1 Definisi
Penyakit kusta disebut juga sebagai lepra atau morbus Hansen. Istilah kusta
berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala-gejala kulit
secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen (MH), sesuai
dengan nama yang menemukan kuman yaitu dr. Gerhard Armauer Henrik Hansen1.
Kusta merupakan suatu penyakit infeksi kronik yang menular dan disebabkan
oleh Mycobacterium leprae (M.leprae) yang bersifat intraselular obligat. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian
atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1
2.2 Etiologi
2.3 Epidemiologi
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui secara
pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan
subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok umur
antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita. Menurut
WHO Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2015 adalah sekitar 210.758.
Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (156.118)
diikuti regional Amerika (28.806) dan Afrika (20.004), dan sisanya berada di reginal
lain.3
Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta <1 per
10.00 penduduk (<10 per 100.000 penduduk), pada tahun 2000. Setelah itu
Indonesia masih bisa menurunkan angka kejadian kusta meskipun relatif lambat.
Angka prevalensi kusta di Indonesia paa tahun 2017 sebesar 0,70 kasus per 10.000
penduduk dan angka penemuan kausus baru sebesar 6,08 kauss per 100.00
penduduk. Selain itu , ada beberrapa provinsi yang prevalensinya asih diatas 1 per
10.000 penduduk. Angka prevalensi ini belum bisa dinyatakan bebas kusta dan
terjadi di 10 proveinsi diindonesia. Pada tahun 2017 menurut pusat data dan
informasi kementrian kesehatan republik indonesia didapatkan jumlah kasus baru
kusta 2017 mencapai 15.920 (6,08%), sementara kasus baru kusta pada anak 0-14
tahun 1.759 (11,05%).3
Ti : Tuberkuloid indefinite
BT : Tuberkuloid tuberculoid
BB : Mid borderline
BL : Borderline lepromatous
Li : Tuberkuloid indefinite
4
Tabel 2 . Zona Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasi
KLASIFIKASI ZONA SPEKTRUM KUSTA
Ridley & Jopling TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepramatosa
WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
Puskesmas PB MB
Lesi
1. Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrat difus Plakat Dome-shapped
Papul Papul (Kubah)
Nodus Punched-out
2. Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung,
praktis tidak ada kulit masih ada kulit kulit sehat jelas
sehat sehat ada
BTA
1. Lesi kulit Banyak Banyak Agak banyak
(ada globus)
5
Tabel 4. Gambaran Klinis, Bakterilogik, dan Imunologik Kuta Pusibasilar
(PB)
Multibasilar berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, BL, dan BB.
Sedangkan pausibasilar mengandung sedikit kuman, yakni tipe TT, BT, dan I.
Diagnosis banding berbagai tipe tersebut tercantum pada tabel selanjutnya. 1
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL, dan BB pada
klasifikasi Ridley-Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan
pausibasilar adalah tipe I, TT, dan BT dengan IB kurang dari 2+.1
Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan klasifikasi.
Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada
pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi
Ridley-Jopling.1
Kusta dikenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena deformitas atau
cacat tubuh. Dengan begitu orang awam pun dapat dengan mudah menduga ke arah
penyakit kusta. Yang penting bagi kita sebagai dokter dan ahli kesehatan lainnya,
bahkan para ahli kecantikan dapat menduga ke arah penyakit kusta, terutama bagi
kelainan kulit yang masih berupa makula hipopigmentasi, hiperpigmentasi dan
eritematosa. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat berbentuk
makula saja, infiltrat saja, atau keduanya. Penyakit kusta memiliki julukan The
Greatest Imitator. 1
Sesuai dengan patofisiologinya deformitas atau cacat kusta dapat dibagi dalam
deformitas primer dan sekunder.
1. Cacat primer
Sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap
M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa
traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
2. Cacat sekunder
Terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan saraf
(sensorik, motorik, otonom), antara lain kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.1
N. ulnaris:
N. medianus:
- anastesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
- tidak mampu aduksi ibu jari
- clawing pada ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
- adanya kontraktur pada ibu jari
- atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
N. radialis:
N. poplitea lateralis:
N. tibialis posterior:
N. fasialis:
N. trigeminus:
Dapat terjadi kerusakan mata primer dan sekunder pada penderita kusta.
Kerusakan primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, dapat pula
mendesak jaringan mata lainnya. Kerusakan sekunder disebabkan oleh rusaknya
N.fasialis yang dapat membuat paralisis sebagian atau seluruhnya pada N.orbikularis
palpebrarum, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya dapat menyebabkkan
kerusakan bagian-bagian mata lainnya yang akhirnya dapat menyebabkan
kebutaan1.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,
kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia.
Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan
hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis1.
10
2.5 Pemeriksaan Penunjang1
Untuk menegakkan diagnosis terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan:
Pemeriksaan histopatologik
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar dari
paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas
makrofag adalah melakukan fagositosis. Apabila SIS orang tersebut dalam
keadaan tinggi, makrofag mampu memfagosit kuman. Datangnya histiosit ke
tempat kuman disebabkan karena adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya
berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah
bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan
dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Penyebab utama kerusakan jaringan
dan cacat karena adanya massa epiteloid berlebihan dikelilingi oleh limfosit
yang disebut tuberkel. Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah
tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada atau hanya sedikit
kuman dan non-solid5.
Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat
11
bersifat spesifik terhadap M.leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1
(PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD5.
Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta
yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping
itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit,
misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik
kusta ialah:
o Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
o Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay)
o ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)
o ML flow test (Mycobacterium leprae flow test).
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS, kemudian
klofazimin, dan rifampisin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik
lain untuk pengobatan alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin2.
12
Diberikan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan. Satu blister untuk 1
bulan.
1) Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
- 2 kapsul rifampisin @300 mg (600 mg)
- 1 tablet dapson/DDS 100 mg
Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister.
Dosis anak disesuaikan dengan berat badan:
13
Rifampisin 300 mg/ 450 mg/ 600 mg/ Minum depan
bln bln bln petugas
DDS Berdasar 25 mg/ 50 mg/ 100 mg/ Minum depan
-kan BB bln bln bln petugas
25 mg/ 50 mg/ 100 mg/ Minum di rumah
hari hari hari
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologi belum jelas betul, terminologi dan
klasifikasi masih bermacam-macam. Mengenai patofisiologisnya yang belum jelas
tersebut akan dijelaskan secara imunologik. Reaksi imun dapat menguntungkan
tetapi dapat pula merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini
tergolong di dalamnya. Dalam klasifikasi yang bermacam-macam itu, yang
tampaknya paling banyak dianut pada akhir-akhir ini, yaitu:12
15
Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacat yang
ditimbulkannya. Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan
atau kaki. Semakin lama waktu sejak pertama ditemukan tanda dini hingga
dimulainya pengobatan, semakin besar risiko timbulnya kecacatan akibat terjadinya
kerusakan saraf yang progresif.2
Salah satu penyebab terjadinya kerusakan akut fungsi saraf adalah reaksi kusta.
Bila kerusakan saraf terjadi kurang dari 6 bulan dan diobati dengan cepat dan tepat,
tidak akan terjadi kersusakan saraf yang permanen. Pada cacat permanen, yang dapat
dilakukan hanya upaya mencegah pertambahan cacat dan rehabilitasi medis.2
Ada 2 jenis cacat kusta, yaitu cacat primer yang disebabkan langsung oleh
aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae,
seperti anestesi, claw hand, dan kulit kering; sedangkan cacar sekunder terjadi akibat
cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan saraf, seperti ulkus dan kontraktur.2
16
2.7.1 Reaksi Tipe 1
Reaksi ini banyak terjadi pada spektrum borderline (Borderline lepromatous,
borderline-borderline, borderline tuberculoid), karena tipe borderline ini
merupakan tipe tidak stabil. Reaksi tipe ini terutama selama pengobatan karena
adanya peningkatan hebat respons imun selular secara tiba-tiba, mengakibatkan
terjadinya respons inflamasi pada daerah kulit dan saraf yang terkena. Inflamasi
pada jaringan saraf dapat mengakibatkan kerusakan dan kecacatan.2
Gejala reaksi tipe 1 dapat dilihat berupa perubahan pada kulit, maupun saraf
dalam bentuk peradangan. Pada kulit umumnya berupa sebagian atau seluruh lesi
yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative
singkat; artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin
eritematosa lesi makula/bercak menjadi infiltrate/plakat, lesi plakat makin
infiltrative dan lesi lama makin bertambah luas. Tidak perlu seluruh gejala harus
ada, satu saja sudah cukup. Pada saraf terjadi neuritis akut, berupa nyeri saraf (nyeri
tekan atau spontan) dan atau gangguan fungsi saraf. Adanya gejala neuritis akut
perlu diperhatikan oleh karena sangat menentukan pada pemberian pengobatan
dengan kortikosteroid, sebab tanpa gejala neuritis akut pengobatan dengan
kortikosteroid adalah fakultatif.2
17
2.7.2. Reaksi Tipe 2
Terjadi pada pasien tipe MB (lepromatous leprosy dan boerderline
lepromatous). Merupakan reaksi humoral berupa reaksi antigen (M. leprae) dan
antibodi pasien yang akan mengaktifkan sistem komplemen sehingga terbentuk
kompleks imun. Kompleks imun tersebut akan menimbulkan respon inflamasi
dan akan terdegradasi dalam beberapa hari. Karena beredar dalam sirkulasi
darah, kompleks imun tersebut dapat mengendap ke berbagai organ, terutama
pada lokasi dimana M. leprae berada dalam konsentrasi tinggi: seperti pada kulit
(Erythema nodusum leprosum), saraf (neuritis), limfonodus (limfadenitis),
tulang (arthritis), ginjal (nefritis), dan testis (orkitis). Gejala klinis pada kulit
berupa nodus, eritema dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan
tungkai. Gejala ini umumnya menghilang dalam beberapa hari atau lebih dan
mungkin keunguan. Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 3 minggu atau
lebih. ENL dapat disertai gejala konstituasi dari ringan hingga berat.2
18
Tabel 9. Perbedaan reaksi kusta tipe 1 dan 2
19
Tabel 10. Perbedaan Reaksi Kusta Tipe Ringan dan Berat
konstituasi
4 Gangguan Tidak ada Tidak ada Tidak ada Iridocyclitis,
pada nephritis,
organ lain lymphadenitis,
20
Dll
21
6 bulan terakhir, adanya rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir, adanya
bercak pecah atau nodul pecah, adanya bercak aktif (meradang) diatas lokasi
saraf tepi.2
Bila terdapat salah satu dari gejala diatas berarti ada reaksi berat dan
perlu diberikan obat anti reaksi berupa; Prednison (untuk tipe 1 dan 2)
digunakan untuk penanganan atau pengobatan reaksi, Lampren (untuk reaksi
tipe 2) digunakan untuk penanganan/pengobatan reaksi ENL yang berulang
(steroid dependent), Thalidomid (untuk reaksi tipe 2) tidak dipergunakan
dalam program.2
22
2 minggu pertama 40 mg/hari (1x8 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu kedua 30 mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu ketiga 20 mg/hari (1x4 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu keempat 15 mg/hari (1x3 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu kelima 10 mg/hari (1x2 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu keenam 5 mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah makan
23
ENL berat Sesuai skema Sesuai skema
berulang
(dependent
steroid)
BAB III
KESIMPULAN
Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacat yang
ditimbulkannya. Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata,
tangan atau kaki. Semakin lama waktu sejak pertama ditemukan tanda dini hingga
dimulainya pengobatan, semakin besar risiko timbulnya kecacatan akibat
terjadinya kerusakan saraf yang progresif.
24
ke rumah sakit, reaksi tipe 2 berat yang berulang diberikan prednisone dan
lampren.
Kondisi reaksi pasien yang sebaiknya dilakukan diunit rujukan adalah sebagai berikut; ENL melepuh,
pecah (ulserasi) suhu tubuh tinggi, neuritis, Reaksi tipe 1 disertai dengan bercak ulserasi atau
neuritis, Reaksi yang disertai komplikasi penyakit lain yang berat, misalnya hepatitis, DM, hipertensi,
tukak lambung berat
25