Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

SEORANG LAKI-LAKI USIA 16 TAHUN DENGAN KELUHAN NYERI PADA


JARI TENGAH KAKI SEBELAH KANAN

Disusun Oleh :
M. Dhanni Dzuhrisal
H2A009035

Pembimbing :
Dr. H. Rudiansyah Harahap, Sp.OT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH ORTHOPAEDI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2013
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. N
Umur : 52 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Nipah-nipah
Tanggal masuk : 26 Agustus 2018

II. DATA DASAR

Primary survey
A : Adekuat
B : RR : 18 x /menit
C : TD : 110/70 mmHg, N : 91x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, akral
hangat, capilary refill < 2
D : GCS 15 (E4M6V5), Pupil isokor 3mm/3mm
E : Suhu : 36,70C, Didapatkan jejas pada kaki sebelah kanan.
Secondary survey

A. Data Subyektif
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 26 Agustus
2018 pukul 21..00 WITA di Bangsal Teratai
Keluhan Utama
Nyeri pada jari tengah kaki sebelah kanan.
Riwayat Penyakit Sekarang

1
Pasien datang ke IGD Ratu Aji Putri Botung dengan keluhan nyeri
pada jari tengah kaki sebelah kanan 2± hari yang lalu. Nyeri dirasakan terus-
menerus. Nyeri dirasakan bertambah bila kaki digerakkan. Pasien mengatakan
saat kejadian pasien sedang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan >80
km/jam, lalu pasien menabrak tembok. Pasien tidak mengeluh mual, muntah,
pusing.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat trauma sebelumnya diakui
Riwayat alergi disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien berobat menggunakan BPJS , kesan ekonomi kurang.

B. Data Obyektif

Pemeriksaan Fisik dilakukan tanggal 26 Agustus 2018 di Bangsal


Teratai.

Status Generalis
Keadaan umum : baik, kooperatif
Kesadaran : composmentis
Tanda Vital : Tek. Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 91x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 18x/menit
Suhu : 36,7 º C ( axiller )

Kepala : mesosefal

2
Mata : conjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor (-/-) raccon eye (-/-)
Hidung : nafas cuping (-), sekret (-), septum deviasi (-), rhinorrea(-)
Telinga : discharge (-/-), ottorhea(-),
Mulut : bibir sianosis (-), parrese
Tenggorokan : T1-T1, faring hiperemis (-).
Leher : simetris, trakhea ditengah, pembesaran limfonodi (-)
Thorax
Pulmo I : simetris statis dan dinamis
Pa : stem fremitus kanan = kiri
Pe : sonor seluruh lapangan paru
Au : Suara dasar vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Cor I : ictus cordis tak tampak
Pa : ictus cordis teraba pada SIC V 2 cm medial Linea
Midclavikularis Sinistra
Pe : konfigurasi jantung dalam batas normal
Au : Suara jantung I-II murni, bising (-), gallop (-).
Abdomen I : datar
Au : bising usus (+) normal
Pe : timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)
Pa : supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-),
defans muskuler (-)
Ekstremitas Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Edema -/- -/-
Sensibilitas +/+ +/+
Motorik:

3
Gerak +/+ +/+
Kekuatan 5/5 5/5

Status lokalis :
 Regio Pedis Dextra
Look : deformitas digiti III (+), vulnus laceratum pada dorsum
pedis, vulnus laseratum yang sudah dijahit pada plantar pedis.
Feel : nyeri tekan digiti III (+), krepitasi (+), pulsasi arteri radialis
(+), akral hangat (+), sensasi (-), capp refill (< 2’),
Move : Keterbatasan pergerakan fleksi dan extensi pada digiti III

1. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Lab. Darah
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Darah rutin :
Leukosit 5,38 103/ul 4,5-13
Eritrosit 4,35 106/ul 3,8-5,2
Hemoglobin 12,36 g/dl 12,8-16,8
Hematokrit 41,20 % 35-47
MCV L 70,3 Fl 80-100
MCH L 24,7 Pg 26-34
MCHC 35,4 g/dl 32-36
Trombosit 267 103/ul 154-442
Diff count :
Eosinofil absolute 0,042 103/ul 0,045-0,44
Basofil absolute 0,05 103/ul 0-0,2
Netrofil absolute 6,53 103/ul 1,8-8

4
Limfosit absolute 2,11 103/ul 0,9-5,2
Monosit absolute 0,97 103/ul 0,16-1
Eosinofil L 1,9 % 2-4
Basofil 0,10 % 0-1
Netrofil 63,60 % 50-70
Limfosit 29,30 % 25-50
Monosit 5,50 % 1-6
Kimia klinik:
Glukosa sewaktu 105 Mg/dl < 125
Ureum 11,8 mg/dl 10-50
Creatinin H 1,1 mg/dl 0,70-1,10
Kalium 4,6 mmol/L 3,5-5,0
Natrium 136 mmol/L 135-145
Chlorida 105 mmol/L 95-105
Total protein 7,2 g/dl 0,1-8,3

5
 X foto pedis dextra et sinistra (tanggal 09-06-2014)

Kesan : fraktur phalanx proksimal digiti III pedis dextra

2. DIAGNOSIS KERJA
Open fraktur komplit digiti III pedis dextra

3. PENATALAKSANAAN
IP.Tx :
- Terapi cairan: infus RL 20 tpm

6
- ATS 1500 u
- Inj. Ceftriaxon 2x1 gr/IV
- Inj. Ketorolac 3x30mg/IV
- Inj. Ranitidine 2x50mg/IV
IP.Mx : Keadaan umum, tanda vital, perbaikan tanda dan gejala, pola
makan, hasil pemeriksaan penunjang, perbaikan movement.
IP.Ex :
Penjelasan mengenai penyakit dan prognosisnya, minum obat teratur,
makanan tinggi protein dan kalsium, vitamin dan mineral, cukup
istirahat.
4. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam

7
FRAKTUR

1 ANATOMI DAN FISIOLOGI

Pada anak-anak antara epifisis dan metafisis terdapat lempeng epifisis sebagai daerah
pertumbuhan kongenital. Lempeng epifisis ini akan menghilang pada dewasa,
sehingga epifisis dan metafisis ini akan menyatu pada saat itulah pertumbuhan
memanjang tulang akan berhenti.

Tulang panjang terdiri dari : epifisis, metafisis dan diafisis. Epifisis merupakan
bagian paling atas dari tulang panjang, metafisis merupakan bagian yang lebih lebar
dari ujung tulang panjang, yang berdekatan dengan diskus epifisialis, sedangkan
diafisis merupakan bagian tulang panjang yang di bentuk dari pusat osifikasi primer.

Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum, yang
mengandung sel-sel yang dapat berproliferasi dan berperan dalam proses
pertumbuhan transversal tulang panjang. Kebanyakan tulang panjang mempunyai
arteria nutrisi. Lokasi dan keutuhan dari pembuluh darah inilah yang menentukan
berhasil atau tidaknya proses penyembuhan suatu tulang yang patah.

2 DEFINISI

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan
tulang patah dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah
yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak
langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula
atau radius distal patah.

Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan dan arahnya.
Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan

8
tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut patah tulang terbuka.
Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang
disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.

II.3 KLASIFIKASI

Fraktur menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar
dibagi menjadi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup jika
kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh, tetapi apabila kulit diatasnya tertembus
maka disebut fraktur terbuka. Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang
ditentukan oleh berat ringannya luka dan berta ringannya patah tulang.

Derajat Luka Fraktur


I Laserasi <2 cm Sederhana, dislokasi fragmen
minimal
II Laserasi >2 cm, kontusi otot Dislokasi fragmen jelas
disekitarnya
III Luka lebar, rusak hebat, atau Kominutif, segmental, fragmen tulang
hilangnya jaringan di sekitarnya ada yang hilang

Klasifikasi Fraktur terbuka menurut Gustillo dan Anderson ( 1976 )

Tipe Batasan
I Luka bersih dengan panjang luka < 1 cm
II Panjang luka > 1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang berat
III Kerusakan jaringan lunak yang berat dan luas, fraktur segmental
terbuka, trauma amputasi, luka tembak dengan kecepatan tinggi, fraktur
terbuka di pertanian, fraktur yang perlu repair vaskuler dan fraktur
yang lebih dari 8 jam setelah kejadian.

9
Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson, 1976) oleh Gustillo,
Mendoza dan Williams (1984):

Tipe Batasan
IIIA Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan jaringan
lunak yang luas
IIIB Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat, periosteal striping
atau terjadi bone expose
IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat
kerusakan jaringan lunak.

Klasifikasi salter haris untuk patah tulang yang mengenai lempeng epifisis distal tibia
dibagi menjadi lima tipe :

Tipe 1 : Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis tetapi periosteumnya masih
utuh.

10
Tipe 2 : Periost robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis lepas sama
sekali dari metafisis.

Tipe 3 : Patah tulang cakram epifisis yang melalui sendi

Tipe 4 : Terdapat fragmen patah tulang yang garis patahnya tegak lurus cakram
epifisis

Tipe 5 : Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang menyebabkan


kematian dari sebagian cakram tersebut.

Menurut Penyebab terjadinya

 Faktur Traumatik : direct atau indirect


 Fraktur Fatik atau Stress
 Trauma berulang, kronis, misal: fr. Fibula pd olahragawan
 Fraktur patologis : biasanya terjadi secara spontan

Menurut hubungan dg jaringan ikat sekitarnya

 Fraktur Simple : fraktur tertutup


 Fraktur Terbuka : bone expose
 Fraktur Komplikasi : kerusakan pembuluh darah, saraf, organ visera

Menurut Mansjoer (2000 : 346-347) dan menurut Appley Solomon (1995 : 238-239)
fraktur diklasifikasikan menjadi :
1. Berdasarkan garis patah tulang
a. Greenstick, yaitu fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi lainnya bengkok.
b. Transversal, yaitu fraktur yang memotong lurus pada tulang.
c. Spiral, yaitu fraktur yang mengelilingi tungkai/lengan tulang.
d. Obliq, yaitu fraktur yang garis patahnya miring membentuk sudut melintasi tula

11
2. Berdasarkan bentuk patah tulang
a. Complet, yaitu garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang dan fragmen
tulang biasanya tergeser.
b. Incomplet, meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah sisi tulang.
c. Fraktur kompresi, yaitu fraktur dimana tulang terdorong ke arah permukaan tulang
lain.
d. Avulsi, yaitu fragmen tulang tertarik oleh ligamen.
e. Communited (Segmental), fraktur dimana tulang terpecah menjadi beberapa
bagian.
f. Simple, fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh.
g. Fraktur dengan perubahan posisi, yaitu ujung tulang yang patah berjauhan dari
tempat yang patah.
h. Fraktur tanpa perubahan posisi, yaitu tulang patah, posisi pada tempatnya yang
normal.
i. Fraktur Complikata, yaitu tulang yang patah menusuk kulit dan tulang terlihat.

12
4 ETIOLOGI

Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut
kekuatannya melebihi kekuatan tulang. 2 faktor mempengaruhi terjadinya fraktur

 Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah
dan kekuatan trauma.
 Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan,
kekuatan, dan densitas tulang.

Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur transversal


dan kerusakan jaringan lunak. Benturan yang lebih keras disertai dengan
penghimpitan tulang akan mengakibatkan garis fraktur kominutif diikuti dengan
kerusakan jaringan lunak yang lebih luas.

Trauma tidak langsung mengakibatkan fraktur terletak jauh dari titik trauma
dan jaringan sekitar fraktur tidak mengalami kerusakan berat. Pada olahragawan,
penari dan tentara dapat pula terjadi fraktur pada tibia, fibula atau metatarsal yang
disebabkan oleh karena trauma yang berulang.

Selain trauma, adanya proses patologi pada tulang seperti. tumor atau pada
penyakit Paget dengan energi yang minimal saja akan mengakibatkan fraktur.
Sedang pada orang normal hal tersebut belum tentu menimbulkan fraktur.

5 PATOFISIOLOGI FRAKTUR

Trauma yang terjadi pada tulang dapat menyebabkan seseorang mempunyai


keterbatasan gerak dan ketidakseimbangan berat badan. Fraktur yang terjadi dapat
berupa fraktur tertutup ataupun fraktur terbuka. Fraktur tertutup tidak disertai
kerusakan jaringan lunak disekitarnya sedangkan fraktur terbuka biasanya disertai
kerusakan jarigan lunak seperti otot, tendon, ligamen, dan pembuluh darah.

13
Tekanan yang kuat atau berlebihan dapat mengakibatkan fraktur terbuka
karena dapat menyebabkan fragmen tulang keluar menembus kulit sehingga akan
menjadikan luka terbuka dan akan menyebabkan peradangan dan memungkinkan
untuk terjadinya infeksi. Keluarnya darah dari luka terbuka dapat mempercepat
pertumbuhan bakteri. Tertariknya segmen tulang disebabkan karena adanya kejang
otot pada daerah fraktur menyebabkan disposisi pada tulang, sebab tulang berada
pada posisi yang kaku.

6 MANIFESTASI KLINIS

Menurut Blach (1989) manifestasi klinik fraktur adalah :

1. Nyeri
Nyeri kontinue/terus-menerus dan meningkat semakin berat sampai fragmen
tulang tidak bisa digerakkan.
2. Gangguan fungsi
Setelah terjadi fraktur ada bagian yang tidak dapat digunakan dan cenderung
menunjukkan pergerakan abnormal, ekstremitas tidak berfungsi secara teratur
karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulang yang mana tulang
tersebut saling berdekatan.
3. Deformitas/kelainan bentuk
Perubahan tulang pada fragmen disebabkan oleh deformitas tulang yang
diketahui ketika dibandingkan dengan daerah yang tidak luka.
4. Pemendekan
Pada fraktur tulang panjang terjadi pemendekan yang nyata pada ekstremitas
yang disebabkan oleh kontraksi otot yang berdempet di atas dan di bawah
lokasi fraktur.
5. Krepitasi
Suara detik tulang yang dapat didengar atau dirasakan ketika fraktur digerakkan.

14
6. Bengkak dan perubahan warna

Hal ini disebabkan oleh trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

7 DIAGNOSIS

Riwayat

Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian)


dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau
fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia
konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.

Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi / Look

Deformitas : angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan, bengkak

Pada fraktur terbuka : klasifikasi Gustilo

b. Palpasi / Feel ( nyeri tekan (tenderness), Krepitasi)

Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi
pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan
dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi

Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit,


pengembalian cairan kapler (Capillary refill test) sensasi

c. Gerakan / Moving

15
Dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang berdekatan dengan
lokasi fraktur.

d. Pemeriksaan trauma di tempat lain : kepala, toraks, abdomen, pelvis

Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut


protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation.
Perlindungan pada vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan
dengan pemeriksaan klinis dan radiologis. Saat pasien stabil, maka dilakukan
secondary survey.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium : darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test, dan
urinalisa.

Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two, terdiri dari :

I. 2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral


II. Memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur
III. Memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang cedera
dan yang tidak terkena cedera (pada anak) ; dan dua kali, yaitu sebelum
tindakan dan sesudah tindakan.

Pergeseran fragmen Tulang ada 4 :

1. Alignment : perubahan arah axis longitudinal, bisa membentuk sudut


2. Panjang : dapat terjadi pemendekan (shortening)
3. Aposisi : hububgan ujung fragmen satu dengan lainnya
4. Rotasi : terjadi perputaran terhadap fragmen proksimal

16
II.8 PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu recognition berupa diagnosis dan
penilaian fraktur, reduction, retention dengan imobilisasi, dan rehabilitation yaitu
mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin

Penatalaksanaan awal fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan splint.
Status neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik sebelum maupun
sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada pasien dengan multiple trauma, sebaiknya
dilakukan stabilisasi awal fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien stabil.
Sedangkan penatalaksanaan definitif fraktur adalah dengan menggunakan gips atau
dilakukan operasi dengan ORIF maupun OREF.

Tujuan pengobatan fraktur :

a. REPOSISI dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi. Tehnik


reposisi terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup dapat dilakukan
dengan fiksasi eksterna atau traksi kulit dan skeletal. Cara lain yaitu dengan reposisi
terbuka yang dilakukan padapasien yang telah mengalami gagal reposisi tertutup,
fragmen bergeser, mobilisasi dini, fraktur multiple, dan fraktur patologis.

b. IMOBILISASI / FIKSASI dengan tujuan mempertahankan posisi fragmen post


reposisi sampai Union. Indikasi dilakukannya fiksasi yaitu pada pemendekan
(shortening), fraktur unstabel serta kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar

Jenis Fiksasi :

Ekternal / OREF (Open Reduction External Fixation)

 Gips ( plester cast)

17
 Traksi

Jenis traksi :

 Traksi Gravitasi : U- Slab pada fraktur humerus


 Skin traksi
Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga fragmen akan
kembali ke posisi semula. Beban maksimal 4-5 kg karena bila kelebihan kulit
akan lepas
 Sekeletal traksi : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin.

Traksi ini dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma sendi koksea, femur, lutut),
pada tibia atau kalkaneus ( fraktur kruris). Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada
pemasangan traksi yaitu gangguan sirkulasi darah pada beban > 12 kg, trauma saraf
peroneus (kruris) , sindroma kompartemen, infeksi tempat masuknya pin.
Indikasi OREF :

 Fraktur terbuka derajat III


 Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
 fraktur dengan gangguan neurovaskuler
 Fraktur Kominutif
 Fraktur Pelvis
 Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF
 Non Union
 Trauma multiple

Internal / ORIF (Open Reduction Internal Fixation)

ORIF ini dapat menggunakan K-wire, plating, screw, k-nail. Keuntungan cara ini
adalah reposisi anatomis dan mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.

18
Indikasi ORIF :

a. Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis tinggi, misalnya
fraktur talus dan fraktur collum femur.

b. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya fraktur avulse dan fraktur
dislokasi.

c. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya fraktur


Monteggia, fraktur Galeazzi, fraktur antebrachii, dan fraktur pergelangan kaki.

d. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan
operasi, misalnya : fraktur femur.

c. UNION
d. REHABILITASI

9 PENYEMBUHAN FRAKTUR

Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu :

1. Fase hematoma

Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang
melewati kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada daerah fraktur
dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar
diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan dapat mengalami robekan
akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah ke
dalam jaringan lunak.

19
Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa milimeter dari daerah fraktur akan
kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler
tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah trauma.

2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal

Pada fase ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi
penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel osteogenik yang
berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta pada daerah
endosteum membentuk kalus interna sebagai aktifitas seluler dalam kanalis
medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat pada periosteum, maka penyembuhan
sel berasal dari diferensiasi sel-sel mesenkimal yang tidak berdiferensiasi ke dalam
jaringan lunak. Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi pertambahan
jumlah dari sel-sel osteogenik yang memberi pertumbuhan yang cepat pada jaringan
osteogenik yang sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Pembentukan jaringan seluler
tidak terbentuk dari organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah
beberapa minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi
jaringan osteogenik. Pada pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang
sehingga merupakan suatu daerah radiolusen.

3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)

Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel dasar
yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk tulang rawan.
Tempat osteoblast diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlengketan
polisakarida oleh garam-garam kalsium membentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk
tulang ini disebut sebagai woven bone. Pada pemeriksaan radiologi kalus atau woven
bone sudah terlihat dan merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya
penyembuhan fraktur.

20
4. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik)

Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan diubah
menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur
lamelar dan kelebihan kalus akan diresorpsi secara bertahap.

5. Fase remodeling

Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian yang
menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase
remodeling ini, perlahan-lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetap terjadi
proses osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan-lahan menghilang.
Kalus intermediat berubah menjadi tulang yang kompak dan berisi sistem Haversian
dan kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk membentuk ruang
sumsum.

10 KOMPLIKASI FRAKTUR

Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat penanganan
fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik
a. Komplikasi umum

Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan gangguan
fungsi pernafasan.

Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam pertama pasca
trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi gangguan metabolisme,
berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak,
trombosis vena dalam (DVT), tetanus atau gas gangren

b. Komplikasi Lokal

21
Komplikasi dini

Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma,
sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut komplikasi
lanjut.

 Pada Tulang

1. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.


2. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan operasi
pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed union atau
bahkan non union

Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering terjadi pada
fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan
kartilago sendi dan berakhir dengan degenerasi

 Pada Jaringan lunak

1. Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial karena
edema. Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan melakukan
pemasangan elastik
2. Dekubitus.. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips. Oleh
karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang
menonjol

 Pada Otot

Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut terganggu.
Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada serabut yang utuh, kapsul

22
sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama
akan menimbulkan sindroma crush atau trombus (Apley & Solomon,1993).

 Pada pembuluh darah

Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus. Sedangkan pada
robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami retraksi dan perdarahan
berhenti spontan.

Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis. Trauma atau
manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan tarikan mendadak pada
pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh
darah tersebut terlepas dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti
pemasangan torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu
dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi (Apley & Solomon,
1993).
Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai
atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya.
Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini dapat terjadi pada pemasangan gips
yang terlalu ketat sehingga dapat menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam
otot.

Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat menimbulkan
kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan fibrus yang secara
periahan-lahan menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala
klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut
nadi hilang) dan Paralisis

 Pada saraf

23
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis (kerusakan
akson). Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan identifikasi nervus (Apley &
Solomon,1993).

Komplikasi lanjut

Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada pemeriksaan
terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau perpanjangan.

 Delayed union

Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada
pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung
fraktur,

Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi. Bila lebih 20
minggu dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu)

 Non union

Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.

Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan
diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi
untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.

Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat
jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan,
proses union tidak akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama.

Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum yang luas,
hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi yang tidak

24
memadai, implant atau gips yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan
penyakit tulang (fraktur patologis)

 Mal union

Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan deformitas. Tindakan


refraktur atau osteotomi koreksi .

 Osteomielitis

Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi pada
fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai non union
(infected non union). Imobilisasi anggota gerak yang mengalami osteomielitis
mengakibatkan terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot

 Kekakuan sendi

Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi lama,
sehingga terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan intraartikuler, perlengketan
antara otot dan tendon. Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan
melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan periengketan secara
pembedahan hanya dilakukan pada penderita dengan kekakuan sendi menetap (Apley
& Solomon,1993).

25

Anda mungkin juga menyukai