Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

FRAKTUR COSTAE DENGAN EFUSI PLEURA

Oleh:
Rizkya Farhan Katresna Amin

Pembimbing:

dr. Radiyan Meidhiyanto

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT CITRA SARI HUSADA

KARAWANG PERIODE AGUSTUS- FEBRUARI

2022
Lembar Pengesahan

Laporan kasus Fraktur Costae dengan Efusi Pleura

Mengetahui :

Peserta Internship, Pembimbing

dr. Rizkya Farhan Katresna Amin dr. Radiyan Mediyanto


BAB 1
LAPORAN KASUS

1.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. A
Umur : 25 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Suku Bangsa : Jawa
Status Perkawinan : Kawin
Tanggal Masuk : 06 Oktober 2022
No. RM : 246XXX

1.2. ANAMNESIS
 Keluhan Utama
Dada terasa nyeri
 Riwayat Penyakit Sekarang
Tiga puluh menit SMRS saat pasien sedang mengendarai sepeda motor , pasien terjatuh
dengan posisi dada terbentur ke kemudi. Setelah kejadian, pasien merasa nyeri pada
dada, telapak tangan kanan dan kiri serta lutut kiri. Pasien merasa sesak jika
dibaringkan, pingsan(-), muntah(-), pusing(-), kejang(-). Pasien masih ingat kejadian
sebelum dan sesudah kecelakaan. Anggota gerak lainnya dapat digerakkan, leher dapat
digerakkan.
 Riwayat Penyakit Dahulu
R. Asma : disangkal
R. Alergi obat : disangkal
R. Alergi makanan : disangkal
R. Jatuh sebelumnya : disangkal
R. Penyakit Jantung : disangkal
 Riwayat Penyakit Keluarga
R. Hipertensi : disangkal
R. DM : disangkal
R. Asma : disangkal
 Anamnesa Sistemik
- Kepala : normocephal
- Mata : pandangan kabur(-/-), pucat(-/-), pandangan dobel
(-/-)
- Hidung : pilek (-), mimisan (-), hidung tersumbat (-)
- Telinga : pendengaran berkurang(-/-), keluar cairan(-/-),
berdenging(-/-)
- Mulut : mulut kering (-), bibir biru (-), sariawan (-),
gusi berdarah(-), bibir pecah- pecah (-)
- Tenggorokan : sakit telan (-)
- Respirasi : sesak (+), batuk (-), dahak (-), batuk (-), mengi (-)
- Cardiovascular : nyeri dada (-), pingsan (-), kaki bengkak (-),
keringat dingin (-), lemas (-)
- Gastrointestinal : mual (-) muntah (-), perut terasa panas (-)
kembung (-), sebah (-), muntah darah (-), BAB
warna hitam (-), BAB lendir darah(-), BAB sulit(-)
- Genitourinaria : BAK warna kuning jernih, nyeri saat BAK (-)
- Muskuloskeletal : nyeri otot (+), nyeri sendi (-), bengkak sendi (-)
- Ekstremitas : Atas : pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/-),
luka robek telapak tangan (+/+), terasa dingin (-/-),
Bawah : pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/-),
luka robek pada lutut dan punggung kaki (-/+) hangat (+/+)
 Primary Survey
1. Airway : bebas
2. Breathing : Spontan, RR : 20x/menit
3. Circulation : Tekanan darah : 110/70 mmHg, Nadi 79 x/menit
4. Disability : GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+),
pupil isokor (3mm/3mm)

5. Exposure : suhu 36,7 ºC, jejas (+) di dada, terpasang ransel


verban
 Secondary Survey
  Kepala : Normochepal, deformitas (-)

  Mata : CA -/-, SI -/-,reflek cahaya +/+

  THT : Trakhea tidak deviasi, sekret -/-

  Leher : Pembesaran KGB & Tiroid (-)

  Thoraks : BJ I-II reguler, Gallop (-), Murmur (-)


Suara nafas vesikuler +/+, Rhonki -/-.
Wheezing -/-
 Abdomen : Bising usus (+), Nyeri Tekan (-), Nyeri lepas
(-), Nyeri ketok (-)
 Ekstremitas : Akral hangat, udem,(-) CRT < 2 detik, vulnus
laceratum regio palmar dextra et sinistra,
vulnus laceratum regio patella sinistra, vulnus
laceratum regio dorsum pedis sinistra

 Status Lokalis Regio thorax


Look : jejas + pada dinding dada kanan dan kiri
Feel : krepitasi pada dinding dada kiri +
Moves : pergerakan dinding dada kiri tertinggal

1.3. Pemeriksaan Penunjang


Hasil Laboratorium 06 Oktober 2022

PEMERIKSAAN HASIL DARAH LENGKAP NILAI NORMAL

Hemoglobin 13.2 g/dl P:13-18 W:12-16


Leukosit 17.710 /mm3 4.000 - 10.000
Trombosit 217.000 /mm3 150.000 - 450.000
Hematokrit 40.8 % P:39-54 W:36-47
MCV 97,2 fl 81-99
MCH 31,6 pg 27,0-31,0
MCHC 32,6 g/dl 31,0-37,0
HITUNG JENIS LEUKOSIT
LYM 10 % 20-40
MID 9 % 2-10
GRAIN 81 % 50-70
HEMATOLOGI
Masa Perdarahan 3 Menit 1-6 menit
Masa Pembekuan 13 Menit 5-15 menit
KIMIA DARAH
Glukosa Sewaktu 86.0 mg% 80-180 mg%
FUNGSI HATI
SGOT 24 U/L 0-37 U/L
SGPT 25 U/L 0-40 U/L
FUNGSI GINJAL
Ureum darah 23 mg/dl 0-43 mg/dl
Kreatinin darah 0,93 mg/dl 0,70-1,30mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 139,00 mmol/L 135-147 mmol/L
Kalium 2.99 mmol/L 3.5-5.5 mmol/L
Chlorida 98,00 mmol/L 94-111 mmol/L
HEPATITIS
HBsAg NEGATIF NEGATIF
Pemeriksaan Penunjang Foto Ro Thorax PA (06-10-2022)

Cor: normal
Sinus costophrenicus kanan tajam, kiri tajam
Tampak fraktur costae 4,5 anterior sinistra
Corakan bronkovaskular normal Kesan :
Fraktur costae 4,5 anterior sinistra

FOLLOW UP 1. Hasil Foto Thoraks Proyeksi PA (07-10-2022)

Cor tidak membesar


Sinus dan diafragma kanan normal
Sinus dan diafragma kiri terselubung
Fraktur Costa 4-5 Anterior sinistra
Perselubungan opachance di hemithoraks sinistra
Corakan bronkovaskular normal
Kesan : -Hematotoraks sinistra
-Fraktur costa 4-5 sinistra
1.4. TATALAKSANA
 Medikamentosa
- O2 5 lpm via nasal kanul
- RL 500 cc 20tpm
- Ketorolac 2 Ampul (60 mg) / 24 jam
- Injeksi Granisentron drips 2x 1 mg/ 24 jam
- Cepraz 2x 1gr/ 24 jam
- Cek darah rutin
- Monitoring KU/VS
- Debridement luka
- Observasi di ruang perawatan

Gambar. Teknik pemasangan Chest Tube

 Rencana Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage) Laporan Operasi :


1. Posisi supine dekubitus lateral.
2. Tentukan Lokasi pemasangan di intercosta IV-V linea aksilaris sinistra
3. Lakukan tindakan sepsis/antisepsis.
4. Lakukan anastesi pada tempat yang telah ditentukan.
5. Insisi kulit dan subkutis searah dengan pinggir iga,sampai muskulus interkostalis.

6. Masukkan Kelly klemp sampai rongga pleura.


7. Masukkan selang(chest tube) melalui lubang yang dibuat dengan menggunakan Kelly
forceps, fiksasi jahitan ke dinding dada.
8. Selang(chest tube) disambungkan ke WSD yang telah disiapkan
9. Foto X-Ray Post pemasangan chest tube.

 RENCANA TERAPI POST WSD :


1. Oksigen 6 L/menit via mask
2. Posisi Head up 300
3. Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
4. Inj. Ranitidin 50mg/8 jam
5. Inj. Ceftriaxon 1 g/12 jam
6. Observasi KU/VS
7. Observasi patensi WSD & Ganti tube WSD bila penuh
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi

Otot-otot dinding dada maupun dinding abdomen tersusun dalam beberapa lapisan yaitu
lapisan eksternal, lapisan medial dan lapisan internal. Untuk dinding toraks, lapisan eksternal,
medial dan internal berturut-turut adalah musculus intercostalis externus, musculus intercostalis
internus, dan musculus subcostalis serta musculus transversus thoracis.
Otot-otot lain yang ikut membentuk dinding toraks termasuk dalam kelompok otot-otot
ekstremitas superior. Otot-otot dinding abdomen dan otot-otot tertentu punggung, semuanya
terletak di sebelah luar costae dan spatium intercostales. Musculi levator costarum berkaitan
dengan otot-otot punggung, tetapi fungsional berkaitan dengan musculus intercostales.5
Selama inspirasi tenang pergerakan diafragma menyumbangkan 75% perubahan volume
intratoraks. Diafragma melekat sekitar dasar rongga toraks, otot ini melengkung di atas hati dan
bergerak ke bawah seperti piston bila ia berkontraksi. Jarak pergerakannya berkisar dari 1,5 cm
sampai sejauh 7 cm dengan inspirasi dalam.

Otot-otot inspirasi utama lainnya adalah musculus intercostalis externus, yang berjalan
miring ke atas dan ke bawah dari iga ke iga. Poros iga bersendi pada vertebra sehingga bila
musculus intercostalis externus berkontraksi mereka menaikkan iga-iga bagian bawah. Hal ini
mendorong sternum ke luar dan menaikkan diameter anteroposterior dada. Diameter transversal
sebenarnya sedikit berubah atau tidak sama sekali. Baik diafragma maupun musculus
intercostalis externus sendiri dapat mempertahankan ventilasi yang cukup pada keadaan
istirahat. Pemotongan transversal medulla spinalis di atas segmen servikal ke tiga adalah fatal
bila tanpa pernapasan buatan, tetapi transeksi di bawah asal nervus phrenicus yang mempersarafi
diafragma (segmen servikal ketiga sampai kelima) tidak fatal. Sebaliknya, pada penderita dengan
kelumpuhan nervus phrenicus bilateral, respirasi cukup untuk mempertahankan hidup. Muskulus
scalenus dan muskulus sternicleidomastoideus pada leher adalah otot pembantu inspirasi yang
membantu menaikkan rongga toraks selama pernapasan dalam.6
Penurunan volume intratoraks dan ekspirasi yang kuat terjadi bila otot ekspirasi
berkontraksi. Muskulus interkostalis internus mempunyai kerja ini sebab mereka berjalan miring
ke bawah dan posterior dari iga ke iga dan oleh karena itu menarik rongga toraks ke bawah bila
mereka berkontraksi. Kontraksi otot-otot dinding depan abdomen juga membantu ekspirasi
dengan menarik rongga iga ke bawah dan dalam dan dengan meningkatnya tekanan intra-
abdominal, yang mendorong diafragma ke atas.

Gambar 1 . Otot-otot pernapasan dinding dada

Pleura terbagi menjadi pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis yaitu selaput yang
langsung membungkus paru, sedangkan pleura parietal yaitu selaput yang menempel pada
rongga dada. Diantara kedua pleura terdapat rongga yang disebut kavum pleura
Gambar 2. Pleura

Paru memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40 m2 untuk pertukaran udara. Tiap
paru memiliki: apeks yang mencapai ujung sternal kosta pertama, permukaan costovertebral
yang melapisi dinding dada, basis yang terletak di atas diafragma dan permukaan mediastinal
yang menempel dan membentuk struktur mediastinal di sebelahnya.
Paru kanan terbagi menjadi lobus atas, tengah, dan bawah oleh fissura obliqus dan horizontal.
Paru kiri hanya memiliki fissura obliqus sehingga tidak ada lobus tengah. Segmen lingular
merupakan sisi kiri yang ekuivalen dengan lobus tengah kanan. Namun, secara anatomis lingual
merupakan bagian dari lobus atas kiri. Struktur yang masuk dan keluar dari paru melewati hilus
paru yang diselubungi oleh kantung pleura yang longgar.7

Gambar 3 . Anatomi paru kanan dan kiri dilihat dari medial.


2.2. Fraktur Costae
 Definisi
Bronkus dan jaringan parenkim paru mendapat pasokan darah dari arteri bronkialis
cabang-cabang dari aorta thoracalis descendens. Vena bronkialis, yang juga berhubungan dengan
vena pulmonalis, mengalirkan darah ke vena azigos dan vena hemiazigos. Alveoli mendapat
darah deoksigenasi dari cabang-cabang terminal arteri pulmonalis dan darah yang teroksigenasi
mengalir kembali melalui cabang-cabang vena pulmonalis. Dua vena pulmonalis mengalirkan
darah kembali dari tiap paru ke atrium kiri jantung.
Drainase limfatik paru mengalir kembali dari perifer menuju kelompok kelenjar getah bening
trakeobronkial hilar dan dari sini menuju trunkus limfatikus mediastinal.

Paru dipersarafi oleh pleksus pulmonalis terletak di pangkal tiap paru. Pleksus ini terdiri dari
serabut simpatis (dari truncus simpaticus) dan serabut parasimpatis (dari arteri vagus). Serabut
eferen dari pleksus mempersarafi otot-otot bronkus dan serabut aferen diterima dari membran
mukosa bronkioli dan alveoli.

Fraktur Iga adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang / tulang rawan yang
disebabkan oleh rudapaksa pada spesifikasi lokasi pada tulang iga. Fraktur pada iga merupakan
kelainan yang sering terjadi akibat trauma tumpul pada dinding toraks. Trauma tajam lebih
jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma yang sempit, sehingga
gaya trauma dapat melalui sela iga. Fraktur iga sering terjadi pada iga IV-X dan sering
menyebabkan kerusakan pada organ intra toraks dan intra abdomen.

2.3 Epidemiologi
Prevalensi dari fraktur iga berhubungan dengan prevalensi penyebab dari trauma.
Fraktur iga di dunia lebih banyak terjadi karena kecelakaan lalulintas. Angka kejadian
berhubungan dengan derajat dari cedera yang didapat. Insiden fraktur kosta di Amerika serikat
banyak dilaporkan dengan lebih dari 2 juta trauma tumpul terjadi yang biasanya karena
kecelakaan kendaraan bermotor, dengan insiden dari trauma toraks antara 67 dan 70%. Suatu
studi pada pasien dengan fraktur kosta, angka kematian mencapai 12%; dengan 94%
berhubungan dengan trauma itu sendiri dan 32% didapatkan dengan hemothorax atau
pneumothorax.1,2
Lebih dari setengah dari semua pasien memerlukan tindakan operasi atau penanganan
ICU. Suatu penelitian retrospective dari 99 pasien lanjut usia, 16 % dari pasien dengan
confidence interval 95%, sedangkan 9.5-24.9% mengalami perburukan termasuk dua orang
meninggal. Perburukan yang terjadi karena acute respiratory distress syndrome (ARDS),
pneumonia, intubasi yang tidak terantisipasi, transfer ke ICU dengan hipoksemia atau
meninggal.3
Pada anak anak lebih banyak terjadi trauma pada bagian bawah toraks dan bagian perut
sehingga bila terjadi fraktur iga dapat menjadi tanda adanya kemungkinan cedera dengan
tenaga yang lebih besar. Pada anak yang lebih muda dari 2 tahun dengan fraktur iga
mempunyai prevalensi karena kekerasan pada anak sekitar 83%. Pada anak-anak jarang terjadi
fraktur iga karena tulang iga anak anak lebih elastis dibandingkan orang dewasa.2

2.4. Patofisiologi Fraktur Iga


Dinding toraks melindungi dan mengelilingi bagian organ didalamnya dengan tulang
padat seperti tulang iga, clavikula, sternum dan scapula. Pada pernafasan normal dibutuhkan
sebuah dinding toraks yang normal. Fraktur iga mengganggu proses ventilasi dengan berbagai
mekanisme. Nyeri dari fraktur iga dapat disebabkan karena penekanan respirasi yang
menghasilkan atelectasis dan pneumonia. Fraktur iga yang berdekatan seperti flail chest
mengganggu sudut costovertebral normal dan otot diaphragma, menyebabkan penurunan
ventilasi. Fragmen tulang dari iga yang patah dapat menusuk bagian paru yang menimbulkan
hemothorax atau pneumothorax.3
Fraktur iga merupakan cedera yang paling sering terjadi pada trauma tumpul toraks
lanjut usia. Posisi dari patahan fraktur iga membantu untuk mengidentifikasi kemungkinan
cedera pada organ dibawahnya. Fraktur pada iga pertama menggambarkan trauma serius pada
spinal atau pembuluh darah. Fraktur pada iga pertama dapat menjadi prediksi terjadinya cedera
serius. Tulang iga pertama dilindungi dengan baik oleh bahu, otot leher bagian belakang dan
clavikula sehingga bila terjadi patah pada tulang ini, memerlukan energi lebih dibandingkan
dengan patah pada tulang iga lainnya. Angka kematian sekitar 36% sudah dilaporkan pada
fraktur tulang iga pertama berhubungan dengan cedera pada paru, aorta asenden, arteri
subklavia dan plexus brachialis. Tulang iga biasanya mengalami patah pada bagian posterior
karena secara struktural bagian ini merupakan yang paling lemah. Iga ke 4 sampai 9 lebih
sering terjadi cedera. Mekanisme terjadinya cedera tulang kosta pertama pada kecelakaan lalu
lintas terjadi karena kontraksi otot akibat gerakan tiba-tiba dari kepala dan leher.3,4

2.5. Manifestasi Klinis


Pasien dengan patah tulang kosta biasanya dengan nyeri berat khususnya saat inspirasi
atau ketika bergerak. Tanda dan gejala lainnya termasuk tenderness dan kesulitan dalam
pernafasan. Ketidaksimetrisan dari pergerakan dinding toraks (flail chest). Pasien juga biasanya
ditemukan tanda adanya kecemasan, kelemahan, keluhan nyeri kepala dan mengantuk.1,3,6

2.6. Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan fisik dilakukan setelah dilakukan anamnesis untuk mengetahui mekanisme
kejadian kemudian perlu dilakukan pemeriksaan untuk menunjang diagnosis. Beberapa
pemeriksaan penunjang yang dilakukan meliputi:

a. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium secara umum tidak begitu berguna untuk mengevaluasi pada
kasus isolated rib fractures. Pemeriksaan urinalisis pada kasus patah tulang iga bagian bawah
diindikasikan pada trauma ginjal. Tes fungsi paru seperti analisa gas darah digunakan untuk
mengetahui adanya kontusio paru tetapi bukan pemeriksaan untuk patah tulang toraks itu
sendiri.

b. Foto Polos Toraks

Pemeriksaan pertama pada pasien dengan trauma toraks adalah foto polos toraks. X-ray
hanya membutuhkan sedikit waktu sesudah terjadinya cedera. Deteksi dini adanya kontusio
paru, hematoma, laserasi sangat penting untuk mengetahui kelainan patologis dan perencanaan
perawatan. Angka kematian dapat diturunkan dengan kerjasama antara radiologis dengan
dokter emergensi.1
Gambar 2.3 Fraktur iga multipel kanan dan kiri, emfisema
subkutis

Pemeriksaan foto polos toraks sangat berguna untuk mengetahui cedera lainnya seperti
adanya hemothorax, pneumothorax, kontusio paru, atelectasis, pneumonia dan cedera
pembuluh darah. Adanya patah tulang sternum dan scapula dapat menjadi kecurigaan adanya
patah iga. Cedera aorta tampak ada pelebaran >
8 cm dari mediastinum pada bagian atas kanan dari hasil foto polos Toraks.
c. Ultrasonography (USG)

Pemeriksaan USG memberikan diagnosa yang cepat tanpa radiasi. Pemeriksaan


Ultrasonography juga dapat mendeteksi kartilago iga dan costochondral junction. Proses
penyembuhan dengan callous formation juga dapat dideteksi dengan USG. Ultrasonography
dilaporkan mempunyai sensitivitas yang bisa diterima dengan hasil sensitivitas lebih tinggi
dibandingkan dengan radiografi (0.92 vs. 0.44) tetapi hasil ini sangat tergantung pada operator
alat dan alat yang digunakan.3
d. CT Scan Toraks4
CT scan toraks lebih sensitif daripada foto polos toraks untuk mengetahui fraktur
tulang iga. Jika dicurigai adanya komplikasi dari fraktur kosta pada pemeriksaan foto polos
toraks, CT scan toraks dapat dilakukan untuk mengetahui cedera yang spesifik sehingga dapat
membantu penanganan selanjutnya. Foto polos toraks dapat menjadi tidak efektif pada
beberapa kondisi sehingga diperlukan CT scan toraks yang dapat mencegah dari kondisi yang
serius. Computed tomography (CT) sangat sensitive untuk mendiagnosa kontusio paru dengan
ukuran 3 dimensi. CT scan dapat membedakan area dari kontusio paru terjadi atelectasis atau
aspirasi.

Gambar 2.4 CT Scan Fraktur Iga Multipel dengan


flail chest dan hemothorax

e. Pemeriksaan Angiography3

Fraktur iga pertama dan kedua biasanya berhubungan dengan cedera pembuluh darah
maka dokter di unit gawat darurat dapat melakukan angiography khususnya pada pasien
dengan tanda dan gejala gangguan neurovascular. Hal ini penting khususnya pada fraktur kosta
tulang kedua dengan kemungkinan hasil abnormal yang lebih tinggi ditemukan daripada patah
iga yang lain.

f. MRI digunakan untuk mengetahui angulasi fraktur bagian posterior lateral meskipun
MRI tidak digunakan untuk diagnosis pertama pada fraktur iga.

2.7. Penatalaksanaan Fraktur Iga


a. Penatalaksanaan Prehospital
Penatalaksanaan prehospital harus fokus dalam mempertahankan jalan nafas dan
dengan bantuan oksigenasi.
b. Penatalaksanaan di Unit Gawat Darurat

Tujuan utama dari penatalaksanaan di unit gawat darurat adalah untuk menstabilkan
kondisi pasien trauma dan evaluasi dari multi trauma. Manajemen dan kontrol nyeri mutlak
pada penatalaksanaan fraktur iga. Manajemen nyeri dapat dimulai dengan pemberian
analgetik NSAID bila tidak ada kontraindikasi. Dilanjutkan dengan golongan narkotik bila
hasilnya tidak memuaskan. Pilihan lain adalah narkotik parenteral untuk mencegah depresi
pernafasan. Beberapa penelitian merekomendasikan rawat inap untuk pasien dengan 3 atau
lebih fraktur iga dan perawatan ICU untuk pasien lanjut usia dengan 6 atau lebih patah
tulang kosta karena ada hubungan yang signifikan dari patah tulang tersebut dengan adanya
cedera serius pada organ dalam seperti pneumothorax dan kontusio paru.
Kontrol nyeri perlu dipertahankan selama perawatan kontrol nyeri merupakan dasar dari
kualitas perawatan pasien untuk menjamin kenyamanan pasien. Pasien dengan fraktur iga
akan mengalami nyeri berat ketika bernafas, berbicara, batuk maupun ketika menggerakkan
tubuh. Sehingga kontrol nyeri merupakan prioritas untuk menurunkan risiko paru dan efek
sistemik dari fraktur seperti penurunan fungsi pernafasan yang memicu terjadinya hypoxia,
atelectasis, dan pneumonia.
Penggunaan fiksasi patah tulang kosta meningkat untuk penanganan flail chest karena
peningkatan jumlah publikasi tentang peningkatan outcome pasien. Belum ada publiksasi
tentang keunggulan dari fiksasi patah tulang kosta tetapi ada perbedaan dari teknik muscle
sparing dan tradisional untuk penanganan toraks dan pembedahan spinal. Fiksasi patah
tulang melalui pembedahan/Surgical Rib fixation (SRF) merupakan suatu penanganan pada
flail chest untuk menjaga stabilitas dinding toraks.
Daftar Pustaka

1. Prasenohadi, Sunartomo T,. Pelaksanaan Pasien Trauma dengan Fraktur Iga Mulipel.
Majalah Kedokteran Terapi Intensif Vol. 2(3) Juli 2012 : 166-174
2. Lafferty, et al. Operative treatment of chest wall injuries: indication, technique, and
outcomes. J Bone Joint Surg Am. 2011;93:97-110
3. Melendez, et al. Rib Fracture : Practice Essentials, Pathophysiology, Epidemiology.
Emedicine Medscape. 13 Juni 2017
4. Jong, et al. Surgical Management Of Rib Fractures: Strategies And Literature Review.
Scandinavian Journal of Surgery 103: 120 –125, 2014
5. Kent, et al. Fatality Risk and the Presence of Rib Fractures. 52nd AAAM.
Annual Conference Annals of Advances in Automotive Medicine. October 2010
6. Witt CE, Bulgeer EM. Comprehensive approach to the management of the patient with
multiple rib fractures: a review and introduction of a bundled rib fracture management
protocol. Trauma Surg Acute Care Open 2017;2:1–7
Sirmali, et al. A comprehensive analysis of traumatic rib fractures: morbidity, mortality and
management. ELSEVIER: European Journal of Cardio-thoracic Surgery 24 (2018) 133–138

Anda mungkin juga menyukai