Anda di halaman 1dari 54

Laporan Kasus

Trauma Kepala

Disusun oleh:

Dina Khairina Lubis (120100315)


Vengkhesh Ravindran (120100486)
Arini Azani (120100016)

Pembimbing:
dr. Qadri Fauzi Tanjung, Sp.An, KAKV

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMENILMU ANESTESIOLOGI & TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas cahaya ilmu dan
kemudahan yang dikaruniakan-Nya sehingga laporan kasus yang berjudul
“Trauma” ini dapat diselesaikan. Laporan kasus ini disusun sebagai rangkaian
tugas Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Terimakasih kami sampaikan kepada dr. Qadri Fauzi Tanjung, Sp.An,
KAKV, selaku pembimbing Primaputra Lubis, Sp.An yang telah memberikan
arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini
dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara
optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan makalah ini di kemudian hari.

Medan, 19 April 2017

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di
unit gawat darurat suatu rumah sakit. Menurut Hippocrates, bahwa tidak ada
cedera kepala yang perlu dikhawatirkan serius yang bisa membuat kita putus
harapan dan tidak ada juga keluhan yang dapat kita abaikan. Setiap tahun di
Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus cedera kepala, 52.000 pasien meninggal
dan selebihnya di rawat inap. Cedera kepala juga merupakan penyebab kematian
ketiga dari semua jenis cedera yang dikaitkan dengan kematian. Mortalitas cedera
kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu
sebanyak 28,8 per100.000 dan 41,3 per100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun ke
atas,kematian akibat cedera kepala mencatat 52.000 kematian dari 1,7 juta lansia
di Amerika yangmangalami cedera kepala akibat terjatuh. Penyebab utama cedera
kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan terjatuh.Pejalan kaki yang
mengalami tabrakan kendaraan bermotor merupakan penyebab cedera
kepalaterhadap pasien anak-anak bila dibandingkan dengan pasien dewasa.1
Pasien cedera kepala berat meninggal sebelum tiba di Rumah Sakit, dan
kira--kira 90%kematian pra rumah sakit karena menderita cedera kepala.Kurang
lebih 70% cedera otakmemerlukan penatalaksanaan medik dikategorikan sebagai
cedera kepala ringan, 15% sebagaicedera kepala sedang, dan 15% cedera kepala
berat. Pada cedera kepala beratpenurunan kesadaran berlangsung lebih dari 24 jam
dan dihubungkan dengan angka mortalitasyang lebih tinggi pula.Cedera kepala
secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu cedera kepala primer dancedera
kepala sekunder. Cedera kepala primer diakibatkan oleh cedera benturan atau
penetrasilangsung pada jaringan saraf. Cedera kepala sekunder merupakan
rangkaian cedera kepalaprimer yang dapat memperburukoutcome. Cedera kepala
sekunder itu diakibatkan olehhipotensi, hipoksia dan kenaikan
tekananintrakranial.1
Glasgowcoma scale (GCS), merupakan instrumen standar yang dapat
digunakan untuk mengukur tingkat kesadaranUniversitas Sumatera Utarapasien
cedera kepala. Selain mudah dilakukan, GCS juga memiliki peranan penting
dalammemprediksi risiko kematian di awal trauma. Dari GCS dapat
diperolehinformasi yang efektifmengenai pasien cedera kepala.Di Indonesia
jumlah kecelakaan lalu lintas meningkat dari tahun ke tahun. Menurut dataKantor
Kepolisian Republik Indonesia (1992-2009) tahun 2007 terdapat 49553 orang
dengankorban meninggal 16955 orang, luka berat 20181, luka ringan 46827.
Tahun 2008 jumlah kecelakaan 59164, korban meninggal 20188, luka berat 23440
yang menderita luka ringan 55731orang. Tahun 2009 jumlah kecelakaan 62960,
korban meninggal 19979, luka berat 23469, dan luka ringan 62936, (Badan Pusat
Statistik Republik Indonesia). Angka kejadian kecelakaan diJawa Tengah pada
bulan November 2010 yang bertempat di Semarang (ANTARAnews) yangdicatat
oleh Direktorat Lalu Lintas Kepolisian daerah Jawa Tengah 603 orang
penggunajalanraya tewas akibat berbagai kecelakaan yang terjadi selama semester
pertama 2010.2
Selamasemester pertama 2010 tercatat 4438 kejadian kecelakaan,
penderita yang dirujuk di rumah sakitdr. Kariadi dan dirawat inap diruang bedah
saraf mencapai 576 orang.Dari latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk
mengetahui mortalitas penderitacedera kepala berat yang dirawat di Unit
Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum PendidikanHaji Adam Malik (RSUP
HAM) Medan periode Juli 2012-Juni 2013 karena dari penelitiansebelumnya
tampak kejadian cedera kepala terus meningkat dan berakibat fatal, oleh karena
itupenelitian ini penting dilakukan untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan
dalam melakukankoreksi penatalaksanaan cedera kepala untuk menurunkan
mortalitas.

1.2 Tujuan Penulisan


1. Memahami ilmu kegawatdaruratan dari primary survey, secondary survey
sampai tatalaksana awal di IGD terutama pada kasus head injury
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Departemen Anestesi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Kepala


2.1.1 Definisi
Berdasarkan pedoman dari National Institute for Health and Care
Excellence (NICE) Inggris, trauma kepala didefinisikan sebagai trauma apa pun
yang mengenai kepala, yang bukan merupakan trauma superfisial pada wajah.3
2.1.2 Anatomi4,5
2.1.2.1 Permukaan Kepala
- Nasion adalah lekukan pada garis tengah pangkal hidung.
- Inion atau protuberantia occipitalis externa adalah tonjolan tulang di pusat
squama occipitalis. Tonjolan tersebut terletak di garis tengah batas kepala dan
leher dan merupakan tempat melekatnya ligament nuchae, suatu ligamentum besar
yang berjalan dibagian leher belakang menghubungkan tengkorak dengan
processus spinosus vertrebrae cervicales.
- Vertex adalah titik tertinggi tengkorak pada potongan sagital.
- Fonticulus Anterior pada bayi, terletak diantara dua belahan os frontale dan
kedua os parietale dan sesudah 18 bulan tidak teraba lagi.
- Fonticulus Posterior pada bayi, terletak diantara squama occipitalis dan tepi
posterior kedua os parietale dan pada tahun pertama akan menutup.
- Arcus Superciliaris merupakan dua rabung mencolok pada os frontale, di tepi
superior orbita. Dibawah rabung ini, terletak sinus frontalis di kedua sisi garis
tengah.
- Linea Nuchae Superior adalah suatu rabung yang berjalan ke lateral dari
protuberantia occipitalis externa ke processus mastoideus os temporale.
- Processus Mastoideus Ossis Temporalis menonjol ke bawah depan dari
belakang telinga. Belum berkembang pada bayi yang baru lahir dan hanya tumbuh
akibat tarikan sternocleidomastoideus jika anak menggerak-gerakan kepalanya.
Pada akhir tahun kedua telah terbentuk tonjolan tulang.
- Auricula dan Meatus Acusticus Externus terletak di depan processus
mastoideus. Panjangnya kurang dari 2,5 cm dan melengkung seperti huruf S.
- Membran Tympani biasanya berwarna kelabu mutiara dan cekung bila dilihat
dari meatus. Bagian yang paling cekung disebut umbo dan disebabkan oleh
perlekatan gagang malleus pada permukaan medialnya.
- Tuber Parietale yaitu pada bagian lateralnya memiliki struktur dapat dipalpasi
lebih kurang 5 cm di atas auricular. Terletak dekat ujung bawah sulcus centralis
cerebri.
- Arcus Zygomaticus terletak di depan telinga, meluas ke depan dan berakhir di
depan os zygomaticum.
- A. Temporalis Superficialis denyutnya dapat dirasakan dengan palpasi pada
tempat ia melintas arcus zygomaticus, yaitu tepat di depan auricular.
- Articulatio Temporomandibularis merupakan sendi yang dapat dengan mudah
dipalpasi di depan auricula
- Corpus Mandibulae yaitu bagian yang paling mudah dipelajari dengan
memasukkan satu jari ke dalam mulut dan satu lagi di luar. Dengan demikian,
mandibula dapat diperiksa mulai dari symphysis mandibulae sampai ke angulus
mandibulae.

NORMA VERTIKALIS
Tengkorak dilihat dari atas tampak seperti oval dengan bagian occipital lebih
besar dibandingkan dengan bagian frontal. Dari aspek atau pandangan ini terlihat
tiga sutura yaitu sutura coronal yang menghubungkan antara bagian belakang
tulang frontal dan bagian depan tulang parietal, sutura sagital yang merupakan
garis median tengkorak dan menghubungkan tulang parietal kanan dan kiri, sutura
lambdoid yang menghubungkan bagian belakang tulang parietal dan bagian atas
tulang occipital.
Pertemuan antara sutura coronal dan sutura sagital dinamakan bregma, yang
pada anak-anak masih berbentuk celah yang dinamakan fontanel anterior,
sedangkan pertemuan antara sutura sagital dan sutura lambdoid dinamakan
lambda yang diambil dari Yunani Z, pada anak-anak daerah ini dinamakan
fontanel posterior.
Pada tulang parietal dekat dengan sutura sagital dan sekitar 3,5 centimeter
diatas lambda terdapat foramen parietal yang merupakan tempat berjalannya vena
emisaria.

NORMA FRONTALIS

Dilihat dari depan tengkorak tampak oval dengan bagian atas lebih lebar dari
pada bagian bawah. Bagian atas dibentuk oleh os. Frontal yang konveks dan halus
sedangkan bagian bawah sangat irreguler. Diatas kedua cavum orbita terdapat
tonjolan yang melengkung dinamakan arcus superciliare yang tampak lebih
menonjol pada pria dibandingkan dengan pada wanita dan diantara kedua arcus
terdapat bagian yang menonjol yang disebut glabela. Dibawah glabela terdapat
nasion yang merupakan pertemuan antara sutura internasal dan sutura frontonasal.
Cavum orbita menyerupai segi empat dimana pada sisi atas (supra orbita
margin) dibentuk oleh os. Frontal yang pada 1/3 medialnya terdapat supra orbital
norch yang merupakan tempat keluarnya pembuluh darah dan saraf supra orbita.
Sisi lateral dibentuk oleh prosedur frontal os. Zygomaticum dan proccesus
zygomaticum os.Frontale. Sisi bawah atau posterior orbital margin dibentuk oleh
os. Zygomaticum dan os.maksila. Sisi medial dibentuk oleh bagian atas os.
Frontal dan bagian bawah os. Lacrimal.
Pada norma frontalis tampak:
· Os. Frontale dengan:
- tuberculum frontale, tonjolan pada kening dikanan kiri.
- arcus superciliaris, tonjolan yang melengkung diatas mata kanan dan kiri
- Glabela
- Os. Nasale
- Os. Maksilare, dengan:
- fossa canina, cekungan di kanan kiri hidung
- jagum alveolare, tonjolan yang didalamnya terdapat akar gigi spina nasalis
anterior.
- Os. Maksila dan os. Nasale membatasi apertura nasalisanterior atau apertura
piriformis.
· Os. Zygomaticum
· Os. Mandibula dengan bagian-bagian: ramus mandibula, pars alveolare,
protuberantia mentalis, tuberculum mentale, basis mandibulla dan angulus
mandibulla.

NORMA OCCIPITALIS
Tengkorak dilihat dari belakang menyerupai potongan roti dengan lengkung
pada bagian atas dan samping, datar pada bagian bawahnya. Sutura lambdoid
dapat tampak seluruhnya. Pada norma occipitalis tampak:1
- Os. Occipital dengan bagian-bagian protuberantia occipitalis eksterna, linea
nuchae superior, linea nuchae inferior dan inion
- Os. Parietale
- Os. Temporalis

NORMA LATERALIS

Pada aspek ini tampak :


- Os.frontale, disini tampak linea temporalis superior dan linea temporalis inferior
yang berjalan mulai dari procesus zygomaticum melintasi sutura coronale sampai
ke os.parietale.
- Os.Zygomaticum denagn procesus frontalis yang berhubungan os.frontale dan
procesus temporalis yang berhubungan dengan os temporalis
- Os. temporale dengan procesus zygomaticus yang berhubungan dengan
os.occipital, os.parietal dan os.sphenoidale procesus mastoideous yang menonjol
ke candal aucticus eksternus.
- Os. parietale dengan tuberculum parietale, linea temporalis superior dan linea
temporalis inferior.
- Os. maksilare, dengan :
- fossa canina, cekungan dikanan kiri hidung
- Jugumalveorale, tonjolan yang didalamnya terdapat akargigi spina nasalis anterior
- Os. Maksila dan os. nasale membatasi apertura nasalis anterior atau apertura
piriformis
- Os. zigomaticum
- Os. mandibulla dengan bagian-bagian: ramus mandibulla, pars alveorale,
protuberantia mentalis, tuberculum mentale, basisi mendibulla dan angulus
mandibulla.
2.1.2.2 Otot pada Wajah
Otot Temporomandibularis

2.1.2.3 Sirkulasi Willis


The circle of Willis terbentuk ketika arteri karotis interna (ICA) memasuki
ronggatengkorak bilateral dan terbagi menjadi arteri serebri anterior (ACA) dan
arteri serebri(MCA). Arteri serebral anterior kemudian dipersatukan oleh arteri
berkomunikasi anterior(ACOM). Koneksi ini membentuk setengah anterior
(sirkulasi anterior) dari lingkaran Willis.Posterior, arteri basilar, dibentuk oleh kiri
dan arteri vertebralis kanan, cabang ke posterior kiri dan kanan otak arteri (PCA),
membentuk sirkulasi posterior. The PCA melengkapilingkaran Willis dengan
bergabung dalam sistem karotis interna anterior melalui posteriorberkomunikasi
(PCOM) arteri.

Arteri basilar berasal di persimpangan antara arteri vertebralis kiri dan


kanan danperjalanan anterior ke batang otak. Cabang meliputi arteri superior
cerebellar (SCA) danarteri anterior inferior cerebellar (AICA). SCA muncul dari
arteri basilar segera sebelumbifurkasi basilar. SCA sering datang ke dalam kontak
dengan saraf trigeminal dan biasanyatarget bedah mikrovaskuler dekompresi
untuk neuralgia trigeminal.Arteri mengirimkan cabang ke tectum, vermis, dan
aspek medial hemisfer serebelar.arteri anterior inferior cerebellar (AICA)
perjalanan menuju sudut cerebellopontine. Arteriposterior inferior cerebellar
(PICA) adalah yang terbesar dari arteri cerebellar dan munculdari arteri
vertebralis. Ini memasok medula, tonsil serebelum dan vermis, dan
inferolateralhemisfer serebela.

2.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan ATLS, cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.
Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme,
beratnya cedera, dan morfologi.6

1. Mekanisme Cedera Kepala

Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau
pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun
tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi


beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua
matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai
GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot
ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka
nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari
8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS,
maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 913 dikategorikan sebagai
cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan
sebagai cedera otak ringan.

Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi


keparahan dari Traumatic Brain Injury yaitu :

Tabel 2.1. Klasifikasi Keparahan Traumatic Brain Injury

Ringan Kehilangan kesadaran < 20 menit

Amnesia post traumatik < 24 jam

GCS = 13 – 15
Sedang Kehilangan kesadaran ≥ 20 menit dan ≤ 36 jam

Amnesia post traumatik ≥ 24 jam dan ≤ 7 hari


GCS = 9 - 12
Berat Kehilangan kesadaran > 36 jam

Amnesia post traumatik > 7 hari


GCS = 3 – 8
( Sumber : Brain Injury Association of Michigan , 2005)
3.Morfologi

a. Fraktur Kranium

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun
tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan
dengan teknik “bone window” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-
tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan
adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena
robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena
menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat. klasifikasi fraktur tulang
tengkorak sebagai berikut;

1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :

a. Linier

b. Diastase

c. Comminuted

d. Depressed

2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :

a. Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )

b. Basis cranii ( dasar tengkorak )


3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka

b. Tertutup

b. Lesi Intra Kranial

1. Cedera otak difus


Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai
kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan
kesadaran dan mungkin mengalami amnesia retro/anterograd.

Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari
otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera
setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran
normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur.
Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan
trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis
menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi
klinisnya.

2. Perdarahan Epidural

Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering
terletak di area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh
robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.

3. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural.


Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks
serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak.
Biasanya kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk
dibandingkan perdarahan epidural.

4. Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan
lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak.
Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi
perdarahan intra serebral yang membutuhkan tindakan operasi.
2.1.4 Etiologi dan Patofisiologi7
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-
deselerasi gerakan kepala.

Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan
pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan
pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area
benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat
gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut
dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis
adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah,
bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,
countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi
yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup.

Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara


mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan


dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya
merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam
setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini
berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya
glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan
perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya
kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel
fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang
konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera
metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan
sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan
iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.

2.1.5 Penatalaksanaan Awal


Secara garis besar, penatalaksanaan terdiri atas 2 aspek2:
1. Penatalaksanaan pra-rumah sakit (RS)
Pasien harus segera dibawa ke RS jika terdapat tanda dan gejala berikut:
a. Penurunan kesadaran.
b. Defisit neurologis fokal (ketidakmampuan bergerak/menggerakkan
anggota tubuh, berbicara, keseimbangan, penglihatan, berjalan).
c. Kecurigaan adanya fraktur tulang tengkorak atau trauma kepala
penetrasi (tanda dan gejala antara lain adanya cairan keluar dari telinga
atau hidung, racooneyes (lebam pada mata), pendarahan dari telinga,
tanda Battle (jejas pada belakang telinga), tanda dan gejala penetrasi,
trauma yang terlihat pada kepala atau tulang tengkorak berdasarkan
penilaian ahli.
d. Kejang setelah trauma.
e. Trauma kepala yang kuat (spt pejalan kaki yang dilanggar kendaraan,
penumpang terlempar keluar dari kendaraan, jatuh dari ketinggian 1
meter atau 5 anak tangga, terjun dari kendaraan, tabrakan kendaraan
berkecepatan tinggi, tergulingnya kendaraan, kecelakaan yang
melibatkan kendaraan rekreasi, tabrakan sepeda dan mekanisme lain
yang berpotensi bertenaga kuat.
f. Korban luka ataupun orang yang menangani korban tidak mampu
membawa korban tersebut ke IGD tanpa ambulans.

Selain itu, pasien tersebut harus dibawa ke IGD rumah sakit jika memiliki
faktor risiko di bawah ini:
a. Pasien sebelumnya mengalami penurunan kesadaran, saat ini sudah
sadar.
b. Amnesia terhadap peristiwa sebelum dan sesudah trauma (masalah
ingatan)
c. Sakit kepala yang menetap setelah trauma.
d. Adanya episode muntah setelah trauma.
e. Riwayat pembedahan otak.
f. Riwayat kelainan pendarahan/koagulasi.
g. Riwayat penggunaan obat antikoagulan seperti warfarin.
h. Riwayat penggunaan obat-obatan terlarang atau intoksikasi alkohol.
i. Adanya kecurigaan terhadap keamanan (seperti kemungkinan trauma
yang disengaja atau membahayakan orang lain).
j. Perubahan perilaku menjadi agitasi, khususnya pada anak-anak.

Pada pasien yang dicurigai dengan trauma perlu dilakukan


pemeriksaan yang cepat dan tepat yang bertujuan untuk menyelamatkan
hidup pasien. Pemeriksaan cepat ini disebut dengan Initial Assesment,
yang terdiri atas :
1. Triage
2. Primary Survey
3. Adjuncts to primary survey and resuscitation
4. Resusitasi primary survey
5. Secodary survey
6. Adjuncts to the secondary survey
7. Continued postresuscitation monitoring and reevaluation
8. Definitive Care
1. Triage

Triage adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan


sumber daya yang tersedia. Terapi didasarkan pada prioritas ABC, yaitu Airway
(dengan kontrol vertebra servikal), Breathing, dan Circulation (dengan kontrol
perdarahan). Triage juga berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan dan
rumah sakit yang akan dirujuk, yang merupakan tanggung jawab bagi tenaga pra-
rumah sakit.
Dua jenis keadaan triage yang dapat terjadi:
a. Multiple Casualties
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak
melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini penderita dengan
masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan dilayani terlebih
dahulu.
b. Mass Casualties
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya luka melampaui
kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini yang akan dilakukan
penanganan terlebih dahulu adalah penderita dengan kemungkinan survival
yang terbesar, serta membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang
paling sedikit.

2. Primary Survey

Primary survey dilakukan untuk menilai keadaan penderita dan prioritas terapi
berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan mekanisme trauma.
Primary survey harus dapat dilakukan selama 10 detik, hal ini karena pada
saat tahap ini seorang dokter harus dapat menemukan secara cepat trauma
yang dapat mengancam jiwa.

Pemeriksaan dan penatalaksanaan yang meliputi ABCDE, yaitu8:


a. Airway
Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal ini
meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur
laring atau trakea. Usaha untuk membebaskan airway harus melindungi
vertebra servikal, dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw trust.
Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap jalan nafas bersih.
Selama memeriksa dan memperbaiki airway, tidak boleh dilakukan
ekstensi, fleksi atau rotasi terhadap leher. Jika dicurigai ada kelainan pada
ketujuh vertebra servikalis maupun vertebra torakalis pertama berupa
fraktur, maka harus dipasang alat imobilisasi atau dilakukan imobilisasi
manual terhadap kepala. Untuk menyingkirkan kemungkinan fraktur dapat
dilakukan foto lateral.
Pemasangan airway definitif dilakukan pada penderita dengan
gangguan kesadaran atau GCS (Glasgow Coma Scale) ≤ 8, dan pada
penderita dengan gerakan motorik yang tidak bertujuan.
b. Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi
yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan
diafragma. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi
pernafasan dan dilakukan auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke
dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah
dalam rongga pleura. Sedangkan inspeksi dan palpasi dapat
memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu
ventilasi.
Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi berat yang
harus dikenali saat dilakukan primary survey adalah tension
pneumothorax, flailchest dengan kontusio paru dan open pneumothorax.
Sedangkan trauma yang dapat mengganggu ventilasi dengan derajat lebih
ringan dan harus dikenali saat dilakukan secondary survey adalah
hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga, dan kontusio
paru.
Gunakan metode ‘lihat, dengar, rasakan’ untuk menilai gawat
napas: berkeringat, sianosis sentral, penggunaan otot bantu napas, dan
pernapasan abdominal, serta letak trakea. Kemudian, hitung frekuensi
napas (normal: 12-20x/menit). Nilai juga kedalaman dan kualitas napas,
dan apakah ada ketinggalan bernapas pada salah satu lapangan paru. Selain
itu, lihat apakah ada deformitas pada dinding dada (memperberat usaha
bernapas), tekanan vena jugularis yang meningkat (mengindikasikan asma
akut berat atau pneumothoraks ventil), dan distensi abdomen (membatasi
gerakan diafragma). Setelah itu, perkusi dan auskultasi setiap segmen
dinding dada. Jika ada kesulitan usaha bernapas, bantu dengan kantong
ventilasi.
c. Circulation
1. Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat diatasi
dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi
pada trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti
sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari
status hemodinamik penderita yang meliputi :
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang
selanjutnya mengakibatkan penurunan kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan
tanda hipovolemia.
c. Nadi
Perlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang besar seperti arteri
femoralis atau arteri karotis kiri dan kanan untuk melihat kekuatan
nadi, kecepatan, dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur,
biasanya merupakan tanda normovolemia. Nadi yang cepat dan kecil
merupakan tanda hipovolemia, sedangkan nadi yang tidak teratur
merupakan tanda gangguan jantung. Apabila tidak ditemukan pulsasi
dari arteri besar maka merupakan tanda perlu dilakukan resusitasi
segera.
2. Perdarahan
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada
luka.Tourniquet sebaiknya tidak dipakai untuk penghentian perdarahan
karena dapat merusak jaringan sekitar dan menyebabkan iskemia distal,
sehingga penggunaan tourniquet hanya diperbolehkan bila ada amputasi
traumatik. Sedangkan perdarahan internal dapat dihentikan dengan
penggunaan hemostat. Sumber perdarahan internal adalah perdarahan
dalam rongga thoraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang,
retroperitoneal akibat fraktur pelvis, atau sebagai akibat dari luka tembus
dada/perut.
Secara cepat lihat dan tandai lokasi pendarahan, kemudian lihat
akralnya apakah panas atau dingin, berwarna merah atau pucat. Ukur juga
CRT (Capillary Refill Time) untuk menilai perfusi ke jaringan. Kemudian
ukur tekanan darah dan denyut nadi (nadi sentral maupun perifer). Denyut
nadi yang diukur berupa tekanan, regularitas, volume. Kemudian
auskultasi jantung untuk melihat apakah ada kelainan pada jantung. Jika
terdapat kegawatan pada sirkulasi, segera diresusitasi dengan
menggunakan cairan kristaloid hangat secara bolus (500 mL, habis dalam
15 menit). Nilai kembali tiap 5 menit untuk melihat apakah ada perbaikan
pada sirkulasi. Kemudian, jika ada EKG dan monitor, pasang dan nilai
kualitas EKG-nya.
d. Disability
Nilai kesadaran pasien. Kesadaran pasien dapat dipengaruhi oleh
kondisi ABC, jadi jika pasien mengalami disabilitas, nilai kembali ABC
apakah sudah ditangani secara adekuat. Penilaian kesadaran pasien secara
cepat dapat menggunakan metode AVPU: Alert, Verbal (Pasien tidak
sadar penuh namun dapat berespon terhadap perintah verbal), Pain (Pasien
hanya dapat berespon jika dirangsang dengan nyeri) dan Unresponsive
(pasien tidak dapat berespon dengan rangsang apapun). Alternatifnya,
GCS (Glasgow Coma Scale) dapat digunakan (dari Eye, Verbal, dan
Movement). Kemudian, nilai diameter pupil mata serta refleks cahaya
direk maupun indirek pada masing-masing mata. Setelah itu, dapat diukur
kadar gula darah sewaktu untuk menilai kondisi glikemik pasien. Jika
pasien tidak sadar, pastikan Airway stabil untuk mencegah aspirasi. NICE
merekomendasikan imobilisasi servikal pada pasien yang mengalami
trauma kepala dan memiliki faktor risiko berikut: GCS<15, nyeri/benjolan
nyeri pada leher, defisit neurologis fokal, parestesia di ekstremitas,
kecurigaan adanya trauma servikal.
Interpretasi atau hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan
GCS disajikan dalam simbol E...V...M... Selanjutnya nilai tiap-tiap
pemeriksaan dijumlahkan, nilai GCS yang tertinggi adalah 15
yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.

Derajat cedera kepala berdasarkan GCS:


GCS : 14-15 = CKR (cedera kepala ringan)
GCS : 9-13 = CKS (cedera kepala sedang)
GCS : 3-8 = CKB (cedera kepala berat)

e. Exposure
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan cara
menggunting dengan tujuan memeriksa dan mengevaluasi penderita.
Setelah pakaian dibuka penderita harus diberi selimut hangat, berada di
ruangan hangat dan diberi cairan intra-vena yang sudah dihangatkan agar
tidak kedinginan.
Nilai suhu pasien dan lepas pakaian pasien, kemudian periksa pasien
secara menyeluruh, depan maupun belakang (dengan cara log-roll). Tutupi
pasien untuk mencegah hilangnya panas serta menghormati pasien.
Setelah dilakukan penatalaksanaan awal, transpor pasien secara
langsung ke IGD RS yang mempunyai fasilitas untuk melakukan
resusitasi, pemeriksaan lanjutan, serta penatalaksanaan lanjut terhadap
pasien. Tenaga ambulans sebaiknya dilatih untuk melakukan penilaian
awal kepada pasien, dan pasien harus didampingi dokter selama perjalanan
ke RS.

3. Rescuscitation
Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang mengancam
nyawa merupakan hal yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup.
A. Airway

Jaw thrust atau chin lift dapat digunakan dalam menjaga airway. Pada
penderita yang masih sadar dapat dipakai naso-pharingeal airway. Bila
penderita tidak sadar dan tidak ada refleks batuk (gag reflex) dapat dipakai
oro-pharingeal airway. Namun bila ragu dapat menjaga airway, lebih baik
memasang airway definitif .

B. Breathing / Ventilasi / Oksigenasi

Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu karena faktor
mekanik, ada gangguan ventilasi dan atau ada gangguan kesadaran, dicapai
dengan intubasi endo-trakeal baik oral maupun nasal. Surgical
airway/krikotiroidotomi dapat dilakukan bila intubasi endo-trakeal tidak
memungkinkan karena kontraindikasi atau karena masalah teknis. Setiap
penderita trauma diberikan oksigen.
C. Circulation (dengan Kontrol Perdarahan)

Lakukan kontrol perdarahan dengan tekanan langsung ataupun secara


operatif.
Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang minimal dua IV line. Kateter
IV yang dipakai harus berukuran besar. Pada awalnya sebaiknya
menggunakan vena pada lengan. Selain itu bisa juga digunakan jalur IV line
yang seperti vena seksi atau vena sentralis. Pada saat memasang kateter IV
harus diambil contoh darah untuk pemeriksaan laboratorium rutin serta
pemeriksaan kehamilan pada semua penderita wanita berusia subur.
Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 2-3 liter cairan kristaloid,
sebaiknya Ringer Laktat. Bila tidak ada respon, berikan darah segolongan
atau (type specific). Jangan memberikan infus RL dan transfusi darah terus
menerus untuk terapi syok hipovolemik, dalam keadaan ini harus dilakukan
resusitasi operatif untuk menghentikan perdarahan.

4. Adjuncts to primary survey and resuscitation


A. Monitor EKG:dipasang pada semua penderita trauma.
B. Kateter urin dan lambung : merupakan bagian dari resusitasi. Jangan
lupa mengambil sampel urin untuk pemeriksaan urin rutin.
a. Kateter uretra
Produksi urin merupakan indikator yang peka untuk menilai keadaan
perfusi ginjal dan hemodinamik penderita. Kateter urin jangan dipasang
jika dicurigai ada ruptur uretra yang ditandai dengan :
1. Adanya darah di orifisium uretra eksterna (metal bleeding)
2. Hematom di skrotum atau perineum
3. Pada colok dubur prostat letak tinggi atau tidak teraba.
4. Adanya fraktur pelvis.

Bila dicurigai ruptur uretra harus dilakukan uretrogram terlebih dahulu.


b. Kateter lambung
Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan
mengurangi kemungkinan muntah. Isi lambung yang pekat
mengakibatkan NGT tidak berfungsi, lagipula pemasangannya sendiri
dapat mengakibatkan muntah. Darah dalam lambung dapat disebabkan
darah tertelan, pemasangan NGT yang traumatik atau perlukaan
lambung. Bila lamina kribosa pada rongga hidung patah atau diduga
patah, kateter lambung harus dipasang melalui mulut untuk mencegah
masuknya NGT dalam rongga otak. Dalam keadaan ini semua pipa
jangan di masukkan lewat jalur naso-faringeal.
c. Monitor
Monitoring didasarkan pada penemuan klinis seperti laju nafas, nadi,
tekanan nadi, tekanan darah, ABG (Arterial Blood Gases), suhu tubuh
dan keluaran (output) urin. Hasil pemeriksaan di atas harus didapat
secepatnya setelah menyelesaikan survei primer.
1. Laju nafas dan ABG dipakai untuk menilai airway dan breathing.
ETT dapat berubah posisi pada saat penderita berubah posisi. Alat
pengukur CO2 secara kolorimetrik mengukur End-Tidal CO2 dan
merupakan cara yang baik untuk menetapkan bahwa posisi ETT
dalam trakhea, dan bukan dalam esofagus. Penggunaan alat ini tidak
dapat menentukan bahwa letak ETT sudah tepat.
2. Penggunaan Pulse oximetri mengukur kadar O2 saturasi, bukan
PaO2. Suatu sensor diletakkan pada ujung jari atau cuping telinga,
dan kemudian mengukur saturasi O2, biasanya sekaligus tercatat
denyut nadi.
3. Pada penilaian tekanan darah harus disadari bahwa tekanan darah ini
merupakan indikator yang kurang baik guna menilai perfusi jaringan.
C. Pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan tambahan lainnya

Pemeriksaan foto rontgen harus selektif, dan jangan menghambat proses


resusitasi. Foto toraks dan pelvis dapat mengenali kelainan yang mengancam
nyawa, dan foto pelvis dapat menunjukkan adanya fraktur pelvis yang
kemudian membutuhkan transfusi darah. Foto servikal lateral juga digunakan
untuk menemukan fraktur.
Pemeriksaan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) dan USG abdomen
merupakan pemeriksaan bermanfaat untuk menentukan adanya perdarahan
intraabdomen.
5. Secondary Survey
Survei sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe
examination), termasuk re-evaluasi pemeriksaan tanda vital.
A. Anamnesis
Setiap pemeriksaan lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat
perlukaan. Biasanya data ini tidak bias didapat dari penderita sendiri dan
harus didapat dari keluarga tau petugas lapangan.
Patut ditanyakan riwayat AMPLE:
A : Alergi
M : Medikasi (obat yang diminumsaatini)
P : Past Illness (penyakitpenyerta) / Pregnancy
L : Last meal
E : Even / Environment yang berhubungandengankejadianperlukaan
Mekanisme perlukaan sangat menentukan keadaan penderita .Jenis perlukaan
dapat diramalkan dari mekanisme kejadian perlukaan itu. Trauma biasanya
dibagi menjadi beberapa jenis:
1. Trauma tumpul
Dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, terjatuh dan kegiatan
rekreasi atau pekerjaan. Keterangan yang penting yang dibutuhkan
kecelakaan lalu lintas mobil adalah pemakaian sabuk pengaman,
deformasi kemudi, arah tabrakan, kerusakan kendaraan baik kerusakan
major dalam bentuk luar atau hal – hal yang berhubungan dengan
perlengkapan penumpang, dan terlemparnya keluar penumpang. Pola
perlukaan pada pasien dapat diramalkan dari mekanisme traumanya.
Trauma perlukaan juga sangat dipengaruhi usia dan aktivitas.
2. Trauma tajam
Trauma akibat pisau atau benda tajam dan senjata api semakin sering
ditemukan. Faktor yang menentukan jenis dan berat perlukaan adalah
daerah tubuh yang terluka, organ yang terkena dan velositas (kecepatan).
Dengan demikian maka velositas, kaliber, arah dan jarak dari senjata
merupakan informasi yang sangat penting diketahui.
3. Trauma termal
Luka bakar dapat terjadi sendiri atau dalam kombinasi dengan trauma
tumpul atau trauma tajam akibat mobilter bakar, ledakan, benda yang
terjatuh, usaha penyelamatan diri ataupun serangan pisau dan senjata api.
Cedera dan keracunan monoksida dapat menyertai luka bakar. Secara
khusus perlu ditanyakan tempat terjadinya kejadian perlukaan (ruang
tertutup / terbakar) atau bahan yang ikut terbakar (bahan kimia, plastik,
dsb) dan perlukaan lain yang menyertai.
Hipotermia akut atau kronik dapat menyebabkan kehilangan panas umum
atau local. Kehilangan panas dalam jumlah besar dapat terjadi walaupun
tidak dalam suhu yang terlalu dingin (15-20Oc) yaitu bila penderita
memakai pakaian yang basah, tidak bergerak aktif atau minum alcohol,
sehingga tubuh tidak bias menyimpan panas.
4. Trauma akibat bahan berbahaya (Hazardous Material)
Kontak dengan bahan kimia, toksin atau radiasi perlu diketahui karena
dua sebab. Pertama, disebabkan karena bahan – bahan ini dapat
mengakibatkan berbagai macam kelainan pada jantung, paru atau organ
tubuh lainnya. Kedua, bahan ini dapat berbahaya bagi tenaga kesehatan
yang merawat pasien tersebut.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki.
1. Kepala
Seluruh kulit kepala dan kepala harus diperiksa akan adanya luka,
kontusio atau fraktur. Yang harus diperiksa pada pemeriksaan mata
adalah ketajaman visus, ukuran pupil, perdarahan konjungtiva dan
fundus, luka tembus pada mata, adanya lensa kontak, dislocatio lentis,
dan jepitan otot bola mata.
2. Maksilo-fasial
Trauma pada daerah ini dapat mengganggu airway dan menimbulkan
perdarahan hebat.
3. Vertebra servikalis dan leher
Penderita dengan trauma kapitis atau maksilo-fasial dianggap ada fraktur
servikal atau kerusakan ligamentous servikal. Leher harus segera
diimobilisasi sampai fraktur atau cedera dapat disingkirkan dengan
melakukan foto servikal dan diperiksa oleh dokter yang berpengalaman.
4. Toraks
Inspeksi: perlukaan, bentuk dada, warna kulit, deformitas dan gerakan
dada saat benafas. Dapat ditemukan flail chest ataupun open
pneumothorax.
Palpasi : meraba setiap sela iga dan klavikula. Bila ditemukan nyeri saat
penekanan sternum kemungkinan terdapat fraktur sternum atau
costochondral separation.
Perkusi : dilakukan disetiap sela iga dan klavikula. Normalnya suara
perkusi pekak pada daerah jantung dan sonor pada daerah paru-paru.
Namun suara sonor pada paru dapat menjadi pekak bila terdapat massa
maupun cairan dalam jumlah besar pada paru ataupun rongga pleura, dan
dapat pula menjadi hipersonor apabila terdapat udara.
Auskultasi : dilakukan pada lapangan paru dan jantung. Untuk menilai
suara nafas, bising nafas, suara jantung dan bising jantung.
Foto toraks digunakan untuk melihat hemotoraks, pneumotoraks, fraktur
iga, dan mediastinum.
5. Abdomen
Hal penting adalah untuk mengetahui adanya perlukaan intraabdomen
yang mengindikasikan dilakuknnya operasi. Pemeriksaan yang dilakukan
berupa diagnostic peritoneal lavage (DPL), USG abdomen maupun CT
Scan abdomen dengan kontras.
6. Perineum/rektum/vagina
Perineum diperiksa akan adanya kontusio, hematoma, laserasi dan
perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum pemasangan
kateter uretra.
Pada wanita pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah
dalam vagina atau laserasi. Juga harus dilakukan tes kehamilan pada
semua wanita usia subur.
7. Muskulo-skeletal
Yang diperhatikan adalah adanya fraktur yang ditandai dengan adanya
tanda-tanda inflamasi yaitu dolor, kalor, rubor, tumor, dan functiolesia.
Tanda lain yaitu terdapat deformitas dan krepitasi.
Penilaian terhadap pulsasi dapat menentukan gangguan vaskular,
sedangkan gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi
otot dapat diakibatkan kerusakan saraf perifer atau iskemia.
8. Neurologis
Meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil,
pemeriksaan motorik dan sensorik.

6. Adjuncts to the secondary survey


Dalam melakukan secondary survey, dapat dilakukan pemeriksaan
diagnostik yang lebih spesifik seperti misalnya foto tambahan dari tulang
belakang serta ekstremitas, CT-Scan kepala, dada, abdomen dan spine,
urografi dan angiografi, USG transesofageal, bronkoskopi, esofagoskopi dan
prosedur diagnostik lain.Semua prosedur diatas jangan dilakukan sebelum
hemodinamik penderita stabil dan telah diperiksa secara teliti.

7. Continued postresuscitation monitoring and reevaluation


Penurunan keadaan dapat dikenali apabila dilakukan evaluasi ulang
secara terus menerus, sehingga gejala yang baru timbul, segera dapat
dikenali dan dapat ditangani secepatnya. Monitoring tanda vital dan
produksi urin sangat penting. Produksi urin pada orang dewasa sebaiknya
dijaga ½ cc/kgBB/jam, pada anak 1cc/kgBB/jam. Penanganan rasa nyeri
merupakan hal yang penting. Rasa nyeri dan ketakuatanakan timbul pada
penderita trauma, terutama pada perlukaan muskulo-skeletal. Golongan
opiate atau anxiolitika harus diberikan dengan hati-hati setelah konsultasi
bedah selesai. Pemberian dilakukan secara intravena dan sebaiknya jangan
intra-muskular.

8. Definitive Care
Untuk keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital
Triage Criteria. Kriteria ini memakai data fisiologis penderita, cedera
anatomis, mekanisme perlukaan, penyakit penyerta serta faktor – faktor
yang dapat mempengaruhi prognosis. Setelah keputusan merujuk diambil,
harus dipilih rumah sakit terdekat yang cocok untuk penanganan pasien.

2. Penatalaksanaan di RS
Pada saat menerima pasien di RS, hal pertama yang perlu dilakukan adalah
menilai ABCDE serta menatalaksana gangguan pada aspek-aspek tersebut,
sebelum melakukan pemeriksaan lain. Pasien dengan GCS <8 harus diberi
tatalaksana jalan napas dan resusitasi segera. Waktu pemeriksaan sampai
seluruh tatalaksana awal dilakukan pada pasien adalah 15 menit.
Penatalaksanaan nyeri sebaiknya dilakukan secara efektif karena
nyeri dapat menyebabkan peningkatan TIK.2 Pemberian analgesik juga
bertujuan untuk mencegah terjadinya kejang. Barbiturat merupakan obat
anestesi pilihan untuk mengendalikan TIK, agaknya dengan cara
mencegah pergerakan yang tidak perlu, batuk, usaha melepaskan selang
yang dipasang dan juga mensupresi metabolisme dan mengubah tonus
pembuluh darah otak, sehingga memberikan manfaat neuroprotektif pada
sebagian pasien. Efek samping obat analgesik, anestesi, dan sedatif berupa
hipotensi dan penurunan cardiac output, sehingga menyebabkan hipoksia.
Selain itu obat seperti propofol dihubungkan dengan hiperkalemia,
asidosis metabolik, gagal jantung, rabdomiolisis, dan kematian. Karena
itu, durasi dan dosis pemberian perlu diperhatikan secara ketat.9
Terapi ventilasi pada pasien dengan trauma otak sangatlah
diperlukan karena mereka berisiko aspirasi paru ataupun gangguan usaha
respirasi. Tekanan parsial O2 dan tekanan parsial CO2 dipertahankan
dalam batas normal supaya mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat
dan mencegah peningkatan TIK. Disarankan bahwa pasien trauma otak
berat menggunakan ventilasi mekanik sehingga dapat mengontrol PaCO2
melalui pengaturan volume tidal.9
Terapi hipotermia terbukti dapat menurunkan TIK, berdasarkan
hasil dari berbagai studi. Kisaran suhu yang disarankan adalah antara 32-
36°C, dan dapat menurunkan TIK sekitar 20 mmHg.10
Pemeriksaan yang direkomendasikan pada pasien trauma kepala
adalah CT Scan.X-ray kepala tidak direkomendasikan kecuali ada indikasi
dari departemen bedah saraf/saraf. Hasil CT Scan harus segera dilaporkan
dalam 1 jam setelah pemeriksaan. Adapun kriteria dilakukannya CT Scan
pada pasien trauma kepala adalah sebagai berikut2:
- GCS <13 pada penilaian awal di IGD.
- GCS <15 pada 2 jam setelah penilaian awal di IGD.
- Kecurigaan fraktur tengkorak terbuka atau depresi.
- Terdapat tanda-tanda fraktur basis kranii (hemotimpanum,
mata ‘panda’ atau ‘rakun’, bocornya cairan serebrospinal dari
telinga atau hidung, tanda Battle).
- Kejang post-trauma.
- Defisit neurologis fokal.
- Lebih dari satu episode muntah.

Selain itu, CT Scan tulang belakang dilakukan dalam 1 jam setelah


penilaian faktor risiko. Adapun faktor risiko yang mengindikasikan
pemeriksaan CT Scan tulang belakang adalah sebagai berikut2:
- GCS <13 pada penilaian awal.
- Pasien sudah diintubasi.
- Gambaran X-ray tidak adekuat.
- Gambaran X-ray menunjukkan abnormalitas.
- Diagnosis trauma servikal dibutuhkan segera (spt sebelum
pembedahan).
- Pasien sadar penuh dan dalam kondisi stabil, tetapi terdapat
kecurigaan trauma servikal jika terdapat faktor risiko di bawah
ini:
o Usia 65 tahun ke atas.
o Mekanisme trauma yang berbahaya (jatuh dari ketinggian 1
meter atau 5 anak tangga; trauma aksial pada kepala, seperti
jatuh terseret; terlempar keluar dari kendaraan; kecelakaan
yang melibatkan kendaraan rekreasi; tabrakan sepeda).
o Defisit neurologis fokal perifer.
o Parestesia pada ekstremitas atas atau bawah.

Setelah dilakukan penanganan awal pada pasien, maka dilakukan penilaian


selanjutnya sebelum dirujuk ke bedah saraf. Berdasarkan rekomendasi NICE,
tindakan merujuk ke dokter bedah saraf dilakukan setelah ditemui beberapa hal
berikut2:

 Didapati hasil abnormal, yang menjadi indikasi pembedahan pada


hasil CT Scan kepala.
 Koma yang menetap (GCS <8) setelah resusitasi awal.
 Kondisi kebingungan yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari
4 jam.
 Defisit neurologis fokal progresif.
 Kejang tanpa pemulihan total.
 Terdapat trauma penetrasi.
 Kebocoran cairan serebrospinal.

Setelah dilakukan penilaian lanjut dan pasien akan dilakukan operasi,


maka sebaiknya dilakukan intubasi dan ventilasi segera pada keadaan berikut2:

 GCS <8.
 Hilangnya refleks laring.
 Insufisiensi ventilasi sebagaimana diketahui dari AGDA (PaO2<
100 mmHg dengan terapi oksigen) atau hiperkarbia (PaCO2> 45
mmHg).
 Hiperventilasi spontan yang menyebabkan PaCO2< 30 mmHg.
 Pola pernapasan ireguler.
 Tingkat kesadaran menurun drastis (>1 pada skor motorik),
meskipun tidak koma.
 Pendarahan yang banyak pada rongga mulut (cth, fraktur basis
kranii).
 Kejang.

Pada kejadian trauma kepala, untuk mencegah terjadinya peningkatan TIK


akibat pendarahan intrakranial, maka biasanya dilakukan terapi bedah saraf
berupa kraniektomi dekompresi. Pembedahan sebaiknya dilakukan optimalnya <4
jam sejak kejadian trauma, sehingga menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat
kerusakan saraf permanen. Pembedahan ini dilakukan dengan cara mengeluarkan
sebagian dari tulang tengkorak, sehingga otak dapat mengembang dan
menurunkan TIK. Terapi ini biasanya dilakukan ketika terapi konservatif lainnya
gagal menurunkan TIK.10

Setelah pembedahan dilakukan, maka pasien dirawat di ICU. ICU


berkualitas tinggi adalah fundamental untuk mencapai hasil yang terbaik pada
pasien dengan trauma otak. Terapi suportif yang bisa dilakukan untuk pasien
antara lain: menggerakkan kepala pasien secara rutin, menjaga kebersihan mata,
mulut, dan kulit, regimen nutrisi untuk mencapai angka kecukupan gizi, dan
fisioterapi.11

2.1.6 Standar Kompetensi Dokter Indonesia12

Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia, terdapat 4


tingkat kompetensi keterampilan klinik sebagai dokter umum, yaitu:
1. Knows : Dapat mengetahui dan menjelaskan.
2. Knows How : Pernah melihat atau didemonstrasikan.
3. Shows : Pernah melakukan/menerapkan di bawah supervisi.
4. Does : Mampu melakukan secara mandiri.

Dalam melakukan penatalaksanaan terhadap pasien trauma kepala,


berikut dijabarkan keterampilan klinis yang diharapkan mampu dicapai
seorang dokter umum:

Tabel 2.4. Kompetensi Keterampilan Klinis


Prosedur Tingkat Keterampilan
Penilaian GCS 4A
Interpretasi X-Ray tengkorak dan tulang belakang 4A
CT-Scan kepala dan interpretasi 2
Terapi oksigen 4A
EKG, foto toraks 4A
Pijat jantung luar (RJPO) 4A
Resusitasi cairan, punksi vena 4A
Pemasangan NGT, kateter uretra 4A
Perawatan luka 4A
Tatalaksana jalan napas 3
Bantuan hidup dasar 4A
Ventilasi masker 4A
Intubasi 3
BAB 3
STATUS PASIEN

3.1 Identitas Pasien


Nama : LP
Umur : 75 tahun
Suku : Batak
Agama : Kristen
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Alamat : Jl. Jamin Ginting KM.8
Tanggal Masuk : 17 April 2017 (Pukul 19.30)
Berat Badan : 48 kg
Tinggi Badan : 155 cm
3.2 Anamnesis
KU : Luka pada pada kaki
Telaah : Hal ini dialami pasien sejak ± 1,5 jam sebelum masuk ke IGD RSUP
HAM. Riwayat kecelakaan dialami pasien terjadi ± 2 jam yang lalu, mekanisme
kecelakaan pasien berjalan menuju gereja dan diserempet oleh motor. O.S. tidak
ingat dengan pasti kejadiannya. Riwayat pingsan, kejang, muntah menyembur
sebelumnyatidak dijumpai..
RPT : Tidak jelas
RPO : Tidak jelas
3.3. Time Sequences

Tanggal 17 April Tanggal 17 April Tanggal 18 April


2017 2017 2017

Pukul 19.30 Pukul 20.20 Pukul 04.00

Pasien masuk ke Pasien dibawa ke Pasien dipindahkan ke


line biru Radiologi untuk ruang rawat inap.
dilakukan CT scan
kepala dengan
pendampingan
PPDS Anestesi
Primary Survey

Tanda dan
Kesimpulan Penanganan Hasil
Gejala

A (airway) Clear -  Airway clear


 C-spine stabil
 Snoring (-)
 Gurgling (-)
 Crowing (-)
 C-spine stabil

B (breathing) Spontaneous,  O2 4 L/menit via SaO2: 99%


dyspnea Nasal cannule
• Inspeksi RR: 26 x/menit
- Napas spontan,
dispnoe
- Toraks simetris,
tidak terlihat
ketinggalan
bernapas.
• Palpasi
SF ka=ki
Krepitasi (-)
• Perkusi
Sonor pada
kedua lapangan
paru
• Auskultasi
- SP/ST:
vesikular/ -
- SaO2: 95%
- RR: 26x/menit

C (circulation) Adequate • Pasang IV line - CRT <2 detik


perfusion 18G, three way - Akral H/M/K
 CRT <2 detik
dan pemberian - T/V: cukup
 Akral Merah,
cairan Ringer - TD: 150/80mmHg
Hangat, Kering.
Laktat - HR = 118 x/menit,
 T/V cukup
regular
 TD:
- UOP = 200 cc
150/80mmHg
 HR: 118x/menit
 Perdarahan: +
pada kedua
tungkai atas dan
bawah

D (disability) GCS 14 Mempertahankan A- Kesadaran Compos


B-C tetap lancar Mentis
 Kesadaran: GCS
14 (E4V4M6)
 AVPU: Alert
 Ø pupil: 3 mm/3
mm, isokor
 RC: +/+

E (exposure)  Jejas pada  Membuka seluruh


kepala kiri baju pasien dan
 Undressed,
 Luka robek di menggantinya
Lakukan logroll
kaki kiri
 Jejas robek di
tangan kiri
Secondary Survey

B1 : Airway clear , SP: Vesikuler/ Vesikuler , ST: -/- , S/G/C : -/-/-, riwayat
asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/-,RR: 25x/I, SpO2 : 99%

B2 : Akral: hangat, merah dan kering, TD: 150/80 mmHg, HR: 110 x/menit,
reg, T/V: cukup, CRT: < 2 detik, Temp : 37,0°C

B3 : Sens: Compos Mentis (E4M6V4), pupil: Ø = ± 3/3 mm, isokor, RC +/+

B4 : BAK (+) vol: ±400cc, warna :kuning , terpasang kateter urine

B5 : Abdomen: simetris (-), soepel, timpani, peristaltik (+) normal

B6 : Edema (-), fraktur (+) pada fibula dan ulna kiri

RIWAYAT :

Allergies : Tidak ada

Medication : Tidak ada

Past Ilness : Tidak jelas

Last Meal : 14.00 WIB (17 April 2017)

Event : Pasien mengalami kecelakaan sepeda motor

3.4. Tatalaksana di IGD


 Pantau jalan napas agar tetap clear
 Beri oksigen 4 L/i via Nasal cannule
 Pemasangan IV line ukuran 18G, threeway, pastikan lancar
 IVFD RL cor cepat (terapi cairan perdarahan kelas II)
 Pasang monitor untuk memantau hemodinamik
 Pasang kateter urine untuk memantau urine output
 Pasang Naso Gastric Tube (NGT)
 Pemeriksaan laboratorium (Darah Lengkap, Elektrolit, fungsi ginjal,)
 Pemeriksaan CT Scan, X-Ray Thorax, Cruris, dan Antebrachii
 Rencana : Konsul Anestesi, Bedah Orthopaedi dan Bedah Saraf

DERAJAT PENDARAHAN

I II III IV
Kehilangan ≤750 750-1.500 1.500-2.000 >2.000
darah (mL)
Kehilangan ≤15 15-30 30-40 >40
darah (%V
darah)
Pols (/menit) <100 100-120 120-140 >140
T/V N Turun Turun Turun
TD N N Turun Turun
RR (/menit) 14-20 20-30 30-40 >40
UOP (mL/jm) >30 20-30 5-15 Tidak ada
Sensorium Agitasi ringan Agitasi Agitasi, Letargis
sedang kebingungan
 Kelas pendarahan: kelas 2 (15-30%)
 Estimasi volume darah: 70 x BB = 70 x 48kg = 3360  3400 mL
 Estimasi Blood Loss 15% = 504mL  500 mL
30% = 1.080 mL  1100 mL
Resusitasi pendarahan: IVFD Ringer Laktat bolus (3:1) 3300 mL (7fl)
habis dalam 30-60 menit (di cor)

3.5. Tata Laksana di IGD


 Pantau jalan nafas agar tetap clear
 Beri oksigen 4 L/i via Nasal Cannule
 IV line ukuran 18G dan threeway terpasang di kaki kanan, pastikan lancar
 Pasang IV line ukuran 18G dan threeway yang dipasang di tangan kanan,
pastikan lancar.
 IVFD RL
Resusitasi cairan: 3300 cc (7 fl), habis dalam 30-60 menit, pasien total
respond
Maintenance : 2100 cc habis dalam 24 jam (30 gtt/menit)
 Pasang monitor untuk memantau hemodinamik pasien.
 Kateter urine terpasang untuk memantau urine output.
 Rencana : Konsul Bedah Orthopaedi dan Bedah Saraf

3.6. Pemeriksaan Penunjang

3.6.1. Laboratorium IGD (14/3/2017)

Jenispemeriksaan Hasil Rujukan

HEMATOLOGI

Hemoglobin (HGB) 10,9 g/dL 13 – 18 g/dL

Leukosit (WBC) 12.740 /µL 4,0 - 11,0x103/µL

Hematokrit 32 % 39 - 54%

Trombosit (PLT) 210.000/µL 150 - 450x103/µL

ELEKTROLIT

Natrium (Na) 134 mEq/L 135–155 mEq/L

Kalium (K) 3,3 mEq/L 3,6–5,5 mEq/L

Klorida (Cl) 98 mEq/L 96–106 mEq/L

KIMIA KLINIK

Blood Urea Nitrogen 12 mg/dL 9-21 mg/dL


(BUN)
Ureum 26 mg/dL 15 – 40 mg/dL

Kreatinin 0,70 mg/dL 0,7-1,3 mg/dL

3.6.2. Foto Thorax

Kesimpulan : Normal
3.6.2. CT Scan Kepala

Kesimpulan : ICH (L) Temporal ±30,5 cc


3.6.3. X-Ray Antebrachii

Kesimpulan : Fraktur 1/3 Proksimal Ulna


3.6.4. X-Ray Cruris

Kesimpulan : Fraktur 1/3 Medial Fraktur


3.6.5. X-Ray Skull

Kesimpulan : Normal
3.7. Diagnosis
Head Injury GCS 13 + Fraktur 1/3 Proksimal Ulna Sinistra + Fraktur 1/3
Medial Fibula Sinista.

3.8. Rencana
Konsul ke Bedah Saraf untuk dilakukan Craniotomy, namun
keluarga pasien menolak. Konsul Bedah Orthopaedi untuk dilakukan
pemasangan gips.
BAB 4
DISKUSI KASUS
No Teori Kasus

1. Keadaan-keadaan gawat darurat Tn. TP, laki-laki 26 tahun, dibawa ke


yang dapat kita temukan sehari-hari IGD RSUP HAM dengan keluhan
adalah seperti (American College of penurunan kesadaran.Hal ini dialami
Emergency Physicians, 2004) : sejak 3 jam SMRS, awalnya pasien
a. Nyeri dada mengendarai sepeda motor, lalu
b. Sindroma Koroner Akut terjatuh. Mekanisme trauma tidak
c. Diseksi Aorta jelas. Muntah menyembur dijumpai,
d. Nyeri Abdomen kejang tidak dijumpai.
e. Aneurisma Aorta Akut
f. Apendisitis Akut
g. Perdarahan subarahnoid
h. Demam pediatrik
i. Meningitis
j. Masalah airway
k. Trauma
l. Cedera Kepala
m. Cedera Spinal
n. Luka
o. Fraktur
p. Torsi Testikular
q. Kehamilan Ektopik
r. Sepsis
2. Primary Survey A (airway)
Penanganan awal dalam Primary  Snoring (-)
Survey membantu mengidentifikasi  Gargling (-)
keadaan-keadaan yang mengancam  Crowing (-)
nyawa, yang terdiri dari tahapan-  C-spine stabil
tahapan sebagai berikut : B (breathing)
A : Airway, pemeliharaan airway • Inspeksi
dengan proteksi servikal • Nafas spontan,dyspnoe (-)
B : Breathing, pernapasan dengan • Thoraks simetris, tidak terlihat
ventilasi ketinggalan bernafas
C : Circulation, kontrol perdarahan • Palpasi
D : Disability, status neurologis • Stem fremitus kanan=kiri
E :Exposure/Environmental control, • Perkusi
membuka seluruh baju penderita, • Sonor dikedua lapangan paru
tetapi cegah hipotermia • Auskultasi
• SP/ST: vesikuler/-
• SaO2: 99%
• RR: 26 kali /menit

C (circulation)
 CRT <2 detik
 Akral Hangat, Pucat, Kering
 T/V cukup
 TD: 150/80mmHg
 HR: 118x/menit
 Perdarahan: +
D (disability)
 Kesadaran: GCS 14 (E4M6V5)
 AVPU: Pain
 Ø pupil: sulit dinilai
E (exposure)
- Undressed, Lakukan Logroll,
Dijumpai luka robek di daerah
frontoparietal dan jejas di dahi
3. Secondary Survey : Pemeriksaan B1 : Airway : clear,
AMPLE dan Head to Toe gurgling/snoring/crowing:-/-/-,
RR: 25 x/mnt , SP: Vesikuler,
ST: (-), SPO2: 99%, Riwayat
asma (-) alergi (-), batuk (-),
sesak (-).
B2 : Akral : H/M/K, TD : 150/80
mmHg, HR : 110 x/mnt,
reguler, T/V kuat/cukup. Temp
: 37,0°C, CRT < 2s.
B3 : Sens : sopor (GCS E4M6V5)
Pupil tidak diperiksa, kejang (-
)
B4 : UOP : BAK (+), volume 400
cc/jam, kateterterpasang,
warna : kuning pekat,
proteinuria (-)
B5 : Abdomen:simetris, soepel,
peristaltik (+)
B6 : Oedem (-), fraktur (+) os
fibula dan ulna
4 Riwayat AMPLE RIWAYAT :
Allergies : Tidak ada
Medication : Tidak jelas
Past Ilness : Tidak jelas
Last Meal : 14.00 WIB (17 April
2017)
Event : Pasien mengalami
kecelakaan saat berjalan kaki
DAFTAR PUSTAKA

1. Centers for Disease Control and Prevention, 2013. Traumatic Brain Injury
and Concussion. Available at https://www.cdc.gov/traumaticbraininjury.
[Accessed on 28th March 2017].
2. Cassidy, J.D., et al. 2004. Incidence, risk factors and prevention of mild
traumatic brain injury: Results of the WHO Collaborating Centre Task
Force on Mild Traumatic Brain Injury. J Rehabil Med.;(43 Suppl):28–60.
[PubMed]
3. National Institute for Health and Care Excellence, 2014. Head Injury:
assessment and early management. NICE Clinical Guideline, pp. 1-66.
4. Snell, Richard S. 1997. Anatomi Klinik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
5. Putz, R. & R. Pabst. 2000. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 1 Kepala,
Leher,Ekstremitas Atas Edisi 21. Jakarta: EGC.
6. American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008. Advance
Trauma Life Support for doctor, student course manual, 8th ed. Available
at https://www.atls.in. [Accessed on 28th March 2017].
7. Turkstra, L., Ylvisaker, M., et al. 2005. Practice Guidelines for
Standardized Assessment for Persons with Traumatic Brain Injury.
Journal of Medical Speech-Language Pathology, 13(2), ix–xxviii.
8. Resuscitation Council (UK), 2016. The ABCDE Approach. Available at
https://www.resus.org.uk/resuscitation-guidelines/abcde-approach/.
[Accessed on 28th March 2017].
9. Carney, N., et.al., 2016. Guidelines for the Management of Severe
Traumatic Brain Injury, 4th ed. Brain Trauma Foundation, pp.1-244.
10. Dinsmore, J., 2013. Traumatic brain injury: an evidence-based review of
management. British Journal of Anesthesia, 13(6), pp. 189-195.
11. Gibson, A.A. & Andrews, J.D. Management of traumatic injury. In: Webb,
A., et.al., 2016. Oxford Textbook of Critical Care, 2nd ed. Oxford: Oxford
University Press, pp. 1635-1641.
12. Konsil Kedokteran Indonesia, 2012. Standar Kompetensi Dokter
Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai