BLOK EMERGENSI
Trauma Pada Kepala
KELOMPOK B 6
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
Skenario 2
TRAUMA PADA KEPALA
Perempuan berusia 25 tahun dibawa ke UGD RS dengan penurunan kesadaran setelah tertabrak
motor saat menyebrang jalan 2 jam yang lalu. Sesaat setelah ditabrak pasien pingsan. Dalam
perjalanan ke RS pasien sempat tersadar sekita 10 menit, kemudian mengeluh nyeri kepala,
muntah, dan kembali tidak sadar. Keluar darah dari hidung dan telinga.
Tanda Vital
Airway : terdengar bunyi snoring
Breathing : frekuensi nafas 10x/menit
Circulation : tekanan darah 160/90 mmHg, frekuensi nadi 40x/menit
Wajah
Terlihat adanya brill hematoma
Trauma di daerah sepertiga tengah wajah, pada pemeriksaan terlihat adanya cerebrospinal
rhinorrhea, mobilitas dari maxilla, krepitasi dan maloklusi dari gigi.
Hidung
Inspeksi : adanya edema atau deformitas pada hidung tidak ada
Palpasi : terdapat krepitasi pada hidung
Pemeriksaan fisik menggunakan rinoskopi anterior : terdapat clothing perdarahan aktif tidak ada,
tampak laserasi di septum dan konka inferior
Telinga
Liang telinga : lapang, terdapat laserasi, clothing (+), tidak terdapat perdarahan aktif dan
membrane timpani utuh
Status Neurologi
GCS E1 M1 V1, pupil : bulat, anisokor, diameter 5 mm/3 mm, RCL -/+, RCTL -/+, kesan
hemiparesis dekstra, reflex patologis Babinsky +/-
Kata Sulit :
1. Brill hematoma : kelopak mata bengkak dan berwarna merah keunguan
2. Maloklusi : bentuk hubungan rahang atas dan bawah menyimpang atau malposisi dan
kontak antar maxilla dan mandibular sedemikian rupa sehingga mengganggu gerakan
menggiling pada rahang yang penting untuk proses mengunyah
3. Cerebrospinal rhinorrhea : secret cairan cerebrospinal yang keluar dari hidung karena
fraktur basis cranii
4. Hemiparesis : kekuatan otot yang berkurang pada satu sisi tubuh
5. Reflex babinsky : tes untuk mengetahui rangsang meningeal
Pertanyaan :
1. Kenapa pasien pingsan lalu kemudian sadar sesaat ?
2. Kenapa terdengar bunyi snoring ?
3. Apa yang menyebabkan nyeri kepala dan muntah ?
4. Kenapa keluar darah dari hidung dan telinga ?
5. Mengapa tekanan darah meningkat tetapi frekuensi nadi rendah ?
6. Kenapa ditemukan pupil anisokor ?
7. Apa arti penilaian GCS pada pasien tersebut ?
8. Tatalaksana pada pasien tersebut ?
9. Apa komplikasi dari pasien tersebut ?
10. Kenapa frekuensi nafas menurun ?
11. Apa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ?
Jawaban :
1. Pada saat pasien mengalami kecelakaan, lalu mengalami fraktur, saat itu gerbang sel otak
terbuka lalu kalium keluar sedangkan natrium dan kalsium masuk, lalu terjadi nya
pelepasan dari glutamate, pelepasan glutamate menyebabkan kerusakan pada mitokondria
dan mengakibatkan oksigen di otak menjadi turun sehingga pasien pingsan. Pada saat
pasien sadar sesaat itu karena adanya interval lucid yang merupakan tanda khas pada
perdarahan epidural.
2. Ada obstruksi karena lidah jatuh kebelakang dan menutupi jalan nafas
3. Karena arteri meningea yang ada diantara tengkorak dan epidural pecah yang
mengakibatkan tekanan intracranial nya meningkat
4. Karena terjadinya fraktur pada cranial dan pada os nasal yang mengakibatkan keluarnya
darah dari hidung dan telinga
5. Adanya peningkatan pada tekanan intracranial menyebabkan terjadinya trias cushing
yaitu hipertensi, depresi pernapasan dan frekuensi nadi rendah atau menurun
6. Karena adanya penekanan pada nervus optikus
7. GCS 3-8 trauma kepala berat
- GCS 9-13 trauma kepala sedang
- GCS >13 trauma kepala ringan
8. ABC, resusitasi, perbaikan cairan dan menghentikan perdarahan
9. Kerusakan syaraf yang menyebabkan kelumpuhan permanen dan kerusakan batang otak
10. Karena adanya fraktur basis cranii yang menyebabkan peningkatan pada tekanan
intracranial lalu menekan batang otak dan juga menekan cervical 3 dan 4 yang
merupakan syaraf yang mempersyarafi otot diafragma yaitu nervus prenikus
11. CT-Scan, rontgen, MRI, dan pemeriksaan darah lengkap
Hipotesis :
Trauma pada daerah kepala dapat menyebabkan terjadinya fraktur basis cranii yang
mengakibatkan perubahan fisiologis seperti terdengar bunyi snoring, nyeri kepala dan muntah,
keluar darah dari hidung dan telinga, tekanan darah meningkat tetapi frekuensi nadi rendah, pupil
anisokor dan frekuensi nafas menurun. Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan
pemeriksaan GCS, CT-Scan, rontgen, MRI dan pemeriksaan darah lengkap. Pasien harus segera
ditangani dengan ABC, resusitasi, perbaikan cairan dan menghentikan perdarahan agar
komplikasi seperti kerusakan syaraf dan kerusakan batang otak dapat dihindari.
Sasaran Belajar :
LI.1. Memahami dan Menjelaskan Trauma Kepala
LO.1.2 Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah karena
terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan
secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang
merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois, Rut land-Brown, Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma kepala
yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap
pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika Serikat
(Coronado, Thomas, 2007).
LO.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara
praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan: mekanisme, beratnya cedera, dan
morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
a. Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan
benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang menyebabkan
otak bergerak di dalam rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang
tengkorak.
b. Cedera kepala tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.
Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari Traumatic
Brain Injury yaitu :
3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar
tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bone window untuk
memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit
kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak
tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat.
b. Tertutup
Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak
atau utuh pada kepala setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization
2009, mengatakan trauma kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat
pada kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan
tengkorak.
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan :
a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan
c. Mual atau dan muntah
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun
e. Perubahan keperibadian diri
f. Letargi
LO.1.5 Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan O2 dan glukosa dapat terpenuhi. Energi
yang dihasilkan dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak
mempunyai cadangan O2, Jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa. Sebagai bahan bakar
metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 75% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami
hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan melalui proses metabolic anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah pada komosio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan
terjadi penimbunan asam. Lalu hal ini akan menyebaban asidosis metabolic.
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis tergantung pada
besar dan kekuatan benturan, arah dan tempat benturan, serta sifat dan keadaan kepala sewaktu
menerima benturan. Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka dapat
mengakibatkan lesi otak berupa : lesi bentur (Coup), lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar
tengkorak yang menonjol/falx dengan otak peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-
lain=lesi media), dan lesi kontra (counter coup).21 Berdasarkan hal tersebut cedera otak dapat
dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder.
a. Kerusakan Primer
Kerusakan primer adalah kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat dari
kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal
ataupun difus. Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu
dari otak, bergantung kepada mekanisme trauma yang terjadi sedangkan kerusakan difus adalah
suatu keadaan patologis penderita koma (penderita yang tidak sadar sejak benturan kepala dan
tidak mengalami suatu interval lucid) tanpa gambaran Space Occupying Lesion (SOL) pada CT-
Scan atau MRI.
b. Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari kerusakan
primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, dan pembengkakan otak.
LO.1.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi :
GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat
GCS 9 13 : cedera kepala sedang
GCS > 13 : cedera kepala ringan
Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali pengukuran,
tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran dan dengan
melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah terjadi perkembangan ke arah yang
lebih baik atau lebih buruk.
Tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale)
Respon membuka mata (E) Nilai
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
2. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan
diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk
dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang
terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.
3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,
kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.
LO.1.7 Tatalaksana
B. Secondary survey
Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.
C. Pemeriksaan Neurologis
Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan terdiri
dari:
GCS
Reflek cahaya pupil
Gerakan bola mata
Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita dilakukan
sedasi atau paralisis
Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 6 mg ) IV
Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon motorik,
bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang terbaik
Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita
Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan pasien.
B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan
PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak
HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun
PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah
Pertahankan level PCo2 pada 25 30 mmHg bila TIK tinggi.
C. Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV
Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian
terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan
memperberat hypovolemia
D. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis
Dosis 0,3 0,5 mg/kg BB IV
E. Steroid
Steroid tidak bermanfaat
Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan
F. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK
Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena
barbiturat dapat menurunkan tekanan darah
G. Anticonvulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah terjadinya
epilepsi pasca trauma
Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I
Obat lain diazepam dan lorazepam
PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN
A. Luka Kulit kepala
Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan mencuci
bersih sebelum dilakukan penjahitan
Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat
Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat
dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar dan
penjahitan luka
Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka
menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf
Lakukan foto teengkorak / CT Scan
Tindakan operatif
B. Fractur depresi tengkorak
Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di dekatnya
CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan di
intra kranial atau adanya suatu kontusio
C. Lesi masa Intrakranial
Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam jiwa
dan untuk mencegah kematian
Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan
tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan.
Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi endotracheal ,
hiperventilasi moderat dan pemberian manitol.
LO.1.8 Komplikasi
LO.1.9 Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap
peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.
Upaya yang dilakukan yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu
lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur
lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang untuk
mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian
pertolongan pertama, yaitu :
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat,
penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk
mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk
meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan
psikologis bagi penderita. Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan
lalu lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
1. Rehabilitasi Fisik
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan
bawah tubuh.
b. Perlengkapan splint dan caliper
c. Transplantasi tendon
2. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tamadimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan memotivasi
kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan
harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan
semangat hidup.
3. Rehabilitasi Sosial
a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan paling
sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan
terhadap bantuan orang lain.
b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).
LO.1.10 Prognosis
Prognosis TK buruk jika pada pemeriksaan ditemukan pupil midriasis dan tidak ada
respon E, V, M dengan rangsangan apapun. Jika kesadarannya baik, maka prognosisnya dubia,
tergantung jenis TK, yaitu: pasien dapat pulih kembali atau traumanya bertambah berat.
Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak yang tebal.Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater.Fraktur basis
cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan regio
occipital condylar.Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi
fraktur fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.
LO.2.2 Klasifikasi
Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak), disebut fraktur
calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak), disebut fraktur basis cranium.
Bloody otorrhea.
Bloody rhinorrhea
Liquorrhea
Brill Hematom
Batles sign
Lesi nervus cranialis yang paling sering N I, NVII, dan N VIII
Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada
mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan
rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow
Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intracranial 4.
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan
ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli
sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena
hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial
numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural
hearing loss) 4.
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius12. Sebagian besar
pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan
koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower
cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX, X,
dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis
ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor,
sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital
dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.
LO.2.4 Patofisiologi
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah
dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari
benturan pada wajah atau mandibula; atau efek remote dari benturan pada kepala (gelombang
tekanan yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi foramen
magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit biasanya
segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai
(Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai
dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari
arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering
disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara
sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek
misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada
area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut
kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada
benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau
ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.
Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur basis cranii
akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada area kubah non-kranial, yang
disajikan dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan bermotor, telah didokumentasikan. Para
peneliti menemukan fraktur basis cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah saja.
Pemeriksaan Lanjutan
Studi Imaging :
o Radiografi
Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria panel memutuskan
bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur basis cranii. Foto x-ray
skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.
o CT scan
CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam diagnosis skull
fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan potongan sagital,
bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat membantu dalam
menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.
o MRI
MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan untuk kasus
yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera pada tulang jauh
lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan4.
Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF, dapat
dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah tersebut pada
kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah,
maka disebut halo atau ring sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan dengan
menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin.
LO.2.6 Tatalaksana
Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural neurologis tidak
memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk berobat jalan dan
kembali jika muncul gejala. Sementara itu, pada bayi dengan simple fraktur linier harus
dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status
neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara
conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai
rupture membrane timpani biasanya akan sembuh sendiri.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis pada bayi
ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik membutuhkan
waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejang dianjurkan jika
kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi,
mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole direkomendasikan
pada kasus ini.
Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif dengan stabilisasi
leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.
Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan open fraktur
depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk mengevaluasi
fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone.
Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear dengan
pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya. Kadang kadang, craniectomy dekompressi
dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini,
cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur
condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan arthrodesis atlantoaxial. Hal ini
dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar.
Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan kerusakan ossicular
(tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis longitudinal pada os temporal.
Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan atau
jika membrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran CSF
yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi kebocoran
sebelum intervensi bedah dilakukan.
LO.2.7 Komplikasi
Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan rhinorrhea.
Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur basis cranii dibahas di
bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca trauma adalah
akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan responsif terhadap steroid,
dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba pada saat bersamaan terjadinya
fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan prognosis buruk.
Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii. Fraktur pada ujung
pertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion gasserian. Cedera nervus cranialis VI yang
terisolasi bukanlah akibat langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena terjadinya
ketegangan pada nervus. Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat dalam fraktur
condylar os oksipital, seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Vernet dan sindrom Collet-
Sicard (vide supra). Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis III, IV,dan VI
dan juga dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan pembentukan
pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). Cedera carotid
diduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid, dalam hal ini,
CT-angiografi dianjurkan.
LO.2.8 Prognosis
Pada frakur basis Cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama tanda tanda vital
dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan tindakan sedini mungkin apabila
ditemukan deficit neurologis serta diberikan profilaksis antibiotic untuk mencegah terjadinya
infeksi sekunder, sedangkan pada fraktur basis Cranii posterior, prognosis buruk dikarenakan
fraktur pada fossa posterior dapat mengakibatkan kompresi batang otak.
Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera nervus
cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian besar jenis fraktur adalah
jenis fraktur linear pada anak-anak dan tidak disertai dengan hematom epidural. Sebagian besar
fraktur, termasuk fraktur depresi tulang cranium tidak memerlukan tindakan operasi.
Fraktur ialah hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Berdasarkan
anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian, ialah sepertiga atas wajah,
sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah. Bagian yang termasuk sepertiga atas wajah
ialah tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus,
lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang vomer termasuk ke dalam sepertiga
tengah wajah sedangkan mandibula termasuk ke dalam bagian sepertiga bawah wajah. Fraktur
maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang pembentuk wajah.
LO.3.2 Etiologi
Fraktur maksilofasial dapat diakibatkan karena tindak kejahatan atau penganiayaan,
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga dan industri, atau diakibatkan oleh hal yang bersifat
patologis yang dapat menyebabkan rapuhnya bagian tulang.
LO.3.3 Klasifikasi
Gambar. Fraktur Dentoalveolar Disertai Avulsi Pada Gigi 52, 53, dan 63
Gambar 2.8 Perubahan Oklusi dan Laserasi Gingiva Serta Mukosa Pada Insisif Sentral Pasien
Instalasi Gawat Darurat Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial
Pemeriksaan klinis pada struktur wajah terpenuhi setelah seluruh pemeriksaan fisik
termasuk pemeriksaan jantung dan paru, fungsi neurologis, dan area lain yang berpotensi terkena
trauma, termasuk dada, abdomen, dan area pelvis.
Evaluasi pada wajah dan kranium secara hati-hati untuk melihat adanya trauma seperti
laserasi, abrasi, kontusio, edema atau hematoma. Ekimosis di periorbital, terutama dengan
adanya perdarahan subkonjungtiva, merupakan sebagai indikas dari adanya fraktur zigomatikus
kompleks dan fraktur rima orbita.
LO.3.5 Tatalaksana
Pemeriksaan Radiografis
Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan untuk
memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk mengetahui letak fraktur. Pemeriksaan radiografis
juga dapat memperlihatkan fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda.
Pemeriksaan radiografis pada mandibula biasanya memerlukan foto radiografis panoramic view,
open-mouth Townes view, postero-anterior view, lateral oblique view. Biasanya bila foto-foto
diatas kurang memberikan informasi yang cukup, dapat juga digunakan foto oklusal dan
periapikal.
Computed Tomography (CT) scans dapat juga memberi informasi bila terjadi trauma
yang dapat menyebabkan tidak memungkinkannya dilakukan teknik foto radiografis biasa.
Banyak pasien dengan trauma wajah sering menerima atau mendapatkan CT-scan untuk menilai
gangguan neurologi, selain itu CT-scan dapat juga digunakan sebagai tambahan penilaian
radiografi.
Pemeriksaan radiografis untuk fraktur sepertiga tengah wajah dapat
menggunakan Waters view, lateral skull view, posteroanterior skull view, dansubmental vertex
view.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar daripada yang diabsorpsinya. Fraktur
tulang hidung adalah setiap retakan atau patah yang terjadi pada bagian tulang di organ hidung.5
Penyebab dari fraktur tulang hidung berkaitan dengan trauma langsung pada hidung atau muka.
Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung.3
Penyebab utama dari trauma dapat berupa :
Cedera saat olahraga
Akibat perkelahian
Kecelaaan lalu lintas
Terjatuh
Masalah kelahiran
Kadang dapat iatrogenik
LO.4.2 Klasifikasi
Fraktur hidung dapat dibedakan menurut :
1. Lokasi : tulang nasal (os nasale), septum nasi, ala nasi, dan tulang rawan triangularis.
2. Arah datangnya trauma :
- Dari lateral : kekuatan terbatas dapat menyebabkan fraktur impresi dari salah satu tulang
nasal. Pukulan lebih besar mematahkan kedua belah tulang nasal dan septum nasi dengan
akibat terjadi deviasi yang tampak dari luar.
- Dari frontal : cederanya bisa terbatas hanya sampai bagian distal hidung atau kedua
tulang nasal bisa patah dengan akibat tulang hidung jadi pesek dan melebar. Bahkan
kerangka hidung luar dapat terdesak ke dalam dengan akibat cedera pada kompleks
etmoid.
- Datang dari arah kaudal : relatif jarang.
Jenis fraktur nasal meliputi :
1. fraktur nasal sederhana,
2. fraktur pada prosessus frontalis maksila,
3. fraktur nasal dengan pergeseran kartilago nasi,
4. fraktur dengan keluarnya kartilago septum dari sulkusnya di vomer,
5. fraktur kominutiva pada vomer, dan
6. fraktur pada tulang ethmoid sehingga CSS mengalir dari hidung.1,13
Tanda-tanda berikut merupakan saat dimana sebaiknya meminta pertolongan dokter meliputi :
- Nyeri dan pembengkakan tidak menghilang 3x24 jam
- Hidung terlihat miring atau melengkung
- Sulit bernapas melalui hidung meskipun reaksi peradangan telah mereda
- Terjadi demam
- Perdarahan hidung berulang
Tanda-tanda berikut dimana sebaiknya meminta pertolongan ke unit gawat darurat :
- Perdarahan yang berlangsung lebih dari beberapa menit pada satu atau kedua lubang hidung
- Keluar cairan berwarna bening dari lubang hidung
- Cedera lain pada tubuh dan muka
- Kehilangan kesadaran
- Sakit kepala yang hebat
- Muntah yang berulang
- Penurunan indra penglihatan
- Nyeri pada leher
- Rasa kebas, baal,atau lemah pada lengan.
Diagnosis fraktur tulang hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan
pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai dengan
pembengkakan mukosa hidung terdapatnya bekuan dan kemungkinan ada robekan pada mukosa
septum, hematoma septum, dislokasi atau deviasi pada septum.
Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinusparanasal posisi Water dan bila
perlu dapat dilakukan pemindaian dengan CT scan. CT scan berguna untuk melihat fraktur
hidung dan kemungkinan terdapatnya fraktur penyerta lainnya.
Pasien harus selalu diperiksa terhadap adanya hematoma septum akibat fraktur, bilamana
tidak terdeteksi. Dan tidak dirawat dapat berlanjut menjadi abses, dimana terjadi resorpsi
kartilago septum dan deformitas hidung pelana ( saddle nose ) yang berat.
a. Anamnesis
Rentang waktu antara trauma dan konsultasi dengan dokter sangatlah penting untuk
penatalaksanaan pasien. Sangatlah penting untuk menentukan waktu trauma dan menentukan
arah dan besarnya kekuatan dari benturan. Sebagai contoh, trauma dari arah frontal bisa menekan
dorsum nasal, dan menyebabkan fraktur nasal. Pada kebanyakan pasien yang mengalami trauma
akibat olahraga, trauma nasal yang terjadi berulang dan terus menerus, dan deformitas hidung
akan menyebabkan sulit menilai antara trauma lama dan trauma baru sehingga akan
mempengaruhi terapi yang diberikan. Informasi mengenai keluhan hidung sebelumnya dan
bentuk hidung sebelumnya juga sangat berguna. Keluhan utama yang sering dijumpai adalah
epistaksis, deformitas hidung, obstruksi hidung dan anosmia
b. Pemeriksaan fisik
Kebanyakan fraktur nasal adalah pelengkap trauma seperti trauma akibat dihantam atau
terdorong. Sepanjang penilaian awal dokter harus menjamin bahwa jalan napas pasien aman dan
ventilasi terbuka dengan sewajarnya. Fraktur nasal sering dihubungkan dengan trauma pada
kepala dan leher yang bisa mempengaruhi patennya trakea. Fraktur nasal ditandai dengan
laserasi pada hidung, epistaksis akibat robeknya membran mukosa. Jaringan lunak hidung akan
nampak ekimosis dan udem yang terjadi dalam waktu singkat beberapa jam setelah trauma dan
cenderung nampak di bawah tulang hidung dan kemudian menyebar ke kelopak mata atas dan
bawah.
Deformitas hidung seperti deviasi septum atau depresi dorsum nasal yang sangat khas,
deformitas yang terjadi sebelum trauma sering menyebabkan kekeliruan pada trauma baru.
Pemeriksaan yang teliti pada septum nasal sangatlah penting untuk menentukan antara deviasi
septum dan hematom septi, yang merupakan indikasi absolut untuk drainase bedah segera.
Sangatlah penting untuk memastikan diagnosa pasien dengan fraktur, terutama yang meliputi
tulang ethmoid. Fraktur tulang ethmoid biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur nasal
fragmental berat dengan tulang piramid hidung telah terdorong ke belakang ke dalam labirin
ethmoid, disertai remuk dan melebar, menghasilkan telekantus, sering dengan rusaknya ligamen
kantus medial, apparatus lakrimalis dan lamina kribriformis, yang menyebabkan rhinorrhea
cerebrospinalis.
Pada pemeriksaan fisis dengan palpasi ditemukan krepitasi akibat emfisema subkutan,
teraba lekukan tulang hidung dan tulang menjadi irregular. Pada pasien dengan hematom septi
tampak area berwarna putih mengkilat atau ungu yang nampak berubah-ubah pada satu atau
kedua sisi septum nasal. Keterlambatan dalam mengidentifikasi dan penanganan akan
menyebabkan deformitas bentuk pelana, yang membutuhkan penanganan bedah segera.
Pemeriksaan dalam harus didukung dengan pencahayaan, anestesi, dan semprot hidung
vasokonstriktor. Spekulum hidung dan lampu kepala akan memperluas lapangan pandang. Pada
pemeriksaan dalam akan nampak bekuan darah dan/atau deformitas septum nasal.
a. Pemeriksaan radiologis
Jika tidak dicurigai adanya fraktur nasal komplikasi, radiografi jarang diindikasikan.
Karena pada kenyataannya kurang sensitif dan spesifik, sehingga hanya diindikasikan jika
ditemukan keraguan dalam mendiagnosa. Radiografi tidak mampu untuk mengidentifikasi
kelainan pada kartilago dan ahli klinis sering salah dalam menginterpretasikan sutura normal
sebagi fraktur yang disertai dengan pemindahan posisi. Bagaimanapun, ketika ditemukan gejala
klinis seperti rhinorrhea cerebrospinalis, gangguan pergerakan ekstraokular atau maloklusi. CT-
scan dapat diindikasikan untuk menilai fraktur wajah atau mandibular.
LO.4.5 Tatalaksana
KONSERVATIF
Penatalaksanaan fraktur nasal berdasarkan atas gejala klinis, perubahan fungsional dan
bentuk hidung, oleh karena itu pemeriksaan fisik dengan dekongestan nasal dibutuhkan.
Dekongestan berguna untuk mengurangi pembengkakan mukosa. Pasien dengan perdarahan
hebat, biasanya dikontrol dengan pemberian vasokonstriktor topikal. Jika tidak berhasil bebat
kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah jarang
dilakukan. Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol perdarahan setelah
vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama 2-5 hari sampai perdarahan
berhenti. Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya dan kepala sedikit ditinggikan
untuk mengurangi pembengkakan. Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko infeksi,
komplikasi dan kematian. Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri dan
memberikan rasa nyaman pada pasien.
Fraktur nasal merupakan fraktur wajah yang tersering dijumpai. Jika dibiarkan tanpa
dikoreksi, akan menyebabkan perubahan struktur hidung dan jaringan lunak sehingga akan
terjadi perubahan bentuk dan fungsi. Karena itu, ketepatan waktu terapi akan menurunkan resiko
kematian pasien dengan fraktur nasal. Terdapat banyak silang pendapat mengenai kapan
seharusnya penatalaksanaan dilakukan. Penatalaksanaan terbaik seharusnya dilakukan segera
setelah fraktur terjadi, sebelum terjadi pembengkakan pada hidung. Sayangnya, jarang pasien
dievaluasi secara cepat. Pembengkakan pada jaringan lunak dapat mengaburkan apakah patah
yang terjadi ringan atau berat dan membuat tindakan reduksi tertutup menjadi sulit dilakukan.
Sebab dari itu pasien dievaluasi setelah 3-4 hari berikutnya. Tindakan reduksi tertutup dilakukan
7-10 hari setelahnya dapat dilakukan dengan anestesi lokal. Jika tindakan ditunda setelah 7-10
hari maka akan terjadi kalsifikasi.
Setelah memastikan bahwa saluran napas dalam kondisi baik, pernapasan optimal dan
keadaan pasien cenderung stabil, dokter baru melakukan penatalaksaan terhadap fraktur.
Penatalaksanaan dimulai dari cedera luar pada jaringan lunak. Jika terjadi luka terbuka dan
kemungkinan kontaminasi dari benda asing, maka irigasi diperlukan. Tindakan pembersihan
(debridement) juga dapat dilakukan. Namun pada tindakan debridement harus diperhatikan
dengan bijak agar tidak terlalu banyak bagian yang dibuang karena lapisan kulit diperlukan
untuk melapisi kartilago yang terbuka.
OPERATIF
Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang, penanganan
bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan. Deformitas akibat fraktur nasal
sering dijumpai dan membutuhkan reduksi dengan fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi
hidung.
A. Teknik reduksi tertutup
Reduksi tertutup adalah tindakan yang dianjurkan pada fraktur hidung akut yang
sederhana dan unilateral. Teknik ini merupakan satu teknik pengobatan yang digunakan untuk
mengurangi fraktur nasal yang baru terjadi. Namun, pada kasus tertentu tindakan reduksi terbuka
di ruang operasi kadang diperlukan. Penggunaan analgesia lokal yang baik, dapat memberikan
hasil yang sempurna pada tindakan reduksi fraktur tulang hidung. Jika tindakan reduksi tidak
sempurna maka fraktur tulang hidung tetap saja pada posisi yang tidak normal. Tindakan reduksi
ini dikerjakan 1-2 jam sesudah trauma, dimana pada waktu tersebut edema yang terjadi mungkin
sangat sedikit. Namun demikian tindakan reduksi secara lokal masih dapat dilakukan sampai 14
hari sesudah trauma. Setelah waktu tersebut tindakan reduksi mungkin sulit dikerjakan karena
sudah terbentuk proses kalsifikasi pada tulang hidung sehingga perlu dilakukan tindakan
rinoplasti estetomi.
LO.4.6 Komplikasi
A) Hematom septi
Merupakan komplikasi yang sering dan serius dari trauma nasal. Septum hematom
ditandai dengan adanya akumulasi darah pada ruang subperikondrial. Ruangan ini akan
menekan kartilago di bawahnya, dan mengakibatkan nekrosis septum irreversible.
Deformitas bentuk pelana dapat berkembang dari jaringan lunak yang hilang. Prosedur yang
harus dilakukan adalah drainase segera setelah ditemukan disertai dengan pemberian
antibiotik setelah drainase. 3,7,12
LO.5.2 Klasifikasi
Menurut (Tobing, 2011) perdarahan intrakranial diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan
cedera otak difus.
Cedera otak fokal yang meliputi :
o Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial
antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat
menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan
kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil
itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan
hemiparesis.
o Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi
akut (6-3 hari).Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan
korteks cerebri.Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak.Biasanya
kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding
pada perdarahan epidural.
o Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3
minggu setelah trauma.Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah
darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga
akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari
akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan
dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di
ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses
degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang
dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor
diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak.
Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung,
kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic
attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang bervariasi seperti kelemahan
motorik dan kejang
o Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang
terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan
antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi
dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak
lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala
klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran. Derajat
penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma yang
dialami.
o Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik
arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang
subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA).Luasnya PSA
menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan burukna
prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan
menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.
Dugaan adanya perdarahan di dalam kepala dapat dilihat dari tanda dan gejala yang ada.
Pemeriksaan radiologi, seperti CT scan atau MRI dapat digunakan untuk melihat perdarahan
yang terjadi.
1. Epidural Hematom
Gambar CT-scan epidural hematom
Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi :
- Trauma kepala
- Sobekan a/v meningea median
- Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
- Ruptur v diplorica
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya fraktur linier yang
menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea mediana.Fraktur tengkorak
yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang sisanya (9 %) disebabkan oleh regangan
dan robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang
terjadi hanya sementara. Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang
terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur oksipital, parietal
atau tulang sfenoid.
Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi :
- Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
- Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam 7 hari
- Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7
Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang lambat,
seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial
linier.Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau
keduanya.Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati
lekukan minengeal pada squama temporal.
Gejala klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari :
- Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan
perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral.Lebih dari
50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari
saat terjadinya cedera. Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya
jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval
lucid.Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal.Interval ini
menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena
trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi
transtentorial.Panjang dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan
yang dimungkinkan berasal dari arteri.
- Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran
massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga
menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.
- Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun
sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya
kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
Terapi
Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin,
dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan.
Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari terjadinya
pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi-kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom
2. Subdural Hematoma
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam
penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.
Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang
mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan
dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif.
Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang signifikan
pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume darahnya terbatas,
perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang menyebabkan
kehilangan darah yang berarti. Perdarahan yang demikian mengakibatkan ketidakstabilan
hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering terhadap level
hematokrit.
PENCITRAAN
Radiografi
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular
cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga mungkin
diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan epidural.
Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan fraktur kranium.
Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan kranium yang lebih besar.
CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam mendiagnosa
perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang ditempati perdarahan
epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya
pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus
mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior yang
besar mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom
kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom
menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari
waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu
tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4
minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut
mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin
mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin
serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana
konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat
disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional.
Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan
mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital
dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi intrakranial
lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio serebral, dan
hematom intraserebral
MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat
untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat
diamati ketika meluas.
LO.5.4 Tatalaksana
Terapi Obat-obatan
Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang kurang baik
pada jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan distorsi struktural, herniasi otak
yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan (2)
pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang
memungkinkan. Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume lebih
cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan pengamatan yang
sangat ketat jika diambil rute konservatif.
Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah segera. Jika
lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik, mengamati pasien dengan
pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal.
Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan penilaian
klinis, publikasi terbaru Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury
merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan perdarahan epidural < 30 ml, < 15 mm
tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat ditangani
secara non-operatif. Scanning follow-up dini harus digunakan untukmenilai meningkatnya
ukuran hematom nantinya sebelum terjadi perburukan. Terbentuknya perdarahan epidural
terhambat telah dilaporkan. Jika meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau pasien
memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka pembedahan harus diindikasikan.
Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan pada stadium awal perdarahan epidural,
khususnya ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis telah diamati.
Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit primer
yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip fundamental yang telah
didiskusikan diatas.
Terapi Bedah
Berdasarkan pada Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury,
perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa
mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural
memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5 mm.
Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan status
kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi.
Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan. Hematom
temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan perburukan
lebih cepat. Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan gangguan
sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang yang tersedia
terbatas dibandingkan dengan ruang supratentorial.
Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal yang biasa,
khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan yang cepat.
Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan.
Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini :
Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi intrakranial
yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas hemodinamik yang berat.
Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera sistemiknya.
LO.5.5 Komplikasi
Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan yang mereka
kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti. Ketika otak menjadi subyek herniasi
subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior mungkin tersumbat, menyebabkan infark
serebral.
Herniasi ke bawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak, paling
sering di pons.
Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral, yang seringnya
membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan dilepaskan. Palsy nervus III
kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan ketidakmampuan menggerakkan mata
ke arah medial, atas, dan bawah.
Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista leptomeningeal atau
fraktur bertumbuh. Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi dan pertumbuhan otak tidak
mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah robek dura dan batas fraktur membesar.
Pasien dengan kista leptomeningeal biasanya memperlihatkan massa scalp pulsatil.
Daftar Pustaka
Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P. EGC,
Jakarta,1995, 1014-1016.
Ekayuda I., Angiografi, Radiologi Diagnostik, edisi kedua, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2006,
359-366
Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D. EGC, Jakarta,
2004, 818-819
Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 2005, 314
Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Kilinis Dasar, Dian
Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259