Anda di halaman 1dari 29

1.2.

CEPHALGIA
1.2.1. Klasifikasi Nyeri Kepala
Klasifikasi International Headache Society (IHS) 2013 membagi nyeri kepala
menjadi nyeri kepala primer, sekunder, dan neuralgia kranial (Tabel 1). Nyeri
kepala primer utama yang akan dibahas adalah migren, nyeri kepala tipe tegang
atau tension-type headache (TTH), trigeminal autonomic cephalgia, neuralgia
trigeminal, serta nyeri kepala sekunder.

Klasifikasi Nyeri Kepala Subklasifikasi


Nyeri kepala primer 1. Migren
2. Nyeri kepala tipe tegang
3. Trigeminal autonomic cephalgia

4. Nyeri kepala primer lainnya

Nyeri kepala sekunder 1. Nyeri kepala yang berkaitan dengan


trauma kepala dan atau leher

2. Nyeri kepala yang berkaitan dengan


kelainan vaskular kranial atau
servikal

3. Nyeri kepala yang berkaitan dengan


kelainan nonvaskular intrakranial

4. Nyeri kepala yang berkaitan dengan


substansi atau withdrawal

5. Nyeri kepala yang berkaitan dengan


infeksi

6. Nyeri kepala yang berkaitan dengan


kelainan hemostasis

7. Nyeri kepala atau nyeri vaskuler yang


berkaitan dengan kelainan kranium,
leher, mata, telinga, hidung, sinus,
gigi, mulut atau struktur fasial atau
kranial lainnya.

8. Nyeri kepala yang berkaitan dengan


kelainan psikiatrik
Neuralgia kranial, sentral, atau nyeri fasial 1. Neuralgia kranial dan penyebab
primer dan nyeri kepala lainnya sentral nyeri fasial

2. Nyeri kepala lainnya, neuralgia


kranial, sentral atau nyeri fasial
primer.

Tabel 7. Klasifikasi Nyeri Kepala Menurut International Headache Society (IHS) 2013

1.2.2. MIGREN
Migren merupakan nyeri kepala yang paling menggangu, hingga
mempengaruhi sosio-ekonomi dan kehidupan pribadi penderitanya World Health
Organization (WHO) menempatkan migren pada peringkat ke-19 sebagai penyakit
yang menimbulkan kecacatan diseluruh dunia. Kasus migren di Negara maju seperti
Inggris mecapai 18% pada perempuan dan 6% pada lelaki. Sementara itu, di
Amerika di ketahui 75% orang yang mengalami migren berjenis kelamin
perempuan. Setelah pubertas, insidennya lebih tinggi pada perempuan. Serangan
umumnya akan berkurang setelah berusia 40 tahun. Angka kejadian migren pada
bangsa Afria-Amerika (16,2% perempuan) serta Asia-Amerika (9,2% perempuan)
lebih rendah dibanding bangsa berkulit putih (20,4% perempuan).
Saat ini WHO memperkirakan prevalensi migren di dunia telah mencapai 10%,
tertinggi di Amerika utara diikuti Amerika Selatan, Amerika, Eropa, Asia dan
Afrika. Di Indonesia, didapatkan prevalensi migren sebanyak 24% dari 1014
subyek mahasiswa dan 54% dari semua remaja yang pernah mengalami nyeri
kepala, terutama perempuan (70%).
Beberapa faktor risiko yang meningkatkan risiko migren adalah berat badan
berlebih, tekanan darah tinggi, hiperkolesterolemia, gangguan sensitivitas insulin,
kadar homosistein tinggi, stroke, dan riwayat penyakit jantung coroner.

1.2.2.1. KLASIFIKASI MIGREN


Klasifikasi migren berdasarkan consensus PERDOSSI tahun 2013 (adaptasi dari
kriteria IHS) adalah:

a) Migren tanpa aura atau common migraine

b) Migren dengan aura atau classic migraine

c) Sindrom periodic pada anak yang dapat menjadi precursor migren, yaitu cyclic
vomiting, migren abdominal, vertigo parosismal benign pada anak.
d) Migren retinal

e) Komplikasi migren:

 Migren kronis

 Status migrenosus (serangan migren >72 jam)

 Aura persisten tanpa infark

 Migrainous infarct

 Migrain-triggered seizure

f) Probable migraine

1.2.2.2. PATOFISIOLOGI MIGREN


a. Teori Vaskular
Berdasarkan teori ini, aura pada migren diperkirakan akibat
vasokonstriksi pembuluh darah intrakranial yang menginduksi iskemia
jaringan. Selanjutnya, terjadi re-bound vasodilatasi dan mengaktifkan saraf
nosiseptid perivascular yang akhirnya menyebabkan nyeri kepala. Namun teori
ini memiliki kelemahan, sehingga digantikan oleh teori neurovaskular.
b. Teori Neurovaskular
Menurut teori ini, migren pada awalnya merupakan proses neurogenik
yang kemudian diikuti dengan perubahan perfusi serebral (neuro ke vaskular).
Pada teori ini, dikatakan orang dengan migren memiliki saraf yang gampang
dieksitasi pada korteks serebral, terutama pada daerah oksipital.

Gambar 2. Proses Nyeri pada Migren


c. Cortical Spreading Depression (CSD)

CSD merupakan teori yang menjelaskan mekanisme migren dengan


aura. CSD merupakan gelombang eksitasi neuronal pada substansia grisea yang
menyebar dari satu sisi ke sisi lain otak dengan kecepatan 2-6mm/menit.

Depolarisasi seluler ini menyebabkan fenomena korteks primer atau


biasa disebut dengan aura. Selanjutnya, proses depolarisasi akan menstimulasi
aktivasi neuron nosiseptif pada pembuluh darah dura yang kemudian
mengaktivasi saraf trigeminus dan pada akhirnya menghasilkan nyeri kepala.
Aktivasi neuron nosiseptif dilakukan melalui pelepasan berbagai protein plasma
dan substansi yang menstimulus inflamasi, seperti calcitonin gene-related
peptide (CGRP), substansi P, peptida intestinal vasoaktif, dan neurokinin A.
Proses inflamasi ini kemudian merangsang vasodilatasi dan akan diteruskan ke
korteks sensorik sebagai rasa nyeri yang berdenyut.

Sementara itu, selama proses depolarisasi dilepaskan beberapa


neurotransmitter, seperti kalium dan atau asam amino glutamat dari jaringan
saraf. Substansi tersebut kemudian mendepolarisasikan jaringan sekitarnya.
Kondisi ini akan semakin merangsang pelepasan berbagai neurotransmitter
tersebut dan menyebabkan semakin luasnya depolarisasi yang terjadi.

Selama penjalaran jaras nyeri dari trigeminovaskular ke korteks


sensorik, terjadi sinaps di nucleus salivatorius superior daerah batang otak,
sehingga memicu gejala mual dan muntah. Terdapat pula sinaps di daerah
nucleus rafe dorsalis yang jika distimulus berulang akan menyebaban
penurunan serotonin dan norepinefrin, sehingga menimbulkan gangguan
konsentrasi, kognitif, depresi, dan ansietas .

Serangan migren yang berlangsung berulang-ulang juga akan


menyebabkan kerusakan pada periaquaductal greymatter (PAG), sehingga
terjadi sensitisasi sentral dan menyebabkan ambang nyeri menurun. Pasien jadi
lebih mudah mengalami migren pada stimulus yang lebih ringan. Gejala lain,
seperti menguap, iritabel, hipotensi, dan hiperaktivasi merupakan gejala
penyerta migren yang muncul melalui jaras dopamine yang dipercaya
mengalami hiperaktivasi sehingga merangsang munculnya gejala tersebut.

1.2.2.3.GEJALA DAN TANDA KLINIS

Terdapat empat stadium migren sederhana, yaitu:


1. Prodromal

Gejala ini dapat berlangsung selama beberapa jam hingga hari sebelum terjadi
nyeri, yaitu berupa perubahan mental dan mood (depresi, marah, euforia), leher
kaku, fatig, menguap, food cravings, retensi cairan, dan sering berkemih.
2. Aura

Aura adalah gejala disfungsi serebral fokal yang dapat membaik dalam waktu <60
menit. Aura dapat berbentuk gangguan visual homonim, parestesia unilateral,
kesemutan, kelelahan, atau disfasia. Aura visual merupakan aura yang paling sering
terjadi dan umumnya berbentuk fotofobia atau fotopsia (kilatan cahaya), bentuk
geometrik, atau skotoma. Aura visual umumnya bilateral dan bergerak perlahan di
dalam area lapang pandang. Metamorfopsia adalah suatu abnormalitas pada
persepsi visual yaitu ketika gambaran suatu obyek terdistorsi. Pasien dengan
gangguan ini akan mengatakan suatu benda terlihat lebih kecil (mikropsia) atau
lebih besar (makropsia) dari ukuran sebenarnya.
3. Nyeri Kepala

Nyeri kepala memiliki karakteristik berdenyut unilateral (terutama pada daerah


fronto-temporal). Umumnya terjadi dalam durasi jam hingga hari. Nyeri bersifat
progresif dan memburuk pada malam hari. Dapat diikuti dengan gejala penyerta,
seperti mual atau muntah, fotofobia atau fonofobia, dan aura.
4. Postdromal

Gejala prodromal atau postdromal dapat berbentuk perubahan nafsu makan, gejala
otonom, perubahan mood, serta agitasi, atau retardasi psikomotor.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut:
 Takikardi atau bradikardi

 Hipertensi atau hipotensi

 Injeksi konjungtiva

 Reaksi pupil yang kurang baik terhadap cahaya

 Defisit hemisensorik atau hemiparesis (ditemukan pada migren


kompleks).(1)

1.2.2.4. DIAGNOSIS MIGREN


 Migren tanpa Aura

Kriteria diagnostic berdasarkan IHS:


a. Nyeri kepala minimal berlangsung selama 4-72 jam (baik dalam kondisi belum
diobati atau sudah diobati namun belum berhasil).

b. Nyeri kepala memiliki minimal dua di antara karakteristik berikut:

1) Unilateral
2) Kualitas berdenyut

3) Intensitasnya nyeri sedang sampai berat

4) Diperberat dengan aktivitas fisik rutin maupun tidak rutin (seperti:


berjalan jauh, naik tangga)

c. Terdapat salah satu gejala penyerta di bawah ini:

1) Mual dan atau muntah

2) Fotofobia dan fonofobia

d. Nyeri kepala tidak berkaitan dengan penyakit lain (nyeri kepala sekunder).

 Migren dengan Aura


Migren dengan aura adalah serangan nyeri kepala berulang yang didahului dengan
gejala neurologis fokal yang reversible secara bertahap dalam waktu 5-20 menit. Gejala
neurologis fokal ini dikenal dengan aura dan berlangsung dalam waktu kurang dari 60
menit. Kriteria diagnostik berdasarkan IHS:
a. Sekurang-kurangnya telah terjadi 2 serangan nyeri kepala yang memenuhi kriteria
migren tanpa aura.
b. Terdapat aura tipikal yang dapat berupa aura visual dan atau sensoris dan atau
gangguan berbahasa.
c. Nyeri kepala tidak berkaitan dengan penyakit lain (nyeri kepala sekunder).

1.2.2.5. DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding migren adalah Tension-Type Headache (TTH), nyeri kepala
klaster, sindrom diseksi, atau aneurisma serebral.

1.2.2.6.TATALAKSANA
a. Terapi Abortif
Terapi abortif adalag terapi yang dibutuhkan saat pasien sedang dalam serangan
akut dan berfungsi untuk menghentikan progresi nyeri. Pengobatan harus
diberikan sesegera mungkin dengan obat yang bekerja cepat. Pemilihan jenis
obat didasarkan pada durasi dan intensitas nyeri, gejala penyerta, derajat
disabilitas, respons terhadap pengobatan, dan penyakit komorbid.
 Terapi Abortif Nonspesifik:
Terapi ini diperuntukkan bagi pasien dengan serangan migren ringan
sampai sedang atau serangan berat yang berespons baik terhadap obat
yang sama. Obat yang digunakan pada terapi abortif nonspesifik adalah
obat dari golongan obat antiinflamasi non steroid (OAINS) atau oat nyeri
over the counter (OTC).

Berikut ini adalah beberapa obat yang menjadi pilihan:


a. Parasetamol 500-1000mg tiap 6-8 jam, dosis maksimal 4g/hari

b. Ibuprofen 400-800mg tiap 6 jam , dosis maksimal 2,4g/hari

c. Natrium naproksen 275-550mg tiap 2-6 jam, dosis maksimal 1,5g/hari

d. Kalium diklofenak (powder) 50-100mg/hari dosis tunggal

e. Metoklopramid 10 mg IV atau oral 20-30 menit sebelum atau bersamaan


dengan pemberian analgetik, OAINS atau derivat ergotamin. Obat ini efektif
menghilangkan nyeri yang disertai mual dan muntah, serta memperbaiki
motilitas lambung, mempertinggi absorpsi obat dalam usus dan efektif jika
dikombinasikan dengan dihidroergotamin intravena.

f. Ketorolak 60mg IM per 15-30 menit. Dosis maksimal 12mg/ hari dan
diberikan tidak lebih dari 5 hari.

g. Butorfanol spray 1mg dalam sediaan nostril yang dapat diberikan dan
diulang tiap 1 jam. Maksimal 4 spray / hari dan penggunannya terbatas 2 kali
dalam seminggu.

h. Proklorperazin 25mg oral atau suppositoria. Dosis maksimal 75 mg


dalam 24 jam.

i. Steroid seperti deksametason atau metilprednisolon merupakan obat


pilihan untuk status migrenosus.

 Terapi Abortif Spesifik


a. Obat golongan agonis 5HT (triptans) seperti sumatriptan 6mg subkutan atau
sumatriptan 50-100mg peroral.

b. Derivat ergot seperti ergotamine 1-2mg yang dapat diberikan secra oral,
subkutan, maupun per rektal.

Terapi abortif dikatakan berhasil jika:


a. Pasien bebas nyeri sesudah 2 jam pengobatan
b. Terdapat perbaikan nyeri kepala dari skala 2 (sedang) atau 3 (berat) menjadi
skala 1 (ringan) atau 0 (tidak ada nyeri kepala) sesudah 2 jam.

c. Efikasi pengobatan konsisten pada 2-3 kali serangan

d. Tidak ada nyeri kepala rekuren atau tidak ada pemakaian obat kembali dalam
waktu 24 jam sesudah pengobatan terakhir berhasil.

b. Terapi Nonmedikamentosa
Pasien harus menghindari faktor pencetus munculnya migren, seperti:
perubahan pola tidur, makanan atau minuman (keju, cokelat, monosodium
glutamat/MSG, alkohol), stress, cahaya terang, cahaya kelap-kelip, perubahan
cuaca, tempat yang tinggi (seperti: gunung atau pesawat udara), dan rutinitas
sehari-hari yang dapat memicu serangan migren.

c. Terapi Profilaksis
Sebelum memberikan obat sebagai terapi preventif migren, harus
diperhatikan perubahan pola hidup untuk mendukung kerja obat profilaksis
yang meliputi SEEDS, yaitu:

 Sleep hygiene (tidur cukup dengan jadwal teratur)

 Eating schedule (makan bergizi dan teratur)

 Exercise regimen (olahraga teratur)

 Drinking water (minum cukup air)

 Stress reduction (kurangi stress)

Pada prinsipnya pemberian obat profilaksis dilakukan dengan cara memberikan


dosis rendah pada awalnya, kemudian dosis dinaikkan perlahan. Peningkatan dosis
dihentikan jika dosis dosis yang efektif sudah didapatkan, dosis maksimal sudah
tercapai, atau muncul efek samping yang tidak bisa ditoleransi. Efek klinis akan terlihat
setelah 2-3 bulan pengobatan, asal teratur dan rasional agar dapat meminimalisir efek
samping obat. Jika setelah 6-12 bulan migren mulai terkontrol, dosis pengobatan
profilaksis dapat diturunkan perlahan hingga selanjutnya dihentikan.
Indikasi terapi profilaksis, yaitu:
1. Terganggunya aktivitas sehari-hari akibat serangan migren walaupun pasien telah
mendapat pengobatan nonmedikamentosa maupun abortif.
2. Frekuensi serangan migren terlalu sering sehingga pasien berisiko mengalami
ketergantungan terhadap obat abortif migren (medication overuse).

3. Pasien mengalami serangan nyeri kepala migren sedang sampai berat lebih dari 3
hari dalam 1 bulan dan sudah tidak responsive dengan pemberian pengobatan
abortif.

4. Pasien mengalami serangan nyeri kepala migren lebih dari 8 kali sehari walaupun
pengobatan abortifnya efektif.

5. Pasien mengalami serangan nyeri kepala migren yang berulang >2x/minggu dan
mengganggu aktivitas, walaupun telah diberikan pengobatan abortif yang adekuat.

6. Nyeri kepala migren yang berlangsung sering dan >48 jam.

7. Pengobatan abortif gagal atau tida efektif.

8. Munculnya gejala-gejala dan kondisi yang luar biasa, misalnya migren basiler
hemiplegik, aura yang memanjang.

9. Pasien menginginkan obat profilaksis.

Tujuan terapi profilaksis adalah:


1. Menurunkan frekuensi serangan hingga 50% atau lebih.

2. Menurunkan intensitas dan durasi serangan.

3. Meningkatkan respons terapi abortif.

4. Meningkatkan kemampuan fungsional pasien dan menurunkan disabilitas.

5. Mencegah transformasi migren episodik menjadi migren kronik.

6. Mencegah pemakaian obat secara berlebihan (medication overuse).

7. Mencegah terjadinya rebound headache ketika obat abortif dihentikan


pemakaiannya.

Berikut golongan obat pilihan:


1. Antidepresan Trisiklik

Obat ini bekerja dengan cara menginhibisi norepinefrin dan ambilan serotonin
(serotonin uptake), serta menurunkan regulasi reseptor beta-adrenergik dan eksitasi.
Obat golongan ini juga meningkatkan regulasi reseptor gamma amino butyric acid-
B (GABA-B) dan menginhibisi ambilan kembali (reuptake) adenosine oleh neuron.
Dapat digunakan amitriptilin 30-150mg/hari, nortriptilin 25-100mg/hari, dan
doksepin 30-150mg/hari. Obat golongan ini sangat tepat diberikan pada pasien
migren dengan komorbid depresi, ansietas, atau gangguan tidur. Efek samping yang
sering muncul adalah sedasi, penambahan berat badan, konstipasi, mulut kering,
dan pandangan kabur.

2. Serotonin Reuptake Inhibitors

Bekerja dengan cara menginhibisi ambilan kembali (reuptake) serotonin, obat ini
baik untuk terapi profilaksis pada pasien dengan komorbid depresi. Obat ini juga
memiliki toleransi yang lebih baik dibanding obat golongan antidepresan trisiklik.
Efek samping yang sering muncul adalah ansietas, mual, muntah, mudah lelah,
anoreksia, penambahan berat badan, pusing, dan disfungsi seksual. Obat dari
golongan ini yang sering digunakan adalah fluoksetin 10-80mg/hari. Namun, pada
guideline terbaru disebutkan bahwa level of evidence fluoksetin berada pada level
U, yang berarti tidak cukup bukti untuk membuktikan efikasi obat ini sebagai terapi
profilaksis.

3. Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitor

Obat dari golongan ini yang sering digunakan untuk terapi profilaksis adalah
venlafaxine dengan dosis efektif 150mg/hari. Umumnya dimulai dengan obat
extended release 37,5 mg di minggu pertama, 75mg di minggu kedua, dan 150mg
pada minggu-minggu berikutnya. Efek samping yang sering muncul adalah
insomnia, ansietas, gugup, dan disfungsi seksual.

4. Penghambat Beta (Beta Blocker)

Obat golongan ini bekerja dengan cara menurunkan fungsi adrenergik serta
menghalangi kerja reseptor presinaps noradrenergik dan enzim tirosin hidroksilase.
Penghambat beta baik digunakan pada pasien dengan komorbid hipertensi, namun
tidak pada diabetes mellitus, asma , depresi, dan pasien dengan tekanan darah
rendah. Obat ini berpotensi menyebabkan disfungsi ereksi dan kondisi mudah lelah,
sehingga sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang berprofesi sebagai atlet.
Pilihannya adalah timolol 20-30mg/hari, propranolol 120-140mg/hari, nadolol 40-
240mg/hari, atenolol 50-100mg/hari, dan metoprolol 100-200mg/hari.

5. Penghambat Kanal Kalsium (Calsium Channel Blocker)

Obat golongan ini bekerja dengan mereduksi pelepasan glutamate dan menginhibisi
pelepasan serotonin, pada migren dengan aura atau migrainous infarction. Selain
itu, obat ini baik diberikan pada pasien dengan komorbid hipertensi, asma, dan
penyakit Raynaud. Efek samping yang sering muncul adalah konstipasi, hipotensi,
dan edema perifer. Obat yang sering digunakan adalah diltiazem 60-90mg sebanyak
4 kali sehari. Sementara itu nikardipin, nifedipin, nimodipin, dan verapamil
memiliki level of evidence U.
6. Angiotensin-converting Enzyme Inhibitor (ACE-I)

Berdasarkan hasil penelitian, lisinopril 20mg/hari berhasil menurunkan frekuensi


migren hingga 50% pada 30% pasien jika dibandingkan dengan plasebo. Efek
sampingnya berupa batuk, cepat lelah, sakit kepala, dan diare, serta
dikontraindikasikan pada pasien dengan angioedema dan kehamilan.

7. Angiotensin-II Receptor Antagonist (ARB)

Berdasarkan hasil penelitian, candesartan 16mg/hari memiliki efek menurunkan


frekuensi migren dibandingkan plasebo. Efek samping yang sering muncul adalah
sakit kepala, mual, nyeri perut, myalgia, dan atralgia, serta dikontraindikasikan
pada kehamilan.

8. Sodium Valproat

Merupakan golongan obat yang bekerja dengan cara meningkatkan kadar gamma
amino butirat (GABA) di otak, meningkatkan sintesis GABA, menginhibisi
degradasinya, dan menghiperpolarisasi membrane pascasinaps dengan cara
meningkatkan konduksi potassium. Golongan ini juga menurunkan respons
glutamate. Sodium valproate 500-1500mg/hari terbukti dapat menurunkan
frekuensi serangan migren. Efek samping yang sering muncul adalah mual,
dyspepsia, cepat lelah, dan peningkatan berat badan. Obat golongan ini bersifat
teratogenik, sehingga sebaiknya tidak diberikan pada perempuan usia reproduksi.

9. Topiramat

Cara kerja obat ini sebagai terapi profilaksis migren diduga berkaitan dengan kanal
natrium dan kalsium, reseptor GABA A, dan reseptor glutamat, serta memiliki efek
inihibisi enzim karbonik anhidrase. Topiramat 50mg dan 100mg/hari diketahui
merupakan dosis optimal terapi profilaksis migren, walaupun tidak ditemukan
perbedaan efektivitas yang bermakna di antara kedua dosis tersebut. Namun, dalam
pemakaiannya obat ini harus diberikan dengan dosis awal yang rendah (15-
25mg/hari saat jam tidur) dan dinaikkan secara perlahan tiap 2-3 minggu. Efek
samping yang sering muncul adalah cepat lelah, kehilangan berat badan, anoreksia,
parestesia, dan kesulitan mengingat.

10. Gabapentin

Merupakan obat yang bekerja pada neurotransmitter glisin dan glutamat. Obat
golongan ini pada guideline terbaru dikategorikan memiliki level of evidence U.
Migren adalah suatu penyakit kronik, tetapi dapat terjadi remisi dalam waktu
panjang. Pada suatu studi diketahui bahwa pada orang-orang yang mengalami
migren dengan onset pada masa anak-anak, 62% akan bebas serangan selama 2
tahun atau lebih pada saat pubertas. Keparahan dan frekuensi migren cenderung
untuk menurun seiring dengan penambahan usia. Setelah 15 tahun seringkali
mengalami serangan migren, sekitar 30% lelaki dan 40% perempuan tidak lagi
megalami serangan di usia lanjut.

1.2.3. NYERI KEPALA TEGANG (TENSION TYPE HEADACHE)


1.2.3.1.EPIDEMIOLOGI
Nyeri kepala tipe tegang atau Tension Type Headache (TTH) merupakan nyeri
kepala primer tersering dengan prevalensi 78%. Nyeri kepala tipe ini mengenai
hampir 1,4 juta orang atau 20,8% populasi di dunia. TTH lebih sering dialami oleh
pasien dewasa muda (berusia >20 tahun, puncaknya usia 30-39 tahun), terutama
perempuan dua kali lebih banyak dibanding lelaki.

1.2.3.2. KLASIFIKASI TENSION TYPE HEADACHE

Berdasarkan IHS, TTH dapat dibagi menjadi TTH episodik tipe jarang
(infrequent) dan sering (frequent), serta TTH kronik, yaitu:2
1. Tension-type Headache Episodik yang Infrequent

a. Tension-type headache episodik yang infrequent berhubungan dengan nyeri


tekan perikranial.
b. Tension-type headache episodik yang infrequent tidak berhubungan dengan
nyeri tekan perikranial.

2. Tension-type Headache Episodik yang frequent

a. Tension-type headache episodic yang frequent berhubungan dengan nyeri


tekan perikranial.

b. Tension-type headache yang frequent tidak berhubungan dengan nyeri tekan


perikranial.

3. Tension-type Headache Kronik

a. Tension-type headache kronik berhubungan dengan nyeri tekan perikranial.

b. Tension-type headache kronik tidak berhubungan dengan nyeri tekan


perikranial.
4. Probable Tension-type Headache

a. Probable tension-type headache episodik yang infrequent.

b. Probable tension-type headache episodik yang frequent.

c. Probable tension-type headache kronik.

1.2.3.3.PATOFISIOLOGI TENSION TYPE HEADACHE


Nyeri kepala akibat TTH muncul lebih sering saat pasien terlalu lama dalam
posisi kepala ditekuk ke bawah (misalnya pada saat membaca dan menulis),
sehingga otot belakang leher akan tegang. Sementara itu, pada pasien yang sering
tidur dengan posisi tidak baik, nyeri kepala muncul akibat mereka seringkali tidur
menggunakan bantal yang terlalu tinggi. Hal ini dapat menyebabkan otot leher
belakang akan tertekan lebih kuat.
Kontraksi otot yang terus-menerus akan menyebabkan turunnya perfusi darah
dan lepasnya substansi pemicu nyeri (laktat, asam piruvat, dan sebagainya).
Substansi-substansi ini kemudian menstimulasi saraf yang kemudian akan
menghasilkan sensasi nyeri pada otot dan ligament yang dipersarafi (gambar 3).
Nyeri ini akan bersifat tumpul. Pada TTH, nyeri muncul pada otot leher belakang
di daerah oksipital. Pada waktu yang bersamaan, nyeri akan menjalar melewati sisi
kiri dan kanan kepala atau melewati sisi retroorbita. Oleh karena itu, nyeri juga
dapat dirasakan pada daerah-daerah tersebut. Sementara itu, pada otot dan ligament
yang tidak terlalu banyak mendapat persarafan, sensasi yang akan dirasakan adalah
pegal.

 Hipotensi dan Anemia

Pasien dengan hipotensi dan anemia lebih sering terkena TTH. Hal ini berkaitan
dengan rendahnya suplai oksigen menuju otot yang mengakibatkan kondisi iskemia
pada otot. Pada kasus hipotensi, nyeri kepala muncul karena suplai oksigen
berkurang. Berkurangnya suplai oksigen merupakan konsekuensi dari
berkurangnya perfusi darah ke otot akibat rendahnya tekanan pada pembuluh darah.
Sementara itu, suplai oksigen pada pasien dengan anemia terjadi akibat kurangnya
sel darah merah yang mengangkut oksigen ke jaringan.

 Stress dan Depresi

Stress dan depresi bukan merupakan pemicu langsung munculnya TTH,


melainkan menyebabkan munculnya kontraksi otot yang berlebihan, sehingga
terjadi defisiensi suplai oksigen dan pelepasan substansi pemicu nyeri. Selain itu,
sirkulasi darah bisa menurun hingga 50% pada saat stress.

 Sensitisasi Sentral dan Perifer

Nyeri dan stress yang berulang terus menerus akan menyebabkan sensitisasi
perifer dan sentral sehingga menyebabkan turunnya ambang nyeri. Nyeri akan lebih
mudah muncul oleh penyebab yang sederhana sekalipun, denan durasi yang lebih
lama. Hal ini akan memicu stress dan seterusnya.

Gambar 3. Patofisiologi Nyeri Kepala Tipe Tagang

1.2.3.4. DIAGNOSIS
Pada anamnesis karakteristik nyeri kepala ini adalah bilateral, menekan
atau mengikat, tidak berdenyut dengan intensitas ringan sampai sedang, serta rasa
tegang di sekitar leher dan kepala belakang. Tidak ditemukan adanya mual atau
muntah. Walaupun durasi nyeri kepala bisa lebih panjang, nyeri pada TTH tidak
seberat migren, sehingga sering terabaikan. Hal ini yang menyebabkan TTH lebih
cenderung kronik dan lebih sulit untuk diterapi secara sederhana. Pada kasus TTH
kronik, pasien juga umumnya mengeluh insomnia, nyeri kepala saat di pagi hari,
penurunan berat badan, susah berkonsentrasi, dan mudah lelah. Nyeri biasanya
dipicu pada keadaan stress dan atau cemas, kelelahan, depresi, posisi tidur atau
bekerja yang tidak baik, kurang tidur, dan kebiasaan merokok.
Pemeriksaan fisik secara umum dan neurologis seharusnya dalam batas
normal, untuk menyingkirkan nyeri kepala sekunder yang memiliki karakteristik
TTH. Pada keadaan tertentu dapat ditemukan adanya trigger point yaitu daerah otot
yang tegang, sehingga menimbulkan nyeri tekan di area leher dan kepala.
Kriteria diagnosis TTH episodik tipe jarang (infrequent) adalah :
1. Sekurang kurangnya terdapat 10 episode serangan dengan rerata <1 hari/bulan
(<12 hari/tahun) dan memenuhi kriteria 2-5

2. Nyeri kepala dapat berlangsung 30 menit hingga 7 hari

3. Nyeri kepala memiliki paling tidak 2 gejala khas, yaitu :

a. Bilateral

b. Terasa menekan atau mengikat (bukan berdenyut)

c. Intensitasnya ringan hingga sedang

d. Tidak diperberat dengan aktivitas rutin seperti berjalan atau naik tangga

4. Tidak didapatkan keluhan atau gejala berupa :

a. Mual atau muntah (walaupun pasien mengeluh anoreksia)

b. Fotofobio atau fonobia

5. Tidak berkaitan dengan kelainan lain pada kepala atau organ tubuh lainnya
(bukan nyeri kepala sekunder).

Mirip dengan TTH episodik tipe jarang. TTH episodik tipe sering (frequent)
mempunyai frekuensi yang lebih sering pada kriteria pertama, yaitu paling tidak
terdapat 10 episode serangan dalam 1-15 hari/bulan selama paling tidak 3 bulan
(12-180 hari/tahun).

Kriteria diagnostic TTH kronik adalah :


1. Nyeri kepala yang terjadi > 15 hari/bulan dan berlangsung >3 bulan (> 180 hari/
tahun)

2. Nyeri kepala ini harus memenuhi kriteria berikut:

a. Berlangsung beberapa jam atau secara terus meneurs

b. Nyeri kepala memiliki sekurangnya 2 karakteristik berikut:

 Lokasi bilateral

 Terasa menekan atau mengikat (bukan berdenyut)

 Intensitas ringan hingga sedang (dapat mengganggu aktivitas tetapi pasien


masih bisa beraktivitas)
 Tidak memberat dengan aktivitas fisik rutin seperti: berjalan atau naik
tanggga

3. Tidak didapatkan:

a. Lebih dari satu keluhan ini, yaitu fotofobia, fonofobia, atau mual.

b. Muntah

4. Tidak berkaitan dengan kelainan lain pada kepala atau organ tubuh lainnya
(bukan nyeri kepala sekunder).

1.2.3.5. TATALAKSANA
a. Tatalaksana medikamentosa
1. Modifikasi gaya hidup untuk mengurangi faktor pencetus TTH. Mayoritas
(80%) penyebab TTH adalah stress dan postur yang tidak benar, terutama saat
duduk atau bekerja di depan computer selama berjam-jam. Oleh karena itu
perlu penguatan otot-otot belakang (back exercise) dan olah raga rutin.

2. Tahap awal tata laksana harus dimulai denan edukasi faktor dan
mengimplementasikan menejemen stress guna mencegah atau mengurangi
serangan TTH.

3. TTH akut pada umumnya dapat membaik dengan sendirinya. Namun, jika
sangat mengganggu bisa di kurangi dengan megkonsumsi analgesic yang
dapat dikombinasi dengan kafein.

4. Tata talaksana nonfarmakologis berupa relaksasi, cognitive-behavioral


therapy, serta pemijatan dapat membantu mengurangi dan mencegah serangan.

5. Terapi profilaksis diberikan jika nyeri kepala terjadi secara rutin, berhubungan
dengan pekerjaan, sekolah dan kualitas hidup, dan atau penggunaan.

6. Kesemua poin di atas perlu dilakukan secara adekuat untuk menghindari nyeri
berkembang menjadi kronik, karena tata laksana akan menjadi sangat berbeda
akibat telah terjadinya sensitisasi baik sentral maupun perifer.

Pilihan untuk TTH akut adalah (Tabel 2) :


1. Analgesik, pilihannya adalah : aspirin 1000mg/hari, parasetamol 1000mg/hari,
NSAIDs (naproksen 660-750mg/harri, ketoprofen 25-50mg/hari, tol-fenamat
200-400mg/hari, asam mefenamat, fenoprofen, ibuprofen 800mg/hari,
diklonefak 50-100mg/hari). Pemberian analgesic dalam waktu lama memiliki
efek samping berupa ulkus gaster, ulkus duodenum, penyakit ginjal, penyakit
hepar, dan gangguan fungsi platelet.

2. Kafein (analgesi ajuvan) 65mg.


3. Kombinasi :

a. 325 mg (aspirin atau asetaminofen) + 40 mg kafein

b. Ibuprofen 400mg + kafein

c. Aspirin/asetaminofen 500-1000mg + kafein

Pemakaian obat analgesik yang dikombinasi dengan kafein dapat memunculkan


katergantungan.
Terapi medikamentosa untuk TTH kronik :
1. Antidepresan

Antidepresan jenis trisiklik : amitriptilin. Selain berfungsi sebagai obat


analgesik, obat ini juga digunakan sebagai obat profilaksis TTH. Obat
ini memiliki efek analgesic dengan cara mengurangi firing rate of
trigeminal nucleus caudatus. Pemakaian obat antidepresan trisiklik
memeiliki efek samping beruppa penambahan berat badan (merangsang
nafsu makan), mengganggu jantung, hipotensi ortostatik, dan efek
antikolinergik (mulut kering, mata kabur, tremor, dysuria, retensi urin,
dan konstipasi.

Dosis Level
Obat Keterangan
(mg) rekomendasi*
Ibuprofen 200-800 A Efek samping : risio perdarahan
gastrointestinal
Efek samping seperti ibuprofen
Ketoprofen 25 A Efek samping seperti ibuprofen
Aspirin 500-1000 A Efek samping seperti ibuprofen
Naproksen 375-550 A Efek samping seperti ibuprofen
Diklofenak 12,5-100 A Efek samping seperti ibuprofen,
hanya dosis 12,5-25 mg yang
diuji pada TTH
Parasetamol 1000 (oral) A Efek samping gastro intestinal
lebih sedikit disbanding
NSAIDs
Kafein 62-200 B
Tabel 8. Obat Pilihan Nyeri Kepala Tipe Tegang Akut
2. Antiansietas

Golongan obat ini digunakan untuk penyembuhan maupun pencegahan


TTH. Obat ini terutama diberikan pada pasien dengan kormobid
ansietas. Golongan antiansietas yang sering digunakan adalah
benzodiaepin.
b. Terapi Nonmedikamentosa
1. Edukasi : menjeaskan sedikit patofisiologi TTH secara sederhana serta
pengobatan yang diperlukan. Memastikan pasien mengetahui bahwa TTH
bukanlah penyakit serius seperti tumor otak, perdarahan otak. Hal ini akan
mengurangi ketegangan pasien.

2. Kontrol diet.

3. Terapi fisik :

 Latihan postur dan posisi

 Masase

 Ultrasound, manual terapi

 Kompres panas/dingin

 Akupuntur transcutaenus electrical stimulation (TENS)

 Obat anestesi atau bahan lain pada titik pemicu.

4. Hindari pemakaian harian obat analegsik, sedatif dan ergotamine.

5. Behaviour treatment dalam bentuk biofeedback, manajemen stress,


reassurance, konseling, terapi relaksasi, atau terapi kognitif-sikap.

c. Terapi profilaksis
Terapi ini diberikan pada pasien TTH episodik yang sering mendapat
serangan atau pasien dengan serangan >15 hari dalam satu bulan (TTH kronik)
(Tabel 3). Prinsip terapi ini adalah memberikan obat tunggal yang dititrasi
hingga dosis terendah yang efektif dan dapat ditoleransi dengan baik oleh
pasien.

Indikasi :

Pasien yang mengalami disabilitas akibat nyeri kepala >4 hari/bulan atau
pasien yang tidak respons terhadap terapi simtomatis walaupun frekuensi nyeri
kepalanya lebih jarang. Terapi profilaksis dikatakan berhasil jika bisa
mengurangi frekuensi serangan dan/atau mengurangi derajat keparahan minimal
50%.

Obat Dosis Harian (mg) Level Rekomendasi


Obat lini pertama
 Amitriptilin 30-75 A

Obat lini kedua


 Mirtazapin 30 B

 Venafaksin 150 B

Obat lini ketiga


 Klomipramin 75-150 B

 Maprotilin 75 B
30-60 B
 Mianserin

Table 9. Obat Obatan Profilaksis Nyeri Kepala Tipe Tegang

Prinsip pemilihan obat profilaksis adalah :

1. Harus sesuai lini yang direkomendasikan (lini pertama lebih diutamakan dari
lini kedua), tetapi harus mempertimbangkan efek samping dan faktor komorbid
pasien.

2. Dimulai dengan dosis rendah, kemudian dosis dinaikkan perlahan-lahan hingga


didapatkan dosis maksimal yang efektif untuk pasien.

3. Obat diberikan dalam jangka waktu seminggu/lebih.

4. Obat dapat diganti dengan obat lain jika obat pilihan pertama gagal.

5. Obat lebih utama diberikan dalam bentuk monoterapi.

Sebelum diberikan terapi profilaksis, perlu ditanyakan penyakit komorbid lain


yang juga dialami oleh pasien, misalnya : pasien dengan hipertofi porstat dan
glaukoma tidak boleh diberikan amitriptilin. Pasien harus diinformasikan mengenai
cara kerja obat dan kapan saja waktu mengonsumsi obat. Selain itu, pasien juga
perlu mendapat penjelasan mengenai tingkat efikasi dan efek samping obat tersebut.

Pasien juga perlu mencatat tiap serangan nyeri pada catatan harian (headache
diary). Catatan ini berfungsi untuk mengetahui pola, frekuensi, dan durasi nyeri,
serta gangguan fungsional, jumlah obat simtomatis yang dikonsumsi, efikasi terapi
profilaksis, dan efek samping dari obat profilaksis maupun obat simtomatis. Oleh
karena faktor penting pencegahan kekambuhan nyeri kepala adalah dengan
mengidentifikasi faktor yang mencetuskan dan mengurangi nyeri kepala.

Walaupun tidak berbahaya, TTH adapat mengganggu aktvitas sehari-hari.


Kasus TTH terbanyak adalah kasus TTH episodik, namun akan sangat mudah
menjadi kronik akan meningkat jika pemicu dan stresor tidak bisa diatasi.

2.2.4. NYERI KEPALA CLUSTER / CLUSTER HEADACHE


2.2.4.1. DEFINISI
Nyeri kepala tipe klaster atau cluster headache (CH) merupakan nyeri kepala
tersering pada trigeminal autonomic cephalalgias (TAC), sehingga fokus
pembahasan pada bagian ini ialah mengenai CH. Prevalensi CH sangat jarang,
hanya kurang 1%. Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada lelaki dibanding
perempuan, dengan rasio sekitar 6:1, serta berusia lebih dari 30 tahun. Selain itu
faktor risiko juga jika mengkonsumsi vasodilator seperti alkohol, riwayat trauma,
dan operasi kepala, merokok, serta adanya stressor.

1.2.4.2. KLASIFIKASI CLUSTER HEADACHE


Terdapat dua jenis CH, yaitu:

1. CH episodik, merupakan serangan nyeri kepala klaster yang terjadi periodic dan
berlangsung tujuh hari sampai satu tahun. Setiap periode dipisahkan oleh
periode bebas nyeri yang akan berlangsung satu bulan atau lebih lama.

2. CH kronik, merupakan serangan nyeri kepala klaster yang terjadi selama lebih
dari satu tahun tanpa remisi atau disertai remisi namun berlangsung hanya
kurang dari satu bulan.
2.2.4.3.PATOFISIOLOGI CLUSTER HEADACHE
Walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak lama, tetapi patofisiologi yang
mendasari berbagai gejalanya hingga saat ini masih belum bisa dimengerti secara
jelas. Untuk memudahkan pemahaman penyakit ini, maka dilakukan pendekatan
patofisiologis berdasarkan gejala yang dialami pasien, yaitu: 1) nyeri kepala, 2)
gejala otonom, dan 3) periodisitas yang stereotipik. Stimulus nyeri kepala
disampaikan ke sistem saraf pusat melalui cabang nosiseptif oftalmikus nervus
Trigeminus. Cabang syaraf ini menginervasi struktur intrakranial yang sensitive
terhadap nyeri, seperti: duramater dan pembuluh darah dural. Ketika saraf atau
ganglion trigeminus teraktivasi, substansi P dan calcitonin gene-related peptide
(CGRP) akan dilepaskan. Pelepasan kedua jenis neuropeptide trigeminovaskular ini
merangsang inflamasi neurogenic dan dilatasi pembuluh darah yang kemudian
menimbulkan sensasi nyeri kepala.
Gejala otonom pada nyeri kepala klaster merupakan indikasi adanya aktivasi
saraf parasimpatis. Saraf ini merupakan cabang dari neuron orde pertama nucleus
salivatorius superior dan memiliki hubungan fungsional dengan nucleus trigeminus.
Serabut saraf ini selanjutnya memanjang sejajar nervus fasialis dan bersinaps di
ganglion pterigopalatina. Saraf post-ganglionik berfungsi sebagai vasomotor dan
sekremotor pembuluh darah serebral, kelenjar lakrimal, dan mukosa hidung. Hal
lain yang juga memicu munculnya gejala otonom adalah perubahan vaskular yang
menginduksi gangguan aktivitas saraf simpatis. Munculnya gejala sindrom Horner
(ptosis, miosis, injeksi konjungtiva) selama serangan nyeri kepala klaster,
mengindikasikan adanya pengaruh pleksus simpatis karotis, terutama pleksus di
sekitar arteri karotis interna segmen kavernosus.
Sementara itu, periode serangan yang episodik diduga berhubungan dengan
adanya disfungsi aktivitas hipotalamus. Hal ini dibuktikan dengan abnormalitas
kadar hormone kelenjar hipofisis yang mengindikasikan adanya perubahan ritme
sekretori hipotalamus.

2.2.4.4.DIAGNOSIS CLUSTER HEADACHE

Kriteria diagnostik cluster headache adalah:


a. Terdapat minimal 5 serangan yang memenuhi kriteria B-D

b. Nyeri hebat atau sangat hebat di orbita, supraorbital, dan atau temporal yang
unilateral, berlangsung 15-180 menit bila tidak diobati.

c. Nyeri kepala disertai setidaknya satu dari gejala berikut:

1) Injeksi konjungtiva dan atau lakrimasi ipsilateral

2) Kongesti nasal dan atau rhinorrhoea ipsilateral

3) Edema palpebral ipsilateral

4) Dahi dan wajah berkeringat ipsilateral


5) Miosis dan atau ptosis ipsilateral

6) Perasaan gelisah atau agitasi

d. Serangan-serangan tersebut mempunyai frekuensi: dari 1 kali setiap 2 hari sampai


8 kali per hari

Tidak berikaitan dengan gangguan lain

2.2.4.5.DIAGNOSIS BANDING CLUSTER HEADACHE

 Paroksismal hemikrania

 Short-lasting unilateral neuralgiform headache attack with conjungtival


injection and tearing/cranial autonomic features (SUNCT/SUNA)

 Migren

 Arteritis temporal

2.2.4.6. TATALAKSANA
Pada prinsipnya tata laksana nyeri kepala kluster bertujuan untuk menekan
periode serangan, menghentikan serangan akut, mengurangi frekuensi serangan,
serta mengurangi berat atau intensitas serangan.

Terapi untuk serangan akut nyeri kepala klaster:


1. Inhalasi oksigen 100% 7 L/menit selama 15 menit dengan sungkup

2. Dihidroergotamin (DHE) 0,5-1,5mg secara intravena akan mengurangi nyeri dalam 10


menit. Pemberian melalui intramuscular atau nasal memiliki awitan lebih lama.

3. Sumatriptan injeksi subkutan 6mg akan mengurangi nyeri dalam waktu 5-15 menit.
Dapat diulang setelah 24 jam. Sumatriptan nasal spray 20mg juga dapat diberikan,
tetapi kurang efektif jika dibandingkan sumatriptan injeksi subkutan. Efek sampingnya
adalah pusing, letih, parestesia, dan kelemahan di wajah.

4. Anestesi local 1mL lidokain 4% yang diteteskan pada kapas kemudian kapas diletakkan
di tiap lubang hidung selama 5 menit.

Indikasi terapi profilaksis:


a. Nyeri kepala klaster yang sulit hilang walaupun telah diberikan terapi abortif (gagal
terapi abortif)

b. Nyeri kepala klaster terjadi setiap hari dan berlangsung selama lebih dari 15 menit

c. Pasien yang bersedia dan mampu mengonsumsi obat setiap hari


Obat yang dapat digunakan untuk profilaksis:
1. Verapamil 120-160mg dapat diberikan 3-4 kali sehari (merupakan pilihan pertama
terapi profilaksis). Selain itu dapat juga menggunakan nimodipin 240mg/hari atau
nifedipin 40-120mg/hari.

2. Prednisolone 50-75mg/hari. Dosis dikurangi 10% pada hari ketiga. Obat ini tidak
boleh diberikan dalam jangka waktu yang lama. Efektif mencegah serangan pada
80-90% kasus.

3. Litium 300-1500mg/hari per oral (rata-rata pemberian 600-900mg/hari)

4. Metisergid 4-10mg/hari per oral

5. Ergotamin tartrat 2mg diberikan 2-3 kali per hari. Dapat diberikan dengan cara 2
mg per oral atau 1mg per rektal, 2 jam sebelum serangan terutama pada malam hari.

Selain terapi medikamentosa, pasien perlu disarankan untuk membiasakan diri


hidup sehat dan istirahat teratur, hindari konsumsi alkohol, batasi paparan terhadap
zat volatil seperti gasoline, hati-hati bila sedang berada di ketinggian, serta hindari
paparan terhadap produk tembakau dan sinar yang terlalu terang atau suara yang
terlalu gaduh (glare and bright light).

2.2.5. NEURALGIA TRIGEMINAL

2.2.5.1. DEFINISI

Neuralgia trigeminal atau yang dikenal juga dengan tic doulourex adalah nyeri
lesi di sepanjang cabang nervus trigeminus. Insidensnya lebih banyak pada
perempuan dibanding lelaki (2:1). Pada 90% pasien, awitan terjadi ketika pasien
berusia di atas usia 40 tahun, terutama usia 60-70 tahun. Jika terjadi di usia 20-40
tahun, penyebab demielinisasi akibat multiple sclerosis perlu dipertimbangkan.

2.2.5.2. KLASIFIKASI

International Headache Society (IHS) membedakan neuralgia trigeminal


menjadi 2 kategori:
1. Neuralgia trigeminal klasik, umumnya idiopatik. Namun seringkali berkaitan
dengan kompresi vaskular pada tempat masuknya cabang nervus trigeminus di
batang otak.

2. Neuralgia trigeminal simtomatik, sering disebabkan oleh lesi struktural, seperti


multiple sclerosis, anuerisma arteri basilar, atau tumor (neuroma trigeminal,
meningioma, epidermoid) pada cerebellopontine angle.
2.2.5.3. PATOFISIOLOGI
Sampai saat ini patofisiologi neuralgia trigeminal masih kontroversial.
Etiologinya dapat berasal dari sentral, perifer, atau keduanya. Nervus trigeminus
(N.V) dapat menghantarkan nyeri karena memiliki serabut saraf sensorik dari
ketiga cabangnya (gambar 5), yaitu cabang V1 (cabang oksipital) yang
mempersarafi kulit kepala, dahi, dan kepala bagian depan; cabang V2 (cabang
maksila) untuk hidung, pipi, serta rahang, bibir, gigi, dan gusi atas; serta cabang
V3 (cabang mandibular) pada area rahang, bibir, gigi, dan gusi bawah.
Umumnya tidak ada kelainan struktural (85%), namun sebagian ditemukan
adanya kompresi nervus trigeminal oleh arteri dan vena pada tempat masuknya
cabang nervus ini di batang otak. Kompresi ini menyebabkan demielinisasi yang
dapat mengakibatkan cedera nervus trigeminal, terutama pada cabang kedua dan
ketiga. Dapat ditemukan juga penekanan akibat tumor didaerah cerebellopontine
angle (CPA) yang biasanya disertai adanya baal di daerah wajah pada area ketiga
cabang N.V, serta paresis N.VII perifer dan gangguan pendengaran pada telinga
ipsilateral.
Nyeri neuropatik merupakan penanda utama dari kerusakan serat saraf aferen
kecil yang tidak bermielinisasi tipis. Rusaknya mielin (demielinisasi) ini
mengakibatkan hilangnya barrier antara satu serat saraf dengan serat saraf lainnya,
sehingga rentan terjadi “korsleting”. Hal ini diperburuk oleh mekanisme re-entry
yang mengakibatkan amplifikasi stimulus, sehingga stimulus akan dihantarkan
secara berlebihan. Kondisi lain yang dapat menyebabkan kerusakan pada myelin
adalah multiple sclerosis, kompresi oleh tumor nervus V, dan proses degeneratif.

2.2.5.4.DIAGNOSIS
Nyeri pada wajah unilateral yang bersifat episodik, spontan, menusuk, dan
seperti tersengat listrik pada daerah wajah yang dipersarafi oleh percabangan
nervus trigeminus. Nyeri bersifat progresif dalam waktu 20 detik, sehingga pasien
terlihat kesakitan yang kemudian menghilang dan menyisakan rasa terbakar yang
bertahan beberapa detik hingga menit.
Neuralgia yang klasik biasanya memiliki titik picu (trigger point) daerah wajah
yang dipersarafi nervus trigeminus cabang kedua atau ketiga (terutama daerah pipi
dan dagu). Hanya >5% pasien yang memiliki picu di daerah nervus trigeminus
cabang pertama. Pada 60% kasus, nyeri berasal dari ujung mulut hingga kearah
sudut rahang, sedangkan 30% dari bibir atas atau gigi taring atas hingga sekitar
mata dan alis.
Nyeri tidak pernah menjalar dari satu sisi ke sisi lainnya, tetapi nyeri pada
beberapa kasus dapat bilateral, umumnya penyebab sentral berupa multiple
sclerosis. Umumnya akan ada periode bebas nyeri yang dapat berlangsung
beberapa minggu hingga beberapa tahun. Di antara dua serangan dapat terasa nyeri
tumpul yang bertahan dan menetap di beberapa kasus. Sesudah serangan nyeri
umumnya akan ada periode refrakter, yaitu suatu periode bebas rasa nyeri (kondisi
tidak dapat dipicu).
Saat nyeri rekuren, titik picu umumnya akan berada pada tempat yang sama.
Pemeriksaan neurologis akan menunjukkan kondisi normal, kecuali jika dilakukan
pemeriksaan segera setelah nyeri muncul, berupa berkurangnya fungsi sensoris
pada daerah nyeri. Sebanyak 60% pasien dapat melokalisasi titik picu nyeri.
Diagnosis terutama berdasarkan nyeri yang khas pada daerah wajah yang
dipersarafi nervus trigeminal unilateral. Faktor pencetus nyeri adalah stimulus non-
nyeri yang merupakan bagian dari aktivitas sehari-hari, dapat berupa sentuhan,
berbicara, makan, minum, mengunyah, menyikat gigi, menyisir rambut, bercukur
rambut, terkena air saat mandi. Titik picu nyeri umumnya di daerah plika
nasolabialis.

Kriteria diagnostik neuralgia trigeminal berdasarkan IHS adalah:


1. Serangan nyeri paroksismal beberapa detik hingga dua menit yang
melibatkan 1 atau lebih cabang N. Trigeminal dan memenuhi kriteria B
dan C.

2. Nyeri paling sedikit memenuhi 1 karakteristik berikut:

a. Kuat, tajam, superfisial atau rasa tertikam.

b. Dicetuskan dari satu titik pada zona nyeri atau oleh satu faktor pencetus.

3. Jenis serangan stereotipik pada tiap individu.

4. Tidak ada defisit neurologis.

5. Tidak berkaitan degan gangguan pada organ lain.

Diagnosis banding dari penyakit ini meliputi sindroma nyeri fasial atipikal,
nyeri kepala kluster, neuralgia pascaherpes, dan nyeri akibat penyakit pada gigi
atau orbita.

Pemeriksaan pencitraan yang ideal adalah MRI dengan kontras untuk


membedakan neuralgia trigeminal klasik dan simtomatik, berupa adanya gambaran
kompresi saraf trigeminal oleh pembuluh darah atau tumor.

2.2.5.5. TATALAKSANA

 Terapi Medikamentosa

Neuralgia trigeminal klasik umumnya akan responsif dengan terapi


medikamentosa. Sementara itu, tata laksana neuralgia trigeminal simtomatik
harus disesuaikan dengan etiologinya. Terapi alternatif seperti stimulus
mekanik, elektrik, atau termal dapat digunakan untuk mengurangi nyeri dengan
efek samping yang lebih kecil dibanding dengan terapi medikamentosa.Pilihan
terapi yang dapat digunakan adalah oral berupa:
 Karbamazepin 100-600mg/hari

 Pregabalin 150-300mg/hari

 Gabapentin 1200-3600mg/hari

 Baklofen 60-80mg/hari

 Fenitoin 200-400mg/hari

 Lamotrigin 100-400mg/hari

 Topiramat 150-300mg/hari

 Okskarbazepin 300-2400mg/hari

 Terapi Nonmedikamentosa
Tata laksana pembedahan diindikasikan pada nyeri yang sulit dikontrol
walaupun sudah diberikan tata laksana medikamentosa, atau pada nyeri yang
simtomatik akibat penekanan oleh arteri atau tumor. Terdapat 5 prosedur terapi
pembedahan pada neuralgia trigeminal, sesuai dengan etiologinya, yaitu gamma
knife radiosurgery, radiofrequency electrocoagulation, injeksi gliserol, ballon
compression. Namun terapi pembedahan berisiko terjadinya anestesia dolorosa,
yaitu rasa baal di area yang dipersarafi nervus trigeminus.
Walaupun neuralgia trigeminal tidak membahayakan nyawa, namun sangat
mengganggu kualitas hidup akibat nyerinya yang hebat saat serangan dan dapat
berulang setiap saat. Hal ini dapat menyebabkan sindrom nyeri kronik dan
menyebabkan depresi. Pasien akan cenderung membatasi aktivitas yang
merangsang nyeri seperti mengunyah, sehingga akan kehilangan berat badan yang
signifikan. Bahkan pada kasus nyeri yang parah dapat mendorong pasien untuk
bunuh diri.

2.2.6. NYERI KEPALA SEKUNDER


Kelompok nyeri kepala sekunder pada dasarnya berbeda dengan nyeri
kepala primer karena merupakan sebuah gejala dari suatu proses organik dan
berhubungan dengan lebih dari gangguan dan penyakit. Oleh karena nyeri
kepala sekunder ini merepresentasikan suatu proses organic di tubuh, maka
setiap klinisi harus bisa mendeteksi dini masalah ini dengan cara mengenali
tanda bahaya nyeri kepala agar pasien tidak jatuh ke dalam kondisi yang
mengancam nyawa. Setelah diagnosis nyeri kepala sekunder ditegakkan,
selanjutnya pasien harus direncanakan beberapa pemeriksaan lebih lanjut
untuk mengetahui proses organik penyakit yang mendasarinya.
Pengenalan tanda bahaya nyeri kepala akan menuntun klinisi untuk
memutuskan urgensi pemeriksaan lanjutan (pencitraan otak, analisis cairan
otak, pemeriksaan darah) pada pasien dengan keluhan nyeri kepala. Tanda
bahaya ini berbeda antara orang dewasa dan anak-anak. Beberapa tanda
bahaya nyeri kepala pada orang dewasa, antara lain:

 Nyeri kepala pertama kali dan sangat parah (thunderclap headache).

 Nyeri kepala awitan pertama kali di atas usia 50 tahun.

 Nyeri kepala dengan peningkatan dengan peningkatan frekuensi dan


tingkat keparahan.

 Nyeri kepala kronik sehari-hari yang tidak responsif dengan terapi.

 Nyeri kepala yang terjadi selalu di satu sisi.

 Nyeri kepala yang terjadi setelah trauma kepala.

 Nyeri kepala dengan penyakit sistemik (demam, kaku kuduk, ruam


kulit).

 Nyeri kepala yang berhubung dengan kejang dan aura atipikal.

 Nyeri kepala dengan defisit neurologis.

 Nyeri kepala awitan baru pada pasien imunodefisiensi atau kanker.

 Nyeri kepala yang dicetuskan oleh perubahan posisi, aktivitas, dan


peregangan.

 Nyeri kepala yang pada pasien dengan sindroma neurokutaneus.

Berbeda dengan orang dewasa, tanda bahaya nyeri kepala pada anak,
antara lain:
 Nyeri kepala persisten dengan durasi <6 bulan yang tidak respon dengan
pengobatan.

 Nyeri kepala berhubungan dengan defisit neurologis, termasuk edema


papil, nistagmus, dan gangguan gait.

 Nyeri kepala persisten pada pasien yang tidak memiliki riwayat migren
di keluarga.

 Nyeri kepala persisten yang disertai gangguan kesadaran, disorientasi


atau muntah.

 Nyeri kepala yang sering membangunkan anak dari tidurnya, atau terjadi
segera setelah anak bangun tidur.
 Adanya riwayat penyakit saraf sebelumnya atau riwayat serupa di
keluarga yang mendukung ke arah kelainan susunan saraf pusat.

Tanda Bahaya Diagnosis Banding Rencana Pemeriksaan


Nyeri kepala setelah usia Arteritis temporal, lesi Laju endap darah,
50 tahun massa pencitraan
Nyeri kepala awitan Perdarahan subarachnoid, Pungsi lumbal, pencitraan
mendadak apopleksi pituitary,
malformasi ateriovena,
lesi massa (terutama fossa
posterior).
Nyeri kepala progresif Lesi massa, subdural Pencitraan, skrining obat
bertambah berat hematom, medication
overuse medication
Nyeri kepala dengan Meningitis, ensefalitis, Tes darah, pungsi lumbal,
penyakit sistemik infeksi sistemik, pencitraan
(demam, kaku kuduk, Lymedisease
ruam kulit)
Defisit neurologis fokal Lesi massa, stroke, Pencitraan, evaluasi
(selain aura tipikal) penyakit vaskular kolagen kolagen vaskular
(misalnya anterior
pituitary-like/APL)
Edema papil Lesi massa, pseudotumor, Pencitraan, pungsi lumbal
meningitis.
Tabel 10. Tanda Bahaya pada Evaluasi Pasien dengan Nyeri Kepala

Beberapa pemeriksaan lanjutan yang diindikasikan pada nyeri kepala sekunder


adalah pencitraan otak, laboratorium, analisis cairan otak, dan elektroensefalogram
(EEG), seperti pada Tabel 4. Pencitraan otak seperti CT scan dan MRI dapat dilakukan
untuk mendeteksi kelainan struktural. Kedua pemeriksaan ini memiliki karakteristik
masing-masing. CT scan lebih sensitive daripada MRI pada kasus stroke akut,
perdarahan subaraknoid (<24 jam). MRI lebih sensitive daripada CT scan untuk
mendeteksi keganasan, lesi di medulla spinalis, kelainan pituitary, dan malformasi
arterivena. CT angiografi, MR angiografi, MR venografi merupakan pemeriksaan
pencitraan yang dapat dilakukan untuk mengetahui kelainan vaskular.
Pemeriksaan laju endap darah dan protein C-reaktif diindikasikan pada nyeri
kepala sekunder terkait arteritis temporal. Pemeriksaan ANA dan faktor rheumatoid
dikerjakan untuk mengetahui adanya kelainan autoimun. Skrining toksikologi, darah
lengkap, hormone tiroid, dan tes fungsi hati adalah beberapa pemeriksaan yang dapat
dikerjakan untuk mengetahui penyakit yang mendasari nyeri kepala. Pungsi lumbal
dikerjakan pada kasus meningitis, ensefalitis, metastasis tumor leptomeningeal,
perdarahan subarachnoid, atau adanya perubahan tekanan cairan otak, sedangkan
elektroensefalografi (EEG) dilakukan pada nyeri kepala yang berhubungan dengan
bangkitan kejang atau epilepsi.Setelah mengetahui penyakit organik yang mendasari
nyeri kepala, tata laksana selanjutnya diberikan sesuai etiologinya.

Anda mungkin juga menyukai

  • Scrib 5
    Scrib 5
    Dokumen28 halaman
    Scrib 5
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Scrib 4
    Scrib 4
    Dokumen3 halaman
    Scrib 4
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Scrib 2
    Scrib 2
    Dokumen18 halaman
    Scrib 2
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Leaflet Skizofrenia
    Leaflet Skizofrenia
    Dokumen2 halaman
    Leaflet Skizofrenia
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Scrib 3
    Scrib 3
    Dokumen1 halaman
    Scrib 3
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Journalreading Rsjiklender
    Journalreading Rsjiklender
    Dokumen13 halaman
    Journalreading Rsjiklender
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Penyuluhn Skabies
    Penyuluhn Skabies
    Dokumen17 halaman
    Penyuluhn Skabies
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Contusio Cerebri
    Contusio Cerebri
    Dokumen12 halaman
    Contusio Cerebri
    Adhalma
    Belum ada peringkat
  • Scrib 1
    Scrib 1
    Dokumen4 halaman
    Scrib 1
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • OPTIMALKAN KONTRASEPSI
    OPTIMALKAN KONTRASEPSI
    Dokumen25 halaman
    OPTIMALKAN KONTRASEPSI
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Contusio Cerebri
    Contusio Cerebri
    Dokumen12 halaman
    Contusio Cerebri
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Subarachnoid Hemorrage
    Subarachnoid Hemorrage
    Dokumen33 halaman
    Subarachnoid Hemorrage
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Plasenta Previa
    Plasenta Previa
    Dokumen16 halaman
    Plasenta Previa
    Asyha Kantifa
    Belum ada peringkat
  • Bahan Referat
    Bahan Referat
    Dokumen27 halaman
    Bahan Referat
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • REFERAT
    REFERAT
    Dokumen35 halaman
    REFERAT
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • REFERAT
    REFERAT
    Dokumen35 halaman
    REFERAT
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Bahan Refreshing
    Bahan Refreshing
    Dokumen7 halaman
    Bahan Refreshing
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Angioudema
    Angioudema
    Dokumen10 halaman
    Angioudema
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Ab Inkomplit
    Ab Inkomplit
    Dokumen22 halaman
    Ab Inkomplit
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Staphylococcal Scaled Skin Syndrome
    Staphylococcal Scaled Skin Syndrome
    Dokumen3 halaman
    Staphylococcal Scaled Skin Syndrome
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • OPTIMALKAN KONTRASEPSI
    OPTIMALKAN KONTRASEPSI
    Dokumen25 halaman
    OPTIMALKAN KONTRASEPSI
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • SSJ
    SSJ
    Dokumen19 halaman
    SSJ
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • OPTIMALKAN KONTRASEPSI
    OPTIMALKAN KONTRASEPSI
    Dokumen25 halaman
    OPTIMALKAN KONTRASEPSI
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Cover Skripsi
    Cover Skripsi
    Dokumen2 halaman
    Cover Skripsi
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Pemfigus
    Pemfigus
    Dokumen14 halaman
    Pemfigus
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Ssss
    Ssss
    Dokumen5 halaman
    Ssss
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Alma Tugas 2
    Alma Tugas 2
    Dokumen1 halaman
    Alma Tugas 2
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Dermatitis Numularis
    Dermatitis Numularis
    Dokumen8 halaman
    Dermatitis Numularis
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Definisi Kusta
    Definisi Kusta
    Dokumen25 halaman
    Definisi Kusta
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat