Anda di halaman 1dari 49

REFERAT/CLINICAL SCIENCE SESSION

*Kepaniteraan Klinik senior/ G1A217012/ Juni 2018

**Pembimbing/ dr. Apriyanto, Sp.BS, M.Kes

CEDERA KEPALA

Shanna Alysia Aziz, S. Ked * dr. Apriyanto, Sp.BS, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN BEDAH RSUP RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Di Indonesia saat ini, seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan, frekuensi
terjadinya cedera kepala bukannya menurun namun justru meningkat. Hal ini disebabkan
karena bertambahnya jumlah kendaraan bermotor khususnya sepeda motor, juga oleh tidak
disiplinnya perilaku pengendara kendaraan bermotor di jalanan.1

Cedera Kepala merupakan jenis trauma yang paling sering ditemui di Instalasi Gawat
Darurat (IGD). Banyak pasien dengan cedera kepala berat meninggal sebelum mencapai
rumah sakit, dimana 90% dari kasus trauma yang menyebabkan kematian melibatkan cedera
kepala. 75% pasien cedera kepala yang mendapat perhatian medis adalah pasien dengan
cedera kepala ringan, 15% dengan cedera kepala sedang, dan 10% dengan cedera kepala
berat. Di Amerika cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak untuk kelompok
usia produktif (15-44 tahun) dan merupakan penyebab kematian ketiga secara keseluruhan.1,2

Didapatkan data terbaru dari Amerika, diperkirakan setiap tahunnya terdapat 1,700,000
pasien yang mengalami kasus cedera kepala, termasuk 275.000 yang dirawat inap dan 52.000
kematian. Pasien yang pernah mengalami cedera kepala sering mengalami kerusakan
neuropsikologik yang berpengaruh pada aktivitas kerja dan sosial. Setiap tahun, diperkirakan
80.000 sampai 90.000 masyarakat di Amerika mengalami komplikasi jangka panjang akibat
cedera kepala. Berdasarkan data statistik ini, jelas bahwa penurunan tingkat kematian dan
kesakitan memiliki pengaruh besar pada kesehatan masyarakat.2

Penyebab tersering adalah kecelakaan motor, mobil, jatuh, cedera olahraga, dan
perkelahian. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kematian dan
disabilitas pada masyarakat usia produktif. Cedera dapat bervariasi dari geger otak ringan
sampai kerusakan otak berat permanen. Cedera kepala dapat sangat berdampak pada
kehidupan seseorang, seperti dalam kemampuan fisik dan mental, emosi dan personality.
Pengobatan cedera kepala ringan hanya memerlukan istirahat dan pengobatan, sedangkan
cedera kepala berat membutuhkan perawatan intensive dan operasi guna menyelamatkan
pasien. Kebanyakan pasien cedera kepala sedang dan membutuhkan rehabilitasi untuk
mempelajari bakatnya.1
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya. Tanpa
perlindungan ini, otak yang lembut (yang membuat kita seperti adanya) akan mudah sekali
terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, begitu rusak, neuron tidak dapat
diperbaiki lagi. Cedera dapat mengakibatkan malapetaka bagi seseorang.

Tujuan utama dari tatalaksana pasien dengan suspek cedera kepala adalah mencegah
cedera kepala sekunder. Menyediakan oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan
darah terkait perfusi ke otak merupakan tindakan yang sangat penting dilakukan untuk
mencegah cedera kepala sekunder dan meningkatkan outcome pasien. Prognosis pasien
cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.2

Meningkatnya kejadian cedera kepala, diikuti dengan peningkatan mortalitas dan


morbiditas sebagai akibat cedera kepala, membutuhkan pengetahuan dan pemahaman yang
baik serta terlatih untuk pengelolaan pasien dengan cedera kepala. Oleh karena itu, penulis
menyusun referat yang membahas mengenai “cedera kepala”.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kepala

2.1.1 Anatomi Kepala

Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya. Tanpa
perlindungan ini, otak yang lembut (yang membuat kita seperti adanya) akan mudah sekali
terkena cedera dan mengalami kerusakan. Tinjauan anatomi kepala meliputi scalp atau kulit
kepala, tulang tengkorak, meninges, otak, sistem ventrikular, dan kompartemen intrakranial.
(Gambar 2.1)

Gambar 2.1 Anatomi Kepala


1. SCALP (Kulit Kepala)

Kulit kepala merupakan jaringan lunak yang menutupi tulang tengkorak. Kulit kepala
memanjang dari alis, menutupi garis supra-silia os frontal sampai garis nuchal superior dan
berujung di os occipital. Secara lateral kulit kepala memanjang arkus zygomatikus dan
meatus auditorius eksternal (Gambar 1).3

Kulit kepala kaya akan suplai darah maka dari itu apabila terdapat laserasi pada kulit
kepala dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah banyak, shock hemorrhagic, dan bahkan
kematian. Hal ini terutma terjdi pada pasien ditransportasi dalam waktu lama.2 Kulit kepala
terdiri dari 5 lapisanyang disebut sebagai SCALP yaitu:

 Skin atau kulit. Skin bersifat tebal dan mengandung rambut serta kelenjar sebasea
(keringat).
 Connective tissue atau jaringan penyambung. Merupakan jaringan lemak yang
memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah. Pembuluh darah tersebut merupakan
anastomosis antara arteri karotis interna dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis
eksterna.
 Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung
dengan tengkorak. Aponeurosis galea merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang melekat
pada tiga otot, yaitu m.frontalis (anterior), m.occipitalis (posterior), m.temporoparietalis
(lateral). Ketiga otot ini dipersarafi oleh N. VII.
 Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Loose areolar tissue,
lapisan ini mengandung vena emissary yang merupakan vena tanpa katup, menghubungkan
SCALP, vena diploica, dan sinus vena intrakranial. Jika terjadi infeksi pada lapisan ini, akan
dengan mudah menyebar ke intrakranial. Avulsi SCALP bisa terjadi pada lapisan ini.
Hematoma yang terjadi pada lapisan ini disebut Subgaleal hematom, merupakan hematoma
yang paling sering ditemukan setelah cedera kepala, terutama anak-anak.
 Perikranium, merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak, melekat erat
terutama pada sutura karena melalui sutura ini periosteum akan langsung berhubungan
dengan endosteum. Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika
dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit
kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit
kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita
dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk
mengeluarkannya.3

Gambar 2.2 Lapisan SCALP

2. Tulang Tengkorak
Cranium atau tulang tengkorak dibentuk oleh banyak tulang besar dan kecil. Tulang
tengkorak termasuk tulang gepeng, dan secara absolut tidak dapat bertambah volumenya
terutama pada orang dewasa. Kranium terdiri atas 3 lapisan yaitu lamina externa, lamina
interna, dan diploe atau sumsum tulang merah diantara kedua lamina. Di sebelah luar tulang
ini dilapisi pericranium dan di sebelah dalam oleh duramater. Tulang-tulang yang membatasi
rongga kepala (cavitas cranii) disebut neurocranium dan dibagi menjadi bagian dasar rongga
kepala atau basis cranii dan atap rongga kepala atau calvaria.3
Basis cranii berbentuk tidak rata, banyak lekukan dan lubang, sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Basis cranii dibagi atas 3
fosa yaitu fossa cranii anterior tempat lobus frontalis otak, fossa cranii media tempat lobus
temporalis otak dan fossa cranii posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan
serebelum.3
3. Meninges
Meninges merupakan selaput yang melapisi otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu dura
mater, arachnoidea, dan dura mater.
1) Duramater
Dura mater merupakan lapisan keras membran fibrosa yang melekat erat pada
permukaan dalam tulang tengkorak. Pada suatu bagian, dura mater terpisah menjadi dua
lapisan yang menutupi sinus vena besar, yang merupakan drainase utama darah dari otak.
Lapisan luar disebut lapisan periosteal, langsung melekat pada endosteum tabula interna dan
lapisan dalam disebut lapisan meningeal. Lapisan bagian dalam akan melebar serta melekuk
membentuk sekat-sekat otak (falks, tentorium). Di antara tulang tengkorak dengan dura mater
terdapat rongga epidural. Lapisan dura mater yang menyatu dengan endostium mempunyai
pinggiran yang sesuai dengan dengan sisi setiap tulang kepala. Dengan demikian, rongga
epidural juga mempunyai batas sesuai tulang yang berhadapan. Oleh karena itu, pada kasus
perdarahan epidural akan didapati ‘benjolan’ (hematoma epidural) yang sesuai dengan
bentuk dan ukuran tulang kepala yang berhubungan.1
Arteri meningeal terletak di rongga epidural. Fraktur pada tengkorak dapat menyebabkan
laserasi pada arteri ini dan menyebabkan hematoma epidural. Arteri meningeal yang paling
sering mengalami laserasi adalah arteri meningeal media, yang terletak pada fossa temporalis.
Hematoma yang meluas dari perdarahan arteri ini dapat menyebabkan perburukan secara
cepat bahkan kematian. Sebagian besar hematoma epidural merupakan kasus emergensi dan
harus ditangani ahli bedah saraf sesegera mungkin.2

2) Arakhnoid
Di bawah lapisan dura mater, terdapat lapisan arachnoid mater yang tipis, avaskuler, dan
trasparan. Lapisan ini mendapatkan nutrisi dari CSS (Cairan Serebospinal). Dura mater tidak
menempel pada arachnoid, dan terdapat rongga di antaranya yaitu rongga subdural, dan dapat
terjadi perdarahan pada rongga ini. Pada cedera kepala, vena yang berjalan pada permukaan
otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah, disebut Bridging Vein, dapat mengalami
ruptur dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah
vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat.

3) Pia mater
Lapisan terakhir disebut pia mater, melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia
mater terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan epipial (luar) dan lapisan pia-glia (dalam). Pia
mater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk ke dalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu
dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk ke dalam substansi otak juga diliputi oleh
pia mater. Di antara lapisan arachnoid dan pia mater terdapat rongga subarachnoid yang
berisi Cairan Serebrospinal (CSS) yang berfungsi sebagai bantalan otak dan medula spinalis.
Perdarahan pada rongga ini (subarachnoid hemorrhage) sering terjadi pada kontusio serebri
atau ruptur pembuluh darah besar pada bagian bawah otak.4

4. OTAK
Berat otak manusia sekitar 1.400 gram, tersusun oleh sekitar 100 triliun neuron. Masing-
masing neuron mempunyai 1.000 sampai 10.000 koneksi sinaps dengan sel saraf lainnya.
Otak merupakan organ dengan konsistensi kenyal dan terletak di dalam ruangan yang tertutup
oleh tulang tengkorak. Tulang tengkorak atau kranium ini secara absolut tidak dapat
bertambah volumenya terutama pada orang dewasa. 1

Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak. Serebrum terdiri dari
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri, yaitu lipatan duramater yang
merupakan lanjutan dari sinus sagitalis superior di garis tengah. Pada hemisfer serebri kiri
terdapat pusat bicara pada orang normal, dan juga pada lebih dari 85% orang kidal. Hemisfer
otak yang mengandung pusat bicara disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontal
mengontrol inisiatif, emosi, fungsi motoric dan pada sisi yang dominan mengandung pusat
ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Pada orang normal dan
sebagian orang kidal, lobus temporal kiri bertanggung jawab dalam kemampuan menerima
rangsang dan integrasi bicara. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam penglihatan.

Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbrain), pons dan medulla oblongata. Pada
mesensefalon dan pons bagian atas terdapat reticular activating system yang
bertanggungjawab dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pusat kardiorespiratorik berada di
medulla oblongata yang berlanjut memanjang menjadi medulla spinalis. Lesi yang kecil pada
batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat. Serebelum terutama
bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fosa posterior,
membentuk hubungan dengan medulla spinalis, batang otak dan akhirnya dengan kedua
hemisfer serebri.

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena
otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak
mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis6

5. Kompartmen Intrakranial
1) Tentorium

Di tempat-tempat tertentu, duramater membentuk sekat-sekat rongga kranium.


Tentorium merupkan sekat yang membagi rongga kranium menjadi kompartemen
supratentorial dan infratentorial (memisahkan postero-inferior hemisfer serebri dari
serebelum. Tentorium berbentuk seperti kubah. Bagian anterior melekat pada bagian depan
prosesus klinoideus anterior dan posterior, melebar ke lateral dan melekat pada krista petrosa
kanan dan kiri. Di bagian belakang melekat pada krista oksipitalis interna. Tentorium akan
bertemu dengan falks serebri di garis tengah bagian posterior. Bagian tengah tentorium
membentuk lubang berbentuk bulat telur yaitu hiatus tentorium. Kompartemen supratentorial
dibagi dua oleh falks serebri yang membentang sepanjang garis tengahnya, dan memisahkan
hemisfer serebri kanan dan kiri. Falks berjalan mulai dari fronto-basal melekat pada krista
Galli, tepi atasnya mengikuti garis tengah dan sutura sagitalis. Tepi atas falks berisi sinus
sagitalis superior dan tepi bawahnya berisi sinus sagitalis inferior.
2) Sistem Ventrikel
Sistem Ventrikel adalah rongga yang diisi CSF. CSF terus diproduksi dalam ventrikel
dan diserap di permukaan otak. Kehadiran darah dalam CSF dapat mengganggu reabsorpsi
CSF, yang mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial. Edema dan lesi massa
(misalnya, hematoma) dapat menyebabkan penekanan atau pergeseran ventrikel yang dapat
dengan mudah diidentifikasi pada CT scan otak.
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior.
Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu
penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial. Angka rata-rata pada
kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
perhari.5
2.1.2 Fisiologi
Konsep fisiologis yang berhubungan dengan cedera otak meliputi tekanan intrakranial,
doktrin Monro-Kellie, dan aliran darah otak.

1. Tekanan Intrakranial
Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan relatif di dalam rongga kepala terhadap
tekanan atmosfer yang dihasilkan oleh keberadaan jaringan otak, cairan serebrospinalis
(CSS), dan volume sirkulasi darah otak. Pada keadaan fisiologis normal volume intrakranial
yang selalu dipertahankan konstan dengan tekanan intrakranial adalah 10-15 mmHg. (bedah
saraf).

Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan kenaikan tekanan
intrakanial (TIK). Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau
memperberat iskemia. TIK lebih tinggi dari 20 mmHg, terutama bila menetap dan sulit
diatasi berdampak pada outcome yang buruk.2

2. Doktrin Monro-Kellie
Doktrin Monro-Kellie merupakan suatu konsep sederhana tetapi penting untuk
memahami dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa tekanan intracranial harus selalu
konstan, karena rongga cranium pada dasarnya merupakan rongga yang kaku, tidak elastik
dan tidak mungkin mekar, kecuali pada anak-anak dimana sutura tulang tengkoraknya belum
menutup. Darah didalam vena dan CSS dapat dikeluarkan dan dipindahkan dari rongga
tengkorak, sehingga TIK tetap normal.
Bila pada suatu keadaan dimana didapatkan adanya suatu penambahan massa
intrakranial, maka sebagai kompensasi awal adalah penurunan volume darah vena dan likuor,
sehingga TIK masih tetap normal. Sistem vena akan segera menyempit bahkan kolaps dan
darah akan diperas ke luar melalui vena jugularis atau melalui vena-vena emisaria dan kulit
kepala. Kompensasi selanjutnya adalah CSS juga akan terdesak melalui foramen magnum ke
arah rongga subarakhnoid spinalis. Mekanisme kompensasi ini hanya berlangsung sampai
batas tertentu yang disebut sebagai titik batas ompensasi dan kemudian akan terjadi
peningkatan tekanan intrakranial yang hebat secara tiba-tiba.

Doktrin Monro-Kellie yaitu “Volume intrakranial adalah tetap, Volume intrakranial (Vic)
adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan
otak (Vbr), volume cairan serebrospinal (Vcsf) dan volume darah (Vbl).”

Vic = V br+ V csf + V bl

3. Aliran Darah ke Otak (ADO, Cerebral Blood Flow)


ADO normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 mL per 100 gr jaringan otak
per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar bergantung pada usianya. Pada usia 1 tahun,
ADO hampir seperti orang dewasa, tetapi pada usia 5 tahun ADO bisa mencapai 90
ml/100gr/menit, dan secara bertahap akan turun sampai seperti ADO dewasa saat mencapai
pertengahan atau akhir masa remaja3,7.

Cedera otak berat yang dapat menyebabkan koma dapat mengakibatkan penurunan ADO
dalam beberapa jam pertama sejak trauma. ADO biasanya akan meningkat setelah 2-3 hari,
tetapi pada pasien yang tetap koma, ADO tetap dibawah normal sampai beberapa hari atau
minggu setelah trauma. Semakin banyak bukti yang menyatakan bahwa ADO tidak dapat
mencukupi kebutuhan metabolisme otak segera setelah trauma, sehingga sering
mengakibatkan iskemi otak fokal ataupun menyeluruh3.
Pembuluh darah prekapiler normal memiliki kemampuan untuk berkonstriksi ataupun
dilatasi sebagai respon terhadap perfusi otak/TPO (CPP= Cerebral perfusion pressure), yang
secara klinis didefinisikan sebagai tekanan darah arteri rata-rata dikurangi tekanan
intracranial. CPP sebesar 50-150 mmHg diperlukan untuk memelihara aliran darah otak tetap
konstan (autoregulasi tekanan) 3.

Otak yang cedera akan mengalami iskemia dan infark sehubungan dengan penurunan
ADO sebagai akibat cedera itu sendiri. Keadaan iskemi awal tersebut akan dengan mudah
diperberat oleh adanya hipotensi, hipoksia, dan hipokapnia sebagai akibat hiperventilasi
agresif yang kita lakukan3,10.

Oleh karena itu, semua tindakan ditujukan untuk meningkatkan aliran darah dan perfusi
otak dengan cara menurunkan TIK, memelihara kecukupan volume intrakranial,
mempertahankan tekanan darah arteri rata-rata (MAP= Mean Arterial Blood Pressure) dan
memperbaiki oksigenasi serta mengusahakan normokapnia3.

Perdarahan dan lesi lain yang meningkatkan volume intrakranial harus segera dievakuasi.
Mempertahankan tekanan perfusi otak diatas 60 mmHg sangat membantu untuk memperbaiki
ADO (namun tekanan yang sangat tinggi dapat memperburuk keadaan paru-paru) 3.

Sekali mekanisme kompensasi terlewati dan terdapat peningkatan eksponensial TIK,


maka perfusi otak akan terganggu, terutama pada pasien yang mengalami hipotensi. Akhirnya
akan berkontribusi pada terjadinya cedera sekunder yang dapat terjadi pada jaringan otak
yang masih bertahan pada beberapa hari pertama setelah cedera otak berat. Proses
patofisiologi tersebut ditandai oleh proses inflamasi progresif, permeabilitas pembuluh darah,
danpembengkakan jaringan otak, dan kemudian peningkatan TIK yang menetap dan
mengakibatkan kematian3

2.2 Definisi Cedera Kepala


Cedera kepala adalah suatu cedera yang mengenai kulit kepala, tulang tengkorak atau
otak yang terjadi akibat trauma baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan disertai
atau tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan gangguan fungsi otak. Menurut Brain
Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan
bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik
dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.1,8
2.3 Epidemiologi
Salah satu risiko akibat cedera kepala ialah kematian. Diperkirakan 1,7 juta orang di
Amerika Serikat mengalami cedera kepala setiap tahunnya; 50.000 meninggal dunia, 235.000
dirawat di rumah sakit, dan 1.111.000, atau hampir 80% dirawat dan dirujuk ke Departemen
Instalasi Gawat Darurat. Menurut laporan World Health Organization (WHO), setiap
tahunnya sekitar 1,2 juta orang meninggal dengan diagnosis cedera kepala yaitu akibat
kecelakaan lalu lintas (KLL) dan jutaan lainnya terluka atau cacat. Sebagian besar kematian
dapat dicegah. Di negara-negara dengan penghasilan rendah dan menengah, banyak
pengguna kendaraan roda dua, terutama pengguna sepeda motor, dan lebih dari 50% terluka
atau meninggal akibat KLL. Persentase jenis kelamin laki-laki lebih tinggi mengalami cedera
kepala dibanding dengan perempuan.
2.4 Etiologi
Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, berupa
tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyebrang jalan yang ditabrak. Sisanya
disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya ranting pohon, kayu, dsb),
olahraga, korban kekerasan baik benda tumpul maupun tajam (misalnya golok, parang,
batang kayu, palu, dsb), kecelakaan kerja, kecelakaan rumah tangga, kecelakaan olahraga,
trauma tembak, dan lain-lain.7,9

2.5 Patofisiologi Cedera Kepala


Secara sederhana tulang tengkorak dan jaringan otak didalamnya dapat digambarkan
sebagai sebuah “kotak” tertutup yang berisi agar-agar. Ada beberapa mekanisme yang timbul
bila terjadi trauma kepala6 :

1. Translasi.
1) Akselerasi.
Bila kepala yang bergerak kesatu arah tiba-tiba mendapat gaya yang kuat searah dengan
gerakan kepala maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut. Mula-
mula tulang tengkorak yang bergerak lebih cepat, jaringan otak masih diam, kemudian
jaringan otak ikut bergerak kearah yang sama, peristiwa ini terjadi sangat cepat dalam waktu
yang singkat.

Pada peristiwa ini terjadi gesekan antara jaringan otak dan dasar tengkorak serta terjadi
benturan antara jaringan otak dan dinding tengkorak. Mekanisme akselerasi dapat
menyebabkan luka/ robekan/ laserasi pada bagian bawah jaringan otak dan memar pada
jaringan otak.

2) Deselerasi.
Bila kepala bergerak dengan cepat ke satu arah tiba-tiba dihentikan oleh suatu benda,
misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba akan terhenti gerakannya. Kepala
mengalami deselerasi (perlambatan) secara mendadak.

Mula-mula tengkorak akan terhenti gerakannya karena menabrak tengkorak peristiwa ini
juga terjadi sangat cepat dalam waktu singkat. Mekanisme deselerasi dapat menyebabkan
kelainan serupa seperti pada mekanisme akselerasi.

2. Rotasi.

Batang otak (brain stem) berupa sebuah “batang” yang terletak di bagian tengah jaringan
otak dan berjalan vertikal ke arah foramen magnum, sehingga otak seolah-olah terletak pada
sebuah sumbu (axis). Bila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya mendadak, misalnya pada
bagian depan (frontal) atau pada bagian belakang (oksipital), maka otak akan terputar pada
“sumbu”nya.

Mekanisme rotasi dapat menyebabkan laserasi dari bagian bawah jaringan otak dan
kerusakan pada batang otak. Kerusakan pada batang otak dapat merupakan peristiwa yang
mematikan. Mekanisme rotasi dapat terjadi pada seorang petinju yang mendapat pukulan
“jab” yang sangat keras.

Didalam kejadian yang sebenarnya, misalnya trauma kepala karena kecelakaan lalu lintas,
ketiga mekanisme tersebut diatas terjadi secara bersamaan. Ada 2 tahapan kerusakan didalam
terjadinya kerusakan jaringan otak (brain damage) setelah trauma kepala :

a) Primary damage
Yaitu kerusakan yang terjadi pada saat kejadian trauma kepala, dapat berbentuk laserasi
kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, laserasi dan contusio (luka dan memar) dari jaringan
otak dan diffuse axonal injury (DAI)8.

DAI disebabkan banyaknya serabut-serabut saraf pada jaringan otak yang terputus pada
waktu terjadinya trauma. Tetapi masih ada beberapa peneliti yang mengatakan DAI terjadi
karena edema jaringan otak. Hypoxia atau karena kerusakan batang otak. DAI ditandai
dengan adanya koma yang lama yang terjadi segera setelah trauma kepala yang berat3.
Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda
paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh
proses akselarasi deselarasi gerakan kepala1.

Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera
primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya
disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi
yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat
dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang
berlawanan dari benturan (contrecoup)6.

b) Secondary damage
Yaitu kerusakan yang terjadi akibat komplikasi dari proses-proses yang terjadi pada saat
trauma kepala dan baru menunjukkan gejala beberapa saat kemudian (biasanya beberapa jam
kemudian)9.

Perdarahan intrakranial adalah perdarahan yang terjadi didalam tulang tengkorak.


Cerebral edema ialah bertambahnya volume cairan didalam jaringan otak. Ischemic brain
damage adalah kerusakan jaringan otak karena keadaan hipotensi yang berlangsung lama
pada saat terjadi trauma kepala4,10.
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi3,6.
2.6 Klasifikasi Cedera Kepala
Cedera kepala diklasifikasikan dalam beberapa cara yang dijelaskan seperti pada tabel di
bawah ini.
Tabel 2.1 Klasifikasi Cedera Kepala

Klasifikasi Cedera Kepala


Mekanisme
1. Tumpul  Kecepatan tinggi (kecelakaan lalu lintas)
 Kecepatan rendah (jatuh,dipukuli)
2. Tajam/Tembus  Luka tembak
 Cedera tajam/tembus lainnya
Berat-ringannya cedera
1. Ringan  GCS 13-15
2. Sedang  GCS 9-12
3. Berat  GCS 3-8
Morfologi
1. Fraktur tulang
a. Kalvaria  Linear vs Stellata
 Impresi/non impresi
 Terbuka/tertutup

b. Basis Kranii  Dengan/tanpa kebocoran LCS


 Dengan/tanpa kelumpuhan N.VII

2. Lesi Intrakranial
a. Fokal  Epidural
 Subdural
 Intraserebral

b. Difus
 Konkusio
 Kontusio multipel
 Cedera hipoksik/iskemik
 Axonal injury
2.6.1 Mekanisme Cedera Kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera
kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil atau
motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala tembus disebabkan
oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput duramater menentukan cedera apakah
cedera tembus atau tumpul3.

2.6.2 Beratnya Cedera


Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan sebagai pengukur secara klinis beratnya cedera
kepala. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah
dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang
keseluruhan otot ekstremitasnya flaksid dan tidak dapat membuka mata sama sekali nilai
GCS-nya minimal atau sama dengan 3.

Tabel 2.2 Glasgow Coma Scale

Glasgow Coma Scale nilai ai


Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V)


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M)


Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1
Berdasarkan nilai GCS maka penderita cedera kepala dengan nilai GCS < 8 didefinisikan
sebagai koma atau cedera kepala berat, nilai GCS 9-12 dianggap sebagai cedera kepala
sedang, dan penderita dengan nilai GCS 13-15 dianggap sebagai cedera kepala ringan. Dalam
menilai GCS, bila terdapat asimetris kiri/kanan atau atas/bawah, maka yang dipakai adalah
respons motorik terbaik, karena ini adalah prediktor outcome yang paling terpercaya. Namun,
setiap orang harus mencatat respons aktual pada setiap sisi tubuh, wajah, lengan, dan tungkai.

2.6.3 Morfologi cedera


Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi intrakranial.
1. Fraktur cranium
1) Fraktur atap tengkorak
Berdasarkan lokasi anatomisnya, fraktur kranium dapat terjadi pada tulang yang
membentuk tempurung kepala atau calvaria seperti os frontalis, os temporalis, dan os
occipitalis. Fraktur dapat berbentuk linier atau stellata dan dapat pula terbuka atau tertutup.
CT scan telah menjadi pemeriksaan penunjang awal pilihan pada kasus trauma kepala yang
berat terutama jika disertai penurunan kesadaran atau gejala neurologis lainnya.
a. Fraktur Linier
Fraktur linear merupakan yang terbanyak dari semua fraktur tulang kepala, yakni sekitar
80% dan umumnya tidak memerlukan tindakan khusus. Akan tetapi, bila ada fraktur, perlu
waspada terhadap adanya cedera otak primer atau hematom epidural yang dapat terjadi bila
trauma cukup kuat. Fraktur jenis ini disebabkan oleh benturan suatu objek yang keras.
Fraktur ini terlihat sebagai garis radiolusen, berbatas tajam tanpa disertai tepi yang sklerotik.
Penanggulangan patah tulang kepala bergantung pada jenis fraktur. Patah tulng dasar
tengkorak tidak memerlukan tinakan khusus, kecuali bila terjadi likuorea.

Gambar 2.15 Fraktur linier os temporal


b. Fraktur Impresi (depressed fracture)
Fraktur impresi ialah fraktur yang patahannya terdorong ke dalam. Fraktur ini biasanya
disertai kerusakan jaringan otak dan pada foto terlihat sebagai garis atau 2 garis sejejar
dengan densitas tinggi pada tulang tengkorak. Penting untuk membuat foto tangensial untuk
konfirmasi dan untuk menentukan dalamnya impresi.
Kejadian fraktur depresi hmpir mirip dengan fraktur linier, namun disini beban tenaganya
lebih besar.

Gambar 2.17 Fraktur depresi


c. Fraktur terbuka
Fraktur krania terbuka atau compound dapat menyebabkan adanya hubungan antara scalp
yang robek dengan dengan permukaan otak, karena robekan dura.

2.Fraktur Basis Kranii

Fraktur basis kranii merupakan fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk dasar
tengkorak. Dasar tengkorak terbagi atas tiga bagian yaitu fossa anterior, fosa media, fosa
posterior. Fraktur basis kranii biasanya berdiri sendiri, hanya kadang-kadang saja merupakan
lanjutan dari fraktur kalvarium. Pada umumnya fraktur terjadi pada os petrosum, supraorbita,
atau pada basis oksiput.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan
untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis
periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS
(Rhinorrhea, otorrhea) dan parese nervus VII dan VIII yang dapat timbul segera atau
beberapa hari setelah trauma. Kebocoran likuor serebro-spinalis menandakan adanya
duramater yang robek, namun sebaliknya tidak semua dura yang robek menimbulkan
kebocoran likuor.
Kebocoran likuor serebrospinal dapat berhenti secara spontan. Biasanya patah tulang
dasar tengkorak tidak memerlukan tindakan bedah, kecuali jika likuorea menetap. Bila dalam
waktu dua miggu likuorea tidak berhenti, diperlukan tindakan bedah untuk menutup robekan
duramater.

Gambar 2. 18. Tanda-Tanda Fraktur Basis Cranii

Gambar 2. 19. Fraktur Basis Cranii

Fraktur pada masing-masing fosa akan memberikan manifestasi yang berbeda.

1) Fraktur fossa anterior


a. Fraktur supraorbita
Fraktur akan merobek duramater dan arachnoid sehingga liquor cerebro spinalis (LCS)
bersama darah melalui celah fraktur masuk kerongga orbita sehingga dari luar disekitar mata
tampak kebiru-biruan. Bila satu mata disebut Monocle Hematoma, bila dua mata disebut Brill
Hematoma/ Raccoon’s Eyes.

b. Fraktur melintas lamina cribosa.


Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut saraf penciuman (nervus olfactorius)
sehingga dapat terjadi gangguan penciuman mulai dari berkurangnya penciuman (hyposmia)
sampai hilangnya penciuman (anosmia). Fraktur juga dapat merobek duramater dan
arachnoid sehingga LCS bercampur darah akan keluar dari rongga hidung (rhinnorhoea).

2) Fraktur Fossa Media


a. Fraktur os petrosum.
Puncak (apex) os petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk ke dalam
rongga telingga tengah dan memecahkan membrana timpani; dari telinga keluar LCS
bercampur darah (otorrhoea).

b. Fraktur Sella tursica.


Diatas Sella tursica terdapat kelenjar hypopise yang terdiri dari 2 bagian yaitu pars
anterior dan pars posterior (neuro hypopise). Pada fraktur Sella tursica yang biasanya
terganggu adalah pars posterior sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretik
Hormon) yang menyebabkan diabetes insipidus.

c. Sinus cavernosus syndrome.


Syndrome ini adalah akibat fraktur basis cranii di fossa media yang memecahkan arteri
carotis interna yang berada didalam sinus cavernosus sehingga terjadi hubungan langsung
arteri – vena. Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit, conjungtiva
berwarna merah. Bila membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan
terdengar suara seperti air mengalir yang disebut Bruit.

3) Fraktur Fossa Posterior


a. Fraktur melintas os petrosum.
Garis fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrosum sampai mastoid
menyebabkan LCS bercampur darah melalui celah fraktur berada diatas mastoid sehingga
dari luar tampak warna kebiru-biruan dibelakang telinga yang disebut Battle’s Sign8.

b. Fraktur melintas foramen magnum.


Di foramen magnum terdapat medula oblongata, sehingga getaran fraktur akan merusak
medulla oblongata sehingga penderita mati seketika7,9.
 Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk
cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma
subdural, kontusi dan hematoma intraserebral.

Gambar 2.20. Lesi Fokal

Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal
namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis
neurologis penderita sangat buruk. Berdasarkan pada dalamnya dan lamanya koma, maka
cedera difus dikelompokkan menurut Kontusio Ringan, Kontusio Klasik dan Cedera Aksonal
Difus (CAD)3.

1) Lesi Fokal
a. Perdarahan epidural
Hematoma epidural relatif jarang, terjadi pada kira-kira 0,5% pederita dengan cedera
otak dan pada 9% penderita TBI yang koma. Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan
yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater. Hematoma epidural
berbentuk bikonveks atau lentikuler karena dia menekan dura dari tabula interna tulang
tengkorak. Paling sering terjadi di daerah temporal atau temporo parietal dan disebabkan oleh
arteri meningea media karena adanya fraktur. Biasanya bekuan darah berasal dari arteri;
namun bisa juga disebabkan robekan sinus venosus besar atau perdarahan dari fraktur tulang
tengkorak.
Gejala dan tanda yang tampak bervariasi, tetapi penderita hematom epidural yang khas
memiliki riwayat cedera kepala dengan periode tidak sadar dalam waktu pendek, diikuti oleh
periode lusid. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa interval lusid bukan merupakan
tanda diagnostik yang dipercaya pada hematom epidural. Pertama, interval lusid mungkin
berlalu tanpa diketahui, terutama bila hanya sekejap saja. Kedua, penderita dengan cedera
otak berat tambahan dapat tetap berada dalam keadaan stupor.
Hematoma yang meluas di daerah temporal menyebabkan tertekannya lobus temporalis
otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus (unkus dan
sebagian dari girus hipokampus) mengalami herniasi di bawah tepi tentorium. Keadaan ini
menyebabkan tibulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis. Dengan
makin meluasnya hematoma, seluruh isi otak akan terdorong ke arah yang berlawanan
sehingga terjadi peningkatan TIK, termasuk kekakuan deserbrasi dan gangguan tand vital dan
fungsi pernapasan.

Diagnosis perdarahan epidural ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis, serta
arteriogram karotis, echoensefalogram, serta CT scan. Pengobatan adalah dengan evakuasi
bedah hematoma dan mengatasi perdarahan arteria meningea media yang terkoyak. Intervensi
bedah harus dikerjakan dini sebelum penekanan jarigan otak menimbulkan kerusakan otak.
Mortalitas tetap tinggi meskipun diagnosis dan pengoatan dilakukan dini, yaitu karena trauma
dan gejala sisa berat yang menyertainya.

Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogen,
bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak
ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin,
densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras
secara intravena sehingga tampak lebih jelas
Gambar 2.21 Epidural Hematome

b. Perdarahan subdural
Sementara hematoma epidural pada umumnya berasal dari arteria, hematoma subdural
berasal dari vena. Hematoma ini timbul akibat ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural, yaitu ruangan yang terletak diantara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering
terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat.
Hematoma subdural dipilah menjadi berbagai tipe dengan gejala dan prognosis yang berbeda:
akut, subakut, dan kronik.

 SDH Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius dalam
24 sampai 48 jam setelah cedera. Hematoma sering berkaitan dengan trauma otak berat dan
juga mempunyai mortalitas yang tinggi. Defisit neurologik progresif disebabkan oleh tekanan
pada jaringan otak dan herniasi batang otak ke dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini cepat menimbulkan henti napas dan
hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula
interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom seperti
bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan
adanya hematom subdural.
Gambar 2.22 Subdural hematoma akut dengan kompresi ventrikel

 SDH Subakut
Hematoma subdural subakut menyebabkan defisit neurologik bermakna dalam waktu
lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua minggu setelah cedera. Riwayat klinis yang khas
pada penderita hematoma subdural subakut adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap. Namun setelah
jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang
memburuk. Tingkat kesadaran menurun secara bertahap dalam beberapa jam. Sejalan dengan
meningkatnya TIK akibat timbunan hematoma, pasien menjadi sulit dibangunkan dan tidak
berespons terhadap rangsangan verbal dan nyeri. Seperti pada hematoma subdural akut,
pergeseran isi intrakranial dan peningkatan tekanan intrakranial akibat timbunan darah akan
menyebabkan terjadinya herniasi unkus atau sentral dan timbulnya tanda neurologik akibat
kompresi batang otak.
 SDH Kronis
Pada penderita hematoma subdural kronik, trauma yang dialami dapat sangat sepele atau
terlupakan dan seringkali terjadi akibat cedera ringan. Trauma pertama merobek salah satu
vena yang melewati ruang subdural sehingga terjadi perdarahan lambat ke dalam ruang
subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan darah dikelilingi oleh membran fibrosa.
Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma sehingga terbentuk peredaan tekanan
osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan ke dalam hematoma. Bertambahnya ukuran
hematoma ini dapat menyebabkan perdarahan lebih lanjut akibat robekan membran atau
pembuluh darah di sekelilingnya sehingga meningkatkan ukuran dan tekanan hematoma.
Gejala dan tanda dari hematoma subdural kronik biasanya tidak spesifik , tidak
terlokalisasi, dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit lain. Bahaya terbesar pada
hematoma subdural kronik adalah terjadinya herniasi unkus temporal dan kematian.
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang
disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada
CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks,
berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut
adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens,
bahkan akhirnya menjadi hipodens.

Gambar 2.23. Subdural Hematom


c. Kontusio dan hematoma intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera otak berat) hampir selalu
berkaitan dengan perdarahan subdural akut. Kontusio serebri sangat sering terjadi di lobus
frontal dan lobus termporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk
batang otak dan serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intra serebral
traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau
hari mengalami evolusi membentuk perdarahan intra serebral atau kontusio yang luas
sehingga menyebabkan lesi desak ruang yang membutuhkan tindakan operasi. Hal ini timbul
kira-kira pada 20% dari seluruh pasien yang sudah ada kontusionya saat CT scan awal. Oleh
karena itu, pasien dengan kontusio serebri harus diperiksa CT Scan ulang 12-24 jam
berikutnya setelah CT-Scan pertama untuk mengevaluasi perubahan kontusio yang mungkin
terjadi3.
A B
Gambar 2.24. (A) Kontusio bilateral dengan perdarahan;
(B) intraparenkimal hematome

2) Cedera Otak Difus


Cedera otak difus berkisar dari mulai konkusio ringan sampai cedera iskemik hipoksik
berat, dengan gejala dan tanda yang bervariasi sesuai dengan keparahannya, tetapi amnesia
akibat kecelakaan merupakan tanda yang khas. Pasien biasanya bingung saat kejadian, dan
kebingungan terus menetap setelah cedera. Pada konkusio, pederita mengalami gangguan
neurologis nonfokal sesaat yang sering disertai dengan hilangnya kesadaran. Cedera difus
berat sering diakibatkan oleh gangguan hipoksik dan iskemik otak karena syok atau apneu
lama segera setelah terjadinya trauma. Pada keadaan ini, gambaran CT scan pada awalnya
tampak normal, atau otak tampak bengkak yang difus, dengan hilangnya gambaran substansia
alba dan nigra yang normal. Gambaran difus lainnya bisa tampak pada cedera akibat
kecepatan tinggi, yang menyebabkan gambaran punktata (bercak-bercak) di seluruh hemisfer
serebri, yang sering dilihat antara substansia alba dan nigra. “Shearing injuries” ini sering
disebut dengan diffuse axonal injury (DAI), yang didefinisikan sebagai sindrom klinis dari
cedera otak berat dengan bentuk yang bervariasi namun dengan outcome yang buruk.

Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal injury, DAI) adalah keadaan dimana penderita
mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi
masa atau serangan iskemia. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap
koma selama beberapa waktu. Penderita sering menunjukan gejala dekortikasi atau
deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.
Penderita-penderita sering menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer.
Membedakan antara cedera aksonal difus dan cedera otak karena hipoksia secara klinis tidak
mudah, dan memang kedua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan.

Gambar 2.25. CT Scan cedera difus

Tabel 2.3 Perbedaan pada Lesi Intrakranial


2.7 Penegakan Diagnosa
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesis, informasi penting yang harus ditanyakan adalah mekanisme trauma. Pada
pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan bersamaan dengan secondary survey.
Pemeriksaan meliputi tanda vital system organ, dan pemeriksaan neurologis yang lebih dalam
mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf cranial, fungsi motorik dan sensorik, serta
reflex fisiologis dan patologis. Pada bagian thoraks perlu diperiksa fungsi pernapasan dan
kardiovaskuler. Pada daerah abdomen perlu diperhatikan adanya kemungkinan cedera organ
dalam3.

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah:


1) Pemeriksaan Radiologi
a. Foto Rontgen
Pemeriksaan radiologi yang paling sering dan mudah dilakukan adalah rontgen kepala,
yang sering dijadikan pemeriksaan skrining adanya fraktur tulang tengkorak. Sejak
ditemukannya cr-scan, maka penggunaan foto Rontgen cranium dianggap kurang optimal.
Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu seperti fraktur pada vertex yang mungkin
lolos dari CT-scan dan dapat dideteksi dengan foto polos maka cr-scan dianggap lebih
menguntungkan dari pada foto Rontgen kepala.

Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia maka foto polos x-ray dapat
memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP (anteroposterior), lateral,
Towne's view dan tangensial terhadap bagian yang mengalami benturan untuk menunjukkan
suatu fraktur depresi. Bila diperlukan, dapat pula dilakukan foto lateral dari kedua sisi. Foto
polos cranium dapat menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik atau
pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur,
pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses osteolitik atau
osteoblastik. Dengan keunggulannya terhadap rontgen polos kepala maka jika ada indikasi
jelas untuk pemeriksaan CT-scan dianjurkan untuk tidak perlu lagi melakukan rontgen
kepala.
b. CT scan

Pemeriksaan CT-Scan harus segera dilakukan secepat mungkin, segera setelah


hemodinamik distabilkan. Pemeriksaan CT-scan ulang harus diulang bila terjadi perburukan
status klinis pasien dan secara rutin l2-24jam setelah trauma bila dijumpai gambaran kontusio
otak atau hematoma pada CT-Scan awalnya. Hasil pemeriksaan CT-scan yang berrnakna
antara lain pembengkakan kulit kepala atau perdarahan subgaleal ditempat benturan. Retak
atau garis fraktur tampak lebih jelas pada CT-Scan “bone window”. Penemuan terpenting
dalam CT-Scan Kepala adalah adanya perdarahn intracranial, kontusio dan pergeseran garis
tengah.

c. MRI (Magnetic Resonance Imaging)


MRI bernilai sebagai pemeriksaan penunjang tambahan terutama untuk kecurigaan adanya
cedera ligamnetum, jaringan lunak dan vaskuler.

2) Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang berguna pada kasus cedera kepala adalah :
a. Hb, berguna sebagai salah satu tanda adanya perdarahan hebat.
b. Leukosit, berguna sebagai salah satu indicator berat ringannya cedera kepala yang
terjadi.
c. Golongan darah, sebagai persiapan untuk tranfusi bila diperlukan.
d. Gula darah sewaktu, untuk memonitor pasien agar tidak terjadi hiper/hipoglikemia.
e. Fungsi ginjal
f. Analisa gas darah, terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran
g. Elektrolit, gangguan elektrolit merupakan salah satu penyebab terjadinya penurunan
kesadaran.

2.8 Penatalaksanaan Cedera Kepala


1) Penatalaksanaan Awal
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memiliki tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan
umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat3.
Prinsip penanganan awal meliputi primary survey dan secondary survey. Dalam
penatalaksanaan primary survey hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing,
circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada
penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah
penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak3,10.

1. Primary S u r v e y
Penilaian keadaan Penderita dan prioritas terapi dilakukan berdasarkan jenis perlakuan,
tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Pengelolaan penderita berupa primary, survey,
resusitasi, secondary survey dan terapi definitif (merupakan ABC-nya trauma) 3.

A. Airway, dengan Kontrol Servikal (Cervical Spine Control)


Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea3.

Usaha untuk membebaskan airway harus melindungi vertebra servikal. Sehingga


dianggap terdapat fraktur servikal pada setiap penderita multitrauma, terlebih bila ada
gangguan kesadaran atau perlukaan di atas klavikula. Hal ini dapat dimulai dengan
melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada pasien yang dapat berbicara walaupun dianggap
bahwa jalan napas bersih, penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan. Pasien
dengan GCS < 8 atau koma biasanya memerlukan pemasangan airway definitif yaiu intubasi
endotrakeal. Surgical airway (crico--thyroidotomy) dapat dilakukan bila intubasi endo-trakeal
tidak memungkinkan karena kontra-indikasi atau karena masalah teknis3.

Selama memeriksa dan memperbaiki airway harus diperhatikan bahwa tidak boleh
dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher. Dalam keadaan curiga fraktur sevical, harus
dipakai alat imobilisasi sampai kemungkinan fraktur servikal dapat disingkirkan.

B. Breathing dan Ventilasi


Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi baik meliputi fungsi
yang baik dari paru dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus dievaluasi secara
cepat. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mengganggu
ventilasi. Dada pasien harus dibuka untuk melihat ekspansi pernapasan. Auskultasi dilakukan
untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru3.
Gangguan pernapasan dapat terjadi karena gangguan yang bersifat sentral maupun
perifer. Kelainan perifer seperti adanya aspirasi atau trauma thoraks. Sedangkan kelainan
sentral berupa gangguan pusat nafas di otak. Untuk mengatasinya dicari penyebabnya terlebih
dahulu, sementara itu dapat diberikan oksigen dosis tinggi 10-15 liter/menit secara
intermitten9.

C. Circulation dengan Kontrol Perdarahan


1) Volume darah dan cardiac output
Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai terbukti
sebaliknya. Tiga penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi
mengenai keadaan hemodinamik3 :

a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang akan mengakibatkan
penurunan kesadaran (jangan dibalik : penderita yang sadar belum tentu
normovolemik)3.

b. Warna kulit
Penderita trauma yang kulitnya kemerahan (terutama pada wajah dan ekstremitas),
jarang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan dan kulit
ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hipovolemia3.

c. Nadi
Periksalah pada nadi yang besar seperti a.femoralis atau a.karotis (kiri-kanan), untuk
kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya
merupakan tanda normovolemia (bila penderita tidak minum obat beta-blocker). Nadi
yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan
yang lain. Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan bahwa normo-volemia. Nadi yang
tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi
dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi segera3.

2) Perdarahan
Perdarahan eksternal harus dikenali dan dikelola pada primary survey. Perdarahan
eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Lakukan kontrol perdarahan dengan
tekanan langsung atau secara operatip. Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya
2 IV line. Kateter IV yang dipakai harus berukuran besar. Besar arus (tetesan infus) yang
didapat tidak tergantung dari ukuran vena melainkan tergantung dari besar kateter IV dan
berbanding terbalik dengan panjang kateter IV. Pada awalnya sebaiknya menggunakan vena
pada lengan3.

Syok pada penderita trauma umumnya disebabkan hipovolemia. Pada saat datang
penderita di-infus cepat dengan 2-3 liter cairan kristaloid (Ringer Lactat). Bila tidak ada
respon dengan pemberian bolus kristoid tadi, diberikan darah segolongan (type specific). Bila
tidak ada darah segolongan dapat diberikan darah ke O Rhesus negatif, atau tipe O Rh positip
titer rendah3.

2. Secondary Survey
Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai, resusitasi dilakukan dan
ABC-nya penderita dipastikan membaik. Survai sekunder adalah pemeriksaan kepala-
sampai-kaki (head to toe examination), termasuk re-evaluasi pemeriksaan tanda vital. Pada
survai sekunder ini dilakukan pemeriksaan neurologi lengkap, termasuk mencatat skor GCS
bila belum dilakukan dalam survai primer. Pada secondary survey ini juga dikerjakan
pemeriksaan foto rontgen dan laboratoirum yang diperlukan. Evaluasi lengkap dari pasien
memerlukan anamnesis mengenai riwayat perlukaan dan pemeriksaan fisik berulang-ulang3.
1) Anamnesis
Riwayat "AMPLE" :

A : Alergi

M : Medikasi (obat yang diminum saat ini)

P : Past illness (penyakit penyerta)/Pregnancy

L : Last meal

E : Event\environment (lingkungan) yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.


Tabel 2.4. Mekanisme perlukaan dan pola perlukan

Mekanisme perlukaan Kemungkinan pola perlukan


Benturan frontal • fraktur servikal
• Kemudi bengkok • flail chest anterior
• Jejak lutut pada dashboard . kontusio miokard
• bull's eye pada kaca depan • Pneumothorax
• ruptur aorta
• ruptur lien/hepar
• fraktur/dislocatio coxae, lutut
Benturan sampling, mobil • Sprain servikal kontralateral
• Fraktur servikal
• flail chest lateral
• Pneumothorax
• ruptur aorta
• ruptur diafragma
• ruptur hepar/lien/ginjal
• fraktur elvis/asetabulum
Benturan belakang, mobil • Fraktur servikal
• Kerusakan jaringan lunak leher
Terlempar keluar, kendaraan • Semua jenis perlukaan
• Mortalitas jelas meningkat
Pejalan kaki >< mobil • Trauma kapitis
• Perlukaan toraks/abdomen
• Fraktur tungkai/pelvis

2) Pemeriksaan fisik3
1. Kepala
Survai sekunder mulai dengan evaluasi kepala. Seluruh kulit kepala dan kepala harus
diperiksa akan adanya luka, kontusio atau fraktur. Pemeriksaan mata :

a. ketajaman visus
b. Ukuran pupil
c. Perdarahan konjungtiva dan fundus
d. Luka tembus pada mata
e. Lensa kontak (ambil sebelum terjadi edema)
f. Dislocatio lentis
g. Jepitan otot bola mata
2. Maksilo-fasial
Penderita dengan fraktur tulang wajah mungkin juga ada fraktur pada lamina cribrosa.
Dalam hal ini, pemakaian kateter lambung harus melalui jalan oral.

3. Vertebra servikalis dan leher


Penderita dengan trauma kapitis atau maksilofasial dianggap fraktur servikal atau
kerusakan ligamentous servikal; pada leher kemudian dilakukan imobilisasi sampai
servikal telah diperiksa dengan teliti. Tidak adanya kelainan neurotogis tidak
menyingkirkan kemungkinan fraktur servikal, dan tidak adanya fraktur servikal hanya
ditegakkan setelah ada foto servikal dan foto ini telah diperiksa dokter yang
berpengalaman.

4. Thoraks
Inspeksi akan menunjukkan adanya, flail chest atau open pneumo-thorax. Palpasi harus
dilakukan pada setiap iga dan klavikula. Penekanan pada sternum dapat nyeri bila ada
fraktur sternum atau ada costochondral separation. Bising nafas diperiksa pada bagian
atas toraks untuk menentukan pneumo-toraks, dan pada bagian posterior untuk adanya
hemo-toraks.

Bunyi jantung yang lemah disertai tekanan nadi yang kecil mungkin disebabkan
tamponade jantung. Adanya tamponade jantung atau tension pneumo-thorax dapat
terlihat dari adanya distensi pada vena jugularis, walaupun adanya hipovolemia akan
meniadakan tanda ini. Melemahnya bising nafas dan hipersonor pada perkusi patu
disertai syok mungkin satu-satunya tanda akan adanya tension pneumo-toraks, yang
menandakan perlunya dekompresi segera. Mediastinum yang melebar atau
menyimpangnya merupakan tanda ruptur aorta.

5. Abdomen
Penderita dengan hipotensi yang tidak dapat diterangkan, kelainan neurologis, gangguan
kesadaran karena alkohol dan/atau obat dan penemuan pemeriksaan fisik abdomen yang
meragukan, harus dipertimbangkan diagnostik peritoneal lavage (DPL), USG abdomen,
atau bila keadaan umum memungkinkan, pemeriksaan CT Scan abdomen dengan
kontras.
6. Perineum / rektum / vagina
Perineum diperiksa akan adanya kontusio, hematoma, laserasi dan perdarahan uretra.
Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Kemungkinan adanya
darah dari lumen rektum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya
dinding rektum dan tonus m.sfinkter ani.

7. Muskulo-skeletal
Ekstremitas diperiksa untuk adanya luka atau deformitas. Fraktur yang kurang jelas dapat
ditegakkann dengan memeriksa adanya nyeri, krepitasi, gerakan abnormal. Gangguan
sensasi dan atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan kerusakan saraf
perifer atau iskemia (termasuk sindroma kompartemen).

8. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang teliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sensorik.

Perubahan dalam status neurologis dapat dikenal dengan pemeriksaan Glasgow Coma
Scale. Bila ada cedera kepala harus segera dilakukan konsultasi bedah saraf. Harus
dipantau tingkat kesadaran pasien, karena merupakan gambaran perkembangan cedera
intrakranial. Bila terjadi penurunan status neurologis, harus diteliti ulang perfusi,
oksigenasi, dan ventilasi (ABCDE). Mungkin diperlukan tindakan pembedahan atau
tindakan lain untuk mengukur tekanan intrakranial. Perlunya tindakan bedah bila ada
perdarahan epidural, subdural, atau fraktur kompresi ditenyukan oleh ahli bedah saraf3.

2) Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan (GCS 13-15)


Kira-kira 80 % penderita yang dibawa ke UGD dengan cedera kepala akan termasuk
dalam cedera kepala ringan. Penderita-penderita tersebut sadar namun dapat mengalami
amnesia terhadap hal-hal yang bersangkutan dengan cedera yang dialaminya. Dapat disertai
riwayat hilangnya kesadaran yang singkat namun sulit untuk dibuktikan terutama bila disertai
minum alkohol atau di bawah pengaruh obat-obatan3.

Sebagian besar penderita cedera kepala ringan pulih sempurna, walaupun mungkin ada
gejala sisa yang sangat ringan. Namun sebanyak 3% mengalami perburukan yang tidak
terduga, dengan akibat disfungsi neurologis yang berat, yang seharusnya dapat dicegah
dengan penemuan perubahan kesadaran yang lebih awal3.
Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit kepala
hebat. Namun bila pemeriksaan CT scan tidak dapat dilakukan segera dan kondisi penderita
tanpa gejala neurologis dan sadar penuh maka penderita dapat diobservasi selama 12-24 jam
di rumah sakit. Dalam suatu penelitian terhadap 658 penderita dengan cedera kepala ringan
yang mengalami kehilangan kesadaran sementara atau amnesia, dijumpai sebanyak 18%
terdapat abnormalitas pada pemeriksaan awal CT scan dan 5% diantaranya memerlukan
tindakan pembedahan, sedangkan 40% penderita dengan GCS 13 mempunyai CT scan yang
abnormal dan 10% memerlukan tindakan pembedahan, oleh karena itu GCS 13 diklasifikasi
sebagai cedera kepala sedang. Tidak seorangpun dari 542 penderita dengan CT scan Kepala
normal pada saat masuk rumah sakit menunjukan perburukan neurologis ataupun
memerlukan tindakan operatif. Walaupun demikian mungkin saja pada beberapa kasus
dengan CT scan awal yang normal timbul lesi masa beberapa jam kemudian3.

Dewasa ini, pemeriksaan foto ronsen kepala hanya dilakukan pada cedera kepala tembus
atau bila CT scan tidak tersedia. Bila pemeriksaan foto ronsen dilakukan maka dokter harus
menilai hal-hal berikut ini : (1) fraktur liner/depresi, (2) posisi kelenjar pineal yang biasanya
digaris tengah (bila terkalsifikasi), (3) batas udara air pada sinus-sinus, (4) pneumosefalus,
(5) fraktur tulang wajah, (6) benda asing. Pada cedera kepala ringan dijumpai adanya fraktur
tengkorak pada 3% penderita sedangkan pada cedera kepala berat sampai 65%. Kalvaria 3
kali lebih sering mengalami fraktur daripada dasar tengkorak. Fraktur dasar tengkorak sering
tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun adanya gejala klinis seperti ekimosis
periorbital, rhinorea, otorea, hemotimpani atau Battle's sign merupakan indikasi adanya
fraktur dasar tengkorak dan penderita harus dirawat dengan observasi khusus3.

Foto rontgen servikal dilakukan bila penderita mengeluh nyeri atau rasa pegal di leher.
Bila diperlukan dapat diberikan obat anti nyeri non narkotik seperti Kepala acetaminophen,
walaupun dapat juga diberikan kodein pada keadaan yang sangat nyeri. Suntikan toksoid
tetanus secara rutin diberikan pada setiap luka terbuka Bila tidak ada cedera lain,
pemeriksaan darah rutin tidak perlu dilakukan Pemeriksaan kadar alkohol dalam darah dan
pemeriksaan zat-zat toksik dalam urine sangat berguna baik untuk diagnostik maupun untuk
tujuan medikolegal. Penderita cedera kepala ringan yang memungkinkan untuk dibawa
kembali ke rumah sakit bila memburuk dapat dipulangkan dengan nasihat-nasihat yang perlu
bagi keluarganya.
Pada keluarga penderita diberikan lembar observasi penderita selama sedikitnya 12 jam
dan bila terdapat tanda-tanda perburukan agar segera dibawa kembali ke rumah sakit. Bila
tidak ada keluarga yang dapat dipercaya untuk observasi penderita dan CT scan pun tidak
tersedia, maka penderita sebaiknya tidak dilakukan observasi di rumah sakit selama beberapa
jam dan dilakukan evaluasi secara periodik mengenai fungsi neurologisnya dan dibolehkan
pulang bila tidak terdapat gejala perburukan3.

Bila pada CT scan jelas terdapat lesi masa, maka penderita harus dirawat oleh seorang
ahli bedah saraf dan mendapat penatalaksanaan selama beberapa hari sesuai dengan
perubahan status, neurologisnya. Bila ahli bedah saraf tidak ada di rumah sakit semula maka,
penderita harus segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki seorang ahli bedah saraf.
Pemeriksaan CT scan ulang perlu dilakukan sebelum penderita pulang atau segera dilakukan
bila keadaan memburuk3.

Algoritme Penatalaksanaan cedera kepala ringan


3) Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang (GCS 9-12)
Sepuluh persen dari penderita cedera kepala di UGD menderita cedera kepala sedang.
Mereka umumnya masih mampu menuruti perintah-perintah sederhana, namun biasanya
mereka tampak bingung atau mengantuk dan dapat disertai defisit neurologis fokal seperti
hemi paresis. Sebanyak 10-20% dari penderita cedera kepala sedang mengalami perburukan
dan jatuh dalam koma. Karena itu, penderita-penderita cedera kepala sedang harus
diperlakukan sebagai 'penderita cedera kepala berat, walaupun tidak secara rutin dilakukan
intubasi. Namun demikian airway harus selalu diperhatikan dan dijaga kelancarannya3.

Pada saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera dilakukan stabilisasi
kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan. CT scan kepala selalu
dilakukan pada setiap penderita cedera kepala sedang (dalam penelitian terhadap 341
penderita dengan GCS 9-12, ternyata 40% kasus menunjukan gambaran abnormal pada CT
scan inisial ini dan 8% diantaranya memerlukan tindakan pembrdahan).

Penderita harus dirawat untuk observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial
dilakukan selama 12-24 jam walaupun gambaran CT scan-nya normal. Bila status neurologis
penderita membaik dan CT scan berikutnya tidak menunjukan adanya lesi masa yang
memerlukan tindakan pembedahan maka penderita dapat dipulangkan beberapa hari
kemudian. Tetapi bila penderita jatuh dalam koma, maka prinsip penatalaksanaanya menjadi
sama dengan penatalaksanaan penderita dengan cedera kepala berat3.

Algoritme Penatalaksanaan cedera kepala sedang


4)Penatalaksanaan Cedera Kepala Berat (GCS: 3-8)
Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah-perintah
sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah distabilisasi. Walaupun definisi ini
mencakup berbagai jenis cedera kepala, tetapi mengidentifikasikan penderita-penderita yang
mempunyai resiko besar menderita morbiditas dan mortalitas yang berat. Pendekatan
"Tunggu dulu" pada penderita-penderita cedera kepala berat sangat berbahaya, karena
diagnosis serta terapi yang cepat sangatlah penting3.

Algoritme Penatalaksanaan cedera kepala Berat


Tabel 2. Ringkasan Penatalaksanaan cedera kepala

5)Terapi Medikamentosa
Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder
terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan
suasana yang optimal untuk pemulihan maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali,
sebaliknya bila sel saraf dalam keadaan tak memadai maka sel akan kehilangan fungsi sampai
mengalami kematian3.
A. Cairan intravena

Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap


normovolemia. Tindakan dehidrasi yang dulu dianggap sebagai konsep terapi bagi cedera
kepala, kini ternyata justru merupakan tindakan yang membahayakan bagi penderita3.
Namun, perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih. Jangan berikan cairan
hipotonik pada penderita cedera kepala. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat
menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu cairan
yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau Ringer's Lactate3.

Kadar Natrium atau serum juga harus dipertahankan dalam batas normal. Keadaan
hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya edema otak yang, harus dicegah atau diobati
secara agresif bila terjadi3.

B. Hiperventilasi

Hiperventilasi bekerja dengan menurunkan PC02 dan menyebabkan vasokonstriksi


pembuluh darah otak. Penurunan volume intra kranial ini akan menurunkan TIK.
Hiperventilasi yang berlangsung lama dan agresif dapat menyebabkan iskemia otak karena
terjadinya vasokonstriksi serebri berat yang pada akhirnya menurunkan perfusi otak.
Terutama bila PC02 turun sampai di bawah 30 mm Hg (4,0 kPa) 3.

Umumnya, PC02 dipertahankan pada 35 mm Hg atau sedikit di atas. Hiperventilasi


dalam waktu singkat (PaCO2 antara 25-30 mmHg) dapat dilakukan jika diperlukan pada
keadaan perburukan neurologis akut sementara pengobatan lainnya baru mau dimulai3.

C. Antikonvulsan

Epilepsi pasca trauma terjadi pada 5% penderita yang dirawat di RS dengan cedera
kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 fakor utama yang berkaitan
dengan epilepsi (1) kejang awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2) perdarahan intra
kranial, dan (3) fraktur depresi3.

Penelitian terakhir menunjukkan bahwa penggunaan antikonvulsan profilaktik tidak


bermanfaat mencegah terjadinya epilepsi pasca trauma, tetapi dalam penelitian uji buta ganda
ternyata phenytoin bermanfaat dalam mengurangi insidens terjadinya kejang dalam minggu
pertama cedera namun tidak setelah itu3.
Fenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Untuk dewasa dosis awalnya
adalah 1g yang diberikan secara intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari
50 mg/menit. Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8jam, dengan titrasi untuk mencapai
kadar terapeutik serum. Pada pasien dengan kejang berkepanjangan diazepam atau lorazepam
digunakan sebagai tambahan selain fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi kejang
yang terus menerus kadang memerlukan anestesi umum. Sangat jelas bahwa kejang harus
dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung lama (30 sampai 60 menit) dapat
menyebabkan cedera otak3.

D. Manitol

Manitol digunakan secara luas untuk menurunkan TIK, biasanya dengan konsentrasi
cairan 20%. Dosis yang biasanya dipakai adalah 1 gram / kg BB diberikan secara bolus intra
vena. Dosis tinggi manitol tidak boleh diberikan pada penderita hipotensi karena akan
memperberat hipovolemia. Indikasi yang jelas penggunaan manitol adalah pada penderita
koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal tetapi kemudian timbul dilatasi pupil
dengan atau tanpa hemiparesis. Pada keadaan ini pemberian bolus manitol (1 g/kg) harus
dihabiskan secara cepat (sampai 5 menit) dan penderita segera dibawa ke CT Scan atau
langsung ke kamar operasi3.

Manitol juga diberikan pada penderita-penderita dengan pupil dilatasi bilateral dan reaksi
cahaya pupil negatif namun tidak hipotensi. Indikasi pemberian manitol untuk penderita-
penderita cedera kepala tanpa defisit neurologis fokal atau tanpa perburukan neurologis
tidaklah jelas3.

E. Barbiturat

Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obat atau
prosedur yang biasa. Namun tidak boleh diberikan bila terdapat hipotensi, karena barbiturat
sendiri juga menurunkan tekanan darah (tidak boleh diberikan pada fase akut resusitasi) 3.
6) Pembedahan
Manajemen operatif kadang diperlukan pada luka kulit kepala, lesi massa intracranial, dan
cedera tajam pada otak3.

A. Luka Kulit Kepala

Penyebab utama infeksi luka kulit kepala adalah pencucian luka dan debridement yang
tidak adekuat. Luka kulit kepala dapat menyebabkan kehilangan darah yang cukup ekstensif
terutama pada anak-anak3.

Pada penderita dewasa, perdarahan akibat luka kulit kepala jarang menyebabkan syok.
Perdarahan dari laserasi kulit kepala yang dalam dapat dihentikan dengan penekanan lokal
langsung, kauterisasi atau ligasi pembuluh besar, kemudian dilakukan penjahitan luka. Hal
penting yang harus dilakukan adalah inspeksi secara cermat untuk menentukan adanya
fraktur tengkorak atau benda asing. Terdapatnya CSS pada luka menunjukkan adanya
robekan duramater3.

Tidak jarang, perdarahan subgaleal teraba seperti fraktur depresi. Dalam keadaan ini
diperlukan pemeriksaan foto polos tengkorak atau CT Scan. Luka kulit kepala yang berada di
atas daerah sinus sagitalis superior atau sinus venosus lainnya harus ditolong oleh seorang
ahli bedah saraf di kamar operasi3.

B. Fraktur depresi Tengkorak

Umumnya fraktur depresi yang memerlukan koreksi secara operatif adalah bila tebalnya
depresi lebih besar dari ketebalan tulang didekatnya. Pemeriksaan CT Scan dapat
menggambarkan secara jelas beratnya depresi tulang dan yang lebih penting menentukan ada
tidaknya perdarahan intra kranial atau adanya suatu kontusio3.

C. Lesi-lesi Masa Intrakranial

Lesi ini harus dikeluarkan atau dirawat oleh seorang ahli bedah saraf. Prosedur
pembedahan ini khususnya untuk pasien dengan status neurologi yang memburuk dengan
cepat dan tidak membaik dengan terapi non-bedah3.
2.8 PROGNOSIS

Semua penderita mendapat terapi agresif menurut konsultasi seorang ahli bedah saraf.
terutama pada penderita anak-anak yang biasanya memiliki daya pemulihan yang baik.
Penderita berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk
pemulihan dari cedera kepala3.
BAB III

KESIMPULAN

1. Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
2. Distribusi kasus cedera kepala pada laki-laki dua kali lebih sering dibandingkan
perempuan dan separuh pasien berusia 15-34 tahun.
3. Dua tahapan kerusakan didalam terjadinya kerusakan jaringan otak (brain damage)
setelah trauma kepala berupa primary damage dan secondary damage.
4. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan mekanisme, berat ringannya cedera, dan
morfologinya.
5. Penegakan diagnosa cedera kepala berdarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
6. Penatalaksanaan cedera kepala meliputi penatalaksanaan awal, penatalaksanaan
berdasarkan berat ringannya cedera, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan. Jika
diperlukan.
7. Prognosis Cedera kepala pada anak-anak lebih baik dibandingkan usia lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai