Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS MILD HEAD INJURY

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Program Internsip Dokter Indonesia

Disusun oleh:

Dr. Dwi Listiany Corneli

Pendamping

Dr. Hari Mukti

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD WALED
CIREBON
2018
IDENTITAS PASIEN

• Nama : Ny. K

• Jenis kelamin : Perempuan

• Usia : 57 tahun

• Alamat : Pabedilan

• Pekerjaan : Buruh Tani

• Pendidikan terakhir : SMP

• Status : menikah

• Agama : Islam

• Tanggal pemeriksaan : 07-januari-2019

A. ANAMNESIS

KU: nyeri kepala

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien datang ke IGD RSUD waled dengan keluhan nyeri kepala sejak 1 hari SMRS. Nyeri
kepala dirasakan diseluruh kepala, dan terus-menerus. Pasien mengatkan awalnya ia tertabrak
oleh motor saat hendak menyebrang jalan untuk menuju ke warung. Pasien terjatuh dengan
posisi kepala bagian belakang membentur aspal, kemudian pasien tidak sadarkan diri selama
±10 menit. Setelah sadar pasien muntah sebanyak 3x berisi makanan tanpa disertai adanya
darah (+), mual (+), pusing (+). Pasien menyangkal adanya keluar cairan ataupun darah pada
bagian telinga maupun hidungnya, kelemaha anggota gerak disangkal disangkal, penurunan
fungsi penciuman, penurunan fungsi pendengaran disangkal, penglihatan ganda dan
penglihatan buram disangkal.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

- Riwayat hipertensi disangkal


- Riwayat DM disangkaL
- Riwayat operasi atau tumor pada kepala disangkal
- Riwayat alergi obat dan makanan disangkal

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

- Riwayat hipertensi disangkal


- Riwayat DM disangkal

RIWAYAT PRIBADI DAN SOSIAL

- Merokok (-)
- Alkohol (-)

B. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : TSS

Kesadaran : CM E4M6V5

Tanda-tanda vital :

Tekanan darah : 160/80

Frekuensi nadi : 80

Frekuensi nafas : 21

Suhu : 37

SpO2 : 98%

STATUS INTERNUS

• Kepala : normochepal, rambut hitam, distribusi merata

• Mata : ca-/- si-/-, brill hematoma (racoon’s eyes) -/-, hematoma palpebra -/-,
ptosis -/-, RCL +/+, RCTL +/+, pupil isokor 2mm/2mm

• Telinga : bentuk normal, battle sign -/-, otore -/-

• Hidung : rhinore -/-, deviasi septum (-)

• Leher : bentuk simetrsi, trakea ditenga. Pembesaran KGB (-)

• Thorax:

COR

• INSPEKSI : ictus cordis tidak terlihat

• PALPASI : teraba ictus cordis (+)

• PERKUSI : batas jantung dalam batas normal

• AUSKULTASI : BjI=II reg, murmur (-), gallop (-)

PULMO

• INSPEKSI : bentuk dinding dada normal, gerakan nafas simetris

• PALPASI : fremitus vocal simetris kanan-kiri, nyeri tekan (-)

• PERKUSI : sonor dikedua lapang paru


• AUSKULTASI : VBS +/+ RH-/- WH-/-

Abdomen

• INPEKSI : datar, jejas (-)

• AUSKULTASI : BU (+) 8x/menit

• PERKUSI : timpani (+)

• PALPASI : NT (-)

Extremitas

• Akral hangat (+), CRT<2 detik, jejas (-), krepitasi (-)

• Status lokalis:

a/r occipitalis

• INSPEKSI : tidak tampak luka pada bagian belakang kepala

• PALPASI : nyeri tekan (+)

STATUS MINI NEUROLOGI

Kesadaran: E4M6V5

Tanda rangsang meningeal (-)

Mata: pupil isokor, RCL +/+, RCTL +/+

Motorik 5/5/5/5

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
FOTO SCHEDELL

D. DIAGNOSIS
MILD HEAD INJURY

E. TATALAKSANA
• Non-Farmakologi
- Penanganan sesuai prinsip trauma (airway, breathing, circulation)
- Head up 30
- Obeservasi KU, kesadaran, TTV, dan tanda-tanda peningkatan TTIK
• Farmakologi
- Ivfd NaCl 0.9% 500cc/8jam
- Ranitidin 2x50 mg iv
- Dexketoprofen 3x25 mg iv
F. PROGNOSIS
Quo Ad Functionam : Ad Bonam
Quo Ad Vitam : Ad Bonam
Quo Ad Sanationam : Ad Bonam
PEMBAHASAN
BAB I
PENDAHULUAN

CEDERA KEPALA
SINONIM: Trauma kapitis = cedera kepala = head injury = trauma kranioserebral = Traumatic
Brain Injury.2

2.1 DEFINISI
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun
tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif,
fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.2

2.2 EPIDEMIOLOGI
Cedera kepala sangat sering dijumpai. Di Amerika setiap tahunnya kejadian cedera
kepala diperkirakan mencapai 500.000 kasus. 10 % dari penderita cedera kepala meninggal
sebelum datang ke Rumah sakit. Labih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat
kecacatan akibat cedera kepala.2
Data-data yang didapat di USA dan mancanegara, dimana kecelakaan terjadi hampir 15
menit. Sekitar 60% diantaranya bersifat fatal akibat adanya cedera kepala. Data menunjukkan
cedera kepala masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kecacatan pada usia <35 tahun.
Dari seluruh kasus cedera kepala, hanya 3-5% saja yang memerlukan tindakan operasi.2
Data-data yang didapat di Indonesia (1982) terjadi 55.498 kecelakaan lalu lintas dimana
setiap harinya meninggal sebanyak 34 orang dan 80% penyebabnya adalah cedera kepala.
Data-data yang didapat dari RSCM (1995-1998), terjadi 96% trauma kapitis yang disebabkan
oleh kecelakaan lalu-lintas, dimana 76% dari padanya terjadi pada usia muda ± 25 tahun. Dari
seluruh kasus cedera kepala, sebanyak 84% hanya memerlukan tindakan konservatif. Sekitar
28% saja penderita cedera kepala yang menjalani pemeriksaan CT Scan.1
Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan sepeda
motor, dan sebagian besar diantaranya tidak menggunakan helm atau menggunakan helm yang
tidak memadai (>85%). Dalam hal ini yang dimaksud dengan tidak memadai adalah helm yang
terlalu tipis dan penggunaan helm tanpa ikatan yang memadai, sehingga saat penderita terjatuh,
helm sudah terlepas sebelum kepala membentur lantai.1,3
2.3 ETIOLOGI
Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, berupa
tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyebrang jalan yang ditabrak. Sisanya disebabkan
oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya ranting pohon, kayu, dsb), olahraga,
korban kekerasan baik benda tumpul maupun tajam (misalnya golok, parang, batang kayu,
palu, dsb), kecelakaan kerja, kecelakaan rumah tangga, kecelakaan olahraga, trauma tembak,
dan lain-lain.3,5

2.4 MEKANISME CEDERA OTAK


1. Secara Statis (Static Loading)
Cedera otak timbul secara lambat, lebih lambat dari 200 milisekon. Tekanan pada kepala
terjadi secara lambat namun terus menerus sehingga timbul kerusakan berturut-turut mulai
dari kulit, tengkorak dan jaringan otak. Keadaan seperti ini sangat jarang terjadi.6

2. Secara Dinamik (Dynamic Loading)


Cedera kepala timbul secara cepat, lebih cepat dari 200 milisekon, berbentuk impulsif
dan / atau impak.6
Trauma tidak langsung membentur kepala, tetapi terjadi pada waktu kepala mendadak
bergerak atau gerakan kepala berhenti mendadak, contoh : pukulan pada tengkuk atau
punggung akan menimbulkan gerakan fleksi dan ekstensi dari kepala yang bisa
menyebabkan cedera otak.6
a. Impak (Impact Loading)
Trauma yang langsung membentur kepala dapat menimbulkan 2 bentuk impak:
 Kontak / benturan langsung (contact injury)
Trauma yang langsung mengenai kepala dapat menimbulkan kelainan :
- Lokal, seperti fraktur tulang kepala, perdarahan ekstradura dan coup
kontusio
- Jauh (remote effect), seperti fraktur dasar tengkorak dan fraktur di luar
tempat trauma
- Memar otak contra coup dan memar otak intermediate disebabkan oleh
gelombang kejut (shock wave), dimana gelombang atau getaran yang
ditimbulkan oleh pukulan akan diteruskan di dalam jaringan otak.3,6
 Inersial (Inertial injury)
Karena perbedaan koefisien (massa) antara jaringan otak dengan tulang,
maka akan terjadi perbedaan gerak dari kedua jaringan (akselerasi dan
deselerasi) yang dapat menyebabkan gegar otak, cedera akson difus (diffuse
axonal injury), perdarahan subdural, memar otak yang berbentuk coup, contra
coup, dan intermediate.3,6

2.5 PATOFISIOLOGI
Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak langsung
(primer) yang disebabkan oleh efek mekanik dari luar. Perluasan kerusakan dari jaringan otak
(sekunder) disebabkan oleh berbagai faktor seperti: kerusakan sawar darah otak, gangguan
aliran darah otak, gangguan metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan
neurotransmitter, eritrosit, opioid endogen, reaksi inflamasi dan radikal bebas.6

Kerusakan jaringan otak akibat trauma langsung


Kulit kepala dan tengkorak merupakan unsur pelindung bagi jaringan otak terhadap
benturan pada kepala. Bila terjadi benturan, sebagian tenaga benturan akan diserap atau
dikurangi oleh unsur pelindung tersebut. Sebagian tenaga benturan dihantarkan ke tengkorak
yang relatif memiliki elastisitas, yakni tengkorak mampu sedikit melekuk ke arah dalam.
Tekanan maksimal terjadi pada saat benturan dan beberapa milidetik kemudian diikuti dengan
getaran-getaran yang berangsur mengecil hingga reda. Pukulan yang lebih kuat akan
menyebabkan terjadinya deformitas tengkorak dengan lekukan yang sesuai dengan arah
datangnya benturan dimana besarnya lekukan sesuai dengan sudut datangnya arah benturan.
Bila lekukan melebihi batas toleransi jaringan tengkorak, tengkorak akan mengalami fraktur.
Fraktur tengkorak dapat berbentuk sebagai garis lurus, impresi / depresi, diastase sutura atau
fraktur multiple disertai fraktur dasar tengkorak.6

Mekanisme kerusakan otak pada cedera otak dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kerusakan jaringan otak langsung oleh impresi atau depresi tulang tengkorak sehingga
timbul lesi “ coup” (cedera di tempat benturan).3,6
b. Perbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan perbedaan
percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi. Kekuatan gerak ini dapat
menimbulkan cedera otak berupa kompresi, peregangan dan pemotongan. Benturan dari
arah samping akan mengakibatkan terjadinya gerakan atau gesekan antara massa jaringan
otak dengan bagian tulang kepala yang menonjol atau bagian-bagian yang keras seperti falk
dengan tentoriumnya maupun dasar tengkorak dan dapat timbul lesi baik coup maupun
contra coup. Lesi coup berupa kerusakan berseberangan atau jauh dari tempat benturan
misalnya di dasar tengkoran. Benturan pada bagian depan (frontal), otak akan bergerak dari
arah antero-posterior, sebaliknya pada pukulan dari belakang (occipital), otak bergerak dari
arah postero-anterior sedangkan pukulan di daerah puncak kepala (vertex), otak bergerak
secara vertikal. Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan terjadinya coup dan contra coup.3,6
c. Bila terjadi benturan, akan timbul gelombang kejut (shock wave) yang akan diteruskan
melalui massa jaringan otak dan tulang. Gelombang tersebut menimbulkan tekanan pada
jaringan, dan bila tekanan cukup besar akan menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan
otak melalui proses pemotongan dan robekan. Kerusakan yang ditimbulkan dapat berupa :
“Intermediate coup”, contra coup, cedera akson yang difus disertai perdarahan
intraserebral.3,6
d. Perbedaan percepatan akan menimbulkan tekanan positif di tempat benturan dan tekanan
negatif di tempat yang berlawanan pada saat terjadi benturan. Kemudian disusul dengan
proses kebalikannya, yakni terjadi tekanan negatif di tempat benturan dan tekanan positif di
tempat yang berlawanan dengan akibat timbulnya gelembung (kavitasi) yang menimbulkan
kerusakan pada jaringan otak (lesi coup dan contra coup).6

2.6 KLASIFIKASI
2.6.1 Berdasarkan Saat Terjadinya
Lesi (kerusakan) yang dapat timbul pada cedera kepala terdiri atas 2 jenis yaitu lesi
primer dan lesi sekunder.
 Lesi Primer
Lesi primer timbul langsung pada saat terjadinya trauma, bisa bersifat lokal maupun
difus.
- Lesi lokal berupa robekan pada kulit kepala, otot-otot dan tendo pada kepala
mengalami kontusio, dapat terjadi perdarahan sub galeal maupun fraktur tulang
tengkorak. Demikian juga dapat terjadi kontusio jaringan otak.
- Lesi difus merupakan cedera aksonal difus dan kerusakan mikrovaskular difus.1,3
 Lesi Sekunder
Lesi sekunder timbul beberapa waktu setelah terjadi trauma, menyusul kerusakan primer.
Umumnya disebabkan oleh keadaan iskemi-hipoksia, edema serebri, vasodilatasi,
perdarahan subdural, perdarahan epidural, perdarahan subaraknoidal, perdarahan
intraserebral, dan infeksi.1,3
2.6.2 Berdasarkan patologi:
 Komosio serebri
 Kontusio serebri
 Laserasio serebri2

Komosio Cerebri/Cedera Kepala Ringan


Cedera Kepala Ringan (CKR) adalah klasifikasi berdasarkan pemeriksaan klinis,
sedangkan komosio serebri adalah klasifikasi berdasarkan patologi. CKR dianalogikan sama
dengan komosio serebri. Di klinik, klasifikasi CKR lebih umum dipakai karena memiliki
beberapa keuntungan yaitu:
 Mempergunakan GCS yang berguna untuk menilai berat ringannya cedera,
penilaiannya mudah bagi dokter spesialis, dokter umum, maupun paramedis, dan nilai
GCS dapat dipakai sebagai monitoring kondisi pasien
 Menilai scanning otak, sehingga akurasi adanya kerusakan otak lebih tinggi.1,7
Kontusio Cerebri
Diartikan sebagai kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya piamater. Kerusakan
tersebut berupa gabungan antara daerah perdarahan (kerusakan pembuluh darah kecil seperti
kapiler, vena, dan arteri), nekrosis otak dan infark. Terutama melibatkan puncak-puncak gyrus
karena bagian ini akan bergesekan dengan penonjolan dan lekukan tulang saat terjadi
benturan.1,7,8
Terdapat perdarahan kecil disertai edema pada parenkim otak. Dapat timbul perubahan
patologi pada tempat cedera (coup) atau di tempat yang berlawanan dari cedera (countre-coup).
Kontusio intermediate coup terletak diantara lesi coup dan countre coup.1,3,8
Gambar 5. Cedera Countre-Coup (Dikutip dari: http://ffden-
2.phys.uaf.edu/211_fall2010.web.dir/karlin_swearingen/pages/low_velocity.html)

Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, sebabnya antara lain adalah
perdarahan yang terus berlangsung, iskemik-nekrosis, dan diikuti oleh edema vasogenik.
Selanjutnya lesi akan mengalami reabsorbsi terhadap eritrosit yang lisis (48-72 jam), disusul
dengan infiltrasi makrofag (24 jam – beberapa minggu) dan gliosis aktif yang terus berlangsung
secara progresif (mulai dari 48 jam). Secara makroskopik terlihat sebagai lesi kistik
kecoklatan.6
Gejala yang timbul bergantung kepada ukuran dan lokasi kontusio. Jika melibatkan
lobus frontal dan temporal bilateral, disebut ‘cedera tetrapolar’, memberikan gejala TTIK
(Tekanan Tinggi Intra Kranial), tanpa pergeseran garis tengah (midline shift) dan disertai koma
atau penurunan kesadaran yang progresif. Gambaran CT scan berupa daerah kecil hiperdens
yang disertai atau dikelilingi oleh daerah hipodens karena edema dan jaringan otak yang
nekrosis.3

Laserasio Cerebri
Jika kerusakan tersebut disertai dengan robeknya piamater. Laserasi biasanya berkaitan
dengan adanya perdarahan subarachnoid traumatika, subdural akut, dan intraserebral. Laserasi
dapat dibedakan atas laserasi langsung dan tidak langsung. Laserasi langsung disebabkan oleh
luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama
pada fraktur depressed terbuka, sedangkan laserasi tak langsung disebabkan oleh deformasi
jaringan yang hebat akibat dari kekuatan mekanis.3
2.6.3 Berdasarkan lokasi lesi
 Lesi diffus
 Lesi kerusakan vaskuler otak
 Lesi fokal
o Kontusio dan laserasi serebri
o Hematoma intrakranial
 Hematoma ekstradural
 Hematoma subdural
 Hematoma intraparenkim
 Hematoma subarakhnoid
 Hematoma intraserebral
 Hematoma intraserebellar.2

Lesi difusa

Cedera otak ini disebut dengan istilah difus oleh karena secara makroskopis tidak
ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan gangguan fungsi neurologik, meskipun pada
kenyataannya pasien mengalami amnesia atau penurunan kesadaran bahkan sampai koma.1

Penurunan kesadaran dan/atau kelainan neurologik tersebut diatas bukan disebabkan


oleh karena penekanan ataupun distorsi batang otak oleh massa yang mendesak, tetapi lebih
banyak disebabkan oleh kerusakan langsung pada batang otak atau jaringan serebrum.
Pemeriksaan patologis telah membuktikan adanya kerusakan pada sejumlah besar akson mulai
dari derajat yang ringan berupa regangan sampai derajat yang lebih berat berupa
disrupsi/putusnya akson. Manifestasi klinisnya pada umumnya tergantung pada banyak
sedikitnya akson yang mengalami kerusakan.3

Pada keadaan yang berat proses akselerasi dan deselerasi juga menyebabkan kerusakan
jaringan pembuluh darah, sehingga pada CT-scan sering tampak gambaran bercak-bercak
perdarahan di substansia alba mulai dari subkorteks, korpus kalosum sampai ke batang otak
serta edema di daerah yang mengalami kerusakan. Jadi pada CT-scan hanya terlihat kerusakan
yang seringkali menyertai kerusakan difus pada akson yang berupa bercak-bercak perdarahan
yang lebih dikenal dengan istilah tissue tear hemorrages. 3

Tergantung dari berat ringannya cedera otak difus ini, manifestasi klinisnya dapat
berupa:

1. Cedera Akson Difus (“Diffuse Axonal Injury” = DAI)

Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari 6 jam.
Pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan adanya lesi fokal baik berupa massa maupun
daerah yang iskemik. Gambaran klinis DAI ditandai dengan koma sejak kejadian, suatu
keadaan dimana penderita secara total tidak sadar terhadap dirinya dan sekelilingnya dan tidak
mampu memberi reaksi yang berarti terhadap rangsangan dari luar. Koma disini disebabkan
oleh karena kerusakan langsung dari akson sehingga dipakai istilah cedera akson difus.3

Untuk keperluan klinis dan penentuan prognosis, DAI dibagi menjadi :

a. DAI ringan. Di sini koma berlangsung selama 6-24 jam. Bisa disertai defisit
neurologik dan kognitif yang berlangsung cukup lama sampai permanen. Jenis ini
relatif jarang ditemukan.

b. DAI sedang. Koma berlangsung lebih dari 24 jam tanpa disertai gangguan fungsi
batang otak. Jenis inilah yang paling banyak ditemui, terdapat pada 45 % dari semua
kasus DAI. Dengan terapi agresif angka kematiannya adalah 20 %.

c. DAI berat. Koma berlangsung lebih dari 24 jam dan disertai disfungsi batang otak
tanpa adanya proses desak ruang yang berarti. Angka kematiannya mencapai 57 % dan
menyebabkan cacat neurologis yang berat.6

2. Cedera Vaskular Difus (“Diffuse Vaskular Injury” = DVI)


Ditandai dengan perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada seluruh hemisfer,
khususnya masa putih daerah lobus frontal, temporal, dan batang otak, biasanya pasien segera
meninggal dalam beberapa menit.3
Lesi Fokal
Hematoma ekstradural
Lebih lazim disebut epidural hematoma (EDH), adalah suatu hematom yang cepat
terakumulasi di antara duramater dan tabula interna. Paling sering terletak pada daerah
temporal dan frontal. Biasanya disebabkan oleh pecahnya arteri meningea media. Jika tidak
ditangani dengan cepat akan menyebabkan kematian.1,2,3,9,10

Hematoma subdural
Terjadi ketika vena di antara duramater dan arachnoid (bridging vein) robek. Lesi ini
lebih sering ditemukan daripada EDH. Pasien dapat kehilangan kesadaran saat terjadi
cedera.1,3,10

Hematoma subarakhnoid
Paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain. Perdarahan
terletak di antara arachnoid dan piamater, mengisi ruang subarachnoid.1,3,10

Hematoma intraserebral
Atau lebih dikenal dengan intraserebral hematoma (ICH), diartikan sebagai hematoma
yang terbentuk pada jaringan otak (parenkim) sebagai akibat dari adanya robekan pembuluh
darah. Terutama melibatkan lobus frontal dan temporal (80-90 persen), tetapi dapat juga
melibatkan korpus kallosum, batang otak, dan ganglia basalis.1,2,3

Hematoma intraserebellar
Merupakan perdarahan yang terjadi pada serebelum. Lesi ini jarang terjadi pada trauma,
umumnya merupakan perdarahan spontan. Prinsipnya hampir sama dengan ICH, tetapi secara
anatomis harus diingat bahwa kompartemen infratentorial lebih sempit dan ada struktur penting
di depannya, yaitu batang otak.2,3

3. Berdasarkan derajat kesadaran berdasarkan GCS2


Kategori GCS Gambaran Klinik CT Scan Otak
Minimal 15 Pingsan (-), defisit neurologik (-) Normal
Ringan 13-15 Pingsan <10 menit, defisit neurologik (-) Normal
Sedang 9-12 Pingsan >10 menit s/d 6 jam, defisit Abnormal
neurologik (+)
Berat 3-8 Pingsan > 6 jam, defisit neurologik (+) Abnormal
Catatan:
1. Tujuan klasifikasi ini untuk pedoman triase di gawat darurat
2. Jika abnormalitas CT Scan berupa perdarahan intrakranial, penderita dimasukkan
klasifikasi trauma kapitis berat2

2.7 DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
a. Trauma kapitis dengan/tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid
b. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
c. Amnesia traumatika (retrograd/anterograd)
2. Hasil pemeriksaan klinis neurologis
3. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial
4. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
5. CT scan otak: untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi.2
Pemeriksaan Klinis Umum dan Neurologis
1. Penilaian kesadaran berdasarkan GCS
2. Penilaian fungsi vital
3. Otorrhea/rhinorrhea
4. Ekimosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kaca mata
5. Ekimosis mastoid bilateral/Battle’s sign
6. Gangguan fokal neurologik
7. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
8. Refleks tendon, refleks patologis
9. Pemeriksaan fungsi batang otak
10. Pemeriksaan pupil
11. Refleks kornea
12. Doll’s eye phenomenone
13. Monitor pola pernafasan
14. Gangguan fungsi otonom
15. Funduskopi.2

HEMATOMA EPIDURAL
Tanda diagnostik klinik:
1. Lucid interval (+)
2. Kesadaran makin menurun
3. Late hemiparese kontralateral lesi
4. Pupil anisokor
5. Babinsky (+) kontralateral lesi
6. Fraktur di daerah temporal.2,3,5,10

Hematoma Epidural di Fossa Posterior


Gejala dan tanda klinis:
1. Lucid interval tidak jelas
2. Fraktur kranii oksipital
3. Kehilangan kesadaran cepat
4. Gangguan cerebellum, batang otak dan pernafasan
5. Pupil isokor 2,3,5,10

Penunjang diagnostik:
- CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang tengkorak dan
duramater,umumnya daerah temporal, dan tampak bikonveks2,3,5

Gambar 6. CT Scan Hematom Epidural. (Dikutip dari:


http://classic.muhealth.org/neuromed/images/epidural.jpeg)
-
HEMATOMA SUBDURAL
Perdarahan yang terjadi di antara duramater-arakhnoid, akibat robeknya ‘bridging vein´
(vena jembatan). Jenis:
a. Akut : interval lucid 0-5 hari
b. Subakut : interval ucid 5 hari - beberapa minggu
c. Kronik : interval lucid >3 bulan2
Hematoma Subdural Akut
Gejala dan tanda klinis:
 Sakit kepala
 Kesadaran menurun2
Penunjang diagnostik:
 CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) diantara duramater dan arakhnoid,
umumnya karena robekan dari bridging vein, dan tampak seperti bulan sabit.1,2,3,5,7,10

Gambar 7. CT Scan Hematom Subdural. (Dikutip dari:


http://webmm.ahrq.gov/media/cases/images/case6_fig1.jpg)

HEMATOMA INTRASEREBRAL
Adalah perdarahan parenkim otak, disebabkan karena pecahnya arteri intraserebral mono- atau
multiple.3,6
Gambar 8. CT Scan Intracranial hemorrhage (Dikutip dari:
http://www.stritch.luc.edu/lumen/MedEd/Radio/curriculum/Neurology/IC_hemorrhage2.htm)

FRAKTUR BASIS KRANII


1. Anterior
Gejala dan tanda klinis :
- Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rhinorea
- Perdarahan bilateral periorbital ecchymosis/raccoon eye
- anosmia2,3

Gambar 9. Bilateral Periorbital Ecchymosis/Raccoon Eye (Dikutip dari:


http://doctorsgates.blogspot.com/2011/02/raccoon-eyes-sign-for-basal-skull.html)

2. Media
Gejala dan tanda klinis
- Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorrhea2,3,9

3. Posterior
Gejala dan tanda klinis :
- Bilateral mastoid ecchymosis/battle’s sign2,3,5
Gambar 10. Bilateral Mastoid Ecchymosis/Battle’s Sign (Dikutip dari:
http://www.aic.cuhk.edu.hk/web8/Battle%27s%20sign.htm)

Penunjang diagnostik:
- Memastikan cairan serebrospinal secara sederahan dengann tes halo
- Scaning otak resolusi tinggi dan irisan 3mm (50% +)(high resolution and thin section)2

DIFFUSE AXONAL INJURY (DAI)


Gejala dan tanda kllinis :
- Koma lama trauma kapitis
- Disfungsi saraf otonom
- Demam tinggi 2

Penunjang diagnostik:
 CT scan otak
 Awal normal, tidak ada tanda adanya perdarahan, edema, kontusio
 Ulangan setelah 24 jam, edema otak luas2

PERDARAHAN SUBARAKNOID TRAUMATIKA


Gejala dan tanda klinis:
- Kaku kuduk
- Nyeri kepala
- Bisa didapati gangguan kesadaran
Penunjang diagnostik:
CT scan otak: perdarahan (hiperdens) diruang subarakhnoid2,6,8
Gambar 11. CT Scan Subarachnoid Hemorrhage (Dikutip dari:
http://www.neurographics.org/3/1/2/4.shtml)

Diagnostik Pasca Perawatan


1. Minimal (Simple Head Injury)
GCS 15, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada amnesia pasca trauma (APT), tidak
ada defisit neurologis

2. Trauma kapitis ringan (Mild Head Injury)


GCS 13-15, CT Scan normal, pingsan < 30 menit, tidak ada lesi operatif, rawat RS< 48
jam, amnesia pada trauma (APT) < 1 jam

3. Trauma kapitis sedang (Moderate Head Injury)


GCS 9-12 dan dirawat > 48 jam, atau
GCS > 12 akan tetapi ada lesi operatif intrakranial atau
abnormal CT scan, pingsan >30 menit ± 24 jam, APT 1-24 jam

4. Trauma kapitis berat (Severe Head Injury)


GCS < 9 yang menetap dalam 48 jam sesudah trauma, pingsan > 24 jam, APT > 7
hari.1,2

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium
 Darah tepi lengkap
 Gula darah sewaktu
 Ureum kreatinin
 Albumin serum (hari ke-1)
 Analisa gas darah (Astrup)
 Elektrolit darah dan elektrolit urin (bila perlu)
 Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen (bila dicurigai ada kelainan hematologis)7,9

Pemeriksaan Radiologi
 Foto kepala AP/Lateral, dan foto leher (bila didapatkan fraktur servikal, kerah leher/
collar neck yang telah terpasang tidak dilepas)
 Foto anggota gerak, dada, dan abdomen dibuat atas indikasi
 Scanning otak untuk menentukan luas dan letak lesi intrakranial (edema, kontusio,
hematoma)7,9,10

Neurobehaviour
Pemeriksaan neuropsikologi dan neuropsikiatri7

2.9 PENATALAKSANAAN
Terapi Kasus ringan
1. Pemeriksaan status umum dan neurologi
2. Perawatan pada luka
3. Pasien dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga selama 48 jam
Bila selama dirumah terdapat hal-hal sebagai berikut :
- Pasien cenderung mengantuk
- Sakit kepala yang semakin berat
- Muntah proyektil
Maka pasien harus segera kembali ke rumah sakit
4. Pasien perlu dirawat apabila ada hal-hal berikut:
- Ada gangguan orientasi (waktu, tempat)
- Sakit kepala dan muntah
- Tidak ada yang mengawasi dirumah
- Letak rumah jauh atau sulit untuk kembali kerumah sakit2

Terapi Cedera Kepala Ringan


Indikasi rawat inap CKR:
 Nilai GCS <15
 Orientasi (waktu dan tempat) terganggu, adanya amnesia
 Gejala sakit kepala, muntah, dan vertigo
 Fraktur tulang kepala
 Tidak ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah
Lama perawatan minimal 24 jam sampai 3 hari, kecuali terjadi hematoma intrakranial 7

Tujuan rawat inap CKR:


 Mengatasi gejala (muntah, sakit kepala, vertigo)
 Mengevaluasi adanya keluhan (terutama) gangguan fungsi luhur pasca trauma
berkepanjangan yang akan mempengaruhi kualitas hidup
 Menilai kemungkinan terjadinya hematoma epidural atau hematoma subdural3,7

Pemeriksaan penunjang CKR


- Laboratorium: darah tepi lengkap
- Foto kepala AP/lateral, foto servikal kalau perlu
- CT Scan kepala saat masuk dan diulang bila ada hematoma intrakranial dengan gejala
riwayat lucide interval, sakit kepala progresif, muntah proyektil, kesadaran menurun,
dan gejala lateralisasi2,3,7

Tata laksana dan tindak lanjut


- Tirah baring dengan kepala ditinggalkan 20°- 30°, dimana posisi kepala dan dada pada
satu bidang, lamanya disesuaikan dengan keluhan (sakit kepala, muntah, vertigo).
Mobilisasi bertahap harus dilakukan secepatnya
- Simtomatis:
Analgetik (parasetamol, asam mefenamat), anti vertigo (beta histin mesilat), antiemetik
- Antibiotik jika ada luka (ampicilin 4x500 mg)
- Perawatan luka
- Muntah (+), berikan IVFD NaCl 0,9% atau Ringer Laktat 1 kolf/12 jam, untuk
mencegah dehidrasi1,7

Unit terkait
PPM bedah saraf  bila ada hematoma epidural atau hematom subdural yang perlu
tindakan bedah.1,7
Terapi Cedera Kepala Sedang dan Berat
Urutan tindakan menurut prioritas
Resusitasi jantung paru, dengan tindakan Airway (A), Breathing (B), dan Circulation (C)

A: Posisi kepala ekstensi untuk membebaskan jalan nafas dari lidah yang turun ke bawah
 Bila perlu pasang pipa orofaring atau pipa endotrakeal
 Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir, atau gigi palsu
 Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi
B:
- Berikan oksigen dosis tinggi 10-15 liter/menit, intermitten
- Bila perlu pakai ventilator
C: Jika terjadi hipotensi (sistolik < 90 mmHg), cari penyebabnya, oleh faktor ekstrakranial
berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai
tamponade jantung atau pneumotorak dan shock septik.
Tindakan tata laksana:
- Menghentikan sumber perdarahan
- Restorasi volume darah dengan cairan isotonik, yaitu NaCl 0,9% atau ringer laktat per
infus
- Mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah1,7

Pemeriksaan fisik CKS/CKB


Dilakukan setelah resusitasi ABC, meliputi:
- Kesadaran
- Tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan
- Pupil
- Defisit fokal serebral
- Cedera ekstrakranial (dengan konsultasi dan kerjasama tim)7

Setiap hari dievaluasi, setiap perburukan dari salah satu komponen di atas bisa diartikan
timbulnya kerusakan sekunder

Pemeriksaan Penunjang CKS/CKB


Lihat pemeriksaan radiologi dan laboratorium1,7
Tekanan Intra Kranial meninggi
Bila ada fasilitas, untuk mengukur naik-turunnya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK
normal adalah 0-15 mmHg. Di atas 20 mmHg, sudah harus diturunkan dengan cara:
- Hiperventilasi:
Lakukan hiperventilasi dengan ventilasi terkontrol, sasaran pCO2 dipertahankan antara
30-35 mmHg selama 48 sampai 72 jam, lalu dicoba dilepas dengan mengurangi
hiperventilasi, bila TIK naik lagi, hiperbentilasi diteruskan 24-48 jam. Bila TIK tidak
menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT Scan ulang1,2,3,7
- Terapi diuretik:
 Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cara pemberian:
Bolus 0,5-1 g/kgBB dalam 30 menit, dilanjutkan 0,25-0,5g/kgBB setiap 6jam,
selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas serum tidak melebihi 320 mOsm.
 Loop diuretik (furosemid)
Pemberian bersama manitol memiliki efek sinergik dan memperpanjang efek
osmotik serum oleh manitol. Dosis: 40mg/hari
 Terapi barbiturat
Diberikan jika tidak reseponsif terhadap semua jenis terapi di atas.
Cara pemberian:
Bolus 10 mg/kgBB iv selama ½ jam, dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3
jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg% dengan dosis sekitar
1mg/kgBB/jam. Setelah TIK terkontrol <20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.
 Posis tidur
Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada dalam satu
bidang.1,7

Keseimbangan cairan dan elektrolit


Saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri
dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari parenteral, dapat dipakai cairan kristaloid seperti
NaCl 0,9% atau Ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa.
Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, takikardi kembali normal dan
volume urin ≥ 30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik.
Bila terjadi gangguan keseimbangan cairan elektrolit (pemberian diuretik, diabetes insipidus,
SIADH), pemasukan cairan harus disesuaikan. Pada keadaan ini perlu dipantau kadar elektrolit,
gula darah, ureum, kreatinin, dan osmolalitas darah.1,7

Nutrisi
Kebutuhan energi rata-rata pada CKB meningkat rata-rata 40%, kebutuhan protein 1,5-
2 g/kgBB/hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari, dan zinc 12 mg/hari
Selain infus, nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik:
- Hari ke-1: berikan glukosa 10% sebanyak 100ml/2jam
- Hari ke-2: berikan susu dengan dosis seperti glukosa
- Hari ke-3 dan seterusnya: makanan cair 2000-3000 kalori per hari disesuaikan dengan
keseimbangan elektrolit.1,7

Neuroproteksi
Adanya tenggang waktu antara terjadinya trauma dan timbulnya kerusakan jaringan
saraf memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektor
Obat-obat tersebut antara lain:
Antagonis kalsium atau nimodipin (terutama diberikan pada SAH), sitikolin, dan
piracetam 12 gr/hari yang diberikan selama 7 hari.1,7

Komplikasi
- Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsy, dan
yang terjadi setelah minggu pertama disebut late eplepsy.
Profilaksis dengan anti kejang diberikan pada yang berisiko tinggi untuk terjadinya
kejang pasca CKB, yaitu:
 GCS <10, kontusio kortikasl, fraktur kompresi tulang tengkorak, Hematom
Subdural, Hematom Epidural
 Hematom Intracerebral, luka tembus dan kejang yang terjadi dalam kurun
waktu <24 jam pasca cedera
Pengobatan
 Kejang pertama: saat kejang diberikan diazepam 10 mg i.v, dilanjutkan dengan
fenitoin 200mg peroral, dan seterusnya diberikan 3-4 x 100 mg/hari
 Profilaksis:
 Diberikan fenitoin 3-4x 100mg/hari atau karbamazepin 3x200 mg/hari selama
7-10 hari.1,3,7
- Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi seperti pada fraktur
tulang terbuka, luka luar, dan fraktur basis kranii.
Antibiotik yang diberikan: ampisilin 3x1 gr/hari i.v selama 10 hari
Bila ada kecurigaan infeksi pada meningen, diberikan antibiotika dengan dosis
meningitis, misalnya ampisilin 4x3 gr/hari i.v dan kloramfenikol 4x 1,5-2gr i.v selama
10 hari. Untuk gram negatif meningitis, terapi diberikan selama 21 hari atau 10 hari
setelah kultur cairan serebrospinal negatif. 1,3,7
- Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Selain itu dilakukan
tindakan menurunkan suhu dengan kompres pada kepala, ketiak, dan lipat paha. Dan
ditambahkan obat antipiretik. 1,3,7
- Gastrointestinal
Pada pasien CKB sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, dengan
19-24% diantaranya akan berdarah. Penderita cedera kepala akan mengalami
peningkatan rangsang simpatik yang mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan
mukosa sehingga mudah terjadi erosi. Keadaan ini dapat dicegah dengan pemberian
antasida 3x1 peroral atau bersama H2 reseptor bloker yaitu simetidine, ranitidin, atau
famotidin yang diberikan 3x1 ampul i.v selama 5 hari, atau Proton Pump Inhibitor
seperti omeprazole. 1,3,7
- Edema pulmonum
Dapat terjadi pada gangguan fungsi hipotalamus yang mengakibatkan
penguncupan vena-vena paru. Dapat dilakukan pemberian hiperosmotika dan
pemberian diuretika serta oksigen. 1,3,7

Neurorestorasi /neurorehabilitasi
- Pasien dengan penurunan kesadaran, program neurorestorasi /neurorehabilitasi
dilakukan untuk mencegah ulkus dekubitus dengan perubahan posisi berbaring tiap 8
jam, pneumonia ortostatik dengan perubahan posisi berbaring tiap 8 jam, dan
ekstermitas digerakkan secara pasif.
- Pasien sadar, dilakukan pemeriksaan neurologis ulang termasuk pemeriksaan kortikal
luhur, karena banyak gejala sisa berupa gangguan kortikal luhur yang menurunkan
kualitas hidup pasca cedera kranio serebral. 1,7

Indikasi operasi penderita trauma kapitis


1. EDH (epidural hematoma):
a. > 40cc dengan midline shifting pada daerah temporal/frontal/parietal denagn fungsi batang
otak masih baik.
b. >30cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang otak atau
hidrosefalus denagn fungsi batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik
c. EDH progresif
d. EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi
2. SDH (subdural hematoma)
a. SDH luas (>40cc/>5mm)dengan GCS >6, fungsi batang otak masih baik
b. SDH tipis dengan penurunan kesadran bukan indikasi operasi.
c. SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai midline shift dengan fungsi batang otak
masih baik
3. ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma
Indikasi operasi ICH pasca trauma:
a. Penurunan kesadaran progresif
b. Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas (cushing refleks)
c. Perburukan defisit neurologi fokal
4. Fraktur impresi melebihi 1 diploe
5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri
6. Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intra-kranial)
7. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangkan operasi
dekompensasi.2

2.10 PROGNOSIS
Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya trauma kapitis.3

Diffuse Injury Grade CT appearance Mortality


I Normal CT Scan 9.6%
II Cisterns present. Midline shift <5 13,5%
mm
III Cisterns compressed/ absent. 34%
Midline shift <5 mm
IV Midline shift >5 mm 56,2%

2.11 PENCEGAHAN DAN EDUKASI


 Yang sangat efektif adalah pendidikan masyarakat
 Penggunaan helm penyelamat dan memadai. Angka kematian 4600 (1962)  2400
(1992)
 Penggunaan sabuk keamanan 11% (1982)  66% (1992)
 Penggunaan kantong udara 550.000 jiwa terselamatkan, 40.000 pengemudi terhindar
dari kerusakan yang serius
 Perilaku pengemudi
 Kecepatan kendaraan.1,3
BAB III

KESIMPULAN

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi
psikososial baik temporer maupun permanen. Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala
serius adalah kecelakaan sepeda motor, dan sebagian besar diantaranya tidak menggunakan
helm atau menggunakan helm yang tidak memadai.
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan saat terjadinya lesi (primer dan sekunder),
berdasarkan kelainan patologis (komosio, kontusio, laserasio cerebri), berdasarkan lokasi lesi
(vaskuler, difus [DAI, DVI]), fokal [Hematoma epidural, subdural, subarakhnoid, intraserebral,
intraserebellar]), dan berdasarkan GCS (simple head injury, CKR, CKS, CKB) guna
menentukan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan, tatalaksana, indikasi operatif, dan
prognosis.
Tatalaksana dapat diberikan berdasarkan GCS pasien, pada kasus ringan dilakukan
pemeriksaan umum dan neurologis, perawatan luka, dan observasi adanya perburukan. Pada
kasus CKR dapat diberikan tatalaksana simptomatis, observasi perburukan, dan pemeriksaan
penunjang berupa CT-Scan untuk menyingkirkan adanya hematom, sedangkan untuk kasus
CKS dan CKB tindakan awal yang dilakukan adalah sesusitasi jantung paru, dengan tindakan
Airway (A), Breathing (B), dan Circulation (C), pemeriksaan kesadaran, tanda vital, pupil,
defisit fokal serebral, cedera ekstrakranial, pemeriksaan penunjang lengkap meliputi
pemeriksaan laboratorium lengkap dan radiologi, tatalaksana TIK yang meninggi,
Keseimbangan cairan dan elektrolit, nutrisi, neuroproteksi, dan terapi komplikasi (epilepsi,
infeksi, demam, gangguan gastrointestinal, edema pulmonum, dan neurorestorasi
/neurorehabilitasi. Indikasi terapi operatif berdasarkan hasil CT Scan, sedangkan prognosis
bergantung pada skor GCS.Pencegahan dan edukasi yang sangat efektif adalah pendidikan
masyarakat berupa penggunaan helm penyelamat dan memadai, penggunaan sabuk keamanan,
perilaku pengemudi, dan kecepatan kendaraan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A, Dian
S.Kegawatdaruratan Neurologi. 2nd Ed. Bandung: Departemen/UPF Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD. 2009. p61-74.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Trauma Kapitis. In:
Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta:
PERDOSSI Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2006. p1-18.
3. Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan
Penderita Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004. p1-154.
4. Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In: Price SA.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2006. p1006-1042
5. Ginsberg L. Bedah Saraf: Cedera Kepala dan Tumor Otak. In: Lecture Notes:
Neurologi. 8th Ed. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007. p114-117
6. Kasan U. Jurnal Cedera Kepala. Available at:
http://images.neurosurg.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SZQ@K
QoKCDUAAGkRGyM1/CEDERA%20KEPALA.DOC?key=neurosurg:journ
al:9&nmid=198747111. Accessed on: November 20 2012.
7. RSUP Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo. Komosio Cerebri, CKR, CKS, CKB. In:
Panduan Pelayanan Medis Departemen Neurologi. Pusat Penerbitan Bagian
Neurologi FKUI/RSCM. 2007. p51-58
8. Mayo Clinic. Traumatic brain injury. Available at:
http://www.mayoclinic.com/health/traumatic-brain-injury/DS00552. Accessed
on November 21 2012.
9. Lombardo MC. Cedera Sistem Saraf Pusat. In: In: Price SA. Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2006. p1067-1077
10. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Cedera Kepala. In: Panduan Praktis
Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. 2009. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006. p12-18

Anda mungkin juga menyukai