CEDERA KEPALA
UNIVERSITAS JAMBI
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera Kepala merupakan jenis trauma yang paling sering ditemui di Instalasi Gawat
Darurat (IGD). Banyak pasien dengan cedera kepala berat meninggal sebelum mencapai
rumah sakit, dimana 90% dari kasus trauma yang menyebabkan kematian melibatkan cedera
kepala. 75% pasien cedera kepala yang mendapat perhatian medis adalah pasien dengan
cedera kepala ringan, 15% dengan cedera kepala sedang, dan 10% dengan cedera kepala
berat. Di Amerika cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak untuk kelompok
usia produktif (15-44 tahun) dan merupakan penyebab kematian ketiga secara keseluruhan.1,2
Didapatkan data terbaru dari Amerika, diperkirakan setiap tahunnya terdapat 1,700,000
pasien yang mengalami kasus cedera kepala, termasuk 275.000 yang dirawat inap dan 52.000
kematian. Pasien yang pernah mengalami cedera kepala sering mengalami kerusakan
neuropsikologik yang berpengaruh pada aktivitas kerja dan sosial. Setiap tahun, diperkirakan
80.000 sampai 90.000 masyarakat di Amerika mengalami komplikasi jangka panjang akibat
cedera kepala. Berdasarkan data statistik ini, jelas bahwa penurunan tingkat kematian dan
kesakitan memiliki pengaruh besar pada kesehatan masyarakat.2
Penyebab tersering adalah kecelakaan motor, mobil, jatuh, cedera olahraga, dan
perkelahian. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kematian dan
disabilitas pada masyarakat usia produktif. Cedera dapat bervariasi dari geger otak ringan
sampai kerusakan otak berat permanen. Cedera kepala dapat sangat berdampak pada
kehidupan seseorang, seperti dalam kemampuan fisik dan mental, emosi dan personality.
Pengobatan cedera kepala ringan hanya memerlukan istirahat dan pengobatan, sedangkan
cedera kepala berat membutuhkan perawatan intensive dan operasi guna menyelamatkan
pasien. Kebanyakan pasien cedera kepala sedang dan membutuhkan rehabilitasi untuk
mempelajari bakatnya.1
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya. Tanpa
perlindungan ini, otak yang lembut (yang membuat kita seperti adanya) akan mudah sekali
terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, begitu rusak, neuron tidak dapat
diperbaiki lagi. Cedera dapat mengakibatkan malapetaka bagi seseorang.
Tujuan utama dari tatalaksana pasien dengan suspek cedera kepala adalah mencegah
cedera kepala sekunder. Menyediakan oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan
darah terkait perfusi ke otak merupakan tindakan yang sangat penting dilakukan untuk
mencegah cedera kepala sekunder dan meningkatkan outcome pasien. Prognosis pasien
cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.2
TINJAUAN PUSTAKA
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya. Tanpa
perlindungan ini, otak yang lembut (yang membuat kita seperti adanya) akan mudah sekali
terkena cedera dan mengalami kerusakan. Tinjauan anatomi kepala meliputi scalp atau kulit
kepala, tulang tengkorak, meninges, otak, sistem ventrikular, dan kompartemen intrakranial.
(Gambar 2.1)
Kulit kepala merupakan jaringan lunak yang menutupi tulang tengkorak. Kulit kepala
memanjang dari alis, menutupi garis supra-silia os frontal sampai garis nuchal superior dan
berujung di os occipital. Secara lateral kulit kepala memanjang arkus zygomatikus dan
meatus auditorius eksternal (Gambar 1).3
Kulit kepala kaya akan suplai darah maka dari itu apabila terdapat laserasi pada kulit
kepala dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah banyak, shock hemorrhagic, dan bahkan
kematian. Hal ini terutma terjdi pada pasien ditransportasi dalam waktu lama.2 Kulit kepala
terdiri dari 5 lapisanyang disebut sebagai SCALP yaitu:
Skin atau kulit. Skin bersifat tebal dan mengandung rambut serta kelenjar sebasea
(keringat).
Connective tissue atau jaringan penyambung. Merupakan jaringan lemak yang
memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah. Pembuluh darah tersebut merupakan
anastomosis antara arteri karotis interna dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis
eksterna.
Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung
dengan tengkorak. Aponeurosis galea merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang melekat
pada tiga otot, yaitu m.frontalis (anterior), m.occipitalis (posterior), m.temporoparietalis
(lateral). Ketiga otot ini dipersarafi oleh N. VII.
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Loose areolar tissue,
lapisan ini mengandung vena emissary yang merupakan vena tanpa katup, menghubungkan
SCALP, vena diploica, dan sinus vena intrakranial. Jika terjadi infeksi pada lapisan ini, akan
dengan mudah menyebar ke intrakranial. Avulsi SCALP bisa terjadi pada lapisan ini.
Hematoma yang terjadi pada lapisan ini disebut Subgaleal hematom, merupakan hematoma
yang paling sering ditemukan setelah cedera kepala, terutama anak-anak.
Perikranium, merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak, melekat erat
terutama pada sutura karena melalui sutura ini periosteum akan langsung berhubungan
dengan endosteum. Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika
dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit
kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit
kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita
dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk
mengeluarkannya.3
2. Tulang Tengkorak
Cranium atau tulang tengkorak dibentuk oleh banyak tulang besar dan kecil. Tulang
tengkorak termasuk tulang gepeng, dan secara absolut tidak dapat bertambah volumenya
terutama pada orang dewasa. Kranium terdiri atas 3 lapisan yaitu lamina externa, lamina
interna, dan diploe atau sumsum tulang merah diantara kedua lamina. Di sebelah luar tulang
ini dilapisi pericranium dan di sebelah dalam oleh duramater. Tulang-tulang yang membatasi
rongga kepala (cavitas cranii) disebut neurocranium dan dibagi menjadi bagian dasar rongga
kepala atau basis cranii dan atap rongga kepala atau calvaria.3
Basis cranii berbentuk tidak rata, banyak lekukan dan lubang, sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Basis cranii dibagi atas 3
fosa yaitu fossa cranii anterior tempat lobus frontalis otak, fossa cranii media tempat lobus
temporalis otak dan fossa cranii posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan
serebelum.3
3. Meninges
Meninges merupakan selaput yang melapisi otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu dura
mater, arachnoidea, dan dura mater.
1) Duramater
Dura mater merupakan lapisan keras membran fibrosa yang melekat erat pada
permukaan dalam tulang tengkorak. Pada suatu bagian, dura mater terpisah menjadi dua
lapisan yang menutupi sinus vena besar, yang merupakan drainase utama darah dari otak.
Lapisan luar disebut lapisan periosteal, langsung melekat pada endosteum tabula interna dan
lapisan dalam disebut lapisan meningeal. Lapisan bagian dalam akan melebar serta melekuk
membentuk sekat-sekat otak (falks, tentorium). Di antara tulang tengkorak dengan dura mater
terdapat rongga epidural. Lapisan dura mater yang menyatu dengan endostium mempunyai
pinggiran yang sesuai dengan dengan sisi setiap tulang kepala. Dengan demikian, rongga
epidural juga mempunyai batas sesuai tulang yang berhadapan. Oleh karena itu, pada kasus
perdarahan epidural akan didapati ‘benjolan’ (hematoma epidural) yang sesuai dengan
bentuk dan ukuran tulang kepala yang berhubungan.1
Arteri meningeal terletak di rongga epidural. Fraktur pada tengkorak dapat menyebabkan
laserasi pada arteri ini dan menyebabkan hematoma epidural. Arteri meningeal yang paling
sering mengalami laserasi adalah arteri meningeal media, yang terletak pada fossa temporalis.
Hematoma yang meluas dari perdarahan arteri ini dapat menyebabkan perburukan secara
cepat bahkan kematian. Sebagian besar hematoma epidural merupakan kasus emergensi dan
harus ditangani ahli bedah saraf sesegera mungkin.2
2) Arakhnoid
Di bawah lapisan dura mater, terdapat lapisan arachnoid mater yang tipis, avaskuler, dan
trasparan. Lapisan ini mendapatkan nutrisi dari CSS (Cairan Serebospinal). Dura mater tidak
menempel pada arachnoid, dan terdapat rongga di antaranya yaitu rongga subdural, dan dapat
terjadi perdarahan pada rongga ini. Pada cedera kepala, vena yang berjalan pada permukaan
otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah, disebut Bridging Vein, dapat mengalami
ruptur dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah
vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat.
3) Pia mater
Lapisan terakhir disebut pia mater, melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia
mater terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan epipial (luar) dan lapisan pia-glia (dalam). Pia
mater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk ke dalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu
dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk ke dalam substansi otak juga diliputi oleh
pia mater. Di antara lapisan arachnoid dan pia mater terdapat rongga subarachnoid yang
berisi Cairan Serebrospinal (CSS) yang berfungsi sebagai bantalan otak dan medula spinalis.
Perdarahan pada rongga ini (subarachnoid hemorrhage) sering terjadi pada kontusio serebri
atau ruptur pembuluh darah besar pada bagian bawah otak.4
4. OTAK
Berat otak manusia sekitar 1.400 gram, tersusun oleh sekitar 100 triliun neuron. Masing-
masing neuron mempunyai 1.000 sampai 10.000 koneksi sinaps dengan sel saraf lainnya.
Otak merupakan organ dengan konsistensi kenyal dan terletak di dalam ruangan yang tertutup
oleh tulang tengkorak. Tulang tengkorak atau kranium ini secara absolut tidak dapat
bertambah volumenya terutama pada orang dewasa. 1
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak. Serebrum terdiri dari
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri, yaitu lipatan duramater yang
merupakan lanjutan dari sinus sagitalis superior di garis tengah. Pada hemisfer serebri kiri
terdapat pusat bicara pada orang normal, dan juga pada lebih dari 85% orang kidal. Hemisfer
otak yang mengandung pusat bicara disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontal
mengontrol inisiatif, emosi, fungsi motoric dan pada sisi yang dominan mengandung pusat
ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Pada orang normal dan
sebagian orang kidal, lobus temporal kiri bertanggung jawab dalam kemampuan menerima
rangsang dan integrasi bicara. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam penglihatan.
Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbrain), pons dan medulla oblongata. Pada
mesensefalon dan pons bagian atas terdapat reticular activating system yang
bertanggungjawab dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pusat kardiorespiratorik berada di
medulla oblongata yang berlanjut memanjang menjadi medulla spinalis. Lesi yang kecil pada
batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat. Serebelum terutama
bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fosa posterior,
membentuk hubungan dengan medulla spinalis, batang otak dan akhirnya dengan kedua
hemisfer serebri.
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena
otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak
mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis6
5. Kompartmen Intrakranial
1) Tentorium
1. Tekanan Intrakranial
Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan relatif di dalam rongga kepala terhadap
tekanan atmosfer yang dihasilkan oleh keberadaan jaringan otak, cairan serebrospinalis
(CSS), dan volume sirkulasi darah otak. Pada keadaan fisiologis normal volume intrakranial
yang selalu dipertahankan konstan dengan tekanan intrakranial adalah 10-15 mmHg. (bedah
saraf).
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan kenaikan tekanan
intrakanial (TIK). Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau
memperberat iskemia. TIK lebih tinggi dari 20 mmHg, terutama bila menetap dan sulit
diatasi berdampak pada outcome yang buruk.2
2. Doktrin Monro-Kellie
Doktrin Monro-Kellie merupakan suatu konsep sederhana tetapi penting untuk
memahami dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa tekanan intracranial harus selalu
konstan, karena rongga cranium pada dasarnya merupakan rongga yang kaku, tidak elastik
dan tidak mungkin mekar, kecuali pada anak-anak dimana sutura tulang tengkoraknya belum
menutup. Darah didalam vena dan CSS dapat dikeluarkan dan dipindahkan dari rongga
tengkorak, sehingga TIK tetap normal.
Bila pada suatu keadaan dimana didapatkan adanya suatu penambahan massa
intrakranial, maka sebagai kompensasi awal adalah penurunan volume darah vena dan likuor,
sehingga TIK masih tetap normal. Sistem vena akan segera menyempit bahkan kolaps dan
darah akan diperas ke luar melalui vena jugularis atau melalui vena-vena emisaria dan kulit
kepala. Kompensasi selanjutnya adalah CSS juga akan terdesak melalui foramen magnum ke
arah rongga subarakhnoid spinalis. Mekanisme kompensasi ini hanya berlangsung sampai
batas tertentu yang disebut sebagai titik batas ompensasi dan kemudian akan terjadi
peningkatan tekanan intrakranial yang hebat secara tiba-tiba.
Doktrin Monro-Kellie yaitu “Volume intrakranial adalah tetap, Volume intrakranial (Vic)
adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan
otak (Vbr), volume cairan serebrospinal (Vcsf) dan volume darah (Vbl).”
Cedera otak berat yang dapat menyebabkan koma dapat mengakibatkan penurunan ADO
dalam beberapa jam pertama sejak trauma. ADO biasanya akan meningkat setelah 2-3 hari,
tetapi pada pasien yang tetap koma, ADO tetap dibawah normal sampai beberapa hari atau
minggu setelah trauma. Semakin banyak bukti yang menyatakan bahwa ADO tidak dapat
mencukupi kebutuhan metabolisme otak segera setelah trauma, sehingga sering
mengakibatkan iskemi otak fokal ataupun menyeluruh3.
Pembuluh darah prekapiler normal memiliki kemampuan untuk berkonstriksi ataupun
dilatasi sebagai respon terhadap perfusi otak/TPO (CPP= Cerebral perfusion pressure), yang
secara klinis didefinisikan sebagai tekanan darah arteri rata-rata dikurangi tekanan
intracranial. CPP sebesar 50-150 mmHg diperlukan untuk memelihara aliran darah otak tetap
konstan (autoregulasi tekanan) 3.
Otak yang cedera akan mengalami iskemia dan infark sehubungan dengan penurunan
ADO sebagai akibat cedera itu sendiri. Keadaan iskemi awal tersebut akan dengan mudah
diperberat oleh adanya hipotensi, hipoksia, dan hipokapnia sebagai akibat hiperventilasi
agresif yang kita lakukan3,10.
Oleh karena itu, semua tindakan ditujukan untuk meningkatkan aliran darah dan perfusi
otak dengan cara menurunkan TIK, memelihara kecukupan volume intrakranial,
mempertahankan tekanan darah arteri rata-rata (MAP= Mean Arterial Blood Pressure) dan
memperbaiki oksigenasi serta mengusahakan normokapnia3.
Perdarahan dan lesi lain yang meningkatkan volume intrakranial harus segera dievakuasi.
Mempertahankan tekanan perfusi otak diatas 60 mmHg sangat membantu untuk memperbaiki
ADO (namun tekanan yang sangat tinggi dapat memperburuk keadaan paru-paru) 3.
1. Translasi.
1) Akselerasi.
Bila kepala yang bergerak kesatu arah tiba-tiba mendapat gaya yang kuat searah dengan
gerakan kepala maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut. Mula-
mula tulang tengkorak yang bergerak lebih cepat, jaringan otak masih diam, kemudian
jaringan otak ikut bergerak kearah yang sama, peristiwa ini terjadi sangat cepat dalam waktu
yang singkat.
Pada peristiwa ini terjadi gesekan antara jaringan otak dan dasar tengkorak serta terjadi
benturan antara jaringan otak dan dinding tengkorak. Mekanisme akselerasi dapat
menyebabkan luka/ robekan/ laserasi pada bagian bawah jaringan otak dan memar pada
jaringan otak.
2) Deselerasi.
Bila kepala bergerak dengan cepat ke satu arah tiba-tiba dihentikan oleh suatu benda,
misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba akan terhenti gerakannya. Kepala
mengalami deselerasi (perlambatan) secara mendadak.
Mula-mula tengkorak akan terhenti gerakannya karena menabrak tengkorak peristiwa ini
juga terjadi sangat cepat dalam waktu singkat. Mekanisme deselerasi dapat menyebabkan
kelainan serupa seperti pada mekanisme akselerasi.
2. Rotasi.
Batang otak (brain stem) berupa sebuah “batang” yang terletak di bagian tengah jaringan
otak dan berjalan vertikal ke arah foramen magnum, sehingga otak seolah-olah terletak pada
sebuah sumbu (axis). Bila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya mendadak, misalnya pada
bagian depan (frontal) atau pada bagian belakang (oksipital), maka otak akan terputar pada
“sumbu”nya.
Mekanisme rotasi dapat menyebabkan laserasi dari bagian bawah jaringan otak dan
kerusakan pada batang otak. Kerusakan pada batang otak dapat merupakan peristiwa yang
mematikan. Mekanisme rotasi dapat terjadi pada seorang petinju yang mendapat pukulan
“jab” yang sangat keras.
Didalam kejadian yang sebenarnya, misalnya trauma kepala karena kecelakaan lalu lintas,
ketiga mekanisme tersebut diatas terjadi secara bersamaan. Ada 2 tahapan kerusakan didalam
terjadinya kerusakan jaringan otak (brain damage) setelah trauma kepala :
a) Primary damage
Yaitu kerusakan yang terjadi pada saat kejadian trauma kepala, dapat berbentuk laserasi
kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, laserasi dan contusio (luka dan memar) dari jaringan
otak dan diffuse axonal injury (DAI)8.
DAI disebabkan banyaknya serabut-serabut saraf pada jaringan otak yang terputus pada
waktu terjadinya trauma. Tetapi masih ada beberapa peneliti yang mengatakan DAI terjadi
karena edema jaringan otak. Hypoxia atau karena kerusakan batang otak. DAI ditandai
dengan adanya koma yang lama yang terjadi segera setelah trauma kepala yang berat3.
Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda
paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh
proses akselarasi deselarasi gerakan kepala1.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera
primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya
disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi
yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat
dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang
berlawanan dari benturan (contrecoup)6.
b) Secondary damage
Yaitu kerusakan yang terjadi akibat komplikasi dari proses-proses yang terjadi pada saat
trauma kepala dan baru menunjukkan gejala beberapa saat kemudian (biasanya beberapa jam
kemudian)9.
2. Lesi Intrakranial
a. Fokal Epidural
Subdural
Intraserebral
b. Difus
Konkusio
Kontusio multipel
Cedera hipoksik/iskemik
Axonal injury
2.6.1 Mekanisme Cedera Kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera
kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil atau
motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala tembus disebabkan
oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput duramater menentukan cedera apakah
cedera tembus atau tumpul3.
Fraktur basis kranii merupakan fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk dasar
tengkorak. Dasar tengkorak terbagi atas tiga bagian yaitu fossa anterior, fosa media, fosa
posterior. Fraktur basis kranii biasanya berdiri sendiri, hanya kadang-kadang saja merupakan
lanjutan dari fraktur kalvarium. Pada umumnya fraktur terjadi pada os petrosum, supraorbita,
atau pada basis oksiput.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan
untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis
periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS
(Rhinorrhea, otorrhea) dan parese nervus VII dan VIII yang dapat timbul segera atau
beberapa hari setelah trauma. Kebocoran likuor serebro-spinalis menandakan adanya
duramater yang robek, namun sebaliknya tidak semua dura yang robek menimbulkan
kebocoran likuor.
Kebocoran likuor serebrospinal dapat berhenti secara spontan. Biasanya patah tulang
dasar tengkorak tidak memerlukan tindakan bedah, kecuali jika likuorea menetap. Bila dalam
waktu dua miggu likuorea tidak berhenti, diperlukan tindakan bedah untuk menutup robekan
duramater.
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk
cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma
subdural, kontusi dan hematoma intraserebral.
Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal
namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis
neurologis penderita sangat buruk. Berdasarkan pada dalamnya dan lamanya koma, maka
cedera difus dikelompokkan menurut Kontusio Ringan, Kontusio Klasik dan Cedera Aksonal
Difus (CAD)3.
1) Lesi Fokal
a. Perdarahan epidural
Hematoma epidural relatif jarang, terjadi pada kira-kira 0,5% pederita dengan cedera
otak dan pada 9% penderita TBI yang koma. Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan
yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater. Hematoma epidural
berbentuk bikonveks atau lentikuler karena dia menekan dura dari tabula interna tulang
tengkorak. Paling sering terjadi di daerah temporal atau temporo parietal dan disebabkan oleh
arteri meningea media karena adanya fraktur. Biasanya bekuan darah berasal dari arteri;
namun bisa juga disebabkan robekan sinus venosus besar atau perdarahan dari fraktur tulang
tengkorak.
Gejala dan tanda yang tampak bervariasi, tetapi penderita hematom epidural yang khas
memiliki riwayat cedera kepala dengan periode tidak sadar dalam waktu pendek, diikuti oleh
periode lusid. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa interval lusid bukan merupakan
tanda diagnostik yang dipercaya pada hematom epidural. Pertama, interval lusid mungkin
berlalu tanpa diketahui, terutama bila hanya sekejap saja. Kedua, penderita dengan cedera
otak berat tambahan dapat tetap berada dalam keadaan stupor.
Hematoma yang meluas di daerah temporal menyebabkan tertekannya lobus temporalis
otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus (unkus dan
sebagian dari girus hipokampus) mengalami herniasi di bawah tepi tentorium. Keadaan ini
menyebabkan tibulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis. Dengan
makin meluasnya hematoma, seluruh isi otak akan terdorong ke arah yang berlawanan
sehingga terjadi peningkatan TIK, termasuk kekakuan deserbrasi dan gangguan tand vital dan
fungsi pernapasan.
Diagnosis perdarahan epidural ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis, serta
arteriogram karotis, echoensefalogram, serta CT scan. Pengobatan adalah dengan evakuasi
bedah hematoma dan mengatasi perdarahan arteria meningea media yang terkoyak. Intervensi
bedah harus dikerjakan dini sebelum penekanan jarigan otak menimbulkan kerusakan otak.
Mortalitas tetap tinggi meskipun diagnosis dan pengoatan dilakukan dini, yaitu karena trauma
dan gejala sisa berat yang menyertainya.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogen,
bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak
ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin,
densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras
secara intravena sehingga tampak lebih jelas
Gambar 2.21 Epidural Hematome
b. Perdarahan subdural
Sementara hematoma epidural pada umumnya berasal dari arteria, hematoma subdural
berasal dari vena. Hematoma ini timbul akibat ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural, yaitu ruangan yang terletak diantara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering
terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat.
Hematoma subdural dipilah menjadi berbagai tipe dengan gejala dan prognosis yang berbeda:
akut, subakut, dan kronik.
SDH Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius dalam
24 sampai 48 jam setelah cedera. Hematoma sering berkaitan dengan trauma otak berat dan
juga mempunyai mortalitas yang tinggi. Defisit neurologik progresif disebabkan oleh tekanan
pada jaringan otak dan herniasi batang otak ke dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini cepat menimbulkan henti napas dan
hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula
interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom seperti
bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan
adanya hematom subdural.
Gambar 2.22 Subdural hematoma akut dengan kompresi ventrikel
SDH Subakut
Hematoma subdural subakut menyebabkan defisit neurologik bermakna dalam waktu
lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua minggu setelah cedera. Riwayat klinis yang khas
pada penderita hematoma subdural subakut adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap. Namun setelah
jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang
memburuk. Tingkat kesadaran menurun secara bertahap dalam beberapa jam. Sejalan dengan
meningkatnya TIK akibat timbunan hematoma, pasien menjadi sulit dibangunkan dan tidak
berespons terhadap rangsangan verbal dan nyeri. Seperti pada hematoma subdural akut,
pergeseran isi intrakranial dan peningkatan tekanan intrakranial akibat timbunan darah akan
menyebabkan terjadinya herniasi unkus atau sentral dan timbulnya tanda neurologik akibat
kompresi batang otak.
SDH Kronis
Pada penderita hematoma subdural kronik, trauma yang dialami dapat sangat sepele atau
terlupakan dan seringkali terjadi akibat cedera ringan. Trauma pertama merobek salah satu
vena yang melewati ruang subdural sehingga terjadi perdarahan lambat ke dalam ruang
subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan darah dikelilingi oleh membran fibrosa.
Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma sehingga terbentuk peredaan tekanan
osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan ke dalam hematoma. Bertambahnya ukuran
hematoma ini dapat menyebabkan perdarahan lebih lanjut akibat robekan membran atau
pembuluh darah di sekelilingnya sehingga meningkatkan ukuran dan tekanan hematoma.
Gejala dan tanda dari hematoma subdural kronik biasanya tidak spesifik , tidak
terlokalisasi, dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit lain. Bahaya terbesar pada
hematoma subdural kronik adalah terjadinya herniasi unkus temporal dan kematian.
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang
disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada
CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks,
berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut
adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens,
bahkan akhirnya menjadi hipodens.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal injury, DAI) adalah keadaan dimana penderita
mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi
masa atau serangan iskemia. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap
koma selama beberapa waktu. Penderita sering menunjukan gejala dekortikasi atau
deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.
Penderita-penderita sering menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer.
Membedakan antara cedera aksonal difus dan cedera otak karena hipoksia secara klinis tidak
mudah, dan memang kedua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia maka foto polos x-ray dapat
memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP (anteroposterior), lateral,
Towne's view dan tangensial terhadap bagian yang mengalami benturan untuk menunjukkan
suatu fraktur depresi. Bila diperlukan, dapat pula dilakukan foto lateral dari kedua sisi. Foto
polos cranium dapat menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik atau
pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur,
pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses osteolitik atau
osteoblastik. Dengan keunggulannya terhadap rontgen polos kepala maka jika ada indikasi
jelas untuk pemeriksaan CT-scan dianjurkan untuk tidak perlu lagi melakukan rontgen
kepala.
b. CT scan
2) Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang berguna pada kasus cedera kepala adalah :
a. Hb, berguna sebagai salah satu tanda adanya perdarahan hebat.
b. Leukosit, berguna sebagai salah satu indicator berat ringannya cedera kepala yang
terjadi.
c. Golongan darah, sebagai persiapan untuk tranfusi bila diperlukan.
d. Gula darah sewaktu, untuk memonitor pasien agar tidak terjadi hiper/hipoglikemia.
e. Fungsi ginjal
f. Analisa gas darah, terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran
g. Elektrolit, gangguan elektrolit merupakan salah satu penyebab terjadinya penurunan
kesadaran.
1. Primary S u r v e y
Penilaian keadaan Penderita dan prioritas terapi dilakukan berdasarkan jenis perlakuan,
tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Pengelolaan penderita berupa primary, survey,
resusitasi, secondary survey dan terapi definitif (merupakan ABC-nya trauma) 3.
Selama memeriksa dan memperbaiki airway harus diperhatikan bahwa tidak boleh
dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher. Dalam keadaan curiga fraktur sevical, harus
dipakai alat imobilisasi sampai kemungkinan fraktur servikal dapat disingkirkan.
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang akan mengakibatkan
penurunan kesadaran (jangan dibalik : penderita yang sadar belum tentu
normovolemik)3.
b. Warna kulit
Penderita trauma yang kulitnya kemerahan (terutama pada wajah dan ekstremitas),
jarang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan dan kulit
ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hipovolemia3.
c. Nadi
Periksalah pada nadi yang besar seperti a.femoralis atau a.karotis (kiri-kanan), untuk
kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya
merupakan tanda normovolemia (bila penderita tidak minum obat beta-blocker). Nadi
yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan
yang lain. Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan bahwa normo-volemia. Nadi yang
tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi
dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi segera3.
2) Perdarahan
Perdarahan eksternal harus dikenali dan dikelola pada primary survey. Perdarahan
eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Lakukan kontrol perdarahan dengan
tekanan langsung atau secara operatip. Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya
2 IV line. Kateter IV yang dipakai harus berukuran besar. Besar arus (tetesan infus) yang
didapat tidak tergantung dari ukuran vena melainkan tergantung dari besar kateter IV dan
berbanding terbalik dengan panjang kateter IV. Pada awalnya sebaiknya menggunakan vena
pada lengan3.
Syok pada penderita trauma umumnya disebabkan hipovolemia. Pada saat datang
penderita di-infus cepat dengan 2-3 liter cairan kristaloid (Ringer Lactat). Bila tidak ada
respon dengan pemberian bolus kristoid tadi, diberikan darah segolongan (type specific). Bila
tidak ada darah segolongan dapat diberikan darah ke O Rhesus negatif, atau tipe O Rh positip
titer rendah3.
2. Secondary Survey
Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai, resusitasi dilakukan dan
ABC-nya penderita dipastikan membaik. Survai sekunder adalah pemeriksaan kepala-
sampai-kaki (head to toe examination), termasuk re-evaluasi pemeriksaan tanda vital. Pada
survai sekunder ini dilakukan pemeriksaan neurologi lengkap, termasuk mencatat skor GCS
bila belum dilakukan dalam survai primer. Pada secondary survey ini juga dikerjakan
pemeriksaan foto rontgen dan laboratoirum yang diperlukan. Evaluasi lengkap dari pasien
memerlukan anamnesis mengenai riwayat perlukaan dan pemeriksaan fisik berulang-ulang3.
1) Anamnesis
Riwayat "AMPLE" :
A : Alergi
L : Last meal
2) Pemeriksaan fisik3
1. Kepala
Survai sekunder mulai dengan evaluasi kepala. Seluruh kulit kepala dan kepala harus
diperiksa akan adanya luka, kontusio atau fraktur. Pemeriksaan mata :
a. ketajaman visus
b. Ukuran pupil
c. Perdarahan konjungtiva dan fundus
d. Luka tembus pada mata
e. Lensa kontak (ambil sebelum terjadi edema)
f. Dislocatio lentis
g. Jepitan otot bola mata
2. Maksilo-fasial
Penderita dengan fraktur tulang wajah mungkin juga ada fraktur pada lamina cribrosa.
Dalam hal ini, pemakaian kateter lambung harus melalui jalan oral.
4. Thoraks
Inspeksi akan menunjukkan adanya, flail chest atau open pneumo-thorax. Palpasi harus
dilakukan pada setiap iga dan klavikula. Penekanan pada sternum dapat nyeri bila ada
fraktur sternum atau ada costochondral separation. Bising nafas diperiksa pada bagian
atas toraks untuk menentukan pneumo-toraks, dan pada bagian posterior untuk adanya
hemo-toraks.
Bunyi jantung yang lemah disertai tekanan nadi yang kecil mungkin disebabkan
tamponade jantung. Adanya tamponade jantung atau tension pneumo-thorax dapat
terlihat dari adanya distensi pada vena jugularis, walaupun adanya hipovolemia akan
meniadakan tanda ini. Melemahnya bising nafas dan hipersonor pada perkusi patu
disertai syok mungkin satu-satunya tanda akan adanya tension pneumo-toraks, yang
menandakan perlunya dekompresi segera. Mediastinum yang melebar atau
menyimpangnya merupakan tanda ruptur aorta.
5. Abdomen
Penderita dengan hipotensi yang tidak dapat diterangkan, kelainan neurologis, gangguan
kesadaran karena alkohol dan/atau obat dan penemuan pemeriksaan fisik abdomen yang
meragukan, harus dipertimbangkan diagnostik peritoneal lavage (DPL), USG abdomen,
atau bila keadaan umum memungkinkan, pemeriksaan CT Scan abdomen dengan
kontras.
6. Perineum / rektum / vagina
Perineum diperiksa akan adanya kontusio, hematoma, laserasi dan perdarahan uretra.
Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Kemungkinan adanya
darah dari lumen rektum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya
dinding rektum dan tonus m.sfinkter ani.
7. Muskulo-skeletal
Ekstremitas diperiksa untuk adanya luka atau deformitas. Fraktur yang kurang jelas dapat
ditegakkann dengan memeriksa adanya nyeri, krepitasi, gerakan abnormal. Gangguan
sensasi dan atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan kerusakan saraf
perifer atau iskemia (termasuk sindroma kompartemen).
8. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang teliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sensorik.
Perubahan dalam status neurologis dapat dikenal dengan pemeriksaan Glasgow Coma
Scale. Bila ada cedera kepala harus segera dilakukan konsultasi bedah saraf. Harus
dipantau tingkat kesadaran pasien, karena merupakan gambaran perkembangan cedera
intrakranial. Bila terjadi penurunan status neurologis, harus diteliti ulang perfusi,
oksigenasi, dan ventilasi (ABCDE). Mungkin diperlukan tindakan pembedahan atau
tindakan lain untuk mengukur tekanan intrakranial. Perlunya tindakan bedah bila ada
perdarahan epidural, subdural, atau fraktur kompresi ditenyukan oleh ahli bedah saraf3.
Sebagian besar penderita cedera kepala ringan pulih sempurna, walaupun mungkin ada
gejala sisa yang sangat ringan. Namun sebanyak 3% mengalami perburukan yang tidak
terduga, dengan akibat disfungsi neurologis yang berat, yang seharusnya dapat dicegah
dengan penemuan perubahan kesadaran yang lebih awal3.
Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit kepala
hebat. Namun bila pemeriksaan CT scan tidak dapat dilakukan segera dan kondisi penderita
tanpa gejala neurologis dan sadar penuh maka penderita dapat diobservasi selama 12-24 jam
di rumah sakit. Dalam suatu penelitian terhadap 658 penderita dengan cedera kepala ringan
yang mengalami kehilangan kesadaran sementara atau amnesia, dijumpai sebanyak 18%
terdapat abnormalitas pada pemeriksaan awal CT scan dan 5% diantaranya memerlukan
tindakan pembedahan, sedangkan 40% penderita dengan GCS 13 mempunyai CT scan yang
abnormal dan 10% memerlukan tindakan pembedahan, oleh karena itu GCS 13 diklasifikasi
sebagai cedera kepala sedang. Tidak seorangpun dari 542 penderita dengan CT scan Kepala
normal pada saat masuk rumah sakit menunjukan perburukan neurologis ataupun
memerlukan tindakan operatif. Walaupun demikian mungkin saja pada beberapa kasus
dengan CT scan awal yang normal timbul lesi masa beberapa jam kemudian3.
Dewasa ini, pemeriksaan foto ronsen kepala hanya dilakukan pada cedera kepala tembus
atau bila CT scan tidak tersedia. Bila pemeriksaan foto ronsen dilakukan maka dokter harus
menilai hal-hal berikut ini : (1) fraktur liner/depresi, (2) posisi kelenjar pineal yang biasanya
digaris tengah (bila terkalsifikasi), (3) batas udara air pada sinus-sinus, (4) pneumosefalus,
(5) fraktur tulang wajah, (6) benda asing. Pada cedera kepala ringan dijumpai adanya fraktur
tengkorak pada 3% penderita sedangkan pada cedera kepala berat sampai 65%. Kalvaria 3
kali lebih sering mengalami fraktur daripada dasar tengkorak. Fraktur dasar tengkorak sering
tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun adanya gejala klinis seperti ekimosis
periorbital, rhinorea, otorea, hemotimpani atau Battle's sign merupakan indikasi adanya
fraktur dasar tengkorak dan penderita harus dirawat dengan observasi khusus3.
Foto rontgen servikal dilakukan bila penderita mengeluh nyeri atau rasa pegal di leher.
Bila diperlukan dapat diberikan obat anti nyeri non narkotik seperti Kepala acetaminophen,
walaupun dapat juga diberikan kodein pada keadaan yang sangat nyeri. Suntikan toksoid
tetanus secara rutin diberikan pada setiap luka terbuka Bila tidak ada cedera lain,
pemeriksaan darah rutin tidak perlu dilakukan Pemeriksaan kadar alkohol dalam darah dan
pemeriksaan zat-zat toksik dalam urine sangat berguna baik untuk diagnostik maupun untuk
tujuan medikolegal. Penderita cedera kepala ringan yang memungkinkan untuk dibawa
kembali ke rumah sakit bila memburuk dapat dipulangkan dengan nasihat-nasihat yang perlu
bagi keluarganya.
Pada keluarga penderita diberikan lembar observasi penderita selama sedikitnya 12 jam
dan bila terdapat tanda-tanda perburukan agar segera dibawa kembali ke rumah sakit. Bila
tidak ada keluarga yang dapat dipercaya untuk observasi penderita dan CT scan pun tidak
tersedia, maka penderita sebaiknya tidak dilakukan observasi di rumah sakit selama beberapa
jam dan dilakukan evaluasi secara periodik mengenai fungsi neurologisnya dan dibolehkan
pulang bila tidak terdapat gejala perburukan3.
Bila pada CT scan jelas terdapat lesi masa, maka penderita harus dirawat oleh seorang
ahli bedah saraf dan mendapat penatalaksanaan selama beberapa hari sesuai dengan
perubahan status, neurologisnya. Bila ahli bedah saraf tidak ada di rumah sakit semula maka,
penderita harus segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki seorang ahli bedah saraf.
Pemeriksaan CT scan ulang perlu dilakukan sebelum penderita pulang atau segera dilakukan
bila keadaan memburuk3.
Pada saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera dilakukan stabilisasi
kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan. CT scan kepala selalu
dilakukan pada setiap penderita cedera kepala sedang (dalam penelitian terhadap 341
penderita dengan GCS 9-12, ternyata 40% kasus menunjukan gambaran abnormal pada CT
scan inisial ini dan 8% diantaranya memerlukan tindakan pembrdahan).
Penderita harus dirawat untuk observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial
dilakukan selama 12-24 jam walaupun gambaran CT scan-nya normal. Bila status neurologis
penderita membaik dan CT scan berikutnya tidak menunjukan adanya lesi masa yang
memerlukan tindakan pembedahan maka penderita dapat dipulangkan beberapa hari
kemudian. Tetapi bila penderita jatuh dalam koma, maka prinsip penatalaksanaanya menjadi
sama dengan penatalaksanaan penderita dengan cedera kepala berat3.
5)Terapi Medikamentosa
Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder
terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan
suasana yang optimal untuk pemulihan maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali,
sebaliknya bila sel saraf dalam keadaan tak memadai maka sel akan kehilangan fungsi sampai
mengalami kematian3.
A. Cairan intravena
Kadar Natrium atau serum juga harus dipertahankan dalam batas normal. Keadaan
hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya edema otak yang, harus dicegah atau diobati
secara agresif bila terjadi3.
B. Hiperventilasi
C. Antikonvulsan
Epilepsi pasca trauma terjadi pada 5% penderita yang dirawat di RS dengan cedera
kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 fakor utama yang berkaitan
dengan epilepsi (1) kejang awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2) perdarahan intra
kranial, dan (3) fraktur depresi3.
D. Manitol
Manitol digunakan secara luas untuk menurunkan TIK, biasanya dengan konsentrasi
cairan 20%. Dosis yang biasanya dipakai adalah 1 gram / kg BB diberikan secara bolus intra
vena. Dosis tinggi manitol tidak boleh diberikan pada penderita hipotensi karena akan
memperberat hipovolemia. Indikasi yang jelas penggunaan manitol adalah pada penderita
koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal tetapi kemudian timbul dilatasi pupil
dengan atau tanpa hemiparesis. Pada keadaan ini pemberian bolus manitol (1 g/kg) harus
dihabiskan secara cepat (sampai 5 menit) dan penderita segera dibawa ke CT Scan atau
langsung ke kamar operasi3.
Manitol juga diberikan pada penderita-penderita dengan pupil dilatasi bilateral dan reaksi
cahaya pupil negatif namun tidak hipotensi. Indikasi pemberian manitol untuk penderita-
penderita cedera kepala tanpa defisit neurologis fokal atau tanpa perburukan neurologis
tidaklah jelas3.
E. Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obat atau
prosedur yang biasa. Namun tidak boleh diberikan bila terdapat hipotensi, karena barbiturat
sendiri juga menurunkan tekanan darah (tidak boleh diberikan pada fase akut resusitasi) 3.
6) Pembedahan
Manajemen operatif kadang diperlukan pada luka kulit kepala, lesi massa intracranial, dan
cedera tajam pada otak3.
Penyebab utama infeksi luka kulit kepala adalah pencucian luka dan debridement yang
tidak adekuat. Luka kulit kepala dapat menyebabkan kehilangan darah yang cukup ekstensif
terutama pada anak-anak3.
Pada penderita dewasa, perdarahan akibat luka kulit kepala jarang menyebabkan syok.
Perdarahan dari laserasi kulit kepala yang dalam dapat dihentikan dengan penekanan lokal
langsung, kauterisasi atau ligasi pembuluh besar, kemudian dilakukan penjahitan luka. Hal
penting yang harus dilakukan adalah inspeksi secara cermat untuk menentukan adanya
fraktur tengkorak atau benda asing. Terdapatnya CSS pada luka menunjukkan adanya
robekan duramater3.
Tidak jarang, perdarahan subgaleal teraba seperti fraktur depresi. Dalam keadaan ini
diperlukan pemeriksaan foto polos tengkorak atau CT Scan. Luka kulit kepala yang berada di
atas daerah sinus sagitalis superior atau sinus venosus lainnya harus ditolong oleh seorang
ahli bedah saraf di kamar operasi3.
Umumnya fraktur depresi yang memerlukan koreksi secara operatif adalah bila tebalnya
depresi lebih besar dari ketebalan tulang didekatnya. Pemeriksaan CT Scan dapat
menggambarkan secara jelas beratnya depresi tulang dan yang lebih penting menentukan ada
tidaknya perdarahan intra kranial atau adanya suatu kontusio3.
Lesi ini harus dikeluarkan atau dirawat oleh seorang ahli bedah saraf. Prosedur
pembedahan ini khususnya untuk pasien dengan status neurologi yang memburuk dengan
cepat dan tidak membaik dengan terapi non-bedah3.
2.8 PROGNOSIS
Semua penderita mendapat terapi agresif menurut konsultasi seorang ahli bedah saraf.
terutama pada penderita anak-anak yang biasanya memiliki daya pemulihan yang baik.
Penderita berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk
pemulihan dari cedera kepala3.
BAB III
KESIMPULAN
1. Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
2. Distribusi kasus cedera kepala pada laki-laki dua kali lebih sering dibandingkan
perempuan dan separuh pasien berusia 15-34 tahun.
3. Dua tahapan kerusakan didalam terjadinya kerusakan jaringan otak (brain damage)
setelah trauma kepala berupa primary damage dan secondary damage.
4. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan mekanisme, berat ringannya cedera, dan
morfologinya.
5. Penegakan diagnosa cedera kepala berdarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
6. Penatalaksanaan cedera kepala meliputi penatalaksanaan awal, penatalaksanaan
berdasarkan berat ringannya cedera, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan. Jika
diperlukan.
7. Prognosis Cedera kepala pada anak-anak lebih baik dibandingkan usia lanjut.
DAFTAR PUSTAKA