Anda di halaman 1dari 19

TUTORIAL 1

"TABRAKAN MOTOR"

(BLOK TRAUMATOLOGI DAN KEGAWATDARURATAN)

Oleh :

ANDHIKA WAHYU PRATAMA


NPM. 61115043

DOSEN TUTORIAL
dr. NOPRI ESMIRALDA, M. KES

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
2018
Skenario 1
"TABRAKAN MOTOR"

Dr. Galih bekerja di Puskesmas , menerima pasien atas nama Winda berusia 25 tahun yang
diantar oleh masyarakat dan keluarganya. Dari informasi yang diterima, pasien mengendarai
sepeda motor tanpa menggunakan helm dan menabrak pembatas jalan. Setelah kecelakaan pasien
tidak sadar dan tampak keluar cairan berwarna merah dari hidung dan telinga. Pada pemeriksaan
didapatkan airway: patent, nafas 28 kali permenit, nadi 120 kali/menit, tekanan darah 90/70
mmHg, GCS 13. Pada pemeriksaan ditemukan tanda racoon eye, otorhea dan rhinorhea.
Pada pemeriksaan ragio thoraks : pada inspeksi nampak jejas pada toraks dekstra, vocal
fremitus kanan > kiri, nyeri tekan (+), hipersonor pada region torak kanan, dan suara vesikuler kiri
> kanan. Hasil pemriksaan radiologi menunjukkan fraktur inkomplit pada costa 5 dan 6 dekstra,
ruang pleura dekstra transulen dengan tak tampaknya gambaran pembuluh darah paru, sinus
costophrenicus kanan dan kiri lancip, parenkim paru dekstra tampak mengecil/kolaps.
Dr. Galih menyimpulkan bahwa Winda mengalammi cedera kepala dan trauma thoraks.
Dr. Galih segera melakukkan stabilisasi leher, memasang infus RL dengan tetesan cepat dan
memasang kateter urin. Karena kondisi kritis dan gelisah maka Dr.Galih berinisiatif
untukmendampingi kerumah sakit . Dalam perjalanan diatas ambulans , ditemukan hematuria.
Dr.Galih berpikir adanya kemungkinan trauma pada saat pemasangan kateter atau ada diagnosis
lain. Bagaimana anda menjelaskan apa yang terjadi pada pasien tersebut dan apakah ada
kemungkinan terjadiny adverse effect?

STEP 1
TERMINOLOGI ASING

1. Otorrhea : Keluarnya sekresi dari telinga. ( Dorland 28, hal 796 )


2. Rhinorrhea : Sekresi encer dari hidung. ( Dorland 28, hal 901 )
3. Racoon eye : Ekimasis bilateral daerah periorbital atau seperti mata musang
( Kamus Kesehatan )
4. Hematuria : Terdapat darah di dalam urine. ( Dorland 28, hal 504 )
5. Adverse effect : Tindakan atau efek samping dari obat. ( kamus kesehatan )
STEP 2
RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa pada pasien keluar cairan berwarna merah dari telinga ?
2. Mengapa dapat terjadi raccoon eye pada kasus winda ?
3. Apakah maksud dari GCS 13 pada pemeriksaan winda?
4. Mengapa gambaran pembuluh darah di paru pasien tidak tampak ?
5. Apakah ada kemungkinan GCS winda menurun apabila penanganan terlambat ?

STEP 3
HIPOTESIS
1. Mungkin winda terjatuh dengan posisi kepala yang terbentur langsung ke permukaan, maka
akan mengakibatkan cedera kepala seperti pecahnya pembuluh darah di kepala kemudian
aliran darah mengalir keluar dari hidung/telinga
2. Adanya pembekuan darah pada sekitar mata.
- Pecahnya pembuluh darah pada lapisan durameter
3. GCS 13 = Apatis (acuh tak acuh) karena terjadi perdarahan dibasis kranii yang membuat GCS
pada winda
4. Karena adanya fraktur pada costa 5 dan 6 sehingga membuat gambaran pembuluh darah di
paru.
5. Ada, karena apabila penanganan terlambat maka winda akan terus kehilangan darah yang bias
membuat winda dalam kondisi syok hipofelemik.

STEP 4
SKEMA

Ny. Winda Kecelakaan KU : -Tidak sadar


(25th) lalu lintas -keluar cairan
berwarna merah
dari hidung dan
telinga
-Airway : patent
-RR : 28×/m
-nadi : 120×/m
-TD : 90/70 mmHg
STEP 5
LEARNING OBJECTIVE

1. Menjelaskan jenis-jenis cedera kepala


2. Menjelaskan tentang manifestasi klinis cedera kepala
3. Menjelaskan tentang penilaian kesadaran
4. Menjelaskan tentang penanganan cedera kepala
5. Menjelaskan tentang manifestasi klinis dari trauma toraks
6. Menjelaskan tentang manifestasi klinis fraktur toraks
7. Menjelaskan tentang penanganan trauma toraks akibat fraktur kosta
8. Menjelaskan tentang prognosis dan komplikasi cedera kepala
9. Menjelaskan tentang prognosis dan komplikasi trauma toraks akibat fraktur kosta

STEP 6
BELAJAR MANDIRI

STEP 7
PEMBAHASAN
1. JENIS-JENIS CEDERA KEPALA
Menurut, Brunner dan Suddarth ( 2013) . Cedera kepala ada 2 macam yaitu:
1. Cedera kepala terbuka Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya
tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa
dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak
menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan
sel otak akibat benda tajam/ tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman
pathogen memiliki abses langsung ke otak.
2. Cedera kepala tertutup Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah
goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat,
kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup
meliputi: kombusio gagar otak, kontusio memar, dan laserasi.
Klasifikasi cedera kepala Rosjidi (2012) , trauma kepala diklasifikasikan menjadi
derajat berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu;
a. Ringan GCS = 13 – 15 ,Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi
kurang dari 30 menit. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral,
b. Sedang 1.) GCS = 9 – 12 2.) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam. 3.) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat 1.) GCS = 3 – 8 2.) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari
24 jam. 3.) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

2. MANIFESTASI KLINIS CEDERA KEPALA

Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
a. Cedera kepala ringan
 .Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
 Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
 .Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku Gejala-
gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih lama
setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
b. Cedera kepala sedang
 .Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau
bahkan koma.
 Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,disfungsi
sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.

c. Cedera kepala berat


 Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesehatan.
 Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
 Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
 Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.

3. PENILAIAN KESADARAN

Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap
rangsangan yang berasal dari lingkungan. Untuk mengukur tingkat kesadaran maka
digunakanlah suatu cara pemeriksaan yakni dengan standar Glasgow Coma Scale (GCS).
Pada keadaan tertentu, seperti keracunan, kekurangan oksigen baik karena berada di
tempat sempit, tertutup atau karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan adanya
tekanan yang berlebihan di dalam rongga tulang kepala dapat menyebabkan seseorang
dapat mengalami penurunan tingkat kesadaran. Oleh karena itu maka tingkat kesadaran
ini dibedakan menjadi beberapa tingkat yaitu :
1) Composmentis, yaitu kondisi seseorang yang sadar sepenuhnya, baik terhadap
dirinya maupun terhadap lingkungannya dan dapat menjawab pertanyaan yang
ditanyakan pemeriksa dengan baik.

2) Apatis, yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak acuh terhadap
lingkungannya.

3) Delirium, yaitu kondisi seseorang yang mengalami kekacauan gerakan, siklus tidur
bangun yang terganggu dan tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi serta meronta-
ronta.

4) Somnolen yaitu kondisi seseorang yang mengantuk namun masih dapat sadar bila
dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti akan tertidur kembali.
5) Sopor, yaitu kondisi seseorang yang mengantuk yang dalam, namun masih dapat
dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak
terbangun sempurna dan tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik.

6) Semi-coma yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons terhadap


pertanyaan, tidak dapat dibangunkan sama sekali, respons terhadap rangsang nyeri
hanya sedikit, tetapi refleks kornea dan pupil masih baik.

7) Coma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, memberikan respons terhadap
pertanyaan, tidak ada gerakan, dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.

Untuk mengukur tingkat kesadaran tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan
menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale). Pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS)
Teori GCS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 oleh Teasdale dengan Jennett
yang bertujuan untuk mengukur dan merekam tingkat keadaan seseorang. GCS adalah
skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien yang dilakukan
dengan menilai respon pasien terhadap rangsang yang diberikan oleh pemeriksa.
Pada pemeriksaan GCS, respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu
reaksi membuka mata (Eye), pembicaraan (Verbal) dan gerakan (Motorik). Hasil
pemeriksaan tersebut dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1 sampai
6 tergantung respon yang diberikan. Ketiga jenis respon tersebut kemudian dinilai dan
dicatat pada grafik yang sesuai dan skor keseluruhan dibuat dengan menjumlahkan
nilai ketiganya. Namun pada praktiknya terdapat perbedaan antara hasil pemeriksaan
GCS pada orang dewasa dan pemeriksaan GCS pada bayi karena terdapat perbedaan
respon antara orang dewasa dan bayi pada saat mereka menerima rangsangan.

Nilai Tingkat Kesadaran GCS orang Dewasa Berikut nilai acuan dalam penilaian GCS
pada orang dewasa:
Eye (respon membuka mata) :
(4) : spontan atau membuka mata dengan sendirinya tanpa dirangsang.
(3) : dengan rangsang suara (dilakukan dengan menyuruh pasien untuk membuka
mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (memberikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku
jari).
(1) : tidak ada respon meskipun sudah dirangsang.
Verbal (respon verbal atau ucapan) :
(5) : orientasi baik, bicaranya jelas.
(4) : bingung, berbicara mengacau (berulang-ulang), disorientasi tempat dan waktu.
(3) : mengucapkan kata-kata yang tidak jelas.
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon

Motorik (Gerakan) :
(6) : mengikuti perintah pemeriksa
(5) : melokalisir nyeri, menjangkau dan menjauhkan stimulus saat diberi rangsang
nyeri.
(4) : withdraws, menghindar atau menarik tubuh untuk menjauhi stimulus saat diberi
rangsang nyeri.
(3) : flexi abnormal, salah satu tangan atau keduanya menekuk saat diberi rangsang
nyeri.
(2) : extensi abnormal, salah satu tangan atau keduanya bergerak lurus (ekstensi) di
sisi tubuh saat diberi rangsang nyeri.
(1) : tidak ada respon

Nilai Tingkat Kesadaran GCS pada Bayi dan Anak Berikut nilai acuan dalam
penilaian GCS pada bayi/anak:
Eye (respon membuka mata) :
(4) : spontan
(3) : membuka mata saat diperintah atau mendengar suara
(2) : membuka mata saat ada rangsangan nyeri
(1) : tidak ada respon

Verbal (respon verbal) :


(5) : berbicara mengoceh seperti biasa
(4) : menangis lemah
(3) : menangis karena diberi rangsangan nyeri
(2) : merintih karena diberi rangsangan nyeri
(1) : tidak ada respon

Motorik (Gerakan) :
(6) : bergerak spontan
(5) : menarik anggota gerak karena sentuhan
(4) : menarik anggota gerak karena rangsangan nyeri
(3) : fleksi abnormal
(2) : ekstensi abnormal
(1) : tidak ada respon

Menghitung Nilai GCS dan Intrepretasi Hasilnya Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran
berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E-V-M dan selanjutnya nilai GCS tersebut
dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi atau GCS normal adalah 15 yaitu E4V5M6 ,
sedangkan yang terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.
Berikut beberapa penilaian GCS dan interpretasinya terhadap tingkat kesadaran :
Nilai GCS (15-14) : Composmentis
Nilai GCS (13-12) : Apatis
Nilai GCS (11-10) : Delirium
Nilai GCS (9-7) : Somnolen
Nilai GCS (6-5) : Sopor
Nilai GCS (4) : semi-coma
Nilai GCS (3) : Coma

Beberapa kondisi yang membuat seseorang menurun tingkat kesadarannya,


seperti stroke, stroke ringan, cedera kepala, pendarahan otak, dan lain-lain.
4. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA

a) CEDERA KEPALA RINGAN (GCS = 14 – 15 )


 Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit
kepala hebat.3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak
 Klinis :
a. Keadaan penderita sadar
b. Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang dialaminya
c. Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat
Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah pengaruh obat-
obatan / alkohol.
d. Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan
 Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun indikasi
adanya fractur dasar tengkorak meliputi :
a. Ekimosis periorbital
b. Rhinorea
c. Otorea
d. Hemotimpani
e. Battle’s sign
 Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi :
a. Fractur linear/depresi
b. Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah
c. Batas udara – air pada sinus-sinus
d. Pneumosefalus
e. Fractur tulang wajah
f. Benda asing
 Pemeriksaan laboratorium :
a. Darah rutin tidak perlu
b. Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik / medikolagel
 Therapy :
a. Obat anti nyeri non narkotik
b. Toksoid pada luka terbuka
 Penderita dapat diobservasi selama 12 – 24 jam di Rumah Sakit

b) CEDERA KEPALA SEDANG ( GCS = 9 13 )


 Pada 10 % kasus :
a. Masih mampu menuruti perintah sederhana
b. Tampak bingung atau mengantuk
c. Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis
 Pada 10 – 20 % kasus :
a. Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma
b. Harus diperlakukan sebagai penderita CK. Berat.
 Tindakan di UGD :
a. Anamnese singkat
b. Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis
c. Pemeriksaan CT. scan
 Penderita harus dirawat untuk diobservasi
 Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :
a. Status neulologis membaik
b. CT. scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan
pembedahan
 Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK. Berat.
 Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya

c. CEDERA KEPALA BERAT ( GCS 3 – 8 )


 Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status
kardiopulmonernya telah distabilkan
 CK. Berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi
 Diagnosa dan therapy sangat penting dan perlu dengan segara penanganan
 Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita CK. Berat harus dilakukan
secepatnya.

A. Primary survey dan resusitasi


Di UGD ditemukan :
 30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg )
 13 % hypotensia ( tek. Darah sistolik < 95 mmHg )  Mempunyai mortalitas 2 kali
lebih banyak dari pada tanpa hypotensi
 12 % Anemia ( Ht < 30 % )

1. Airway dan breathing


Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena
terjadi apnoe yang berlangsung lama
Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita
cedera kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %
Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi sementara
asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah dilatasi dan
penurunan kesadaran
PCo2 harus dipertahankan antara 25 – 35 mm Hg
2. Sirkulasi
 Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi
 Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada kasus
multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung / tamponade
jantung dan tension pneumothorax.
 Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk
mengganti cairan yang hilang
 UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut
abdomen.
B. seconady survey
Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.

C. Pemeriksaan Neurologis
 Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan terdiri
dari :
a. GCS
b. Reflek cahaya pupil
c. Gerakan bola mata
d. Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
 Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita dilakukan
sedasi atau paralisis
 Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
 Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 – 6 mg ) IV
 Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon motorik,
bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang terbaik
 Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita
 Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
 Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan
pasien.

5. MANIFESTASI KLINIS DARI TRAUMA THORAKS


Manifestasi klinis yang sering muncul pada penderita trauma dada:
1. Tamponade jantung :
a. Trauma tajam didaerah perikardium atau yang diperkirakan menembus jantung.
b. Gelisah.
c. Pucat, keringat dingin.
d. Peninggian TVJ (tekanan vena jugularis).
e. Pekak jantung melebar.
f. Bunyi jantung melemah.
g. Terdapat tanda-tanda paradoxical pulse pressure.
h. ECG terdapat low voltage seluruh lead.
i. Perikardiosentesis keluar darah (FKUI, 1995).
2. Hematotoraks :
a. Pada WSD darah yang keluar cukup banyak dari WSD
b. Gangguan pernapasan (FKUI, 1995).
3. Pneumothoraks :
a. Nyeri dada mendadak dan sesak napas.
b. Gagal pernapasan dengan sianosis.
c. Kolaps sirkulasi.
d. Dada atau sisi yang terkena lebih resonan pada perkusi dan suara napas yang terdengar
jauh atau tidak terdengar sama sekali.
e. Pada auskultasi terdengar bunyi klik (Ovedoff, 2002).

6. MANIFESTASI KLINIS FRAKTUR KOSTA


1. Sesak napas. Pada fraktur costa terjadi pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke
rongga pleura sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur dan jaringan
pada rongga dada lalu dapat terjadi hemothoraks yang akan menyebabkan
pneumothoraks gangguan ventilasi dan sehingga menyebabkan terjadinya sesak napas.
2. Tanda-tanda insuffisiensi pernapasan: Sianosis, takipnea Pada fraktur costa terjadi
gangguan pernapasan yang disertai meningkatnya penimbunan CO2 dalam darah
(hiperkapnia) yang bermanifestasi menjadi sianosis.
3. Nyeri tekan pada dinding dada Pada fraktur costa terjadi pendorongan ujung-ujung
fraktur masuk ke rongga pleura sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur
dan jaringan pada rongga dada dan terjadi stimulasi pada saraf sehingga menyebabkan
terjadinya nyeri tekan pada dinding dada.
4. Kadang akan tampak ketakutan dan kecemasan Rasa takut dan cemas yang dialami
pada pasien fraktur costa diakibatkan karena saat bernapas akan bertambah nyeri pada
dada.
5. Adanya gerakan paradoksal

7. PENANGANAN TRAUMA THORAKS AKIBAT FRAKTUR KOSTA


CKR (Cidera Kepala Ringan)
Definisi : Penderita sadar & berorientasi (GCS 14 – 15 ) CKR 80% UGD, Sadar,
Amnesia, Pingsan sesaat pulih sempurna, Gejala sisa ringan.
Anamnesa : Nama, Umur, Jenis kelamin, Ras, Pekerjaan, Mekanisme dan waktu cedera.
Sadar atau tidak sadar, Tingkat kewaspadaan,amnesia Antegrad / Retrograd, Sakit kepala.
 Pemeriksaan umum : Tensi, Nadi, Respirasi, Luka-luka tempat lain.
 Pemeriksaan mini neurologik : GCS, Pupil, Reaksi cahaya, Motorik.
 Foto polos kepala : Jejas kepala
 CT-Scan kepala : Atas indikasi
 Indikasi rawat : Pingsan > 15 : PTA > Jam, Pada OBS. Penurunan kesadaran, SK
>>, Fraktur, Otorhoe / Rinorhoe, Cedera penyerta, CT-Scan ABN, Tidak ada
keluarga, Intoksikasi alkohol / Obat-obatan.
 Indikasi pulang : Tidak memenuhi kriteria rawat, Kontrol setelah satu minggu.
Pesan untuk penderita / keluarga :
 Segera kembali ke Rumah Sakit bila dijumpai hal-hal sbb : Tidur / sulit
dibangunkan tiap 2 jam, mual dan muntah >>, SK >>, Kejang kelemahan tungkai
& lengan, Bingung / Perubahan tingkah laku, Pupil anisokor, Nadi naik / turun

CKS (Cidera Kepala Sedang)


Definisi : Penurunan kesadaran, Masih mampu mengikuti perintah sederhana ( GCS
9 – 13 ).
 Pemeriksaan awal : Sama dengan CKR + Pem. Darah sederhana. Pem.CT-Scan
kepala, Rawat untuk observasi.
 Setelah rawat : Pem. Tanda vital & Pem.Neurologik periodik, Pem. CT-Scan kepala
ulang bila ada pemburukan.
 Bila membaik: Pulang, Kontrol poli setelah 1 minggu
 Bila memburuk : CT-Scan kepala ulang = CKB.

CKB (Cidera Kepala Berat)


Definisi : Penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana OK. Kesadaran
menurun (GCS 3 – 8 )
 Penatalaksanaan : ABC (AirWay, Breathing, Circulation).
 Cedera otak sekunder. 100 Penderita CKB, Hipoksemia ( PAO2 < 65mm HG ) 30
%, Hipotensi ( Sistolik < 95mm HG ) 13 % Anemia ( HT < 30 % ) 12 %.
 Hipotensi mati 2 X, Hipotensi + Hipoksia mati 75 %
 Pemeriksaan mini neurologik, Pemeriksaan CT-Scan kepala.
 Kepala lebih tinggi 10 - 30 derajat ( Head Up )
 Intubasi, Pasang infus RL /NaCl 0,9 %, Pasang catheter
 Obat – obatan : Manitol 20 % : 1 – 2 mg/ Kg.BB, 3 X Pemberian, Tetesan cepat :
TD SIST, > 100 mmHg. Anti konvulsan, Hiperventilasi, pada kasus TTIK untuk
mengeluarkan CO2.

8. KOMPLIKASI & PROGNOSIS CEDERA KEPALA


a. KOMPLIKASI
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan
hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari
cedera kepala addalah;
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal
dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa.
Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha
mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan
intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk mencoba
mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi
menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah
semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan
tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol
100-110 mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh
secara umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan
permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke
alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan
herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang
mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral yang merupakan
komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal
jantung serta kematian.
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping
tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang, perawat harus
memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah
cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah
pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan
diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada system
pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama
pernafasan.
4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek
meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan,
diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga.
Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.
5. Infeksi
b. PROGNOSIS
Penderita lansia mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk pemuluhan dari cedera
kepala. Penderita anak-anak memiliki daya pemulihan yang baik.

9. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS TRAUMA TORAKS AKIBAT FRAKTUR


KOSTA
1. Komplikasi
Komplikasi yang timbul akibat adanya fraktur costa dapat timbul segera setelah
terjadifraktur, atau dalam beberapa hari kemudian setelah terjadi. Besarnya
komplikasi dipengaruhioleh besarnya energi trauma dan jumlah costae yang
patah.Gangguan hemodinamik merupakan tanda bahwa terdapat komplikasi akibat
fraktur costae. Pada fraktur costa ke 1-3 akan menimbulkan cedera pada vasa dan
nervus subclavia,fraktur costa ke 4-9 biasannya akan mengakibatkan cedera terhadap
vasa dan nervus intercostalisdan juga pada parenkim paru, ataupun terhadap organ
yang terdapat di mediastinum, sedangkanfraktur costa ke 10-12 perlu dipikirkan
kemungkinan adanya cedera pada diafragma dan organintraabdominal seperti hati,
limpa, lambung maupun usus besar.Pada kasus fraktur costa simple pada satu costa
tanpa komplikasi dapat segera melakukanaktifitas secara normal setelah 3-4 minggu
kemudian, meskipun costa baru akan sembuh setelah4-6 minggu
2. Prognosis
 Open Pneumothorak
Timbul karena trauma tajam, ada hubungan dengan rongga pleura sehingga
paru menjadi kuncup. Seringkali terlihat sebagai luka pada dinding dada yang
menghisap pada setiap inspirasi ( sucking chest wound ). Apabila luban ini
lebih besar dari pada 2/3 diameter trachea, maka pada inspirasi udara lebih
mudah melewati lubang dada dibandingkan melewati mulut sehingga terjadi
sesak nafas yang hebat
 Tension Pneumothorak
Adanya udara didalam cavum pleura mengakibatkan tension pneumothorak.
Apabila ada mekanisme ventil karena lubang pada paru maka udara akan
semakin banyak pada sisi rongga pleura, sehingga mengakibatkan :
a. Paru sebelahnya akan terekan dengan akibat sesak yang berat
b. Mediastinum akan terdorong dengan akibat timbul syok
c. Pada perkusi terdengar hipersonor pada daerah yang cedera, sedangkan
d. pada auskultasi bunyi vesikuler menurun.
 Hematothorak masif
Pada keadaan ini terjadi perdarahan hebat dalam rongga dada. Ada perkusi
terdengar redup, sedang vesikuler menurun pada auskultasi.
 Flail Chest
Tulang iga patah pada 2 tempat pada lebih dari 2 iga sehingga ada satu segmen
dinding dada yang tidak ikut pada pernafasan. Pada ekspirasi segmen akan
menonjol keluar, pada inspirasi justru masuk kedalam yang dikenal dengan
pernafasan paradoksal.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal USU http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi37%20.pdf
Jurnal UNDIP http://eprints.undip.ac.id/29403/3/Bab_2.pdf
Jurnal UNIMUS http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/134/jtptunimus-gdl-muhammadri-
6692-2-babii.pdf
Snell R.S. Dinding Thorax. Dalam Anatomi Klinik Bagian ke Satu. Jakarta: EGC, 1998.
Trauma Thorax Available from: http://medlinux.blogspot.com/2008/06/traymathorax.html
Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi
Ketiga jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 2000
Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2005
Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta, 2004ax
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/108/jtptunimus-gdl-ekapurnama-5391-2-babii.pdf
https://edoc.site/lp-konsep-fraktur-costaedocx-pdf-free.html
https://izzahbaridah.wordpress.com/medicine/blok-emergency/fraktur-costa/
Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, dian Rakyat, Jakarta, 2004
Repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/25734/Chapter%20II.pdf?sequence=3
Robert L. Martuza, Telmo M. Aquino, Trauma dalam Manual of Neurologic Therapeutics
With Essentials of Diagnosis, 3th ed, Litle Brown & Co, 2000

Anda mungkin juga menyukai