Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

2.1.1 Pengertian ISPA

Menurut Departemen Kesehatan RI (2011) ISPA adalah infeksi saluran

pernapasan akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran

pernapasan mulai dari hidung hingga kantong paru (alveoli) termasuk jaringan

adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

Pengertian ISPA menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2002 (dalam

Triska Susila dan Lilis, 20015) adalah suatu penyakit pernafasan akut yang

ditandai dengan gejala batuk, pilek, serak, demam dan mengeluarkan lendir yang

berlangsung sampai dengan 14 hari.

2.1.2 Epidemiologi

Didunia penyakit ini telah menyebabkan 3,9 juta kematian (WHO, 2014).

Akan tetapi pada sumber lain diketahui bahwa ISPA bertanggung jawab untuk

4,25 juta kematian setiap tahun (Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia, 2012).

Acute respiratory infection merupakan penyebab kematian terbesar ketiga

khususnya di Negara miskin dan Negara menengah. Banyaknya jumlah kematian

pada Negara miskin dan negara menengah umumnya disebabkan oleh gizi buruk,

polusi, kepadatan penduduk dan penggunaan tembakau (Ambarwati, 2012).

Di negara berkembang, penyakit ISPA menduduki urutan pertama sebesar

36%, dan angka mortalitas pada balita menduduki urutan kedua sebesar 13%

9
10

(Widoyono, 2013). Menurut laporan WHO, lebih dari 50% kasus ISPA berada di

Asia Tenggara dan Sub-Sahara Afrika. Dilaporkan pula bahwa tiga per empat

kasus ISPA pada balita di seluruh dunia berada di 15 negara. Indonesia

merupakan salah satu diantara ke 15 negara tersebut dan menduduki peringkat ke-

6 dengan jumlah kasus sebanyak 6 juta (WHO, 2011).

2.1.3 Etiologi

Etiologi ISPA terdiri dari bakteri, virus, jamur, dan aspirasi. Bakteri

penyebab ISPA antara lain Diplococcus pneumoniae, Pneumococcus,

Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenza.

Virus penyebab ISPA antara lain Influenza, Adenovirus, dan Sitomegalovirus.

Jamur yang dapat menyebabkan ISPA antara lain Aspergillus sp., Candida

albicans, dan Histoplasma. Sedangkan aspirasi lain yang juga dapat menjadi

penyebab ISPA adalah makanan, asap kendaraan bermotor, BBM (bahan bakar

minyak) biasanya minyak tanah, cairan amnion pada saat lahir, dan benda asing

seperti biji-bijian (Widoyono, 2013).

2.1.4 Gejala ISPA

Menurut WHO (2012), penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat

menular, hal ini timbul karena menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan

tubuh, misalnya karena kelelahan atau stres. Pada stadium awal, gejalanya berupa

rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang kemudian diikuti bersin terus

menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala.

Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Infeksi lebih lanjut

membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah. Bila tidak

terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang
11

mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran

tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (radang paru). Secara umum

gejala ISPA meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri tenggorok, coryza

(pilek), sesak napas, mengi atau kesulitan bernapas) (Ambarati, 2012).

2.1.5 Klasifikasi Penyakit ISPA

Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada umumnya

menunjukkan gejala-gejala seperti batuk, pilek, sakit tenggorokan, kesulitan

bernapas, demam, dan sakit telinga (Safitri Liana, 2011). Menurut Taylor (2012)

Penentuan klasifikasi penyakit ISPA dapat dibedakan atas 2 kelompok yaitu:

A. Pada Anak

1. Kelompok untuk umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun

Untuk kelompok umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun klasifikasi dibagi

atas pneumonia berat, pneumonia, dan batuk bukan pneumonia.

a. ISPA

Terjadi bila hanya disertai napas cepat dengan batasan umur 2 bulan

sampai umur kurang dari 1 tahun sebanyak 50 kali per menit atau lebih,

sedangkan untuk umur 1 tahun sampai umur kurang dari sama dengan 5

tahun sebanyak 40 kali per menit atau lebih.

b. Bukan ISPA

Terjadi bila tidak ditemukan peningkatan frekuensi napas cepat dan tidak

menimbulkan adanya penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam

(batuk pilek biasa). Sedangkan tanda hanya untuk kelompok umur 2 bulan
12

sampai kurang dari 5 tahun adalah tidak bisa minum, kejang, kesadaran

menurun, dan gizi buruk.

2. Kelompok untuk umur kurang dari 2 bulan

Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan klasifikasi dibagi atas ISPA berat

dan batuk bukan ISPA. Dalam pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit

(MTBS) klasifikasi pada kelompok umur kurang dari 2 bulan adalah infeksi

bakteri sistemik dan infeksi bakteri lokal.

a. Klasifikasi ISPA

Klasifikasi ISPA ini didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran

bernafas disertai adanya nafas cepat. Batas nafas cepat pada anak umur 2

bulan sampai <1 tahun adalah 50 kali permenit dan 40 kali per menit untuk

anak usia 1 sampai <5 tahun.

b. Klasifikasi batuk bukan ISPA

Klasifikasi batuk bukan ISPA mencakup kelompok penderita balita

dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas

dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke

dalam. Dengan demikian klasifikasi batuk bukan pneumonia mencakup

penyakit-penyakit ISPA lain di luar pneumonia seperti batuk pilek

(common cold, pharyngitis, tonsilitis, otitis).

B. Pada Dewasa

Kelompok umur dewasa yang mempunyai faktor risiko lebih tinggi untuk
terkena pneumonia (Kusmana, 2014), yaitu :
13

1. Merokok
2. Malnutrisi baik karena kurangnya asupan makan ataupun dikarenakan
penyakit kronis lain.
3. Kelompok dengan penyakit paru, termasuk kista fibrosis, asma, PPOK, dan
emfisema.
4. Kelompok dengan masalah-masalah medis lain, termasuk diabetes dan
penyakit jantung.
5. Kelompok dengan sistem imunitas dikarenakan HIV, transplantasi organ,
kemoterapi atau penggunaan steroid lama.
6. Kelompok dengan ketidakmampuan untuk batuk karena stroke, obat-obatan
sedatif atau alkohol, atau mobilitas yang terbatas.
7. Kelompok yang sedang menderita infeksi traktus respiratorius atas oleh virus.
Menurut Depkes RI (2012) ISPA pada umsia dewasa gejala yang sering
timbul yaitu :
a. Gejala ISPA Ringan
Jika ditemukan satu atau lebih gejala seperti batuk atau serak, suara parau.
Pilek yaitu mengeluarkan lender dari hidung, panas atau demam dengan suhu
badan lebih dari 370C.
b. Gejala ISPA Sedang
Seseorang dikatakan gejala ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA ringan
disertai satu atau gejala-gejala seperti pernapasan > 24 kali per menit dan suhu
badan 390C, tenggorokan berwarna merah, muncul bercak-bercak di kulit
seperti campak, telinga sakit, pernapasan seperti mengorok.
c. Gejala ISPA Berat
Seseorang dinyatakan gejala ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala ISPA
ringan dan ISPA sedang disertai satu atau gejala-gejala seperti bibir atau kulit
14

membiru, lobang hidung kembang kempis cukup lebar sewaktu bernapas,


gelisah, kesadaran menurun, nadi cepat > 100 kali per menit.
2.1.6 Riwayat Alamiah Penyakit ISPA

Menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2014 riwayat alamiah penyakit

ISPA pada tahap awal dimulai interaksi bibit penyakit dengan tubuh penjamu, dan

tubuh penjamu berusaha untuk mengeluarkan, membatasi atau membasmi bibit

penyakit tersebut melalui mekanisme pertahanan tubuh baik sistemik maupun

lokal.

Virus merupakan penyebab utama ISPA yang menginfeksi mukosa,

hidung, trachea, dan bronkus. Infeksi virus akan menyebabkan mukosa

membengkak dan menghasilkan banyak lendir, jika pembengkakan tersebut tinggi

maka akan menghambat aliran udara melalui pipa-pipa pada saluran pernapasan.

Jika seseorang batuk merupakan tanda bahwa paru-paru tersebut sedang berusaha

mendorong lendir keluar, dan membersihkan pipa saluran pernapasan (Marni,

2014).

Penderita akan menularkan kuman penyakit kepada orang lain melalui

udara pernapasan atau percikan ludah. Pada prinsipnya kuman ISPA yang ada di

udara akan terhirup oleh orang yang berada di sekitarnya dan masuk ke dalam

saluran pernapasan, dari saluran pernapasan akan menyebar ke seluruh tubuh.

Apabila orang terinfeksi maka akan rentan terkena ISPA, ditambah jika

kelembaban dan suhu kamar tinggi yang merupakan faktor pemicu pertumbuhan

dan perkembangan bakteri, virus, dan jamur penyebab ISPA (Departemen

Kesehatan RI, 2014).


15

2.1.7 Faktor Resiko Penyakit ISPA

Menurut Departemen Kesahatan RI (2014) secara umum terdapat 3 (tiga)

faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, dan

faktor perilaku.

1. Faktor Lingkungan

a. Pencemaran udara dalam rumah yaitu Pencemaran udara di dalam rumah

banyak terjadi di Negara-negara berkembang. Diperkirakan setengah dari

rumah tangga di dunia, memasak dengan bahan bakar yang belum diproses

seperti kayu, sisa tanaman dan batubara sehingga akan melepaskan emisi

sisa pembakaran di dalam ruangan tersebut. Pembakaran pada kegiatan

rumah tangga dapat menghasilkan pencemaran udara di dalam rumah

adalah asap dapur. Asap dari bahan bakar kayu merupakan faktor resiko

dengan kejadian ISPA pada balita.

b. Kebiasaan merokok di dalam rumah dapat menimbulkan asap yang tidak

hanya dihisap oleh perokok, taetapi juga dihisap oleh orang yang ada

disekitarnya termasuk anak-anak. Satu batang rokok yang dibakar anak

mengeluarkan sekitar 4.000 bahan kimia seperti nikotin, gas

karbonmonoksida, nitrogen oksida, hydrogen cianida, ammonia, akrolein,

acetilen, benzol dehide, urethane, methanol, conmarin, 4-ethyl cathecol,

ortcresorperyline dan lainnya, sehingga paparan asap rokok dapat

mengingkatkan risiko kesakitan pernafasan khususnya pada anak berusia

kurang dari 2 tahun (Kenan, 2015).


16

c. Ventilasi

Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau

dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari

ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut:

a) Menyuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen

yang optimum bagi pernapasan.

b) Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan

zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara.

c) Menyuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.

d) Menyuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan.

e) Mengeluakan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi

tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal.

f) Mendisfungsikan suhu udara secara merata.

Ventilasi alamiah yang dapat mengalirkan udara ke dalam ruangan secara

alamiah misalnya jendela, pintu, lubang angin, dan lubang-lubang pada

dinding. Ventilasi buatan yang menggunakan alat-alat khusus untuk

mengalirkan udara ke dalam rumah, misalnya kipas angin, dan mesin

pengisap udara (Soekidjo Notoatmodjo, 2012).

Luas ventilasi penting untuk suatu rumah karena berfungsi sebagai sarana

untuk menjamin kualitas dan kecukupan sirkulasi udara yang keluar dan

masuk dalam ruangan. Luas ventilasi yang kurang dapat menyebabkan

suplai udara segar yang masuk ke dalam rumah tidak tercukupi dan

pengeluaran udara kotor ke luar rumah juga tidak maksimal. Dengan


17

demikian, akan menyebabkan kualitas udara dalam rumah menjadi buruk

(Retno Widyaningtyas dkk, 2014).

d. Pencahayaan

Menurut Retno Widyaningtyas (2014) Pencahayaan alami dan atau buatan

langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan

minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan.

e. Kualitas udara

Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai berikut.

a) Suhu udara nyaman berkisar 180-300 Celcius.

b) Kelembaban udara berkisar antara 40%-70%.

c) Konsentrasi gas CO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam.

d) Pertukaran udara=5 kaki kubik per menit per penghuni.

e) Konsentrasi gas formaldehid tidak melebihi 120 mg/m3.

f. Kepadatan hunian rumah

Kepadatan hunian dalam rumah menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI

No.829/Menkes/SK/VII/2011 tentang persyaratan kesehatan rumah,

kepadatan hunian ruang tidur minimal luasnya 8m2 dan tidak dianjurkan

digunakan lebih dari 2 orang kecuali anak di bawah umur 5 tahun.

Berdasarkan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan

penyakit dan melancarkan aktivitas. Keadaan tempat tinggal yang padat

dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada.


18

2. Faktor individu anak

a. Umur anak

Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit

pernapasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan

tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6 –12

bulan.

b. Berat badan lahir

Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan

mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR)

mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat

badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena

pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah

terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan

lainnya.

Penelitian menunjukkan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram

dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi saluran

pernafasan dan hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted terhadap

status pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data ini mengingatkan bahwa

anak-anak dengan riwayat berat badan lahir rendah tidak mengalami rate

lebih tinggi terhadap penyakit saluran pernapasan, tetapi mengalami lebih

berat infeksinya.
19

c. Status gizi

Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap pertumbuhan dan

perkembangan anak dipengaruhi oleh umur, keadaan fisik, kondisi

kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan

dan aktivitas dari anak itu sendiri. Penilaian status gizi dapat dilakukan

antara lain berdasarkan antopometri: berat badan lahir, panjang badan,

tinggi badan, lingkar lengan atas.

Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk

terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya

hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang

bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Selain itu adanya hubungan

antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya

serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi.

Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA

dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh

yang kurang. Penyakit. infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak

mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada

keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan

serangannya lebih lama.

d. Vitamin A

Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan kapsul

200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat

tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit
20

maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai risiko

terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5%

pada kelompok kontrol.

Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan

menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya

tetap berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukan

terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang tidak

berbahaya, maka dapat diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit

penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat.

Oleh karena itu usaha massal pemberian vitamin A dan imunisasi secara

berkala terhadap anak-anak prasekolah seharusnya tidak dilihat sebagai

dua kegiatan terpisah. Keduanya haruslah dipandang dalam suatu kesatuan

yang utuh, yaitu meningkatkan daya tahan tubuh dan perlindungan

terhadap anak Indonesia sehingga mereka dapat tumbuh, berkembang dan

berangkat dewasa dalam keadaan yang baik.

e. Status Imunisasi

Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan

mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi

campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang

berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi

seperti difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi

akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk


21

mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan

imunisasi lengkap.

Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila

menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak

akan menjadi lebih berat. Cara yang terbukti paling efektif saat ini

adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis. Pemberian

imunisasi campak efektif mencegah 11% kematian pneumonia balita

dan imunisasi pertusis mencegah 6% kematian pneumonia pada balita.

3. Faktor perilaku

Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA

pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di

keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya.

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan

tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung

dan berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga

mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota

keluarga lainnya.

Peran aktif keluarga dan masyarakat dalam menangani ISPA sangat

penting karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di

dalam masyarakat atau keluarga. Hal ini perlu mendapat perhatian serius

oleh kita semua karena penyakit ini banyak menyerang balita, sehingga ibu

balita dan anggota keluarga yang sebagian besar dekat dengan balita

mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya

sakit.
22

Keluarga juga perlu mengetahui serta mengamati tanda keluhan dini

pneumonia dan kapan mencari pertolongan dan rujukan pada sistem

pelayanan kesehatan agar penyakit anak balitanya tidak menjadi lebih

berat.

Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan jelas bahwa peran

keluarga dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA

sangatlah penting, sebab bila praktek penanganan ISPA tingkat

keluarga yang kurang atau buruk akan berpengaruh pada perjalanan

penyakit dari yang ringan menjadi bertambah berat.

Dalam penanganan ISPA tingkat keluarga keseluruhannya dapat

digolongkan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu: perawatan penunjang oleh

ibu balita, tindakan yang segera dan pengamatan tentang perkembangan

penyakit balita, dan pencarian pertolongan pada pelayanan kesehatan.

Menurut Cissy B. Kartasasmita (2012) faktor risiko adalah faktor atau

keadaan yang mengakibatkan seorang anak rentan menjadi sakit atau

sakitnya menjadi berat. Berbagai faktor risiko yang dapat

meningkatkan kejadian, beratnya penyakit, dan kematian karena

pneumonia, yaitu status gizi (gizi kurang dan gizi buruk memperbesar

risiko), pemberian ASI (ASI eksklusif mengurangi risiko),

suplementasi vitamin A (mengurangi risiko), suplementasi zinc

(mengurangi risiko), bayi berat badan lahir rendah (meningkatkan

risiko), dan polusi udara dalam kamar terutama asap rokok dan bakaran

dari dapur (meningkatkan risiko).


23

2.1.8 Merokok Sebagai Faktor Resiko

Tembakau sebagai bahan baku pembuatan rokok berada pada peringkat

pertama penyebab kematian yang dapat dicegah di dunia. Tembakau

menyebabkan satu dari 10 kematian orang dewasa di seluruh dunia, dan

mengakibatkan 5,4 juta kematian pada tahun 2006. Hal ini menunjukkan

bahwa rata-rata terjadi satu kematian setiap 6,5 detik. Jika hal itu terus

berlanjut, maka diperkirakan kematian pada tahun 2020 akan mendekati dua

kali jumlah kematian saat ini (Evy Rachmawati, 2013).

Merokok merupakan salah satu faktor risiko penting untuk beberapa

penyakit, diantaranya batuk menahun, penyakit menahun seperti penyakit paru

obstruktif menahun (PPOM), bronkhitis, dan empisema, ulkus peptikum,

infertiliti, gangguan kehamilan, artherosklerosis sampai penyakit jantung

koroner, beberapa jenis kanker seperti kanker mulut, kanker paru, dan kanker

sistem pernapasan lainnya (Buston, 2012).

Variabel merokok sebagai variabel independen dalam suatu penelitian

Israwini (20010) mempunyai variasi yang cukup luas dalam kaitannya dengan

dampak yang diakibatkannya. Oleh karena itu, paparan rokok perlu

diidentifikasi selengkapnya dari berbagai segi diantaranya:

a. Jenis perokok: perokok aktif atau perokok pasif

b. Jumlah rokok yang dihisap: dalam satu batang, bungkus, atau pak perhari.

c. Jenis rokok yang dihisap: keretek, cerutu atau rokok putih, pakai filter atau

tidak.

d. Cara menghisap rokok: menghisap dangkal, di mulut saja atau isap dalam.
24

e. Alasan mulai merokok: sekedar ingin hebat, ikut-ikutan, kesepian, pelarian,

sebagai gaya, meniru orang tua.

f. Umur mulai merokok: sejak umur 10 tahun atau lebih.

Berdasarkan hal tersebut jenis perokok juga dapat dibagi atas perokok

ringan sampai berat, diantaranya:

a. Perokok ringan jika merokok kurang dari 10 batang per hari.

b. Perokok sedang jika menghisap rokok antara 10-20 batang per hari.

c. Perokok berat jika merokok lebih dari 20 batang per hari.

Dalam melakukan aksinya, rokok bisa menjadi lebih agresif bila

ditemani faktor-faktor lain. Interaksi rokok dengan asbes dapat memberikan

peningkatan sepuluh kali terjadinya kanker paru. Rokok dan hipertensi akan

meningkat 2 kali lipat untuk penyakit jantung koroner (Buston, 2012).

2.2 Perilaku Individu

2.2.1 Pengertian Perilaku

Perilaku merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi

sangat luas. Benyamin Bloom (1908) dikutip Notoatmodjo (2012) seorang ahli

psikologi pendidikan membedakan adanya 3 area, wilayah, ranah atau domain

perilaku, yakni kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotor

(psychomotor). Perilaku adalah suatu reaksi psikis seseorang terhadap

lingkungannya, reaksi tersebut mempunyai bentuk bermacam-macam yang pada

hakekatnya digolongkan menjadi 2 yakni dalam bentuk pasif (tanpa tindakan

nyata atau konkrit), dan dalam bentuk aktif (dengan tindakan konkrit). Bentuk

perilaku ini dapat diamati melalui sikap dan tindakan, namun demikian tidak
25

berarti bentuk perilaku itu hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakan saja,

perilaku juga dapat bersifat potensial, yakni dalam bentuk pegetahuan, motivasi

dan persepsi.

Menurut Lawrence Green (1993) dalam Notoatmodjo (2014), bahwa

kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh faktor-faktor, yakni faktor

perilaku dan faktor diluar perilaku, selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau

dibentuk dari 3 faktor :

1) Faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam pengetahuan,

sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

a. Umur

Umur diartikan dengan masa hidup seseorang atau sejak dilahirkan atau

diadakan. Umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan

sampai saat berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan

kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja (Dewi

dan Wawan, 2010).

Menurut Depkes RI, 2010 kategori umur dibagi menjadi 9 yaitu : Masa

Balita 0-5 tahun, Masa kanak-kanak 5-11 tahun, Masa remaja awal 12-16

tahun, Masa remaja akhir 17-25 tahun, Masa dewasa awal 26-35 tahun,

Masa dewasa akhir 36-45 tahun, Masa lansia awal 46-55 tahun, masa

lansia akhir 56-65 tahun, dan Masa manula > 65 tahun. Menurut WHO

lanjut usia digolongkan menjadi 4 yaitu : usia pertengahan (middle age)

45-59 tahun, Lanjut usia (elderly age) 60-74 tahun, lanjut usia tua (old)

75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
26

b. Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2014), Pengetahuan adalah merupakan hasil dari

tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek

tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui

dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul

ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau

kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya.

Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng

dibandingkan dengan perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

Secara teori pengetahuan akan menentukan perilaku seseorang. Secara

rasional seorang ibu yang memiliki pengetahuan tinggi tentu akan

berpikir lebih dalam bertindak, dia akan memperhatikan akibat yang akan

diterima bila dia bertindak sembarangan. Pengetahuan dipengaruhi oleh

faktor intrinsik dan ekstrinsik. Adapun faktor ekstrinsik meliputi

pendidikan, pekerjaan, keadaan bahan yang akan dipelajari. Sedangkan

faktor intrinsik meliputi umur, kemampuan dan kehendak atau kemauan.

Dengan meningkatkan dan mengoptimalkan faktor intrinsik yang ada

dalam diri dan faktor ekstrinsik diharapkan pengetahuan ibu akan

meningkat (Notoatmojo, 2014).


27

Pengetahuan merupakan proses belajar dengan menggunakan

pancaindera yang dilakukan seseorang terhadap objek tertentu untuk

dapat menghasilkan pengetahuan dan ketrampilan.Pengukuran

pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara dan kuesioner yang

menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dan subyek penelitian

atau responden, untuk mengetahui secara kualitas tingkat pengetahuan

yang dimiliki oleh seseorang dapat dibagi menjadi tiga tingkat yaitu:

1. Tingkat pengetahuan baik

2. Tingkat pengetahuan cukup

3. Tingkat pengetahuan kurang

c. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap

perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang

menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk

mencapai keselamatan dan kebahagian. Pendidikan diperlukan untuk

mendapat informasi misalnya hal-hal menunjuang kesehatan sehingga

dapat meningkatkan kualitas hidup. Menurut YB Mantra dalam Dewi dan

Wawan (2011), pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga

perilaku seseorang untuk sikap berperan serta dalam pembangunan pada

umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima

informasi.

Menurut UUD No 20 Tahun 2003 tingkat pendidikan dibagi menjadi 3

yaitu : Pendidikan dasar/rendah (SD-SMP/MTs), Pendidikan menengah


28

(SMA/SMK), dan pendidikan tinggi (DIII/S1). Menurut Arikunto (2010)

pendidikan dibagi menjadi 2 yaitu Pendidikan rendah (SD-SMP), dan

pendidikan (SMA-Perguruan tinggi).

d. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup terhadap suatu

stimulus atau objek. Sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari

dalam diri individu untuk berkelakuan dengan pola-pola tertentu, terhadap

suatu objek akibat pendirian dan perasaan terhadap objek tersebut

(Koentjaraningrat, 1983 dikutip Maulana, 2014). Sikap ibu ini dipengarui

oleh beberapa faktor-faktor, yang menjelaskan bahwa sikap ini memiliki

tiga komponen pokok (Allport, 1954 dalam Maulana, 2014) :

a) Kepercayaan atau keyakinan ide dan konsep terhadap suatu obyek.

b) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

c) Kencenderungan untuk bertindak

Menurut Budiman dan Riyanto, 2013 sikap dibagi menjadi 2 yaitu sikap

positif dan sikap negatif.

2) Faktor pendukung (enabling factors) yang terwujud dalam lingkungan fisik,

tersedianya atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana (L green, dkk)

seperti tempat tinggal yang tidak lembab dan cukup cahaya dan bersih, ruang

khusus bagi perokok.

Dalam penelitian Reni Agustina harahap tentang Pengaruh faktor

predisposing, enabling dan reinforcing terhadap pemberian imunisasi hepatitis

B pada bayi Di Puskesmas Bagan Batu Kecamatan Bagan Sinembah


29

Kabupaten Rokan Hilir diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara fasilitas, sarana dan prasana dengan pemberian vaksin Hepatitis B.

Menurut Gusti Agung Putu (2012) kondisi lingkungan rumah melitputi

pencahayaan, ventilasi. Lubang asap dapur, dan atap. Sarana kesehatan

meliputi tempat-tempat pelayanan kesehatan mulai dari Puskesmas sampai

rumah sakit, tersedianya tempat pemeriksaan laboratorium, radiologi dan lain

sebagainya.

3) Faktor pendorong (reinforcing factors)

Faktor pendorong yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan

atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku

masyarakat. Referensi itu dapat berupa dari guru, tokoh masyarakat, sosial

keluarga (Priyoto, 2015).

Dalam penelitian Isnaeni Wahyu tahun 2016 tentang Analisis Spasial faktor

penyakit ISPA Pneumonia pada Balita bahwa faktor keberadaan petugas

kesehatan memiliki hubungan dengan kejadian ISPA Pneumonia pada balita.

Menurut Mohanis (2012) petugas kesehatan dapat dikategorikan yaitu Bidan,

perawat, dokter, analis, farmasi dan ahli gizi.

2.2.2 Komponen Perilaku Individu

Menurut Hurriyati (2012) Komponen Perilaku individu memiliki

komponen sebagai berikut:

a. Umur

Umur harus mendapatkan perhatian karena akan mempengaruhi kondisi fisik,

mental, kemampuan kerja dan tanggung jawab seseorang.


30

b. Pendidikan

Pendidikan berasal dari kata didik, artinya bina, mendapat awalan pen-akhiran

–an, yang maknanya sifat dari perbuatan membina atau melatih, mengajar dan

mendidik itu sendiri, oleh karena itu, pendidikan merupakan pembinaan,

pelatihan, pengajaran dan semua hal yang merupakan bagian dari usaha

manusia untuk meningkatkan kecerdasan dan ketrampilannya.

Pendidikan adalah suatu aktifitas yang mengembangkan seluruh aspek

kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup, dengan kata lain,

pendidikan tidak hanya di dalam kelas, tetapi berlangsung pula di luar kelas.

Pendidikan bukan bersifat formal tetapi juga nonformal. Pendidikan yang

bersifat formal dimulai sejak Taman kanak-kanak, SD, SMP, SMA dan

perguruan tinggi, sementara pendidikan non formal seperti mengikuti seminar-

seminar.

c. Pengalaman kerja

Menurut Dewey (2007) , pengalaman tidak menunjuk saja pada sesuatu yang

sedang berlangsung di dalam kehidupan batin si subjek atau sesuatu yang

ditangkap secara inderawi di dalam dunia luar, atau pun sesuatu yang berada

di balik dunia, inderawi yang hanya dicapai dengan akal budi atau intuisi.

Pandangan Dewey mengenai pengalaman menyangkut alam semesta, batu,

tumbuh-tumbuhan, bintang, penyakit, kesehatan, temperature, listrik,

kebaktian,respek, cinta, keindahan, misteri, singkatnya seluruh kekayaan

pengalaman itu sendiri.


31

Pengalam kerja adalah proses pembentukan pengetahuan atau ketrampilan

tentang metode suatu pekerjaan karena keterlibatan karyawan tersebut dalam

pelaksanaan tugas pekerjaan (Arimbi, 2014).

2.3 Lembaga Pemasyarakatan

2.3.1 Pengertian Lembaga Pemasyarakatan.

Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) adalah tempat

untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan

di Indonesia. Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut

dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana

Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan

Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman) (Dwidjapriyatmo, 2011).

Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan

Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya

orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan

bersalah atau tidak oleh hakim. Pegawai negeri sipil yang menangangi pembinaan

narapidana dan tahanan di lembaga pemasyarakatan di sebut dengan Petugas

Pemasyarakatan, atau dahulu lebih di kenal dengan istilah sipir penjara. Konsep

pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada

tahun 1962 (Dwidjapriyatmo, 2011). Sejak tahun 1964 dengan ditopang oleh UU

No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. UU Pemasyarakatan itu menguatkan

usaha-usaha untuk mewujudkan suatu sistem Pemasyarakatan yang merupakan

tatanan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (Dwidjapriyatmo, 2011).

Istilah pemasyarakatan untuk pertama kali disampaikan oleh almarhum

Bapak Sahardjo, S.H. (Menteri Kehakiman pada saat itu) pada tanggal 5 juli 1963
32

dalam pidato penganugerahan gelat Doctor Honoris Causa oleh Universitas

Indonesia. Pemasyarakatan oleh beliau dinyatakan sebagai tujuan dari pidana

penjara. Satu tahun kemudian, pada tanggal 27 april 1964 dalam konfrensi

Jawatan Kepenjaraan yang dilaksanakan di Lembang Bandung, istilah

Pemasyarakatan dibakukan sebagai pengganti Kepenjaraan. Pemasyarakatan

dalam konfrensi ini dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para

pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan

untuk reintegrasi social atau pulihnya kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan

penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan didalam masyarakat

(Dwidjapriyatmo, 2011).

Pemasyarakatan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan

dalam tata peradilan pidana adalah bagian integral dari tata peradilan terpadu

(integrated criminal justice system). Dengan demikian, pemasyarakatan baik

ditinjau dari sistem, kelembagaan, cara pembinaan, dan petugas pemayarakatan,

merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu rangkaian proses penegakan

hokum (Azriadi, 2011).

2.3.2 Peran

Peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan dan status, apabila

seseorang melakukan hak dan kewajiban sesuai dengan statusnya, maka dia telah

melakukan suatu peranan (Soekanto, 2010). Peranan menurut Mayor Polak dalam

Gunawan (2012), menunjuk pada dua aspek dinamis dari status. Peranan memiliki

dua arti, pertama dari sudut individu berarti sejumlah peranan yang timbul dari

berbagai pola yang di dalamnya individu tersebut ikut aktif. Kedua, peranan

secara umum menunjuk pada suatu keseluruhan peranan itu dan menentukan apa
33

yang dapat diharapkan dari masyarakat itu. Sedangkan menurut Abdulsyani

(2012) peranan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan individu dengan cara

tertentu dalam usaha menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan status.

Dalam hal ini peran yang dimaksud adalah peran Lembaga

pemasyarakatan dalam memberikan bimbingan dan edukasi kepada narapidana

tentang hak untuk memdapatkan layanan kesehatan yang layak (Azriadi, 2011).

2.4 Kerangka Konsep Penelitian

Adapun yang menjadi kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Perilaku Individu :
1. Faktor predisposisi :
a. Umur
b. Pengetahuan
Kejadian ISPA
c. Pendidikan
d. Sikap
2. Faktor pendukung :
Tempat atau fasilitas
3. Faktor pendorong :
Petugas kesehatan

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

2.5 Hipotesa Penelitian

Adapun hipotesa dalam penelitian ini adalah ada pengaruh perilaku

individu dengan kejadian ISPA di Lapas Polda Sumatera Utara Tahun 2019.

Anda mungkin juga menyukai