Anda di halaman 1dari 41

TUGAS MATA KULIAH PROGRAM PENANGGULANGAN PENYAKIT

MENULAR
PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT KUSTA

DISUSUN OLEH :

Kelompok 3
Ranti Christin Marpaung 181000033
Silvi Anggraeni M 181000082
Ridho Nugraha Pane 181000164
Cynthia Gabriella Gea 181000197
Destri Rhamadany Tanjung 181000234

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
MEDAN
2021
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Puji Syukur kita panjatkan kepada Tuhan YME sebagai pencipta dan pengatur
kehidupan di dunia, karena hanya dengan berkat, rahmat, dan karunia-
Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami berterima kasih kepada
Bapak Teguh selaku Dosen mata kuliah Program Penanggulangan Penyakit
Menular yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Terima kasih pula kepada
teman-teman anggota kelompok yang turut berpartisipasi dalam membuat
makalah ini, sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. 
Adapun judul makalah ini adalah Program Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Kusta. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Program Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Kusta. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan.
Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Medan, Mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR I
DAFTAR ISI II
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Definisi Penyakit Kusta 3
B. Klasifikasi Penyakit Kusta 3
C. Etiologi Penyakit Kusta 5
D. Patogenesis Penyakit Kusta 6
E. Tanda dan Gejala dari Penyakit Kusta 7
F. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penyakit Kusta 8
G. Epidemiologi Penyakit Kusta 11
H. Gambaran Kasus Penyakit Kusta di Dunia dan di Indonesia 16
I. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kusta 24
J. Peraturan Pengendalian Kusta di Indonesia 29
K. Studi Kasus dari Penyakit Kusta di Indonesia 32
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan 37
B. Saran 38
DAFTAR PUSTAKA 39
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kusta atau biasa dikenal dengan lepra atau Morbus Hansen yaitu penyakit
menular yang diakibatkan Mycobacterium leprae yang menginfeksi bagian tubuh
manusia seperti kulit, susunan saraf tepi, mata dan saluran pernapasan. Kusta
merupakan penyakit yang menimbulkan masalah kesehatan di dunia dan
Indonesia hingga saat ini, karena apabila tidak ditangani dengan segera akan
menimbulkan kerusakan permanen dengan masalah yang kompleks (Kementerian
Kesehatan RI, 2018a).
Laporan WHO (World Health Organization) tahun 2019 menunjukkan
terdapat 208.619 kasus baru kusta dengan jumlah penderita yang didiagnosis
mengalami kecacatan tingkat 2 yaitu sebanyak 11.323 penderita yang tercatat dari
semua laporan negara yang tergabung di dalam WHO pada tahun 2018.
Sedangkan pasien yang terdaftar mengikuti pengobatan hanya sebesar 184.212
dari keseluruhan kasus yang dilaporkan (WHO,2019).
Jumlah kasus baru kusta pada tahun 2018 menurun jika dibandingkan dengan
tahun sebelumnya yaitu 211.182 kasus pada tahun 2017. Kasus baru kusta yang
tertinggi terdapat di regional Asia yaitu sebesar 148.495, sedangkan regional
dengan kasus baru terendah yaitu berada di regional Eropa dengan jumlah kasus
baru sebesar 50 kasus (WHO, 2019).
Pada tahun 2018 Indonesia berada pada urutan ketiga di dunia yang memiliki
jumlah penderita kusta tertinggi setelah negara India (120.334) dan Brazil
(28.660) dengan jumlah kasus sebesar 17.017. Indonesia mengalami peningkatan
jumlah kasus jika dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya dengan total kasus
berturut-turut pada tahun 2017 dan 2016 sebesar 15.910 dan 16.826 kasus (WHO,
2019).
Pada tahun 2018 Indonesia memiliki prevalensi kusta 0,70 kasus/10.000
penduduk. Pada beberapa daerah, laki-laki memiliki jumlah penderita kusta dua
kali lebih tinggi daripada perempuan. Di Indonesia, penderita laki-laki memiliki
prevalensi sebesar 62,7% sedangkan perempuan yaitu sebesar 37,3%
(Kementerian Kesehatan RI, 2018b).
Sejak tahun 2000 Indonesia telah melakukan eliminasi kusta pada tingkat
nasional dengan prevalensi 1/10.000 penduduk. Adapun 25 provinsi lainnya
(73,53%) telah mencapai status eliminasi kusta. Sembilan provinsi yang belum
melakukan eliminasi yaitu Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat,
Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Gorontalo, Papua Barat dan Papua
(Kementerian Kesehatan RI, 2018a).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari penyakit Kusta ?
2. Bagaimana klasifikasi dari penyakit Kusta ?
3. Bagaimana etiologi dari penyakti Kusta ?
4. Bagaimana patogenesis dari penyakit Kusta ?
5. Apa saja gejala dari penyakit Kusta ?
6. Apa saja faktor – faktor resiko dari penyakit Kusta ?
7. Bagaimana epidemiologi penyakit Kusta ini ?
8. Bagaimana gambaran kasus penyakit Kusta ?
9. Apa pencegahan dan pengendalian dari penyakit Kusta ?
10. Bagaimana Peraturan pengendalian dari penyakit Kusta ?
11. Bagaimana study kasus dari penyakit Kusta ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Penyakit Kusta
Kusta atau yang biasa dikenal dengan sebutan lepra yaitu penyakit menular
kronik yang diakibatkan oleh Mycobacterium leprae. Kusta juga memiliki nama
lain yaitu Morbus Hansen, yakni sama dengan nama orang yang menemukan
kuman kusta. Asal kata kusta yaitu kustha dari bahasa Sansakerta yang memiliki
arti sekumpulan gejala yang terdapat pada kulit. Penyakit kusta menyerang pada
beberapa bagian tubuh diantaranya kulit, mata, dan juga anggota gerak. Kusta
tergolong penyakit infeksi kronik sehingga apabila tidak ditangani dengan segera
akan menjadi progresif dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dengan
masalah yang kompleks. Namun tidak sama seperti anggapan yang ada di
masyarakat, penyakit kusta tidak sama seperti penyakit tzaraath yang dapat
menyebabkan pelepasan anggota tubuh dengan sangat mudah (Kementerian
Kesehatan RI, 2018a).
Kementerian Kesehatan RI (2018a) menyatakan bahwa penyakit kusta telah
ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. Pernyataan tersebut ditandai dengan
adanya bukti sejarah kusta di India, Mesir, Tiongkok dan Mesopotamia pada
ratusan hingga ribuan tahun yang lalu. Pada masa itu, penduduk yang menderita
kusta diasingkan karena merasa rendah diri dan malu serta menimbulkan rasa jijik
dan takut bagi masyarakat karena dianggap sebagai penyakit kutukan. Hingga
pada tahun 1873, seorang dokter dari Norwegia yang bernama Gerhard Armauer
Henrik Hansen berhasil mengidentifikasi kuman penyebab penyakit kusta.

B. Klasifikasi Penyakit Kusta


1. Klasifikasi berdasarkan WHO
WHO mengklasifikasikan kusta atas 2 macam yaitu :
a. Kusta tipe Pausibasiler (PB)
Kusta tipe Pausibasiler (PB) atau yang sering juga disebut dengan
kusta tipe kering memiliki ciri-ciri yaitu jumlah bercak kusta 1 hingga 5
tempat, berwarna putih menyerupai panu, mati rasa, tampak kering dan
kasar namun tidak berkeringat, bulu pada kulit tidak tumbuh, adanya
kerusakan saraf di satu tempat dan pengujian BTA negatif. Kusta tipe ini
bersifat tidak menular
b. Kusta tipe Multibasiler (MB)
Kusta tipe Multibasiler (MB) atau yang biasa disebut dengan kusta
basah yaitu ditandai dengan adanya bercak kusta lebih dari 5 tempat,
pada bercak terdapat penebalan yang diikuti dengan kerusakan saraf tepi
yang banyak, serta hasil pengujian BTA positif. Tipe kusta multibasiler
sangat mudah terjadi penularan.
Tabel 2.1 Tanda Utama Kusta pada tipe PB dan MB
Paucibacillary
Multibacillary
Tanda Utama (PB)/ Kusta
(MB)/ Kusta Basah
Kering
Bercak Kusta Jumlah < 5 Jumlah > 5
Penebalan syaraf tepi
disertai gangguan fungsi
(mati rasa atau kelemahan
Hanya 1 syaraf >1 syaraf
otot, didaerah yang
dipersarafi saraf yang
bersangkutan).
Kerokan jaringan kulit BTA negative BTA positif
Apabila satu dari tanda utama MB ditemukan, maka paien
diklasifikasikan sebagai kusta MB. Sementara itu, tanda lain yang dapat
dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan klasifikasi penyakit kusta
yaitu :
Tabel 2.2 Tanda lain untuk menemukan klasifikasi kusta
Paucibacillary (PB)/ Multibacillary (MB)/
Tanda Utama
Kusta Kering Kusta Basah
Unilateral atau
Distribusi Bilateral simetris
bilateral asimetris
Permukaan
Kering, kasar Halus, megkilat
bercak
Batas bercak Tegas Kurang tegas
Mati rasa pada
Jelas Biasanya kurang jelas
bercak
Proses terjadi lebih Terjadi pada tahap
Deformitas
cepat lanjut
Madarosis, hidung
Ciri – ciri Khas -
pelana, wajah singa

2. Klasifikasi berdasarkan Madrid (1953)


Klasifikasi jenis ini sering disebut sebagai klasifikasi internasional.
Klasifikasi Madrid terdiri atas dua tipe dan dua grup. Dua tipe tersebut terdiri
atas Lepromatous (L) dan Tuberculoid (T) serta dua grup yaitu Indeterminate
(I) dan Dimorphous (D).
a. Lepromatous (L) memiliki ciri-ciri infiltrat nodular berwarna merah
kecoklatan dan sering terjadi pada orang dengan gangguan imunitas.
b. Tuberculoid (T) memiliki ciri-ciri kusta yaitu adanya plak eritematosa
yang berbatas tegas atau Pausibasiler (PB) dan biasanya terjadi ketika
imunitas penderita masih dalam keadaan baik.
3. Klasifikasi berdasarkan Ridley – Joping
Klasifikasi ini berdasarkan pada bakteriologi, imunologi, histopatologi
dan gejala klinis. Sehingga tipe ini sering disebut dengan immunological
classification. Klasifikasi Ridley-Jopling terdiri atas :
a. Tipe Tuberculoid leprosy (TT)
Tipe Tuberculoid leprosy (TT) atau Pausibasiler (PB), hampir sama
dengan tipe Tuberculoid (T) pada klasifikasi Madrid. Tipe ini ditandai
dengan adanya lesi yang berbatas tegas yang muncul saat imunitas
penjamu masih dalam keadaan baik. Pada tipe ini juga sudah terjadi
penurunan fungsi dari sensitivitas termal dan adanya rasa nyeri saat
disentuh.
b. Tipe Borderline tuberculoid leprosy (BT)
Tipe Borderline tuberculoid leprosy (BT) ditandai dengan adanya lesi
yang banyak jika dibandingkan dengan tipe Tuberculoid (T). Lesi berupa
infiltrat eritematosa, batas tegas, dan asimetris. Fungsi saraf juga masih
terlihat kurang jelas dan mycobacteria yang dapat dideteksi hanya
sedikit.
c. Tipe Bordeline-borderline leprosy (BB)
Tipe Bordeline-borderline leprosy (BB) ditandai dengan adanya
peningkatan jumlah lesi. Lesi tersebar simetris yang menunjukkan tipe
Tuberculoid dan Lepromatosa. Pada tipe ini banyak bakteri yang dapat
terdeteksi.
d. Tipe Borderline lepromatous leprosy (BL)
Tipe Borderline lepromatous leprosy (BL) ditandai dengan banyaknya
makula, lesi yang tidak berbatas tegas, hipopigmentasi dan infiltrasi plak.
Lesi pada umumnya menyebar secara simetris dan adanya keterlibatan
saraf perifer yang luas.
e. Tipe Lepromatous leprosy (LL)
Tipe Lepromatous leprosy (LL) atau Multibasiler (MB), hampir sama
dengan tipe Lepromatous (L) pada klasifikasi Madrid. Tipe ini sering
terjadi pada individu yang memiliki masalah pada imunitas. Gejala klinis
ditandai dengan beberapa infiltrat nodular berwarna merah kecoklatan.
Lesi yang berbentuk seperti bantal yang disebut dengan “fasies leonine”.

C. Etiologi Penyakit Kusta


Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang
ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen tahun 1873 di Norwegia. Mycobacterium
ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi
oleh membran sellilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium. Kuman
berukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro biasanya berkelompok dan
ada yang tersebarsatu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau
gram positf. Bakteri kusta banyak terdapat pada kulit tangan, daun telinga, dan
daun mukosa. Bakteri ini mengalami proses pembelahan secara biner yang
memerlukan replikasi antara 12-21 hari, tumbuh maksimal pada suhu 270 C
hingga 300 C. Kuman ini mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwann
cell) dan sel sistem retikuloendotelial. . Kuman M.leprae masuk kedalam tubuh,
setelah itu menuju sel pada saraf tepi. Di dalam sel, kuman berkembangbiak, sel
tersebut pecah dan kemudian menginfeksi sel yang lain atau kekulit. Daya tahan
hidup kuman kusta mencapai 9 hari diluar tubuh manusia. Kusta memiliki masa
inkubasi 2-5 tahun bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun.
Basil ini hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu rendah dan tidak
dapat dikultur dalam media buatan (in vitro). Secara mikroskopis, tampak basil
yang bergerombol seperti ikatan cerutu, sehingga disebut packet of cigars (globi)
yang terletak intraseluler dan ekstraseluler. Pada pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN)
akan tampak berwarna merah yang merupakan basil tahan asam.
Dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan
arabinogalaktan dan mycolic acid. Lipoara binomanan merupakan target
lipoglikan respon imunitas seluler maupun humoral yang ditemukan pada
membran bagian luar hingga ke membran sel. Kapsul M. Leprae mengandung 2
lipid bakteri utama yaitu pthioceroldi mycocerosate dan phenolic glycolipid-1
(PGL-1) yang merupakan glikolipid spesifik untuk M. leprae yang aktif secara
serologis. Phenolic glycolipid-1 sangat imunogenik, dapat memicu
imunoglobulin. Imunoglobulin (Ig) M ditemukan pada 60% kusta tipe TT dan
90% kusta tipe LL.

D. Patogenesis Penyakit Kusta


Kusta dapat menular melalui inhalasi dan melalui kontak langsung dengan
penderita. Namun tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman Mycobacterium
leprae ( M. Lepray ) akan menderita kusta. Penderita yang mengandung
Mycobacterium leprae yang lebih banyak belum tentu memiliki gejala yang lebih
berat, dan sebaliknya penderita yang mengandung Mycobacterium leprae sedikit
belum tentu memiliki gejala yang lebih ringan. Hal itu disebabkan derajat infeksi
kusta dipengaruhi oleh respon imun yang berbeda. Oleh karena itu, penyakit kusta
disebut juga sebagai penyakit imunologik. Gejala klinis sebanding dengan tingkat
imunitas selulernya daripada intensitas infeksinya.
Mycobacterium leprae sebagai mikroorganisme yangmenyebabkan kusta
masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi yaitu mukosa hidung dan melalui kulit
yang lecet pada bagian tubuh yang memiliki suhu yang dingin. Mikroorganisme
ini bersifat intraseluler obligat terutama di sel makrofag di seluruh pembuluh
darah pada dermis dan sel Schwann pada jaringan saraf. Jika Mycobacterium
leprae masuk ke tubuh maka tubuh akan mengeluarkan makrofag untuk
fagositosis. Sel Schwann merupakan sel target pertumbuhan Mycobacterium
leprae. Jika terjadi gangguan imunitas tubuh dan sel Schwann maka basil dapat
bermigrasi dan beraktifasi, akibatnya aktifitas regenerasi saraf berkurang dan
terjadi kerusakan saraf progresif.
Pada kusta tipe lepromatosa (LL) mengakibatkan kelumpuhan pada imunitas
selulernya sehingga makrofag tidak mampu menghancurkan basil Mycobacterium
leprae yang mengakibatkan basil dapat bermultiplikasi secara bebas. Selanjutnya
mikroorganisme dapat merusak jaringan. Pada kusta tipe tuberkuloid (TT)
kemampuan imunitas selulernya tinggi, sehingga makrofag mampu untuk
menghancurkan basil Mycobacterium leprae. Namun setelah semua basil
dihancurkan atau difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang
tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans.
Jika infeksi ini tidak segera diatasi maka akan terjadi reaksi yang berlebihan dan
masa epiteloid akan menyebabkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya.

E. Tanda dan Gejala dari Penyakit Kusta


Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah, hal ini bergantung
pada beberapa faktor. Mycobacterium leprae memiliki masa inkubasi penyakit
yang sangat lambat yaitu sekitar 5 tahun dan gejala yang ditimbulkan baru mulai
muncul setelah 20 tahun.Gejala kusta yaitu ditemukan adanya lesi tunggal atau
ganda, biasanya kurang berpigmen dari kulit sekitarnya.
Tanda awal berupa bercak keputihan dengan batas yang kadang kurang jelas
dan mulai atau sudah mati rasa pada area bercak.Tanda tersebut masih belum
dapat dipastikan tipenya. Gejala-gejala yang terdapat pada penderita penyakit
kusta yaitu : panas dari derajat rendah sampai menggigil, anoreksia, nausea,
cephalgia, kadang-kadang disertai iritasi, neuritis. Selain itu ada tanda-tanda
dugaan yang belum dapat digunakan sebagai dasar sesorang dinyatakan menderita
kusta. Tanda-tanda tersebut diantaranya adalah bercak kulit yang merah atau
putih, bercak tidak gatal, kulit mengkilap atau kering bersisik, ditemukan kelainan
kulit seperti tidak berkeringat atau tidak berambut, adanya luka yang sulit
sembuh, nyeri tekan pada saraf, kelemahan anggota gerak atau wajah dan rasa
kesemutan, seperti tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak.
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama
(cardinal sign) yaitu :
a. Kelainan kulit yang mati rasa
Kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk hipopigmentasi (bercak putih)
atau anestesi (mati rasa) pada kulit.
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini disebabkan peradangan saraf tepi yang kronis.
Gangguan saraf ini bisa berupa :
1) Gangguan fungsi sensoris merupakan gangguan yang ditandai dengan
mati rasa.
2) Gangguan fungsi motoris merupakan gangguan yang ditandai dengan
kelemahan atau kelumpuhan otot.
3) Gangguan fungsi otonom merupakan gangguan yang ditandai dengan
kulit kering dan retak-retak.
c. Hasil pemeriksaan laboratorium dari kerokan jaringan kulit menunjukkan
BTA (basil tahan asam) positif.

F. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penyakit Kusta


1. Umur
Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun demikian jarang
dijumpai pada umur yang sangat muda.Frekuensi terbanyak adalah pada umur
15-29 tahun. Pada beberapa penelitian dilaporkan bahwa prevalensi kusta
meningkat sampai usia 20 tahun, kemudian mendatar antara 20-50 tahun dan
setelah itu menurun. Kejadian kusta lebih sering terjadi pada penderita orang
tua dibandingkan pada anak-anak dan dewasa muda. Terjadinya kecacatan
kusta pada usia yang lebih tua tergantung pada kondisi fisik seseorang (daya
tahan tubuh), terjadinya penurunan berbagai fungsi organ tubuh yang akan
mempermudah kelompok usia tua jatuh dalam kondisi yang lebih parah
dengan penyakit yang cenderung bersifat progresif dan irreversible.

2. Jenis Kelamin
Penyakit kusta dapat menyerang semua orang.Laki-laki lebih banyak
terkena dibandingkan wanita. Perbandingan 2 : 1, walaupun ada beberapa
daerah yang menunjukkan insiden ini hampir sama, bahkan ada daerah yang
menunjukkan penderita wanita lebih banyak.

3. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan dianggap sebagai salah satu unsur yang ikut
menentukan pengalaman dan pengetahuan seseorang, baik dalam ilmu
pengetahuan maupun kehidupan sosial.

4. Jenis lantai
Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah, kontruksi
lantai rumah harus kedap air dan selalu kering agar mudah dibersihkan dari
kotoran dan debu.Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap
terhadap air seperti tegel, semen, keramik.Lantai yang tidak memenuhi syarat
dapat dijadikan tempat hidup dan perkembangbiakan kuman dan vektor
penyakit.Selain itu dapat menyebabkan meningkatnya kelembaban dalam
ruangan.

5. Faktor Imunitas
Pada individu dengan respon imunitas selular baik akan menjadi kusta
tuberkuloid, sedang bila respon imunitas jelek menjadi kusta lepromatosa.
Respon imunitas selular meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, tetapi
pada usia tertentu akan mengalami penurunan. Respon imun tersebut tidak
berbeda antara laki-laki dan wanita.
6. Faktor Kuman
Kusta dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman-kuman kusta yang
masih utuh kemungkinan dapat menimbulkan penularan, sedangkan bentuk
yang tidak utuh tidak menular.Suatu kenyataan kuman bentuk utuh yang
keluar dari tubuh yang sakit tidak banyak. Juga faktor lamanya kuman kusta
di luar badan manusia memegang peranan pula dalam hal penularan ini, yaitu
bila kuman keluar dari badan penderita maka kuman dapat bertahan 1-2 hari
dan ada pula yang berpendapat 7 hari, hal ini tergantung dari suhu/cuaca di
luar, maka panas cuaca di luar makin cepat kuman kusta akan mati.

7. Kelembaban
Kelembaban sangat penting untuk pertumbuhan kuman penyebab
penyakit.Kelembaban yang tinggi dapat menjadi tempat yang disukai oleh
kuman untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya.Secara umum
penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan
hygrometer.Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara
yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-70% dan
kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah
70%.Komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan biologis agar
aman bagi penguhinya, salah satunya adalah lantai harus kedap air. Jenis
lantai tanah menyebabkan kondisi rumah menjadi lembab yang
memungkinkan segala bakteri berkembangbiak.Hal ini menyebabkan kondisi
ketahanan tubuh menjadi lebih buruk, sehingga dapat menyebabkan gangguan
atau penyakit terhadap penghuninya dan memudahkan seseorang terinfeksi
penyakit. Kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa
hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikro
organism.Kelembaban unutk Mycobactrium leprae dapat hidup dalam secret
hidung yang dikeringkan pada temperature kamar 36,70C dengan kelembaban
77,6%.30 Mycobacterium leprae hidup diluar hospes dengan temperature dan
kelembaban yang bervariasi. Mycobacterium leprae dapat bertahan hidup 7-9
hari pada kelembaban 70,9%. Sedangkan pada temperatur kamar dibuktikan
dapat bertahan hidup sampai 46 hari.

8. Ventilasi
Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang
menyenangkan dan menyehatkan manusia. Berdasarkan kejadiannya, maka
ventelasi dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu:
a. Ventilasi alam
Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu: daya difusi
dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan massa di udara karena
perubahan temperatur. Ventilasi alam ini mengandalkan pergerakan
udara bebas (angin), temperatur udara dan kelembabannya.Selain melalui
jendela, pintu dan lubang angin, maka ventilasi pun dapat diperoleh dari
pergerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan
lantai.
b. Ventilasi buatan.
Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan
menggunakan alat mekanis maupun elektrik.Alat-alat tersebut
diantaranya adalah kipas angin, exhauster dan AC (Air Conditioner).
Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan
akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Ventilasi rumah mempunyai
banyak fungsi yaitu:
1) Menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetep segar / bersih, ini
berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah
tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan
kurangnya oksigen di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang
bersifat racun bagi penghuni rumah akan meningkat. Disamping itu
tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di
dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari
kulit.
2) Membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri
pathogen karena terjadinya aliran udara yang terus-menerus sehingga
bakteri yang terbawa udara akan selalu mengalir.
3) Menjaga agar ruangan rumah selalu tetap di dalam kelembaban yang
optimum. Tersedianya udara segar dalam rumah atau ruangan amat
dibutuhkan manusia. Suatu ruangan yang tidak mempunyai ventilasi
yang baik akan menyebabkan kadar oksigen yang kurang, kadar
karbondioksida meningkat, ruangan akan berbau dan kelembaban
udara akan meningkat.
Menurut indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang
memenuhi syarat kesehatan adalah ≥10% luas lantai rumah dan luas
ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10%luas lantai
rumah (Depkes RI, 2005). Menurut Lubis (1989), luas ventilasi yang
tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya
proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam
rumah, akibatnya kuman kusta yang ada di dalam rumah tidak dapat
keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.

9. Suhu
Rumah atau bangunan yang sehat haruslah mempunyai suhu yang diatur
sedemikian rupa sehingga suhu badan dapat dipertahankan.Jadi suhu dalam
ruangan harus dapat diciptakan rupa sehingga tubuh tidak terlalu banyak
kehilangan panas atau sebaliknya tubuh tidak sampai kepanasan.

10. Kepadatan hunian


Kuman M.lepra sebagai penyebab penyakit kusta merupakan kuman
yang hidup dengan baik di suhu 27-300C.Maka jika suhu di suatu rumah
tidak memenuhi suhu normal (18-200C), rumah atau ruangan tersebut
berpotensi untuk menularkan penyakit menular, seperti
kusta.Ketidakseimbangan antara luas rumah dengan jumlah penghuni akan
menyebabkan suhu didalam rumah menjadi tinggi dan hal ini dapat
mempercepat penularan kusta. Tidak padat hunian (memenuhi syarat ) adalah
jika luas >9 m 2 per orang dan padat penghuni jika luas < 9 m2 per orang.

11. Riwayat Kontak dengan penderita


Riwayat kontak adalah riwayat seseorang yang berhubungan dengan
penderita kusta baik serumah maupun tidak.Sumber penularan kusta adalah
kusta utuh yang berasal dari penderita kusta, jadi penularan kusta lebih
mudah terjadi jika kontak dengan penderita kusta langsung.Jumlah kontak
serumah pada penderita lepramatouse sebesar 4 kali lebih banyak yang
kemudian menderita kusta disbanding dengan tiap tuberkuloid dengan adanya
hal tersebut dapat dipastikan bahwa kontak serumah merupakan kelompok
yang paling terancam (high risk) untuk menderita penyakit kusta.

12. Lama kontak


Lama kontak adalah jumlah waktu kontak dengan penderita kusta.
Penyakit kusta menular melalui kontak yang lama (2-5 tahun).penyakit kusta
mempunyai masa inkubasi 2-5 tahun.

13. Personal hygiene


Personal hygiene (kebersihan perorangan) merupakan tindakan
pencegahan yang menyangkut tanggung jawab individu untuk meningkatkan
kesehatan serta membatasi penyebaran penyakit menular.Pencegahan
penyakit kusta dapat dilakukan dengan meningkatkan personal hygiene,
diantaranya pemeliharaan kulit, pemeliharaan rambut dan pemeliharaan kuku.

G. Epidemiologi Penyakit Kusta


1. Epidemiologi di Dunia
Insiden kusta di dunia pada tahun 2016 berdasarkan data WHO mengalami
peningkatan, yakni dari 211.973 pada tahun 2015 menjadi 214.783 di tahun
2016. Sebesar 94% dari insiden kusta ini dilaporkan oleh 14 negara dengan
>1000 kasus baru tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan masih banyak wilayah
yang menjadi kantong endemisitas tinggi kusta di dunia. Asia Tenggara
merupakan regional dengan insiden kusta tertinggi yakni 161.263 kasus tahun
2016.

2. Epidemiologi di Indonesia
Epidemiologi penyakit kusta dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu
distribusi kusta berdasarkan orang, distribusi kusta berdasarkan geografi
(tempat), dan distribusi kusta berdasarkan waktu, yaitu :
a. Distribusi berdasarkan orang.
Distribusi penderita kusta berdasarkan faktor manusia (orang) dapat
dilihat dalam beberapa hal, yaitu (Kementerian Kesehatan RI, 2019) :
1) Berdasarkan usia.
Penyakit kusta dapat dialami oleh semua kelompok umur. Namun
kasus yang banyak terjadi di Indonesia yaitu pada umur produktif.
Proporsi penderita kusta pada anak di Indonesia sebesar lebih dari 5%,
hal ini menandakan besarnya transmisi di wilayah sekitar (Ditjen P2P,
Kementerian Kesehatan RI, 2012).
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI (2019), proporsi
kusta anak pada tahun 2018 yaitu sebesar 11,03%. Proporsi tersebut
lebih rendah dari tahun 2016 yaitu sebesar 11,43%. Persentase kasus
baru kusta pada anak secara nasional juga mengalami penurunan
selama periode 2015-2017 yaitu sebelumnya 11,22% pada tahun 2015
menurun menjadi 11,05% di tahun 2017. Adapun kasus kusta pada

anak di tahun 2013-2017, angka kasus baru di tahun 2013 adalah


kasus tertinggi yaitu 11,88 tiap 100.000 penduduknya (Kementerian
Kesehatan RI, 2018a).
Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2019
Gambar 1.Trend penderita kusta pada anak tahun 2011-2018
2) Berdasarkan jenis kelamin.
Kusta bisa terjadi pada laki-laki ataupun perempuan. Pada beberapa
daerah, laki-laki memiliki jumlah penderita kusta dua kali lebih tinggi
daripada perempuan. Di Indonesia, penderita baru kusta laki-laki
sebesar 62,7% dan perempuan sebesar 37,3%. Provinsi Sumatra Utara
di tahun 2017 memiliki kasus baru sebanyak 158 kasus. Jumlah laki-
laki lebih besar daripada perempuan yaitu 97 kasus laki-laki dan 61
kasus perempuan (Kementerian Kesehatan RI, 2018b).

3) Berdasarkan etnik.
Pada suatu wilayah ataupun negara yang memiliki keadaan
lingkungan yang sama, diperoleh bahwa faktor etnik mempengaruhi
terjadinya penyakit kusta. Pada negara Myanmar, penyakit kusta
banyak terjadi pada etnik Buma. Begitu juga di Malaysia, penyakit
kusta banyak terjadi pada etnik Cina (Ditjen P2P, Kementerian
Kesehatan RI, 2012).

4) Berdasarkan sosial ekonomi.


Faktor sosial ekonomi mempengaruhi terjadinya penyakit kusta.
Penyakit kusta banyak terjadi di negara yang berekonomi rendah. Hal
tersebut berbanding terbalik dengan di Eropa. Angka kejadian kusta di
wilayah tersebut mengalami penurunan yang sangat pesat dengan
adanya peningkatan sosial ekonomi (Madyasari, R.N.,dkk, 2017).

b. Distribusi berdasarkan geografi (tempat).


Regional Asia menjadi wilayah dengan kasus baru kusta tertinggi
yaitu sebanyak 148.495, dan regional Eropa memiliki kasus baru kusta
terendah yang memiliki jumlah kasus baru sebesar 50 kasus (WHO, 2019).
Indonesia telah melakukan eliminasi kusta yaitu dengan
prevalensi <1/10.000 penduduk. Dari seluruh provinsi yang ada di
Indonesia, terdapat 9 provinsi (26,47%) belum mencapai eliminasi kusta,
artinya masih memiliki prevalensi lebih dari 1/10.000 penduduk. Adapun
25 provinsi lainnya (73,53%) sudah melakukan eliminasi. Sembilan
provinsi yang belum melakukan eliminasi yaitu Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara,
Gorontalo, Papua Barat dan Papua. Ada sebanyak ± 7.548 desa yang
mencakup ± 1.975 wilayah kerja Puskesmas yang terdapat pada ± 341
Kab/Kota dari semua Provinsi yang ada di Indonesia yang belum
tereliminasi kusta (Kementerian Kesehatan RI, 2018a).
Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2019
Gambar 2. Capaian eliminasi kusta tingkat provinsi di Indonesia tahun
2018

Pada tahun 2018 provinsi dengan angka cacat tingkat 2 yang tertinggi
yaitu Maluku Utara dengan prevalensi kusta 12,98 per 1.000.000
penduduk, adapun pada provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan
Utara tidak terdapat kasus cacat tingkat 2 (Kementerian Kesehatan RI,
2018b).
Kusta dengan tipe Multibasiler (MB) paling umum terjadi di
Indonesia. Pada tahun 2018, proporsi kusta MB di Indonesia sebesar
85,46%. Provinsi yang memiliki proporsi kusta MB paling tinggi yaitu
Lampung (99,35%), Kalimantan Tengah (96,00%), dan Sumatera Utara
(93,79) (Kementerian Kesehatan RI, 2018b).
Menurut data dari Kementerian Kesehatan RI (2018), Provinsi dengan
kasus baru kusta yang paling tinggi yaitu Jawa Timur sebesar 3.373 kasus.
Sedangkan Sumatera Utara pada tahun 2017 memiliki kasus baru kusta
sebanyak 158 kasus, 10 kasus baru diantaranya terjadi pada anak usia <15
tahun dan 21 kasus baru cacat tingkat 2 (Kementerian Kesehatan RI,
2018b).

c. Distribusi berdasarkan waktu.


Menurut laporan WHO kasus baru kusta di dunia pada tahun 2018
yaitu sebanyak 208.619 kasus dengan jumlah pasien yang terdaftar
mengikuti pengobatan adalah 184.212. Angka tersebut mengalami
penurunan kasus jika dibandingkan dari tahun 2017 dengan jumlah
kasus baru sebanyak 211.182 kasus. Adapun jumlah kasus baru kusta
yang ada di masing- masing regional WHO dari tahun 2012-2018 dapat
dilihat pada tabel di bawah :
Tabel 1
Jumlah Kasus Baru Kusta Regional WHO Tahun 2012-2018
WHO Region 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
African 22.400 20.911 18.280 21.219 20.705 20.828 20.586
Americas 36.178 33.084 33.276 28.806 27.368 29.127 30.957
Eastern 2.434 1.680 2.342 2.167 2.858 3.563 4.338
Mediterrania
n
Europe 0 0 0 18 32 37 50
Asia 166.445 155.385 154.834 156.118 163.094 153.487 148.495
Western 5.400 4.596 4.335 3.645 3.914 4.140 4.193
Pacific
Total 232.857 215.656 213.067 211.973 217.971 211.182 208.619
Sumber : World Health Organization, 2019

Tahun 2018 Indonesia ada di posisi ketiga tertinggi di dunia yang


memiliki jumlah penderita kusta tertinggi setelah negara India (120.334)
dan Brazil (28.660) dengan jumlah kasus sebesar 17.017. Indonesia
mengalami peningkatan jumlah kasus jika dibandingkan dengan dua tahun
lalu yaitu pada tahun 2017 sebesar 15.910 kasus dan pada tahun 2016
sebesar 16.826 kasus (WHO, 2019).
Pada tahun 2018 prevalensi kusta di Indonesia yaitu sebanyak 0,70
kasus tiap 10.000 penduduk dengan jumlah kasus baru sebanyak
6,08/100.000 penduduk. Distribusi penyakit kusta berdasarkan waktu
dari tahun 2011 hingga tahun 2018 dapat dilihat pada gambar di bawah.
Prevalensi dan jumlah kasus baru mengalami penurunan dari tahun ke

tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2019).


Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2019
Gambar 3. Trend penderita kusta di Indonesia tahun 2011-2018
Adapun jumlah penderita cacat tingkat 2 di tahun 2018 yaitu sebanyak
4,22/1.000.000 penduduk, jumlah ini mengalami penurunan apabila
dibandingkan pada 2017 yaitu sebesar 4,26/1.000.000 penduduk
(Kementerian Kesehatan RI, 2018b).

H. Gambaran Kasus Penyakit Kusta di Dunia dan di Indonesia


1. Gambaran Kasus Penyakit Kusta di Dunia
Tabel Situasi
Kusta Menurut
Regional WHO
pada Tahun
2015

Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2015 adalah sekitar 210.
758. Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara
(156.118) diikuti regional Amerika (28.806) dan Afrika (20.004), dan sisanya
berada di regional lain.
Tabel Penemuan Kasus Baru pada 17 Negara yang melaporkan >1000 Kasus
Selama Tahun 2006 – 2015

Seperti terlihat pada tabel di atas, terdapat 14 negara yang melaporkan


1000 atau lebih kasus baru selama gtahun 2015. Empat belas negara ini
mempunyai kontribusi 94,89% dari seluruh kasus baru di dunia. Dari tabel di
atas terlihat bahwa secara global terjadi penurunan kasus baru, akan tetapi
beberapa negara seperti Bangladesh, Kongo, Ethiopia, India dan Indonesia
mengalami peningkatan kasus baru. Selain itu, Mozambig yang pada tahun
2013 dan 2014 sudah tidak memiliki kasus, kembali memiliki jumlah kasus
baru kusta di tahun 2015.

2. Gambaran Kasus Penyakit di Indonesia


Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta <1
per 10.000 penduduk (<10 per 100.000 penduduk), pada tahun 2000. Setelah
itu Indonesia masih bisa menurunkan angka kejadian kusta meskipun relatif
lambat. Angka prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2017 sebesar 0,70
kasus/ 10.000 penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar 6,08 kasus
per 100.000 penduduk. Selain itu, ada beberapa provinsi yang prevalensinya
masih di atas 1 per 10.000 penduduk. Angka prevalensi ini belum bisa
dinyatakan bebeas kusta dan terjadi di 10 provinsi di Indonesia.
Angka tren kasus baru kusta dalam lima tahun terakhir dapat terlihat
dalam grafik berikut :

Gambar 1. Jumlah dan Tren Kasus Baru Kusta Tahun 2013 – 2017

Sedangkan pada anak, selama periode 2013-2017, angka penemuan kasus


baru pada tahun 2013 merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 11,88 per
100.000 penduduk, dapat dilihat pada grafik berikut :

Gambar 2. Tren Proporsi dan Kasus Baru Kusta pada Anak 0-14 Tahun 2013-
2017

Berdasarkan bebannya, kusta dibagi menjadi 2 kelompok yaitu beban


kusta tinggi (high burden) dan beban kusta rendah (low burden). Provinsi
disebut high burden jika NCDR (new case detection rate : angka penemuan
kasus baru) >10 per 100.000 penduduk dan atau jumlah kasus baru lebih dari
1.000 sedangkan low burden jika NCDR <10 per 100.000 penduduk dan atau
jumlah kaus baru kurang dari 1.000 kasus.
Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa diantara tahun 2015-2016 sebanyak
11 provinsi (32,35%) termasuk dalam beban kusta tinggi. Sedangkan 23
provinsi lainnya (67,65%) termasuk dalam beban kusta rendah. Hampir
seluruh provinsi di bagian timur Indonesia merupakan daerah dengan beban
kusta tinggi. Selama periode 2015-2016 Jawa Timur merupakan satu-satunya
provinsi di bagian barat Indonesia dengan angka beban kusta tinggi.
Kemudian pada tahun 2017 Jawa Timur mengalami penurun menjadi kategori
angka beban kusta rendah sehingga hanya 10 provinsi yang memiliki kategori
beban kusta tinggi.
Tabel 3. Jumlah Kasus Baru Kusta dan NCDR per 100.000 Penduduk per Provinsi
Tahun 2015-2017

Sedangkan pada anak beban kusta tinggi terdapat di 14 provinsi pada


tahun 2015, dan 9 provinsi pada tahun 2016, dan 11 provinsi pada tahun
2017. Secara nasional persentase kasus baru kusta pada anak selama periode
tahun 2015-2017 mengalami sedikit penurunan, yaitu dari sebelumnya
sebesar 11,22% tahun 2015 menjadi 11,05% di tahun 2017.
Tabel 4. Proporsi dan Kasus Baru pada Anak per Provinsi Tahun 2015-2017

Dari Gambar 3 terlihat bahwa kasus baru kusta terbanyak di Provinsi Jawa
Timur (3.373 jiwa), Jawa Barat (1.813 jiwa), Jawa Tengah (1.644 jiwa),
Papua (968 jiwa) dan Sulawesi Selatan (1.091 jiwa).

Gambar 3. Kasus Baru Kusta Menurut Provinsi Tahun 2017

Dari gambar berikut ini dapat dilihat bahwa jumlah penderita kusta
terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur pada periode tahun 2015-2017,
namun dengan penurunan penderita sebesar 15,95%, sedangkan provinsi yang
mengalami kenaikan jumlah penderita paling tinggi dalam kurun waktu 2015-
2017 terdapat di Provinsi Maluku sebanyak 102,84%.

Gambar 4. Proporsi dan Tren Penderita Kusta Baru di 10 Provinsi Tahun 2015-
2017
Provinsi dengan proporsi kusta terbanyak berjenis kelamin laki-laki yaitu
Kalimantan Selatan (74,49%), Kalimantan Tengah (73,68%) dan Bali
(72,86%). Di beberapa daerah, pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali
lebih tinggi dari wanita. Pada tahun 2017 jumlah kasus baru kusta pada laki-
laki sebanyak 9.872 kasus dan perempuan sebanyak 6.048 kasus.

Tabel 5. Kasus Baru Kusta Menurut Jenis Kelamin per Provinsi Tahun 2017

Gambar 5. Angka Prevalensi Kusta per 10.000 Penduduk Menurut Provinsi Tahu
2017
Gambar 5 menjelaskan angka prevelensi kusta per 10.000 penduduk
menurut provinsi di Indonesia, dimana prevalensi terendah adalah di
Kalimantan Barat (0,04) dan prevalensi tertinggi 11,48 di Papua Barat.

I. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kusta


1. Pencegahan Penyakit Kusta
Upaya pencehagan penyakit kusta dibedakan menjadi tiga macam apabila
ditinjau dari segi epidemiologi (Masriadi, 2017), yaitu :
a. Pencegahan primer.
Pencegahan primer yaitu pencegahan pada tingkat pertama melalui
pengendalian faktor penyebab dan faktor risiko penyakit yang bertujuan
untuk mengurangi jumlah penyakit. Hutabarat, B. (2008) mengatakan
bahwa sasaran untuk pencegahan primer dilakukan kepada orang yang
sehat dan belum menderita sakit serta tidak memiliki risiko tertular
penyakit dikarenakan berada disekitar orang yang menderita penyakit
kusta. Adapun pencegahan primer dapat dilakukan melalui beberapa hal,
yaitu :
1) Promosi kesehatan.
Kegiatan promosi kesehatan dilakukan melalui kegiatan
penyuluhan terkait hal yang berkaitan dengan kusta seperti cara
penularan, pencegahan dan pengobatannya. Penyuluhan dilaksanakan
oleh petugas kesehatan yang memiliki tujuan untuk meningkatkan
pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat agar dapat
meningkatkan dan memelihara kesehatan dari penyakit kusta. Adapun
sasaran dalam promosi kesehatan penyakit kusta yaitu keluarga
penderita, tetangga dan masyarakat tempat endemis kusta
(Masriadi,2017).
2) Pemberian vaksinasi.
Hasil penelitian pada tahun 1996 di Malawi menjelaskan bahwa
perlindungan terhadap penyakit kusta dapat dilakukan melalui
pemberian vaksin BCG. Perlindungan terhadap kusta dapat dilakukan
sebesar 50% apabila dilakukan pemberian vaksin sebanyak satu kali,
sedangkan perlindungan sebesar 80% didapatkan dari pemberian
vaksin sebanyak dua kali (Hutabarat, B., 2008).

b. Pencegahan sekunder.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan melalui :
1) Early diagnosis (diagnosis dini).
Diagnosis dini terhadap kusta yaitu melalui pemeriksaan kulit dan
saraf tepi beserta fungsinya yang dilakukan oleh petugas kesehatan
(Masriadi,2017).
2) Prompt treatment (pemberian pengobatan).
Obat yang diberikan kepada pasien kusta meliputi pemberian DDS
(diaminodifelsulfon), rifampisin, klofazimin, prednisone, sulfat
ferrosus dan vitamin A. Adapun pengobatan lain yang dilakukan yaitu
berupa penggabungan antara rifampicin dan ofloxacindan minocycline
yang biasa disebut dengan MDT (Multi Drug Therapy) yang diberikan
sesuai dengan tipe kusta dan umur penderita. Penderita harus
menjalani pengobatan secara teratur hingga 6 bulan untuk tipe PB dan
dan 12 bulan untuk tipe MB (Masriadi,2017).
Pengobatan penderita kusta bertujuan untuk menyembuhkan
penderita, memutuskan rantai penularan dan mencegah kecacatan
bertambah parah. Pemberian pengobatan sangat diperlukan pada
penderita kusta, khususnya kusta tipe multibasiler, dikarenakan tipe
ini sangat mudah untuk menularkan penyakit kusta kepada orang lain
(Paramita, D.M., 2017).

c. Pencegahan tersier.
Pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah orang yang telah
menderita kusta mengalami kecacatan atau komplikasi yang semakin
parah. Pencegahan tersier terhadap penyakit kusta terdiri dari :
1) Rehabilitasi medik.
Rehabilitasi medik berguna untuk mencegah kecacatan sejak dini
yang diikuti dengan perawatan yang baik dan benar yang dilakukan
sejak diagnosis awal ditegakkan. Untuk hasil yang optimal, diperlukan
rehabilitasi medik yang terpadu, seperti pengobatan, psikoterapi,
fisioterapi, perawatan luka ataupun pemberian alat bantu lainnya.
Rehabilitasi medik dan juga rehabilitasi sosial merupakan kesatuan
rehabilitasi yang harus diberikan kepada penderita kusta yang disebut
dengan rehabilitasi paripurna.
2) Rehabilitasi nonmedik.
Penyakit kusta sering digambarkan dengan cacat fisik yang
menimbulkan perasaan takut dan jijik bagi orang yang melihatnya,
sehingga dapat menimbulkan masalah yang kompleks bagi penderita,
keluarga dan masyarakat. Terkadang masalah psikososial pada
penderita lebih besar daripada masalah medisnya. Pengobatan secara
paripurna diperlukan untuk mencapai kemandirian dalam hidup
bermasyarakat bagi penderita.
3) Rehabilitasi mental.
Penyuluhan kesehatan dalam bentuk dukungan mental dan
pemberian informasi terkait kusta harus diusahakan secepat mungkin
dilakukan kepada penderita, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
4) Rehabilitasi karya.
Rehabilitasi karya berguna agar orang yang telah mengalami
kecacatan dapat bekerja seperti dahulu atau dapat belajar jenis
pekerjaan baru yang sesusai dengan kemampuan penderita.
5) Rehabilitasi sosial.
Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memperbaiki dukungan
sosial penderita kusta. Pencapaian rehabilitasi sosial tentunya tidak
luput dari bantuan dan peranan keluarga dan masyarakat yang ada di
sekitarnya.

2. Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kusta


a. Target dan Strategi
1) Target
Target Eliminasi Kusta untuk tingkat provinsi yaitu pada tahun
2019, dan untuk kabupaten/kota pada tahun 2024. Indikator
pencapaian target Eliminasi Kusta berupa angka prevalensi <1/10.000
(kurang dari satu per sepuluh ribu) penduduk. Untuk mewujudkan
target Eliminasi Kusta dilakukan penetapan dan pelaksanaan strategi
Eliminasi Kusta, dan intensifikasi kegiatan Penanggulangan Kusta.
Setelah Eliminasi Kusta di seluruh provinsi dan kabupaten/kota
tercapai, Penaggulangan Kusta masih tetap perlu dilanjutkan dengan
tujuan menurunkan Penderita Kusta dan memutuskan transmisi Kusta.
Hal ini sejalan dengan target Sustainable Development Goals (SDG’s)
3.3 yaitu penurunan 90% jumlah orang yang membutuhkan intervensi
terhadap penyakit-penyakit AIDS, Tuberculosis, Malaria, dan
penyakit tropis terabaikan yaitu Kusta dan Filariasis. Untuk itu pada
tahun 2024-2030 dilakukan upaya untuk menurunkan angka
prevalensi Kusta tingkat nasional sampai kurang dari 0,05 per 10.000
penduduk dengan rincian sebagai berikut:
 Penurunan 90% Penderita Kusta baru yang membutuhkan
pengobatan Multi Drug Therapy (MDT) (baseline tahun 2017
adalah 16.000 Penderita Kusta baru).
 Tidak ada disabilitas Kusta pada Penderita Kusta anak (nol
Penderita Kusta anak dengan disabilitas di antara Penderita Kusta
baru).
 Mempertahankan angka disabilitas Kusta tingkat dua <1/1.000.000
penduduk.
 Mempertahankan angka Penderita Kusta selesai pengobatan tepat
waktu (RFT rate) > 90%.
2) Strategi
 Penguatan Advokasi dan Koordinasi Lintas Program dan Lintas
Sektor
 Penguatan Peran Serta Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan
 Penyediaan Sumber Daya yang Mencukupi Dalam Penanggulangan
Kusta
 Penguatan Sistem Surveilans Kesehatan serta Pemantauan dan
Evaluasi Kegiatan Penanggulangan Kusta

b. Kegiatan Penanggulangan
1) Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan dilakukan dengan berbagai upaya kepada
masyarakat sehingga mereka mau dan mampu meningkatkan dan
memelihara kesehatan mereka sendiri. Promosi kesehatan dilakukan
melalui sinergisitas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
organisasi kemasyarakatan, swasta/dunia usaha, dan masyarakat yang
telah diberikan pengetahuan mengenai Kusta antara lain kader, tokoh
masyarakat, serta Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK).
Sasaran promosi kesehatan dalam kegiatan Penanggulangan Kusta
yaitu Penderita Kusta, keluarga, masyarakat termasuk tokoh
masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, tokoh publik,organisasi
kemasyarakatan, dan kader, tenaga kesehatan, penentu kebijakan dan
pemangku kepentingan. Promosi Kesehatan dilaksanakan dalam
bentuk:
 Memberikan informasi tentang tanda dan gejala dini Kusta, serta
teknis kegiatan Penanggulangan Kusta. Informasi tersebut dapat
berupa pedoman, petunjuk teknis, leaflet, poster, lembar balik,
spanduk, banner, penyuluhan, dan lain-lain.
 Mempengaruhi individu, keluarga, dan masyarakat untuk
penghapusan stigma dan menghilangkan diskriminasi pada
Penderita Kusta dan orang yang pernah mengalami Kusta, melalui
kampanye, iklan layanan masyarakat, film pendek, pertunjukkan
tradisional, dan lain-lain.
 Mempengaruhi pemangku kepentingan terkait untuk memperoleh
dukungan kebijakan Penanggulangan Kusta, khususnya
penghapusan stigma dan diskriminasi, serta pembiayaan, yang
dapat dilakukan melalui peraturan perundang-perundangan,
advokasi, seminar, dan lain-lain.
 Membantu individu, keluarga, dan masyarakat untuk berperan aktif
dalam penemuan dan tata laksana Penderita Kusta, pelaksanaan
Kemoprofilaksis, dan kegiatan penelitian dan pengembangan.
2) Surveilans Kusta
Surveilans Kusta dilaksanakan baik pada daerah yang belum
mencapai Eliminasi Kusta maupun daerah yang telah mencapai
Eliminasi Kusta untuk mempertahankan status Eliminasi Kusta.
Sasaran Surveilans Kusta dalam kegiatan Penanggulangan Kusta
sebagai berikut:
 Kelompok orang yang sedang dalam pengobatan Kusta
 Kelompok masyarakat di wilayah setempat sebagai kelompok yang
memiliki resiko penularan Kusta
 Kelompok orang yang telah menyelesaikan pengobatan Kusta
 Kelompok orang yang diduga mengalami resistensi obat
antimikrobial Kusta

3) Kemoprofilaksis Kusta
Kemoprofilaksis Kusta adalah pemberian obat yang ditujukan
untuk pencegahan Kusta. Kemoprofilaksis Kusta dilakukan pada
daerah yang memiliki Penderita Kusta yang tinggi, atau berdasarkan
hasil Surveilans di daerah yang memiliki Penderita Kusta yang rendah
pada situasi khusus. Kemoprofilaksis Kusta dilakukan pada penduduk
yang memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai berikut:
 Penduduk yang menetap paling singkat 3 (tiga) bulan pada daerah
yang memiliki Penderita Kusta;
 Berusia lebih dari 2 (dua) tahun;
 Tidak dalam terapi rifampisin dalam kurun 2 (dua) tahun terakhir;
 Tidak sedang dirawat di rumah sakit;
 Tidak memiliki kelainan fungsi ginjal dan hati;
 Bukan suspek tuberkulosis;
 Bukan suspek Kusta atau terdiagnosis Kusta;
 Bukan lanjut usia dengan gangguan kognitif.

Pemberian Kemoprofilaksis Kusta dilaksanakan 1 (satu) kali dan


dapat diulang kembali setelah 2 (dua) tahun dari pemberian
sebelumnya apabila di antara kontak serumah/kontak tetangga/kontak
sosial ditemukan lagi Penderita Kusta baru. Kemoprofilaksis Kusta
yang diberikan oleh petugas kesehatan wajib diminum langsung di
depan petugas pada saat diberikan. Penentuan sasaran penduduk yang
akan diberikan Kemoprofilaksis Kusta sesuai dengan metode yang
ditentukan oleh Pemerintah Daerah setempat.
J. Peraturan Pengendalian Kusta di Indonesia
Peraturan Pengendalian Kusta di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Penanggulangan
Kusta. Peraturan ini terdiri dari 9 bab dan 29 pasal, dengan sistematika sebagai
berikut :
 Bab I : KetentuanUmum
 Bab II : Target dan Strategi
Dalam Bab II disebutkan pada pasal 2 hingga pasal 4 bahwa dalam rangka
Penanggulangan Kusta, Pemerintah Pusat menetapkan target Eliminasi Kusta
yang bertujuan untuk mencapai Eliminasi Kusta tingkat provinsi pada tahun
2019 dan tingkat kabupaten/kota pada tahun 2024. Indikator pencapaian
target Eliminasi Kusta berupa angka prevalensi<1/10.000 (kurang dari satu
per sepuluh ribu) penduduk.
Adapun strategi Eliminasi Kusta meliputi:
1. penguatan advokasi dan koordinasi lintas program dan lintas sektor;
2. penguatan peran serta masyarakat dan organisasi kemasyarakatan;
3. penyediaan sumber daya yang mencukupi dalam Penanggulangan
Kusta; dan
4. penguatan sistem Surveilans serta pemantauan dan evaluasi kegiatan
Penanggulangan Kusta.

 Bab III : Kegiatan Penanggulangan Kusta


Dalam Bab III disebutkan pada pasal 5 hingga pasal 16 bahwa Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggung jawab
menyelenggarakan Penanggulangan Kusta yang dilaksanakan melalui upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan. Penyelenggaraan
Penanggulangan Kusta dilaksanakan melalui upaya pencegahan dan
pengendalian yang meliputi kegiatan :
a. promosi kesehatan  promosi kesehatan bertujuan untuk
memberdayakan masyarakat agar mampu berperan aktif dalam
mendukung perubahan perilaku dan lingkungan serta menjaga dan
meningkatkan kesehatan untuk pencegahan dan pengendalian Kusta.
b. Surveilans  surveilans diarahkan untuk penemuan Penderita Kusta
dan penanganan secara dini serta mengetahui besaran masalah di suatu
wilayah yang dilaksanakan dalam bentuk pengumpulan data,
pengolahan data, analisis data, dan diseminasi informasi.
c. Kemoprofilaksis  kemoprofilaksis diarahkan untuk mencegah
penularan Kusta pada orang yang kontak dengan Penderita Kusta yang
dilaksanakan dalam bentuk pemberian obat rifampisin dosis tunggal
pada orang yang kontak dengan Penderita Kusta yang memenuhi
kriteria dan persyaratan
d. tata laksana Penderita Kusta  tatalaksana diarahkan untuk mengobati
Penderita Kusta secara dini dan mencegah disabilitas akibat Kusta
yang dilaksanakan dalam bentuk penegakkan diagnosis, pemberian
obat dan pemantauan pengobatan, pencegahan dan penanganan
disabilitas.

 Bab IV : Tanggung Jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah


Dalam Bab IV disebutkan pada pasal 17 hingga pasal 19 bahwa dalam
rangka Penanggulangan Kusta, Pemerintah Pusat bertanggung jawab:
a. menetapkan kebijakan Penanggulangan Kusta;
b. menjamin ketersediaan sumber daya yang diperlukan;
c. melakukan kerja sama dan membentuk jejaring kerja dengan
pemangku kepentingan terkait;
d. melakukan advokasi dan kerja sama antar lintas program dan lintas
sektor;
e. menyusun materi dalam media komunikasi, informasi, dan edukasi
program Penanggulangan Kusta dan mendistribusikan ke daerah;
f. meningkatkan kemampuan teknis sumber daya manusia;
g. melakukan pemantauan dan evaluasi; dan h. melakukan penelitian dan
pengembangan.

Dalam rangka Penanggulangan Kusta, Pemerintah Daerah provinsi


bertanggung jawab:
a. membuat dan melaksanakan kebijakan Penanggulangan Kusta di
wilayah daerah provinsi sesuai kebijakan nasional;
b. melakukan kerja sama dan membentuk jejaring kerja dengan
pemangku kepentingan terkait;
c. melakukan bimbingan teknis dan pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan program Penanggulangan Kusta kepada kabupaten/kota
melalui Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, Puskesmas, dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya;
d. menyediakan sumber daya yang diperlukan;
e. menyediakan dan mengembangkan media komunikasi, informasi, dan
edukasi program Penanggulangan Kusta;
f. meningkatkan koordinasi lintas program dan lintas sektor di tingkat
daerah provinsi;
g. melaksanakan advokasi dan sosialisasi program Penanggulangan
Kusta kepada para pemangku kepentingan di daerah kabupaten/kota
dan lintas sektor terkait;
h. meningkatkan kemampuan teknis sumber daya manusia; dan
i. melakukan penelitian dan pengembangan.
Dalam rangka Penanggulangan Kusta, Pemerintah Daerah
kabupaten/kota bertanggung jawab:
a. membuat dan melaksanakan kebijakan Penanggulangan Kusta di
wilayah daerah kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional dan
kebijakan daerah provinsi;
b. meningkatkan kemampuan tenaga Puskesmas, Rumah Sakit, klinik,
dan kader;
c. menyediakan sumber daya yang diperlukan;
d. menyediakan dan mengembangkan media komunikasi, informasi, dan
edukasi program Penanggulangan Kusta;
e. melaksanakan advokasi dan sosialisasi program Penanggulangan
Kusta kepada para pemangku kepentingan dan lintas sektor terkait;
dan f. melakukan bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi
pelaksanaan Penanggulangan Kusta kepada Puskesmas.

 BAB V : Sumber Daya


Dalam Bab V disebutkan pada pasal 20 hingga pasal 24 bahwa dalam
rangka penyelenggaraan Penanggulangan Kusta diperlukan dukungan:
a. sumber daya manusiamerupakan tenaga kesehatan yang memiliki
kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangansertadapat melibatkan masyarakat terlatih.
b. sarana, prasarana, dan peralatanfasilitas pelayanan kesehatan
termasuk fasilitas penunjang diagnosis penyakit; danperalatan
pencegahan disabilitas.
c. obat dan alat kesehatan  obat dan bahan medis habis pakai sesuai
kebutuhan tata laksana Penderita Kusta dan kebutuhan
Penanggulangan Kusta.
d. Pendanaan  pendanaan dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
dan/atau sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

 BAB VI : Peran Serta Masyarakat


Dalam Bab VI disebutkan pada pasal 25 bahwa masyarakat diarahkan
untuk merdayakan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan
Penanggulangan Kusta, yang dilakukan didalam bentuk keikut sertaan
sebagai kader, menjadi pengawas minum obat, keikutsertaan dalam kegiatan
promosi kesehatan dan deteksi dini Penderita Kusta, danpartisipasi dan
dukungan lainnya dalam pelaksanaan kegiatan Penanggulangan Kusta.
 BAB VII : Pencatatan dan Pelaporan
Dalam Bab VII disebutkan pada pasal 26 bahwa setiap Puskesmas dan
fasilitas pelayanan kesehatan lain yang memberikan layanan pengobatan
Kusta wajib melakukan pencatatan dan pelaporan. Pencatatan yang dilakukan
meliputi pencatatan jumlah Penderita Kusta, pemantauan pengobatan, hasil
pengobatan, reaksi Kusta, tingkat disabilita, dan pemantauan setelah selesai
pengobatan. Pencatatan kemudian dikompilasi dan diolah untuk dilakukan
pelaporan secara berjenjang kepada dinas kesehatan daerah kabupaten/kota,
dinas kesehatan daerah provinsi, dan Kementerian Kesehatan sehingga dapat
digunakan sebagai dasar pemenuhan kebutuhan program dan untuk penetapan
status pencapaian Eliminasi Kusta.

 BAB VIII : Pembinaan dan Pengawasan


Dalam Bab VIII disebutkan pada pasal 27 hinga pasal 28 bahwa
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Penanggulangan
Kusta dilakukan secara berjenjang oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai kewenangan masing-
masing, serta melibatkan organisasi profesi dan masyarakat. Pembinaan dan
pengawasan diarahkan untuk mencapai target Eliminasi Kusta,
mempertahankan keberlangsungan program Penanggulangan Kusta pasca
Eliminasi Kusta, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
Penanggulangan Kusta, danmeningkatkan cakupan wilayah pelaksanaan
Kemoprofilaksis.
Pembinaan dan pengawasan dilakukan melaluiadvokasi dan sosialisasi,
pelatihan, bimbingan teknis, dan pemantauan dan evaluasi.Pemantauan dan
evaluasidilakukan untuk mengukur pencapaian indikator program
Penanggulangan Kusta.

 BAB IX :KetentuanPenutup.

K. Studi Kasus dari Penyakit Kusta di Indonesia


1. ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEPATUHAN MINUM OBAT KUSTA DI KECAMATAN
PRAGAAN
Pemberantasan kusta di beberapa daerah di Indonesia masih dikatakan
lambat. Hal tersebut disebabkan karena faktor pengetahuan, sosial dan
ekonomi masyarakat dalam melakukan pengobatan Multi Drug Therapy
(MDT). Pengobatan kusta sangat penting dalam pemberantasan kusta karena
penyakit kusta dapat disembuhkan dengan berobat secara teratur. Jika
penderita tidak minum obat secara teratur, maka kuman akan resisten
terhadap MDT sehingga gejala akan menetap bahkan dapat memburuk
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang berhubungan dengan
kepatuhan minum obat penderita kusta di Kecamatan Pragaan, Kabupaten
Sumenep. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
desain studi cross sectional. Pengambilan data menggunakan teknik
wawancara dengan pedoman kuisioner. Sampel dalam penelitian ini adalah
40 orang yang diambil menggunakan teknik simple random sampling.
Hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat diketahui melalui uji
Chi-square dengan α = 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara pengetahuan (p=0,01), dukungan keluarga (p=0,00), stigma
masyarakat (p=0,00), peran petugas (p=0,01) dan ketersediaan obat (p=0,00)
dengan kepatuhan minum obat kusta. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah
faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat yaitu pengetahuan,
dukungan keluarga, stigma masyarakat, peran petugas, dan
ketersediaan obat. Penyuluhan yang efektif akan memberikan motivasi
kepada penderita untuk patuh minum obat.

2. Hubungan antara Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum Obat


Penderita Kusta
Sebagian besar penderita kusta dalam penelitian ini pengetahuannya
tergolong kurang. Akan tetapi baik penderita yang pengetahuannya baik
maupun kurang lebih banyak patuh minum obat daripada yang tidak patuh
minum obat.Pengetahuan yang kurang tentang kusta dapat disebabkan karena
beberapa faktor salah satunya adalah pendidikan. Pengetahuan yang rendah
tentang kesehatan khususnya tentang kusta dapat berpengaruh terhadap
tindakan yang diambil penderita baik dalam perawatan maupunpengobatan.
Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan mengenai penyakit kusta
yang diterima secara langsung dari petugas kesehatan maupun dari media
lainnya dapat merubah perilaku untuk teratur minum obat. Penyuluhan secara
intensif juga dapat meningkatkan pengetahuan yang akhirnya akan
mendorong meningkatkan keteraturan berobat penderita kusta. Semakin
banyak informasi yang diperoleh penderita tentang kusta, maka pengetahuan
penderita tentang kusta khususnya pentingnya pengobatan untuk kesembuhan
kusta akan baik. Sehingga penderita dapat termotivasi untuk berobat secara
teratur.Dengan demikian penderita dengan pengetahuan yang baik tentang
kusta dapat memberikan kontribusi untuk penderita menjadi sembuh
dibandingkan dengan penderita yang memiliki pengetahuan kurang.

3. Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum


Obat Penderita Kusta
Sebagian besar penderita kusta dalam penelitian ini mendapat dukungan
dari keluarganya. Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor penguat
atau faktor pendorong terjadinya suatu perubahan perilaku dalam hal ini dapat
mendorong dalam upaya peningkatan pengobatan kusta. Semakin tidak
mendukung keluarga maka semakin cenderung penderita untuk tidak berobat
secara teratur. Sebaliknya semakin baik sikap keluarga dalam mendukung
penderita cenderung untuk berobat secara teratur. Sesuai dengan teori L.
Green bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor pendorong seperti
dukungan dari keluarga (Khotimah, 2014). Hal tersebut juga didukung oleh
Notoatmodjo (2007), bahwa sebelum individu mencari pelayanan kesehatan
yang baik, seseorang lebih dulu meminta nasehat atau pendapat dari orang
terdekat misalnya keluarga atau teman.

4. Hubungan antara Stigma Masyarakat dengan Kepatuhan Minum


Obat Penderita Kusta
Mayoritas penderita kusta dalam penelitian ini tidak merasakan adanya
stigma dari masyarakat. Penderita dengan stigma sebagian besar tidak patuh
minum obat. Sedangkan penderita tanpa stigma sebagian besar patuh minum
obat.Stigma kusta dapat menyebabkan penderita enggan berobat karena takut
keadaannya diketahui masyarakat sekitar. Menurut Rafferty (2005) terkadang
stigma juga dapat mengganggu kejiwaan penderita kusta. Sebelumnya
penderita terganggu mentalnya bukan karena penyakitnya tetapi karena
penolakan dari masyarakat. Hubungannya dengan penyakit kusta hal ini dapat
mencegah penderita untuk mencari pengobatan hingga timbulnya kecacatan.
Jika penderita sudah cacat maka sulit untuk disembuhkan karena pengobatan
tidak dapat mengembalikan tubuh yang sudah cacat sebelumnya. Efek dari
stigma masyarakat terhadap pengobatan penderita juga besar. Penderita
mungkin berhenti mengunjungi pelayanan kesehatan atau menghentikan
pengobatannya karena takut ditolak oleh kelompoknya atau kurang diterima
kondisinya.

5. Hubungan antara Peran Petugas dengan Kepatuhan Minum Obat


Penderita Kusta
Sebagian besar petugas dalam penelitian ini berperan baik dalam
mendukung pengobatan penderita.Berhasil atau tidaknya pengobatan penyakit
kusta salah satunya dapat dipengaruhi oleh aspek pelayanan kesehatan yaitu
dari aspek peran petugas kesehatan. Peran petugas kesehatan disini meliputi
pemahaman dan keterampilan dalam memberikan informasi terkait kusta
melalui penyuluhan, kunjungan rumah, monitoring pasien kusta yang berobat.
Pada saat pemberian informasi disampaikan bahwa penyakit kusta dapat
disembuhkan dengan berobat secara teratur. Peran petugas kesehatan yang
baik mayoritas pasiennya patuh minum obat. Sedangkan untuk peran petugas
yang kurang baik mayoritas pasiennya tidak patuh minum obat.
6. Hubungan antara Ketersediaan Obat dengan Kepatuhan Minum
Obat Penderita Kusta
Ketersediaan obat adalah salah satu bagian dari pengobatan MDT kusta.
MDT disediakan secara gratis oleh WHO dalam kemasan blister. Perkiraan
kebutuhan MDT suatu negara dihitung berdasarkan data terakhir yang
dikumpulkan. Sebagian besar ketersediaan obat dalam penelitian ini selalu
tersedia.Persediaan obat yang cukup, tidak terputus dan tepat waktu
diperlukan untuk melayani pasien kusta agar pengobatannya lancar. Hal ini
sangat tergantung pada pengelolaan MDT, pengelolaan yang efisien dapat
mencegah obat terbuang sia-sia karena kadaluarsa atau rusak.
Persediaan obat yang cukup, tidak terputus dan tepat waktu diperlukan
untuk melayani pasien kusta agar pengobatannya lancar, mayoritas pasiennya
patuh minum obat. Sedangkan untuk obat yang kadang tersedia di puskesmas
mayoritas pasiennya tidak patuh minum obat. Penderita sering terputus dalam
menjalani pengobatan karena keterbatasan obat di puskesmas, pelayanan
puskesmas yang buruk dan tidak ada petugas di puskesmas ketika pasien
datang mengambil obat.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi granulo matosa menahun yang
disebabkan oleh organisme intraseluler obligat Mycobacterium leprae. Kusta juga
memiliki nama lain yaitu Morbus Hansen, yakni sama dengan nama orang yang
menemukan kuman kusta. Penyakit kusta menyerang pada beberapa bagian tubuh
diantaranya kulit, mata, dan juga anggota gerak.
Kusta dapat menular melalui inhalasi dan melalui kontak langsung dengan
penderita. Namun tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman Mycobacterium
leprae ( M. Lepray ) akan menderita kusta. Penderita yang mengandung
Mycobacterium leprae yang lebih banyak belum tentu memiliki gejala yang lebih
berat, dan sebaliknya penderita yang mengandung Mycobacterium leprae sedikit
belum tentu memiliki gejala yang lebih ringan. Hal itu disebabkan derajat infeksi
kusta dipengaruhi oleh respon imun yang berbeda. Oleh karena itu, penyakit kusta
disebut juga sebagai penyakit imunologik. Gejala klinis sebanding dengan tingkat
imunitas selulernya daripada intensitas infeksinya.
Tanda awal berupa bercak keputihan dengan batas yang kadang kurang jelas
dan mulai atau sudah mati rasa pada area bercak.Tanda tersebut masih belum
dapat dipastikan tipenya. Gejala-gejala yang terdapat pada penderita penyakit
kusta yaitu : panas dari derajat rendah sampai menggigil, anoreksia, nausea,
cephalgia, kadang-kadang disertai iritasi, neuritis. Selain itu ada tanda-tanda
dugaan yang belum dapat digunakan sebagai dasar sesorang dinyatakan menderita
kusta.
Berdasarkan bebannya, kusta dibagi menjadi 2 kelompok yaitu beban kusta
tinggi (high burden) dan beban kusta rendah (low burden). Provinsi disebut high
burden jika NCDR (new case detection rate : angka penemuan kasus baru) >10
per 100.000 penduduk dan atau jumlah kasus baru lebih dari 1.000 sedangkan low
burden jika NCDR <10 per 100.000 penduduk dan atau jumlah kaus baru kurang
dari 1.000 kasus.
Insiden kusta di dunia pada tahun 2016 berdasarkan data WHO mengalami
peningkatan, yakni dari 211.973 pada tahun 2015 menjadi 214.783 di tahun 2016.
Sebesar 94% dari insiden kusta ini dilaporkan oleh 14 negara dengan >1000 kasus
baru tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan masih banyak wilayah yang menjadi
kantong endemisitas tinggi kusta di dunia. Asia Tenggara merupakan regional
dengan insiden kusta tertinggi yakni 161.263 kasus tahun 2016.
Peraturan Pengendalian Kusta di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Penanggulangan
Kusta. Peraturan ini terdiri dari 9 bab dan 29 pasal.
B. Saran
1. Guna mencegah terjadinya penyakit kusta yang lebih banyak, diharapkan
adanya kerjasama antara petugas puskesmas dengan kader-kader dan
pejabat kelurahan terutama dalam upaya meningkatkan keberhasilan
program pemberantasan penyakit kusta.
2. Lebih meningkatkan partisipasi aktif dalam kegiatan promosi dan edukasi
kesehatan sehingga dapat menurunkan angka kejadian penderita kusta.
3. Sebagai upaya pencegahan penyakit kusta, hendaknya masyarakat lebih
memperhatikan kebersihan pribadi dan kebersihan lingkungan rumah.
4. Diharapkan penderita kusta agar lebih teratur dalam meminum obat kusta
dengan melibatkan peran keluarga ataupun orang terdekat sebagai
Pengawas Minum Obat (PMO) penderita kusta.
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Kesehatan RI. INFODATIN Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI Hapuskan Stigma dan Diskriminasi Terhadap Kusta. 2018
Kosasih, A., Wisnu, M. I., Emmy, S., &Linuwih, S. (2005). Kusta. In A. Juanda,
IlmuPenyakitKulitKelamin, edisi IV (pp. 73-88). Jakarta: FKUI.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 Tentang
Penanggulangan Kusta.
Rosa,Fadila. (2020). “Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat
Kecacatan Penderita Kusta di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2015 –
2019”. Medan : Universitas Sumatera Utara, Skripsi S1
Sya’diana, Ulul. (2018). “Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Personal Hygiene
dengan Kejadian Kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Sukorejo Kabupaten
Ponorogo”. Madiun : STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun, Skripsi S1

Anda mungkin juga menyukai