Trauma Kepala
Disusun oleh:
Pembimbing:
dr. Qadri Fauzi Tanjung, Sp.An, KAKV
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas cahaya ilmu dan
kemudahan yang dikaruniakan-Nya sehingga laporan kasus yang berjudul
“Trauma” ini dapat diselesaikan. Laporan kasus ini disusun sebagai rangkaian
tugas Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Terimakasih kami sampaikan kepada dr. Qadri Fauzi Tanjung, Sp.An,
KAKV, selaku pembimbing Primaputra Lubis, Sp.An yang telah memberikan
arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini
dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara
optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan makalah ini di kemudian hari.
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
NORMA VERTIKALIS
Tengkorak dilihat dari atas tampak seperti oval dengan bagian occipital lebih
besar dibandingkan dengan bagian frontal. Dari aspek atau pandangan ini terlihat
tiga sutura yaitu sutura coronal yang menghubungkan antara bagian belakang
tulang frontal dan bagian depan tulang parietal, sutura sagital yang merupakan
garis median tengkorak dan menghubungkan tulang parietal kanan dan kiri, sutura
lambdoid yang menghubungkan bagian belakang tulang parietal dan bagian atas
tulang occipital.
Pertemuan antara sutura coronal dan sutura sagital dinamakan bregma, yang
pada anak-anak masih berbentuk celah yang dinamakan fontanel anterior,
sedangkan pertemuan antara sutura sagital dan sutura lambdoid dinamakan
lambda yang diambil dari Yunani Z, pada anak-anak daerah ini dinamakan
fontanel posterior.
Pada tulang parietal dekat dengan sutura sagital dan sekitar 3,5 centimeter
diatas lambda terdapat foramen parietal yang merupakan tempat berjalannya vena
emisaria.
NORMA FRONTALIS
Dilihat dari depan tengkorak tampak oval dengan bagian atas lebih lebar dari
pada bagian bawah. Bagian atas dibentuk oleh os. Frontal yang konveks dan halus
sedangkan bagian bawah sangat irreguler. Diatas kedua cavum orbita terdapat
tonjolan yang melengkung dinamakan arcus superciliare yang tampak lebih
menonjol pada pria dibandingkan dengan pada wanita dan diantara kedua arcus
terdapat bagian yang menonjol yang disebut glabela. Dibawah glabela terdapat
nasion yang merupakan pertemuan antara sutura internasal dan sutura frontonasal.
Cavum orbita menyerupai segi empat dimana pada sisi atas (supra orbita
margin) dibentuk oleh os. Frontal yang pada 1/3 medialnya terdapat supra orbital
norch yang merupakan tempat keluarnya pembuluh darah dan saraf supra orbita.
Sisi lateral dibentuk oleh prosedur frontal os. Zygomaticum dan proccesus
zygomaticum os.Frontale. Sisi bawah atau posterior orbital margin dibentuk oleh
os. Zygomaticum dan os.maksila. Sisi medial dibentuk oleh bagian atas os.
Frontal dan bagian bawah os. Lacrimal.
Pada norma frontalis tampak:
· Os. Frontale dengan:
- tuberculum frontale, tonjolan pada kening dikanan kiri.
- arcus superciliaris, tonjolan yang melengkung diatas mata kanan dan kiri
- Glabela
- Os. Nasale
- Os. Maksilare, dengan:
- fossa canina, cekungan di kanan kiri hidung
- jagum alveolare, tonjolan yang didalamnya terdapat akar gigi spina nasalis
anterior.
- Os. Maksila dan os. Nasale membatasi apertura nasalisanterior atau apertura
piriformis.
· Os. Zygomaticum
· Os. Mandibula dengan bagian-bagian: ramus mandibula, pars alveolare,
protuberantia mentalis, tuberculum mentale, basis mandibulla dan angulus
mandibulla.
NORMA OCCIPITALIS
Tengkorak dilihat dari belakang menyerupai potongan roti dengan lengkung
pada bagian atas dan samping, datar pada bagian bawahnya. Sutura lambdoid
dapat tampak seluruhnya. Pada norma occipitalis tampak:1
- Os. Occipital dengan bagian-bagian protuberantia occipitalis eksterna, linea
nuchae superior, linea nuchae inferior dan inion
- Os. Parietale
- Os. Temporalis
NORMA LATERALIS
2.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan ATLS, cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.
Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme,
beratnya cedera, dan morfologi.6
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau
pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun
tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
GCS = 13 – 15
Sedang Kehilangan kesadaran ≥ 20 menit dan ≤ 36 jam
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun
tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan
dengan teknik “bone window” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-
tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan
adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena
robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena
menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat. klasifikasi fraktur tulang
tengkorak sebagai berikut;
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
b. Tertutup
Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari
otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera
setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran
normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur.
Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan
trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis
menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi
klinisnya.
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering
terletak di area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh
robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan
lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak.
Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi
perdarahan intra serebral yang membutuhkan tindakan operasi.
2.1.4 Etiologi dan Patofisiologi7
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-
deselerasi gerakan kepala.
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan
pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan
pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area
benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat
gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut
dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis
adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah,
bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,
countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi
yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup.
Selain itu, pasien tersebut harus dibawa ke IGD rumah sakit jika memiliki
faktor risiko di bawah ini:
a. Pasien sebelumnya mengalami penurunan kesadaran, saat ini sudah
sadar.
b. Amnesia terhadap peristiwa sebelum dan sesudah trauma (masalah
ingatan)
c. Sakit kepala yang menetap setelah trauma.
d. Adanya episode muntah setelah trauma.
e. Riwayat pembedahan otak.
f. Riwayat kelainan pendarahan/koagulasi.
g. Riwayat penggunaan obat antikoagulan seperti warfarin.
h. Riwayat penggunaan obat-obatan terlarang atau intoksikasi alkohol.
i. Adanya kecurigaan terhadap keamanan (seperti kemungkinan trauma
yang disengaja atau membahayakan orang lain).
j. Perubahan perilaku menjadi agitasi, khususnya pada anak-anak.
2. Primary Survey
Primary survey dilakukan untuk menilai keadaan penderita dan prioritas terapi
berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan mekanisme trauma.
Primary survey harus dapat dilakukan selama 10 detik, hal ini karena pada
saat tahap ini seorang dokter harus dapat menemukan secara cepat trauma
yang dapat mengancam jiwa.
e. Exposure
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan cara
menggunting dengan tujuan memeriksa dan mengevaluasi penderita.
Setelah pakaian dibuka penderita harus diberi selimut hangat, berada di
ruangan hangat dan diberi cairan intra-vena yang sudah dihangatkan agar
tidak kedinginan.
Nilai suhu pasien dan lepas pakaian pasien, kemudian periksa pasien
secara menyeluruh, depan maupun belakang (dengan cara log-roll). Tutupi
pasien untuk mencegah hilangnya panas serta menghormati pasien.
Setelah dilakukan penatalaksanaan awal, transpor pasien secara
langsung ke IGD RS yang mempunyai fasilitas untuk melakukan
resusitasi, pemeriksaan lanjutan, serta penatalaksanaan lanjut terhadap
pasien. Tenaga ambulans sebaiknya dilatih untuk melakukan penilaian
awal kepada pasien, dan pasien harus didampingi dokter selama perjalanan
ke RS.
3. Rescuscitation
Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang mengancam
nyawa merupakan hal yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup.
A. Airway
Jaw thrust atau chin lift dapat digunakan dalam menjaga airway. Pada
penderita yang masih sadar dapat dipakai naso-pharingeal airway. Bila
penderita tidak sadar dan tidak ada refleks batuk (gag reflex) dapat dipakai
oro-pharingeal airway. Namun bila ragu dapat menjaga airway, lebih baik
memasang airway definitif .
Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu karena faktor
mekanik, ada gangguan ventilasi dan atau ada gangguan kesadaran, dicapai
dengan intubasi endo-trakeal baik oral maupun nasal. Surgical
airway/krikotiroidotomi dapat dilakukan bila intubasi endo-trakeal tidak
memungkinkan karena kontraindikasi atau karena masalah teknis. Setiap
penderita trauma diberikan oksigen.
C. Circulation (dengan Kontrol Perdarahan)
8. Definitive Care
Untuk keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital
Triage Criteria. Kriteria ini memakai data fisiologis penderita, cedera
anatomis, mekanisme perlukaan, penyakit penyerta serta faktor – faktor
yang dapat mempengaruhi prognosis. Setelah keputusan merujuk diambil,
harus dipilih rumah sakit terdekat yang cocok untuk penanganan pasien.
2. Penatalaksanaan di RS
Pada saat menerima pasien di RS, hal pertama yang perlu dilakukan adalah
menilai ABCDE serta menatalaksana gangguan pada aspek-aspek tersebut,
sebelum melakukan pemeriksaan lain. Pasien dengan GCS <8 harus diberi
tatalaksana jalan napas dan resusitasi segera. Waktu pemeriksaan sampai
seluruh tatalaksana awal dilakukan pada pasien adalah 15 menit.
Penatalaksanaan nyeri sebaiknya dilakukan secara efektif karena
nyeri dapat menyebabkan peningkatan TIK.2 Pemberian analgesik juga
bertujuan untuk mencegah terjadinya kejang. Barbiturat merupakan obat
anestesi pilihan untuk mengendalikan TIK, agaknya dengan cara
mencegah pergerakan yang tidak perlu, batuk, usaha melepaskan selang
yang dipasang dan juga mensupresi metabolisme dan mengubah tonus
pembuluh darah otak, sehingga memberikan manfaat neuroprotektif pada
sebagian pasien. Efek samping obat analgesik, anestesi, dan sedatif berupa
hipotensi dan penurunan cardiac output, sehingga menyebabkan hipoksia.
Selain itu obat seperti propofol dihubungkan dengan hiperkalemia,
asidosis metabolik, gagal jantung, rabdomiolisis, dan kematian. Karena
itu, durasi dan dosis pemberian perlu diperhatikan secara ketat.9
Terapi ventilasi pada pasien dengan trauma otak sangatlah
diperlukan karena mereka berisiko aspirasi paru ataupun gangguan usaha
respirasi. Tekanan parsial O2 dan tekanan parsial CO2 dipertahankan
dalam batas normal supaya mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat
dan mencegah peningkatan TIK. Disarankan bahwa pasien trauma otak
berat menggunakan ventilasi mekanik sehingga dapat mengontrol PaCO2
melalui pengaturan volume tidal.9
Terapi hipotermia terbukti dapat menurunkan TIK, berdasarkan
hasil dari berbagai studi. Kisaran suhu yang disarankan adalah antara 32-
36°C, dan dapat menurunkan TIK sekitar 20 mmHg.10
Pemeriksaan yang direkomendasikan pada pasien trauma kepala
adalah CT Scan.X-ray kepala tidak direkomendasikan kecuali ada indikasi
dari departemen bedah saraf/saraf. Hasil CT Scan harus segera dilaporkan
dalam 1 jam setelah pemeriksaan. Adapun kriteria dilakukannya CT Scan
pada pasien trauma kepala adalah sebagai berikut2:
- GCS <13 pada penilaian awal di IGD.
- GCS <15 pada 2 jam setelah penilaian awal di IGD.
- Kecurigaan fraktur tengkorak terbuka atau depresi.
- Terdapat tanda-tanda fraktur basis kranii (hemotimpanum,
mata ‘panda’ atau ‘rakun’, bocornya cairan serebrospinal dari
telinga atau hidung, tanda Battle).
- Kejang post-trauma.
- Defisit neurologis fokal.
- Lebih dari satu episode muntah.
GCS <8.
Hilangnya refleks laring.
Insufisiensi ventilasi sebagaimana diketahui dari AGDA (PaO2<
100 mmHg dengan terapi oksigen) atau hiperkarbia (PaCO2> 45
mmHg).
Hiperventilasi spontan yang menyebabkan PaCO2< 30 mmHg.
Pola pernapasan ireguler.
Tingkat kesadaran menurun drastis (>1 pada skor motorik),
meskipun tidak koma.
Pendarahan yang banyak pada rongga mulut (cth, fraktur basis
kranii).
Kejang.
Tanda dan
Kesimpulan Penanganan Hasil
Gejala
B1 : Airway clear , SP: Vesikuler/ Vesikuler , ST: -/- , S/G/C : -/-/-, riwayat
asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/-,RR: 25x/I, SpO2 : 99%
B2 : Akral: hangat, merah dan kering, TD: 150/80 mmHg, HR: 110 x/menit,
reg, T/V: cukup, CRT: < 2 detik, Temp : 37,0°C
RIWAYAT :
DERAJAT PENDARAHAN
I II III IV
Kehilangan ≤750 750-1.500 1.500-2.000 >2.000
darah (mL)
Kehilangan ≤15 15-30 30-40 >40
darah (%V
darah)
Pols (/menit) <100 100-120 120-140 >140
T/V N Turun Turun Turun
TD N N Turun Turun
RR (/menit) 14-20 20-30 30-40 >40
UOP (mL/jm) >30 20-30 5-15 Tidak ada
Sensorium Agitasi ringan Agitasi Agitasi, Letargis
sedang kebingungan
Kelas pendarahan: kelas 2 (15-30%)
Estimasi volume darah: 70 x BB = 70 x 48kg = 3360 3400 mL
Estimasi Blood Loss 15% = 504mL 500 mL
30% = 1.080 mL 1100 mL
Resusitasi pendarahan: IVFD Ringer Laktat bolus (3:1) 3300 mL (7fl)
habis dalam 30-60 menit (di cor)
HEMATOLOGI
Hematokrit 32 % 39 - 54%
ELEKTROLIT
KIMIA KLINIK
Kesimpulan : Normal
3.6.2. CT Scan Kepala
Kesimpulan : Normal
3.7. Diagnosis
Head Injury GCS 13 + Fraktur 1/3 Proksimal Ulna Sinistra + Fraktur 1/3
Medial Fibula Sinista.
3.8. Rencana
Konsul ke Bedah Saraf untuk dilakukan Craniotomy, namun
keluarga pasien menolak. Konsul Bedah Orthopaedi untuk dilakukan
pemasangan gips.
BAB 4
DISKUSI KASUS
No Teori Kasus
C (circulation)
CRT <2 detik
Akral Hangat, Pucat, Kering
T/V cukup
TD: 150/80mmHg
HR: 118x/menit
Perdarahan: +
D (disability)
Kesadaran: GCS 14 (E4M6V5)
AVPU: Pain
Ø pupil: sulit dinilai
E (exposure)
- Undressed, Lakukan Logroll,
Dijumpai luka robek di daerah
frontoparietal dan jejas di dahi
3. Secondary Survey : Pemeriksaan B1 : Airway : clear,
AMPLE dan Head to Toe gurgling/snoring/crowing:-/-/-,
RR: 25 x/mnt , SP: Vesikuler,
ST: (-), SPO2: 99%, Riwayat
asma (-) alergi (-), batuk (-),
sesak (-).
B2 : Akral : H/M/K, TD : 150/80
mmHg, HR : 110 x/mnt,
reguler, T/V kuat/cukup. Temp
: 37,0°C, CRT < 2s.
B3 : Sens : sopor (GCS E4M6V5)
Pupil tidak diperiksa, kejang (-
)
B4 : UOP : BAK (+), volume 400
cc/jam, kateterterpasang,
warna : kuning pekat,
proteinuria (-)
B5 : Abdomen:simetris, soepel,
peristaltik (+)
B6 : Oedem (-), fraktur (+) os
fibula dan ulna
4 Riwayat AMPLE RIWAYAT :
Allergies : Tidak ada
Medication : Tidak jelas
Past Ilness : Tidak jelas
Last Meal : 14.00 WIB (17 April
2017)
Event : Pasien mengalami
kecelakaan saat berjalan kaki
DAFTAR PUSTAKA
1. Centers for Disease Control and Prevention, 2013. Traumatic Brain Injury
and Concussion. Available at https://www.cdc.gov/traumaticbraininjury.
[Accessed on 28th March 2017].
2. Cassidy, J.D., et al. 2004. Incidence, risk factors and prevention of mild
traumatic brain injury: Results of the WHO Collaborating Centre Task
Force on Mild Traumatic Brain Injury. J Rehabil Med.;(43 Suppl):28–60.
[PubMed]
3. National Institute for Health and Care Excellence, 2014. Head Injury:
assessment and early management. NICE Clinical Guideline, pp. 1-66.
4. Snell, Richard S. 1997. Anatomi Klinik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
5. Putz, R. & R. Pabst. 2000. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 1 Kepala,
Leher,Ekstremitas Atas Edisi 21. Jakarta: EGC.
6. American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008. Advance
Trauma Life Support for doctor, student course manual, 8th ed. Available
at https://www.atls.in. [Accessed on 28th March 2017].
7. Turkstra, L., Ylvisaker, M., et al. 2005. Practice Guidelines for
Standardized Assessment for Persons with Traumatic Brain Injury.
Journal of Medical Speech-Language Pathology, 13(2), ix–xxviii.
8. Resuscitation Council (UK), 2016. The ABCDE Approach. Available at
https://www.resus.org.uk/resuscitation-guidelines/abcde-approach/.
[Accessed on 28th March 2017].
9. Carney, N., et.al., 2016. Guidelines for the Management of Severe
Traumatic Brain Injury, 4th ed. Brain Trauma Foundation, pp.1-244.
10. Dinsmore, J., 2013. Traumatic brain injury: an evidence-based review of
management. British Journal of Anesthesia, 13(6), pp. 189-195.
11. Gibson, A.A. & Andrews, J.D. Management of traumatic injury. In: Webb,
A., et.al., 2016. Oxford Textbook of Critical Care, 2nd ed. Oxford: Oxford
University Press, pp. 1635-1641.
12. Konsil Kedokteran Indonesia, 2012. Standar Kompetensi Dokter
Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.