MENULAR
PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT KUSTA
DISUSUN OLEH :
Kelompok 3
Ranti Christin Marpaung 181000033
Silvi Anggraeni M 181000082
Ridho Nugraha Pane 181000164
Cynthia Gabriella Gea 181000197
Destri Rhamadany Tanjung 181000234
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR I
DAFTAR ISI II
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Definisi Penyakit Kusta 3
B. Klasifikasi Penyakit Kusta 3
C. Etiologi Penyakit Kusta 5
D. Patogenesis Penyakit Kusta 6
E. Tanda dan Gejala dari Penyakit Kusta 7
F. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penyakit Kusta 8
G. Epidemiologi Penyakit Kusta 11
H. Gambaran Kasus Penyakit Kusta di Dunia dan di Indonesia 16
I. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kusta 24
J. Peraturan Pengendalian Kusta di Indonesia 29
K. Studi Kasus dari Penyakit Kusta di Indonesia 32
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan 37
B. Saran 38
DAFTAR PUSTAKA 39
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kusta atau biasa dikenal dengan lepra atau Morbus Hansen yaitu penyakit
menular yang diakibatkan Mycobacterium leprae yang menginfeksi bagian tubuh
manusia seperti kulit, susunan saraf tepi, mata dan saluran pernapasan. Kusta
merupakan penyakit yang menimbulkan masalah kesehatan di dunia dan
Indonesia hingga saat ini, karena apabila tidak ditangani dengan segera akan
menimbulkan kerusakan permanen dengan masalah yang kompleks (Kementerian
Kesehatan RI, 2018a).
Laporan WHO (World Health Organization) tahun 2019 menunjukkan
terdapat 208.619 kasus baru kusta dengan jumlah penderita yang didiagnosis
mengalami kecacatan tingkat 2 yaitu sebanyak 11.323 penderita yang tercatat dari
semua laporan negara yang tergabung di dalam WHO pada tahun 2018.
Sedangkan pasien yang terdaftar mengikuti pengobatan hanya sebesar 184.212
dari keseluruhan kasus yang dilaporkan (WHO,2019).
Jumlah kasus baru kusta pada tahun 2018 menurun jika dibandingkan dengan
tahun sebelumnya yaitu 211.182 kasus pada tahun 2017. Kasus baru kusta yang
tertinggi terdapat di regional Asia yaitu sebesar 148.495, sedangkan regional
dengan kasus baru terendah yaitu berada di regional Eropa dengan jumlah kasus
baru sebesar 50 kasus (WHO, 2019).
Pada tahun 2018 Indonesia berada pada urutan ketiga di dunia yang memiliki
jumlah penderita kusta tertinggi setelah negara India (120.334) dan Brazil
(28.660) dengan jumlah kasus sebesar 17.017. Indonesia mengalami peningkatan
jumlah kasus jika dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya dengan total kasus
berturut-turut pada tahun 2017 dan 2016 sebesar 15.910 dan 16.826 kasus (WHO,
2019).
Pada tahun 2018 Indonesia memiliki prevalensi kusta 0,70 kasus/10.000
penduduk. Pada beberapa daerah, laki-laki memiliki jumlah penderita kusta dua
kali lebih tinggi daripada perempuan. Di Indonesia, penderita laki-laki memiliki
prevalensi sebesar 62,7% sedangkan perempuan yaitu sebesar 37,3%
(Kementerian Kesehatan RI, 2018b).
Sejak tahun 2000 Indonesia telah melakukan eliminasi kusta pada tingkat
nasional dengan prevalensi 1/10.000 penduduk. Adapun 25 provinsi lainnya
(73,53%) telah mencapai status eliminasi kusta. Sembilan provinsi yang belum
melakukan eliminasi yaitu Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat,
Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Gorontalo, Papua Barat dan Papua
(Kementerian Kesehatan RI, 2018a).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari penyakit Kusta ?
2. Bagaimana klasifikasi dari penyakit Kusta ?
3. Bagaimana etiologi dari penyakti Kusta ?
4. Bagaimana patogenesis dari penyakit Kusta ?
5. Apa saja gejala dari penyakit Kusta ?
6. Apa saja faktor – faktor resiko dari penyakit Kusta ?
7. Bagaimana epidemiologi penyakit Kusta ini ?
8. Bagaimana gambaran kasus penyakit Kusta ?
9. Apa pencegahan dan pengendalian dari penyakit Kusta ?
10. Bagaimana Peraturan pengendalian dari penyakit Kusta ?
11. Bagaimana study kasus dari penyakit Kusta ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Penyakit Kusta
Kusta atau yang biasa dikenal dengan sebutan lepra yaitu penyakit menular
kronik yang diakibatkan oleh Mycobacterium leprae. Kusta juga memiliki nama
lain yaitu Morbus Hansen, yakni sama dengan nama orang yang menemukan
kuman kusta. Asal kata kusta yaitu kustha dari bahasa Sansakerta yang memiliki
arti sekumpulan gejala yang terdapat pada kulit. Penyakit kusta menyerang pada
beberapa bagian tubuh diantaranya kulit, mata, dan juga anggota gerak. Kusta
tergolong penyakit infeksi kronik sehingga apabila tidak ditangani dengan segera
akan menjadi progresif dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dengan
masalah yang kompleks. Namun tidak sama seperti anggapan yang ada di
masyarakat, penyakit kusta tidak sama seperti penyakit tzaraath yang dapat
menyebabkan pelepasan anggota tubuh dengan sangat mudah (Kementerian
Kesehatan RI, 2018a).
Kementerian Kesehatan RI (2018a) menyatakan bahwa penyakit kusta telah
ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. Pernyataan tersebut ditandai dengan
adanya bukti sejarah kusta di India, Mesir, Tiongkok dan Mesopotamia pada
ratusan hingga ribuan tahun yang lalu. Pada masa itu, penduduk yang menderita
kusta diasingkan karena merasa rendah diri dan malu serta menimbulkan rasa jijik
dan takut bagi masyarakat karena dianggap sebagai penyakit kutukan. Hingga
pada tahun 1873, seorang dokter dari Norwegia yang bernama Gerhard Armauer
Henrik Hansen berhasil mengidentifikasi kuman penyebab penyakit kusta.
2. Jenis Kelamin
Penyakit kusta dapat menyerang semua orang.Laki-laki lebih banyak
terkena dibandingkan wanita. Perbandingan 2 : 1, walaupun ada beberapa
daerah yang menunjukkan insiden ini hampir sama, bahkan ada daerah yang
menunjukkan penderita wanita lebih banyak.
3. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan dianggap sebagai salah satu unsur yang ikut
menentukan pengalaman dan pengetahuan seseorang, baik dalam ilmu
pengetahuan maupun kehidupan sosial.
4. Jenis lantai
Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah, kontruksi
lantai rumah harus kedap air dan selalu kering agar mudah dibersihkan dari
kotoran dan debu.Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap
terhadap air seperti tegel, semen, keramik.Lantai yang tidak memenuhi syarat
dapat dijadikan tempat hidup dan perkembangbiakan kuman dan vektor
penyakit.Selain itu dapat menyebabkan meningkatnya kelembaban dalam
ruangan.
5. Faktor Imunitas
Pada individu dengan respon imunitas selular baik akan menjadi kusta
tuberkuloid, sedang bila respon imunitas jelek menjadi kusta lepromatosa.
Respon imunitas selular meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, tetapi
pada usia tertentu akan mengalami penurunan. Respon imun tersebut tidak
berbeda antara laki-laki dan wanita.
6. Faktor Kuman
Kusta dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman-kuman kusta yang
masih utuh kemungkinan dapat menimbulkan penularan, sedangkan bentuk
yang tidak utuh tidak menular.Suatu kenyataan kuman bentuk utuh yang
keluar dari tubuh yang sakit tidak banyak. Juga faktor lamanya kuman kusta
di luar badan manusia memegang peranan pula dalam hal penularan ini, yaitu
bila kuman keluar dari badan penderita maka kuman dapat bertahan 1-2 hari
dan ada pula yang berpendapat 7 hari, hal ini tergantung dari suhu/cuaca di
luar, maka panas cuaca di luar makin cepat kuman kusta akan mati.
7. Kelembaban
Kelembaban sangat penting untuk pertumbuhan kuman penyebab
penyakit.Kelembaban yang tinggi dapat menjadi tempat yang disukai oleh
kuman untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya.Secara umum
penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan
hygrometer.Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara
yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-70% dan
kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah
70%.Komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan biologis agar
aman bagi penguhinya, salah satunya adalah lantai harus kedap air. Jenis
lantai tanah menyebabkan kondisi rumah menjadi lembab yang
memungkinkan segala bakteri berkembangbiak.Hal ini menyebabkan kondisi
ketahanan tubuh menjadi lebih buruk, sehingga dapat menyebabkan gangguan
atau penyakit terhadap penghuninya dan memudahkan seseorang terinfeksi
penyakit. Kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa
hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikro
organism.Kelembaban unutk Mycobactrium leprae dapat hidup dalam secret
hidung yang dikeringkan pada temperature kamar 36,70C dengan kelembaban
77,6%.30 Mycobacterium leprae hidup diluar hospes dengan temperature dan
kelembaban yang bervariasi. Mycobacterium leprae dapat bertahan hidup 7-9
hari pada kelembaban 70,9%. Sedangkan pada temperatur kamar dibuktikan
dapat bertahan hidup sampai 46 hari.
8. Ventilasi
Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang
menyenangkan dan menyehatkan manusia. Berdasarkan kejadiannya, maka
ventelasi dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu:
a. Ventilasi alam
Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu: daya difusi
dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan massa di udara karena
perubahan temperatur. Ventilasi alam ini mengandalkan pergerakan
udara bebas (angin), temperatur udara dan kelembabannya.Selain melalui
jendela, pintu dan lubang angin, maka ventilasi pun dapat diperoleh dari
pergerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan
lantai.
b. Ventilasi buatan.
Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan
menggunakan alat mekanis maupun elektrik.Alat-alat tersebut
diantaranya adalah kipas angin, exhauster dan AC (Air Conditioner).
Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan
akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Ventilasi rumah mempunyai
banyak fungsi yaitu:
1) Menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetep segar / bersih, ini
berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah
tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan
kurangnya oksigen di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang
bersifat racun bagi penghuni rumah akan meningkat. Disamping itu
tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di
dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari
kulit.
2) Membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri
pathogen karena terjadinya aliran udara yang terus-menerus sehingga
bakteri yang terbawa udara akan selalu mengalir.
3) Menjaga agar ruangan rumah selalu tetap di dalam kelembaban yang
optimum. Tersedianya udara segar dalam rumah atau ruangan amat
dibutuhkan manusia. Suatu ruangan yang tidak mempunyai ventilasi
yang baik akan menyebabkan kadar oksigen yang kurang, kadar
karbondioksida meningkat, ruangan akan berbau dan kelembaban
udara akan meningkat.
Menurut indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang
memenuhi syarat kesehatan adalah ≥10% luas lantai rumah dan luas
ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10%luas lantai
rumah (Depkes RI, 2005). Menurut Lubis (1989), luas ventilasi yang
tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya
proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam
rumah, akibatnya kuman kusta yang ada di dalam rumah tidak dapat
keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.
9. Suhu
Rumah atau bangunan yang sehat haruslah mempunyai suhu yang diatur
sedemikian rupa sehingga suhu badan dapat dipertahankan.Jadi suhu dalam
ruangan harus dapat diciptakan rupa sehingga tubuh tidak terlalu banyak
kehilangan panas atau sebaliknya tubuh tidak sampai kepanasan.
2. Epidemiologi di Indonesia
Epidemiologi penyakit kusta dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu
distribusi kusta berdasarkan orang, distribusi kusta berdasarkan geografi
(tempat), dan distribusi kusta berdasarkan waktu, yaitu :
a. Distribusi berdasarkan orang.
Distribusi penderita kusta berdasarkan faktor manusia (orang) dapat
dilihat dalam beberapa hal, yaitu (Kementerian Kesehatan RI, 2019) :
1) Berdasarkan usia.
Penyakit kusta dapat dialami oleh semua kelompok umur. Namun
kasus yang banyak terjadi di Indonesia yaitu pada umur produktif.
Proporsi penderita kusta pada anak di Indonesia sebesar lebih dari 5%,
hal ini menandakan besarnya transmisi di wilayah sekitar (Ditjen P2P,
Kementerian Kesehatan RI, 2012).
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI (2019), proporsi
kusta anak pada tahun 2018 yaitu sebesar 11,03%. Proporsi tersebut
lebih rendah dari tahun 2016 yaitu sebesar 11,43%. Persentase kasus
baru kusta pada anak secara nasional juga mengalami penurunan
selama periode 2015-2017 yaitu sebelumnya 11,22% pada tahun 2015
menurun menjadi 11,05% di tahun 2017. Adapun kasus kusta pada
3) Berdasarkan etnik.
Pada suatu wilayah ataupun negara yang memiliki keadaan
lingkungan yang sama, diperoleh bahwa faktor etnik mempengaruhi
terjadinya penyakit kusta. Pada negara Myanmar, penyakit kusta
banyak terjadi pada etnik Buma. Begitu juga di Malaysia, penyakit
kusta banyak terjadi pada etnik Cina (Ditjen P2P, Kementerian
Kesehatan RI, 2012).
Pada tahun 2018 provinsi dengan angka cacat tingkat 2 yang tertinggi
yaitu Maluku Utara dengan prevalensi kusta 12,98 per 1.000.000
penduduk, adapun pada provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan
Utara tidak terdapat kasus cacat tingkat 2 (Kementerian Kesehatan RI,
2018b).
Kusta dengan tipe Multibasiler (MB) paling umum terjadi di
Indonesia. Pada tahun 2018, proporsi kusta MB di Indonesia sebesar
85,46%. Provinsi yang memiliki proporsi kusta MB paling tinggi yaitu
Lampung (99,35%), Kalimantan Tengah (96,00%), dan Sumatera Utara
(93,79) (Kementerian Kesehatan RI, 2018b).
Menurut data dari Kementerian Kesehatan RI (2018), Provinsi dengan
kasus baru kusta yang paling tinggi yaitu Jawa Timur sebesar 3.373 kasus.
Sedangkan Sumatera Utara pada tahun 2017 memiliki kasus baru kusta
sebanyak 158 kasus, 10 kasus baru diantaranya terjadi pada anak usia <15
tahun dan 21 kasus baru cacat tingkat 2 (Kementerian Kesehatan RI,
2018b).
Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2015 adalah sekitar 210.
758. Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara
(156.118) diikuti regional Amerika (28.806) dan Afrika (20.004), dan sisanya
berada di regional lain.
Tabel Penemuan Kasus Baru pada 17 Negara yang melaporkan >1000 Kasus
Selama Tahun 2006 – 2015
Gambar 1. Jumlah dan Tren Kasus Baru Kusta Tahun 2013 – 2017
Gambar 2. Tren Proporsi dan Kasus Baru Kusta pada Anak 0-14 Tahun 2013-
2017
Dari Gambar 3 terlihat bahwa kasus baru kusta terbanyak di Provinsi Jawa
Timur (3.373 jiwa), Jawa Barat (1.813 jiwa), Jawa Tengah (1.644 jiwa),
Papua (968 jiwa) dan Sulawesi Selatan (1.091 jiwa).
Dari gambar berikut ini dapat dilihat bahwa jumlah penderita kusta
terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur pada periode tahun 2015-2017,
namun dengan penurunan penderita sebesar 15,95%, sedangkan provinsi yang
mengalami kenaikan jumlah penderita paling tinggi dalam kurun waktu 2015-
2017 terdapat di Provinsi Maluku sebanyak 102,84%.
Gambar 4. Proporsi dan Tren Penderita Kusta Baru di 10 Provinsi Tahun 2015-
2017
Provinsi dengan proporsi kusta terbanyak berjenis kelamin laki-laki yaitu
Kalimantan Selatan (74,49%), Kalimantan Tengah (73,68%) dan Bali
(72,86%). Di beberapa daerah, pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali
lebih tinggi dari wanita. Pada tahun 2017 jumlah kasus baru kusta pada laki-
laki sebanyak 9.872 kasus dan perempuan sebanyak 6.048 kasus.
Tabel 5. Kasus Baru Kusta Menurut Jenis Kelamin per Provinsi Tahun 2017
Gambar 5. Angka Prevalensi Kusta per 10.000 Penduduk Menurut Provinsi Tahu
2017
Gambar 5 menjelaskan angka prevelensi kusta per 10.000 penduduk
menurut provinsi di Indonesia, dimana prevalensi terendah adalah di
Kalimantan Barat (0,04) dan prevalensi tertinggi 11,48 di Papua Barat.
b. Pencegahan sekunder.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan melalui :
1) Early diagnosis (diagnosis dini).
Diagnosis dini terhadap kusta yaitu melalui pemeriksaan kulit dan
saraf tepi beserta fungsinya yang dilakukan oleh petugas kesehatan
(Masriadi,2017).
2) Prompt treatment (pemberian pengobatan).
Obat yang diberikan kepada pasien kusta meliputi pemberian DDS
(diaminodifelsulfon), rifampisin, klofazimin, prednisone, sulfat
ferrosus dan vitamin A. Adapun pengobatan lain yang dilakukan yaitu
berupa penggabungan antara rifampicin dan ofloxacindan minocycline
yang biasa disebut dengan MDT (Multi Drug Therapy) yang diberikan
sesuai dengan tipe kusta dan umur penderita. Penderita harus
menjalani pengobatan secara teratur hingga 6 bulan untuk tipe PB dan
dan 12 bulan untuk tipe MB (Masriadi,2017).
Pengobatan penderita kusta bertujuan untuk menyembuhkan
penderita, memutuskan rantai penularan dan mencegah kecacatan
bertambah parah. Pemberian pengobatan sangat diperlukan pada
penderita kusta, khususnya kusta tipe multibasiler, dikarenakan tipe
ini sangat mudah untuk menularkan penyakit kusta kepada orang lain
(Paramita, D.M., 2017).
c. Pencegahan tersier.
Pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah orang yang telah
menderita kusta mengalami kecacatan atau komplikasi yang semakin
parah. Pencegahan tersier terhadap penyakit kusta terdiri dari :
1) Rehabilitasi medik.
Rehabilitasi medik berguna untuk mencegah kecacatan sejak dini
yang diikuti dengan perawatan yang baik dan benar yang dilakukan
sejak diagnosis awal ditegakkan. Untuk hasil yang optimal, diperlukan
rehabilitasi medik yang terpadu, seperti pengobatan, psikoterapi,
fisioterapi, perawatan luka ataupun pemberian alat bantu lainnya.
Rehabilitasi medik dan juga rehabilitasi sosial merupakan kesatuan
rehabilitasi yang harus diberikan kepada penderita kusta yang disebut
dengan rehabilitasi paripurna.
2) Rehabilitasi nonmedik.
Penyakit kusta sering digambarkan dengan cacat fisik yang
menimbulkan perasaan takut dan jijik bagi orang yang melihatnya,
sehingga dapat menimbulkan masalah yang kompleks bagi penderita,
keluarga dan masyarakat. Terkadang masalah psikososial pada
penderita lebih besar daripada masalah medisnya. Pengobatan secara
paripurna diperlukan untuk mencapai kemandirian dalam hidup
bermasyarakat bagi penderita.
3) Rehabilitasi mental.
Penyuluhan kesehatan dalam bentuk dukungan mental dan
pemberian informasi terkait kusta harus diusahakan secepat mungkin
dilakukan kepada penderita, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
4) Rehabilitasi karya.
Rehabilitasi karya berguna agar orang yang telah mengalami
kecacatan dapat bekerja seperti dahulu atau dapat belajar jenis
pekerjaan baru yang sesusai dengan kemampuan penderita.
5) Rehabilitasi sosial.
Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memperbaiki dukungan
sosial penderita kusta. Pencapaian rehabilitasi sosial tentunya tidak
luput dari bantuan dan peranan keluarga dan masyarakat yang ada di
sekitarnya.
b. Kegiatan Penanggulangan
1) Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan dilakukan dengan berbagai upaya kepada
masyarakat sehingga mereka mau dan mampu meningkatkan dan
memelihara kesehatan mereka sendiri. Promosi kesehatan dilakukan
melalui sinergisitas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
organisasi kemasyarakatan, swasta/dunia usaha, dan masyarakat yang
telah diberikan pengetahuan mengenai Kusta antara lain kader, tokoh
masyarakat, serta Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK).
Sasaran promosi kesehatan dalam kegiatan Penanggulangan Kusta
yaitu Penderita Kusta, keluarga, masyarakat termasuk tokoh
masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, tokoh publik,organisasi
kemasyarakatan, dan kader, tenaga kesehatan, penentu kebijakan dan
pemangku kepentingan. Promosi Kesehatan dilaksanakan dalam
bentuk:
Memberikan informasi tentang tanda dan gejala dini Kusta, serta
teknis kegiatan Penanggulangan Kusta. Informasi tersebut dapat
berupa pedoman, petunjuk teknis, leaflet, poster, lembar balik,
spanduk, banner, penyuluhan, dan lain-lain.
Mempengaruhi individu, keluarga, dan masyarakat untuk
penghapusan stigma dan menghilangkan diskriminasi pada
Penderita Kusta dan orang yang pernah mengalami Kusta, melalui
kampanye, iklan layanan masyarakat, film pendek, pertunjukkan
tradisional, dan lain-lain.
Mempengaruhi pemangku kepentingan terkait untuk memperoleh
dukungan kebijakan Penanggulangan Kusta, khususnya
penghapusan stigma dan diskriminasi, serta pembiayaan, yang
dapat dilakukan melalui peraturan perundang-perundangan,
advokasi, seminar, dan lain-lain.
Membantu individu, keluarga, dan masyarakat untuk berperan aktif
dalam penemuan dan tata laksana Penderita Kusta, pelaksanaan
Kemoprofilaksis, dan kegiatan penelitian dan pengembangan.
2) Surveilans Kusta
Surveilans Kusta dilaksanakan baik pada daerah yang belum
mencapai Eliminasi Kusta maupun daerah yang telah mencapai
Eliminasi Kusta untuk mempertahankan status Eliminasi Kusta.
Sasaran Surveilans Kusta dalam kegiatan Penanggulangan Kusta
sebagai berikut:
Kelompok orang yang sedang dalam pengobatan Kusta
Kelompok masyarakat di wilayah setempat sebagai kelompok yang
memiliki resiko penularan Kusta
Kelompok orang yang telah menyelesaikan pengobatan Kusta
Kelompok orang yang diduga mengalami resistensi obat
antimikrobial Kusta
3) Kemoprofilaksis Kusta
Kemoprofilaksis Kusta adalah pemberian obat yang ditujukan
untuk pencegahan Kusta. Kemoprofilaksis Kusta dilakukan pada
daerah yang memiliki Penderita Kusta yang tinggi, atau berdasarkan
hasil Surveilans di daerah yang memiliki Penderita Kusta yang rendah
pada situasi khusus. Kemoprofilaksis Kusta dilakukan pada penduduk
yang memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai berikut:
Penduduk yang menetap paling singkat 3 (tiga) bulan pada daerah
yang memiliki Penderita Kusta;
Berusia lebih dari 2 (dua) tahun;
Tidak dalam terapi rifampisin dalam kurun 2 (dua) tahun terakhir;
Tidak sedang dirawat di rumah sakit;
Tidak memiliki kelainan fungsi ginjal dan hati;
Bukan suspek tuberkulosis;
Bukan suspek Kusta atau terdiagnosis Kusta;
Bukan lanjut usia dengan gangguan kognitif.
BAB IX :KetentuanPenutup.