Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan penyebab kematian utama pada negara berkembang,
dan cedera kepala juga merupakan kesehatan yang akan menyebabkan tingginya
angka mortalitas, morbiditas dan disabilitas pada usia anak-anak dan dewasa muda,
terutama terjadi pada laki-laki usia 15-35 tahun.1
Pada lesi kontusio serebri bias terjadi tampa adanya cedera atau dampak yang
berat. Terjadinya kontusio serebri karena adanya akselerasi kepala, kejadian yang
cepat akan menimbulkan pergeseran otak, terjadinya akselerasi yang kuat akan
menyebabkan hiperekstensi kepala.Kontusio serebri merupakan bagian dari cedera
kepala yang disebabkan oleh trauma langsung yang bersifat fokal akibat jejas
langsung pada otak dan pembuluh darah otak. 1,3,12
Cedera kepala fokal dibagi menjadi komosio atau konkusi, kontusio dan laserasi.
Cedera kepala merupakan suatu masalah kesehatan dan sosioekonomi publik di
seluruh dunia. Cedera kepala menyebabkan banyaknya tingkat kecacatan pada
dewasa muda dengan usia produktif, kesakitan dan kematian. Hal ini semakin
bertambah seiring dengan peningkatan penggunaan kendaraan bermotor pada negara
berinkam rendah dan menengah. Menurut WHO, pada tahun 2020 kecelakaan lalul
lintas akan menjadi penyebab cedera ketiga terbayak di dunia. Saat ini, kriminalitas
juga disebutkan menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya cedera kepala.1
Salah satu konsep sentral peneitian-penelitian yang dilakukan yaitu kerusakan
neurologis akibat cedera kepala tidak terjadi bukan pada saat terjadinya cedera
melainkan berkembang dalam beberapa jam hingga beberapa hari. Kemudian,
peningkatan hasil akhir dari perkembangan kerusakan neurologis sekunder
menghasilkan penurunan perfusi serebral pada bagian otak yang mengalami cedera
sehingga penatalaksanaan yang diberikan saat ini mencegah terjadinya terjadinya hal
tersebut. Pencegahan ini terbukti dapat menurunkan angka kematian pada cedera
kepala dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, walaupun keparahan cedera (diukur
menggunakan GCS), usia, dan yang lainnya juga turut menentukan prognosis pada
cedera kepala.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI OTAK
 KRANIUM (TULANG TENGKORAK)
Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis kranii, di regio
temporal tulang tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii
berbentuk tidak rata dan tidak teratur apabila cedera pada kepala dapat menyebabkan
kerusakan pada bagian dasar otak yang bergerak akibat cedera akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas tiga fosa yaitu anterior, media dan
posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media tempat lobus
temporalis dan fosa posterior adalah ruang bagi batang otak bawah dan serebelum.2

 MENINGEN
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari tiga lapisan
yaitu: duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah meningen terluar yang
merupakan gabungan dari dua lapisan selaput yaitu lapisan bagian dalam (berlanjut ke
duramater spinal) dan lapisan bagian luar (lapis an periosteum tengkorak). Lapisan
luar merupakan jaringan fibrosa yang lebih padat dan mengandung vena serta arteri
untuk memberi makan tulang. Gabungan kedua lapisan ini melekat erat dengan
permukaan bagian dalam tulang sehingga tidak ada celah diantaranya. Kedua lapisan
duramater ini pada lokasi tertentu akan terpisah dan membentuk ronga (sinus
duramater) berisi darah vena serta berfungsi untuk drainase otak. Dibawah duramater
terdapat ronga subdural yang tidak berisi CSS. Araknoid merupakan lapisan tengah
antara duramater dan piamater dan dibawah lapisan ini adalah ruang subarakhnoid
yang mengandung trabekula dan dialiri CSS. Piamater merupakan lapisan paling
dalam yang berhubungan dengan permukaan jaringan otak.
Pada cedera kepala, pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Arteri-arteri meningea
terletak antara duramater dan tabula interna tengkorak, jadi terletak di ruang epidural.
Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak
pada fosa temporalis (fosa media).1

 OTAK

2
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak. Serebrum adalah
otak terbesar (85%) terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri
(lipatan duramater yang berada di inferior sinus sagitalis superior). Hemisfer otak yang
mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontalis
berhubungan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan mengandung
pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietalis berhubungan dengan
orientasi ruang dan fungsi sensorik. Lobus temporalis mengatur fungsi memori. Lobus
occipitalis berukuran lebih kecil dan berfungsi dalam penglihatan. Batang otak terdiri dari
mesensefalon, pons dan medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi
sistem aktivasi retikulasi yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula
oblongata berada pusat vital kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai medula
spinalis di bawahnya. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis batang
otak dan kedua hemisfer serebri.1

 TENTORIUM
Di tempat-tempat tertentu duramater membentuk sekat-sekat ronga kranium.
Tentorium merupakan sekat yang membagi ronga kranium menjadi kompartemen
supratentorial dan infratentorial. Mesensefalon menghubungkan hemisfer serebri
dengan batang otak berjalan melalui celah lebar tentorium serebeli yang disebut
insisura tentorial.1

B. DEFINISI
Kontusio serebri merupakan bagian dari cedera kepala yang disebabkan oleh
trauma langsung yang bersifat fokal akibat jejas langsung pada otak dan pembuluh
darah otak. Cedera kepala fokal dibagi menjadi komosio atau konkusi, kontusio dan
laserasi.3

C. EPIDEMIOLOGI
Kontusio serebri ditemukan pada 8% kasus cedera kepala dan 13%-35% pada
cedera kepala berat. Pada cedera kepala fokal, kontusio serebri merupakan cedera
kepala yang sering ditemukan, terutama pada 31% pasien yang dilakukan CT Scan
pada pemeriksaan awal setelah cedera kepala. Kontusio serebri biasanya terjadi pada

3
area frontal dan temporal walaupun sebenarnya dapat mengenai dimanapun, termasuk
serebelum dan batang otak.3

D. ETIOLOGI DAN PATOGENITAS


Patogenesis kontusio serebri berasal dari fenomena yang multifaktorial
termasuk secara anatomi maupun fisiologi. Cedera kepala diakibatkan oleh energi
yang berasal dari lingkungan luar ke otak yang lebih besar daripada jumlah yang
dapat diserap tanpa menimbulkan disfungsi otak. Kecepatan dan durasi cedera penting
terhadap berat ringannya kerusakan otak. Kerusakan vaskular menyebabkan
terganggunya proses pengantaran oksigen, glukosa menyebabkan deplesi energi dan
perubahan ion yang penting untuk mempertahankan potensial membran sehingga
mengakibatkan terjadinya depolarisasi neuronal dan glial.3
Pada cedera kepala sedang-berat, cedera dapat menyebabkan kematian sel
sehingga menyebabkan terjadinya nekrosis sel sehingga mengeluarkan substansi yang
berbahaya seperti kemokin dan sitokin, reactive oxygen species (ROS) dan protease.
Perubahan marker dapat terjadi sebelum terjadinya perdarahan intrakranial yang
berarti gangguan biokemikal dapat terjadi sebelum adanya penurunan perfusi serebral
(CPP) terdeteksi. Eksosistosis glutamat merupakan kontributor kerusakan sel setelah
terjadinya cedera kepala, yang mengakibatkan depolarisasi potensial membran dan
menyebabkan kerusakan dan kematian sel.3
Cedera kepala berhubungan dengan respon inflamasi serebral yang
mengakibatkan aktivasi mikroglial dan astrosit mengakibatkan dikelurakannya
mediator inflamasi. Mediator infflamasi seperti IL-1β, IL-6 dan TNF-α yang
memediasi terjadinya edema serebral. Proses edema serebral pada kontusio serebri
biasanya diakbatkan oleh kombinasi edema vasogenik dan sitotoksik. Edema
vasogenik diakibatkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler akibat sawar darah otak
akibat pecahnya pembuluh darah sehingga terjadi penimbunan cairan plasma
ekstraseluler, biasanya terjadi dalam 12-24 jam. Edema sitotoksik atau iskemik
merupakan penumpukan cairan intraseluler. Edema ini akibat kegagalan metabolisme
energi seluler sehingga sel tersebut tidak dapat mempertahankan keseimbangan
cairanya.1,3,4
Cedera otak traumatik fatal dan sangat serius, otak biasanya memar, bengkak,
terjadi laserasi, bisa terjadi perdarahan bisa meningeal ataupun intracerebral, bisa juga
terdapat lesi iskemik. Kebanyakan pasien yang tetap koma lebih dari 24 jam setelah

4
cedera memiiki hematoma intracerebral dan terjadi kontusio (memar). Pada lesi ini,
paling sering memar pada permukaan otak terletak dibawah lokasi cedera (coup
lesion) dan terkadang laserasi yang panjang dan memar berada pada lokasi yang
bersebrangan dengan lesi (contrecoup lesion).
Benturan pada bagian depan kepala akan menghasilkan coup lesions, ketika
benturan terjadi di belakang kepala maka lebih sering terjadi adalah contrecoup
lesions. Bentruan pada bagian samping kepala dapat mengakibatkan coup lesion
ataupun countercoup lesion atau keduanya. Posisi yang paling sering terjadi kontusio
(memar) pada otak adalah pada lobus frontal an temporal Countercoup lesion terjadi
karena inertia otak yang membuatnya terlempar kearah tulang tengkorak , harus
ditarik menjauhi dari sisi kontralateral, dan terdorong kearah promontorium tulang
pada rongga tengkorak .
Kontusio korteks secara menyeluruh bengkak dan terjadi perdarahan ,
perdarahan sering ditemukan padda pembuluh darah parenkim. Pada lobus oksipital
biasanya terjadi contrecoup karena permukana dalam yang halus dari tulang oksipital
dan tentorium yang berdekatan seperti yang dijelaskan oleh courvile
Pada CT Scan, lesi yang terlihat adalah daerah edema pada daerah korteks dan
subcortical ganglia basal bercampur dengan peningkantan densiras yang menunjukan
bocornya pembuluh darah. Titik-Titik perdarahan dapat menyatu dan dapat
memberikan tampilan kesatuan di korteks yang berbatas langsung dengan ganglia
basalis.5

Gambar
1 : Mekanisme contusion cerebral.

5
E. DIAGNOSIS
 ANAMNESIS
Pada fase awal setelah trauma, dilakukan penilaian derajat berat ringannya
cedera kepala berdasarkan berapa lama durasi hilangnya kesadaran, berapa lama
durasi retrograde amnesia, berapa lama durasi anterograde amnesia, 11 erapa lama
durasi total amnesia (retrograde dan anterograde amnesia), dan ada atau tidaknya
kejang epileptikus.6

 PEMERISAAN FISIK
Pemeriksaan klinis pada penderita cedera kepala yang masih memiliki
kesadaran yang bagus meliputi pemeriksaan neurologis lengkap, sedangkan pada
penderita yang kesadarannya menurun pemeriksaan yang diutamakan adalah yang
dapat memberikan pedoman dalam penanganan di unit gawat darurat, yaitu:1
 Tingkat Kesadaran
Tingkat kesadaran dinilai dengan skala Glasglow (GCS/Glasglow Cima
Scale). Skala ini merupakan gradasi sederhana dari arousal dan kapasitas
fungsional korteks serebral berdasarkan respons verbal, motorik dan mata
pendertita. Sedangkan fungsional batang otak (komponen kesadaran lainnya)
dinilai dari respons pupil serta gerakan bola mata.
 Kekuatan Fungsi Motorik
Fungsi motorik biasanya hanya merupakan pelengkap saja mengingat kadang
sulit mendapat penilaian akurat dari penderita-penderita dengan kesadaran yang
menurun. Masing-masing ekstremitas digradasi kekuatannya dengan skala
sebagai berikut:
5: Normal
4: Menurun tapi masih mampu melawan tahanan pemeriksa
3: Mampu melawan gravitasi
2: Mampu menggeser ekstremitas
1: Mampu bergerak tapi tidak mampu menggeser.
0: Tidak ada gerakan sama sekali

6
 Ukuran pupil
Penilaian ukuran pupil dan responsnya terhadap rangsangan cahaya adalah
pemeriksaan awal terpenting dalam menangani cedera kepala. Salah satu gejala
dini dari herniasi lobus temporal adalah dilatasi pupil dan perlambatan respons
cahaya pupil. Dalam hal ini adanya kompresi maupun distorsi saraf
okulomotorius sewaktu kejadian herniasi tentorial-unkal akan mengganggu fungsi
akson parasimpatis yang menghantarkan sinyal eferen untuk konstriksi pupil.
Pupil yang midriasi (>6mm) kadang daoat terjadi akibat trauma langsung pada
mata, dimana biasnaya hanya unilateral dan tidak disertai paresis okuler. Pupil
yang dilatasi bilateral dan menetap pada penderita cedera kepala merupakan
akibat dari perfusi serebral yang tidak adekuat seperti hipotensi akibat kehilangan
darah, atau gangguan aliran darah serebral karena peningkatan tekanan
intrakranial.1
 Gerakan bola mata (refleks okulosefalik dan vestibuler)
Gerakan bola mata merupakan indeks penting untuk penilaian aktivitas
fungsional batang otak (formasio retikularis). Penderita yang sadar penuh (alert)
dan mempunyai gerakan bola mata yang baik menandakan bahwa sistem motorik
okuler dibatang otaknya intak. Pada keadaan kesadaran yang menurun, gerakan
bola mata volunter menghilang, sehingga untuk menilai gerakannya ditentukan
dari refleks okulosefalik dan okulovestibuler.1

F. GAMBARAN RADIOLOGI
 Foto Polos Tengkorak (Skull X-Ray)
Mengingat hanya sedikit informasi yang didapat dari pemeriksaan ini yang
dapat mengubah alternatif pengobatan yang diberikan pada penderita cedera kepala,
maka pemeriksaan ini sudah mulai ditinggalkan dan digantikan dengan pemeriksaan
penunjang lain yang lebih canggih seperti CT-Scan dan MRI. Informasi yang bisa kita
dapatkan dari hasil pemeriksaan ini adalah:1
1. Fraktur tulang kepala, diharapkan dapat diperoleh informasi tentang lokasi dan tipe
fraktur, baik bentuk linier, stelata atau depresi.

2. Adanya benda asing

7
3. Pneumocephalus (udara yang masuk kerongga tengkorak)

4. Brain shift, kalau kebetulan ada kalsifikasi kelenjar pineal.

Foto polos tengkorak sangat tidak membantu dalam memprediksi cedera


kepala. Namun adanya hematom pada kulit kepala dan fraktur tulang tengkorak dapat
dinilai dan merupakan indikator adanya trauma kepala fokal.

 Computed tomography (CT)


Kontusi dapat berkembang menjadi progresif seiring berjalannya waktu.
Gambaran pada kontusi serebral dapat bermacam-macam tergantung dari tahapan
evolusi. Pada kontusi serebral akan tampak area heterogen dari nekrosis, hemoragik
daN infark yang menunjukan mixed-density daru CT Scan. Kontusi multipel fokal
akan menunjukkan gambaran “salt and pepper” pada CT Scan. Namun terdapat
perbedaan antara kontusi dan hematom intraserebral yang sulit untuk dibatasi. Lesi
“salt and pepper” sudah pasti kontusi serebral namun hematom yang besar belum
tentu bagian dari kontusi. Namun kontusi setelah beberapa jam dan hari dapat
berkembang menjadi hematom intrasereberal.3,9

Gambar 2 : CT Scan kontusio cerebral pada lobus temporalis dan


frontalis.

CT tanpa kontras bermanfaat pada periode awal pasca trauma. Kontusio


tampak sebagai area dengan atenuasi rendah yang bersifat fokal atau multifokal. Area
tersebut bercampur dengan area-area kecil berdensitas tinggi yang menggambarkan
suatu perdarahan . Luas cedera yang sebenamya menjadi lebih jelas seiring dengan
waktu akibat berlangsungnya proses nekrosis dan edema sel.7

8
 Magnetic resonance imaging (MRl)
MRI dapat menunjukkan kontusi serebral pada keadaan hiperakut (< 12 jam).
Pada MRI, gambaran kontusi pada T1 akan menunjukkan gambaran isointens hingga
hiperintens dan pada T2 menunjukkan gambaran hiperintens. Pada gambaran
gradient-MRI akan memperlihatkan gambaran hipointens yang penting dalam deteksi
dan menggambarkan adanya kontusi. MRI juga dapat menunjukkan adanya cedera
permanen pada parenkim otak.6,10 MRI merupakan modalitas yang terbaik dunuk
memperlihatkan distribusi edema.7

Gambar 3 : MRI pada kontusio cerebri.

G. TATALAKSANA
Berdasarkan keadaan klinis pasien, pasien harus diobservasi di ICU atau unit
neurotrauma untuk dilakukan monitoring tanda vital dan fungsi neurologis dan bila
memungkinkan dilakukan monitoring ICP (intracranial pressure) secara invasif. Pada
cedera parenkim yang ekstensif dan diikuti dengan edema otak dapat meningkatkan
tekanan intrakranial, oleh sebab itu dapat dilakukan tindakan penurunan ICP, elevasi
kepala, hiperventilasi (pada beberapa pasien), osmoterapi atau bahkan kraniektomi
untuk membebaskan kompresi otak.6
Kontusio serebri dapat meluas seiring berjalannya waktu dan dapat
menyebabkan terjadinya ICH (intracereberal hematom). Oleh sebab itu

9
penatalaksanaan kontusio serebri, sama seperti cedera kepala berat lainnya,
berkembang dengan tambahan manajemen baru. Secara tradisional, penatalaksanaan
cedera kepala bergantung pada monitoring ketat ICP, MAP (mean arterial pressure)
dan CPP. Namun, baru-baru ini Brain Trauma Foundation merekomendasi
guildellines terbaru dengan merekomendasi nilai ICP lebih besar dari 20 dan CPP
diantara 50-70 untuk hasil yang lebih baik. Pasien dengan resiko tinggi terhadap
kejang, yang dapat memperberat defisit neurologis termasuk GCS ≤ 10, kontusi
kortikal, fraktur depresi tulang tengkorak, sudural dan epidural hematom, perdarahan
intraserebral dan pasien dengan kejang epileptik setelah 24 jam cedera,
dipertimbangkan untuk diberikan antikonvulsan.
Untuk menurunkan ICP, pembedahan dengan kraniektomi dekompresif (DC)
sangat efektif. DC tidak mengatasi edema otak patologis. Namun berfungsi untuk
mengurangi tekanan intrakranial. DC ditujukan pada pasien dengan GCS ≤ 13 atau
kurang dengan midline shiftlebih dari 5mm. DC bifrontal dapat digunakan untuk
mengurangi ICP pada kasus edema umum dan herniasi sentral.3.9

H. PROGNOSIS
Prognosis kontusio serebri berdasarkan keadaan klinis dibagi menjadi good
outcome dan poor outcome. Good outcome terdiri dari tidak adanya disabilitas atau
terdapat disabilitas ringan, GCS lebih dari 5. Sedangkan poor outcome pada
disabilitas berat dan GCS dibawah 3. Parameter berikut juga menentukan prognosis
yang buruk yaitu ICP lebih dari 20mmHg, tekanan darah lebih rendah dari 70mmHg
dan adanya hipoperfusi perifer, hiponatremia (<135meq/L) atau hipernatremia
(>150meq/L).Kraniotomi dekompresif (DC) merupakan strategi untuk mencegah
terjadinya ICH. Namun, tetap terdapat resiko terjadinya ICH paska kraniektomi
dekompresi (DC) sehingga adanya ICH paska kraniektomi dekompresif memperburuk
prognosis dari kontusio serebri.10,12

BAB 3
KESIMPULAN

10
Kontusio serebri merupakan bagian dari cedera kepala yang disebabkan oleh
trauma langsung yang bersifat fokal akibat jejas langsung pada otak dan pembuluh
darah otak. Gambaran pada kontusi serebral dapat bermacam-macam tergantung dari
tahapan evolusinya. Pada CT Scan kontusi serebral tampak sebagai area dengan
atenuasi rendah yang bersifat fokal atau multifocal, area tersebut bercampur dengan
area-area kecil berdensitas tinggi yang menggambarkan suatu perdarahan . Luas
cedera yang sebenamya menjadi lebih jelas seiring dengan waktu akibat
berlangsungnya proses nekrosis dan edema sel. Pada CT Scan juga akan tampak area
heterogen dari nekrosis, hemoragik dan infark yang menunjukan mixed-density ,
sedangkan kontusi multipel fokal akan menunjukkan gambaran “salt and pepper” .
Sedangkan pada MRI, gambaran kontusi pada T1 akan menunjukkan gambaran
isointens hingga hiperintens dan pada T2 menunjukkan gambaran hiperintens, MRI
juga dapat menunjukkan adanya cedera permanen pada parenkim otak. MRI
merupakan modalitas yang terbaik untuk memperlihatkan distribusi edema. Kontusio
serebri dapat meluas seiring berjalannya waktu dan dapat menyebabkan terjadinya
ICH (intracereberal hematom). Oleh karena itu penegakan diagnosis baik secara
klinis ataupu radiologi sangatlah penting.

DAFTAR PUSTAKA

11
1. Satyanegara. Trauma Kepala dalam: Ilmu Bedah Saraf. 4th Ed. Jakarta: Kompas
Gramedia; 2010: 15, 189-224.
2. Netter FH, Machado CA. Netter’s Clinical Anatomy. 4th ed. Philadelphia: Elsevier; 2010:
8-9.
3. Miranda HA, Cerra GA, Salazar LRM. Traumatic cerebral contusion: pathobiology and
critical aspects. Colombia. Romanian Neurosurgery. 2013. XX 2:125-37.
4. Michinaga S, Koyama Y. Pathogenesis of Brain Edema and Investigation into Anti-Edema
Drugs. Osaka. Int J Mol Sci. 2015.6, 9949-9975; doi:10.3390/ijms16059949
5. Alans H Roppers et all. Adams and victor’s principles neurology 11th edition.USA. Mc-
Graw and Hill. 2014.)
6. Mumenthaler M, Mattle H. Traumatic Brain Injury In: Fundamental of Neurology. New
York: Thieme; 2006: 87-91.
7. Ristaniah D. Soetikno. Radiologi Emergensi. Bandung.PT. Refika Aditama.2016.
8. Kushner D. Mild Traumatic Brain Injury. Miami. Jamanetwork. 2017. p.1-8.
9. Soertidewi L. Penatalaksanaan kedaruratan Cedera Kranioserebral. Jakarta: Bagian Ilmu
Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. CDK-193:5(39) .
10. Morales DL. Brain Contusion Imaging. 2015. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/337782-overview#a3(cited at: July 27, 2017).
11. Grille P, Tommasino N. Decompressive craniectomy in severe traumatic brain injury:
prognostic factors and complications. Uruguay: Rev Bras Ter Intensiva. 2015; 27(2): 113-
118.
12. Mardjono mahar. Neurologi klinis dasar: Jakarta Dian rakyat . 1994; 252 - 253

12

Anda mungkin juga menyukai