Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi saluran pernapasan atas merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus,
jamur, dan bakteri yang melibatkan organ saluran pernapasan bagian atas diawali dengan
masuknya bakteri: Haemophylus influenzae, streptococcus pneumoniae, escherichia coli,
chalamidya trachomati, clamidia pneumonia, mycoplasma pneumoniae, dan beberapa
bakteri lain dan virus: korona virus, virus influenza, adenovirus, miksovirus,
pikornavirus, virus parainfluenza, rhinovirus, respiratory syncytial virus kedalam tubuh
manusia melalui partikel udara (droplet infection), kuman ini melekat pada sel epitel
hidung, maka kuman bisa masuk ke bronkus dan masuk kesaluran pernafasan, yang
mengakibatkan demam, batuk, pilek, sakit kepala (Marni, 2014).
World Health Organitation (WHO) tahun 2016 menyatakan angka kejadian
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita di tingkat dunia antara15-20%, insiden
ISPA di negara berkembang 0,29% jiwa dan kawasan industri 0,05% jiwa sedangkan
angka kejadian ISPA di negara Indonesia 151 juta jiwa pertahun (Kemenkes, 2017).
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, prevelensi penyakit ISPA di Indonesia menurut
diagnosis oleh tenaga kesehatan atau gejala yang pernah dialami, yaitu sebesar 9,3% dan
tertinggi pada kelompok usia 1-4 tahun, yaitu sebesar 13,7% (Kemenkes, 2019).
Berdasarkan data dari Dinkes Sumut (2015) menyatakan bahwa jumlah kasus Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di Kota Medan mencapai belasan ribu tiap bulannya,
tercatat bulan Mei 2015, kasus ISPA mencapai 13.175 orang, bulan juni sebanyak 11.481
orang dan bulan juli sebanyak 14.631 orang.
Menurut Notoadmojo (2007) dalam Wulaningsih (2018) Penyebab tingginya
angka penyakit ISPA pada balita, selain disebabkan karena kondisi kesehatan anak secara
kongenital dan faktor lingkungan yang tidak sehat, faktor lain yang berpengaruh adalah
kurangnya pengetahuan keluarga terutama ibu dalam merawat anggota keluarga yang
sakit, penyebab dan perawatan anak dengan ibu yang memiliki pengetahuan yang baik
tentang ISPA, akan membawa dampak positif bagi kesehatan anak karena resiko kejadian
ISPA pada anak dapat dieleminasi (Wulaningsih 2018). Perawatan mandiri yang dapat
diberikan pada anak adalah dengan memperhatikan aspek keamanan balita, salah satu
therapi yang dapat dilakukan secara mandiri oleh pasien khususnya ibu adalah dengan
therapi non farmakologi, terapi non farmakologi yang dimaksud adalah dengan
menerapkan fisioterapi dada yang dianggap cukup mudah dan aman dilakukan pada
balita, maka di perlukan edukasi yang baik dan terarah untuk mengajarkan tehnik pada
ibu untuk membantu anak / balita dalam mengeluarkan sekret yang dapat mengganggu
jalan nafas balita (Hanafi, 2020).
Fisioterapi dada adalah suatu cara yang sangat berguna bagi penderita penyakit
respirasi baik respirasi akut maupun kronis, yang dilakukan dengan teknik postural
drainage, perkusi dan vibrasi yang sangat efektif dalam upaya mengeluarkan sekret serta
memperbaiki ventilasi pada pasien dengan fungsi paru yang terganggu dengan tujuan
untuk memelihara dan mengembalikan fungsi pernapasan dan membantu mengeluarkan
sekret dari bronkus untuk mencegah penumpukan sekret dalam bronkus, memperbaiki
pergerakan dan aliran sekret sehingga dapat memperlancar jalan napas (Ariasti dkk,
2014). Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan
keluarga dengan memberikan edukasi pada keluarga dengan melakukan fisioterapi dada
pada anak balita dengan ISPA.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melaporkan pengelolaan kasus dan aplikasi evidence based practice nursing pada An.A
dengan diagnosa ISPA.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan adalah diharapkan penulis mampu :
a. Mendeskripsikan konsep ISPA
b. Mendeskripsikan resume asuhan keperawatan pada pasien dengan ISPA
c. Melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan ISPA
Mahasiswa mampu menerapkan evidence based practice nursing tindakan pemberian
kompres dingin
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. KONSEP DASAR
1. Pengertian dan klasifikasi
a. Pengertian
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi yang terjadi
pada saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh kuman
mikroorganisme (bakteri dan virus) masuk ke dalam organ saluran pernafasan yang
berlangsung selama 14 hari (Lazamidarmi et al., 2021). ISPA adalah penyakit menular
yang dapat menimbulkan berbagai bentuk spectrum penyakit baik dari penyakit tanpa
gejala atau infeksi ringan hingga infeksi yang parah dan mematikan, tergantung
bagaimana patogen tersebut menginfeksi tubuh manusia. Namun demikian, ISPA juga
sering didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh agen
infeksius yang ditularkan dari manusia ke manusia (Masriadi, 2017).
Menurut Depkes RI (2008) ISPA adalah penyakit saluran pernapasan akut yang
terdiri dari saluran pernapasan bagian atas dan bawah, di mana bagian atas meliputi
fharingitis, rhinitis, dan otitis, sedangkan pada bagian bawah meliputi bronchitis,
bronchiolitis, laryngitis, dan pneumonia. Penyakit ini berlangsung selama 14 hari, di
mana waktu 14 hari tersebut digunakan untuk menentukan batas akut dari penyakit ISPA.
Pada saluran pernafasan dimulai dari hidung sampai alveoli beserta organ seperti sinus,
ruang telinga tengah dan pleura.
ISPA biasa disebut sebagai radang akut atas maupun bawah yang disebabkan oleh
bakteri, virus, ataupun riketsia, serta terjadinya radang parenkim paru-paru. Penyakit
ISPA jika terjadi pada saluran nafas bawah misalnya bronchitis dan menyerang anak-
anak khususnya pada balita akan menyebabkan gambaran klinis yang berat dan dapat
berujung pada kematian (Alsagaff dan Mukti, 2006).
b. Klasifikasi
Menurut Kunoli dan Firdaus (2013), klasifikasi penyakit ISPA terdiri dari:
 Bukan Pneumonia: pada kelompok bukan pneumonia yaitu balita dengan batuk
yang tidak menunjukkan gejala seperti peningkatan frekuensi napas dan tidak
adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam. Contohnya yaitu
faringitis, otitis, tonsilitis, dan common cold.
 Pneumonia: pada kelompok pneumonia yaitu balita yang ditandai gejala batuk dan
sulit bernapas. Gejala ini didiagnosis berdasarkan usia balita tersebut. Di mana
batas frekuensi napas cepat pada anak yang berusia 2 bulan hingga dibawah 1
tahun adalah 50 kali per menit dan pada anak usia 1 sampai dibawah 5 tahun
adalah 40 kali per menit.
 Pneumonia Berat: pada kelompok pneumonia berat yaitu balita yang berusia 2
bulan sampai usia dibawah 5 tahun ditandai gejala batuk, sulit bernapas, dan
sesak napas. Untuk usia dibawah 2 bulan, gejalanya ditandai dengan adanya
napas cepat dengan frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih.

Sedangkan klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah sebagai


berikut:
a) ISPA ringan adalah seseorang yang menderita ISPA ringan ditandai
dengan gejala batuk, pilek maupun sesak napas.
b) ISPA sedang adalah ISPA yang ditandai dengan gejala sesak nafas, suhu
tubuh meningkat menjadi 39⁰C dan bila bernafas mengeluarkan suara
seperti mengorok.
c) ISPA berat adalah ISPA dengan gejala seperti gelisah, kesadaran
menurun, nafsu makan menurun, nadi cepat, bibir dan ujung nadi
membiru (sianosis).

2. Etiologi
ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Adapun beberapa
bakteri penyebab ISPA antara lain seperti genus Streptokokus, Stafilokokus,
Bordetelia, Hemofillus, Korinebakterium, dan Pneumokokus. Sedangkan virus
penyebab ISPA antara lain yaitu golongan Adnovirus, Herpesvirus, Miksovirus,
Koronavirus, Mikoplasma, Pikornavirus dan lain-lain (Suhandayani, 2007).
Menurut WHO (2007), ISPA disebabkan karena adanya infeksi pada bagian
saluran pernapasan. ISPA dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur ataupun
populasi udara. Adapun bakteri, virus, jamur dan polusi udara penyebab ISPA adalah
sebagai berikut:

a) ISPA yang disebabkan oleh bakteri seperti Streptococcus pneumonia,


Mycoplasma pneuomonia, dan Staphylococcus aureus. Bakteri yang paling
sering menyebabkan penyakit ISPA adalah Streptococcus pneumonia.
b) ISPA yang disebabkan oleh virus seperti virus influenza, virus sinisisial
pernapasan, virus paraninfluenza, virus herpes simpleks, adenovirus,
hantavirus, rhinovirus, rubella, sitomegalovirus, dan varisella.
c) ISPA yang disebabkan oleh jamur seperti Aspergifosis, candidiasis,
Coccidioido mycosis, Cryptococosis, Histoplasmosis, dan Pneumucyis
carinii.
d) ISPA yang disebabkan oleh polusi udara antar lain asap pembakaran di rumah
tangga, asap rokok, asap kendaraan bermotor, buangan industri maupun
kebakaran hutan.

3. Manifestasi klinik
Gambaran klinis secara umum yang sering didapat adalah rinitis, nyeri
tenggorokan, batuk dengan dahak kuning/ putih kental, nyeri retrosternal dan
konjungtivitis. Suhu badan meningkat antara 4-7 hari disertai malaise, mialgia, nyeri
kepala, anoreksia, mual, muntah dan insomnia. Bila peningkatan suhu berlangsung lama
biasanya menunjukkan adanya penyulit. (Suriani, 2018). Gejala ISPA berdasarkan tingkat
keparahan adalah sebagai berikut Rosana (2016):

a. Gejala dari ISPA ringan

Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau
lebih gejala-gejala sebagai berikut :
1) Batuk.
2) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (pada
waktu berbicara atau menangis).
3) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung.
4) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C atau jika dahi anak
diraba dengan punggung tangan terasa panas.
b. Gejala dari ISPA sedang
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA
ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
1) Pernapasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu: untuk kelompok
umur kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih
untuk umur 2 -< 5 tahun.
2) Suhu tubuh lebih dari 39°C.
3) Tenggorokan berwarna merah.
4) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak.
5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.
6) Pernapasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).
c. Gejala dari ISPA berat
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala
ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
1) Bibir atau kulit membiru.
2) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.
3) Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah.
4) Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas.
5) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.
6) Tenggorokan berwarna merah.

4. Patofisiologi
Terjadinya infeksi di saluran pernapasan diakibatkan oleh adanya bakteri dan
flora normal. Infeksi oleh bakteri, virus ataupun jamur dapat ubah pola kolonisasi pada
bakteri. Dari infeksi ini menimbulkan mekanisme pertahanan pada jalan nafas seperti
filtrasi udara, refleksi batuk, refleksi epiglottis, fagositosis, inspirasi dirongga hidung,
dan pembersihan mukosilier. Karena infeksi ini dapat menurunkan daya tahan tubuh
penderita maka bakteri pathogen dapat melewati mekanisme system pertahanan
tersebut, sehingga mengakibatkan terjadinya invasi di daerah-daerah saluran pernapasan
atas maupun bawah (Idariani, 2019).
Penyakit ISPA tergolong dalam penyakit Air Borne Disease. Penularannya terjadi
melalui udara yang tercemar dan partikel-partikel penyakit tersebut masuk kedalam tubuh
melalui saluran pernapasan. Penularan melalui udara merupakan cara penularan yang
terjadi melalui udara kemudian masuk melalui saluran pernapasan tanpa adanya kontak
dengan penderita maupun dari benda-benda yang terkontaminasi. Sebagian besar
penularan penyakit ISPA melalui udara dan tidak jarang juga dapat menular melalui
kontak langsung. Penyakit ISPA yang sebagian besar penularannya melalui udara karena
terkontaminasi atau menghirup udara yang mengandung unsur penyebab atau
mikroorganisme penyebab (Masriadi, 2017).
Rosana (2016) menjelaskan bahwa ISPA dapat menular melalui beberapa cara,
yaitu sebagai barikut:
a. Transmisi Droplet
Penuralan secara droplet yang berasal dari orang yang telah menderita penyakit
ISPA atau telah terinfeksi. Droplet tersebut keluar ketika seseorang batuk, bersin atau
berbicara. Penularan dapat terjadi melalui udara jika droplet mengandung
mikroorganisme dan jarak antar seseorang terlalu dekat (<1m), kemudian
mikroorganisme tersebut terdeposit di mukosa mata, hidung, mulut, tenggorokan atau
faring orang lain.
b. Kontak Langsung
Penularan secara kontak langsung atau bersentuhan dengan bagian tubuh
seseorang yang terdapat pathogen, kemudian pathogen tersebut secara tidak langsung
berpindah ke tubuh yang bersentuhan.
5. Pathways
6. Pemeriksaan diagnostic
a. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang lazim dilakukan adalah :


a) Pemeriksaan kultur/biakan kuman (swab) : hasil yang didapatkan adalah
biakan kuman (+) sesuai jenis kuman
b) Pemeriksaan hidung darah (deferential count) : laju endap darah meningkat
disertai dengan adanya leukositosis dan bisa juga disertai dengan adanya
thrombositopenia
c) Pemeriksaan foto thoraks jika diperlukan (Saputro, 2013)

7. Komplikasi
Penyakit ini sebenarnya merupakan self limited disease, yang sembuh sendiri 5-6 hari
jika tidak terjadi invasi kuman lainnya. Komplikasi yang dapat terjadi adalah sinusitis
paranasal, penutupan tuba eusthacii dan penyebaran infeksi. (Windasari, 2018)
a. Sinusitis paranasal
Komplikasi ini hanya terjadi pada anak besar karena pada bayi dan anak kecil
sinus paranasal belum tumbuh. Gejala umum tampak lebih besar, nyeri kepala
bertambah, rasa nyeri dan nyeri tekan biasanya didaerah sinus frontalis dan maksilaris.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan foto rontgen dan transiluminasi pada anak
besar.
Proses sinusitis sering menjadi kronik dengan gejala malaise, cepat lelah dan
sukar berkonsentrasi (pada anak besar). Kadang- kadang disertai sumbatan hidung, nyeri
kepala hilang timbul, bersin yang terus menerus disertai secret purulen dapat
unilateral ataupun bilateral. Bila didapatkan pernafasan mulut yang menetap dan
rangsang faring yang menetap tanpa sebab yang jelas perlu yang dipikirkan terjadinya
komplikasi sinusitis. Sinusitis paranasal ini dapat diobati dengan memberikan antibiotic.
b. Penutupan tuba eusthachii
Tuba eusthachii yang buntu memberi gejala tuli dan infeksi dapat menembus
langsung kedaerah telinga tengah dan menyebabkan otitis media akut (OMA). Gejala
OMA pada anak kecil dan bayi dapat disertai suhu badan yang tinggi (hiperpireksia)
kadang menyebabkan kejang demam.
Anak sangat gelisah, terlihat nyeri bila kepala digoyangkan atau memegang
telinganya yang nyeri (pada bayi juga dapat diketahui dengan menekan telinganya dan
biasanya bayi akan menangis keras). Kadang-kadang hanya ditemui gejala demam,
gelisah, juga disertai muntah atau diare. Karena bayi yang menderita batuk pilek sering
menderita infeksi pada telinga tengah sehingga menyebabkan terjadinya OMA dan
sering menyebabkan kejang demam, maka bayi perlu dikonsul kebagian THT. Biasanya
bayi dilakukan parsentesis jika setelah 48-72 jam diberikan antibiotika keadaan tidak
membaik. Parasentesis (penusukan selaput telinga) dimaksudkan mencegah membran
timpani pecah sendiri dan terjadi otitis media perforata (OMP).
Faktor-faktor OMP yang sering dijumpai pada bayi dan anak adalah :
1) Tuba eustachii pendek, lebar dan lurus hingga merintangi penyaluran
sekret.
2) Posisi bayi anak yang selalu terlentang selalu memudahkan perembesan
infeksi juga merintangi penyaluran sekret.
3) Hipertrofi kelenjar limfoid nasofaring akibat infeksi telinga tengah walau
jarang dapat berlanjut menjadi mastoiditis atau ke syaraf pusat (meningitis).
c. Penyebaran infeksi
Penjalaran infeksi sekunder dari nasofaring kearah bawah seperti laryngitis,
trakeitis, bronkitis dan bronkopneumonia. Selain itu dapat pula terjadi komplikasi jauh,
misalnya terjadi meningitis purulenta
8. Penatalaksanaan
Terapi untuk ISPA atas tidak selalu dengan antibiotik karena sebagian besar kasus
ISPA atas disebabkan oleh virus. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) atas yang
disebabkan oleh virus tidak memerlukan antiviral, tetapi cukup dengan terapi suportif.
a. Terapi Suportif
Berguna untuk mengurangi gejala dan meningkatkan performa pasien
berupa nutrisi yang adekuat, pemberian multivitamin.
b. Antibiotik
Hanya digunakan untuk terapi penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri,
idealnya berdasarkan jenis kuman penyebab, utama ditujukan pada pneumonia,
influenza, dan aureus. (Kepmenkes RI, 2011).
B. KONSEP ASUHAN KEPERWATAN MENURUT TEORI
1. Pengkajian
Pengkajian menurut Amalia Nurin, dkk, (2014
a. Identitas Pasien
b. Usia
Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak usia
dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa anak pada usia muda akan lebih sering menderita
ISPA daripada usia yang lebih lanjut.
c. Jenis Kelamin
Angka kesakitan ISPA sering terjadi pada usia kurang dari 2 tahun,
dimana angka kesakitan ISPA anak perempuan lebih tinggi daripada
laki-laki di negara Denmark.
d. Alamat
Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah anggota keluarga, dan
masyarakat diduga merupakan faktor risiko untuk ISPA. Diketahui bahwa
penyebab terjadinya ISPA dan penyakit gangguan pernafasan lain adalah
rendahnya kualitas udara didalam rumah ataupun diluar rumah baik secara
biologis, fisik maupun kimia. Adanya ventilasi rumah yang kurang sempurna dan
asap tungku di dalam rumah seperti yang terjadi di Negara Zimbabwe akan
mempermudah terjadinya ISPA anak.
2. Keluhan Utama
Adanya demam, kejang, sesak napas, batuk produktif, tidak mau makan anak rewel
dan gelisah, sakit kepala.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien mengalami demam mendadak, sakit kepala, badan lemah, nyeri
otot dan sendi, nafsu makan menurun, batuk, pilek dan sakit tenggorokan.
b. Riwayat penyakit dahulu
Biasanya klien sebelumnya sudah pernah mengalami penyakit ini
c. Riwayat penyakit keluarga
d. Riwayat penyakit infeksi, TBC, Pneumonia, dan infeksi saluran napas lainnya.
Menurut anggota keluarga ada juga yang pernah mengalami sakit seperti penyakit
klien tersebut.
e. Riwayat sosial
Klien mengatakan bahwa klien tinggal di lingkungan yang berdebu dan padat
penduduknya.

4. Kebutuhan Dasar
a. Makan dan minum
Penurunan intake, nutrisi dan cairan, diare, penurunan BB dan muntah.

b. Aktivitas dan istirahat


Kelemahan, lesu, penurunan aktifitas, banyak berbaring.
c. BAK
Tidak begitu sering.
d. Kenyamanan Mialgia, sakit kepala.
e. Hygine
Penampilan kusut, kurang tenaga.

5. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Bagaimana keadaan klien, apakah letih, lemah atau sakit berat.
b. Tanda vital :
Bagaimana suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah klien.
TD menurun, nafas sesak, nadi lemah dan cepat, suhu meningkat,
sianosis
c. TB/BB
Sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
d. Kuku
Bagaimana kondisi kuku, apakah sianosis atau tidak, apakah ada kelainan.

e. Kepala
Bagaimana kebersihan kulit kepala, rambut serta bentuk kepala,
apakah ada kelainan atau lesi pada kepala
f. Wajah
Bagaimana bentuk wajah, kulit wajah pucat/tidak
g. Mata
Bagaimana bentuk mata, keadaan konjungtiva anemis/tidak,
sclera ikterik/ tidak, keadaan pupil, palpebra dan apakah ada gangguan
dalam penglihatan
h. Hidung
Bentuk hidung, keadaan bersih/tidak, ada/tidak sekret pada
hidung serta cairan yang keluar, ada sinus/ tidak dan apakah ada
gangguan dalam penciuman
i. Mulut
Bentuk mulut, membran membran mukosa kering/ lembab, lidah
kotor/tidak, apakah ada kemerahan/tidak pada lidah, apakah ada
gangguan dalam menelan, apakah ada kesulitan dalam berbicara.
j. Leher
Apakah terjadi pembengkakan kelenjar tyroid, apakah ditemukan
distensi vena jugularis.
k. Telinga
Apakah ada kotoran atau cairan dalam telinga, bagaimanakan bentuk
tulang rawanya, apakah ada respon nyeri pada daun telinga.
l. Thoraks
Bagaimana bentuk dada, simetris/tidak, kaji pola pernafasan,
apakah ada wheezing, apakah ada gangguan dalam pernafasan.
Pemeriksaan Fisik Difokuskan Pada Pengkajian Sistem Pernafasan
1) Inspeksi
a) Membran mukosa- faring tampak kemerahan
b) Tonsil tampak kemerahan dan edema
c) Tampak batuk tidak produktif
d) Tidak ada jaringan parut dan leher
e) Tidak tampak penggunaan otot-otot pernafasan tambahan,
pernafasan cuping hidung
2) Palpasi
a) Adanya demam
b) Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher/nyeri
tekan pada nodus limfe servikalis
c) Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid
3) Perkusi
Suara paru normal (resonance)
4) Auskultasi
Suara nafas vesikuler/tidak terdengar ronchi pada kedua sisi paru. Jika
terdengar adanya stridor atau wheezing menunjukkan tanda bahaya. (Suriani,
2018).

m. Abdomen

Bagaimana bentuk abdomen, turgor kulit kering/ tidak, apakah terdapat


nyeri tekan pada abdomen, apakah perut terasa kembung, lakukan pemeriksaan
bising usus, apakah terjadi peningkatan bising usus/tidak.
n. Genitalia
Bagaimana bentuk alat kelamin, distribusi rambut kelamin, warna rambut
kelamin. Pada laki-laki lihat keadaan penis, apakah ada kelainan/tidak. Pada
wanita lihat keadaan labia minora, biasanya labia minora tertutup oleh labia
mayora.
o. Integumen
Kaji warna kulit, integritas kulit utuh/tidak, turgor kulit kering/ tidak,
apakah ada nyeri tekan pada kulit, apakah kulit teraba panas.
p. Ekstremitas
1) Inspeksi : adakah oedem, tanda sianosis, dan kesulitan
bergerak
2) Palpasi : adanya nyeri tekan dan benjolan
3) Perkusi : periksa refek patelki dengan reflek hummar
4) Adakah terjadi tremor atau tidak, kelemahan fisik, nyeri
otot serta kelainan bentuk.

6. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons pasien terhadap suatu masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
didalamnya baik berlangsung aktual maupun potensial yang bertujuan untuk
mengidentifikasi respon pasien baik individu, keluarga ataupun komunitas,
terhadap situasi yang berkaitan mengenai kesehatan.
Diagnosa yang biasanya muncul pada pasien ISPA menurut SDKI (2016)
adalah sebagai berikut :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan

b. Hipertermia b.d proses penyakit (infeksi bakteri stertococcus)

c. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai


dan kebutuhan oksigen
d. Ansietas b.d kurang terpaparnya informasi.
7. Perencenaan
Intervensi Keperawatan yang digunakan pada pasien ISPA
menggunakan perencanaan keperawatan menurut (SIKI) standar intervensi
keperawatan Indonesia serta untuk tujuan dan kriteria hasil menggunakan
standar luaran keperawatan Indonesia (SLKI). (Tim Pokja SLKI, 2018).
a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam bersihan jalan
napas meningkat.
Kriteria hasil :
1) Batuk efektif meningkat
2) Produksi sputum menurun
3) Gelisah menurun
4) Frekuensi napas membaik
5) Pola napas membaik
Intervensi :
1) Observasi
a) Identifikasi kemampuan batuk
b) Monitor adanya retensi sputum

2) Terapeutik
a) Atur posisi semi-Fowler atau Fowler
b) Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
c) Buang sekret pada tempat sputum.

3) Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
b) Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan
selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir mencucu
(dibulatkan) selama 8 detik
c) Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3 kali
d) Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas dalam yang
ke-3
4) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu
b. Hipertermia b.d proses penyakit (infeksi bakteri stertococcus)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam pengaturan suhu
tubuh pasien membaik
Kriteria hasil :
1) Takikardia menurun
2) Hipoksia menurun
3) Suhu tubuh membaik
4) Suhu kulit membaik
Intervensi :
1) Observasi
a) Identifikasi penyebab hipertermia (mis dehidrasi, terpapar lingkungan
panas, penggunaan inkubator dll)
b) Monitor suhu tubuh
c) Monitor keluaran urine
2) Terapeutik
a) Sediakan lingkungan yang dingin
b) Longgarkan atau lepaskan pakaian
a) Berikan kompres hangat pada dahi atau leher
3) Edukasi
Anjurkan tirah baring
4) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu
c. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam toleransi aktivitas
meningkat
Kriteria hasil :
1) Kemudahan melakukan aktivitas sehari-hari meningkat
2) Keluhan lelah menurun
Intervensi :
1) Observasi
a) Monitor pola dan jam tidur
b) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas.

2) Terapeutik
a) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. cahaya, suara,
kunjungan)
b) Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
3) Edukasi
a) Anjurkan tirah baring
b) Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap

4) Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan
d. Ansietas b.d kurang terpaparnya informasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam tingkat ansietas
menurun
Kriteria hasil :
1) Verbalisasi kebingungan menurun

2) Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi menurun


3) Perilaku gelisah menurun
Intervensi :
1) Observasi
a) Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis.kondisi, waktu, stresor)
b) Identifikasi kemampuan mengambil keputusan.

2) Terapeutik
a) Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
b) Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
3) Edukasi
a) Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
b) Latih teknik relaksasi
4) Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu

C. KONSEP TEORI TERKAIT EVIDENCE BASED NURSING


Menurut Notoadmojo (2007) dalam Wulaningsih (2018) Penyebab tingginya
angka penyakit ISPA pada balita, selain disebabkan karena kondisi kesehatan anak secara
kongenital dan faktor lingkungan yang tidak sehat, faktor lain yang berpengaruh adalah
kurangnya pengetahuan keluarga terutama ibu dalam merawat anggota keluarga yang
sakit, penyebab dan perawatan anak dengan ibu yang memiliki pengetahuan yang baik
tentang ISPA, akan membawa dampak positif bagi kesehatan anak karena resiko kejadian
ISPA pada anak dapat dieleminasi (Wulaningsih 2018). Perawatan mandiri yang dapat
diberikan pada anak adalah dengan memperhatikan aspek keamanan balita, salah satu
therapi yang dapat dilakukan secara mandiri oleh pasien khususnya ibu adalah dengan
therapi non farmakologi, terapi non farmakologi yang dimaksud adalah dengan
menerapkan fisioterapi dada yang dianggap cukup mudah dan aman dilakukan pada
balita, maka di perlukan edukasi yang baik dan terarah untuk mengajarkan tehnik pada
ibu untuk membantu anak / balita dalam mengeluarkan sekret yang dapat mengganggu
jalan nafas balita (Hanafi, 2020).
Fisioterapi dada adalah suatu cara yang sangat berguna bagi penderita penyakit
respirasi baik respirasi akut maupun kronis, yang dilakukan dengan teknik postural
drainage, perkusi dan vibrasi yang sangat efektif dalam upaya mengeluarkan sekret serta
memperbaiki ventilasi pada pasien dengan fungsi paru yang terganggu dengan tujuan
untuk memelihara dan mengembalikan fungsi pernapasan dan membantu mengeluarkan
sekret dari bronkus untuk mencegah penumpukan sekret dalam bronkus, memperbaiki
pergerakan dan aliran sekret sehingga dapat memperlancar jalan napas (Ariasti dkk,
2014). Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan
keluarga dengan memberikan edukasi pada keluarga dengan melakukan fisioterapi dada
pada anak balita dengan ISPA.
BAB IV
APLIKASI JURNAL EVIDENCE BASED NURSING RISET
A. Data fokus pasien (yang berkaitan dengan EBN)
Data Subjektif :
Ibu pasien mengatakan anaknya pilek, batuk grok2
Data Objektif :
 Suara pasien serak
 Muka memerah ketika batuk
 Batuk grok2
 Hidung tersumbat Non farmakologi :
 Sputum berlebih Pemberian kompres
 Batuk tidak efektif dingin

 Suhu 380C
 RR : 22x/menit
 HR 110x/menit
B. Diagnosa keperawatan yang berhubungan dengan jurnal evidence based nursing riset yang
diaplikasikan
Bersihan jalan napas tidak Sekresi yang tertahan
C. Analisa sintesa justifikasi / alasan penerapan evidence based nursing practice

ISPA
Sesak napas

Bersihan jalan
napas tidak Terapi Non-
efektif Farmkologi : Produksi sputum
menurun
Fisioterapi dada
Nebulizer

Perawatan mandiri yang dapat diberikan pada anak adalah dengan memperhatikan aspek
keamanan balita, salah satu therapi yang dapat dilakukan secara mandiri oleh pasien
khususnya ibu adalah dengan therapi non farmakologi, terapi non farmakologi yang
dimaksud adalah dengan menerapkan fisioterapi dada yang dianggap cukup mudah dan
aman dilakukan pada balita, maka di perlukan edukasi yang baik dan terarah untuk
mengajarkan tehnik pada ibu untuk membantu anak / balita dalam mengeluarkan sekret yang
dapat mengganggu jalan nafas balita (Hanafi, 2020).
D. Mekanisme penerapan EBN

Pasien An.A berumur 1 tahun sesuai dengan kriteria insklusi yaitu balita dengan usia 1-3
tahun . Sebelum melakukan tindakan keperawatan Fisioterapi Dada anak harus mendapat
persetujuan terlebih dahulu dari pasien dan keluarga .Anjurkan untuk meminum air harngat
dan mengatur posisi pasien. Selanjutnya berikan tindakan keperawatan Fisioterapi Dada
sistematis selama 5-10 menit. :
a. Perkusi dada (clapping)
1) Letakkan handuk diatas kulit pasien
2) Rapatkan jari-jari dan sedikit difleksikan membentukNon farmakologi
mangkok tangan :
Pemberian
3) Lakukan perkusi dengan menggerakkan sendi pergelangan tangan, kompres
prosedur benar jika
terdengar suara gema pada saat perkusi dingin

b. Perkusi seluruh area target, dengan menggunakan pola yang Vibrasi Dada
1) Instruksikan pasien untuk tarik nafas dalam dan mengeluarkan napas perlahan-lahan
2) Pada saat buang napas, lakukan prosedur vibrasi, dengan teknik: Tangan non
dominan berada dibawah tangan dominan, dan diletakkan pada area target.
3) Instruksikan untuk menarik nafas dalam
4) Pada saat membuangn napas, perlahan getarkan tangan dengan cepat tanpa
melakukan penekanan berlebihan
5) Posisikan pasien untuk dilakukan tindakan batuk efektif

BAB V
PEMBAHASANAPLIKASI EVIDENCE BASED NURSING
A. Hasil yang di capai
Setelah di berikan tindakan keperawatan Fisioterapi Dada An. A didapatkan hasil sebelum
batuk grok-grok, muka memerah ketika batuk dan terdapat suara napas tambahan dan
sesudah pemberian tindakan keperawatan Fisioterapi Dada An.A batuk sudah tidak berbunyi
grok-grok, muka tidak memerah ketika batuk dan sudah tidak ada suara napas tambahan.

Pemberian Fisioterapi Data


Dada
Sebelum Fisioterapi Dada DS:
- Ibu pasien mengatakan anaknya pilek, batuk
grok2, muka memerah ketika batuk, dan tidak
mengetahui tentang Fisioterapi Dada
DO:
 Suara pasien serak
 Adanya suara napas tambahan
 Batuk grok2
 Hidung tersumbat
 Sputum berlebih
 Batuk tidak efektif
TTV :
 Suhu 380C
 RR : 22x/menit
HR 110x/menit
Sesudah Fisioterapi Dada DS :
 Ibu pasien mengatakan batuk anaknya sudah
tidak dan pilek sudah tidak ada, dan pasien
mengatakan mengerti cara melakukan
Fisioterapi dada mandiri
DO :
- batuk sudah berkurang
- sudah tidak pilek
- sputum Negatif / sudah tidak ada
- saturasi oksigen 99%
TTV :
 Suhu 36,2 0C
 RR : 22x/menit
 HR 115x/menit

B. Kelebihan/manfaat EBN yang diaplikasikan


Kelebihan dari pemberian terapi Fisioterapi Dada yaitu dapat diterapkan dengan mudah oleh
keluarga dirumah mau pun di rumah sakit, caranya sangat mudah dan dapat dilakukan secara
mandiri oleh keluarga, serta dapat meningkatkan kenyamanan pada pasien dalam melakukan
aktivitas maupun istirahat dan mengurangi penumpukan sputum/dahak. Sedangkan
C. Kekurangan
kekurangannya adalah ibu pasien takut kalua tidak ada yang mendapingi saat melakukan
tindakan terapi Fisioterapi Dada.

Anda mungkin juga menyukai