PENANGGULANGAN
DAN PENGENDALIAN
PENYAKIT ISPA
Ranti Christin Marpaung 181000033
Deli Pebrina Br. Manik 181000036
Dewi Salsalina Br. Ginting 181000160
Vina Mahdayanti Purba181000257
Definisi
Infeksi akut saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian
bawah beserta adenaksanya
Saluran pernafasan adalah organ yang bermula dari hidung hingga alveoli
beserta segenap adneksanya seperti sinussinus, rongga telinga tengah dan
pleura
Mayoritas penyebab dari ISPA adalah oleh virus, dengan frekuensi lebih dari
90% untuk ISPA bagian atas, sedangkan untuk ISPA bagian bawah frekuensinya
lebih kecil. Penyakit ISPA bagian atas mulai dari hidung, nasofaring, sinus
paranasalis sampai dengan laring hampir 90% disebabkan oleh virus, sedangkan
ISPA bagian bawah hampir 50% diakibatkan oleh bakteri.
Klasifikasi ISPA
01 ISPA ringan
Apabila ditemukan gejala batuk pilek dan sesak
02 ISPA sedang
Apabila timbul gejala gejala sesak napas, suhu tubuh lebih dari 39⁰C dan
bila bernapas mengeluarkan suara seperti mengorok
03 ISPA berat
Gejala meliputi : kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu
makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah
Tanda dan gejala ISPA untuk golongan
umur 2 bulan sampai 5
tahun
Penularan melalui udara dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak
dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan
melalui udara dapat pula menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang
penyakit yang sebagian besar penularannya adalah karena menghisap udara yang
mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab
Cara penularan utama sebagian besar ISPA adalah melalui droplet, tapi
penularan melalui kontak (termasuk kontaminasi tangan yang diikuti oleh
inokulasi tak sengaja) dan aerosol pernapasan infeksius berbagai ukuran dan
dalam jarak dekat bisa juga terjadi untuk sebagian patogen.
Gejala penyakit ISPA
Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang
kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta
demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan
membengkak.
Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung
bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang
sesudah 3-5 hari
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah,
infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (radang paru).
Secara umum gejala ISPA meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri
tenggorok, coryza (pilek), sesak napas, mengi atau kesulitan bernapas).
Faktor Risiko
1. Jenis kelamin
2. Umur
3. Status imunisasi
4. Status gizi
5. Berat badan lahir
6. Pemberian asi ekskulsif
7. Kepadatan hunian rumah
8. Ventilasi
Diagnosis ISPA
Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri
Diagnosis etiologi pnemonia khususnya pada balita sulit untuk ditegakkan karena
dahak biasanya sukar diperoleh.
Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan hasil yang
memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pnemonia, hanya
biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen darah yang
dapat diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis etiologi pnemonia
Batas napas cepat (Kemenkes RI, 2011b) adalah :
Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernapasan
sebanyak 60 kali per menit atau lebih.
Pada anak usia 2 bulan - <1 tahun frekuensi
pernapasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih.
Pada anak usia 1 tahun - <5 tahun frekuensi
pernapasan sebanyak 40 kali per menit atau lebih.
Diagnosis pneumonia berat kelompok umur <2 bulan
ditandai dengan adanya napas cepat, yaitu frekuensi
pernapasan sebanyak =>60 kali per menit
Epidemiologi
Global
Menurut laporan Kementerian Kesehatan Amerika Serikat,
terdapat hampir 31 ribu (3,4%) pasien didiagnosis dengan ISPA
pada tahun 2006. Di Belanda, dilaporkan bahwa ISPA lebih sering
ditemukan pada kelompok usia 0-4 tahun, yaitu 392 per 1000
populasi
Indonesia
Gambaran epidemiologi ISPA di Indonesia berdasarkan distribusi
frekuensi penyakit ISPA dibedakan atas 3 macam yaitu menurut
ciri-ciri orang (person), tempat (place) dan menurut waktu (time).
Epidemiologi Menurut Orang (person)
Prevalensi nasional infeksi saluran pernapasan akut (berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
dan keluhan responden) adalah (25,5%). Sebanyak 16 provinsi mempunyai prevalensi infeksi
saluran pernapasan akut diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera
Barat, Bengkulu, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, KalimantanSelatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Gorontalo,
Maluku, Papua Barat, dan Papua(Riskesdas, 2007)
Prevalensi ispa di daerah urban menurut diagnosis nakes adalah (66,8%), lebih besar
dibandingkan dengan daerah rural yaitu (33,2%). Setelah dianalisis lebih lanjut dengan analisis
bivariat ternyata hubungan antara tempat dan penyakit ispa adalah significant dengan OR=1,20
ini berarti di daerah urban berpotensi mengidap penyakit ISPA 1,2 kali dibandingkan dengan
daerah rural
Prevalensi ISPA di perkotaan (11,2%), sementara di pedesaan (8,4%). prevalensi ISPA di Jawa-Bali
(10,7%), sementara di luar Jawa-bali (7,8%). Berdasarkanklasifikasi daerah prevalensi ISPA untuk
daerah tidak tertinggal (9,7%), sementara di daerah tertinggal (8,4%).
Epidemiologi Menurut Waktu (time)
Dari 10 besar penyakit pasien rawat jalan di rumah sakit tahun 2010, kasus penyakit
terbanyak yaitu penyakit infeksi saluran pernapasan bagian atas akut lainnya yaitu
sebanyak 433.354 kasus dengan kasus baru sebesar (67,2%)(Profil Kesehatan
Indonesia 2011)
● Pneumonia sangat berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen terapi antibiotik dengan
memberikan kloramfenikol secara intramuskular setiap 6 jam.Apabila pada anak terjadi
perbaikan (biasanya setelah 3 - 5 hari), pemberiannya diubah menjadi kloramfenikol oral, obati
demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati dengan pemberian terapi cairan, nilai ulang
dua kali sehari.
● Pneumonia berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik dengan memberikan
benzilpenesilin secara intramuskular setiap 6 jam paling sedikit selama 3 hari, obati demam,
obati mengi, perawatan suportif, hati-hati pada pemberian terapi cairan, nilai ulang setiap hari.
● Pneumonia : obati di rumah, terapi antibiotik dengan memberikan kotrimoksasol, ampisilin,
amoksilin oral, atau suntikan penisilin prokain intramuskular per hari, nasihati ibu untuk
memberikan perawatan di rumah, obati demam, obati mengi, nilai ulang setelah 2 hari.
● Bukan pneumonia (batuk atau pilek) : obati di rumah, terapi antibiotik sebaiknya tidak
diberikan, terapi spesifik lain (untuk batuk dan pilek), obati demam, nasihati ibu untuk
memberikan perawatan di rumah.
● Pneumonia persisten : rawat (tetap opname), terapi antibiotik dengan memberikan
kotrimoksasol dosis tinggi untuk mengobati kemungkinan adanya infeksi pneumokistik,
perawatan suportif, penilaian ulang.
Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
● Pneumonia sangat berat : jika anak semakin memburuk setelah pemberian kloramfenikol
selama 48 jam, periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloksasilin ditambah gentamisin
jika diduga suatu pneumonia stafilokokus.
● Pneumonia berat : jika anak tidak membaik setelah pemberian benzilpenisilin dalam 48 jam
atau kondisinya memburuk setelah pemberian benzilpenisilin kemudian periksa adanya
komplikasi dan ganti dengan kloramfenikol. Jika anak masih menunjukkan tanda pneumonia
setelah 10 hari pengobatan antibiotik maka cari penyebab pneumonia persistensi.
● Pneumonia : coba untuk melihat kembali anak setelah 2 hari dan periksa adanya tanda-tanda
perbaikan (pernafasan lebih lambat, demam berkurang, nafsu makan membaik. Nilai kembali
dan kemudian putuskan jika anak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada atau tanda
penyakit sangat berat maka lakukan kegiatan ini yaitu rawat, obati sebagai pneumonia berat
atau pneumonia sangat berat. Jika anak tidak membaik sama sekali tetapi tidak terdapat tanda
pneumonia berat atau tanda lain penyakit sangat berat, maka ganti antibiotik dan pantau secara
ketat.
Cakupan Penemuan Pneumonia pada Balita di
Indonesia Tahun 2009 - 2019
Selama kurun waktu yang panjang, angka
cakupan penemuan pneumonia balita tidak
mengalami perkembangan berarti yaitu berkisar
antara 20%-30%. Namun sejak tahun 2015
hingga saat ini terjadi peningkatan cakupan
dikarenakan adanya perubahan angka perkiraan
kasus dari 10% menjadi 3,55%. Selain itu
terdapat peningkatan kelengkapan pelaporan
dari 94,12% pada tahun 2016 menjadi 100%
pada tahun 2019.
Cakupan Penemuan Pneumonia pada Balita
menurut Provinsi Tahun 2019
Persentase kabupaten/kota yang 50%
puskesmasnya melakukan tatalaksana standar
pneumonia sebesar 57,2% yang berarti hampir
mencapai target renstra tahun 2019 yang sebesar
60%.
Namun dari 34 provinsi terdapat empat
provinsi yang puskesmas di seluruh
kabupaten/kotanya melakukan pemeriksaan dan
tatalaksana standar pneumonia yaitu Kepulauan
Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, dan Nusa
Tenggara Barat.
Pada tahun 2019 angka kematian akibat
pneumonia pada balita sebesar 0,12%. Angka
kematian akibat Pneumonia pada kelompok bayi
lebih tinggi hampir dua kali lipat dibandingkan
pada kelompok anak umur 1 – 4 tahun.
Pengendalian Penyakit ISPA
Advokasi
Dapat dilakukan melalui pertemuan dalam rangka mendapatkan komitmen dari semua pengambil
kebijakan.
Sosialisasi
Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman, kesadaran, kemandirian dan menjalin
kerjasama bagi pemangku kepentingan di semua jenjang melalui pertemuan berkala,
penyuluhan/KIE.
Penemuan dan Tatalaksana Pneumonia Balita
Obat-obat tersebut di atas merupakan obat yang umum digunakan di Puskesmas untuk
berbagai penyakit sehingga dalam penyediaannya dilakukan secara terpadu dengan
program lain dan proporsi sesuai kebutuhan. Jika memungkinkan dapat disediakan
antibiotik intramuskular: Ampisilin dan Gentamisin.
Media pencatatan dan pelaporan
Stempel ISPA
Merupakan alat bantu untuk pencatatan penderita pneumonia Balita sebagai status
penderita.
Register harian Pneumonia (non sentinel dan sentinel).
Formulir laporan bulanan (non sentinel dan sentinel)
Pemantauan logistik dilaksanakan sampai di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama
(dengan menggunakan formulir supervisi) yang dilakukan oleh petugas pusat, provinsi dan
kabupaten/kota. Di semua tingkat pemantauan dilakukan sesuai dengan ketentuan
pengelolaan barang milik pemerintah (UU No.19 tahun 2003 tentang badan usaha milik
negara). Penilaian kecukupan logistik dapat dilihat dari indikator logistik pengendalian
ISPA.
Supervisi
Kemitraan Jejaring
Kegiatan kemitraan meliputi pertemuan Jejaring dapat dibangun dengan berbagai
berkala dengan: pemangku kepentingan sesuai dengan
1) lintas program dan sektor terkait, kebutuhan wilayah (spesifik wilayah) baik
2) organisasi kemasyarakatan, sektor pemerintah, swasta, perguruan
3) lembaga swadaya masyarakat, tinggi, lembaga/organisasi non
4) tokoh masyarakat, pemerintah, dll. Jejaring dapat dibangun
5) tokoh agama, melalui pertemuan atau pembuatan
6) perguruan tinggi, kesepahaman (MOU). Untuk menjaga
7) organisasi profesi kesehatan, kesinambungan jejaring, maka komunikasi
8) sektor swasta perlu secara intensif melalui pertemuan-
pertemuan berkala dengan mitra terkait.
Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia
Penyakit ISPA adalah penyakit yang dapat menyerang semua kelompok usia dari bayi, anak-anak dan sampai
orang tua dan merupakan salah satu masalah kesehatan yang ada di negara berkembang dan negara maju.
Di Indonesia, ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Dilihat
dari pengamatan epidemiologi dapat diketahui bahwa angka kesakitan ISPA di kota cenderung lebih besar
daripada di desa. Proporsi kematian akibat ISPA di Indonesia cenderung meningkat.
Tujuan P3M ISPA secara umum adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian karena pneumonia.
Strategi yang diterapakan dalam P3M ISPA adalah Membangun komitmen, Penguatan jejaring internal dan
eksternal, Penemuan kasus pneumonia dilakukan secara aktif dan pasif, Peningkatan mutu pelayanan,
Peningkatan peran serta masyarakat dalam rangka deteksi dini pneumonia, Pelaksanaan Autopsi Verbal Balita di
masyarakat, Penguatan kesiapsiagaan dan respon pandemi, Pencatatan dan pelaporan secara bertahap, Monitoring
dan pembinaan teknis secara berjenjang, terstandar dan berkala serta Evaluasi program secara berkala
Thanks!
Do you have any question?