien
yang tekanan intrakranial sudah disebelah kanan kurva. Kejang ditindak seperti telah dijeskan dimuka.

Diuretik osmotik untuk pasien yang sudah dirawat di ICU juga efektif menurunkan TIK. Dosis bervariasi,
namun biasanya 0.25-0,5 g/kg dan dapat diulang tiap 4-6 jam, dibantu lasix 1 mg/kg. Pemberian
mannitol berulang harus dengan pengawasan osmolaritas yang diperiksa setiap 4 jam antara 300-320
mOsm. Harus diingat mudahnya terjadi dehidrasi hingga harus dipertahankan normovolemia. Walau
restriksi cairan penting dalam pengelolaan tekanan intrakranial, harus dilakukan dengan pengawasan
ketat. PRC atau plasma bisa digunakan mempertahankan volume darah fisiologis.

Monitor CVP harus dipasang untuk membantu pengelolaan cairan. Pada kebanyakan neonatus dan bayi,
CVP secara tepat menunjukkan fungsi cairan dan fungsi jantung kiri.
Barbirturat efektif mengurangi TIK karena menyebabkan vasokonstriksi dan ia juga mengurangi
metabolisme otak hingga mengurangi aliran darah otak . Pentobarbital digunakan bila pasien tidak
bereaksi terhadap tindakan lain, yaitu bila prognosis buruk dengan melakukan koma barbiturat,
diberikan 3-5 mg/kg untuk pembebanan diikuti 0,5-3,0 mg/kg/jam, dengan mempertahankan kadar
darah 35-50 mg/ml. 15% pasien tidak bereaksi dengan tindakan ini yang berarti hasil akhir yang buruk.

Banyak pasien mengalami syndrome of inappropriate ADH pada awal perjalanan klinisnya, dengan
ditandai kejang dan rendahnya kadar sodium. Pasien parus diawasi ketat. Karenanya elektrolit diperiksa
setiap hari pada 24 jam pertama. Penurunan output urin dan rendahnya kadar pO2 juga pertanda lain
terjadinya SIADH. Cairan IV harus mempertahankan kadar sodium normal.

Komplikasi.

Kompilikasi utama sesuai frekuensinya :

1. Pneumonia.

2. Meningitis ventrikulitis.

3. Infeksi saluran kemih.


4. Perdarahan gastrointestinal.

5. Sepsis gram negatif.

6. Kebocoran CSS.

Tampak komplikasi paru-paru paling utama. Ini umum terjadi pada anak dengan cedera kepala berat
dengan koma lama. Fisioterapi dada agresif harus segera dimulai, seperti juga jalan nafas. Bila koma
untuk waktu yang lama, lakukan trakheostomi. Semua anak dengan demam disertai kemungkinan
infeksi SSP harus ditindak seperti pada infeksi SSP. Buktikan dengan kultur CSS. 8% infeksi adalah akibat
kateter ventrikuler, dan 10% adalah karena fraktura basis tengkorak, kebocoran CSS, dan infeksi luka
operasi.

Dari sejumlah komplikasi tsb. tampak bahwa perawatan cedera kepala berat adalah kompleks dan
banyak tuntutan. Penting bahwa semua kelainan yang menyertai harus didiagnosis segera dan ditindak
secara agresif.

Hasil Akhir.

Hasil akhir pada anak-anak lebih baik dari dewasa dengan cedera kepala serupa. Alasannya mungkin
lebih sedikit lessi massa yang perlu tindakan bedah pada anak-anak. Hal lain mungkin SSP anak-anak
untuk tingkat tertentu pemulihan fungsinya terjadi lebih baik. Mungkin juga anak-anak kurang
mengalami komplikasi medis berat saat koma. Bila anak mati, hampir pasti disebabkan cedera otak
dibanding sekunder akibat komplikasi medis.
MASALAH SPESIFIK PADA CEDERA KEPALA ANAK-ANAK.

Child abuse.

Orang dewaa bisa mencederai anak dalam berbagai tingkat kegawatan, salah satunya berakibat cedera
kepala sebagai cedera utama. Karena wajib mengidentifikasi anak yang disiksa sejelas mungkin, perlu
waspada akan terjadinya dan bagaimana terjadinya penyiksaan. Hal ini akan memberi kewaspadaan
akan terjadinya child abuse :

1. Penyebab cedera tidak dapat diterangkan.

2. Keterlambatan yang jelas dalam mencari pertolongan.

3. Cedera yang jelas berbagai bagian anggota tubuh bersamaan dengan cedera kepala sedang atau
ringan.

4. Radiograf menunjukkan berbagai usia cedera.

5. Anak dilaporkan sebagai tiba-tiba menjadi lemah atau pincang.


Anak biasanya tidak mengalami cedera kepala bila jatuh dari ketinggian rendah. Bila riwayat anak jatuh
dari sofa, harus curiga bila anak dalam koma. Orang-tua biasanya tidak terlambat mencari pertolongan,
berlawanan dengan yang menyiksa anaknya yang datang terlambat dengan berbagai alasan. Anak tidak
biasanya setelah mengalami cedera kemudian tiba-tiba menjadi lemah kecuali ia mendapat serangan
kejang. Mereka umumnya memberat, hingga berbagai tingkat ancaman herniasi dan koma. Karenanya
bila salah satu dari yang tertera diatas dijumpai, segera singkirkan kemungkinan child abuse sebagai
penyebab cedera kepala.

Fraktura Tengkorak.

Seperti pada dewasa, fraktura tengkorak linier menunjukkan terjadinya benturan berat. Walau fraktura
semata tidak memerlukan tindakan, pasien harus dirawat untuk pengamatan. Sudah dibuktikan
kerusakan intrakranial berat terjadi pada 9-11% kasus baik dengan atau tanpa fraktura. Fraktura basiler
terjadi pada 3-4% anak dengan cedera kepala. Biasanya tampil dengan perdarahan dibelakang membran
timpani atau kombinasi dengan hematoma dibelakang telinga (tanda Battle), ekkhimosis periorbital,
atau kebocoran CSS sebagai otorea atau rinorea. Saraf otak ketujuh atau kedelapan mungkin kena.
Pasien harus dirawat dan diawasi akan terjadinya meningitis bakterial. Bila terjadi kebocoran CSS,
dianjurkan pemberian antibiotika, biasanya penisilin atau turunannya.

Fraktura depres ditindak seperti dewasa, kecuali bila terjadi pada bayi baru lahir dengan fraktura kecil
didaerah yang aman yaitu temporal.
Sista leptomening jarang, namun penting, sebagai komplikasi fraktura tengkorak. Biasa pada anak
dibawah 3 tahun dan berhubungan dengan fraktura diastatik yang panjang. Tandanya adalah terabanya
pembengkakan yang tidak nyeri yang makin lama makin besar. Terjadinya adalah karena robekan dura
dan arakhnoid diikuti pembesaran fraktura dan erosi tulang akibat pulsasi otak. Perbaikan secara bedah.

Cedera Lahir.

Lesi bedah-saraf tersering pada neonatus adalah fraktura tengkorak. Fraktura linier tidak begitu penting.
Fraktura depres ditindak seperti diatas bila besar dan menekan otak, atau bila terjadi didaerah yang
secara neurologis penting. Darah bisa terkumpul dibawah galea sebagai hematoma subgaleal atau
dibawah periosteum sebagai hematoma periosteal akibat trauma saat dilahirkan. Bila besar dapat
berakibat anemia atau hiperbilirubinemia pada neonatus yang kecil. Pasien ini biasanya hanya
diobservasi. Jarang diindikasikan tindakan bedah seperti aspirasi atau drainasi.

Cedera Kepala Tertutup.

Mungkin cedera kepala tersering pada usia anak-anak adalah cedera kepala tertutup relatif ringan.
Kadang-kadang dikelompokkan kedalam konkusi, yaitu kehilangan sementara kesadaran diikuti
pemulihan neurologis sempurna kecuali mungkin amnesia.

Istimewa pada anak adalah beratnya reaksi sistemik terhadap cedera kepala dibanding dewasa. Bayi dan
balita sering menampakkan pucat, muntah, atau mengantuk berat bahkan akibat cedera kepala sangat
ringan. Kesulitan merawat pasien ini adalah kita tidak tahu pertambahan beratnya trauma SSP atau
apakah kelainan terus berlanjut.
Seperti dijelaskan sebelumnya, anak harus dievaluasi secara penuh. Foto tengkorak dilakukan untuk
mengetahui adanya fraktura, dan bila gejala cukup bermakna, anak dirawat, periksa sken CT, dan
observasi selama 24 jam.

Bila anak tidak dirawat, orang-tua harus mendapat instruksi tanda-tanda perburukan neurologis.Cedera
kepala tertutup berat, lebih sangat serius.Tindakan sama dengan dewasa. Keistimewaan anak dengan
cedera kepala tertutup berat, sken CT mungkin memperlihatkan pembengkakan otak difus. Majoritas
pasien ini mengalami hiperemia dan vasodilatasi pada serebrovaskulatur yang akan meninggikan
tekanan intrakranial. Ini terjadi antara hari 1-5 setelah cedera.

Hematoma Ekstradural.

Terjadi sedikit lebih sering pada anak-anak dibanding dewasa. Tampilan klinis seperti dewasa. Diagnosis
berdasar CT bila ada cukup waktu ; bila perburukan sangat cepat pasien langsung dioperasi. Pasien
dengan lessi massa diberikan mannitol, hiperventilasi dengan intubasi dan segera dioperasi.

Hematoma Subdural.

Pada balita dan remaja, tampilan serupa dengan dewasa. Namun pada bayi sangat muda, tampilan
secara umum lebih difus. Tampak pucat dengan fontanel penuh dan mungkin disertai defisit neurologis.
Diagnosis dengan CT dan tidak dengan tap diagnostik. Hematoma subdural kronik pada anak lebih sering
dibanding yang akut. Cedera merupakan etiologi penting namun sulit menentukan waktu yang tepat
serta jenis cederanya. Tanda-tanda dan gejala-gejala khas tidak terlokalisir dan sub akut,yaitu muntah,
mudah terangsang, gagal tumbuh, kejang, dan pembesaran kepala pada anak yang suturanya belum
menutup. Fontanel pada bayi juga menonjol.

CT adalah tindakan diagnostik terpilih. Setelah diagnosis ditegakkan, segera alirkan dengan pintas
subdural-peritoneal untuk mengurangi tekanan intrakranial serta mengatasi masalahnya. Bila
proteinnya tinggi, dapat tanpa menggunakan katup.

Indikasi operasi darurat.

1. Interval lucid (bila CT tidak tersedia segera).

2. Herniasi unkal (pupil/motor tidak ekual).

3. Fraktura depres terbuka.

4. Fraktura depres tertutup lebih dari 1 tabula.

5. Massa intrakranial dengan pergeseran garis tengah 5mm atau lebih.

6. Massa ekstra aksial 5 mm atau lebih, uni/bi lateral.

7. #5/#6 kurang dari 5 mm tapi mengalami perburukan atau sisterna basal terkompres.
8. Massa lobus temporal 30 ml Atau lebih.

Indikasi tidak berlaku bila MBO.

Hasil Akhir.

Umumnya lebih baik dari dewasa bila berat traumanya ekual, mekanisme cedera sama, dan tindakan
yang sama. Adanya serta jenis lessi massa berpengaruh pada hasil akhir. Lessi massa lenbih jarang
dibanding pada dewasa. Kematian juga lebih kecil pada anak-anak. Paling jelas adalah pada anak dengan
flaksid serta pupil berdilatasi dan tanpa reaksi terhadap cahaya, mortalitas hanya 33%.

Pendekatan tindakan pada semua anak dengan cedera kepala berat harus segera ditindak dengan usaha
maksimal. Bahkan anak dengan cedera yang membinasakan secara mengejutkan dapat pulih dengan
baik.

Membicarakan anak-anak dengan cedera kepala, lakukan :

1. Perawatan bedah-saraf intensif.

2. Sebagian seperti merawat orang dewasa yang kecil, namun kebanyakan adalah unik hingga
pengenalan masalah yang khusus tsb. harus diutamakan.
3. Anak-anak sering secara mengejutkan membaik bahkan dengan cedera kepala sangat berat,
karenanya diindikasikan usaha maksimal dalam arti diagnosis segera, tindakan agresif, serta rehabilitasi
maksimal.

4. Pencegahan anak kecil untuk tidak jatuh, ikat pinggang pengaman sesuai usia, mengawasan ketat
pada anak (tidak bermain dijalan) akan memastikan menurunnya kesakitan dan kematian pada anak.

Catatan :

Respon Verbal Terbaik pada GCS anak.

5 = kata-kata bermakna, senyum, ikut objek.

4 = Menangis tapi bisa diredakan.

3 = Teriritasi secara menetap.

2 = Gelisah, teragitasi.

1 = Diam saja.
VI. 4. TRAUMA KEPALAhttp://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Kepalateks.html, 18 agust 2014

Pendahuluan

Cedera kepala bertanggung-jawab atas separuh kematian karena cedera. Merupakan komponen yang
paling sering pada cedera multipel. Ditemukan pada 75 % korban tewas karena kecelakaan lalu-lintas.
Untuk setiap kematian, terdapat dua kasus dengan cacad tetap, biasanya sekunder terhadap cedera
kepala.

Masalah yang biasa dihadapi adalah jauhnya, ketersediaan fasilitas serta tingkat kompetensi bedah saraf
setempat, serta lambatnya tindakan definitif, organisasi kegawat-daruratan, dan profil cedera. Yang
terpenting adalah pengelolaan ventilasi dan hipovolemia yang berperan dalam menimbulkan kerusakan
otak sekunder yang bisa dicegah. Transfer pasien yang memenuhi sarat dengan segera akan mengurangi
kesakitan dan kematian. Transfer tidak boleh diperlambat oleh tindakan diagnostik.

Penyebab kecacadan atau kematian yang dapat dicegah antara lain adalah keterlambataan resusitasi
atas hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi, keterlambatan tindakan definitif terutama terhadap hematoma
intrakranial yang berkembang cepat, serta kegagalan mencegah infeksi.

Anatomi, fisiologi dan patofisiologi

Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen : otak, cairan serebro-spinal dan darah
yang masing-masing tidak dapat diperas. Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu
foramen magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum.
Otak tengah terletak pada hiatus dari tentorium.

Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil bila tekanan darah
rata-rata 50-160 mmHg (untuk pasien normotensif, dan bergeser kekanan pada pasien hipertensif dan
sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif
pembuluh otak dengan akibat peninggian tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada
cedera otak dengan akibat ADO tergantung secara linear terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal
tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau hipertensi (perhatikan tekanan darah pasien
sebelum cedera).

Volume total intrakranial harus tetap konstan ( Doktrin Monro-Kellie : K = V otak + V css + V darah + V
massa ). Kompensasi atas terbentuknya lessi intrakranial adalah digesernya css dan darah vena hingga
batas kompensasi, untuk selanjutnya tekanan intrakranial akan naik secara tajam.

Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan klinik dapat diprediksi. Bila fase
kompensasi terlewati, tekanan intrakranial meningkat. Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh hal
yang meninggikan TIK seperti batuk, membungkuk dan terlentang, kemudian mulai mengantuk.
Kompresi atau pergeseran batang otak berakibat peninggian tekanan darah, sedang denyut nadi dan
respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa berdilatasi, bisa dengan hemiparesisi sisikontralateral massa.
Selanjutnya pasien jadi tidak responsif, pupil tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks batang otak
hilang. Akhirnya fungsi batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi lambat, respirasi lambat dan
tidak teratur untuk akhirnya berhenti. Penyebab akhir kegagalan otak adalah iskemia. Peninggian TIK
mempengaruhi ADO akibat kompresi arterial, regangan atau robekan arteria dan vena batang otak serta
gangguan perfusi. ADO konstan 50 ml/100 gr/menit pada otoregulasi normal. Jadi ADO dipengaruhi oleh
tekanan darah arterial, tekanan intrakranial, otoregulasi, stimulasi metabolik serta distorsi atau
kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi. Pada kenyataannya, banyak akibat klinis dari
peninggian TIK adalah akibat pergeseran otak dibanding tingkat TIK sendiri.

Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun akan meninggikan TIK yang berakibat gangguan ADO yang
berakibat memperberat edema sehingga merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari 15 mm Hg harus
ditindak.

Triad klasik nyeri kepala, edema papil dan muntah ditemukan pada duapertiga pasien. Sisanya hanya
dua gejala. Tidak satupun khas untuk peninggian TIK, kecuali edema papil, namun memerlukan waktu
yang lama untuk timbulnya. Simtom lebih banyak tergantung penyebab dari pada tingkat tekanan. Tidak
ada korelasi konsisten antara tingkat tekanan dengan beratnya gejala.

Penurunan kesadaran adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera otak yaitu cedera korteks bilateral serta
cedera pada sistem pengaktif retikuler batang otak disamping peninggian TIK dan penurunan ADO dapat
menurunkan tingkat kesadaran.

Klasifikasi

Didasarkan pada aspek :

a. Mekanisme trauma

(1). Tumpul : kecepatan tinggi, kecepatan rendah

(2). Tajam : cedera peluru, bacok, dll

b. Beratnya

Didasarkan pada Glasgow Coma Scale (GCS)

(1). Cedera kepala ringan (bila GCS 14-15)

(2). Cedera kepala sedang (bila GCS 9-13)

(3). Cedera kepala berat (bila GCS 3-8)


c. Berdasar morfologi :

(1). Fraktura tengkorak.

(a). Kalvaria :

1. Linier atau stelata.

2. Terdepres atau tidak terdepres.

(b). Basiler :

1. Anterior.

2. Media.

3. Posterior.

(2). Lesi intrakranial.

(a). Fokal :

(1). Perdarahan meningeal :

1. Epidural.

2. Subdural.

3. Sub-arakhnoid.

(2). Perdarahan dan laserasi otak :

Perdarahan intraserebral dan atau kontusi.

Benda asing, peluru tertancap.

(b). Difusa :

1. Konkusi ringan.

2. Konkusi klasik.

3. Cedera aksonal difusa.

Semua penatalaksanaan disesuaikan dengan pembagian ini. GCS ditentukan pasca resusitasi.
Catatan : Digolongkan kedalam cedera kepala berat disamping GCS ≤ 8, adalah bila : perburukan
neurologis, fraktura tengkorak terdepres, pupil atau motor tidak ekual, cedera kepala terbuka dengan
bocornya CSS atau tampaknya jaringan otak.

Dari riwayat dan pemeriksaan, akan diketahui area anatomi, tipe cedera (akselerasi, deselerasi, impak
lokal, tembus atau crush), patologi cedera serta evolusi cedera ( perburukan akan merubah saat
melakukan tindakan spesifik).

BERDASAR MEKANISME

Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan penetrating. Sebetulnya tidak benar-
benar dapat dipisahkan. Misalnya fraktura tengkorak terdepres dapat dimasukkan kesalah satu golongan
tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya cedera tulang. Istilah cedera kepala tertutup biasanya
dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala penetrating lebih
sering dikaitkan dengan luka tembak dan luka tusuk.

BERDASAR BERATNYA

Jennett dan Teasdale menentukan koma sebagai ketidakmampuan untuk menuruti perintah,
mengucapkan kata-kata dan membuka mata. Pada pasien yang tidak mempunyai ketiga aspek pada
definisi tersebut tidak dianggap sebagai koma. 90% pasien dengan skor total delapan atau kurang, dan
tidak untuk yang mempunyai skor 9 atau lebih, dijumpai dalam keadaan koma sesuai dengan definisi
tsb. Untuk kegunaan praktis, skor total GCS 8 atau kurang didefinisi sebagai pasien koma. Skor 9 hingga
13 dikelompokkan sebagai cedera kepala sedang, dan skor GCS 14 hingga 15 sebagai ringan.

BERDASAR MORFOLOGI

Walau pasien tertentu yang mengalami perburukan secara cepat mungkin dioperasi tanpa CT scan,
kebanyakan pasien cedera berat sangat diuntungkan oleh CT scan sebelum dioperasi. Karenanya tindak
lanjut CT scan berulang sangat penting karena gambaran morfologis pada pasien cedera kepala sering
mengalami evolusi yang nyata dalam beberapa jam pertama, bahkan beberapa minggu setelah cedera.

Fraktura Tengkorak

Mungkin tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linear atau stelata, mungkin terdepres atau tidak
terdepres. Fraktura tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT. Adanya
tanda klinis membantu identifikasinya. Fraktura terdepres lebih dari ketebalan tengkorak memerlukan
operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung antara
laserasi kulit kepala dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan
operasi perbaikan segera.

Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien sadar
dan 20 kali pada pasien tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien
untuk dirawat.

Lesi Intrakranial

Kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma
subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Cedera otak difusa, menunjukkan CT scan normal
namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam

Lesi Fokal

Hematoma Epidural. Klot terletak diluar dura. Paling sering diregio temporal atau temporal-parietal dan
sering akibat robeknya pembuluh meningeal media, namun mungkin sekunder dari perdarahan
vena/sinus pada sepertiga kasus, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Tidak terlalu
sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), namun harus selalu diingat dan
ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya
masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari
hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien
koma dalam.

Hematoma Subdural. Lebih sering dari hematoma epidural, pada 30% penderita dengan cedera kepala
berat. Terjadi akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining, laserasi
permukaan atau substansi otak. Kerusakan otak yang mendasari jauh lebih berat dan prognosisnya lebih
buruk dari hematoma epidural. Mortalitas 60%, diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera

Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral cukup sering, hampir selalu berkaitan dengan
hematoma subdural. Majoritas dilobus frontal dan temporal, walau dapat pada setiap tempat.
Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Lesi jenis salt
and pepper klasik pada CT jelas kontusi, dan hematoma yang besar jelas bukan. Terdapat zona
peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Ingat, kontusi bukan diagnosis klinis.
Cedera difusa

Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat progresif yang berkelanjutan, disebabkan cedera
akselerasi-deselerasi otak, adalah jenis cedera kepala yang paling sering.

Konkusi Ringan. Konkusi (cerebral concussion) ringan : kesadaran tidak terganggu, terdapat suatu tingkat
disfungsi neurologis temporer. Sering terjadi dan karena ringan, sering tidak dibawa kepusat medik.
Bentuk paling ringan, berakibat konfusi dan disorientasi tanpa amnesia. Pulih sempurna tanpa disertai
sekuele major. Yang sedikit lebih berat menyebabkan konfusi dengan amnesia retrograd maupun post
traumatika.

Konkusi Serebral Klasik. Konkusi serebral klasik : hilangnya kesadaran. Selalu disertai amnesia retrograd
dan post traumatika, dan lamanya amnesia post traumatika adalah pengukur atas beratnya cedera.
Hilangnya kesadaran sementara, sadar sempurna dalam enam jam, walau biasanya sangat awal. Tidak
mempunyai sekuele kecuali amnesia atas kejadian terkait cedera, namun beberapa mempunyai defisit
neurologis yang berjalan lama, walau kadang-kadang sangat ringan.

Cedera Aksonal Difusa (CAD). CAD (Diffuse Axonal Injury, DAI) : koma pasca trauma yang lama(lebih dari
enam jam), tidak dikarenakan lesi massa atau kerusakan iskhemik. Dibagi menjadi kategori ringan,
sedang dan berat. CAD ringan jarang, koma berakhir pada 6 hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikut
perintah setelah 24 jam. CAD sedang, koma yang berakhir lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang
otak. Bentuk CAD paling sering dan merupakan 45% dari semua pasien dengan CAD.

CAD berat biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan paling mematikan. 36% dari semua pasien
dengan CAD. Koma dalam dan menetap untuk waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda dekortikasi
atau deserebrasi dan cacad berat menetap bila penderita tidak mati, disfungsi otonom seperti
hipertensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan sebelumnya tampak mempunyai cedera batang otak
primer. CAD umumnya lebih banyak berdasarkan pada fisiologi atas gambaran klinik yang terjadi.

Pemeriksaaan GCS

Dilakukan dengan memeriksa respon dari 3 area : membuka mata, respon verbal dan respon motorik.
Skor terendah 3 dan tertinggi 15. Respon motorik dinilai yang terbaik dari kedua sisi.

Respon membuka mata (eye)

(4). Spontan dengan adanya kedipan

(3). Dengan suara

(2). Dengan nyeri

(1). Tidak ada reaksi

Respon bicara (verbal)

(5). Orientasi baik

(4). Disorientasi (mengacau/bingung)

(3). Keluar kata-kata yang tidak teratur

(2). Suara yang tidak berbentuk kata

(1). Tidak ada suara

Respon bicara (verbal) untuk anak-anak

(5). Kata-kata bermakna, senyum, mengikuti objek

(4). Menangis, tapi bisa diredakan

(3). Teriritasi secara menetap


(2). Gelisah, teragitasi

(1). Diam saja

Respon motorik (motor)

(6). Mengikuti perintah

(5). Melokalisir nyeri

(4). Menarik ekstremitas yang dirangsang

(3). Fleksi abnormal (dekortikasi)

(2). Ekstensi abnormal (decerebrasi)

(1). Tidak ada gerakan

Nilai GCS = (E+V+M) = 15 (terbaik) dan 3 (terburuk)

PENGELOLAAN PRA RUMAH SAKIT RUJUKAN (DENGAN SARANA BEDAH SARAF)

Ikuti protokol trauma.

CEDERA KEPALA RINGAN

Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (GCS 14-15).

(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).

Pengelolaan setelah pasien distabilkan :

1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia,

nyeri kepala, perdarahan hidung/mulut/telinga, kejang

2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik

3. Pemeriksaan neurologis
Kriteria Transport ke Rumah Sakit Non Pusat Trauma:

1. Amnesia post traumatika jelas

2. Riwayat kehilangan kesadaran

3. Penurunan tingkat kesadaran

4. Nyeri kepala sedang hingga berat

5. Intoksikasi alkohol atau obat

6. Tanda-tanda Fraktura tengkorak

7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)

8. Kejang

9. Cedera penyerta yang jelas

10. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan

Dipulangkan :

1. Pasien tidak memiliki kriteria rujuk

2. Beritahukan untuk kerumah sakit bila timbul masalah dan jelaskan

tentang 'lembar peringatan'

3. Rencanakan untuk kontrol kerumah sakit dalam 1 minggu

CEDERA KEPALA SEDANG

Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah
sederhana (GCS 9-13).

Pengelolaan setelah pasien distabilkan :

1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan

hidung/mulut/telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik

3. Pemeriksaan neurologis

4. Transport ke pusat trauma/bedah saraf.

CEDERA KEPALA BERAT

Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan kesadaran (GCS ≤
8). (Tidak termasuk disini kelompok cedera kepala berat dengan GCS > 8).

PENILAIAN CEDERA KEPALA BERAT

1. OKSIGENASI DAN TEKANAN DARAH

Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%) atau hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mm Hg*)
adalah parameter yang nyata berkaitan dengan outcome yang buruk

Oksigenasi darah : Prosentase saturasi oksigen darah diukur dengan oksimeter denyut nadi (bila ada).

Tekanan darah sistolik dan diastolik diperiksa sesering yang dimungkinkan dan dimonitor secara
berkelanjutan.

Kerusakan otak sekunder pada cedera kepala berat sering terjadi dan sangat mempengaruhi outcome.

*) 0-1 tahun : <65; 2-5 tahun : < 75; 6-12 tahun : <80; 13-16 tahun : < 90.

2. SKOR SKALA KOMA GLASGOW

GCS adalah indikator beratnya cedera kepala terutama dalam kaitannya dengan perbaikan atau
perburukan pada pemeriksaan berulang. Penilaian tunggal GCS tidak dapat memprediksi outcome,
namun perburukan 2 poin dimana GCS sembilan atau kurang menunjukkan cedera serius. Skor 3-5 :
outcome buruk.

GCS didapat dengan berinteraksi dengan pasien, secara verbal atau pada pasien yang tidak ikut perintah
dengan rangsang nyeri pada pangkal kuku atau anterior ketiak dll. GCS dinilai lagi setelai penilaian inisial
(pada penilaian inisial dapat digunakan AVPU : cepat, namun tidak menampilkan kuantitas motorik),
setelah jalan nafas terkontrol, setelah resusitasi ventilatori dan respiratori. Hipoksemi dan hipotensi
berdampak negatif terhadap GCS. GCS dinilai pula sebelum pemberian sedatif atau agen paralitik, dan
setelah obat-obat tsb. dimetabolisasi.
GCS inisial 3-5, atau perburukan dua poin atau lebih memprediksikan outcome buruk. 20 % dengan GCS
3-5 hidup, 8-10 % dengan hidup yang fungsional.

3. PUPIL

Pupil asimetri : perbedaan kiri dan kanan ≥ 1 mm. Pupil yang tidak bereaksi terhadap cahaya : reaksi
tidak ada atau kurang dari 1 mm. Perhatikan pula adanya trauma orbital.

Nilai apakah pupil satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya. Apakah satu atau kedua sisi
berdilatasi. Apakah satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya dan berdilatasi. Pupil dinilai lagi
setelah resusitasi dan stabilisasi.

Pemeriksaan pupil inisial bersama dengan GCS merupakan dasar evaluasi. Kelainan pupil membantu
menentukan tindakan, terutama bila berdilatasi unilateral atau, berdilatasi dan tidak bereaksi terhadap
cahaya bilateral, mengarahkan pada herniasi otak yang memerlukan tindakan darurat untuk
menurunkan tekanan intrakranial. Konstriksi terhadap cahaya adalah fungsi simpatik. Rangsang cahaya
berakibat respons direk (ipsilateral) dan respons konsensual (kontralateral), tergantung intaknya sistem
aferen yang membawa sinyal dari retina ke otak tengah, serta sistem eferen parasimpatik pada bagian
luar saraf ketiga dari otak tengah ke pupil. Nuklei saraf ketiga di otak tengah terletak dekat area yang
mengatur kesadaran dibatang otak. Karenanya pemeriksaan pupil sangat penting pada pasien dengan
gangguan kesadaran. Saraf ketiga keluar dari otak tengah dibawah unkus, bagian lobus temporal, dan
terancam untuk terkompresi sebagai akibat edema, perdarahan intrakranial, dan hematoma epidural
atau subdural. Kompresi saraf ketiga unilateral menekan jalur eferen refleks pupil, menghambat respons
cahaya langsung, disaat respons konsensual utuh. Hipoksemia, hipotensi dan hipotermia juga
berhubungan dengan dilatasi serta reaksi cahaya pupil. Trauma langung pada saraf ketiga disertai tidak
adanya trauma intrakranial yang nyata bisa menyebabkan kelainan pupil walau biasanya disertai dengan
kelainan motorik saraf ketiga. 70 % pasien dengan pupil berdilatasi bilateral mengalami outcome buruk.
Peneliti lain mendapatkan 91 % tewas. 54 % pasien dengan refleks cahaya negatif pulih dengan baik.

TINDAKAN TERHADAP CEDERA KEPALA BERAT

1. JALAN NAFAS, VENTILASI DAN OKSIGENASI

Hipoksemia (apnea, sianosis atau saturasi oksigen Hb arterial [SaO2] < 90 %) harus dicegah atau segera
dikoreksi. Bila ada, saturasi oksigen dimonitor sesering mungkin atau berkelanjutan. Hipokesemia
dikoreksi dengan memberikan oksigen suplemen.
Jalan nafas harus diamankan pada GCS < 9, ketidakmampuan mempertahankan jalan nafas adekuat,
atau bila hipoksia tidak terkoreksi dengan oksigen suplemen. Intubasi endotrakheal paling efektif
mempertahankan jalan nafas.

Hiperventilasi profilaksis rutin harus dicegah. Indikasi dilapangan hanya bila terjadi herniasi otak seperti
posturing ekstensor atau kelainan pupil (asimetrik atau tidak bereaksi) yang masih tampak setelah
hipotensi atau hipoksemia dikoreksi. Normal ventilasi (dengan intubasi dan ventilator bila ada) sekitar 10
X/menit untuk dewasa, 15-20 X/menit pada anak-anak, dan 20-30 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi
ditentukan sebagai 20 X/menit bagi dewasa, 30 X/menit bagi anak-anak dan 35-40 X/menit bagi bayi.
Hiperventilasi dianjurkan sebagai tindakan primer dilapangan karena mudah dilakukan dan berefek
segera. Hiperventilasi menurunkan tekanan parsial arterial dioksida karbon (PaCO2) dengan akibat
vasokonstriksi, menurunkan aliran darah serebral (CBF) dan menurunkan tekanan intrakranial (ICP).
Namun hiperventilasi dini profilaktik tidak lagi dianjurkan sebagai tindakan rutin, karena pada pasien
cedera otak traumatika biasanya aliran darah serebral turun menjadi dua pertiga dari normal dan
hiperventilasi lebih menurunkan aliran darah serebral hingga berpotensi mencapai titik iskemia otak,
hingga memperburuk perfusi otak dan outcome pasien. Hiperventilasi dilakukan hanya sementara
sampai pasien tiba di pusat bedah saraf dimana analisis gas darah akan menuntun tingkat ventilasi.

2. RESUSITASI CAIRAN

Resusitasi cairan pada pasien cedera otak traumatika adalah untuk mencegah hipotensi dan / atau
membatasinya pada durasi sesingkat mungkin. Hipotesi adalah bila tekanan darah sistolik ≤ 90 mm Hg.
Pada anak dengan cedera otak traumatika berat usia 0-1 tahun : < 65; usia 2-5 tahun : < 75; usia 6-12 : <
80 dan usia 13-16 < 90 mm Hg.

Terapi cairan diberikan untuk menunjang kinerja kardiovaskuler untuk mempertahankan tekanan
perfusi serebral yang adekuat dan mengurangi peluang kerusakan otak sekunder. Paling umum di pra
rumah sakit digunakan kristaloid isotonik. Diberikan sejumlah yang dibutuhkan dalam mempertahankan
tekanan darah normal. Volume cairan yang tidak adekuat atau dibawah daya resusitasi dapat
mempresipitasi hipotensi mendadak hingga harus dicegah. Resusitasi hipertonik dengan salin hipertonik
dengan atau tanpa dekstran memberikan hasil menggembirakan. Tidak ada bukti bahwa mannitol
bermanfaat pra rumah sakit, kecuali pada pasien dengan peninggian tekanan intrakranial jelas.

Di UGD, tekanan perfusi serebral tidak dapat dihitung karena di pra rumah sakit tekanan arterial rata-
rata (MAP) dan tekanan intrakranial (ICP) tidak dihitung. (Bahkan mungkin juga di UGD nya sendiri).
Frekuensi denyut jantung dan tekanan darah digunakan sebagai pengukur indirek pengangkutan oksigen
pada fase pra rumah sakit dan juga pada evaluasi inisial di UGD. Pengukuran ini kasar hingga sering tidak
menunjukkan hubungan yang baik dengan kehilangan darah, namun tidak ada tindakan lain yang dapat
menilai kehilangan darah secara akurat. Otoregulasi sering gagal pada cedera kepala, meningkatkan
keterancaman otak atas berkurangnya preload. Bila gagal curah jantung, pengangkutan oksigen juga
gagal. Intervensi resusitatif dimulai segera untuk mencegah turunnya tekanan darah. Kehilangan darah
sulit dinilai hingga tampil hipotensi. Sayangnya hipotensi tidak jelas bisa ditentukan, misalnya bagi
kebanyakan orang 90 mm Hg, bagi orang lain mungkin 80 atau 100.

Karena penyebab hipotensi umumnya sekunder atas perdarahan atau kehilangan cairan lainnya, maka
volume intravaskuler tampaknya cara terbaik untuk memperbaiki tekanan darah. Kristaloid untuk
memperkuat preload jantung, mempertahankan curah jantung (CO), tekanan darah dan pengangkutan
oksigen perifer. Dianjurkan infus cepat 2 liter RL atau salin normal sebagai bolus inisial pada dewasa.
Pada pasien tanpa cedera kepala, pikirkan bahwa resusitasi tanpa hemostasis bedah menyebabkan
kehilangan darah sekunder akibat bergesernya klot hemostatik. Begitu pula hemodilusi yang terjadi
dapat memperburuk keadaan pada trauma tertentu seperti trauma penetrasi torso. Karenanya
resusitasi cairan ideal adalah tidak menyebabkan kehilangan darah sekunder dan hemodilusi.

3. TINDAKAN TERHADAP OTAK

Herniasi serebral : Tanda-tandanya adalah gangguan kesadaran serta tidak adanya respons, termasuk
posturing ekstensor, pupil berdilatasi, tidak bereaksi terhadap cahaya atau perburukan neurologis
progresif (penurunan GCS lebih dari dua poin dari sebelumnya pada pasien dengan GCS inisial < 9).
Hiperventilasi adalah intervensi jalur pertama terhadap pasien tersangka ancaman herniasi otak. Status
neurologis memerlukan penilaian berulang dan bila diikuti hilangnya tanda-tanda herniasi otak,
hiperventilasi dihentikan.

Mannitol pra rumah sakit untuk herniasi otak.

Tindakan saat transport pasien : Sedasi, analgesia, dan blok neuromuskuler (sesuai sarana tersedia)
berguna dalam mengoptimalkan transport pasien cedera kepala.

Penyebab lain perubahan status kesadaran : Hipoglikemia dilaporkan sebagai pencetus trauma.
Hipoglikemia bisa tampil dengan perubahan kesadaran dengan atau tanpa defisit neurologis lain.
Dianjurkan pasien dengan penurunan kesadaran yang tidak jelas etiologinya ditentukan glukosanya
secara cepat atau diberikan glukosa secara empiris.

Cedera neuronal bisa akibat trauma inisial (cedera primer) atau akibat mekanisme indirek (cedera
sekunder) seperti hipoksemia, hipotensi dan edema serebral. Juga bisa akibat keadaan yang bersamaan
seperti hipoglikemia atau keracunan obat. Tujuan resusitasi adalah mempertahankan perfusi otak dan
meminimalkan cedera neuronal.

Mannitol efektif mengurangi tekanan intrakranial dan dianjurkan untuk mengontrol peninggian tekanan
intrakranial. Namun belum jelas manfaatnya pada pasien tanpa tanda-tanda herniasi otak. Walau
mekanisme kerjanya kontroversi, manfaatnya adalah bahwa mannitol merupakan plasma expander
kerja cepat dan efek osmotik diuretiknya. Sebagai plasma expander ia akan menurunkan hematokrit dan
viskositas darah dengan akibat meningkatkan aliran darah otak dan meningkatkan pengangkutan
oksigen ke otak yang merupakan dasar resusitasi otak. Efek osmotiknya pada awalnya mengurangi
edema intraseluler hingga menurunkan tekanan intrakranial. Onsetnya setelah 15-30 menit namun
bertahan 90 menit hingga 6 jam. Mannitol bisa terakumulasi diotak dengan akibat reverse osmotic shift
yang berpotensi meninggikan tekanan intrakranial (karenanya dirumah sakit lebih baik diberikan
berulang dari pada infus kontinyu untuk mengurangi kemungkinan komplikasi ini). Potensi komplikasi
mannitol lainnya adalah gagal ginjal. Perhatikan juga bahwa mannitol berpotensi menimbulkan
hipotensia.

Lidokain intravena mencegah peninggian tekanan intrakranial saat intubasi endotrakheal. Namun tidak
ada bukti peninggian tekanan intrakranial transien saat manipulasi intubasi berpengaruh pada outcome.
Berikan lidokain 1.5 mg/kg beberapa menit sebelum laringoskopi dan dianjurkan diberikan bersama
pelindung saraf pusat lain seperti fentanyl (50 ųg, q2-3 menit) atau thiopental (3-5 mg/kg).

Sedasi dan analgesia adalah kunci penting dalam pengelolaan pra rumah sakit, terutama bila perjalanan
memerlukan waktu panjang. Langkah pertama terhadap pasien gelisah atau mengamuk adalah menilai
dan mengoreksi hipotensi, hipoksemia, hipoglikemia dan ketidaknyamanan. Bebat mekanik tidak
dianjurkan dan meletakkan pasien pada risiko kerusakan fisik. Karena kooperasi pasien penting dalam
transport yang aman, berikan agen farmakologis termasuk blok neuromuskuler (bila sarana tersedia).

Benzodiazepin (lorazepam 2-5 mg IV ) dan fenothiazin umum digunakan. Pra rumah sakit bisa diberikan
droperidol 5 mg intravena. Blok neuromuskuler aksi singkat aman digunakan pra rumah sakit. Rangsang
nyeri akan meninggikan tekanan intrakranial, hingga pemberian sedasi, analgesia dan blok
neuromuskuler bisa dipertimbangkan, walau bukan tanpa risiko disamping mempengaruhi GCS.

Kadar gula darah kurang dari 80 mg/dl mulai bergejala. Hipoglikemia ringan tampil dengan diaphoresis,
nyeri kepala dan kelemahan pada 75 % pasien. Defisit neurologis fokal dan kejang bisa terjadi. Kadar 30
mg/dl tampil dengan konfusi atau delir. Kadar dibawah 10 mg/dl dengan koma dalam yang mungkin
irreversibel. Kontroversi terjadi pada akurasi strip pemeriksa, dampak perfusi perifer yang buruk
terhadap strip pemeriksa, serta potensi kerusakan akibat pemberian glukosa secara empirik. Dianjurkan
memeriksa kadar gula dari pada memberikan terapi empirik, kecuali bila kadar gula tidak bisa didapat
dan pasien mengalami gangguan status mental tanpa disertai defisit fokal.

TRANSPORTASI

Semua pasien dengan cedera otak traumatika dengan GCS < 9 langsung dirujuk kefasilitas yang
berkemampuan pemeriksaan CT segera, fasilitas bedah saraf memadai, dan fasilitas pengamat tekanan
intrakranial (bila ada) serta kemampuan menindak hipertensi intrakranial.

Pasien dengan GCS 9-13 berpotensi mengalami cedera intrakranial dan tindakan bedah saraf, hingga
harus dirujuk kepusat bedah saraf.

Sebagian kematian akibat cedera adalah tanggung-jawab cedera kepala. Transportasi merupakan bagian
penting yang mempengaruhi outcome. Langkah yang berpengaruh pra rumah sakit adalah :
Informasi lengkap yang dikumpulkan petugas pra rumah sakit dan yang diminta petugas rumah sakit
rujukan seperti apakah pasien sadar, dapat berbicara, membuka mata, atau menggerakkan ekstremitas
dapat membantu menentukan adanya cedera otak.

Penilaian pra rumah sakit atas mekanisme, jenis dan beratnya cedera (parahnya kerusakan kendaraan,
benturan kaca depan, penggunaan sabuk pengaman dan alat pengaman lain), kejadian, dan khususnya
pemeriksaan pasien penting untuk menilai situasi neurologis keseluruhan. Tanda-tanda vital dan
oksimetri denyut nadi bila ada, membantu menemukan hipotensi dan hipoksemia. Skor GCS dan kondisi
pupil memberikan informasi beratnya cedera otak.

Berdasar penilaian pasien, intervensi pra rumah sakit dimulai untuk mencegah hipotensi atau
hipoksemia serta potensi yang mengancam hidup atau kecacadan lainnya. Disini tingkat keterampilan
penolong sangat menentukan mutu intervensi.

Rumah sakit penerima juga menentukan outcome.

Beberapa faktor berpengaruh pada tindakan yang optimal. Untuk perkotaan, waktu tanggap pendek,
rumah sakit banyak, waktu transport singkat, berakibat tindakan lebih cepat dan dekat. Namun dikota
UGD lebih sibuk, jalanan macet, dan protokol mungkin tidak mengizinkan jalan pintas kepusat trauma
lain.

Didaerah yang jauh dari pusat trauma, petugas harus diberi kemudahan memanfaatkan alat transportasi
yang lebih cepat. Bila sarana bedah saraf tidak tersedia, bawa dulu kefasilitas terdekat untuk stabilisasi
pasien, untuk selanjutnya tergantung kebutuhan. Lakukan penilaian neurologis berulang untuk
mengevaluasi atau menemukan setiap perubahan kondisi dan status neurologis pasien selama
perjalanan.

ALGORITMA PENILAIAN DAN TINDAKAN TERHADAP CEDERA OTAK TRAUMATIKA (COT) PRA RUMAH
SAKIT (DENGAN FASILITAS BEDAH SARAF).

Nilai, stabilkan dan tindak pasien berdasar protokol resusitasi dengan memprioritaskan penilaian dan
tindakan atas jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi.

Setelah stabilisasi ABC, nilai pasien dengan bertanya : “Kenapa anda”.

Bila pasien bisa membuka mata, periksa GCS. COT moderat (GCS 9-13) dan COT berat (GCS 3-8) harus
ditransport kepusat trauma.

Bila pasien tidak membuka mata, tekan pangkal kuku atau cubit kulit anterior aksila untuk merangsang
buka mata.

Bila dengan rangsang nyeri tsb. pasien membuka mata, nilai seksi verbal dan motor dari GCS untuk
mendapatkan skor total.
Pasien yang tidak responsif dengan GCS 3-8 harus ditransport ke pusat trauma dengan kemampuan :

CT scan 24 jam.

Sarana bedah saraf dan kamar operasi 24 jam.

Kemampuan monitor tekanan intrakranial (bila ada) dan tindakan terhadap peninggian tekanan
intrakranial.

Pasien GCS 14-15 ditransport ke rumah sakit non pusat trauma, dengan UGD berkemampuan resusitasi
segera pasien kritis.

Pasien yang tidak membuka mata terhadap rangsang nyeri langsung ditransport ke pusat trauma tsb.

Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri pada pangkal kuku dengan posturing
ekstensor, atau pasien yang flaksid, amankan jalan nafas (usahakan intubasi) dan hiperventiasi
(20X/menit untuk dewasa, 30X/menit untuk anak-anak, 35-40X/menit untuk bayi).

Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri pada pangkal kuku atau cubitan ketiak
dengan fleksi abnormal atau respons motor GCS lebih tinggi, namun dengan pupil asimetris dan atau
berdilatasi dan tidak bereaksi cahaya, lakukan hiperventilasi sda.

Semua pasien COT nilai oksigenasinya tiap 5 menit serta saturasi O2 nya dipertahankan > 90. Tekanan
darah sistolik dipertahankan diatas 90 mm Hg pada dewasa dan usia 12-16; 80 mm Hg bagi usia 5-12; 75
mm Hg bagi usia 1-5; dan 65 mm Hg untuk bayi kurang dari 1 tahun.

Karena status neurologis bisa berubah, nilai pasien secara lengkap setiap 5 menit dan tindak atau ubah
tindakan bila perlu.

PENGELOLAAN PASIEN DIRUMAH SAKIT RUJUKAN (DENGAN FASILITAS BEDAH SARAF)

Ikuti protokol trauma.

CEDERA KEPALA RINGAN

Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (SKG 14-15).

(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).

Pengelolaan setelah pasien distabilkan :


1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia,

nyeri kepala, perdarahan hidung / mulut / telinga, kejang

2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik

3. Pemeriksaan neurologis

4. Radiografi tengkorak

5. Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi

6. Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik (bila ada).

7. CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari kriteria

rawat.

Algoritma Pasien COT

Penilaian dan Tindakan padaCedera Otak Traumatika (COT) Pra Rumah Sakit Rujukan.

Nilai, Tindak, Stabilkan ABC.

Apa Pasien Membuka MataTerhadap “Kenapa Anda?”

Nilai Pasien Apa Pasien MembukaMata Terhadap Cubitan Ketiak/Penekanan Pangkal kuku. Amankan
jalan nafas (Intubasi bila tersedia), Hiperventilasi. Nilai Oksigenasi. Pastikan SaO2 > 90% (Bila tersedia).
Nilai Tekanan Darah. Pastikan TDS > 90 mm Hg

Kriteria Rawat:

1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)

2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)

3. Penurunan tingkat kesadaran

4. Nyeri kepala sedang hingga berat

5. Intoksikasi alkohol atau obat

6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)

8. Cedera penyerta yang jelas

9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan

10. CT scan abnormal

Dipulangkan dari UGD:

1. Pasien tidak memiliki kriteria rawat

2. Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah dan jelaskan tentang

'lembar peringatan'

3. Rencanakan untuk kontrol dalam 1 minggu

Majoritas pasien yang datang ke UGD dengan cedera kepala berada pada kategori ini. Pasien dalam
keadaan bangun saat diperiksa dokter namun mungkin amnestik atas kejadian sekitar saat cedera.
Mungkin terdapat riwayat kehilangan kesadaran sebentar yang mungkin dikacaukan oleh alkohol atau
intoksikans lain. 3% pasien secara tidak disangka memburuk dan gawat neurologis bila kelainan status
mentalnya tidak segera diketahui.

Sinar-x tengkorak dilakukan untuk mencari keadaan : fraktura tengkorak linear atau depressed, posisi
kelenjar pineal bila mengalami kalsifikasi, level air-udara dalam sinus, pneumosefalus, fraktura fasial,
dan benda asing, mengikuti panel yang dirancang berdasarkan pada tingkat risiko:

1. Untuk kelompok dengan risiko rendah, dengan tanda-tanda dan gejala-gejala minimal seperti nyeri
kepala, pusing, atau laserasi kulit kepala : pulangkan kelingkungan yang dapat dipertanggung-jawabkan
untuk pengamatan, dengan tidak memerlukan radiografi tengkorak.

2. Untuk kelompok dengan risiko sedang, dengan muntah, intoksikasi alkohol atau obat, amnesia post
traumatika, atau tanda-tanda fraktura basiler atau depressed : pengamatan ketat, pertimbangan untuk
CT scan atau radiografi foto polos serta konsultasi bedah saraf.

3. Untuk kelompok dengan risiko tinggi, dengan gejala-gejala serius seperti tingkat kesadaran yang
tertekan atau menurun, tanda-tanda neurologis fokal atau cedera tembus : konsultasi bedah saraf dan
CT scan emergensi.

Tiga perempat pasien cedera kepala tidak memerlukan sinar-x tengkorak, tidak berarti menyingkirkan
pertimbangan klinis. Tanda klinis basis yang fraktur, hematoma orbital, rhinorrhea atau otorrrhea CSS,
hemotimpanum, atau tanda Battle, harus dianggap bukti fraktura basal dan mengharuskan pasien untuk
dirawat.

Idealnya, CT scan dilakukan pada semua pasien, walau prakteknya serta biayanya, tidak mungkin. Bila
pasien alert serta dibawah pengawasan selama 12-24 jam, dapat ditunda atau bila perlu dibatalkan.

Tidak ada obat-obatan yang dianjurkan kecuali analgesik non narkotik seperti parasetamol. Toksoid
tetanus diberikan bila terdapat luka terbuka. Tes darah rutin tidak perlu bila tidak ada cedera sistemik.

Cedera kepala ringan dengan CT scan normal dipulangkan bila ada yang bertanggung jawab dirumah dan
dengan menyertakan 'lembar peringatan' untuk menempatkan pasien dalam pengamatan ketat sekitar
12 jam dan kembali bila sesuatu terjadi. Bila tidak memiliki relasi yang bertanggung-jawab, pasien tetap
di UGD 12 jam dengan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam dan kemudian dipulangkan bila
stabil.

Bila ditemukan lesi pada CT scan, pasien harus dirawat dan dikelola sesuai perjalanan neurologisnya. CT
scan berikutnya bila terjadi perburukan neurologis.

CEDERA KEPALA SEDANG

Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah
sederhana (SKG 9-13).

Pengelolaan:

Di Unit Gawat Darurat:

1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan

hidung / mulut / telinga, kejang

2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik

3. Pemeriksaan neurologis

4. Radiograf tengkorak bila diduga trauma tembus

5. Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada indikasi

6. Kadar alkohol darah dan skrining toksik dari urin

7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah

8. Tes darah dasar dan EKG


9. CT scan kepala

10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal

Setelah dirawat:

1. Pemeriksaan neurologis setiap setengah jam

2. CT scan bila ada perburukan neurologis

Walau pasien ini tetap mampu mengikuti perintah sederhana, mereka dapat memburuk secara cepat.
Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya terhadap pasien cedera kepala berat, walau mungkin
dengan kewaspadaan yang tidak begitu akut terhadap urgensi.

CEDERA KEPALA BERAT

Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan kesadaran (SKG ≤
8). (Tidak termasuk disini kelompok cedera kepala berat dengan GCS > 8).

PENGELOLAAN INISIAL CEDERA KEPALA BERAT

Prioritas pertama pada pasien cedera kepala adalah resusitasi fisiologis yang lengkap dan cepat. Tidak
ada tindakan spesifik untuk hipertensi intrakranial yang tidak disertai tanda-tanda herniasi tentorial atau
perburukan neurologis progresif yang tidak diakibatkan oleh kelainan ekstrakranial. Bila tanda-tanda
herniasi transtentorial atau perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan ekstrakranial tampil,
pikirkan bahwa hipertensi intrakranial terjadi dan segera tindak dengan agresif. Hiperventilasi segera
lakukan. Mannitol disukai namun dibawah keadaan resusitasi cairan yang adekuat.

Sedasi dan blok neuromuskuler dapat berguna untuk mengoptimalkan transport, namun masing-masing
mempengaruhi pemeriksaan neurologis. Jenis sedatif terserah masing-masing dokter. Blok
neuromuskuler digunakan bila sedasi saja tidak adekuat. Gunakan aksi pendek.

Hipertensi intrakranial berpotensi memperburuk outcome, sayang semua jenis tindakan terhadap
hipertensi intrakranial bukan saja bisa berkomplikasi serius, namun beberapa berpengaruh langsung
terhadap resusitasi, seperti misalnya diuretika.

1). PENGELOLAAN PADA PASIEN TANPA TANDA-TANDA

HERNIASI
Sedasi dan relaksan farmakologis bila perlu untuk transport seperti dijelaskan terdahulu. Mannitol
profilaktik tidak diberikan karena efek deplesi volume oleh kerja diuretiknya. Parameter ventilatori
adalah oksigenisasi optimal dan ventilasi normal.

2). PENGELOLAAN PADA PASIEN DENGAN TANDA-TANDA

HERNIASI

Tindakan seperti dijelaskan terdahulu. Hiperventilasi mudah dicapai dengan menambah tingkat
ventilatori dan tidak tergantung atau terpengaruh oleh keberhasilan resusitasi volume. Karena hipotensi
bisa berakibat perburukan neurologis dan hipertensi intrakranial, mannitol kurang disukai kecuali
resusitasi cairan sudah tercapai. Mannitol diberikan bolus seperti telah dijelaskan. Pasien segera
ditranport.

Tujuan resusitasi adalah perbaikan volume sirkulasi, tekanan darah, oksigenasi dan ventilasi. Tekanan
intrakranial harus dijaga tetap rendah tanpa mempengaruhi tindakan resusitasi. Mannitol dan
hiperventilasi bisa membangkitkan lagi iskemia intrakranial atau mempengaruhi resusitasi hingga
dicadangkan hanya untuk herniasi atau perburukan seperti telah dijelaskan.

1. RESUSITASI TEKANAN DARAH DAN OKSIGENASI

Hipotensi (TDS < 90 mm Hg) atau hipoksia (apnea, sianosis, atau saturasi oksigen < 90 % atau PaO2 < 60
mmHg) harus dimonitor dan dicegah, atau dikoreksi segera. MAP harus dipertahankan diatas 90 mm Hg
dengan infus cairan untuk menjaga tekanan perfusi serebral (CPP) diatas 70 mm Hg. Pasien dengan GCS
< 9, atau jalan nafas tidak dapat dipertahankan atau bagi yang tetap hipoksemik walau suplemen
oksigen diberikan, memerlukan intubasi endotrakheal.

Cairan resusitasi seperti RL, salin normal, salin hipertonis serta mannitol seperti pada tindakan pra
rumah sakit rujukan. Sekali monitor TIK terpasang (bila ada), manipulasi tekanan darah disesuaikan
dengan pengelolaan tekanan perfusi serebral.

Pengelolaan Inisial Cedera Kepala Berat, GCS ≤ 8

Diagnostik / Terapi Emergensi. Evaluasi Trauma Umum. Intubasi Endotrakheal. Resusitasi Cairan.
Ventilasi (PaCO2 35 mm Hg). Oksigenasi. Sedasi. ± Paralisis Farmakologis (aksi pendek).

Herniasi ?* ± Hiperventilasi *
Perburukan ?* ± Mannitol 1 g/kg *

* Hanya bila ada tanda-tanda herniasi atau perburukan neurologis progresif tidak karena kelainan
ekstrakranial.

2. INDIKASI MONITORING TEKANAN INTRAKRANIAL (TIK)

Bila ada, dilakukan terhadap cedera kepala berat dengan CT abnormal. Cedera kepala berat adalah bila
GCS 3-8 setelah resusitasi kardiopulmoner. CT abnormal adalah bila dijumpai hematoma, kontusi
(memar), edema atau sisterna basal yang terkompres. Bila CT normal, monitor dilakukan bila dijumpai
dua atau lebih hal berikut : usia diatas 40 tahun, posturing motor uni atau bilateral, tekanan darah
sistolik < 90 mm Hg. Monitoring tidak rutin bagi cedera kepala ringan atau moderat, kecuali untuk
adanya lesi massa traumatika tertentu.

Sebagian kerusakan otak terjadi akibat impak trauma, namun kerusakan sekunder bisa beberapa jam
hingga beberapa hari kemudian. Kematian dan kesakitan dapat dikurangi dengan pengelolaan intensif
seperti intubasi, transportasi, resusitasi, CT dan evakuasi lesi massa intrakranial segera, serta perawatan
ICU.

TIK (ICP) normal adalah 0-10 mm Hg (0-136 mm air). Umumnya diatas 20 mm Hg dianggap batas untuk
mulai tindakan. Namun tekanan perfusi serebral (CPP) lebih penting dari TIK semata. (CPP=MAP-ICP).
Monitoring TIK adalah untuk mengawasi perfusi otak. Pada pasien hipotensif, peninggian TIK ringan saja
dapat berbahaya. Monitoring TIK saat ini tidak umum dilakukan kecuali pada pusat cedera kepala yang
besar, karena berisiko, makan waktu, perlu tenaga terlatih dan mahal.

3. HIPERVENTILASI

Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, hiperventilasi jangka panjang (PaCO2 ≤ 25
mm Hg) setelah cedera otak traumatika harus dicegah.

Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 ≤ 35 mm Hg) 24 jam pertama setelah cedera otak traumatika harus
dicegah karena memperburuk perfusi saat aliran darah serebral berkurang.

Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa yang singkat bila terjadi perburukan neurologis akut, atau
untuk jangka yang lebih lama pada hipertensi intrakranial yang kebal terhadap sedatif, paralisis, drainase
cairan serebrospinal dan diuretik osmotik.

4. MANNITOL
Efektif mengontrol peninggian tekanan intrakranial pada cedera kepala berat dengan dosis 0,25-1 g/kg
BB. Indikasi adalah herniasi transtentorial dan perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan
ekstrakranial. Cegah hipovolemik dengan penggantian cairan. Osmolalitas serum harus dibawah 320
mOsm/l agar tidak terjadi gagal ginjal. Euvolemia dipertahankan dengan penggantian cairan adekuat.
Kateter foley sangat penting. Bolus intermitten lebih efektif dibanding infus kontinu.

Mannitol penting pada pasien cedera kepala, terutama fase akut bila diduga atau nyata ada peninggian
tekanan intrakranial.

5. BARBITURAT

Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan hipertensi intrakranial dan
hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap tindakan medis atau bedah untuk menurunkan tekanan
intrakranial. Namun risiko dan komplikasi membatasi penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim dan
dilakukan dengan memonitor hemodinamik secara ketat untuk mencegah atau menindak
ketidakstabilan hemodinamik. Pentobarbital diberikan dengan dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam 30
menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3 pemberian, diikuti dosis pemeliharaan 1 mg/kg/jam. Tidak
diberikan untuk profilaksi. Bila dilakukan koma barbiturat, awasi saturasi oksigen arteriovenosa karena
beberapa pasien bisa mengalami hipoksia otak.

6. STEROID

Steroid termasuk methilprednisolon tidak terbukuti bermanfaat memperbaiki outcome atau


menurunkan tekanan intrakranial, karenanya tidak dianjurkan.

7. ANTI KEJANG PROFILAKTIF

Dianjurkan pada kasus dengan risiko kejang tinggi :

GCS < 10.

Kontusi (memar) kortikal, lihat dari CT.

Fraktur tengkorak terdepres.

Hematoma subdural.

Hematoma epidural.

Hematoma intraserebral.

Cedera tembus tengkorak.


Kejang dalam 24 jam sejak cedera.

Alasan pemberian anti kejang adalah bahwa bahwa insidens kejang pasca trauma relatif tinggi hingga
pemberian anti kejang akan memberikan manfaat karena kejang akan meninggikan tekanan intrakranial,
perubahan tekanan darah, perubahan pengangkutan oksigen, dan meningkatkan pelepasan
neurotransmiter. Kejang juga berakibat cedera aksidental, efek psikologis serta hilangnya kemampuan
kontrol. Dipercaya bahwa pencegahan kejang dini mencegah epilepsi kronik karena terbukti kejang
pertama membentuk fokus kejang permanen. Namun anti kejang juga mempunyai berbagai efek
samping hingga hanya diberikan pada keadaan tsb. dan diberikan tidak lebih dari satu minggu. Berikan
Fenitoin atau carbamazepin seperta pra rumah sakit.

8. INDIKASI OPERASI

Lesi massa harus dioperasi bila pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih. Setiap pergeseran dapat dilihat
pada CT scan, angiografi, atau ventrikulografi. Semua hematoma epidural, subdural, atau intraserebral
yang mempunyai pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih harus dievakuasi secara operatif. Hematoma
kecil dengan pergeseran ringan tanpa kelainan neurologi, lakukan pendekatan konservatif, namun bisa
terjadi perburukan, dan pengamatan yang ketat sangat diperlukan. Bila terjadi perburukan, CT ulang
harus dilakukan segera.

Semua lesi massa dengan pergeseran 5 mm atau lebih harus dioperasi, kecuali pasien dalam mati otak.
Dasar pemikiran ini adalah terbukti bahwa beberapa pasien dengan pupil yang non reaktif bilateral,
gangguan respons okulosefalik, dan postur deserebrasi sekalipun dapat mengalami perbaikan.

Pasien kontusi dengan sisterna basal terkompres memerlukan operasi segera. Hematoma lobus
temporal besar ( lebih dari 30 cc) mengharuskan operasi dini.

Bila CT scan tidak dapat dilakukan segera, keputusan operasi berdasarkan ventrikulografi dan
pengamatan TIK. Dari angiogram, temuan berikut ini indikasi operasi :

1. Massa intra atau ekstra aksial menyebabkan pergeseran pembuluh

serebral anterior menyeberang garis tengah sejauh 5 mm atau lebih.

2. Massa ekstra aksial lebih dari 5 mm terhadap tabula interna, bila ia

berhubungan dengan pergeseran arteri serebral anterior atau media

berapapun jauhnya.

3. Massa ekstra aksial bilateral lebih dari 5 mm terhadap tabula

interna. Kecuali untuk pasien dengan atrofi otak yang jelas, setiap

massa intrakranial akan menyebabkan peninggian TIK.


4. Massa lobus temporal menyebabkan pengangkatan arteria serebral

media atau pergeseran garis tengah. Pasien ini berada dalam posisi

paling berbahaya, karena pembengkakan ringan dapat menyebabkan

herniasi tentorial dengan sangat cepat.

Indikasi operasi emergensi lain adalah bila terjadi interval lucid serta bila terjadi herniasi unkal (pupil /
motorik tidak ekual) bila CT tidak tersedia, fraktura terdepres terbuka, dan fraktura terdepres tertutup
yang lebih dari 1 tabula atau lebih dari satu sentimeter kedalamannya. Operasi juga dipertimbangkan
bila pergeseran garis tengah serta massa ekstra aksial yang kurang dari 5 mm namun mengalami
perburukan atau sisterna basal terkompres. Operasi tidak dilakukan bila telah terjadi mati batang otak.

Jalur kritis Mengatasi Hipertensi Intrakranial

Pasang Monitor TIK (bila ada). Pertahankan CPP > 70 mm Hg.

Hipertensi Intrakranial? Ambang tindakan 20-25 mm Hg atau secara klinis (lihat teks).

Kandidat operasi segera dibawa keruang operasi. Bila tidak, pasien dibawa ke ICU. Bila pasien memiliki
lesi massa, mannitol (1 hingga 2 g/kg) harus diberikan dalam perjalanan keruang operasi. Sebagai
tambahan, pasien dapat dihiperventilasi hingga didapat PCO2 arterial 25 hingga 30 mmHg. Untuk semua
tindakan, waktu adalah essensi. Makin cepat lesi massa dievakuasi, makin besar kemungkinan untuk
pemulihan yang lebih baik.

JALUR KRITIS DALAM MENGATASI HIPERTENSI INTRAKRANIAL

Algoritma dibuat dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko. Beberapa tindakan dilakukan
bersamaan segera. Termasuk mengontrol suhu tubuh, pencegahan kejang, peninggian kepala tempat
tidur, pencegahan obstruksi vena juguler, sedasi dengan atau tanpa paralisis, mempertahankan
oksigenasi arterial yang adekuat, serta resusitasi volume lengkap hingga tekanan perfusi serebral 70 mm
Hg atau lebih.

Bila kateter ventrikuler digunakan, drainase cairan serebrospinal harus merupakan tindakan pertama
menurunkan tekanan intrakranial. Ventilasi dilakukan dengan PaCO2 pada batas bawah eukapnia (35
mm Hg). Bila gagal, pikirkan tindakan lain. Bila drain cairan serebrospinal tidak tersedia, tingkat ventilasi
ditingkatkan hingga PaCO2 30-35 mm Hg, 0-5 mm Hg dibawah ambang bawah eukapnia. Bila ada,
lakukan monitor aliran darah serebral dan saturasi vena juguler bila hiperventilasi ditingkatkan. Bila
hipokapnia ringan tidak efektif, berikan mannitol dengan batas osmolalitas serum 320 mOsm/l. Volume
diamati ketat dan dipertahankan euvolemia atau hipervolemia ringan dengan penggantian cairan.
Selama tindakan tetap waspada akan kemungkinan terjadinya massa yang perlu tindakan bedah.

Bila tindakan tsb. gagal, pikirkan pilihan sekunder yang terbukti efektif namun dengan komplikasi nyata
seperti barbiturat, atau yang efektif namun belum terbukti memperbaiki outcome seperti hiperventilasi
hingga PaCO2 dibawah 30 mm Hg serta terapi hipertensif.

RUJUKAN

Chesnut, RM. : Evaluation and Management of Severe Closed Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The
Practice of Neurosurgery. Baltimore : Williams and Wilkins, 1996. 1401-1424.

Austin, RT. : Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The Practice of Neurosurgery. Baltimore : Williams
and Wilkins, 1996. 1611-1622.

Narayan, RK. : Head Injury. In : Robert G Grossman, ed. Principles of Neorosurgery. New York : Raven
Press, 1991. 235-291.

Guidelines for Prehospital Management of Traumatic Brain Injury. Brain Trauma Fondation, New York. ©
2000, Brain Trauma Fondation.

Management and Prognosis of severe traumatic head injury. Part I : Guidelines for the Management of
Severe Traumatic Brain Injury. A joint project of the Brain Trauma Fondation – American Association of
Neurological Surgeons, Joint Section on Neurotrauma and Critical Care. © 2000, Brain Trauma
Fondation.

Kelly, FD, Nikas, DL and Becker, DP : Diagnosis and Treatment of Moderate and Severe Head Injuries in
Adult. In : Youmans, ed. Neurological Surgery. Philadelphia : WB Saunders, 1996. 1618-1718

Tomio Ohta : Head Injury. In : Tomio Ohta, ed. Illustrated Neurosurgery. Kyoto : Kinpodo, 1996. 51-81.

Anda mungkin juga menyukai