Anda di halaman 1dari 10

DRAFT STANDAR ASUHAN

KEPERAWATAN
EDEMA CEREBRI

Nomor Revisi : Halaman :


Dokumen :
Tanggal Disusun oleh : Diperiksa oleh :
terbit : Komite Keperawatan RSUD Kasie Keperawatan RSUD Bagas
Bagas Waras Klaten Waras Klaten
Ketua

SAK Sarjono, S.Kep. Ns.


NIP. 197208141994031008
Siswandi, SKM. M.Kes
NIP. 197206171995031002
Ditetapkan oleh :
Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Bagas Waras Klaten

dr. Limawan Budi Wibowo, M. Kes


NIP. 19660103 199602 1 002
STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN
EDEMA CEREBRI

G. PENGERTIAN
Edema cerebri adalah keadaan patologis terjadinya akumulasi cairan di dalam
jaringan otak sehingga meningkatkan volume otak. Dapat terjadi peningkatan
volume intraseluler (lebih banyak di daerah substansia grisea) maupun ekstraseluler
(daerah substansia alba), yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial.5,7
Edema cerebri adalah meningkatnya volume otak akibat pertambahan jumlah air
di dalam jaringan otak sebagai reaksi terhadap proses-proses patologis lokal ataupun
pengaruh-pengaruh umum lainnya yang merusak.2

H. PATOFISIOLOGI
I. Vasogenic edema
Pada vasogenic edema, terdapat peningkatan volume cairan ekstrasel yang
berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler. Vasogenic edema ini
disebabkan oleh faktor tekanan hidrostatik, terutama meningkatnya tekanan
darah dan aliran darah dan oleh factor osmotic. Ketika protein dan
makromolekur lain memasuki rongga ekstraseluler otak karena kerusakan sawar
darah otak, kadar air dan natrium pada rongga ekstraseluler juga meningkat.
Vasogenic edema ini lebih terakumulasi pada substansia alba cerebral karena
perbedaan compliance antara substansia abla dan grisea. Edema vasogenic ini
juga disebut edema basah karena pada beberapa kasus, potongan permukaan otak
nampak cairan edema.
Tipe edema ini terlihat sebagai respon terhadap trauma, tumor, inflamasi fokal,
stadium akhir dari iskemia cerebral.8,9
J. Edema Sititoksik
Pada edema sitotoksik terdapat peningkatan volume cairan intrasel, yang
berhubungan dengan kegagalan dari mekanisme energy yang secara normal tetap
mencegah air memasuki sel, mencakup fungsi yang inadekuat dari pompa natrium
dan kalium pada membrane sel glia.
Neuron, glia dan sel endotelial pada substansia alba dan grisea menyerap air dan
membengkak.9
Pembengkakan otak berhubungan dengan edema sititoksik yang berarti terdapat
volume yang besar dari sel otak yang mati. Yang akan berakibat sangat buruk,
edema sitotoksik ini sering di istilahkan dengan edema kering. Edema sitotoksik
terjadi bila otak mengalami kerusakan yang berhubungan dengan hipoksia,
iskemia, abnormalitas metabolic (uremia, ketoasidosis, metabolic), intoksikasi
(dimetrofenol, triethylitin, hexachlrophenol, isoniazid) dan pada sindrom reye,
Hipoksia Berat.
K. Edema Osmotic
Apabila tekanan osmotik plasma turun > 12%, akan terjadi edema serebri dan
kenaikan TIK. Hal ini dapat dibuktikan pada binatang percobaan dengan infus air
suling, yang menunjukkan kenaikan volume air. Pada edema serebri osmotik
tidak ada kelainan pada pembuluh darah dan membran sel.3,9
L. Edema Interstitial
Edema interstisial adalah peningkatan volume cairan ekstrasel yang terjadi pada
substansia alba periventrikuler karena transudasi cairan serebrospinal melalui
dinding ventrikel ketika tekanan intraventrikuler meningkat.3
M. ETIOLOGI
Edema cerebri dapat muncul pada kondisi neurologis dan nonneurologis:9
N. Kondisi neurologis : Stroke iskemik dan perdarahan intraserebral, trauma
kepala, tumor otak, dan infeksi otak.
O. Kondisi non neurologis : Ketoasidosis diabetikum, koma asidosis laktat,
hipertensi maligna, ensefalopati, hiponatremia, ketergantungan pada opioid,
gigitan reptil tertentu, atau high altitude cerebral edema (HACE).

P. MANIFESTASI KLINIS
Pada kondisi terjadi peningkatan tekanan intrakranial dapat ditemukan tanda
dan gejala berupa:9
i. Nyeri kepala hebat.
ii. Muntah, dapat proyektil maupun tidak.
iii. Penglihatan kabur.
iv. Gangguan kesadaran dan perubahan mental (berupa confusion sampai
sindroma otak organis)

Q. PEMERIKSAAN PENUNJANG
i. Sinar-X
Radiograf tengkorak polos adalah pemeriksaan pertama pada pasien dengan
gejala SSP dan tetap bermanfaat. Erosi dorsum sellae oleh pulsasi ventrikel ketiga
adalah gambaran khas peninggian TIK dan bila foto polos digunakan secara
rutin, dapat ditemukan pada sepertiga pasien namun hanya setelah sakit 5-6 bulan.
Kelenjar pineal yang tergeser, erosi tulang, kalsifikasi abnormal dan hiperostosis
tidaklah merupakan tanda spesifik dari lesi desak ruang, jadi tidak harus berarti
peninggian TIK. Pada anak-anak, radiograf tengkorak tetap bernilai pada tes
skrining. Baik peninggian TIK akut maupun kronik hingga usia 8-9 tahun
menyebabkan diastasis (splitting) sutura dan erosi dorsum sellae. Peninggian
TIK kronik mungkin juga berakibat penipisan vault tengkorak dan impresi
konvolusional pada bagian atas tulang frontal dan parietal.5,7
ii. Tomografi Terkomputer
Yang paling berguna pada pemeriksaan pasien dengan dugaan peninggian
TIK adalah tomografi terkomputer (CT scan). Karena sangat akurat, cepat
dan aman. Tanda yang paling berguna dari berkurangnya cadangan TIK adalah
pergeseran garis tengah, obliterasi sisterna CSS sekeliling batang otak,
dilatasi ventrikel kontralateral, penyempitan sulci serebral, dan pada cedera
kepala adanya clott kecil multipel intraserebral. Bila obstruksi aliran CSS mulai
berakibat pada ukuran ventrikular, tanda pertama adalah dilatasi tanduk
temporal.

iii. Pencitraan Resonansi Magnetik


Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna pada pemeriksaan
penderita yang diduga mempunyai peninggian TIK namun bukan pemeriksaan
yang pertama pada pasien. Pemeriksaan ini lebih mahal, lebih lambat dalam
pengerjaannya dan lebih memerlukan kerjasama dengan pasien dibanding CT
scan; lebih rumit melaksanakannya untuk pasien yang memerlukan pemantauan
atau sistem life support.7,8

R. PENATALAKSANAAN
S. Non Medika Mentosa
T. Posisi Kepala dan Leher. Posisi kepala harus netral dan kompresi vena
jugularis harus dihindari. Fiksasi endotracheal tube (ETT) dilakukan dengan
menggunakan perekat yang kuat dan jika posisi kepala perlu diubah harus
dilakukan dengan hati-hati dan dalam waktu sesingkat mungkin. Untuk
mengurangi edema otak dapat dilakukan elevasi kepala 30°.
U. Ventilasi dan Oksigenasi. Keadaan hipoksia dan hiperkapnia harus dihindari
karena merupakan vasodilator serebral poten yang menyebabkan
penambahan volume darah otak sehingga terjadi peningkatan TIK,
terutama pada pasienm dengan pernicabilitas kapiler yang abnormal. Intubasi
dan ventilasi mekanik diindikasikan jika ventilasi atau oksigenasi pada
pasien edema otak buruk. Sasaran pCO2, yang diharapkan adalah 30-35
mmHg agar menimbulkan vasokonstriksi serebral sehingga menurunkan
volume darah serebral.5,9

Medikamentosa
V. Analgesik, Sedasi, dan Zat Paralitik. Nyeri, kecemasan, dan agitasi
meningkatkan kebutuhan metabolisme otak, aliran darah otak, dan tekanan
intrakranial. Oleh karena itu, analgesik dan sedasi yang tepat diperlukan
untuk pasien edema otak. Pasien yang menggunakan ventilator atau ETT
harus diberi sedasi supaya tidak memperberat TIK. Obat sedasi yang
sering digunakan untuk pasien neurologi diantaranya adalah opiat,
benzodiazepin, dan propofol. Nyeri dan agitasi dapat memperburuk oedem
cerebri dan meningkatkan tekanan intrakranial secara signifikan. Pemberian
bolus morphine (2-5 mg) dan fentanyl (25 -50 mikrogram) atau intravenous
infusion fentanyl (25 - 200 mikrogram/jam) dapat digunakan sebagai
analgetik.9
W. Penatalaksanaan Cairan. Osmolalitas serum yang rendah dapat
menyebabkan edema sitotoksik sehingga harus dihindari. Keadaan ini dapat
dicegah dengan pembatasan ketat pemberian cairan hipotonik. Pada
umumnya kebutuhan cairan ialah 30ml/kgBB/hari. Balans cairan
diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah dengan
pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin sehari ditambah
500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak nampak). Umumnya semua lesi
intracranial diberikan 85% dari kebutuhan normal. Karena pada masa akut
ada retensi cairan sehingga bila diberikan cairan yang banyak, dapat jadi
semakin edema.5,7,9
X. Penatalaksanaan Tekanan Darah. Tekanan darah yang ideal dipengaruhi
oleh penyebab edema otak. Pada pasien stroke dan trauma, tekanan darah
harus dipelihara dengan cara menghindari kenaikan tekanan darah tiba-tiba
dan hipertensi yang sangat tinggi untuk menjaga perfusi tetap adekuat.
Tekanan perfusi serebral harus tetap terjaga di atas 60-70 mmHg
pascatrauma otak. Penggunaan obat penurun tekanan darah masih
kontroversial dalam kasus- kasus perdarahan intraserebral, tetapi aman untuk
mengobati hipertensi pada fase akut, dan penggunaan ini dapat mengurangi
risiko pertumbuhan hematoma awal. Pada pasien dengan stroke iskemik,
penurunan tekanan darah yang cepat merugikan dalam fase akut (24 - 48 jam
pertama) karena dapat menghasilkan memburuknya defisit neurologis dari
hilangnya perfusi di penumbra. Tekanan darah normal juga harus menjadi
tujuan pada pasien dengan lesi terutama terkait dengan edema vasogenic,
seperti tumor dan massa inflamasi atau infeksi.9
Y. Pencegahan Kejang, Demam, dan Hiperglikemi. Kejang, demam, dan
hiperglikemi merupakan faktor-faktor yang dapat memperberat sehingga
harus dicegah atau diterapi dengan baik bila sudah terjadi. Penggunaan
antikonvulsan profilaktik seringkali diterapkan dalam praktek klinis. Bisa
digunakan fenitoin 2 x 100mg. Manfaat penggunaan profilaksis
antikonvulsan tetap tidak terbukti pada pasien dengan kondisi yang paling
beresiko menyebabkan edema otak. Ada beberapa bukti bahwa aktivitas
epilepsi subklinis mungkin terkait dengan perkembangan pergeseran garis
tengah (midline shifting) dan hasil yang buruk setidaknya pada pasien kritis
dengan pendarahan intraserebral. Demam dan hiperglikemia memperburuk
kerusakan otak iskemik dan nyatanya dapat memperburuk edema cerebri.
Normothermia ketat dan normoglycemia (yaitu, glukosa darah paling tidak di
bawah 120 mg / dL) harus dijaga setiap saat.
Z. Terapi Osmotik. Manitol dan Salin Hipertonik adalah 2 agen osmotik yang
paling sering digunakan untuk memperbaiki edema otak dan hipertensi
intracranial.5,7,9
a. Manitol
Dosis awal manitol 20% 1-1,5 g/kgBB IV bolus, diikuti dengan 0,25- 0,5
g/kgBB IV bolus tiap 4-6 jam. Efek mak-simum terjadi setelah 20 menit
pemberian dan durasi kerjanya 4 jam. Pernberian manitol ini harus disertai
pemantauan kadar osmolalitas serum. Osmolalitas darah yang terlalu tinggi
akan meningkatkan risiko gagal ginjal (terutama pada pasien yang
sebelumnya sudah mengalami volume depletion). Kadar osmolalitas serum
tidak boleh lebih dan 320 mOsmol/L.9 Komplikasi paling biasa dari terapi
manitol ialah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, edema kardiopulmonal
dan rebound edema serebri. Manitol juga bisa menyebabkan gagal ginjal
pada dosis terapetik dan reaksi hipersensitivitas bisa terjadi. Walaupun ada
beberapa laporan yang tidak dapat membuktikan efek yang menguntungkan
dari manitol pada stroke iskemik/ hemoragik. American Heart Assosiation
merekomendasikan penggunaan manitol secara luas digunakan pada stroke
akut di seluruh dunia.9
b. Salin Hipertonik
Cairan salin hipertonik (NaC1 3%) juga dapat digunakan sebagai alternatif
pengganti manitol dalam terapi edema otak. Mekanisme kerjanya kurang
lebih sama dengan manitol, yaitu dehidrasi osmotik.Larutan hipertonik saline
2,3 dan 7,5 % mengandung sodium chloride dan sodium acetat yang
sama (50 : 50) untuk menghindari terjadinya hyperchloremic acidosis.
Hipertonik saline diberikan melalui kateterisasi vena sentral untuk
mendapatkan euvolemia atau sedikit hipervolemia (1-2 ml/kg/hr). Pemberian
250 ml bolus hipertonik saline dapat diberikan jika dibutuhkan untuk agresif
resusitasi. Tujuan pemberian hipertonik saline yaitu untuk meningkatkan
kadar konsentrasi sodium dengan rentang 145 - 155 mEq/l. Level kadar
sodium ini dipertahankan selama 48 - 72 jam sampai pasien menunjukan
kemajuan secara klinik atau sampai tidak memberikan respon yang adekuat.

AA. Barbiturat
Barbiturat dapat menurunkan tekanan intrakranial secara efektif pada pasien
cedera kepala berat dengan hemodinamik yang stabil. Terapi ini biasanya
digunakan pada kasus yang refrakter terhadap pengobatan lain maupun
penanganan TIK dengan pembedahan. Pemberian dengan injeksi intravena secara
bolus dari pentobarbital (3-10 mg/kg) diikuti dengan infus intravena yang
berkelanjutan (0,5 - 3,0 mg/kg/hari) yang diterapi hingga terjadi penurunan ICP
atau "burst- suppression pattern" yang dimonitoring dengan
electroencephalographic, pemberian dilakukan selama 48 - 72 jam, penghentian
terapi dilakukan dengan cara tappering off sebanyak 50 % dari dosis awal.
Efek samping pemberian barbiturates yaitu vasodepressor sehingga dapat
menurunkan tekanan pembuluh darah sistemik, cardiodepression,
immunosuppresion dan sistemik hipotermia.9
BB. Furosemid
Belum ada penelitian mengenai dosis terapi yang diberikan. Cara meningkatkan
kadar sodium dengan cepat yaitu dengan pemberian bolus furosemid (10 - 20 mg)
untuk meningkatkan eksresi air dan menggantinya dengan 250 ml iv bolus 2 atau
3 % hypertonik saline. Terkadang dikombinasikan dengan manitol. Terapi
kombinasi ini telah terbukti berhasil pada beberapa penelitian. Furosemid dapat
meningkatkan efek manitol, namun harus diberikan dalam dosis tinggi, sehingga
risiko terjadinya kontraksi volume melampaui manfaat yang diharapkan. Peranan
asetasolamid, penghambat karbonik anhidrase yang mengurangi produksi CSS,
terbatas pada pasien high-altitude illness dan hipertensi intrakranial benigna.
Induksi hipotermi telah digunakan sebagai intervensi neuroproteksi pada pasien.
dengan lesi serebral akut.9
CC. Steroid
Glukokortikoid efektif untuk mengatasi edema vasogenik yang menyertai tumor,
peradangan, dan kelainan lain yang berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas sawar darah-otak, termasuk akibat manipulasi pembedahan.
Namun, steroid tidak berguna untuk mengatasi edema sitotoksik dan berakibat
buruk pada pasien iskemi otak.

Deksametason paling disukai karena aktivitas mineralokorti-koidnya yang sangat


rendah. Dosis awal adalah 10 mg IV atau per oral, dilanjutkan dengan 4 mg
setiap 6 jam. Dosis ini ekuivalen dengan 20 kali lipat produksi kortisol normal
yang fisiologis. Responsnya seringkali muncul dengan cepat namun pada
beberapa jenis tumor hasilnya kurang responsif. Dosis yang lebih tinggi, hingga
90 mg/hari, dapat diberikan pada kasus yang refrakter. Setelah penggunaan
selama berapa hari, dosis steroid harus diturunkan secara bertahap (tape* off)
untuk menghindari komplikasi serius yang mungkin timbul, yaitu edema rekuren
dan supresi kelenjar adrenal.

Deksametason kini direkomendasikan untuk anak > 2 bulan penderita meningitis


bakterialis. Dosis yang dianjurkan adalah 0,15 mg/kg IV setiap 6 jam pada 4
hari pertama pengobatan disertai dengan terapi antibiotik. Dosis pertama harus
diberikan sebelum atau bersamaan dengan terapi antibiotik.9

Operatif

Pada pasien dengan peningkatan TIK, drainase cairan serebrospinal adalah ukuran
pengobatan cepat dan sangat efektif. Pernyataan ini berlaku bahkan jika tidak ada
hidrosefalus. Sayangnya, drainase ventrikular eksternal membawa risiko besar
ventriculitis, bahkan di bawah perawatan terbaik.

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko perfusi serebral dibuktikan dengan oedema serebral

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan dan kelumpuhan

3. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik

4. Defisit pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan berhubungan dengan

keterbatasan koognitif, kesalahan interpretasi informasi, kurang mengingat.

5. Risiko jatuh dibuktikan dengan penurunan tingkat kesadaran

KEPUSTAKAAN
H. Bickley, Lynn S : Buku Ajar Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan Bates.
2009. Edisi 8. Jakarta : EGC.
I. Harsono. Buku Anjar Neurologi Klinis, Yogyakarta; UGM Press, 2005
J. Goetz GC.Cerebrospinal Fluid And Intracranial Pressure in: Clinical
Neurology 2th edition. 2003. Phlidelphia: Elsevier Science. P511-529.
K. Grant A, Anne W. The Nervous System In: Anatomy And Physiology In
Health An Illness 9th Edition.2001. London: Curchill Livingstone. P148-51
L. Lt Col SK Jha (Retd). Cerebral Edema and its Management. 2003.
http://medind.nic.in/maa/t03/i4/maat03i4p326.pdf. Diakses tanggal 30
November 2013
M. Moore, Keith L., R. Anne M : Anatomi Klinis Dasar. 2002. Jakarta :
Hipokrates
N. Panitia Lulusan Dokter 2002-2003 FKUI, Update In Neuroemergencies, Balai
Penerbit FKUI Jakarta, 2002. 24-26.
O. Price S.A. Sistem saraf. In: Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. 2002. Jakarta: EGC.
P. Suwono Wita J., Dewanto George, Riyanto Budi,dkk. Panduan Praktis
Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta. EGC

Arif

Anda mungkin juga menyukai