Anda di halaman 1dari 18

1.

1 Definisi
Cedera kepala ringan atau trauma kepala ringan adalah kondisi cedera
kepala yang terjadi akibat benturan, kecelakaan, atau dipukul dengan benda keras.
Cedera kepala jenis ini dapat menyebabkan trauma kepala dan kehilangan
kesadaran selama kurang dari 30 menit. Cedera kepala jenis ringan berpotensi
mampu mengakibatkan terganggunya fungsi sel otak untuk sementara. Kondisi ini
yang menyebabkan penderitanya akan kehilangan kesadaran untuk sementara
waktu (Na’imah, 2021).
Menurut Price and Wilson 2005 dalam (Aucone et al., 2016) Cedera
kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma
kepala ,yang dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai dari kulit
kepala ,tulang dan jaringan otak atau kombinasinya. Cedera kepala merupakan
salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif
dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena
mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk
menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang
belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.

Menurut Hasan 2011 dalam (Wahjoepramono dan Arifin, 2020)


Perdarahan epidural adalah berkumpulnya darah pada ruang diantara dura mater,
yang adalah suatu kesatuan dengan periosteum cranial, serta tabula interna
tengkorak. Sumber dari perdarahan epidural adalah terjadinya trauma pada arteri
meningea media, vena meningea media, vena diploe, atau sinus vena. Perdarahan
dari arteri meningea media dianggap sebagai penyebab utama pembentukan EDH.
Karena itu, lokasi terbentuknya EDH terbanyak terdapat pada region
temporoparietal
dan temporal.

1.2 Etiologi
Pada umumnya EDH disebabkan oleh trauma kepala, meskipun pada
beberapa kasus disebabkan oleh keadaan lain seperti sickle cell disease. Selain itu
juga EDH dapat terjadi terjadi karena fraktur calvaria akibat cedera kepala
sehingga menyebabkan pecahnya pembuluh darah dan darah terakumulasi dalam
ruang antara duramater dan calvaria. EDH akan menempati ruang dalam
intrakranial, sehingga perluasan yang cepat pada lesi ini dapat menimbulkan
penekanan pada otak yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran,
kecacatan baik bersifat reversible maupun irreversible dan bahkan kematian
(Sehgal, 2018).

1.3 Klasifikasi
Berdasarkan berat ringannya cidera kepala dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Cedera kepala ringan. Jika GCS antara 13-15, dapat terjadi kehilangan
kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio
atau hematom.
2. Cedera kepala sedang. Jika nilai GCS antara 9-12, hilang kesadaran antara 30
menit sampai dengan 24 jam, dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi
ringan.
3. Cedera kepala berat. Jika GCS berada antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari
24 jam, biasanya disertai kontusio, laserasi atau adanya hematom, edema
serebral.
1.4 Manifestasi klinis
Tampilan klinik pasien EDH yang khas adalah adanya “Lucid Interval”,
yaitu adanya suatu periode kesadaran pada pasien yang pingsan saat kecelakaan,
dan kemudian mengalami penurunan kesadaran setelahnya. Gejala ini dapat
ditemui pada 47% pasien EDH yang dioperasi. Kelainan dalam pemeriksaan pupil
ditemui pada
18 hingga 44% penderita EDH, yaitu adanya pupil asimetris, dilatasi, serta
terfiksir. Gejala penyerta lain yang dapat ditemui adalah deficit fokal seperti
hemiparesis, decerebrasi, serta kejang. Temuan klinis dapat berbeda pada pasien
dengan EDH fossa posterior, dimana penurunan kesadaran dan muntah
merupakan gejala yang nampak (Wahjoepramono dan Arifin, 2020).

1.5 Pemeriksaan penunjang


Studi pencitraan seperti computed tomografi (CT) scan merupakan
pemeriksaan andalan untuk menegakkan diagnosis. Studi laboratorium seperti
INR, waktu tromboplastin parsial (PTT), waktu tromboplastin (PT), dan tes fungsi
hati (LFT) dapat diperiksa untuk menilai peningkatan risiko perdarahan atau
koagulopati yang mendasari adanya perdarahan. Mayoritas EDH dapat
diidentifikasi pada CT scan. Gambaran klasiknya adalah massa bikonveks atau
berbentuk lensa pada CT scan otak, karena kemampuan darah yang terbatas untuk
berkembang dalam perlekatan tetap dura ke suture kranial. EDH tidak melewati
garis suture (Bhorkar et al., 2018)

1.6 Diagnosa keperawatan


1. Ansietas (D.0080)
2. Gangguan Integritas kulit/jaringan (D.0129)
3. Resiko perfusi sereberal tidak efektif (D.0017)
4. Resiko cedera (D.0136)
5. Nyeri akut (D.0077)
6. Resiko Hipovolemia (D.0034)
1.7 Penatalaksanaan
1. Penanganan darurat :
 Dekompresi dengan trepanasi sederhana
 Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

2. Terapi medikamentosa

 Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital

Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah
yang dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang
pipa naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang
terutama untuk membuka jalur intravena.
 Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak
Hiperventilasi, bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga
mencegah vasodilatasi pembuluh darah.
 Cairan hiperosmoler, umumnya digunakan cairan Manitol per infus
untuk menarik air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular
untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Manitol digunakan
untuk menurunkan tekanan tinggi intrakranial pada cidera kepala
 Barbiturat, digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme
otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen
juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih
terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun
suplai oksigen berkurang.
 Operasi di lakukan bila terdapat :
Volume hamatom > 30 ml, Keadaan pasien memburuk, Fraktur
tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1
cm, DH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis
tengah dengan GCS 8 atau kurang
 Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg (Sidharta, 2000)
1.8 Komplikasi
1. Kejang
2. Herniasi otak
3. Hedrosefalus
4. Koma
5. Lumpuh dan mati rasa

1.9 Proses keperawatan


1. Pengkajian
 Identitas Klien :Nama, umur, agama, pendidikan, status, perkawinan
 Riwayat kesehatan
- Keluhan utama
Pada umumnya klien mengalami penurunan kesadaran baik biasanya
mengeluh sakit atau nyeri kepala, pusing, mual muntah.
- Riwayat kesehatan sekarang
Kaji penyebab trauma : biasanya karena kecelakaan lalu lintas atau
sebab lain tanyakan kapan dimana apa penyebab serta bagaimana
proses terjadinya trauma. Apakah saat trauma pingsan, disertai muntah
perdarahan atau tidak. Riwayat amnesia setelah cedera kepala
menunjukkan derajat kerusakan otak.
- Riwayat penyakit terdahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, DM,
penyakit jantung anemia, stroke, penggunaan obat-obat anti koagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan konsumsi alkohol yang
berlebihan.
 Primary Survey
Airway apakah ada sumbatan jalan nafas seperti darah secret lidah dan
benda sing lainnya, suara nafas normal/tidak, apakah ada kesulitan
bernafas
Breathing : pola nafas teratur, observasi keadaan umumdengan metode
look : liat pergerakan dada pasien,teratur, cepat dalam atau tidak. Listen :
dengarkan aliranudara yang keluar dari hidung pasien. Feel : rasakanaliran
udara yang keluar dari hidung pasien
Sirkulasi : akral hangat atau dingin, sianosis atau tidak,nadi teraba apakah
ada.
Disability apakah terjadi penurunan kesadaran, nilai GCS, pupil isokor,
nilai kekuatan otot, kemampuan ROM.
Eksposure ada atau tidaknya trauma kepala ada atau tidaknya luka lecet
ditangan atau dikaki. Fareinhead ada atau tidaknya trauma didaerah
kepala, ada tau tidaknya peningkatan suhu yang mendadak, demam.
a. Pemeriksaan Fisik Keperawatan

1. Keadaan umum

Tergantung berat ringannya cedera, keadaan umum


biasanya mengelami penurunan kesadaran
2. Kesadaran

Pada cidera berat, tidak sadar lebih dari 24 jam.


Perubahan kesadaran sampai koma.
Penilaian GCS:
Respon Bicara (Verbal)
5 Baik dan tidak terdapat disorientasi
4 Kacau (terdapat disorientasi tempat dan waktu)
3 Tidak tepat (mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk
kalimat dan kata-kata tidak tepat)
2 Mengerang (tanpa mengucapkan kata-kata)
1 Tidak terdapat jawaban
Respon Gerakan (Motorik)
6 Menuruti perintah
5 Mengetahui lokasi nyeri
4 Refleks menghindari nyeri
3 Refleks fleksi
2 Refleks ekstensi
1 Tidak terdapat refleks
Membuka Mata (Eye)
Nilai
4 Spontan
3 Rangsang suara (pasien disuruh membuka mata)
2 Rangsang nyeri
1 Tidak membuka mata

Tingkat kesadaran dapat dibedakan kedalam beberapa tingkatan,


yaitu:

a) Composmentis (nilai GCS 15-14), yaitu kondisi seseorang yang sadar


sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya dan
dapat menjawab pertanyaan yang ditanyakan pemeriksa dengan baik.

b) Apatis (nilai GCS 13-12), yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan
acuh tak acuh terhadap lingkungannya.
c) Delirium (nilai GCS (11-10), yaitu kondisi seseorang yang mengalami
kekacauan gerakan, siklus tidur bangun yang terganggu dan tampak gaduh
gelisah, kacau, disorientasi serta meronta-ronta.

d) Somnolen (nilai GCS 9-7) yaitu kondisi seseorang yang mengantuk


namun masih dapat sadar bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti
akan tertidur kembali.

e) Sopor/stupor (nilai GCS 6-5), yaitu kondisi seseorang yang mengantuk


yang dalam, namun masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat,
misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak terbangun sempurna dan tidak dapat
menjawab pertanyaan dengan baik. Semi-coma (nilai GCS 4) yaitu
penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons terhadap
pertanyaan, tidak dapat dibangunkan sama sekali, respons terhadap
rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi refleks kornea dan pupil masih baik.

f) Koma (nilai GCS 3), yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam,
memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak ada gerakan, dan tidak
ada respons terhadap rangsang nyeri.
3. Tanda-tanda vital
Tekanan darah hipertensi bila ada peningkatan Tekanan Intrakranial dan
bisa normal pada keadaan yang lebih ringan, nadi bisa terjadi bradicardi,
tachicardi.
4. Kepala
Kulit kepala: pada trauma tumpul terdapat hematom, bengkak dan
nyeritekan. Pada luka terbuka terdapat robekan dan perdarahan
5. Wajah
Pada cedera kepala sedang, cedera kepala berat yang terjadi contusion
cerebri, terjadi mati rasa pada wajah
6. Mata
Terjadi penurunan fungsi penglihatan, reflek cahayamenurun, keterbatasan
lapang pandang. Dapat terjadi perubahan ukuran pupil, bola mata tidak
dapat mengikuti perintah.
7. Telinga
Penurunan fungsi pendengaran pada trauma yang mengenai lobus
temporal yang menginterprestasikan pendengaran,drainase cairan spinal
pada fraktur dasar tengkorak, kemungkinan adanya perdarahan dari tulang
telinga.
8. Hidung
Pada cedera kepala yang mengalami lobus oksipital yang merupakan
tempat interprestassi penciuman dapat terjadi penurunan fungsi
penciuman.
9. Mulut
Gangguan menelan pada cedera kepala yang menekan reflek serta
gangguan pengecapan pada cedera kepala dan berat.

10. Leher

Dapat terjadi gangguan pergerakan pada cedera kepala sedang dan berat
yang menekan pusat motorik, kemungkinan didapatkan kaku kuduk.
11. Dada.
Inspeksi : biasanya bentuk simetris, terjadi perubahan irama, frekuensi dan
kedalaman pernafasan terdapat retraksi dinding dada
Palpasi : biasanya terjadi nyeri tekan apabila terjadi traumac.
Perkusi : bunyi resonan pada seluruh lapang paru, terkecuali daerah
jantung dan hepar bunyi redup
Auskultasi : biasanya bunyi nafas normal (vesikuler), bisa ronchi apabila
terdapat gangguan, bunyi S1 dan S2 bisa teratur bisa tidak, perubahan
frekuensi dan irama
12. Abdomen

Jika terdapat trauma maka akan timbul jejas ataupun perdarahan


intraabdomen
Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan lesi
I: Olfaktorius Penciuman Mata pasien terpejam dan
letakkan bahan-bahan aromatic
dekat hidung untuk
diidentifikasi.
II: Optikus Penglihatan Akuitas visual kasar dinilai
dengan menyuruh pasien
membaca tulisan cetak.
Kebutuhan akan kacamata
sebelum pasien sakit harus
diperhatikan.
III: Gerak mata; hilangnya akomodasi, pupil
Okulomotorius kontriksi pupil; mengecil
akomodasi

IV: Troklearis Gerak mata Terbatas


V: Trigeminus Sensasi umum Saraf trigeminal mempunyai 3
wajah, kulit kepala, bagian: optalmikus, maksilaris,
dan gigi; gerak dan madibularis. Bagian sensori
mengunyah dari saraf ini mengontrol sensori
pada wajah dan kornea. Bagian
motorik mengontrol otot
mengunyah. Saraf ini secara
parsial dinilai dengan menilai
reflak kornea; jika itu baik
pasien akan berkedip ketika
kornea diusap kapas secara
halus. Kemampuan untuk
mengunyah dan mengatup
rahang harus
diamati.
VI: Abdusen Gerak mata Terbatas
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi Bagian sensori saraf ini
umum pada platum berkenaan dengan pengecapan
dan telinga luar; pada dua pertiga anterior lidah.
sekresi kelenjar Bagian motorik dari saraf ini
lakrimalis, mengontrol otot ekspresi wajah.
submandibula dan Tipe yang paling umum dari
sublingual; ekspresi paralisis fasial perifer
Bels pallsy
VIII: Pendengaran; Tuli; tinnitus (berdenging terus
Vestibulokoklea keseimbangan menerus); vertigo; nitagmus
ris (gerakan bola mata yg cepat di
luar kemampuan)
IX: Pengecapan; sensasi Hilangnya daya pengecapan
Glosofaringeus umum pada faring pada sepertiga posterior lidah;
dan telinga; anestesi pada farings; mulut
mengangkat kering sebagian
palatum; sekresi
kelenjar parotis
X: Vagus Pengecapan; sensasi Disfagia (gangguan menelan)
umum pada farings, suara parau; Ketidak mampuan
laring dan telinga; untuk batuk yang kuat, kesulitan
menelan; fonasi; menelan dan suara serak dapat
parasimpatis untuk merupakan pertanda adanya
jantung dan visera kerusakan saraf ini.
abdomen
XI: Asesorius Fonasi; gerakan Suara parau; kelemahan otot
Spinal kepala; leher dan kepala, leher dan bahu
bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan lidah

13. Ekstremitas

Perubahan pada tonus otot ataupun fraktur, hemiparase,


hemiplegi
14. Pemeriksaan neurologi:

a) Pemeriksaan nervus cranialis: Umumnya terdapat


gangguan nervus cranialis VII dan XII central.
Gangguan nervus cranial yang biasanya terjadi pada
pasien dengan stroke hemoragik adalah:

a) Pemeriksaan motorik: Hampir selalu terjadi


kelumpuhan/ kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
b) Pemeriksaan sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi.

c) Pemeriksaan refleks: Pada fase akut reflek fisiologis


Pemeriksaan Tanda Rangsangan Meningeal

a) Kaku kuduk:

Cara: Pasien tidur telentang tanpa bantal. Tangan pemeriksa ditempatkan


dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, kemudian kepala ditekukan (
fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekukan
diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan
dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau
berat. Hasil pemerikasaan: Leher dapat bergerak dengan mudah, dagu dapat
menyentuh sternum, atau fleksi leher  normal. Adanya rigiditas leher dan
keterbatasan gerakan fleksi leher  kaku kuduk
b) Brudzinski I
Cara: Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang
ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa
yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah
diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu
menyentuh dada. Hasil Pemeriksaan: Test ini adalah positif bila gerakan fleksi
kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai
secara reflektorik.
c) Kernig
Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya
pada persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai
bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari
135 derajat terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau
kurang dari sudut 135 derajat, maka dikatakan kernig sign positif.

d) Brudzinski II

Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan pada


sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul. Hasil
Pemeriksaan: Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi tungkai
kontralateral pada sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini postif.
Intervensi keperawatan
Diagnosa SLKI (PPNI, 2019) SIKI (PPNI, 2018) Rasional
Keperawatan
Resiko perfusi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Peningkatan 1. Mengetahui akar masalah
sereberal tidak Keperawatan selama ...x... jam maka Tekanan Intrakranial yang menyebabkan
efektif (D.0017) Perfusi serebral (L.02014) meningkat (I.06194) peningkatan TIK.
dengan kriteria hasil: Observasi 2. Mengetahui tanda tanda
Kriteria hasil Skala Skala 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK.
awal akhir peningkatan TIK (mis. 3. Untuk mencegah rangsang
Tingkat kesadaran 3 5 Lesi, edema serebral) yang menyebabkan
2. Monitor tanda dan peningkatan TIK menjadi
Keterangan :
1 = menurun, 2 = cukup menurun, 3 = gejala peningkatan TIK kejang.
sedang, 4 = cukup meningkat, 5 = (mis. TD meningkat, 4. Untuk mengurangi TIK
meningkat tekanan nadi melebar, akibat sirkulasi darah ke
Kriteria hasil Skala Skala bradikardi, pola nafas otak.
awal akhir irreguler, kesadaran 5. Mencagah kejang

TIK 3 5 menurun) 6. Untuk mencegah


terjadinya kejang
Sakit kepala 3 5 Terapeutik
3. Minimalkan stimulus
Gelisah 3 5 dengaan menyediakan
lingkungan yang
Kecemasan 3 5
tenang.
Keterangan :
4. Berikan posisi semi
1 = meningkat, 2 = cukup meningkat, 3
fowler.
= sedang, 4 = cukup menurun, 5 =
5. Cegah terjadinya
menurun
kejang
Kriteria hasil Skala Skala
awal akhir Kolaborasi
Kesadaran 3 5 6. Kolaborasi pemberian

Keterangan : sedai dan anti


1 = memburuk, 2 = cukup memburuk, 3 konvulsen, jika perlu.
= sedang, 4 = cukup membaik, 5 =
membaik
Resiko cidera Setelah dilakukan tindakan Pencegahan kejang 1. Untuk mengetahui status
(D.0136) Keperawatan selama ...x... jam maka (I.14542) neurologis pasien.
Kontrol kejang (L.06050) meningkat Observasi 2. Menjaga TTV dalam batas
dengan kriteria hasil: 1. Monitor status normal.
Kriteria hasil Skala Skala neurologis 3. Mencegah jatuh pada
awal akhir 2. Monitor TTV pasien ketika kejang
4. Mecegah jatuh pada
Kemampuan 3 5 Terapeutik
mengidentifikasi pasien ketika kejang.
3. Baringkan pasien agar
faktor 5. Untuk mengetahui waktu
resiko/pemicu tidak terjatuh
dan tanda akan kejang.
kejang 4. Pasang side-rile tempat
6. Agar keluarga dapat
Kemampuan 3 5 tidur.
memberikan pertolongan
mencegahfaktor
Edukasi pertama yang tepat.
resiko/pemicu
kejang 5. Anjurkan melapor jika 7. Mencegah kejang secara
merasakan aura farmakologis.
Kepatuhan minum 3 5
obat 6. Ajarkan keluarga
pertolongan pertama
Keterangan :
1 = menurun, 2 = cukup menurun, 3 = pada kejang

sedang, 4 = cukup meningkat, 5 = Kolaborasi


meningkat 7. Kolaborasi pemberian
antikonvulsen, Jika
perlu.
DAFTAR PUSTAKA

Aucone, E.J., Barth, J.T., Freeman, J.R., Broshek, D.K., 2016. Mild head injury.
Curated Ref. Collect. Neurosci. Biobehav. Psychol. 2, 81–92.
https://doi.org/10.1016/B978-0-12-809324-5.03098-4
Bhorkar, N., Dhansura, T., Tarawade, U., Mehta, S., 2018. Epidural Hematoma.
Indian J Crit Care Med.
Na’imah, S., 2021. Cedera kepala ringan [WWW Document]. 02 December. URL
https://hellosehat.com/saraf/otak-tulang-belakang/cedera-kepala-ringan/
(diakses 6.6.22).
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2017. Standar Diagnosis
Keperawatan Indonsesi (SDKI). Jakarta : Dewan Pengurus Pusat
PPNI

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2017. Standar Intervnesi


Keperawatan Indonsesi (SDKI). Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2017. Standar Luaran


Keperawatan Indonsesi (SLKI). Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Sehgal, apoorva., Jhanwar bharat., Gilhotra.K, U., 2018. HUBUNGAN


RESPOND TIME TREPANASI HEMATOMA EPIDURAL PADA
CEDERA KEPALA BERAT DENGAN OUTCOME. Arch. Anesthesiol.
Crit. Care 4, 527–534.
Wahjoepramono, P.O.P., Arifin, M.Z., 2020. Korelasi Antara Volume Epidural
Hematoma dari Hasil Penghitungan CT Scan dengan Temuan Volume
Epidural Hematoma Intraoperatif. Tunas Med. J. Kedokt. Kesehat. 6, 19–24.

Anda mungkin juga menyukai