Anda di halaman 1dari 25

2.

1 Definisi

Penyakit kusta disebut juga sebagai lepra atau morbus Hansen. Istilah kusta
berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala-gejala kulit
secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen (MH), sesuai
dengan nama yang menemukan kuman yaitu dr. Gerhard Armauer Henrik Hansen1.

Kusta merupakan suatu penyakit infeksi kronik yang menular dan disebabkan
oleh Mycobacterium leprae (M.leprae) yang bersifat intraselular obligat. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian
atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1

2.2 Etiologi

Bakterium Mycobacterium leprae, juga disebut Basillus Hansen, adalah bakteri


yang menyebabkan penyakit kusta (penyakit Hansen). Bakteri ini merupakan
bakteri intraselular. Mycobacterium leprae merupakan gram- positif berbentuk
tongkat. Mycobacterium leprae mirip dengan Mycobacterium tuberculosis dalam
besar dan bentuknya. Mycobacterium lepromatosis adalah bakteri yang, bersama
dengan Mycobacterium leprae, menyebabkan lepra (penyakit Hansen). Baru-baru
ini ditemukan, pada tahun 2008. Analisis gen 16S rRNA menegaskan bahwa
spesies ini berbeda dari Mycobacterium leprae. M. lepromatosis adalah acid-fast
bacillus (AFB) yang menyebabkan lepra lepromatous difus (DLL). DLL terutama
ditemukan di Meksiko dan Karibia. DLL adalah bentuk parah kusta yang
bermanifestasi melalui invasi saraf dan ulserasi kulit yang luas.24

2.3 Epidemiologi

Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui secara
pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan
subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok umur
antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita. Menurut
WHO Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2015 adalah sekitar 210.758.
Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (156.118)
diikuti regional Amerika (28.806) dan Afrika (20.004), dan sisanya berada di reginal
lain.3

Tabel 1 Situasi Kusta Menurut WHO 2015


1
Regional WHO Jumlah Kasus baru yang Case Detection Rate
ditemukan
(case detection rate/100.000)
Afrika 20.004 2,6
Amerika 28.806 3,2
Asia Tenggara 156.118 8,1
Mediterania Timur 2.167 0,34
Pasifik Barat 3.645 0,2
Eropa 18 0,004
Total 210.758 3,2

Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta <1 per
10.00 penduduk (<10 per 100.000 penduduk), pada tahun 2000. Setelah itu
Indonesia masih bisa menurunkan angka kejadian kusta meskipun relatif lambat.
Angka prevalensi kusta di Indonesia paa tahun 2017 sebesar 0,70 kasus per 10.000
penduduk dan angka penemuan kausus baru sebesar 6,08 kauss per 100.00
penduduk. Selain itu , ada beberrapa provinsi yang prevalensinya asih diatas 1 per
10.000 penduduk. Angka prevalensi ini belum bisa dinyatakan bebas kusta dan
terjadi di 10 proveinsi diindonesia. Pada tahun 2017 menurut pusat data dan
informasi kementrian kesehatan republik indonesia didapatkan jumlah kasus baru
kusta 2017 mencapai 15.920 (6,08%), sementara kasus baru kusta pada anak 0-14
tahun 1.759 (11,05%).3

Gambar 1 Peta Eliminasi Kusta Provinsi di Indonesia Tahun 2017

2.4 Manifestasi Klinis


Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis dan
histopatologis, dan serologis. Diantara ketiganya, diagnosis yang terpenting dan
paling sederhana adalah secara klinis. Memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit
2
untuk mendapatkan hasil bakterioskopis, sedangkan histopatologik 10-14 hari.
Kalau memungkinkan dapat dilakukannya tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu
penentuan tipe, hasilnya dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta
perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuai1. Untuk menegakan
diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama, yaitu2:

1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa


Kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk becak putih (hipopigmentasi) atau
kemerahan (eritema) yang mati asa (anastesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi syraf
Gangguan fungsi syaraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi
(neuriritis perifer) kronis. Gangguan syaraf dapat berupa gangguan fungsi
syaraf sensorik (mati rasa ataupun gangguan syaraf motorik (paresis atau
paralisis otot)
3. Adanya basil tahan asam (BTA) didala kerokan karingan kulit
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kustta bilamana terdapat satu dari
tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat
didiagnosis dari pemeriksaan klinis. Apabila hanya ditemukan cardinal
sign kedua, perlu dirujuk. Jika masih ragu orang tersebut dianggap sebgai
penderita yang dicurigai (supek)
Tanda-tanda tersaangka kusta adalah:
1. Tanda-tanda pada kulit
 Bercak kulit yang merah atau putih (gambaran yang paling sering
ditemukan) dan atau plakat pada kulit. terutama pada wajah dan telinga
 Bercak kurang atau mati rasa
 Bercak yang tidak gatal
 Kulit mengkilap atau kering bersisik
 Adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat dan atau tidak berambut
 Lepuh tidak nyeri

2. Tanda tanda pada syaraf


 Nyeri tekan dan atau spontan pada syaraf
 Rasa kesemutan , tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak
 Kelemahan anggota gerak dan atau wajah
3
 Adanya cacat (deformitas)
 Luka (ulkus) yang sulit sembuh
3. Lahir dan tinggal didaerah endemis kusta dan mempunyai kelainan kulit
yang tidak sembuh dengan pengobatan rutin, terutama bila terdapat
keterlibatan syaraf tepi.2
Bila kuman M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, gejala klinis akan
timbul sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung
pada sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila tampak gambaran klinis ke
arah tuberkuloid, menandakan SIS yang baik. Sebaliknya jika SIS rendah akan
memberikan gambaran lepramatosa2. Ridley dan Jopling memperkenalkan
istilah spektrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe
atau bentuk, yaitu:1
TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

Ti : Tuberkuloid indefinite

BT : Tuberkuloid tuberculoid

BB : Mid borderline

BL : Borderline lepromatous

Li : Tuberkuloid indefinite

LL : Lepramatosa polar, bentuk yang stabil

Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tuberkuloid


polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil, jadi berarti tidak
mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepramatosa polar, yakni
lepramatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah
lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti
campuran antara tuberkuloid dan lepramatosa. BB adalah tipe campuran yang
terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50% lepramatosa. BT dan Ti lebih banyak
tuberkuloidnya, sedang BL dan Ti lebih banyak lepramatosanya. Tipe-tipe
campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah
TT maupun ke arah LL. Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:

4
Tabel 2 . Zona Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasi
KLASIFIKASI ZONA SPEKTRUM KUSTA
Ridley & Jopling TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepramatosa
WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
Puskesmas PB MB

Tabel 3.Gambaran klinis, Bakteriologi, dan Imunologik Kusta Multibasilar (MB)

Sifat Lepromatosa Borderline Mid Borderline


(LL) Lepromatosa (BL) (BB)

Lesi
1. Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrat difus Plakat Dome-shapped
Papul Papul (Kubah)
Nodus Punched-out
2. Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung,
praktis tidak ada kulit masih ada kulit kulit sehat jelas
sehat sehat ada

3. Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris

4. Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak


berkilat
5. Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas

6. Anastesia Tidak ada sampai Tidak jelas Lebih jelas


tidak jelas

BTA
1. Lesi kulit Banyak Banyak Agak banyak
(ada globus)

2. Sekret hidung Banyak Biasanya negatif Negatif


(ada globus)

Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

Sifat Tuberkuloid Borderline Indeterminate


(TT) Tuberkuloid (I)
(BT)
Lesi

5
Tabel 4. Gambaran Klinis, Bakterilogik, dan Imunologik Kuta Pusibasilar
(PB)

1. Bentuk Makula saja; Makula dibatasi Hanya makula


makula dibatasi infiltrat; infiltrat
infiltrat saja

2. Jumlah Satu, dapat Beberapa atau Satu atau beberapa


beberapa satu dengan
satelit
3. Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi
4. Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat
5. Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau tidak
6. Anastesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak
jelas
BTA
1. Lesi kulit Hampir selalu Negatif atau Biasanya negatif
negative hanya 1+
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah
atau negatif

Multibasilar berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, BL, dan BB.
Sedangkan pausibasilar mengandung sedikit kuman, yakni tipe TT, BT, dan I.
Diagnosis banding berbagai tipe tersebut tercantum pada tabel selanjutnya. 1

Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL, dan BB pada
klasifikasi Ridley-Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan
pausibasilar adalah tipe I, TT, dan BT dengan IB kurang dari 2+.1

Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan klasifikasi.
Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada
pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi
Ridley-Jopling.1

Tabel 5. Diagnosis Klinis Menurut WHO


PB MB
6
1. Lesi kulit - 1-5 lesi - > 5 lesi
(makula datar, papul - Hipopigmenta - Distribusi lebih
yang meninggi, nodus)
si/eritema simetris
- Distribusi - Hilangnya sensasi
asimetris kurang jelas
- Hilangnya
sensasi yang
jelas
2. Kerusakan saraf - Hanya satu - Banyak cabang saraf
(menyebabkan cabang saraf
hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)

Gambar 2. Jenis Kusta Pausibasilar

Gambar 3. Jenis Kusta Multibasilar

Ada kemungkinan terdapat persamaan maupun perbedaan tipe, antara diagnosis


secara klinis dan histopatologik. Perlu diingat bahwa diagnosis klinis seseorang
7
harus didasarkan pada hasil pemeriksaan kelainan klinis seluruh tubuh orang
tersebut. Sebaiknya jangan hanya didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja,
sebab ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah berbeda dengan tubuh, lengan,
tungkai, dan sebagainya. Bahkan pada satu lesi (kelainan kulit) pun dapat berbeda
tipenya, sebagai contoh di sisi kiri berbeda dengan sisi kanan. Begitu pula dasar
diagnosis histopatologik, tergantung pada beberapa tempat dan dari tempat mana
diambilnya biopsi tersebut. Sebagaimana pada umumnya dalam bentuk diagnosis
klinis, dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan yang
menggunakan alat sederhana, yaitu: jarum, kapas, tabung reaksi masing-masing
dengan air panas dan air dingin, pensil tinta, dan sebagainya.1

Kusta dikenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena deformitas atau
cacat tubuh. Dengan begitu orang awam pun dapat dengan mudah menduga ke arah
penyakit kusta. Yang penting bagi kita sebagai dokter dan ahli kesehatan lainnya,
bahkan para ahli kecantikan dapat menduga ke arah penyakit kusta, terutama bagi
kelainan kulit yang masih berupa makula hipopigmentasi, hiperpigmentasi dan
eritematosa. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat berbentuk
makula saja, infiltrat saja, atau keduanya. Penyakit kusta memiliki julukan The
Greatest Imitator. 1

Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom, perhatikan terlebih


dahulu daerah lesi tersebut. Karena dapat terlihat jelas adanya dehidrasi pada daerah
lesi tersebut atau dapat pula tidak terlihat adanya dehidrasi, yang dapat dipertegas
dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Caranya dengan menggoresnya
mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, akan tampak goresan
yang lebih tebal pada kulit normal bila dibangdingkan dengan bagian tengah lesi.
Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang terkadang dapat
membantu dalam pemeriksaan, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut
sedikit akan sangat sulit untuk menentukannya. Gangguan fungsi motoris diperiksa
dengan Voluntary Muscle Test (VMT)1

Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi,


ada atau tidaknya nyeri spontan dan atau nyeri tekan. Hanya beberapa saraf
8
superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N.fasialis, N.aurikularis magnus,
N.radialis, N.ulnaris, N.medianus, N.poplitea lateralis, dan N.tibialis posterior. Bagi
tipe yang mengarah ke tipe lepromatosa, kelainan saraf biasanya bilateral dan
menyeluruh. Sedangkan bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi
mengikuti tempat lesinya1.

Sesuai dengan patofisiologinya deformitas atau cacat kusta dapat dibagi dalam
deformitas primer dan sekunder.

1. Cacat primer
Sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap
M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa
traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
2. Cacat sekunder
Terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan saraf
(sensorik, motorik, otonom), antara lain kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.1

Gejala – gejala kerusakan saraf :

N. ulnaris:

- anastesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis


- clawing pada kelingking dan jari manis
- atrofi otot hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.

N. medianus:

- anastesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
- tidak mampu aduksi ibu jari
- clawing pada ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
- adanya kontraktur pada ibu jari
- atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.

N. radialis:

- anastesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk


- tangan gantung (wrist drop)
9
- tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.

N. poplitea lateralis:

- anastesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis


- kaki gantung (foot drop)
- kelemahan otot peroneus.

N. tibialis posterior:

- anastesia telapak kaki


- claw toes
- paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.

N. fasialis:

- cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus


- cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah
dan kegagalan mengatupkan bibir.

N. trigeminus:

- anastesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata


- atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.

Dapat terjadi kerusakan mata primer dan sekunder pada penderita kusta.
Kerusakan primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, dapat pula
mendesak jaringan mata lainnya. Kerusakan sekunder disebabkan oleh rusaknya
N.fasialis yang dapat membuat paralisis sebagian atau seluruhnya pada N.orbikularis
palpebrarum, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya dapat menyebabkkan
kerusakan bagian-bagian mata lainnya yang akhirnya dapat menyebabkan
kebutaan1.

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,
kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia.
Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan
hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis1.
10
2.5 Pemeriksaan Penunjang1
Untuk menegakkan diagnosis terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan:

 Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)


Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan
kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan
terhadap basil tahan asam (BTA), seperti ZIEHL-NEELSEN. Bila hasil
bakterioskopik negatif pada seseorang penderita, bukan berarti menandakan
orang tersebut tidak mengandung kuman M.leprae5.

 Pemeriksaan histopatologik
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar dari
paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas
makrofag adalah melakukan fagositosis. Apabila SIS orang tersebut dalam
keadaan tinggi, makrofag mampu memfagosit kuman. Datangnya histiosit ke
tempat kuman disebabkan karena adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya
berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah
bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan
dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Penyebab utama kerusakan jaringan
dan cacat karena adanya massa epiteloid berlebihan dikelilingi oleh limfosit
yang disebut tuberkel. Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah
tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada atau hanya sedikit
kuman dan non-solid5.

 Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat

11
bersifat spesifik terhadap M.leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1
(PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD5.
Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta
yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping
itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit,
misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik
kusta ialah:
o Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
o Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay)
o ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)
o ML flow test (Mycobacterium leprae flow test).

2.6 Tatalaksana Kusta

Kemoterapi kusta dimulai tahun 1949 dengan DDS (diaminodefil sulfon)


sebagai obat tunggal (monoterapi DDS). DDS untuk PB harus diminum selama 3-
5 tahun, sedangkan untuk MB diminum selama 5-10 tahun, bahkan seumur hidup.
Kekurangan monoterapi DDS adalah terjadinya resistensi, timbulnya kuman
persisters serta terjadinya pasien defaulter. Pada tahun 1964 ditemukan resistensi
terhadap DDS. Oleh sebab itu pada tahun 1982 WHO merekomendasikan
pengobatan kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe PB maupun MB2.

Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS, kemudian
klofazimin, dan rifampisin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik
lain untuk pengobatan alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin2.

Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk:

- Mencegah dan mengbati resistensi


- Memperpendek masa pengobatan
- Mempercepat pemutusan mata rantai penularan.

Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan


oleh WHO (Kemenkes RI Direktorat Jenderal PP & PL, 2012). Regimen tersebut
adalah sebagai berikut:2

a) Pada pasien kusta dewasa tipe PB

12
Diberikan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan. Satu blister untuk 1
bulan.
1) Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
- 2 kapsul rifampisin @300 mg (600 mg)
- 1 tablet dapson/DDS 100 mg

2) Pengobatan harian: hari ke 2-28


- 1 tablet dapson/DDS 100 mg

b) Pada pasien kusta anak tipe PB (umur 10-15 tahun)


1) Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
- 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
- 1 tablet dapson/DDS 50 mg
2) Pengobatan harian: hari ke 2-28
- 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Diberikan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan. Satu blister untuk 1
bulan.

Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister.
Dosis anak disesuaikan dengan berat badan:

o Rifampisin: 10-15 mg/kgBB


o Dapson: 1-2 mg/kgBB
o Lampren: 1 mg/kgBB

Tabel 6. Pengobatan pasien kusta anak tipe PB2

Jenis obat < 5 th 5-9 Th 10-15 > 15 th Keterangan


Th

13
Rifampisin 300 mg/ 450 mg/ 600 mg/ Minum depan
bln bln bln petugas
DDS Berdasar 25 mg/ 50 mg/ 100 mg/ Minum depan
-kan BB bln bln bln petugas
25 mg/ 50 mg/ 100 mg/ Minum di rumah
hari hari hari

c) Pada pasien kusta dewasa tipe MB2


Diberikan 12 blister yang diminum selama 12-18 bulan. Satu blister untuk
1 bulan.
1) Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
- 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
- 3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg)
- 1 tablet dapson/DDS 100 mg
d) Pada pasien kusta anak tipe MB
1) Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
- 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
- 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
- 1 tablet dapson/DDS 50 mg
2) Pengobatan harian: hari ke 2-28
- 1 tablet lampren 50 mg selang sehari
- 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Tabel 7. Pengobatan pasien kusta anak tipe MB2

Jenis obat < 5 th 5-9 th 10-15 th > 15 th Keterangan


Rifampisin 300 mg/ 450 mg/ 600 mg/ Minum depan
14
bln bln bln petugas
Dapson 25 mg/ bln 50 mg/ bln 100 mg/ Minum depan
bln petugas
25 mg/ bln 50 mg/ bln 100 mg/ Minum di rumah
Berdasar bln
Lampren -kan BB 100 mg/ 150 mg/ 300 mg/ Minum depan
bln bln bln petugas
50 mg 2x 50 mg 50 mg per Minum di rumah
seminggu setiap 2 hari
hari

Setelah pengobatan dihentikan (Release from Treatment / RFT atau


Completion of Treatment / COT), penderita akan masuk dalam masa pengamatan
(kontrol / surveilance), yaitu penderita akan dikontrol secara klinik dan juga
bakterioskopik yang dilakukan minimal sekali dalam 1 tahun selama 5 tahun untuk
penderita kusta tipe MB. Sedangkan untuk penderita kusta tipe PB akan dikontrol
secara klinik sekali dalam 1 tahun selama 2 tahun. Bila pada masa tersebut tidak
ditemukan adanya kuman yang aktif, maka penderita dinyatakan bebas dari
pengamatan (Release from Control / RFC)6

2.7. Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologi belum jelas betul, terminologi dan
klasifikasi masih bermacam-macam. Mengenai patofisiologisnya yang belum jelas
tersebut akan dijelaskan secara imunologik. Reaksi imun dapat menguntungkan
tetapi dapat pula merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini
tergolong di dalamnya. Dalam klasifikasi yang bermacam-macam itu, yang
tampaknya paling banyak dianut pada akhir-akhir ini, yaitu:12

a. Reaksi reversal atau reaksi upgrading atau Reaksi kusta tipe I


b. ENL (eritema nodusum lepramatosum) atau Reaksi kusta tipe II

15
Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacat yang
ditimbulkannya. Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan
atau kaki. Semakin lama waktu sejak pertama ditemukan tanda dini hingga
dimulainya pengobatan, semakin besar risiko timbulnya kecacatan akibat terjadinya
kerusakan saraf yang progresif.2

Salah satu penyebab terjadinya kerusakan akut fungsi saraf adalah reaksi kusta.
Bila kerusakan saraf terjadi kurang dari 6 bulan dan diobati dengan cepat dan tepat,
tidak akan terjadi kersusakan saraf yang permanen. Pada cacat permanen, yang dapat
dilakukan hanya upaya mencegah pertambahan cacat dan rehabilitasi medis.2

Ada 2 jenis cacat kusta, yaitu cacat primer yang disebabkan langsung oleh
aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae,
seperti anestesi, claw hand, dan kulit kering; sedangkan cacar sekunder terjadi akibat
cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan saraf, seperti ulkus dan kontraktur.2

Table 8. Faktor pencetus reaksi tipe 1 dan 2

Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2

Pasien dengan bercak multiple Obat MDT, kecuali lampren

Bercak luas pada wajah dan lesi BI >4+

Saat puerpurium (peningkatan CMI), Kehamilan awal (stress mental),

selama kehamilan trimester 3 trimaster 3, dan puerpurium (stress

(penurunan CMI), 6 bulan setelah fisik), setiap masa kehamilan (infeksi

melahirkan/masa menyusui penyerta)

Infeksi penyerta: Hepatitis B & C Infeksi penyerta: streptokokus, virus

Neuritis atau riwayat nyeri saraf Stress fisik dan mental

Lain-lain seperti trauma, operasi

16
2.7.1 Reaksi Tipe 1
Reaksi ini banyak terjadi pada spektrum borderline (Borderline lepromatous,
borderline-borderline, borderline tuberculoid), karena tipe borderline ini
merupakan tipe tidak stabil. Reaksi tipe ini terutama selama pengobatan karena
adanya peningkatan hebat respons imun selular secara tiba-tiba, mengakibatkan
terjadinya respons inflamasi pada daerah kulit dan saraf yang terkena. Inflamasi
pada jaringan saraf dapat mengakibatkan kerusakan dan kecacatan.2
Gejala reaksi tipe 1 dapat dilihat berupa perubahan pada kulit, maupun saraf
dalam bentuk peradangan. Pada kulit umumnya berupa sebagian atau seluruh lesi
yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative
singkat; artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin
eritematosa lesi makula/bercak menjadi infiltrate/plakat, lesi plakat makin
infiltrative dan lesi lama makin bertambah luas. Tidak perlu seluruh gejala harus
ada, satu saja sudah cukup. Pada saraf terjadi neuritis akut, berupa nyeri saraf (nyeri
tekan atau spontan) dan atau gangguan fungsi saraf. Adanya gejala neuritis akut
perlu diperhatikan oleh karena sangat menentukan pada pemberian pengobatan
dengan kortikosteroid, sebab tanpa gejala neuritis akut pengobatan dengan
kortikosteroid adalah fakultatif.2

Gambar 4. Contoh reaksi kusta tipe 1

17
2.7.2. Reaksi Tipe 2
Terjadi pada pasien tipe MB (lepromatous leprosy dan boerderline
lepromatous). Merupakan reaksi humoral berupa reaksi antigen (M. leprae) dan
antibodi pasien yang akan mengaktifkan sistem komplemen sehingga terbentuk
kompleks imun. Kompleks imun tersebut akan menimbulkan respon inflamasi
dan akan terdegradasi dalam beberapa hari. Karena beredar dalam sirkulasi
darah, kompleks imun tersebut dapat mengendap ke berbagai organ, terutama
pada lokasi dimana M. leprae berada dalam konsentrasi tinggi: seperti pada kulit
(Erythema nodusum leprosum), saraf (neuritis), limfonodus (limfadenitis),
tulang (arthritis), ginjal (nefritis), dan testis (orkitis). Gejala klinis pada kulit
berupa nodus, eritema dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan
tungkai. Gejala ini umumnya menghilang dalam beberapa hari atau lebih dan
mungkin keunguan. Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 3 minggu atau
lebih. ENL dapat disertai gejala konstituasi dari ringan hingga berat.2

Gambar 4. Contoh reaksi kusta tipe 2

18
Tabel 9. Perbedaan reaksi kusta tipe 1 dan 2

No Gejala dan Tanda Reaksi Tipe 1 Reaksi Tipe 2


1. Tipe Kusta Dapat terjadi pada kusta tipe Hanya terjadi pada kusta tipe
PB ataupun MB MB
2. Waktu Timbulnya Biasanya segera setelah Biasanya setelah mendapatkan
pengobatan pengobatan yang lama,
umumnya lebih dari 6 bulan
3. Keadaan Umum Umumnya baik, demam Ringan sampai berat disertai
ringan (sub-febris) atau kelemahan umum dan demam
tanpa demam tinggi
4. Peradangan di kulit Bercak di kulit lama Timbul nodus kemerahan,
kelamaan akan meradang lunak, dan nyeri tekan.
(merah), bengkak, berkilat, Biasannya pada lengan dan
hangat. Kadang-kaang tungkai. Nodus dapat pecah
hanya pada sebagian lesi.
Dapat timbul bercak baru.
5. Saraf Sering terjadi umumnya Dapat terjadi
berupa nyeri syaraf dan atau
gangguan fungsi syaraf.
Silent neuritis (+)
6. Udema pada (+) (-)
ekstremitas
7. Peradangan pada Anestesi kornea dan Iritis, Iridosiklitis, Glaucoma,
mata lagoftalmus karena Katarak dll
kerlibatan N V dan N.VII
8. Peradangan pada Hampir tidak ada Terjadi pada testis, sendi, ginjal,
organ lain kelenjar getah bening, dll

19
Tabel 10. Perbedaan Reaksi Kusta Tipe Ringan dan Berat

No Organ Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2


yang Ringan Berat Ringan Berat
terkena
1 Kulit Bercak putih Bercak putih Nodus, merah, Nodus, merah,
menjadi menjadi panas, dan panas, dan
merah; yang merah; yang nyeri, dapat nyeri, dapat
merah merah menjadi ulkus menjadi ulkus
menjadi lebih menjadi lebih Jumlah sedikit Jumlah
merah. Bercak merah. banyak
meninggi Timbul bercak
baru, kadang
disertai
malaise dan
panas

Ulserasi (-) Ulserasi (+)


Edema tangan Edema tangan
dan kaki (-) dan kaki (+)
2 Saraf tepi Membesar, Membesar, Membesar, Membesar,
tidak nyeri nyeri tidak nyeri Nyeri
Fungsi saraf Fungsi saraf Fungsi saraf Fungsi saraf

Tidak terganggu Tidak Terganggu


Terganggu Terganggu
3 Gejala Demam (-) Demam (+/-) Demam (+/-) Demam (+)

konstituasi
4 Gangguan Tidak ada Tidak ada Tidak ada Iridocyclitis,
pada nephritis,
organ lain lymphadenitis,

20
Dll

Gambar 5. Ridley Jopling; hubungan imunitas dengan tipe reaksi

2.8. Tatalaksana Reaksi Kusta


Sebagian besar pasien reaksi dapat ditangani oleh petugas pengelola
program kusta di Puskesmas, namun ada kalanya harus dirujuk. Hal tersebut
tergantung pada; tipe reaksi yang dialami dan berat ringannya reaksi tersebut,
ada tidaknya komplikasi atau kontra indikasi yang dapat mempengaruhi
penanganan reaksi, obat yang tersedia tingkat kemampuan penanganan
medis.2

Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dahulu lakukan


identifikasi tipe reaksi yang dialami serta derajat reaksinya. Hal ini dapat
dinilai dari hasil kesimpulan pemeriksaan pada formulir pencatatan
pencegahan cacat (POD); adanya lagofthalmus baru terjadi dalam 6 bulan
terakhir, adanya nyeri raba saraf tepi, adanya kekuatan otot berkurang dalam

21
6 bulan terakhir, adanya rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir, adanya
bercak pecah atau nodul pecah, adanya bercak aktif (meradang) diatas lokasi
saraf tepi.2

Bila terdapat salah satu dari gejala diatas berarti ada reaksi berat dan
perlu diberikan obat anti reaksi berupa; Prednison (untuk tipe 1 dan 2)
digunakan untuk penanganan atau pengobatan reaksi, Lampren (untuk reaksi
tipe 2) digunakan untuk penanganan/pengobatan reaksi ENL yang berulang
(steroid dependent), Thalidomid (untuk reaksi tipe 2) tidak dipergunakan
dalam program.2

 Tatalaksana reaksi ringan

Prinsip tatalaksana reaksi ringan adalah; berobat jalan, istirahat


dirumah, pemberian analgetik atau antipiretik, obat penenang bila perlu,
MDT diberikan terus dengan dosis tetap, menghindari/menghilangkan faktor
pencetus.2

 Tatalaksana reaksi berat

Prinsip tatalaksana reaksi berat adalah; berobat jalan, istirahat


dirumah, pemberian analgetik atau antipiretik, obat penenang bila perlu,
MDT diberikan terus dengan dosis tetap, menghindari/menghilangkan faktor
pencetus, memberikan obat anti reaksi (Prednison, Lampren), bila ada
indikasi rawat inap pasien dikirim ke rumah sakit, reaksi tipe 2 berat yang
berulang diberikan prednisone dan lampren.2

Table 11. Skema pemberian prednisone

22
 2 minggu pertama 40 mg/hari (1x8 tab) pagi hari sesudah makan
 2 minggu kedua 30 mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah makan
 2 minggu ketiga 20 mg/hari (1x4 tab) pagi hari sesudah makan
 2 minggu keempat 15 mg/hari (1x3 tab) pagi hari sesudah makan
 2 minggu kelima 10 mg/hari (1x2 tab) pagi hari sesudah makan
 2 minggu keenam 5 mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah makan

Table 12. Skema pemberian lampren


 300 mg/hari atau 3 x 100 mg selama 2 bulan
 200 mg/hari atau 2 x 100 mg selama 2 bulan
 100 mg/hari selama 2 bulan

Tabel 13. Terapi Reaksi Kusta Berat


Tipe reaksi Prednison Lampren
neuritis
Tipe 1 dan 2 Seusai skema. Periksa ulang setiap 2
berat minggu melihat keadaan klinis dann
Dewasa fungsi saraf
 Bila membaik, dosis prednisone
diturunkan sesuai skema
 Bila menetap, dosis prednisone
dilanjutkan selama 1 minggu
 Bila memburuk, dosis prednisone
dinaikkan 1 tingkat diatasnya
Tipe 1 dan 2 Dosis maksimal awal
berat 1 mg/kgBB
Anak Evaluasi setiap 2 minggu untuk
penurunan dosis
Total lama pengobatan maksimal 12
minggu
Neuritis Pada neuritis yang terjadi < dari 6
bulan diberikan prednisone dosis
standar 12 minggu. Dosis dimulai
40-60 mg/hari dengan dosis
maksimal 1mg/kgBB. Biasanya
terjadi penyembuhan dalam
beberapa hari

23
ENL berat Sesuai skema Sesuai skema
berulang
(dependent
steroid)

 Indikasi Rujukan Pasien Reaksi ke Rumah Sakit


Kondisi reaksi pasien yang sebaiknya dilakukan diunit rujukan adalah
sebagai berikut;

1. ENL melepuh, pecah (ulserasi) suhu tubuh tinggi, neuritis


2. Reaksi tipe 1 disertai dengan bercak ulserasi atau neuritis
3. Reaksi yang disertai komplikasi penyakit lain yang berat, misalnya
hepatitis, DM, hipertensi, tukak lambung berat.

BAB III
KESIMPULAN
Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacat yang
ditimbulkannya. Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata,
tangan atau kaki. Semakin lama waktu sejak pertama ditemukan tanda dini hingga
dimulainya pengobatan, semakin besar risiko timbulnya kecacatan akibat
terjadinya kerusakan saraf yang progresif.

Reaksi tipe 1 ini banyak terjadi pada spektrum borderline (Borderline


lepromatous, borderline-borderline, borderline tuberculoid), karena tipe
borderline ini merupakan tipe tidak stabil. Gejala reaksi tipe 1 dapat dilihat berupa
perubahan pada kulit, maupun saraf dalam bentuk peradangan. Reaksi tipe 2 terjadi
pada pasien tipe MB (lepromatous leprosy dan boerderline lepromatous). Gejala
klinis pada kulit berupa nodus, eritema dan nyeri dengan tempat predileksi di
lengan dan tungkai.

Sebagian besar pasien reaksi dapat ditangani oleh petugas pengelola


program kusta di Puskesmas, namun ada kalanya harus dirujuk. Prinsip tatalaksana
reaksi ringan adalah; berobat jalan, istirahat dirumah, pemberian analgetik atau
antipiretik, obat penenang bila perlu, MDT diberikan terus dengan dosis tetap,
menghindari/menghilangkan faktor pencetus. Bila berat ditambah memberikan
obat anti reaksi (Prednison, Lampren), bila ada indikasi rawat inap pasien dikirim

24
ke rumah sakit, reaksi tipe 2 berat yang berulang diberikan prednisone dan
lampren.
Kondisi reaksi pasien yang sebaiknya dilakukan diunit rujukan adalah sebagai berikut; ENL melepuh,
pecah (ulserasi) suhu tubuh tinggi, neuritis, Reaksi tipe 1 disertai dengan bercak ulserasi atau
neuritis, Reaksi yang disertai komplikasi penyakit lain yang berat, misalnya hepatitis, DM, hipertensi,
tukak lambung berat

25

Anda mungkin juga menyukai