Anda di halaman 1dari 43

PORTOFOLIO LAPORAN KASUS BANGSAL

PASIEN DENGAN KRISIS HIPERTENSI,


DIABETES MELITUS TIPE II DAN SELULITIS
Untuk Memenuhi Tugas Internship dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Internship Dokter

Disusun oleh :
dr. Mifta Wiraswesti
dr. Tony Hartanto
dr. Uyunun Masitoh Sari
dr. Dandy Febriansyah B
dr. Lady Septiani
dr. Muhammad Ulin Nuha

PROGRAM DOKTER INTERNSIP ANGKATAN IV


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KAYEN
KABUPATEN PATI
2017
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama penderita : Tn. S
2. Umur : 65 tahun
3. Jenis kelamin : Laki-laki
4. Agama : Islam
5. Pendidikan : SMP
6. Pekerjaan : Petani
7. Status : Menikah
8. Alamat : Maitan RT01 RW04, Tambakromo, Pati
9. Tanggal Masuk : 11-04-2016
10. Masuk Jam : 09.55
11. Ruang : Melati
12. Kelas : BPJS non PBI
13. No. RM : 160827XX

B. ANAMNESIS
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki usia 65 tahun datang ke IGD dengan keluhan kedua
tungkai nyeri sejak 2 minggu SMRS. Pasien tidak tahu awalnya
bagaimana. Nyeri muncul perlahan-lahan, terasa seperti kemeng dan panas.
Awalnya nyeri tersebut hilang timbul. Pasien merasa nyaman jika istirahat
dengan kaki diluruskan. Pasien sudah berobat ke mantri terdekat namun
nyeri timbul lagi jika obat habis.
Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah demam. Demam
dirasakan ketika nyeri pada kedua tungkai tersebut muncul. Demam tidak
terlalu tinggi, berkurang dengan obat penurun panas.
2 hari SMRS kedua tungkai pasien makin nyeri sehingga pasien
susah menggerakkan kedua tungkainya. Pasien hanya bisa berbaring di
rumah. Nyeri makin terasa saat ditekan. Pasien juga mengeluh kedua
tungkainya makin memerah dan nampak mengkilat. Pasien merasa demam

2
dan tidak nafsu makan. Saat dibawa ke IGD pasien nampak kesulitan
menggerakkan kedua tungkainya sehingga harus menggunakan kursi roda.
Riwayat hipertensi sudah lama ada namun akhir-akhir ini jarang
berobat. Riwayat diabetes melitus disangkal. Riwayat trauma sebelumnya
pada kedua tungkai disangkal. Riwayat tindakan operasi disangkal.

2. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat Hipertensi : positif
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat trauma tungkai : disangkal
d. Riwayat tindakan operasi : disangkal
e. Riwayat Hepatitis : disangkal

3. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat Hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 11 April 2017, pukul 10.00 WIB di IGD
1. Kesan umum :
Komposmentis, tampak sakit sedang.
2. Tanda-tanda vital :
Tekanan Darah : 194/114 mmHg
Nadi : 97x / menit, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 20x / menit
Suhu : 37,80C (axilla)
3. Status Internus
Kepala : Normocephale
Mata : konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor diameter 2mm/2mm, reflek cahaya (+/+)
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)

3
Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-)
Mulut : bibir sianosis (-), gusi berdarah (-), bibir kering (-), pucat
(-)
Leher : JVP R+2 cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi servikal (-)
Thorax : Retraksi (-), venektasi (-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di 2 cm lateral linea mid-
clavicularis sinistra, kuat angkat (-), thrill (-)
Perkusi : Redup
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas pinggang : ICS III linea parasternal sinistra
Batas kanan bawah : ICS V linea sternalis dextra
Batas kiri bawah : ICS V 2 cm medial linea mid clavicula
sinistra
Kesan : Konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Kesan : Tidak ada kelainan jantung

Paru-paru
Inspeksi : Pergerakan hemithorax dextra = hemithorax sinistra,
Retraksi (-)
Palpasi : Fremitus taktil dextra = sinistra.
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : - Suara Dasar : vesikuler di basal paru kanan dan kiri
- Suara Tambahan : rhonki (-/-), wheezing (-/-),
hantaran (-/-)
Kesan : Tidak ada kelainan paru

4
Abdomen
Inspeksi : simetris, distensi (+), massa (-), sikatriks (-),
hiperpigmentasi linea alba (-), striae (-), caput
medusa (-)
Auskultasi : peristaltik (+) 18x/ menit
Perkusi : Timpani (-), dominan pekak (+), pekak alih (-), pekak
sisi (-)
Palpasi : nyeri tekan (+) regio epigastrium
Kulit : kulit berwarna pucat, ekskoriasi (-) seluruh ekstremitas
superior dan inferior, ikterik (-).
Ekstremitas :
Ekstremitas Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Akral sianosis -/- -/-
Oedem -/- -/-
CRT < 2 < 2

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan EKG (11 April 2017)

Interpretasi hasil : Sinus Rhythm, 92 x/menit, normo axis, ST elevasi


lead V1 V2 V3, T inverted lead V5 V6
Kesan : Iskemi anteroseptal
5
2. Pemeriksaan Laboratorium Darah
No Jenis 11-4-2017 12-4-2017 13-4-2017 14-4-2017 15-4-2017 16-4-2017 Nilai Rujukan
1 Hemoglobin 15,1 12,6 14-186 /dl
2 Hematokrit 41,7% 35,4 34-48
3 Leukosit 18.200 16.100 4,6-11.103 uI
4 Trombosit 156.000 178.000 150-400.10 /uI
5 SGOT 14,9 25 UI
7 SGPT 43,9 29 UI
8 GDP 123 70-100 mg/dl
69 (pagi) 148 (pagi)
9 GDS 253 283 127 123 70-160 mg/dl
118 (sore) 73 (sore)
Cholesterol
10 90 160-260 mg/dl
total
11 HDL 39 >55 mg/dl
12 LDL 39,2 0,0-150 mg/dl
13 Trigliserid 59 0-150 mg/dl
Widal St-0 Negatif (-)
St H Positif1/320
14 Negatif
SptA-H Negatif (-)
SptB-H Positif1/320

6
E. DATA ABNORMALITAS
Berdasarkan Anamnesa
- Nyeri tungkai, warna merah dan mengkilat
- Tungkai susah digerakkan
- Demam
- Tidak nafsu makan
- Riwayat hipertensi lama dan tidak terkontrol
Berdasarkan Pemeriksaan Fisik
- Krisis Hipertensi
- Hipertermi
- Kedua tungkai teraba hangat, nyeri tekan (+), kekuatan motorik tungkai
(+3/+3)
Pemeriksaan Penunjang
- EKG : takikardi, infark anterior, LVH
- Leukosit : meningkat
- GDS : meningkat
- SGOT : menurun
- SGPT : meningkat
Problem
1. Krisis Hipertensi
2. DM
3. Selulitis
Assesement Problem
1. Selulitis
Ass : Selulitis Sirkumskripta Serosa Akut
dd/ Selulitis Sirkumskripta Supuratif Akut
Selulitis Sirkumskripta Difusa akut
Osteomyelitis
IP Dx : Kultur darah, Rontgen Kruris
IP Tx :
- Non Farmakologi : Kompres kassa lembab NaCl
Elevasi dan imobilisasi tungkai

7
- Farmakologi : Konservatif
Inj. Ceftriaxon 1 gram/ 12 jam
IP. Mx : Keadaan Umum, Tanda-tanda vital
IP. Ex : Kompres dengan kassa lembab untuk mengurangi nyeri
Ganjal tungkai dengan bantal dan jangan digerakkan

2. Krisis Hipertensi
Ass : Hipertension Heart Disease
IP Dx : Ekokardiografi, Ro Thorax
IP Tx :
- Non Farmakologi : Diet rendah garam, kolesterol, lemak jenuh
- Farmakologi : Amlodipin 1 x 10 mg
ISDN 3 x 5mg
Aspilet 1 x 80mg
Clopidogrel 1 x 75mg
IP Mx : Monitor keadaan umum, Balance cairan, EKG
IP Ex : - Bed rest sampai kondisi benar- benar stabil
- Diit rendah garam pada gagal jantung ringan
- Diet tinggi protein
- Intake cairan tiap hari maksimal 8 gelas per hari
- Mengurangi konsumsi rokok dan alcohol
- Jangan melakukan aktivitas yang berat

3. Diabetes Mellitus
Ass : Neuropati Diabetik, Mikroangiopati, Makroangiopati
IP Dx :
a. Neuropati diabetik
- elektrofisiologis (kecepatan hantaran saraf)
- quantitative sensory testing (QST)
- quantitative autonomic testing (QAT)

8
- symptom scoring dan physical examination scoring : Diabetic
Neuropathy Symptom (DNS) dan Diabetic Neuropathy
Examination (DNE)
b. Makroangiopati
1) Nefropati
- Pemeriksaan urin : mikroalbumin dan proteinuria
- Pemeriksaan ureum dan kreatinin meningkat
- Histopatologis : penebalan membran basalis glomerulus
2) Retinopati
- Funduskopi direk dan indirek
- Pemeriksaan mata lengkap : pemeriksaan visus, tekanan bola
mata, slit-lamp biomicroscopy, gonioskop, funduskopi dan
stereoscopic fundus photography
- Optical coherence tomography (OCT) dan ocular
ultrasonography
c. Mikroangiopati
1) Jantung
- Pemeriksaan marka jantung : Kreatinin kinase-MB (CK-
MB) atau troponin I/T
- Echocardiografi
- X-foto thorax
2) Otak/stroke
- MSCT Scan
3) PAD
- Ankle-brachial index test
- Doppler Ultrasound
- Magnetic Resonance Angiography (MRA)
IP Tx :
- Non Farmakologi : Diet rendah gula
- Farmakologi : Metformin 3 x 500 mg
Lantus 0-0-10 UI
Glimepirid 2 x 2 mg

9
IP. Mx : Keadaan umum, tanda tanda vital, gula darah sewaktu
IP. Ex : Kurangi asupan gula
Minum obat secara teratur

F. FOLLOW UP
Hari ke- Keluhan dan pemeriksaan Terapi
fisik
11 Apr 2017 KU = tampak sakit sedang Th/
DPH 0 TTV - IVFD RL 20 tpm
- Krisis Hipertensi TD = 194/114 mmHg - Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam
- DM Tipe II HR = 97 x/menit, - Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
- Selulitis RR = 18 x/menit, P.O :
Masuk di Bangsal Suhu = 37,8C (per axilla) - Amlodipin 1x10 mg
Melati
Keluhan
Nyeri kedua tungkai

Px fisik
Status lokalis kedua tungkai :
Nyeri tekan (+/+)
Raba hangat (+/+)
Eritema (+/+)
Edema (+/+)
Kekuatan motorik (+3/+3)

Px Penunjang
EKG
Leukosit = 18.200 /ul
GDS = 253 mg/dl
SGPT = 43.9 U/I

10
12 April 2017 KU= kedua tungkai nyeri Th/
DPH 1 TTV - IVFD RL 20 tpm
- Hipertensi stage II TD = 160/90 mmHg - Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam
- DM Tipe II HR=100 x/menit, - Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
- Selulitis RR=18 x/menit, - Inj. Lantus 0-0-10 UI
Bangsal Melati Suhu = 38,0C (per axilla) P.O :
Keluhan - Amlodipin 1x10 mg
Nyeri kedua tungkai - ISDN 3x5mg
Px fisik - Aspilet 1x80mg
Status lokalis kedua tungkai : - Clopidogrel 1x75mg
Nyeri tekan (+/+) - Metformin 3x500mg
Raba hangat (+/+) - Glimepirid 2x2mg
Eritema (+/+) Plan :
Edema (+/+) Konsul Sp.B
kekuatan motorik (+3/+3)
13 April 2017 KU = tampak sakit sedang Th/
DPH 2 TTV - IVFD RL 20 tpm
- Hipertensi stage II TD = 160/90 mmHg - Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam
- DM Tipe II HR =86 x/menit, - Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
- Selulitis RR =18 x/menit, - Inj. Lantus 0-0-10 UI
Bangsal Seruni Suhu = 37,0C (per axilla) P.O :
- Amlodipin 1x10 mg
Px fisik - ISDN 3x5mg
Status lokalis kedua tungkai : - Aspilet 1x80mg
Nyeri tekan (+/+) - Clopidogrel 1x75mg
Raba hangat (+/+) - Metformin 3x500mg
Eritema (+/+) - Glimepirid 2x2mg
Edema (+/+) - Valsartan 1x80mg
Kekuatan motorik (+4/+4). Plan Sp.B :
- Konservatif
- Kompres kassa lembab NaCl
- Terapi lain sesuai Interna

11
14 April 2017 KU= tampak sakit sedang Th/
DPH 3 TTV - IVFD RL 20 tpm
- Hipertensi stage II TD = 140/90mmHg - Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam
- DM Tipe II HR = 97 x/menit, - Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
- Selulitis RR = 18 x/menit, - Inj. Lantus 0-0-10 UI
Bangsal Seruni Suhu = 38,0C (per axilla) P.O :
Keluhan - Amlodipin 1x10 mg
Demam (+), lemas (+), - ISDN 3x5mg
tungkai kiri masih nyeri - Aspilet 1x80mg
untuk digerakkan. - Clopidogrel 1x75mg
- Metformin 3x500mg
Px fisik - Glimepirid 2x2mg
Status lokalis kedua tungkai : - Valsartan 1x80mg
Nyeri tekan (+/+) - Paracetamol 3x500mg
Raba hangat (+/+) Plan :
Eritema (-/-) - Konservatif
Edema (+/+) - Kompres kassa lembab NaCl
- Cek GDS pagi - sore
15 April 2017 KU : tampak sakit sedang Th/
DPH 4 TTV - IVFD RL 20 tpm
- Hipertensi stage II TD = 140/70 mmHg - Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam
- DM Tipe II HR = 84 x/menit, - Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
- Selulitis RR = 18 x/menit, - Inj. Lantus 0-0-10 UI
Bangsal Seruni Suhu = 38,0C (per axilla) P.O :
- Amlodipin 1x10 mg
Keluhan - ISDN 3x5mg
Kaki nyeri dan kaku, pusing - Aspilet 1x80mg
(+), demam (+) - Clopidogrel 1x75mg
- Metformin 3x500mg
Px fisik - Glimepirid 2x2mg
Status lokalis kedua tungkai : - Valsartan 1x80mg
Nyeri tekan (+/+) - Paracetamol 3x500mg

12
Raba hangat (+/+) Plan :
Eritema (-/-) - Konservatif
Edema (+/+) - Kompres kassa lembab NaCl
16 April 2017 KU= tampak sakit sedang Th/
DPH 5 TTV - IVFD RL 20 tpm
- Hipertensi stage II TD = 150/90 mmHg - Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam
- DM Tipe II HR = 84 x/menit, - Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
- Selulitis RR = 18 x/menit, - Inj. Lantus 0-0-10 UI
Bangsal Seruni Suhu = 37,0C (per axilla) P.O :
- Amlodipin 1x10 mg
Keluhan - ISDN 3x5mg
Kaki nyeri dan bengkak, - Aspilet 1x80mg
demam (+), pusing (+) - Clopidogrel 1x75mg
- Metformin 3x500mg
Px fisik - Glimepirid 2x2mg
Status lokalis kedua tungkai : - Valsartan 1x80mg
Nyeri tekan (+/+) - Paracetamol 3x500mg
Raba hangat (+/+) Plan :
Eritema (-/-) - Konservatif
Edema (+/+) - Kompres kassa lembab NaCl
17 April 2017 KU= tampak sakit ringan Th/
DPH 6 TTV - IVFD RL 20 tpm
- Hipertensi stage II TD = 170/90 mmHg - Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam
- DM Tipe II HR = 80x/menit, - Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
- Selulitis RR = 18 x/menit, - Inj. Lantus 0-0-10 UI
Bangsal Seruni Suhu = 37,3C (per axilla) P.O :
- Amlodipin 1x10 mg
Keluhan - ISDN 3x5mg
Kaki kesemutan dan nyeri, - Aspilet 1x80mg
demam (-) - Clopidogrel 1x75mg
- Metformin 3x500mg
- Glimepirid 2x2mg

13
Px fisik - Valsartan 1x80mg
Status lokalis kedua tungkai : - Paracetamol 3x500mg
Nyeri tekan (+/+) Plan :
Raba hangat (-/-) - Konservatif
Eritema (-/-) - Kompres kassa lembab NaCl
Edema (+/+)
18 April 2017 KU= tampak sakit ringan Th/
DPH 7 TTV - IVFD RL 20 tpm
- Hipertensi stage II TD = 150/110 mmHg - Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam
- DM Tipe II HR=84x/menit, - Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
- Selulitis RR=18 x/menit, - Inj. Lantus 0-0-10 UI
Bangsal Seruni Suhu = 36,5C (per axilla) P.O :
- Amlodipin 1x10 mg
Keluhan - ISDN 3x5mg
Kaki kesemutan dan nyeri, - Aspilet 1x80mg
demam (-) - Clopidogrel 1x75mg
- Metformin 3x500mg
Px fisik - Glimepirid 2x2mg
Status lokalis kedua tungkai : - Valsartan 1x80mg
Nyeri tekan (+/+) - Paracetamol 3x500mg
Raba hangat (-/-) Plan :
Eritema (-/-) - Konservatif
Edema (+/+) - Kompres kassa lembab NaCl
- Konsul Sp.RM
19 April 2017 KU= tampak sakit ringan Plan :
DPH 8 TTV - BLPL
- Hipertensi stage II TD = 140/80 mmHg Terapi Pulang :
- DM Tipe II HR=84x/menit, - Ciprofloxaccin 2x500mg
- Selulitis RR=18 x/menit, - Amlodipin 1x10 mg
Bangsal Seruni Suhu = 36,5C (per axilla) - ISDN 3x5mg
- Aspilet 1x80mg
- Clopidogrel 1x75mg

14
Keluhan - Metformin 3x500mg
Kaki kesemutan dan nyeri - Glimepirid 2x2mg
berkurang, demam (-) - Valsartan 1x80mg
- Paracetamol 3x500mg
Px fisik
Status lokalis kedua tungkai : Plan Sp.RM : Fisioterapi
Nyeri tekan (+/+) - IR cruris-pedis bilateral
Raba hangat (-/-) - ROM Exercise
Eritema (-/-) - Ankle pumping
Edema (+/+) - Mobilisasi bertahap

15
PEMBAHASAN

A. INFEKSI PADA KULIT


Pada pasien ini ditemukan adanya hiperglikemia, demam, dan ruam
merah subkutan pada kedua kakinya. Ruam merah berbatas tidak jelas, teraba
hangat, dan nyeri tekan. Diferensial diagnosis pada ruam merah disertai demam
adalah eritrasma, erisipelas, dan selulitis.

Gambar 1: Anatomy of Skin and Soft Tissues and Different Types of Skin and
Soft-Tissue Infection (B)

Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang


disebabkan oleh corynobacterium minitussismum, ditandai dengan adanya lesi
berupa eritema dan skuama halus terutama di daerah ketiak dan lipat paha. Lesi
kulit dapat berukuran sebesar miliar dan plakat. Perluasan lesi terlihat pada
pinggir yang eritematosa dan serpiginosa. Beberapa penulis beranggapan ada
hubungan erat antara eritrasma dan diabetes melitus.
Erisipelas ialah penyakit infeksi akut, biasanya disebabkan oleh
streptococcus B Hemolitycus, gejala utamanya ialah eritema berwarna merah
cerah, berbatas tegas, dan pinggirnya meninggi dengan tanda-tanda radang akut.
Dapat disertai edema, vesikel, dan bula. Serta memiliki gejala konstitusi berupa

16
demam, malaise. Lapisan kulit yang diserang ialah epidermis dan dermis.
Penyakit ini didahului trauma, karena itu tempat predileksinya paling banyak di
tungkai bawah.
Selulitis merupakan infeksi bakterial akut pada kulit. Infeksi yang
terjadi menyebar ke dalam hingga ke lapisan dermis dan sub kutis. Infeksi ini
biasanya didahului luka atau trauma dengan penyebab tersering Streptococcus
beta hemolitikus dan Staphylococcus aureus. Terdapat tanda-tanda peradangan
lokal pada lokasi infeksi seperti eritema, teraba hangat, dan nyeri serta terjadi
limfangitis dan sering bergejala sistemik seperti demam dan peningkatan
hitungan sel darah putih. Selulitis biasanya didahului oleh gejala sistemik
seperti demam, menggigil, dan malaise. Daerah yang terkena terdapat 4 kardinal
peradangan yaitu rubor (eritema), color (hangat), dolor (nyeri) dan tumor
(pembengkakan). Lesi tampak merah gelap, tidak berbatas tegas pada tepi lesi
tidak dapat diraba atau tidak meninggi. Pada infeksi yang berat dapat ditemukan
pula vesikel, bula, pustul, atau jaringan neurotik. Ditemukan pembesaran
kelenjar getah bening regional dan limfangitis ascenden. Pada pemeriksaan
darah tepi biasanya ditemukan leukositosis.
Periode inkubasi sekitar beberapa hari, tidak terlalu lama. Gejala
prodormal berupa: malaise anoreksia; demam, menggigil dan berkembang
dengan cepat, sebelum menimbulkan gejala-gejala khasnya. Pasien
imunokompromais rentan mengalami infeksi walau dengan patogen yang
patogenisitas rendah. Terdapat gejala berupa nyeri yang terlokalisasi dan nyeri
tekan. Jika tidak diobati, gejala akan menjalar ke sekitar lesi terutama ke
proksimal. Kalau sering residif di tempat yang sama dapat terjadi elefantiasis.
Lokasi selulitis pada anak biasanya di kepala dan leher, sedangkan pada
orang dewasa paling sering di ekstremitas karena berhubungan dengan riwayat
seringnya trauma di ekstremitas. Pada penggunaan salah obat, sering berlokasi
di lengan atas. Komplikasi jarang ditemukan, tetapi termasuk glomerulonefritis
akut (jika disebabkan oleh strain nefritogenik streptococcus, limfadenitis,
endokarditis bakterial subakut). Kerusakan pembuluh limfe dapat menyebabkan
selulitis rekurens.

17
Gejala dan tanda Selulitis
Gejala prodormal : Demam, malaise, nyeri sendi dan menggigil
Daerah predileksi : Ekstremitas atas dan bawah, wajah, badan dan
genitalia
Makula eritematous : Eritema cerah
Tepi : Batas tidak tegas
Penonjolan : Tidak terlalu menonjol
Vesikel atau bula : Biasanya disertai dengan vesikel atau bula
Edema : Edema
Hangat : Tidak terlalu hangat
Fluktuasi : Fluktuasi

B. DIABETES MELITUS
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kelainan metabolik yang
dikarakteristikkan dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin,
kerja insulin maupun keduanya. Pada pasien didapatkan GDS 253 mg/dl,
pasien belum pernah dicek gula darah sebelumnya.

18
Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan
kerusakan, gangguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata, ginjal,
saraf, jantung, dan pembuluh darah. Walaupun pada diabetes melitus
ditemukan gangguan metabolisme semua sumber makanan tubuh kita,
kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan metabolisme
karbohidarat. Oleh karena itu diagnosis diabetes melitus selalu berdasarkan
tingginya kadar glukosa dalam plasma darah.

Skema 1. Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus

Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan diabetes mellitus, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah
raga. Apabila dalam langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum

19
tercapai, dapat dikombinasi dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin
atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya.
1. Terapi non farmakologi
a. Terapi gizi medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu
makanan yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-
masing individu, dengan memperhatikan keteraturan jadwal makan,
jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri
dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%,
Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.
b. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-
masing selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang
bersifat aerobik seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan
berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.
2. Terapi farmakologi
a. Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel pankreas dalam
merespon glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51
asam amino tersusun dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino
dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin mempunyai peran yang
sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme, efek kerja
insulin adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel.
Macam-macam sediaan insulin:
1) Insulin kerja singkat
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru
sesudah setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid,
Velosulin, Humulin Regular.
2) Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya
di cairan jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi

20
ke dalam darah. Metoda yang digunakan adalah mencampurkan
insulin dengan protein atau seng atau mengubah bentuk fisiknya,
contoh: Monotard Human.
3) Insulin kerja sedang (medium-acting)
Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan
mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja
berlainan, contoh: Mixtard 30 HM

b. Terapi Kombinasi
Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik secara
terpisah ataupun fixed dose combination dalam bentuk tablet tunggal,
harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang
berbeda. Pada keadaan tertentu dapat terjadi sasaran kadar glukosa

21
darah yang belum tercapai, sehingga perlu diberikan kombinasi tiga obat
antihiperglikemia oral dari kelompok yang berbeda atau kombinasi obat
antihiperglikemia oral dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan
alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi
dengan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral dapat menjadi
pilihan. Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin
basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang), yang
diberikan pada malam hari menjelang tidur. Pendekatan terapi tersebut
pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan
dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah
adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan
evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa
keesokan harinya. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin
basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial,
serta pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan.
Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe 2 ini, maka dapat
dipahami bahwa yang menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat (GHS).
Semua pengobatan DM tipe 2 diawali dengan GHS yang terdiri dari edukasi
yang terus menerus, mengikuti petunjuk pengaturan makan secara
konsisten, dan melakukan latihan jasmani secara teratur. Sebagian penderita
DM tipe 2 dapat terkendali kadar glukosa darahnya dengan menjalankan
GHS ini. Bila dengan GHS glukosa darah belum terkendali, maka diberikan
monoterapi OHO.
Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara
bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Pemberian OHO
berbeda-beda tergantung jenisnya. Sulfonilurea diberikan 15-30 menit
sebelum makan. Glinid diberikan sesaat sebelum makan. Metformin bisa
diberikan sebelum/sesaat/sesudah makan. Acarbose diberikan bersama
makan suapan pertama. Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal
makan, DPP-4 inhibitor dapat diberikan saat makan atau sebelum makan.

22
Gambar 2. Algoritma pengelolaan DM tipe 2 tanpa dekompensasi

Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah belum


terkendali maka diberikan kombinasi 2 OHO. Untuk terapi kombinasi harus
dipilih 2 OHO yang cara kerja berbeda, misalnya golongan sulfonilurea dan
metformin. Bila dengan GHS dan kombinasi terapi 2 OHO glukosa darah
belum terkendali maka ada 2 pilihan yaitu yang pertama GHS dan
kombinasi terapi 3 OHO atau GHS dan kombinasi terapi 2 OHO bersama
insulin basal. Yang dimaksud dengan insulin basal adalah insulin kerja
menengah atau kerja panjang, yang diberikan malam hari menjelang tidur.
Bila dengan cara diatas glukosa darah terap tidak terkendali maka
pemberian OHO dihentikan, dan terapi beralih kepada insulin intensif. Pada
terapi insulin ini diberikan kombinasi insulin basal untuk mengendalikan
glukosa darah puasa, dan insulin kerja cepat atau kerja pendek untuk
mengendalikan glukosa darah prandial. Kombinasi insulin basal dan
prandial ini berbentuk basal bolus yang terdiri dari 1 x basal dan 3 x
prandial. Algoritma tata laksana selengkapnya dapat dilihat pada gambar 2.
Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat A1c), merupakan cara yang
digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya.

23
Pemeriksaan ini di - anjurkan setiap 3 bulan, atau minimal 2 kali setahun.
Gambar 3 menunjukkan panduan tatalaksana berdasarkan hasil A1c.

Gambar 3. Algoritma pengelolaan DM tipe 2 berdasarkan HbA1c

24
Kriteria pengendalian DM Untuk mencegah komplikasi kronik, diper -
lukan pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes
dinya - takan terkendali baik bila kadar glukosa da - rah, A1c dan lipid
mencapai target sasaran. Kriteria lengkap dari keberhasilan pengen - dalian
DM ini dapat dilihat pada gambar 4.

C. INFEKSI KULIT PADA DIABETES MELLITUS


Pasien dengan DM memiliki gangguan pada sisten imun. Pergerakan
PMN dan Mononuklear, kemotaksis leukosit, dan fagositosis oleh komplemen
serta makrofag menurun pada keadaan hiperglikemi. Status hiperglikemik ini
juga mengganggu aktivitas antimikroba dengan menghambat glukosa-6-Enzim
fosfat dehidrogenase (G6PD) sehingga meningkatkan apoptosis dari leukosit
polimorfonuklear dan mengurangi transmigrasi melalui endothelium. Secara
keseluruhan, sistem kekebalan tubuh yang terganggu membuat kulit pada
individu diabetik rawan terhadap infeksi mikroorganisme.
Pasien DM mengalami peningkatan risiko infeksi beberapa bakteri.
Infeksi bakteri gram positif termasuk dari grup streptococcus, baik strepcoccus
A maupun B.
Infeksi streptococcus group A : yakni piogen streptococcus, satu-satunya
spesies bakteri yang bertanggungjawab untuk berbagai jenis infeksi invasif
dan non-invasif. Dalam penelitian Sharkawy et al. Risiko infeksi jaringan
lunak dan kulit oleh streptokokus grup A ditemukan hampir empat kali lebih
tinggi pada pasien diabetes.
Infeksi streptokokus grup B : bakteri invasif lainnya Infeksi seperti
streptokokus Grup B juga telah dikaitkan dengan DM. Kulit, jaringan lunak
dan tulang (selulitis, ulkus kaki dan bisul dekubitus) adalah daerah yang
sering terinfeksi di Infeksi streptococcus Grup B . Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Schuchat, risiko infeksi streptokokus Grup B ditemukan
meningkat sampai 11 sampai 30 kali lipat secara langsung (kelompok usia
20 sampai 64 tahun) dengan diabetes namun sedikit meningkat menjadi 3,7-
5,7 kali lipat pada orang (> 64 tahun) dengan diabetes, dibandingkan dengan
populasi usia yang sama.

25
Infeksi stafilokokus: Staphylococcus aureus adalah patogen mayor yang
terlibat dalam infeksi kaki diabetes. Pasoien Diabetes tipe-1 menunjukkan
kolonisasi S. Aureus di hidung dan kulit yang lebih sering dibandingkan
Individu non-diabetes dan diabteic-non-insulin-dependent.
Necrotizing fasciitis adalah radang infeksi fasia yang cepat progresif dengan
nekrosis sekunder pada jaringan subkutan. Kecepatan penyebarannya
sebanding dengan ketebalan lapisan subkutan. Perineum, badan, abdoemn,
dan ekstremitas atas yang paling sering terkena necrotizing faciitis.

D. KRISIS HIPERTENSI
Pada anamnesa ditemukan adanya riwayat hipertensi lama dan tidak
terkontrol. Pada pemeriksaan tanda vital ditemukan tekanan darah 194/114
mmHg . Namun pada pasien tidak dikeluhkan keluhan berkaitan dengan organ
target seperti otak, mata, jantung, dan ginjal. Sehingga pada pasien ini disebut
Hipertensi Urgensi.
Pada JNC 7 tidak menyertakan hipertensi krisis ke dalam tiga stadium
klasifikasi hipertensi, namun hipertensi krisis dikategorikan dalam pembahasan
hipertensi sebagai keadaan khusus yang memerlukan tatalaksana yang lebih
agresif.

Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi


peningkatan darah akut. Definisi yang paing sering dipakai adalah:
1. Hipertensi emergensi (darurat)
Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastoik > 120
mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ target. Hipertensi
emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin dalam satu jam dengan
memberikan obat-obatan anti hipertensi intravena.

26
2. Hipertensi urgensi (mendesak)
Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi namun
tanpa disertai kerusakan organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus
segera diturunkan dalam 24 jam dengan memberikan obat-obatan anti
hipertensi oral.
Tabel 2. Causes of Hypertensive Emergency

Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vascular,


berupa disfungsi endotel, remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor
penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih belum
dipahami. Diduga karena terjadinya peningkatan tekanan darah secara cepat
disertai peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah yang

27
mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid
arteriol sehingga membuat kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan
kerusakan fungsi autoregulasi.

Skema 2. Patofisiologi hipertensi emergensi

Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan


organ target yang ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap
pasien. Pada pasien dengan hipertensi krisis dengan perdarahan intrakranial

28
akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan tanda
neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada
hipertensi ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit
neurologi fokal.
Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati dengan
perubahan arteriola, perdarahan dan eksudasi maupun papiledema. Pada
sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular bisa saja muncul lebih
dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung kiri akut.
Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau
hematuria bisa saja terjadi.

PENDEKATAN DIAGNOSIS
Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi
harus dapat dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka
morbiditas dan mortalitas pasien. Anamnesis tentang riwayat penyakit
hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang rutin diminum, kepatuhan
minum obat, riwayat konsumsi kokain, amphetamine dan phencyclidine.
Riwayat penyakit yang menyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal

29
penting dievaluasi. Tanda-tanda defisit neurologik harus diperiksa seperti sakit
kepala,penurunan kesadaran, hemiparesis dan kejang.
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan seperti hitung jenis,
elektrolit, kreatinin dan urinalisa. Foto thorax, EKG dan CT- scan kepala sangat
penting diperiksa untuk pasien-pasien dengan sesak nafas, nyeri dada atau
perubahan status neurologis. Pada keadaan gagal jantung kiri dan hipertrofi
ventrikel kiri pemeriksaan ekokardiografi perlu dilakukan. Berikut adalah
bagan alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi :

PENATALAKSANAAN
1. Hipertensi Urgensi
a. Penatalaksanaan Umum
Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan
hipertensi urgensi tidak membutuhkan obat-obatan parenteral.
Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan memberi manfaat untuk
menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial Pressure

30
(MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard
goal penurunan tekanan darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg.
Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi parenteral maupun oral
bukan tanpa risiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian
loading dose obat oral anti-hipertensi dapat menimbulkan efek
akumulasi dan pasien akan mengalami hipotensi saat pulang ke rumah.
Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral merupakan pilihan terapi
untuk pasien dengan hipertensi urgensi.

b. Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi


Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme
(ACE) inhibitor dengan onset mulai 15-30 menit. Captopril dapat
diberikan 25 mg sebagai dosis awal kemudian tingkatkan dosisnya 50-
100 mg setelah 90-120 menit kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu
batuk, hipotensi, hiperkalemia, angioedema, dan gagal ginjal (khusus
pada pasien dengan stenosis pada arteri renal bilateral).
Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang
sering digunakan pada pasien dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian
yang dilakukan pada 53 pasien dengan hipertensiurgensi secara random
terhadap penggunaan nicardipine atau placebo. Nicardipine
memilikiefektifitas yang mencapai 65% dibandingkan placebo yang
mencapai 22% (p=0,002). Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan
dapat diulang setiap 8 jam hingga tercapai tekanan darah yang
diinginkan. Efek samping yang sering terjadi seperti palpitasi,
berkeringat dan sakit kepala.
Labetalol adalah gabungan antara 1 dan -adrenergic blocking
dan memiliki waktu kerja mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian
labetalol memiliki dose range yang sangat lebar sehingga menyulitkan
dalam penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien, setiap
grup dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100 mg, 200 mg dan
300 mg secara oral dan menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik
dan diastolik secara signifikan. Secara umum labetalol dapat diberikan

31
mulai dari dosis 200 mg secara oral dan dapat diulangi setiap 3-4 jam
kemudian. Efek samping yang sering muncul adalah mual dan sakit
kepala.
Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (2-
adrenergicreceptor agonist) yang memiliki mula kerja antara 15-30
menit dan puncaknya antara 2-4 jam. Dosis awal bisa diberikan 0,1-0,2
mg kemudian berikan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai tercapainya
tekanan darah yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg. Efek
samping yang sering terjadi adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi
ortostatik.
Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang
memiliki pucak kerja antara 10-20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak
dianjurkan oleh FDA untuk terapi hipertensi urgensi karena dapat
menurunkan tekanan darah yang mendadak dan tidak dapat
diprediksikan sehingga berhubungan dengan kejadian stroke.
2. Hipertensi Emergensi
a. Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu
tergantung pada kerusakan organ target. Manajemen tekanan darah
dilakukan dengan obat-obatan parenteral secara tepat dan cepat. Pasien
harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah bisa
dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal penurunan
tekanan darah masih belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial
Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2-3 jam
berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan
mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak mengalami
hipoperfusi.
b. Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi
Neurologic emergency. Kegawatdaruratan neurologi sering
terjadi pada hipertensi emergensi seperti hypertensive encephalopathy,
perdarahan intrakranial dan stroke iskemik akut. American Heart
Association merekomendasikan penurunan tekanan darah > 180/105

32
mmHg pada hipertensi dengan perdarahan intrakranial dan MAP harus
dipertahankan di bawah 130 mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik
tekanan darah harus dipantau secara hati-hati 1-2 jam awal untuk
menentukan apakah tekanan darah akan menurun secara sepontan.
Secara terus-menerus MAP dipertahankan > 130 mmHg.
Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada
jantung seperti iskemik akut pada otot jantung, edema paru dan diseksi
aorta. Pasien dengan hipertensi emergensi yang melibatkan iskemik
pada otot jantung dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada
studi yang telah dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat
meningkatkan aliran darah pada arteri koroner. Pada keadaan diseksi
aorta akut pemberian obat-obatan -blocker (labetalol dan esmolol)
secara IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian dapat dilanjutkan
dengan obat-obatan vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan
tersebut dapat menurunkan tekanan darah sampai target tekanan darah
yang diinginkan (TD sistolik > 120mmHg) dalam waktu 20 menit.
Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau
merupakan konsekuensi dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury
ditandai dengan proteinuria, hematuria, oligouria dan atau anuria.
Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah
digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan
keracunan sianida atau tiosianat. Pemberi fenoldopam secara parenteral
dapat menghindari potensi keracunan sianida akibat dari pemberian
nitroprussidedalam terapi gagal ginjal.
Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan
karena pengaruh obat-obatan seperti katekolamin, klonidin dan
penghambat monoamin oksidase. Pasien dengan kelebihan zat-zat
katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau amphetamine
dapat menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat
mencetuskan timbulnya hipertensi atau klonidin yang dapat
menimbukan sindrom withdrawal. Pada orang-orang dengan kelebihan
zat seperti pheochromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol dengan

33
pemberian sodium nitroprusside (vasodilator arteri) atau phentolamine
IV (ganglion-blocking agent). Golongan -blockers dapat diberikan
sebagai tambahan sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai.
Hipertensi yan dicetuskan oleh klonidinterapi yang terbaik adalah
dengan memberikan kembali klonidi sebagaidosis inisial dan dengan
penambahan obat-obatan anti hipertensi yang telah dijelaskan di atas.

Tabel 3.Obat-obatan spesifik untuk komplikasi hipertensi emergensi.

34
Tabel 2. Obat-obatan parenteral yang digunakan untuk terapi hipertensi
emergensi

PROGNOSIS
Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%) , gagal ginjal
(19%) dan gagal jantun (13%). Prognosis menjadi lebih baik apabila
penangannannya tepat dan segera.

35
E. RETINOPATI HIPERTENSI SEBAGAI KOMPLIKASI
Retinopati hipertensi pada pasien dengan riwayat hipertensi cukup lama
sering terjadi karena tekanan tinggi pada vaskularisasi ke daerah orbita yang
dominan sangat kecil. Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosis tersebut antara lain :
1. Pemeriksaan visus
Penurunan penglihatan atau penglihatan kabur hanya terjadi pada
stadium III atau stadium IV perubahan vaskularisasi akibat hipertensi
2. Funduskopi
Arteriosklerosis tidak memberikan simptom pada mata. Hipertensi
dan perubahan arteriosklerosis pada fundus diketahui melalui pemeriksaan
funduskopi, dengan pupil dalam keadaan dilatasi. Biasa didapatkan
perubahan pada vaskularisasi retina, infark koroid tetapi kondisi ini jarang
ditemukan pada hipertensi akut yang memberikan gambaran Elschnigs spot
yaitu atrofi sirkumskripta dan dan proloferasi epitel pigmen pada tempat
yang terkena infark. Pada bentuk yang ringan, hipertensi akan meyebabkan
peningkatan reflek arteriolar yang akan terlihat sebagai gambaran copper
wire atau silver wire. Penebalan lapisan adventisia vaskuler akan menekan
venule yang berjalan dibawah arterioler sehingga terjadi perlengketan atau
nicking arteriovenousa. Pada bentuk yang lebih ekstrem, kompresi ini dapat
menimbulkan oklusi cabang vena retina (Branch Retinal Vein Occlusion/
BRVO). Dengan level tekanan darah yang lebih tinggi dapat terlihat
perdarahan intraretinal dalam bentuk flame shape yang mengindikasikan
bahwa perdarahannya berada dalam lapisan serat saraf, CWS dan/ atau
edema retina.
Malignant hipertensi mempunya ciri-ciri papiledema dan dengan
perjalanan waktu akan terlihat gambaran makula berbentuk bintang. Lesi
pada ekstravaskuler retina dapat terlihat sebagai gambaran mikroaneurisme
yang diperkirakan akan terjadi pada area dinding kapiler yang paling lemah.
Gambaran ini paling jelas terlihat melalui pemeriksaan dengan angiografi.
Keadaan stasis kapiler dapat menyebabkan anoksia dan berkurangnya suplai
nutrisi, sehingga menimbulkan formasi mikroanuerisma. Selain itu,

36
perdarahan retina dapat terlihat. Ini akibat hilang atau berkurangnya
integritas endotel sehingga terjadi ekstravasasi ke plasma, hingga terjadi
perdarahan. Bercak-bercak perdarahan kelihatan berada di lapisan serat
saraf kelihatan lebih jelas dibandingkan dengan perdarahan yang terletak
jauh dilapisan fleksiform luar.

Edema retina dan makula diperkirakan terjadi melalui 2 mekanisme.


Hayreh membuat postulat bahwa edema retina timbul akibat transudasi
cairan koroid yang masuk ke retina setelah runtuhnya struktur RPE. Namun
selama ini peneliti lain percaya bahwa cairan edematosa muncul akibat
kegagalan autoregulasi, sehingga meningkatkan tekanan transmural pada
arterioles distal dan kapiler proksimal dengan transudasi cairan ke dalam
jeringan retina. Absorpsi komponen plasma dari cairan edema retina akan
menyebabkan terjadinya akumulasi protein. Secara histologis, yang terlihat
adalah residu edema dan makrofag yang mengandung lipid. Walaupun
deposit lipid ini ada dalam berbagai bentuk dan terdapat dimana-mana di
dalam retina, gambaran macular star merupakan bentuk yang paling
37
dominan. Gambaran seperti ini muncul akibat orientasi lapisan Henle dari
serat saraf yang berbentuk radier.

38
3. Angiografi

F. RETINOPATI DIABETIK SEBAGAI KOMPLIKASI


Retinopati diabetik adalah salah satu bentuk komplikasi diabetes
melitus, di mana kadar gula yang tinggi pada akhirnya mengakibatkan
kerusakan pada pembuluh darah retina mata, terutama di jaringan-jaringan yang
sensitif terhadap cahaya. Kondisi ini dapat diderita oleh siapapun yang
menderita diabetes tipe 1 maupun 2, terutama mereka yang gula darahnya tidak
terkontrol dan telah menderita diabetes dalam jangka waktu yang lama.
Secara garis besar, retinopati diabetik dibagi menjadi dua jenis:
1. Retinopati diabetik non-proliferatif
Ini adalah stadium awal dari retinopati diabetik. Dikatakan non-
proliferatif karena pada jenis ini, tidak terjadi proliferasi vaskularisasi yang
baru.
Retinopati diabetik non-proliferatif ditandai dengan adanya
mikroaneurisma yang muncul dari vaskularisasi retina. Mikroaneurisma ini
akhirnya akan menyumbat vena, sehingga vena menjadi mengembung dan
berbentuk tidak rata. Apabila sumbatan semakin banyak dan luas, maka
sistem persarafan dan makula akan terjadi edema. Makula edema ini
merupakan kondisi yang membutuhkan penanganan segera.
2. Retinopati diabetik proliferatif
Retinopati diabetik proliferatif merupakan kondisi parah yang
membutuhkan penanganan segera. Pada kasus ini, sebagian besar
vaskularisasi retina telah rusak, sehingga terbentuklah neovaskularisasi

39
dengan dinding yang lemah sehingga akan mudah pecah, dan darah akan
merembes masuk ke vitreus humor. Bila semakin banyak, tumpukan cairan
dan darah ini akan meningkatkan tekanan bola mata dan merusak
persarafan, sehingga menyebabkan suatu kondisi yang disebut dengan
glaukoma.
Selain itu, pertumbuhan neovaskularisasi ini akan memicu
terbentuknya jaringan parut. Jaringan parut ini pada akhirnya akan menarik
retina sehingga terlepas bagian belakang mata. Pada saat ini terjadi,
seseorang bisa mengalami gangguan penglihatan.
Ada baiknya pasien dengan diabetes mellitus yang mengalami keluhan
maupun tidak, dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang mata, antara lain :
a. Pemeriksaan awal harus meliputi :
Tajam penglihatan
Slit lamp biomicroscopy
Tekanan Intra Okular (TIO)
b. Funduskopi
Untuk melihat kelainan pada retina pada retinopati DM yang
dikelompokkan sesuai dengan standar Early Treatment Diabetic
Retinopathy Study (ETDRS) yang tampak pada Tabel.

c. OCT (optical coherence tomography)


40
OCT dapat memberikan gambar beresolusi tinggi (10 mikron) dari
batas (interface) vitreoretina, retina, serta ruang subretinal. Pemeriksaan ini
berguna untuk menghitung ketebalan retina, dan identifikasi edema makula,
serta traksi vitreomakula.

d. Ocular ultrasonography bermanfaat untuk evaluasi retina bila visualisasinya


terhalang oleh perdarahan vitreous atau kekeruhan media refraksi.
e. Fluorescein Angiography
Fluorescein angiography bernilai sebagai pedoman pada terapi
DME, mengetahui adanya penyumbatan kapiler perifoveal, mengexclude
penyebab lain serta mengevaluasi penyebab penurunan penglihatan yang
tidak diketahui penyebabnya.

41
DAFTAR PUSTAKA

ADA, Standards of Medical Care in Diabetes2007. Diabetes Care 30:S4- S41,


2007.
Alfa Sylvestris, HIPERTENSI DAN RETINOPATI HIPERTENSI, jurnal bidang
kedokteran, Vol. 10 No.1 Tahun 2014
Antono D. Diagnosis dan penatalaksanaan penyakit arteri perifer pada penyakit
diabetes melitus. Dalam: Alwi I, Nasution SA, Ranitya R, editor. Prosiding
simposium Pendekatan Holistik kardiovaskuler VII. Jakarta: Pusat penerbitan
IPD. 2008 .p.4-12
Barbara Piegel, Elliott M, Antman, Sidney C. Jr. Management of patient with
Peripheral Arterial Disease (PAD) (lower extremity, renal, Mesenteric, and
abdominal aortic): A Collaborative Report from the American Association for
Vascular surgery/society for cardiovasculer Angiography and Interventions.
Society for vascular Medicine and Biology. Society of International Radiology.
Task force of practice guidelines. ACC/AHA Practice guideline;2005.
Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.2008
Fitzpatrick, Thomas B. Dermatology in General Medicine, seventh edition. New
York: McGrawHill: 2008
John. MF Adam. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang Baru.
Cermin Dunia Kedokteran. 2006; 127:37-40.
Kertowigno S. 2011. 10 Besar Kelompok Penyakit Kulit. Unsri press, Palembang,
Indonesia, hal: 146-149
KonseNsus Pencegahan dan Pengelolaan Nasional Penatalaksanaan Diabetes
Mellitus tipe 2 di Indonesia, Perkeni, 2006.
Mansjoer A., Suprohaita, Warhani, W.I., Setiouwulan. Kapita Selekta Kedokteran.
Edisi ke-3. Jilid ke-2. Media Aesculapius. Jakarta. 2008. p. 543-48.
McNamara DR, Tleyjeh IM, Berbari EF, et al. 2007. Incidence of lower
extremity cellulitis: a population based study in Olmsted country, Minnesota.
82(7):817-21

42
Morris, AD. 2008. Cellulitis and erysipelas. University Hospital of Wales, Cardiff,
UK. 1708
Pandaleke, HEJ. Erisipelas dan selulitis. Fakultas kedokteran Universitas
Samratulangi; Manado. Cermin Dunia Kedokteran No. 117, 1997
PERDAMI. 2013. Pedoman Penanganan Retinopati Diabetika.
Ratna Sitompul, Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 8,
Agustus 2011
Wolff K, Johnson RA, Fitspatricks: color atlas and synopsis of clinically
dermatology. New York: McGrawHill. 2008
World Health Organisation. Diabetes mellitus : Report of a WHO Study Group.
World Health Organisation. Geneva-Switzerland. 2006. S5-36.

43

Anda mungkin juga menyukai