PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Edema cerebri adalah keadaan patologis terjadinya akumulasi cairan di
dalam jaringan otak sehingga meningkatkan volume otak. Dapat terjadi
peningkatan volume intraseluler (lebih banyak di daerah substansia grisea)
maupun ekstraseluler (daerah substansia alba), yang menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial (Jha, 2003).
Edema cerebri adalah meningkatnya volume otak akibat pertambahan
jumlah air di dalam jaringan otak sebagai reaksi terhadap proses-proses
patologis lokal ataupun pengaruh-pengaruh umum lainnya yang merusak.
(Harsono, 2005).
2.2. Etiologi
Edema cerebri dapat muncul pada kondisi neurologis dan non neurologis :
Kondisi neurologis : Stroke iskemik dan perdarahan intraserebral,
trauma kepala, tumor otak, dan infeksi otak.
Kondisi non neurologis : Ketoasidosis diabetikum, koma asidosis laktat,
hipertensi maligna, ensefalopati, hiponatremia, ketergantungan pada
opioid, gigitan reptil tertentu, atau high altitude cerebral edema (HACE)
(Suwono, George, & Riyanto).
Berdasarkan lokalisasi cairan dalam jaringan otak :
a. Edema cerebri ekstraseluler, bila kelebihan air terutama dalam substansia
alba
b. Edema cerebri intraseluler, bila kelebihan air terutama dalam substansia
grisea
Berdasarkan Patofisiologi
1. Edema cerebri vasogenik
Paling sering dijumpai di klinik. Gangguan utama pada blood brain
barrier. Permeabilitas sel endotel kapiler meningkat sehingga air dan
komponen yang terlarut keluar dari kapiler masuk ruangan ekstraseluler,
2
sehingga cairan ekstraseluler bertambah. Jenis edema ini dijumpai pada
trauma kepala, iskemia otak,tumor otak, hipertensi maligna, perdarahan otak
dan berbagai penyakit yang merusak pembuluh darah otak (Suwono, George,
& Riyanto).
2. Edema cerebri sitotoksik
Kelainan dasar terletak pada semua unsur seluler otak (neuron, glia dan
endotel kapiler). Pompa Na tidak berfungsi dengan baik, sehingga ion Na
tertimbun dalam sel,mengakibatkan kenaikan tekanan osmotik intraseluler
yang akan menarik cairan masuk ke dalam sel. Sel makin lama makin
membengkak dan akhirnya pecah. Akibat pembengkakan endotel kapiler,
lumen menjadi sempit, iskemia otakmakin hebat karena perfusi darah
terganggu.
Pada binatang percobaan, pemakaian bakterisid yang luas pada kulit
seperti heksaklorofen dan bahan yang mengandung and, seperti trietil tin,
dapat menimbulkan edema sitotoksik.
Edema serebri sitotoksik sering ditemukan pada hipoksia/ anoksia
(cardiac arrest),iskemia otak, keracunan air dan intoksikasi zat-zat kimia
tertentu. Juga sering bersama-samadengan edema serebri vasogenik, misalnya
pada stroke obstruktif (trombosis, emboli serebri) dan meningitis (Suwono,
George, & Riyanto).
3. Edema cerebri osmotic
Edema terjadi karena adanya perbedaan tekanan osmotic antara plasma
darah (intravaskuler) dan jaringan otak (ekstravaskuler).
4. Edema cerebri hidrostatik/interstisial
Dijumpai pada hidrosefalus obstruktif. Karena sirkulasi terhambat,
cairan srebrospinal merembes melalui dinding ventrikel, meningkatkan
volume ruang ekstraseluler (Suwono, George, & Riyanto).
2.3. Patofisiologi
a.) Vasogenic Edema
Pada vasogenic edema, terdapat peningkatan volume cairan ekstrasel
yang berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler. Vasogenic
3
edema ini disebabkan oleh faktor tekanan hidrostatik, terutama meningkatnya
tekanan darah dan aliran darah dan oleh factor osmotic. Ketika protein dan
makromolekur lain memasuki rongga ekstraseluler otak karena kerusakan
sawar darah otak, kadar air dan natrium pada rongga ekstraseluler juga
meningkat.
Vasogenic edema ini lebih terakumulasi pada substansia alba cerebral
karena perbedaan compliance antara substansia abla dan grisea. Edema
vasogenic ini juga disebut edema basah karena pada beberapa kasus, potongan
permukaan otak nampak cairan edema.
Tipe edema ini terlihat sebagai respon terhadap trauma, tumor,
inflamasi fokal, stadium akhir dari iskemia cerebral.
4
metabolic), intoksikasi (dimetrofenol, triethylitin, hexachlrophenol, isoniazid)
dan pada sindrom reye, Hipoksia Berat.
5
Gambar: mekanisme pengaliran CSF dan hambatan yang dapat
menimbulkan hidrosefalus.
6
pola Cheyne-Stokes, kemudian timbul hiperventilasi, diikuti dengan
respirasi yang ireguler, apnea, dan kematian.
Gambaran papiledema pada funduskopi; ditandai dengan bata papil
yang tidak tegas, serta cup and disc ratio lebih dari 0,2
Gangguan fungsi gait bila edema membesar dan menekan
cerebellum (Harsono, 2005).
2.6 Penatalaksanaan
Non Medikamentosa
1. Posisi Kepala dan Leher. Posisi kepala harus netral dan kompresi vena
jugularis harus dihindari. Fiksasi endotracheal tube (ETT) dilakukan
dengan menggunakan perekat yang kuat dan jika posisi kepala perlu
diubah harus dilakukan dengan hati-hati dan dalam waktu sesingkat
7
mungkin. Untuk mengurangi edema otak dapat dilakukan elevasi kepala
30°.
2. Ventilasi dan Oksigenasi. Keadaan hipoksia dan hiperkapnia harus
dihindari karena merupakan vasodilator serebral poten yang
menyebabkan penambahan volume darah otak sehingga terjadi
peningkatan TIK, terutama pada pasienm dengan pernicabilitas kapiler
yang abnormal. Intubasi dan ventilasi mekanik diindikasikan jika
ventilasi atau oksigenasi pada pasien edema otak buruk. Sasaran pCO 2,
yang diharapkan adalah 30-35 mmHg agar menimbulkan vasokonstriksi
serebral sehingga menurunkan volume darah serebral. (Price, 2002)
Medikamentosa
a) Analgesik, Sedasi, dan Zat Paralitik. Nyeri, kecemasan, dan agitasi
meningkatkan kebutuhan metabolisme otak, aliran darah otak, dan
tekanan intrakranial. Oleh karena itu, analgesik dan sedasi yang tepat
diperlukan untuk pasien edema otak. Pasien yang menggunakan
ventilator atau ETT harus diberi sedasi supaya tidak memperberat TIK.
Obat sedasi yang sering digunakan untuk pasien neurologi diantaranya
adalah opiat, benzodiazepin, dan propofol. Nyeri dan agitasi dapat
memperburuk oedem cerebri dan meningkatkan tekanan intrakranial
secara signifikan. Pemberian bolus morphine (2-5 mg) dan fentanyl (25
-50 mikrogram) atau intravenous infusion fentanyl (25 - 200
mikrogram/jam) dapat digunakan sebagai analgetik.
b) Penatalaksanaan Cairan. Osmolalitas serum yang rendah dapat
menyebabkan edema sitotoksik sehingga harus dihindari. Keadaan ini
dapat dicegah dengan pembatasan ketat pemberian cairan hipotonik.
Pada umumnya kebutuhan cairan ialah 30ml/kgBB/hari. Balans cairan
diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah dengan
pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin sehari ditambah
500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak nampak).
8
Umumnya semua lesi intracranial diberikan 85% dari kebutuhan
normal. Karena pada masa akut ada retensi cairan sehingga bila
diberikan cairan yang banyak, dapat jadi semakin edema.
c) Penatalaksanaan Tekanan Darah. Tekanan darah yang ideal
dipengaruhi oleh penyebab edema otak. Pada pasien stroke dan trauma,
tekanan darah harus dipelihara dengan cara menghindari kenaikan
tekanan darah tiba-tiba dan hipertensi yang sangat tinggi untuk menjaga
perfusi tetap adekuat. Tekanan perfusi serebral harus tetap terjaga di
atas 60-70 mmHg pascatrauma otak.
Penggunaan obat penurun tekanan darah masih kontroversial
dalam kasus-kasus perdarahan intraserebral, tetapi aman untuk
mengobati hipertensi pada fase akut, dan penggunaan ini dapat
mengurangi risiko pertumbuhan hematoma awal. Pada pasien dengan
stroke iskemik, penurunan tekanan darah yang cepat merugikan dalam
fase akut (24 - 48 jam pertama) karena dapat menghasilkan
memburuknya defisit neurologis dari hilangnya perfusi di penumbra.
Tekanan darah normal juga harus menjadi tujuan pada pasien dengan
lesi terutama terkait dengan edema vasogenic, seperti tumor dan massa
inflamasi atau infeksi.
d) Pencegahan Kejang, Demam, dan Hiperglikemi. Kejang, demam,
dan hiperglikemi merupakan faktor-faktor yang dapat memperberat
sehingga harus dicegah atau diterapi dengan baik bila sudah terjadi.
Penggunaan antikonvulsan profilaktik seringkali diterapkan dalam
praktek klinis. Bisa digunakan fenitoin 2 x 100mg. Manfaat
penggunaan profilaksis antikonvulsan tetap tidak terbukti pada pasien
dengan kondisi yang paling beresiko menyebabkan edema otak. Ada
beberapa bukti bahwa aktivitas epilepsi subklinis mungkin terkait
dengan perkembangan pergeseran garis tengah (midline shifting) dan
hasil yang buruk setidaknya pada pasien kritis dengan pendarahan
intraserebral. Demam dan hiperglikemia memperburuk kerusakan otak
iskemik dan nyatanya dapat memperburuk edema cerebri.
9
Normothermia ketat dan normoglycemia (yaitu, glukosa darah paling
tidak di bawah 120 mg / dL) harus dijaga setiap saat.
e) Terapi Osmotik. Manitol dan Salin Hipertonik adalah 2 agen osmotik
yang paling sering digunakan untuk memperbaiki edema otak dan
hipertensi intracranial.
Manitol
Dosis awal manitol 20% 1-1,5 g/kgBB IV bolus, diikuti dengan
0,25-0,5 g/kgBB IV bolus tiap 4-6 jam. Efek mak-simum terjadi setelah
20 menit pemberian dan durasi kerjanya 4 jam. Pernberian manitol ini
harus disertai pemantauan kadar osmolalitas serum. Osmolalitas darah
yang terlalu tinggi akan meningkatkan risiko gagal ginjal (terutama
pada pasien yang sebelumnya sudah mengalami volume depletion).
Kadar osmolalitas serum tidak boleh lebih dan 320 mOsmol/L.
Komplikasi paling biasa dari terapi manitol ialah ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit, edema kardiopulmonal dan rebound edema
serebri. Manitol juga bisa menyebabkan gagal ginjal pada dosis
terapetik dan reaksi hipersensitivitas bisa terjadi. Walaupun ada
beberapa laporan yang tidak dapat membuktikan efek yang
menguntungkan dari manitol pada stroke iskemik/ hemoragik.
American Heart Assosiation merekomendasikan penggunaan manitol
secara luas digunakan pada stroke akut di seluruh dunia.
Cairan Hipertonik
Cairan salin hipertonik (NaC1 3%) juga dapat digunakan sebagai
alternatif pengganti manitol dalam terapi edema otak. Mekanisme
kerjanya kurang lebih sama dengan manitol, yaitu dehidrasi
osmotik.Larutan hipertonik saline 2,3 dan 7,5 % mengandung sodium
chloride dan sodium acetat yang sama (50 : 50) untuk menghindari
terjadinya hyperchloremic acidosis. Hipertonik saline diberikan melalui
kateterisasi vena sentral untuk mendapatkan euvolemia atau sedikit
hipervolemia (1-2 ml/kg/hr). Pemberian 250 ml bolus hipertonik saline
dapat diberikan jika dibutuhkan untuk agresif resusitasi. Tujuan
pemberian hipertonik saline yaitu untuk meningkatkan kadar
10
konsentrasi sodium dengan rentang 145 - 155 mEq/l. Level kadar
sodium ini dipertahankan selama 48 - 72 jam sampai pasien
menunjukan kemajuan secara klinik atau sampai tidak memberikan
respon yang adekuat (Susanti & Handryastuti, 2013).
Barbiturat
Barbiturat dapat menurunkan tekanan intrakranial secara efektif pada
pasien cedera kepala berat dengan hemodinamik yang stabil. Terapi ini
biasanya digunakan pada kasus yang refrakter terhadap pengobatan lain
maupun penanganan TIK dengan pembedahan.
Pemberian dengan injeksi intravena secara bolus dari pentobarbital (3-
10 mg/kg) diikuti dengan infus intravena yang berkelanjutan (0,5 - 3,0
mg/kg/hari) yang diterapi hingga terjadi penurunan ICP atau "burst-
suppression pattern" yang dimonitoring dengan
electroencephalographic, pemberian dilakukan selama 48 - 72 jam,
penghentian terapi dilakukan dengan cara tappering off sebanyak 50 %
dari dosis awal. Efek samping pemberian barbiturat yaitu vasodepressor
sehingga dapat menurunkan tekanan pembuluh darah sistemik,
cardiodepression, immunosuppresion dan sistemik hipotermia.
Furosemid
Belum ada penelitian mengenai dosis terapi yang diberikan. Cara
meningkatkan kadar sodium dengan cepat yaitu dengan pemberian
bolus furosemid (10 - 20 mg) untuk meningkatkan eksresi air dan
menggantinya dengan 250 ml iv bolus 2 atau 3 % hypertonik saline.
Terkadang dikombinasikan dengan manitol. Terapi kombinasi ini telah
terbukti berhasil pada beberapa penelitian. Furosemid dapat
meningkatkan efek manitol, namun harus diberikan dalam dosis tinggi,
sehingga risiko terjadinya kontraksi volume melampaui manfaat yang
diharapkan. Peranan asetasolamid, penghambat karbonik anhidrase
yang mengurangi produksi CSS, terbatas pada pasien high-altitude
illness dan hipertensi intrakranial benigna. Induksi hipotermi telah
digunakan sebagai intervensi neuroproteksi pada pasien. dengan lesi
serebral akut.
11
Steroid
Glukokortikoid efektif untuk mengatasi edema vasogenik yang
menyertai tumor, peradangan, dan kelainan lain yang berhubungan
dengan peningkatan permeabilitas sawar darah-otak, termasuk akibat
manipulasi pembedahan. Namun, steroid tidak berguna untuk mengatasi
edema sitotoksik dan berakibat buruk pada pasien iskemi otak.
Deksametason paling disukai karena aktivitas mineralokorti-
koidnya yang sangat rendah. Dosis awal adalah 10 mg IV atau per oral,
dilanjutkan dengan 4 mg setiap 6 jam. Dosis ini ekuivalen dengan 20
kali lipat produksi kortisol normal yang fisiologis. Responsnya
seringkali muncul dengan cepat namun pada beberapa jenis tumor
hasilnya kurang responsif. Dosis yang lebih tinggi, hingga 90 mg/hari,
dapat diberikan pada kasus yang refrakter. Setelah penggunaan selama
berapa hari, dosis steroid harus diturunkan secara bertahap (tape* off)
untuk menghindari komplikasi serius yang mungkin timbul, yaitu
edema rekuren dan supresi kelenjar adrenal.
Deksametason kini direkomendasikan untuk anak > 2 bulan
penderita meningitis bakterialis. Dosis yang dianjurkan adalah 0,15
mg/kg IV setiap 6 jam pada 4 hari pertama pengobatan disertai dengan
terapi antibiotik. Dosis pertama harus diberikan sebelum atau
bersamaan dengan terapi antibiotik (Mansjoer, 2014).
Intervensi Bedah
Pada pasien dengan elevasi ICP, drainase cairan serebrospinal
adalah penanganan yang cepat dan sangat efektif. Hal ini berlaku
meskipun tanpa adanya hidrosefalus. Sayangnya, drainase ventrikel
eksternal membawa risiko besar ventriculitis, bahkan di bawah
perawatan terbaik. Kontrol lumbal drainase mungkin menjadi alternatif
yang aman pada pasien dengan sisterna basilaris dilihat pada CT scan.
Sebuah diskusi yang komprehensif dan diperbarui pada
hemicraniectomy untuk mengobati edema otak iskemik akibat stroke
hemisfer besar telah dipublikasikan. Usia yang lebih tua jelas
diprediksikan pemulihannya sedikit, dan hemicraniectomy sebaiknya
12
hanya ditawarkan kepada pasien stroke lebih muda dari 50-55 tahun.
Pada pasien kritis, hipertensi intrakranial bandel setelah trauma kepala
yang semua langkah langkah terapi lainnya gagal mengatasi,
craniectomy dengan duraplasty mungkin menjadi alternatif.
Hemicraniectomy mungkin lebih baik pada pasien dengan lesi fokal,
seperti memar hemoragik, tapi holocraniectomy diperlukan pada pasien
dengan edema otak global (Donkin & Vink R, 2010).
2.7 Komplikasi
Pada edema serebri, tekanan intrakranial meningkat, yang
menyebabkan meningkatnya morbiditas dan menurunnya cerebral blood
flow (CBF). Peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan tekanan
tambahan pada sistem, memaksa aliran yang banyak untuk kebutuhan
jaringan. Edema serebri dapat menyebabkan sakit kepala, penurunan
kesadaran dan muntah, pupil edema. Herniasi dapat menyebabkan
kerusakan yang berhubungan dengan tekanan kepada jaringan yang
bersangkutan dan tanda-tanda dari disfungsi struktur yang tertekan.
13
BAB 3
KESIMPULAN
14