Disusun oleh:
Pendamping
• Nama : Ny. K
• Usia : 57 tahun
• Alamat : Pabedilan
• Status : menikah
• Agama : Islam
A. ANAMNESIS
Pasien datang ke IGD RSUD waled dengan keluhan nyeri kepala sejak 1 hari SMRS. Nyeri
kepala dirasakan diseluruh kepala, dan terus-menerus. Pasien mengatkan awalnya ia tertabrak
oleh motor saat hendak menyebrang jalan untuk menuju ke warung. Pasien terjatuh dengan
posisi kepala bagian belakang membentur aspal, kemudian pasien tidak sadarkan diri selama
±10 menit. Setelah sadar pasien muntah sebanyak 3x berisi makanan tanpa disertai adanya
darah (+), mual (+), pusing (+). Pasien menyangkal adanya keluar cairan ataupun darah pada
bagian telinga maupun hidungnya, kelemaha anggota gerak disangkal disangkal, penurunan
fungsi penciuman, penurunan fungsi pendengaran disangkal, penglihatan ganda dan
penglihatan buram disangkal.
- Merokok (-)
- Alkohol (-)
B. PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : CM E4M6V5
Tanda-tanda vital :
Frekuensi nadi : 80
Frekuensi nafas : 21
Suhu : 37
SpO2 : 98%
STATUS INTERNUS
• Mata : ca-/- si-/-, brill hematoma (racoon’s eyes) -/-, hematoma palpebra -/-,
ptosis -/-, RCL +/+, RCTL +/+, pupil isokor 2mm/2mm
• Thorax:
COR
PULMO
Abdomen
• PALPASI : NT (-)
Extremitas
• Status lokalis:
a/r occipitalis
Kesadaran: E4M6V5
Motorik 5/5/5/5
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
FOTO SCHEDELL
D. DIAGNOSIS
MILD HEAD INJURY
E. TATALAKSANA
• Non-Farmakologi
- Penanganan sesuai prinsip trauma (airway, breathing, circulation)
- Head up 30
- Obeservasi KU, kesadaran, TTV, dan tanda-tanda peningkatan TTIK
• Farmakologi
- Ivfd NaCl 0.9% 500cc/8jam
- Ranitidin 2x50 mg iv
- Dexketoprofen 3x25 mg iv
F. PROGNOSIS
Quo Ad Functionam : Ad Bonam
Quo Ad Vitam : Ad Bonam
Quo Ad Sanationam : Ad Bonam
PEMBAHASAN
BAB I
PENDAHULUAN
CEDERA KEPALA
SINONIM: Trauma kapitis = cedera kepala = head injury = trauma kranioserebral = Traumatic
Brain Injury.2
2.1 DEFINISI
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun
tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif,
fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.2
2.2 EPIDEMIOLOGI
Cedera kepala sangat sering dijumpai. Di Amerika setiap tahunnya kejadian cedera
kepala diperkirakan mencapai 500.000 kasus. 10 % dari penderita cedera kepala meninggal
sebelum datang ke Rumah sakit. Labih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat
kecacatan akibat cedera kepala.2
Data-data yang didapat di USA dan mancanegara, dimana kecelakaan terjadi hampir 15
menit. Sekitar 60% diantaranya bersifat fatal akibat adanya cedera kepala. Data menunjukkan
cedera kepala masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kecacatan pada usia <35 tahun.
Dari seluruh kasus cedera kepala, hanya 3-5% saja yang memerlukan tindakan operasi.2
Data-data yang didapat di Indonesia (1982) terjadi 55.498 kecelakaan lalu lintas dimana
setiap harinya meninggal sebanyak 34 orang dan 80% penyebabnya adalah cedera kepala.
Data-data yang didapat dari RSCM (1995-1998), terjadi 96% trauma kapitis yang disebabkan
oleh kecelakaan lalu-lintas, dimana 76% dari padanya terjadi pada usia muda ± 25 tahun. Dari
seluruh kasus cedera kepala, sebanyak 84% hanya memerlukan tindakan konservatif. Sekitar
28% saja penderita cedera kepala yang menjalani pemeriksaan CT Scan.1
Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan sepeda
motor, dan sebagian besar diantaranya tidak menggunakan helm atau menggunakan helm yang
tidak memadai (>85%). Dalam hal ini yang dimaksud dengan tidak memadai adalah helm yang
terlalu tipis dan penggunaan helm tanpa ikatan yang memadai, sehingga saat penderita terjatuh,
helm sudah terlepas sebelum kepala membentur lantai.1,3
2.3 ETIOLOGI
Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, berupa
tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyebrang jalan yang ditabrak. Sisanya disebabkan
oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya ranting pohon, kayu, dsb), olahraga,
korban kekerasan baik benda tumpul maupun tajam (misalnya golok, parang, batang kayu,
palu, dsb), kecelakaan kerja, kecelakaan rumah tangga, kecelakaan olahraga, trauma tembak,
dan lain-lain.3,5
2.5 PATOFISIOLOGI
Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak langsung
(primer) yang disebabkan oleh efek mekanik dari luar. Perluasan kerusakan dari jaringan otak
(sekunder) disebabkan oleh berbagai faktor seperti: kerusakan sawar darah otak, gangguan
aliran darah otak, gangguan metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan
neurotransmitter, eritrosit, opioid endogen, reaksi inflamasi dan radikal bebas.6
Mekanisme kerusakan otak pada cedera otak dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kerusakan jaringan otak langsung oleh impresi atau depresi tulang tengkorak sehingga
timbul lesi “ coup” (cedera di tempat benturan).3,6
b. Perbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan perbedaan
percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi. Kekuatan gerak ini dapat
menimbulkan cedera otak berupa kompresi, peregangan dan pemotongan. Benturan dari
arah samping akan mengakibatkan terjadinya gerakan atau gesekan antara massa jaringan
otak dengan bagian tulang kepala yang menonjol atau bagian-bagian yang keras seperti falk
dengan tentoriumnya maupun dasar tengkorak dan dapat timbul lesi baik coup maupun
contra coup. Lesi coup berupa kerusakan berseberangan atau jauh dari tempat benturan
misalnya di dasar tengkoran. Benturan pada bagian depan (frontal), otak akan bergerak dari
arah antero-posterior, sebaliknya pada pukulan dari belakang (occipital), otak bergerak dari
arah postero-anterior sedangkan pukulan di daerah puncak kepala (vertex), otak bergerak
secara vertikal. Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan terjadinya coup dan contra coup.3,6
c. Bila terjadi benturan, akan timbul gelombang kejut (shock wave) yang akan diteruskan
melalui massa jaringan otak dan tulang. Gelombang tersebut menimbulkan tekanan pada
jaringan, dan bila tekanan cukup besar akan menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan
otak melalui proses pemotongan dan robekan. Kerusakan yang ditimbulkan dapat berupa :
“Intermediate coup”, contra coup, cedera akson yang difus disertai perdarahan
intraserebral.3,6
d. Perbedaan percepatan akan menimbulkan tekanan positif di tempat benturan dan tekanan
negatif di tempat yang berlawanan pada saat terjadi benturan. Kemudian disusul dengan
proses kebalikannya, yakni terjadi tekanan negatif di tempat benturan dan tekanan positif di
tempat yang berlawanan dengan akibat timbulnya gelembung (kavitasi) yang menimbulkan
kerusakan pada jaringan otak (lesi coup dan contra coup).6
2.6 KLASIFIKASI
2.6.1 Berdasarkan Saat Terjadinya
Lesi (kerusakan) yang dapat timbul pada cedera kepala terdiri atas 2 jenis yaitu lesi
primer dan lesi sekunder.
Lesi Primer
Lesi primer timbul langsung pada saat terjadinya trauma, bisa bersifat lokal maupun
difus.
- Lesi lokal berupa robekan pada kulit kepala, otot-otot dan tendo pada kepala
mengalami kontusio, dapat terjadi perdarahan sub galeal maupun fraktur tulang
tengkorak. Demikian juga dapat terjadi kontusio jaringan otak.
- Lesi difus merupakan cedera aksonal difus dan kerusakan mikrovaskular difus.1,3
Lesi Sekunder
Lesi sekunder timbul beberapa waktu setelah terjadi trauma, menyusul kerusakan primer.
Umumnya disebabkan oleh keadaan iskemi-hipoksia, edema serebri, vasodilatasi,
perdarahan subdural, perdarahan epidural, perdarahan subaraknoidal, perdarahan
intraserebral, dan infeksi.1,3
2.6.2 Berdasarkan patologi:
Komosio serebri
Kontusio serebri
Laserasio serebri2
Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, sebabnya antara lain adalah
perdarahan yang terus berlangsung, iskemik-nekrosis, dan diikuti oleh edema vasogenik.
Selanjutnya lesi akan mengalami reabsorbsi terhadap eritrosit yang lisis (48-72 jam), disusul
dengan infiltrasi makrofag (24 jam – beberapa minggu) dan gliosis aktif yang terus berlangsung
secara progresif (mulai dari 48 jam). Secara makroskopik terlihat sebagai lesi kistik
kecoklatan.6
Gejala yang timbul bergantung kepada ukuran dan lokasi kontusio. Jika melibatkan
lobus frontal dan temporal bilateral, disebut ‘cedera tetrapolar’, memberikan gejala TTIK
(Tekanan Tinggi Intra Kranial), tanpa pergeseran garis tengah (midline shift) dan disertai koma
atau penurunan kesadaran yang progresif. Gambaran CT scan berupa daerah kecil hiperdens
yang disertai atau dikelilingi oleh daerah hipodens karena edema dan jaringan otak yang
nekrosis.3
Laserasio Cerebri
Jika kerusakan tersebut disertai dengan robeknya piamater. Laserasi biasanya berkaitan
dengan adanya perdarahan subarachnoid traumatika, subdural akut, dan intraserebral. Laserasi
dapat dibedakan atas laserasi langsung dan tidak langsung. Laserasi langsung disebabkan oleh
luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama
pada fraktur depressed terbuka, sedangkan laserasi tak langsung disebabkan oleh deformasi
jaringan yang hebat akibat dari kekuatan mekanis.3
2.6.3 Berdasarkan lokasi lesi
Lesi diffus
Lesi kerusakan vaskuler otak
Lesi fokal
o Kontusio dan laserasi serebri
o Hematoma intrakranial
Hematoma ekstradural
Hematoma subdural
Hematoma intraparenkim
Hematoma subarakhnoid
Hematoma intraserebral
Hematoma intraserebellar.2
Lesi difusa
Cedera otak ini disebut dengan istilah difus oleh karena secara makroskopis tidak
ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan gangguan fungsi neurologik, meskipun pada
kenyataannya pasien mengalami amnesia atau penurunan kesadaran bahkan sampai koma.1
Pada keadaan yang berat proses akselerasi dan deselerasi juga menyebabkan kerusakan
jaringan pembuluh darah, sehingga pada CT-scan sering tampak gambaran bercak-bercak
perdarahan di substansia alba mulai dari subkorteks, korpus kalosum sampai ke batang otak
serta edema di daerah yang mengalami kerusakan. Jadi pada CT-scan hanya terlihat kerusakan
yang seringkali menyertai kerusakan difus pada akson yang berupa bercak-bercak perdarahan
yang lebih dikenal dengan istilah tissue tear hemorrages. 3
Tergantung dari berat ringannya cedera otak difus ini, manifestasi klinisnya dapat
berupa:
Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari 6 jam.
Pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan adanya lesi fokal baik berupa massa maupun
daerah yang iskemik. Gambaran klinis DAI ditandai dengan koma sejak kejadian, suatu
keadaan dimana penderita secara total tidak sadar terhadap dirinya dan sekelilingnya dan tidak
mampu memberi reaksi yang berarti terhadap rangsangan dari luar. Koma disini disebabkan
oleh karena kerusakan langsung dari akson sehingga dipakai istilah cedera akson difus.3
a. DAI ringan. Di sini koma berlangsung selama 6-24 jam. Bisa disertai defisit
neurologik dan kognitif yang berlangsung cukup lama sampai permanen. Jenis ini
relatif jarang ditemukan.
b. DAI sedang. Koma berlangsung lebih dari 24 jam tanpa disertai gangguan fungsi
batang otak. Jenis inilah yang paling banyak ditemui, terdapat pada 45 % dari semua
kasus DAI. Dengan terapi agresif angka kematiannya adalah 20 %.
c. DAI berat. Koma berlangsung lebih dari 24 jam dan disertai disfungsi batang otak
tanpa adanya proses desak ruang yang berarti. Angka kematiannya mencapai 57 % dan
menyebabkan cacat neurologis yang berat.6
Hematoma subdural
Terjadi ketika vena di antara duramater dan arachnoid (bridging vein) robek. Lesi ini
lebih sering ditemukan daripada EDH. Pasien dapat kehilangan kesadaran saat terjadi
cedera.1,3,10
Hematoma subarakhnoid
Paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain. Perdarahan
terletak di antara arachnoid dan piamater, mengisi ruang subarachnoid.1,3,10
Hematoma intraserebral
Atau lebih dikenal dengan intraserebral hematoma (ICH), diartikan sebagai hematoma
yang terbentuk pada jaringan otak (parenkim) sebagai akibat dari adanya robekan pembuluh
darah. Terutama melibatkan lobus frontal dan temporal (80-90 persen), tetapi dapat juga
melibatkan korpus kallosum, batang otak, dan ganglia basalis.1,2,3
Hematoma intraserebellar
Merupakan perdarahan yang terjadi pada serebelum. Lesi ini jarang terjadi pada trauma,
umumnya merupakan perdarahan spontan. Prinsipnya hampir sama dengan ICH, tetapi secara
anatomis harus diingat bahwa kompartemen infratentorial lebih sempit dan ada struktur penting
di depannya, yaitu batang otak.2,3
2.7 DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
a. Trauma kapitis dengan/tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid
b. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
c. Amnesia traumatika (retrograd/anterograd)
2. Hasil pemeriksaan klinis neurologis
3. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial
4. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
5. CT scan otak: untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi.2
Pemeriksaan Klinis Umum dan Neurologis
1. Penilaian kesadaran berdasarkan GCS
2. Penilaian fungsi vital
3. Otorrhea/rhinorrhea
4. Ekimosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kaca mata
5. Ekimosis mastoid bilateral/Battle’s sign
6. Gangguan fokal neurologik
7. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
8. Refleks tendon, refleks patologis
9. Pemeriksaan fungsi batang otak
10. Pemeriksaan pupil
11. Refleks kornea
12. Doll’s eye phenomenone
13. Monitor pola pernafasan
14. Gangguan fungsi otonom
15. Funduskopi.2
HEMATOMA EPIDURAL
Tanda diagnostik klinik:
1. Lucid interval (+)
2. Kesadaran makin menurun
3. Late hemiparese kontralateral lesi
4. Pupil anisokor
5. Babinsky (+) kontralateral lesi
6. Fraktur di daerah temporal.2,3,5,10
Penunjang diagnostik:
- CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang tengkorak dan
duramater,umumnya daerah temporal, dan tampak bikonveks2,3,5
HEMATOMA INTRASEREBRAL
Adalah perdarahan parenkim otak, disebabkan karena pecahnya arteri intraserebral mono- atau
multiple.3,6
Gambar 8. CT Scan Intracranial hemorrhage (Dikutip dari:
http://www.stritch.luc.edu/lumen/MedEd/Radio/curriculum/Neurology/IC_hemorrhage2.htm)
2. Media
Gejala dan tanda klinis
- Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorrhea2,3,9
3. Posterior
Gejala dan tanda klinis :
- Bilateral mastoid ecchymosis/battle’s sign2,3,5
Gambar 10. Bilateral Mastoid Ecchymosis/Battle’s Sign (Dikutip dari:
http://www.aic.cuhk.edu.hk/web8/Battle%27s%20sign.htm)
Penunjang diagnostik:
- Memastikan cairan serebrospinal secara sederahan dengann tes halo
- Scaning otak resolusi tinggi dan irisan 3mm (50% +)(high resolution and thin section)2
Penunjang diagnostik:
CT scan otak
Awal normal, tidak ada tanda adanya perdarahan, edema, kontusio
Ulangan setelah 24 jam, edema otak luas2
Pemeriksaan Radiologi
Foto kepala AP/Lateral, dan foto leher (bila didapatkan fraktur servikal, kerah leher/
collar neck yang telah terpasang tidak dilepas)
Foto anggota gerak, dada, dan abdomen dibuat atas indikasi
Scanning otak untuk menentukan luas dan letak lesi intrakranial (edema, kontusio,
hematoma)7,9,10
Neurobehaviour
Pemeriksaan neuropsikologi dan neuropsikiatri7
2.9 PENATALAKSANAAN
Terapi Kasus ringan
1. Pemeriksaan status umum dan neurologi
2. Perawatan pada luka
3. Pasien dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga selama 48 jam
Bila selama dirumah terdapat hal-hal sebagai berikut :
- Pasien cenderung mengantuk
- Sakit kepala yang semakin berat
- Muntah proyektil
Maka pasien harus segera kembali ke rumah sakit
4. Pasien perlu dirawat apabila ada hal-hal berikut:
- Ada gangguan orientasi (waktu, tempat)
- Sakit kepala dan muntah
- Tidak ada yang mengawasi dirumah
- Letak rumah jauh atau sulit untuk kembali kerumah sakit2
Unit terkait
PPM bedah saraf bila ada hematoma epidural atau hematom subdural yang perlu
tindakan bedah.1,7
Terapi Cedera Kepala Sedang dan Berat
Urutan tindakan menurut prioritas
Resusitasi jantung paru, dengan tindakan Airway (A), Breathing (B), dan Circulation (C)
A: Posisi kepala ekstensi untuk membebaskan jalan nafas dari lidah yang turun ke bawah
Bila perlu pasang pipa orofaring atau pipa endotrakeal
Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir, atau gigi palsu
Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi
B:
- Berikan oksigen dosis tinggi 10-15 liter/menit, intermitten
- Bila perlu pakai ventilator
C: Jika terjadi hipotensi (sistolik < 90 mmHg), cari penyebabnya, oleh faktor ekstrakranial
berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai
tamponade jantung atau pneumotorak dan shock septik.
Tindakan tata laksana:
- Menghentikan sumber perdarahan
- Restorasi volume darah dengan cairan isotonik, yaitu NaCl 0,9% atau ringer laktat per
infus
- Mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah1,7
Setiap hari dievaluasi, setiap perburukan dari salah satu komponen di atas bisa diartikan
timbulnya kerusakan sekunder
Nutrisi
Kebutuhan energi rata-rata pada CKB meningkat rata-rata 40%, kebutuhan protein 1,5-
2 g/kgBB/hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari, dan zinc 12 mg/hari
Selain infus, nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik:
- Hari ke-1: berikan glukosa 10% sebanyak 100ml/2jam
- Hari ke-2: berikan susu dengan dosis seperti glukosa
- Hari ke-3 dan seterusnya: makanan cair 2000-3000 kalori per hari disesuaikan dengan
keseimbangan elektrolit.1,7
Neuroproteksi
Adanya tenggang waktu antara terjadinya trauma dan timbulnya kerusakan jaringan
saraf memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektor
Obat-obat tersebut antara lain:
Antagonis kalsium atau nimodipin (terutama diberikan pada SAH), sitikolin, dan
piracetam 12 gr/hari yang diberikan selama 7 hari.1,7
Komplikasi
- Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsy, dan
yang terjadi setelah minggu pertama disebut late eplepsy.
Profilaksis dengan anti kejang diberikan pada yang berisiko tinggi untuk terjadinya
kejang pasca CKB, yaitu:
GCS <10, kontusio kortikasl, fraktur kompresi tulang tengkorak, Hematom
Subdural, Hematom Epidural
Hematom Intracerebral, luka tembus dan kejang yang terjadi dalam kurun
waktu <24 jam pasca cedera
Pengobatan
Kejang pertama: saat kejang diberikan diazepam 10 mg i.v, dilanjutkan dengan
fenitoin 200mg peroral, dan seterusnya diberikan 3-4 x 100 mg/hari
Profilaksis:
Diberikan fenitoin 3-4x 100mg/hari atau karbamazepin 3x200 mg/hari selama
7-10 hari.1,3,7
- Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi seperti pada fraktur
tulang terbuka, luka luar, dan fraktur basis kranii.
Antibiotik yang diberikan: ampisilin 3x1 gr/hari i.v selama 10 hari
Bila ada kecurigaan infeksi pada meningen, diberikan antibiotika dengan dosis
meningitis, misalnya ampisilin 4x3 gr/hari i.v dan kloramfenikol 4x 1,5-2gr i.v selama
10 hari. Untuk gram negatif meningitis, terapi diberikan selama 21 hari atau 10 hari
setelah kultur cairan serebrospinal negatif. 1,3,7
- Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Selain itu dilakukan
tindakan menurunkan suhu dengan kompres pada kepala, ketiak, dan lipat paha. Dan
ditambahkan obat antipiretik. 1,3,7
- Gastrointestinal
Pada pasien CKB sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, dengan
19-24% diantaranya akan berdarah. Penderita cedera kepala akan mengalami
peningkatan rangsang simpatik yang mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan
mukosa sehingga mudah terjadi erosi. Keadaan ini dapat dicegah dengan pemberian
antasida 3x1 peroral atau bersama H2 reseptor bloker yaitu simetidine, ranitidin, atau
famotidin yang diberikan 3x1 ampul i.v selama 5 hari, atau Proton Pump Inhibitor
seperti omeprazole. 1,3,7
- Edema pulmonum
Dapat terjadi pada gangguan fungsi hipotalamus yang mengakibatkan
penguncupan vena-vena paru. Dapat dilakukan pemberian hiperosmotika dan
pemberian diuretika serta oksigen. 1,3,7
Neurorestorasi /neurorehabilitasi
- Pasien dengan penurunan kesadaran, program neurorestorasi /neurorehabilitasi
dilakukan untuk mencegah ulkus dekubitus dengan perubahan posisi berbaring tiap 8
jam, pneumonia ortostatik dengan perubahan posisi berbaring tiap 8 jam, dan
ekstermitas digerakkan secara pasif.
- Pasien sadar, dilakukan pemeriksaan neurologis ulang termasuk pemeriksaan kortikal
luhur, karena banyak gejala sisa berupa gangguan kortikal luhur yang menurunkan
kualitas hidup pasca cedera kranio serebral. 1,7
2.10 PROGNOSIS
Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya trauma kapitis.3
KESIMPULAN
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi
psikososial baik temporer maupun permanen. Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala
serius adalah kecelakaan sepeda motor, dan sebagian besar diantaranya tidak menggunakan
helm atau menggunakan helm yang tidak memadai.
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan saat terjadinya lesi (primer dan sekunder),
berdasarkan kelainan patologis (komosio, kontusio, laserasio cerebri), berdasarkan lokasi lesi
(vaskuler, difus [DAI, DVI]), fokal [Hematoma epidural, subdural, subarakhnoid, intraserebral,
intraserebellar]), dan berdasarkan GCS (simple head injury, CKR, CKS, CKB) guna
menentukan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan, tatalaksana, indikasi operatif, dan
prognosis.
Tatalaksana dapat diberikan berdasarkan GCS pasien, pada kasus ringan dilakukan
pemeriksaan umum dan neurologis, perawatan luka, dan observasi adanya perburukan. Pada
kasus CKR dapat diberikan tatalaksana simptomatis, observasi perburukan, dan pemeriksaan
penunjang berupa CT-Scan untuk menyingkirkan adanya hematom, sedangkan untuk kasus
CKS dan CKB tindakan awal yang dilakukan adalah sesusitasi jantung paru, dengan tindakan
Airway (A), Breathing (B), dan Circulation (C), pemeriksaan kesadaran, tanda vital, pupil,
defisit fokal serebral, cedera ekstrakranial, pemeriksaan penunjang lengkap meliputi
pemeriksaan laboratorium lengkap dan radiologi, tatalaksana TIK yang meninggi,
Keseimbangan cairan dan elektrolit, nutrisi, neuroproteksi, dan terapi komplikasi (epilepsi,
infeksi, demam, gangguan gastrointestinal, edema pulmonum, dan neurorestorasi
/neurorehabilitasi. Indikasi terapi operatif berdasarkan hasil CT Scan, sedangkan prognosis
bergantung pada skor GCS.Pencegahan dan edukasi yang sangat efektif adalah pendidikan
masyarakat berupa penggunaan helm penyelamat dan memadai, penggunaan sabuk keamanan,
perilaku pengemudi, dan kecepatan kendaraan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A, Dian
S.Kegawatdaruratan Neurologi. 2nd Ed. Bandung: Departemen/UPF Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD. 2009. p61-74.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Trauma Kapitis. In:
Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta:
PERDOSSI Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2006. p1-18.
3. Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan
Penderita Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004. p1-154.
4. Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In: Price SA.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2006. p1006-1042
5. Ginsberg L. Bedah Saraf: Cedera Kepala dan Tumor Otak. In: Lecture Notes:
Neurologi. 8th Ed. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007. p114-117
6. Kasan U. Jurnal Cedera Kepala. Available at:
http://images.neurosurg.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SZQ@K
QoKCDUAAGkRGyM1/CEDERA%20KEPALA.DOC?key=neurosurg:journ
al:9&nmid=198747111. Accessed on: November 20 2012.
7. RSUP Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo. Komosio Cerebri, CKR, CKS, CKB. In:
Panduan Pelayanan Medis Departemen Neurologi. Pusat Penerbitan Bagian
Neurologi FKUI/RSCM. 2007. p51-58
8. Mayo Clinic. Traumatic brain injury. Available at:
http://www.mayoclinic.com/health/traumatic-brain-injury/DS00552. Accessed
on November 21 2012.
9. Lombardo MC. Cedera Sistem Saraf Pusat. In: In: Price SA. Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2006. p1067-1077
10. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Cedera Kepala. In: Panduan Praktis
Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. 2009. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006. p12-18