Anda di halaman 1dari 31

Nama dosen : Dr. Muh. Ikhtiar, SKM., M.

Kes
Mata kuliah : Berfikir Sistem

MAKALAH
Paradigma tentang Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA)

OLEH:
AYU ANGRAENI SUPRIANTI
0023.10.14.2020
A1

PROGRAM PASCASARJANA
MEGISTER KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2021
BAB I
LATAR BELAKANG

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit


saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat
menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit
tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan
mematikan, tergantung pada pathogen penyebabnya, faktor
lingkungan, faktor pejamu. Namun demikian, sering juga ISPA
didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang
disebabkan oleh agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke
manusia. Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu
beberapa jam sampai beberapa hari. Gejalahnya meliputi demam,
batuk dan sering juga nyeri tenggorok. Coryza (pilek), sesak napas,
mengi, atau kesulitan bernapas (Masriadi, 2017).
Sekelompok penyakit yang termasuk ISPA adalah pneumonia,
influenza, dan pernafasan syncytial virus (RSV). Infeksi saluran
pernapsan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. ISPA tertinggi
terjadi pada kelompok umur 1 – 4 tahun (Najmah, 2016).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas dari penyakit menular di dunia. Hampir 4
juta orang meninggal akibat infeksi saluran pernapasan akut setiap
tahun, dengan 98% kematian ini disebabkan oleh infeksi saluran
pernapasan bagian bawah. Angka kematian sangat tinggi pada bayi,
anak-anak dan orang tua, terutama di negara-negara berpenghasilan
rendah dan menengah. Infeksi saluran pernafasan akut adalah salah
satu penyebab paling sering dari konsultasi atau masuk ke fasilitas
perawatan kesehatan, terutama di layanan pediatrik (World Health
Organization, 2020)
Bakteri adalah penyebab utama infeksi saluran pernapasan
bawah, dengan Streptococcus pneumoniae menjadi penyebab paling
umum dari pneumonia yang didapat dari komunitas bakteri di banyak

1
negara. Kebanyakan Infeksi Saluran Pernafasan Akut, bagaimanapun,
disebabkan oleh virus atau campuran dari infeksi virus-bakteri. Infeksi
Saluran Pernapasan Akut yang memiliki potensi epidemi atau
pandemi dan dapat menimbulkan risiko kesehatan masyarakat
memerlukan tindakan pencegahan dan kesiapsiagaan khusus (World
Health Organization, 2020).
Dari hasil laporan tahunan Riskesdes pada tahun 2018
kejadian ISPA menurut provinsi. Prevelensi ISPA tertinggi pada
provinsi Papua (10,5%) sedangkan terendah pada provonsi Bangka
beliting (1,5%). Prevelensi ISPA tertinggi pada kelompok umur 1-4
tahun (8,0%), sementara terendah pada kelompok umur 15-24 tahun
(3,2%). Perevelensi ISPA jenis kelamin tertinggi pada perempuan
(4,4%), sedangkan laki-laki (4,3%). Prevelensi ISPA pada tempat
tinggal tertinggi pada pedesaan (4,7%), sedangkan perkotaan (4,1%)
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018).
Hasil laporan tahunan Riskesdes tahun 2018 kejadian ISPA
pada balita menurut provinsi. Prevelensi ISPA tertinggi pada provinsi
Bengkulu (14,0%), sedangkan terrendah pada provinsi Bangka
Belitung (2,1%). Prevelensi ISPA pada kelompok usia balita tertinggi
pada usia 12-23 bulan (9,4%), sedangkan terrendah pada usia 36-47
bulan (7,3%). Prevelensi ISPA jenis kelamin tertinggi pada anak laki-
laki (8,1%), sedangkan anak perempuan (7,5%). Prevelensi kejadian
ISPA tertinggi pada pedesaan (8,1%), sedangkan pada perkotaan
(7,6%) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018)
Penyakit ISPA ini masih menjadi masalah Kesehatan
masyarakat karena dampak yang ditimbulkan sangat besar terhadap
penderita tidak hanya pada anak-anak tetapi juga orang dewasa.
Selain itu, penyakit ISPA juga dapat menjadi pemicu dari penyakit-
penyakit lainnya dan berkembang menjadi penyakit berbahaya.

2
BAB II
Kepustakaan
A. Pengertian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut yang biasa disingkat dengan
ISPA, istilah tersebut diadaptasi dari istilah Bahasa inggris Acute
Respriratory Infections (ARI).
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran
pernapasan, dan akut pengertian sebagai berikut (Khin et al., 2005) :
1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikrobiologisme ke dalam
tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala
penyakit.
2. Saluran Pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli
beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga
tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran
pernapasan bagian atas, saluran penapasan.
3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai 14 hari. Batas
14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk
beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA. Proses
tersebut dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
B. Triad Epidemiologi
1. Agent
Pada infeksi Saluran Pernapasan Akut, proses infeksi dapat
mecakup saluran pernapasan atas atau bawah atau bahkan
keduanya. Infeksi ini dapat disebabkan oleh virus, bakteri,
rickettsia, fungi, atau protozoa. Penyakit ISPA disebabkan oleh 300
lebih jenis virus, bakteri, Rickettsia dan jamur. Virus penyebab
ISPA antara lain golongan mikrovirus (termasuk didalamnya virus
influenza, virus pra influenza dan virus campak, adenovirus. Bakteri
penyebab ISPA ada beberapa jenis bakteri antara lain
Streptokokus, stafilokokus, pneumokokus, hemofils influenza,
Bordetella pertussis dan karinebakterium diffteria (Najmah, 2016).

3
2. Host
Host (penjamu) pada penyakit ISPA adalah manusia dimana
kelompok yang berisiko tinggi untuk tertular atau mengalami
penyakit ISPA adalah kelompok anak-anak yaitu anak usia < 5
tahun, anak-anak dengan daya tahan tubuh yang lemah, dan anak
dengan system imunisasi yang tidak lengkap (Najmah, 2016).
3. Environment
Di Indonesia, ada beberapa wilayah mempunyai potensi
kebakaran hutan dan telah mengalami beberapa kali kebakaran
hutan terutama pada musim kemarau. Asap dari kebakaran hutan
dapat menimbulkan penyakit ISPA dan memperberat kondisi
seseorang yang sudah menderita pneumonia khususnya Balita.
Disamping itu asap rumah tangga yang masih menggunakan kayu
bakar juga menjadi salah satu faktor risiko pneumonia. Hal ini dapat
diperburuk apabila ventilasi rumah kurang baik dan dapur menyatu
dengan ruang keluarga atau kamar (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2011a).
Indonesia juga merupakan negara rawan bencana seperti
banjir, gempa, gunung meletus, tsunami, dll. Kondisi bencana
tersebut menyebabkan kondisi lingkungan menjadi buruk, sarana
dan prasarana umum dan kesehatan terbatas. Penularan kasus
ISPA akan lebih cepat apabila terjadi pengumpulan massa
(penampungan pengungsi). Pada situasi bencana jumlah kasus
ISPA sangat besar dan menduduki peringkat teratas (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
C. Riwayat Alamiah penyakit ISPA
Riwayat Alamiah penyakit ISPA dapat di bagi menjadi beberapa
tahap yaitu :
1. Tahap Pretogenesis

4
Pada tahap ini, bakteri atau virus yang menjadi penyebab
ISPA telah berinteraksi dengan pejamu tetapi pejamu belum
menunjukkan reaksi apa-apa
2. Tahap inkubasi
Pada tahap ini virus merusak lapisan mukosa, kondisi
pejamu menjadi lemah, jika keadaan gizi dan daya tahan tubuh
penjamu sebelumnya sudah rendah
3. Tahap dini penyakit
Pada tahap ini, gejala penyakit sudah mulai muncul seperti
demam dan batuk
4. Tahap lanjut penyakit
Pada tahap lanjut, pejamu atau penderita bisa
sembuhsempurna, sembuh dengan ateleksis, menjadi kronis dan
dapat meninggal.
D. Gejalah klinis penyakit ISPA
ISPA merupakan proses implamasi yang terjadi pada setiap
bagian saluran pernapasan atas maupun bawah, yang meliputi inflitrat
peredangan dan edema mukosa, kongestif vaskuler, bertambahnya
sekresi mukus serta perubahan struktur fungsi siliare. Tanda dan
gejalah ISPA banyak bervariasi antara demam, pusing, malaise
(lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomutis (muntah), photopobia
(takut cahaya), gelijah, batuk, keluar secret, stridor (suara nafas),
dyspnea (kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan
dada), hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal
nafas apabila tidak mendapat pertolongan dan mengakibatkan
kematian.
Gejala ISPA adalah :
1. Gejalah dari ISPA Ringan
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan
satu atau lebih gejala-gejala sebagai barikut :
a. Batuk

5
b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan
suara (misal pada waktu berbicara atau menangis).
c. Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung.
d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C atau jika dahi
anak diraba.
2. Gejala dari ISPA Sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai
gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala sebagai
berikut :
a. Pernapasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang
berumur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40 kali per
menit pada anak yang berumur satu tahun atau lebih. Cara
menghitung jumlah tarikan nafas dalam satu menit dengan
menggerakkan tangan.
b. Suhu lebih dari 39°C (diukur dengan thermometer)
c. Tenggorokan berwarna merah.
d. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak
campak.
e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.
f. Pernapasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).
g. Pernapasan berbunyi menciut-ciut.
3. Gejala dari ISPA Berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai
gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih
gejala sebagai berikut :
a. Bibir atau kulit mebiru
b. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada
waktu bernapas.
c. Anak tidak sadara atau kesadaran menurun.
d. Pernapasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak
tampak gelisah.

6
e. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas.
f. Nadi cepat lebih dari 160 kali permenit atau tidak teraba
g. Tenggorokan berwarna merah.
E. Klasifikasi ISPA
1. Klasifikasi berdasarkan umur
a. Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas :
1) Pneumonia berat : bila disertai dengan tanda klinis seperti
berhenti menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan
baik), kejang, rasa kantuk yang tidak wajar atau sulit
bangun, stidor pada anak yang tenang, mengi, demam
(38°C atau lebih) atau suhu tubuh yang lebih rendah
(dibwah 35,5°C), pernapasan cepat 60 kali atau lebih
permenit, penarikan dinding dada berat, sianosis sentral
(pada lidah), serangan apnea distensi abdomen dan
abdomen tegang.
2) Bukan pneumonia : jika anak bernafas dengan frekuensi
kurang dari 60 kali per menit dan tidak terdapat
pneumonia di atas
b. Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, diklasifikasikan atas :
1) Pneumonia sangat berat : batuk atau kesulitan bernafas
yang disertai dengan sinosis sentral, tidak dapat minum,
adanya penarikan dinding dada, anak kejang dan sulit
dibangunkan.
2) Pneumonia berat : batuk atau kesulitan bernapas dan
penarikan dinding dada, tetapi tidak disertai sianosis
sentral dan dapat minum.
3) Pneumonia : batuk (atau kesulitan bernafas) dan
pernapasan cepat tanpa penarikan dinding dada.
4) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa) : batuk (atau
kesulitan bernapas) tanpa pernapasan cepat atau
penarikan dinding data.

7
5) Pneumonia persisten : anak dengan diagnosis pneumonia
tetap sakit walaupun telah diobati selama 10 – 14 hari
dengan dosis antibiotic yang adekuat dan antibiotic yang
sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada,
frekuensi pernapasan yang tinggi, dan demam ringan.
2. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi
a. Infeksi saluran pernapasan atas Akut (ISPaA)
Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti
pilek, otitis media, faringitis.
b. Infeksi saluran pernapasan bawah Akut (ISPbA)
Infeksi ini menyerang mulai dari bagian epiglitis atau laring
sampai dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ
saluran napas, seperti epiglottitis, laryngitis, laringotrakeitis,
bronchitis, bronkiolitis, pneumonia.
F. Cara Penularan
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang
tercemar, bibit penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan,
oleh kerena itu, maka penyakit ISPA ini termasuk dalam golongan Air
Boerne Disease. Penularan melalui udara dimaksudkan adalah cara
penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun
dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui
udara dapat pula menular melalui kontak langsung, namun tidak
jarang penyakit yang sebagaian besar penularannya adalah karena
menghirup udara yang mengandung unsur penyebab atau
mikroorganisme penyebab (Khin et al., 2005).
G. Cara Pencegahan
Pencegahan penyakit ISPA dapat dilakukan dengan beberapa
cara antara lain :
1. Mempromosikan pemberian Air Susu Ibu pada bayi dan balita
selama 6 bulan pertama dan melengkapi ASI dengan makanan

8
tambahan pendamping ASI (MP-ASI) hingga dua tahun untuk
meningkatkan daya tahan tubuh anak sejak dini.
2. Menjaga Kesehatan gigi, dengan mengkomsumsi makanan sehat,
dan jika perlu memberikan micronutrient tambahan seperti zink,
zat besi dan sebagainya sehingga dapat meningkatkan kekebalan
tubuh.
3. Melakukan penyuluhan dan sosialisasi mengenai penyakit ISPA.
4. Melakukan imunisasi lengkap pada anak sehingga tidak mudah
terserang penyakit yang disebabkan oleh virus dan penyakit.
Imunisasi Influenza bisa diberikan jika diperlukan.
5. Menjaga kebersihan lingkungan dan perorangan dengan
melakukan pola hidup bersih dan sehat, mencuci tangan dengan
sabun dan menciptakan lingkungan rumah yang sehat.
6. Mencegah kontak langsung maupun tidak langsung dengan
penderita ISPA, menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) saat
berinteraksi dengan orang yang menderita ISPA maupun Ketika
berada di lingkungan yang berdebu.
7. Ventilasi yang baik di rumah dan tidak merokok pada ruangan
tertutup.
8. Pengobatan dengan menggunakan antibiotic untuk ISPA yang
disebabkan oleh bakteri, pengobatan antiviral untuk influenza.
9. Untuk anak-anak yang terinfeksi HIV, pengobatan contrimoxazole
prophylaxis.

9
BAB III
PARADIGMA

ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit


menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap
tahun, 98% nya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah.
Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut
usia, terutama di negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah
dan menengah.
Dari hasil penelitian (Syahidi et al., 2016) dengan judul penelitian
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) pada Anak Berumur 12-59 Bulan di Puskesmas Kelurahan
Tebet Barat, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, dari penelitian ini
memiliki variabel pendidikan, pengetahuan, pendapatan, kepadatan
hunian, umur responden, dan pekerjaan responden. Dimana setiap
variabelnya tidak memiliki hubungan keterkaitan dengan penyakit ISPA.
Adapun variabel perilaku keluarga memiliki tiga kategori yaitu merokok
didalam rumah, penggunaan obat nyamuk, dan bahan bakar masak juga
tidak ada hubungan bermakna antara kejadian ISPA pada anak berusia
12-59 bulan. Dilihat dari beberapa variabel penelitian diatas yang tidak
ada satupun variabel berkaitan dengan kejadian penyakit ISPA pada anak
usia 12-59 bulan, disini kita harus bisa mendalami apa saja yang
menyebabkan penyakit ISPA di Puskesmas Kelurahan Tebet Barat
merupakan Kelurahan yang memiliki prevalensi penderita ISPA yang
berumur 12 – 59 bulan terbanyak dengan proporsi tertinggi dari yang lima
puskesmas kecamatan lainnya yaitu sebesar 23,20% penelitian ini juga
bisa menjadi bahan kajiaan untuk tenaga Kesehatan untuk melihat apa
saja pengaruh kejadian ISPA di wilayah kerja puskesmas tersebut.
Penelitian (Mahendra & Farapti, 2018) dengan judul Hubungan
Antara Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan

10
Atas Pada Balita Di Surabaya tujuan penelitian tesebut untuk
menganalisis hubungan antara kondisi fisik rumah dan perilaku merokok
anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita di kelurahan
Sidotopo, Surabaya, Hasil dari analisis pada penelitian ini menunujukan
bahwa ada hubungan pencahyaan rumah dengan kejadian ISPA, ada
hubungan ventilasi rumah dengan kejadian ISPA, ada hubungan ventilasi
asap dapur dengan kejadian ISPA yang memiliki hubungan yang sangat
signifikan, tidak ada hubungan yang signifikan antara dinding dengan
kejadian ISPA, ada hubungan atap rumah dengan kejadian ISPA. Dari
penelitian ini bisa dillihat ada beberapa veriabel yang berhubungan denga
kejadian ISPA salah satunya yang paling signifikan yakni ventilasi asap
dapur, tenaga Kesehatan bisa menjadikan penelitian ini sebagai bahan
kajian untuk menurunkan angka kejadian ISPA di wilayah kerja
puskesmas dan juga bisa melakukan penyuluhan tentang pentingnya
pencahayaan dirumah, ventilasi rumah, pentingnya ventilasi asap dapur
karna apa bila terus-terusan terpapar oleh asap dapur maka akan
berdampak langsung terhadap Kesehatan penapasan.
Dari penelitian (Wahyuningsih et al., 2017) dengan judul Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Pesisir Desa Kore
Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima, penelitian ini melihat hubungan
penggunaan bahan bakar biomassa dengan kejadian ISPA pada balita,
hubungan luas ventiasi dengan kejadian ISPA pada balita, hubungan
kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita, hubungan perilaku
merokok dengan kejadian ISPA pada balita. Dari hasil penelitian diatas
dilihat ada tiga factor yang ada hubungannya dengan kejadian ISPA pada
balita di Wilayah Pesisir Kero Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima yakni
Penggunaan bahan bakar biomassa, luas ventilasi, dan kepadataan
hunian. Disini kita bisa lihat bahwa penggunaan bahan bakar biomassa
apapun bentuknya dapat menyebabkan kejadian ISPA pada balita, luas
ventilasi juga yang kurang memenuhi standar dapat menyebabkan asap
akibat pembakaran dapat berkumpul didalam ruangan tersebut,

11
kepadatan hunian rumah juga berhubungan dengan kejadian ISPA karna
akan meningkatkan suhu ruangan yang di sebabkan oleh pengeluaran
panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari
pernafasan.
Dari penelitian (Wahyuni et al., 2020) dengan judul Hubungan
Pemberian Asi Eksklusif dan Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian
ISPA pada Anak Usia 12-24 Bulan. Penelitian ini melihat tentang
hubungan pemberian asi eksklusif dengan kejadian ISPA, dan hubungan
kelengkapan imunisasi dengan kejadian ISPA. Dilihat dari penelitian ini
ada hubungan antara pemberian asi eksklusif dengan kejadian ISPA, dan
kelengkapan imunisasi juga berhubungan dengan kejadian ISPA.
Penelitian (Sabri et al., 2019) dengan judul Faktor Yang
Memengaruhi Tingginya Penyakit ISPA Pada Balita Di Puskesmas Deleng
Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara. Penelitian ini melihat pengaruh
pengatahuan, sikap, pemberian ASI, ventilasi, dan kepadataan hunian
dengan tingginya kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Deleng
Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara. Penelitian menunjukkan bahwa
ada pengaruh pengetahuan, pemberian ASI eksklusif, ventilasi dan
kepadatan hunian terhadap tingginya penyakit ISPA pada balita,
sedangikan sikap tidak memiliki pengaruh terhadap tingginya penyakit
ISPA pada balita di Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh
Tenggara. Bisa dilihat dari beberapa penelitian ventilasi, kepadatan
hunian ini sangat berpengaruh dengan kejadian ISPA, pengetahuan juga
sangat berpengaruh terhadap kejadian ISPA, karna tanpa pengetahuan
kita tidak dapat mengetahui bagaimana cara pencegahan ISPA, apa saja
yang menyebabkan penyakit ISPA, disini juga tenaga kesehatan harus
berperan penting untuk selalu mengingatkan kepada masyarakat tentang
penyakit ISPA, agar masyarakat mengetahui apa saja yang akan
dilakukan untuk mrnghindari penyakit tersebut.
Penelitian (Amin et al., 2020) dengan judul Analisis Faktor Resiko
Kejadian Ispa pada Balita. Penelitian ini mengetahui hubungan kepadatan

12
hunian, berat badan lahir rendah, status imunisasi, dan kebiasaan
merokok dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Talang
Pangeran Kabupaten Ogan Ilir. Penelitian ini melihat ada hubungan
kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita, ada hubungan
status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita, ada hubungan
kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil penelitian ini
sejalan dengan teori bahwa balita yang tempat tinggalnya padat hunian
lebih besar resikonya untuk terdiagnosa ISPA.
Kebiasaan merokok menjadi penyebab kejadian ISPA di di wilayah
Puskesmas Talang Pangeran Kabupaten Ogan Ilir, kebiasaan merokok ini
bisa menjadi bukti akan kejadiaan ISPA, asap dari rokok ini juga sangat
berpengaruh kepada Kesehatan balita.
Penelitian (Rahayu et al., 2018) dengan judul Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Ispa Pada Balita Di Wilayah
Kerja Puskesmas Soropia Kabupaten Konawe Tahun 2017. Penelitian ini
untuk mengetahui Faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit
ISPA pada Balita. Penelitian ini melihat ada hubungan antara kepadatan
hunian, luas ventilasi, kondisi dinding rumah, kondisi langit-langit rumah,
perilaku merokok, pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA.
Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA
pada balita di Wilayah kerja Puskesmas Soropia Kabupaten Konawe
Tahun 2017, Kepadatan hunian rumah dapat menyebabkan penularan
penyakit kuhususnya melalui udara semakin cepat
Ada hubungan antara luas ventilasi rumah dengan kejadian ISPA
pada Balita di Wilayah kerja Puskesmas Soropia Kabupaten Konawe
Tahun 2017, ventilasi Sangat menentukan kualitas udara dalam rumah
karena dengan ventilasi yang cukup akan memungkinkan lacarnya
sirkulasi udara dalam rumah dan masuknya sinar matahari yang dapat
membunuh bakteri.
Ada hubungan antara kondisi dinding rumah dengan kejadian ISPA
pada balita di Wilayah kerja Puskesmas Soropia Kabupaten Konawe

13
Tahun 2017, Dinding yang terbuat dari tembok bersifat permanen, tidak
mudah terbakar dan kedap air.
Ada hubungan antara kondisi langit langit rumah dengan kejadian
ISPA pada balita di Wilayah kerja Puskesmas Soropia Kabupaten Konawe
Tahun 2017 Sebagian besar responden dalam penelitian ini tidak memiliki
langit-langit. Namun responden tetap menjaga kebersihan rumah dan
menjaga atap rumah agar tidak bocor.
Ada hubungan antara perilaku merokok anggota keluarga di dalam
rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah kerja Puskesmas
Soropia Kabupaten Konawe Tahun 2017, perilaku merokok dengan
kejadian ISPA pada balita,
Ada hubungan antara pemberian ASI ekslusif dengan kejadian
ISPA pada balita di Wilayah kerja Puskesmas Soropia Kabupaten Konawe
Tahun 2017 Pemberian imunisasi menunjukkan konsistensi dalam
memberi pengaruh terhadap kejadian ISPA. Hasil penelitian ini berbeda
dengan penelitian sebelumnya di Maros dan di Jakarta menunjukkan
bahwa balita yang tidak mendapat imunisasi sesuai dengan umur berisiko
menderita ISPA dan ada hubungan bermakna antara pemberian imunisasi
dengan kejadian ISPA pada balita.
Dari penelitian (Putri, 2017) dengan judul Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Ispa pada Orang Dewasa di Desa Besuk
Kecamatan Bantaran Kabupaten Probolinggo. Penelitian ini Untuk
mengetahui faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian ISPA di
Desa Besuk. Penelitian ini melihat adanya hubungan keberadaan debu
ruang, penggunaan masker saat keluar rumah dengan kejadian ISPA.
Ada hubungan antara keberadaan debu ruang dengan kejadian
ISPA, Keberadaan debu dalam ruang juga dipengaruhi oleh frekuensi
menyapu rumah.
Ada hubungan antara penggunaan masker saat keluar rumah
dengan kejadian ISPA, penggunaan masker sangat penting untuk
menghindari penyakit ISPA itu sendiri belum banyak orang yang

14
menyadari bahaya polusi udara sehingga masih sering dijumpai
pengendara motor yang belum menggunakan pelindung atau masker.
Padahal penggunaan masker secara teratur ketika melakukan aktivitas di
luar atau kontak dengan lingkungan luar dapat mengurangi risiko terkena
paparan debu secara langsung.
Dari penelitian (Wulaningsih & Hastuti, 2018), deangan judul
Hubungan Pengetahuan Orang Tua tentang ISPA dengan Kejadian ISPA
pada Balita di Desa Dawungsari Kecamatan Pegandon Kabupaten
Kendal. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan pengetahuan
orang tua tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada balita di Desa
Dawungsari Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal. Penelitian ini
melihat ada hubungan antara pengetahuan, dengan kejadian ISPA.
Ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan orang tua
tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada balita, Pengetahuan orang tua
tentang penyakit ISPA merupakan modal utama untuk terbentuknya
kebiasaan yang baik demi kualitas kesehatan anak.
Ketidaktahuan responden tentang kejadian penyakit ISPA juga
disebabkan karena rendahnya pendidikan orang tua dari hasil penelitian di
dapatkan bahwa pendidikan ibu yang rendah menyebabkan pengetahuan
ibu rendah. Semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu, maka kejadian ISPA
akan perlahan menurun disuatu daerah.
Pada penelitian (Ali, 2019) dengan judul Perawatan Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita. Penelitian ini melihat adanya
hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu, adanya hubungan
sikap ibu dengan perawatan ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Kembang Seri Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah
tahun 2015.
Peningkatan pengetuan juga busa didapatkan dari berbagai
kegiatan, seperti kegiatan posyandu, dianjurkan kepada ibu untuk turut
aktif dalam melakukan kegiatan posyandu, melakukan pelatihan kepada
kader tentang kejadian ISPA.

15
Dari penelitian diatas bisa dilihat sikap ibu berpengaruh sangat
penting dengan kejadian ISPA, sikap ibu masih kurang teliti dalam
perawatan pada balita penderita ISPA, kurangnya kesadaran untuk
mencari tahu tentang penyakit ISPA tersebut.
Penelitian (Wijaya, 2019) dengan judul Faktor Risiko Kejadian ISPA
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Barombong Kota Makassar.
Pada penelitian ini bahwa kondisi rumah, kondisi lantai rumah dan kondisi
ukuran rumah tidak menjadi factor kejadian ISPA. Tapi walupun itu semua
tidak menjadi factor risiko sebaiknya masyarakat juga harus memperbaiki
kondisi sanitasi rumah, sehingga dapat memutuskan rantai penularan
vektor penyakit, pihak puskesmas setempat agar lebih meningkatkan
pemberian informasi – informasi kesehatan khususnya masalah ispa
terkait dengan kondisi sanitasi rumah sehingga prevalensi ispa menurun
dan derajat kesehatan masyarakat meningkat, pemerintah perlu
meningkatkan kewaspadaan dini terhadap kejadian ispa dan peningkatan
program penyehatan lingkungan rumah.
Adapun penjelasan mengenai Dinding rumah yang tidak memenuhi
syarat (tidak kedap air) menyebabkan udara dalam rumah menjadi
lembab, sehingga menjadi tempat pertumbuhan kuman maupun bakteri
patogen yang dapat menimbulkan penyakit bagi penghuninya. Selain itu,
partikel atau debu halus yang dihasilkan dapat menjadi pemicu iritasi
saluran pernapasan. Saluran pernapasan yang terititasi menjadi media
pertumbuhan bakteri maupun virus penyebab ISPA. Dinding yang tidak
rapat akan menyebabkan masuknya sumber pencemaran dari luar seperti
debu, asap dan sumber pencemaran lainnya (Gunarni, A., Vincentius, S.,
2018).
Ukuran luas rumah menurut Keputusan Menteri Kesehatan
(Kemenkes nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan
kesehatan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah yaitu 8m².
Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit

16
dan melancarkan aktivitas. Banyaknya anggota yang tinggal didalam satu
rumah merupakan faktor resiko terjadinya penyakit ISPA.
Penelitian dari (Jangga, 2018) Analisis Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kerjadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Pasien Di
Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Pangkep. Ada hubungan antara
pengetahuan, kebiasaan merokok, jumlah penghuni rumah dan status gizi
dengan kejadian ISPA pada pasien di Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Pangkep.
Pengetahuan, kebiasaan merokok dan jumlah penghuni rumah lagi-
lagi menjadi factor terjadinya kejadian ISPA pada suatu daerah, jadi bisa
kita lihat bahwa pentingnya pengetahuan ibu mengenai penyakit ISPA ini
sendiri agar mampu meningkatkan kesehatan baik untuk diri sendiri
maupun Kesehatan keluarga, kebiasaan merokok ini harus lebih
diperhatikan karna merokok menjadi salah satu factor penyebab kejadian
ISPA. Status gizi sangat penting untuk mencegah kejadian ISPA
Pemberian vitamin A pada sangat berperan untuk masa pertumbuhannya,
daya tahan tubuh dan kesehatan terutama pada penglihatan, reproduksi,
sekresi mukus dan untuk mempertahankan sel epitel yang mengalami
diferensiasi (Natalia, 2013).
Penelitian dari (Kalsum et al., 2018), dengan judul Trio Dispa: Effort
To Establish Family Health Experts In Acute Respiratory Infections. Hasil
penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Pampang Kota
Makassar yang dilakukan pada bulan April-Juni di tahun 2018, ini
memperlihatkan peningkatan pengetahuan dalam mengenali,
menginterpretasikan serta mengatasi secara dini gejala awal penyakit
ISPA yang dialami anggota keluarga lain. Pada saat pre test, responden
hanya memperoleh 1 poin sementara nilai minimum pada post test
mencapai 6 poin. Dari penelitian ini bisa dilihat bahwa program Trio Dispa
ini sangat penting untuk mengurangi kejadian ISPA, sebaiknya setiap
puskesmas harus melakukan program Kesehatan Trio Dispa untuk

17
meningkatkan pengetahuan masyarakat dan untuk menurunkan kejadian
ISPA pada suatu daerah.
Adapun hasil yang diperoleh selama berlangsungnya program
TRIO DISPA ini, antara lain: Meningkatnya pengetahuan warga terkait
ISPA setelah dilakukannya Program TRIO DISPA. Berdasarkan hasil pre-
post test dengan hasil uji Wilcoxon p=0,001 menunjukkan ada perubahan
pengetahuaan sebelum dan sesudah pelatihan Program TRIO DISPA,
Warga memilki keterampilan yang cukup baik dalam mendemonstrasikan
terapi nonfarmakologi penanganan awal tanda dan gejala ISPA, Warga
cukup antusias dan aktif dalam mengikuti seluruh rangkaian kegiatan
program, Warga sangat interaktif dalam menyampaikan masalah
kesehatan yang dialaminya, Warga menunjukkan sikap yang positif
terhadap metode pembelajaran yang dilakukan, Terbentuknya kader
kesehatan dalam menyampaikan informasi terkait penyakit ISPA kepada
masyarakat lainnya.
Penelitian dari (Christi et al., 2015) dengan judul Faktor–faktor yang
Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi Usia 6 – 12 Bulan yang
Memiliki Status Gizi Normal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada bayi usia 6-
12 bulan yang memiliki status gizi normal di wilayah kerja Puskesmas
Candilama Kota Semarang. berdasarkan penelitian ini dilihat ada
hubungan jenis kelamin, status ekonomi dengan kejadian ISPA.
Kejadian ISPA yang ada hubungannya dengan kejadian ISPA
terjadi pada anak laki-laki. Hubungan antara jenis kelamin ini disebabkan
karna anak laki-laki lebih aktif sehingga mudah terpapar oleh agen
penyebab ISPA dibandingkan dengan anak perempuan.
Status ekonomi juga berhubungan dengan kejadian ISPA ini
keadaan status ekonomi yang rendah pada umumnya berkaitan erat
dengan berbagai masalah kesehatan yang di hadapi, hal ini disebabkan
karena ketidakmampuan dan ketidaktahuan dalam mengatasi berbagai

18
masalah tersebut terutama dalam Kesehatan, status ekonomi juga
berpengaruh denga napa yang akan dikomsumsi.
Penelitian dari (Wulandhani & Purnamasari, 2019) dengan judul
penelitian Analisis Faktor Risiko Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan
Akut ditinjau dari Lingkungan Fisik. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui seberapa besar faktor risiko kualitas lingkungan fisik terhadap
kejadian ISPA. Adanya hubungan lingkungan fisik dengan kejadian ISPA.
Penyakit ISPA adalah penyakit yang timbul karena menurunnya
sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau
stres. Bakteri dan virus penyebab ISPA di udara bebas akan masuk dan
menempel pada saluran pernapasan bagian atas, yaitu tenggorokan dan
hidung.Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan
Bontoala diketahui bahwa sebagian besar responden menderita ISPA
yang bersifat ringan seperti batuk pilek. Pekerjaan akan sangat
mempengaruhi penghasilan yang rendah membuat seseorang tidak dapat
memilih bahan bangunan yang tidak berkualitas. Hal ini dapat terjadi
karena perilaku hidup masyarakat yang belum mengacuh pada perilaku
hidup sehat misalnya menciptakan rumah yang bersih dan sehat sesuai
dengan standar kesehatan menurut Departemen Kesehatan RI. Oleh
karena itu masyarakat perlu mengetahui kriteria rumah yang baik bagi
kesehatan mereka karena lingkungan rumah yang tidak sehat bisa
menimbulkan penyakit bagi para penghuni rumah. Selain rumah yang
sesuai standar kesehatan, masyarakat juga perlu menerapkan pola hidup
sehat yang akan mengurangi risiko terjadinya penyakit khususnya
penyakit ISPA.
Konstruksi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat
kesehatan merupakan faktor risiko sumber penularan berbagai jenis
penyakit. Penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan tuberkolusis
yang erat kaitannya dengan kondisi perumahan. Sanitasi rumah dan
lingkungan erat kaitannya dengan angka kejadian penyakit menular,
terutama ISPA. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kejadian

19
penyakit ISPA adalah kondisi fisik rumah, kebersihan rumah, kepadatan
penghuni dan pencemaran udara dalam rumah.Sehingga
dapatdisimpulkan bahwa ada pengaruh antara status rumah yakni
kepadatan hunian, ventilasi, jenis lantai, jenis dinding, jarak rumah dengan
jalan raya, kebiasaan membersihkan rumah dari debu terhadap kejadian
ISPA. Kejadian ISPA yang disebabkan oleh kondisi lingkungan rumah
yang tidak sesuai dengan standar kesehatan dapat terjadi tentunya tidak
lepas dari perilaku dan pengetahuan masyarakat dalam membangun
rumah yang masih jauh dari standar rumah sehat. Kurangnya
pengetahuan masyarakat menyebabkan masyarakat lebih memilih
bangunan yang menggunakan bahan yang lebih murah tanpa
memperhatikan efek samping dari bahan tersebut. Oleh karena itu perlu
adanya sosialisasi dari pihak terkait sehingga masyarakat dapat
memahami secara baik dan benar tentang membangun rumah yang
sesuai dengan standar kesehatan karena rumah yang tidak sesuai
standar kesehatan sangat berisiko menimbulkan penyakit ISPA pada
penghuni rumah.
Penelitian dari (Irmayani, 2019) dengan judul Hubungan Keberadaan
Perokok Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Puskesmas Paccerakkang
Makassar. Penelitian bertujuan untuk mengetahui keberadaan perokok
dengan kejadian ispa pada balita di Puskesmas Paccerakkang Makassar.
Adanya hubungan antara keberadaan perokok dengan kejadian ISPA
pada balita di Puskesmas Paccerakkang Makassar.
Penelitian dari (Noviyanti, 2017) dengan judul penelitian Model
Estimasi Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Kota
Makassar. Peneltian ini bertujuan untuk mengestimasi kejadian ISPA di
Kota Makassar 10 tahun (2017-2027) mendatang. Penelitian dilakukan
untuk mengestimasi Kejadian ISPA pada 10 tahun (2017–2027) yang
akan datang di Kota Makassar dan menemukan strategi yang sesuai
dalam menekan laju kasus ISPA. Dimana skenario yang digunakan dalam
pemodelan ini adalah Skenario Sirkulasi Udara dan Skenario Penggunaan

20
Masker. Dengan adanya efektitas dari kedua skenario tersebut mampu
menurunkan Kejadian ISPA pada tahun 2027 hingga 59,3%.
Terdapat banyak faktor yang mendasari perjalanan penyakit ISPA.
Hal ini berhubungan dengan pejamu, agen penyakit (bakteri, virus, atau
jamur), dan lingkungan. Untuk agen penyakit seperti bakteri
Staphylacoccus Aureus, suhu dan kelembaban relatif adalah dua faktor
penting yang menentukan viabilitas dari bakteri dalam aerosol.
Peningkatan suhu menyebabkan penurunan waktu bertahan. Ada
peningkatan yang progresif di tingkat kematian dengan peningkatan suhu
dari 18°C sampai 49°C. Tingkat kelembaban relatif (RH) optimum untuk
kelangsungan hidup mikroorganisme adalah antara 40% sampai 80%.
Kelembaban relatif yang lebih tinggi maupun lebih rendah menyebabkan
kematian mikroorganisme. Pengaruh angin juga menentukan keberadaan
mikroorganisme bakteri di udara.
Cara yang paling efektif untuk pencegahan penyakit ISPA harus
ada yang kerja sama antara semua pihak, baik itu petugas Kesehatan,
penderita ISPA, keluarga penderita, ini dilukakan untuk mencegah
penularan ISPA dan menurunkan angka kejadian ISPA disuatu daerah.
Dari banyak penelitian diatas dilihat bahwa faktor-faktor kejadian
ISPA yakni pengetahuan tentang ISPA, Sikap, luas ventilasi, kepadatan
hunian, luas hunian, keadaan dindang, langit-langit hunian, keadaan
lantai, perilaku merokok, status gizi, penggunaan masker
1. Pengetahuan tentang ISPA
Pengetahuan orang tua tentang penyakit ISPA merupakan
modal utama untuk terbentuknya kebiasaan yang baik demi kualitas
kesehatan anak. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat Penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over
behavior). Didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang
positif akan berlangsung lama dan bersifat permanen, ibu yang
memiliki pengetahuan yang baik tentang ISPA diharapkan akan
membawa dampak positif bagi kesehatan anak karena resiko kejadian

21
ISPA pada anak dapat dieleminasi seminimal mungkin (Notoadmojo,
2007).
Pengetahuan juga tidak selalu berhubungan dengan perilaku
seseorang dalam melakukan suatu tindakan. Pengetahuan
dipengaruhi oleh pengalaman seseorang, lingkungan, baik fisik
maupun non fisik dan sosial budaya yang yang kemudian pengalaman
tersebut diketahui, dipersepsikan, diyakini sehingga menimbulkan
motivasi, niat untuk bertindak dan akhirnya menjadi tindakan.
Pengetahuan mungkin bukanlah faktor yang berpengaruh langsung
terhadap tindakan pencegahan ISPA. Pengetahuan juga bisa
didapatkan dari orang-orang sekitar.
Lingkungan masyarakat dengan kebiasaan yang tidak sejalan
dengan pengetahuan yang dimiliki masyarakat sehingga meskipun
pengetahuan masyarakat dalam kategori baik namun tidak menjadi
pemicu pada masyarakat untuk melakukan apa yang mereka ketahui
lewat tindakan secara nyata. Pendorong peran petugas kesehatan
setempat harus lebih dioptimal dalam memberikan penyuluhan
tentang kesehatan terutama tentang tindakan pencegahan ISPA
kepada masyaraakt, baiknya juga saat posyandu jangan pernah
melupak memberi tahu masyarakat tentang cara pencegahan ISPA
atau pun penyakit lainnya.
2. Sikap pencegahan ISPA
Sikap adalah perasaan umum yang menyatakan keberkenaan
dan ketidakberkenaan seseorang terhadap suatu objek yang
mendorong tanggapannya. Sikap akan diikuti oleh suatu tindakan
yang mengacu pada situasi saat itu, pengalaman orang lain, banyak
atau sedikitnya pengalaman seseorang dari nilai-nilai yang berlaku
pada kehidupan bermasyarakat (Taarelluan, 2016).
3. Luas ventilasi
Ventilasi Sangat menentukan kualitas udara dalam rumah
karena dengan ventilasi yang cukup akan memungkinkan lacarnya

22
sirkulasi udara dalam rumah dan masuknya sinar matahari yang dapat
membunuh bakteri. Ventilasi yang cukup berguna untuk
menghindarkan dari pengaruh buruk yang dapat merugikan kesehatan
manusia, dengan ventilasi yang baik akan terjadi pergerakan angin
dan pertukaran udara bersih yang lancar. Kurangnya ventilasi akan
menyebabkan kurangnya oksigen dan udara segar di dalam rumah,
menyebabkan naiknya kelembaban udara, selain itu dapat
menyebabkan terakumulasinya polutan dan bahan pencemar di dalam
rumah khususnya kamar tidur sehingga memudahkan terjadinya
penularan penyakit terutama gangguan pernapasan (Misnadiarly,
2013).
4. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian selalu menjadi faktor yang menyebabkan
kejadian ISPA dari teori yang didapatkan pemanfaaatan dan
penggunaan rumah perlu sekali diperhatikan. Banyak rumah yang
secara teknis memenuhi syarat kesehatan, tetapi apabila
penggunaannya tidak sesuai dengan penggunaanya dan
peruntukannya, maka dapat terjadi gangguan Kesehatan (Slamet,
2018).
Rumah yang padat penghuni akan menyebabkan sirkulasi
uadara tidak baik, pertukaran oksigen kurang sempurna dan
diperburuk apabila ventilasi rumah tidak memenuhi syarat. Hal ini
sangat berbahaya apabila ada anggota keluarga yang menderita
gangguan pernafasan yang disebebkan oleh virus dan debu, akan
cepat menyerang anggota keluarga yang lain akibat menghirup udara
yang sama dan sudah tercemar. Semakin padat penghuni dalam
rumah maka akan semakin mudah penularan penyakit pada balita
terutama penyakit yang diakibatkan oleh pencemaran udara seperti
gangguan pernapasan atau ISPA (Achmadi, 2008).
5. Keadaan dinding

23
Dinding yang terbuat dari tembok bersifat permanen, tidak
mudah terbakar dan kedap air. Rumah yang menggunakan dinding
berlapis kayu, bambu akan menyebabkan udara masuk lebih mudah
yang membawa debu-debu ke dalam rumah sehingga dapat
membahayakan penghuni rumah bila terhirup terus- menerus
terutama balita (Hartono, R & Rahmawati, 2012).
6. Keadaan langit-langit rumah
Dimana faktor lain yang mempengaruhi kejadian ISPA adalah
atap rumah dan kebersihan langit-langit, atap rumah yang bocor
mengakibatkan rembesan air ke dalam rumah yang menyebabkan
langit-langit menjadi lembab dan lapuk serta langit-langit rumah yang
jarang dibersihkan akan terjadi penumpukan debu yang merupakan
tempat perkembangbiakan kuman penyakit. Sesuai dengan pendapat
peneliti lain bahwa plafon (langit-langit) dapat mempengaruhi
kenyamanan udara dalam ruangan. Langit-langit dapat menahan
rembesan air dari atap dan menahan debu yang jatuh dari atap
rumah.
7. Keadaan lantai hunian
Adapun penjelasan mengenai lantai rumah juga dapat
mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA karena lantai yang tidak
memenuhi standar merupakan media yang baik untuk
perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang
baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab.
Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan jadi paling tidak
lantai perlu di plester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau
keramik yang mudah dibersihkan (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2011b).
Keadaan lantai juga berpengaruh terhadap kejadian ISPA
karna semakin jarang menyapu rumah maka debu rumah akan
semakin menumpuk, akibatnya risiko terkena infeksi pada saluran
pernafasan juga semakin besar. Rumah yang tidak pernah disapu

24
akan menyebabkan akumulasi debu yang ada di dalam ruangan, jika
terkena angin maka debu tersebut akan beterbangan dan terhirup
oleh manusia. Debu yang terhirup akan menyebabkan saluran
pernafasan terganggu dan dapat menyebabkan ISPA. Hasil dari uji
statistik menunjukkan adanya hubungan antara frekuensi menyapu
rumah dengan kejadian ISPA.
8. Perilaku merokok
Karena selain dari asap rokok, residu asap rokok yang
tertinggal di baju, bantal, sprei, alas meja dan rambut perokok serta
benda-benda lainnya yang kerap disebut dengan thirdhand smoke
juga dapat mendatangkan resiko khususnya bagi anak-anak (Aula,
2010).
Keberadaan perokok ini sangat mempengaruhi kejadian ISPA,
karna hal ini menunjukkan bahwa keterpaparan asap rokok,
khususnya bagi balita dapat meningkatkan risiko untuk mengalami
ISPA, karna balita dan anggota keluarga dari perokok lebih mudah
dan rentang sering menderita gangguan pernapasan sebab balita
memiliki daya tahan tubuh lemah, dan sistem imunnya masih belum
sempurna sehingga bila ada paparan asap rokok, maka balita lebih
cepat terganggu sistem pernapasannya seperti ISPA. Kejadian ISPA
pada balita ini juga tidak lepas dari pengaruh faktor lain seperti yaitu
status gizi, umur, pemberian ASI tidak memadai, keteraturan
pemberian vitamin A, imunisasi tidak lengkap, polusi udara, kepadatan
tempat tinggal.
9. Status Gizi didalamnya yakni Imunisasi dan pemberian ASI ekslusif)
Pemberian imunisasi juga dapat mencegah berbagai jenis
penyakit infeksi termasuk ISPA. Hubungan status imunisasi dengan
kejadian ISPA, imunisasi penting untuk mengurangi faktor yang
meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap
terutama DPT dan Campak. Bayi dan balita yang mempunyai status
imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan

25
perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi berat. Tugas tenaga
Kesehatan disini harus memberi edukasi dan memberi pengertian
kepada orang tua tentang pentingnya imunisasi lengkap kepada
anaknya, untuk mencegah beberapa penyakit infeksi.
Karena Kebanyakan kasus ISPA terjadi disertai dengan
komplikasi campak yang merupakan faktor risiko ISPA yang dapat
dicegah dengan imunisasi. Jadi, imunisasi campak dan difteri yang
diberikan bukan untuk memberikan kekebalan tubuh terhadap ISPA
secara langsung, melainkan hanya untuk mencegah faktor yang dapat
memacu terjadinya ISPA (Akbulut, 2010).
Pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA karna apabila
balita tidak mendapatkan ASI secara eksklusif maka sistem kekebalan
tubuhnya menjadi kurang sehingga akan mudah terserang penyakit
atau infeksi pernafasan seperti ISPA. Kelengkapan imunisasi
berhubungan dengan kejadian ISPA karna balita dengan riwayat
imunisasi dasar tidak lengkap memiliki risiko untuk sering terkena
ISPA 2.161 kali lebih besar dibandingkan balita dengan riwayat
imunisasi dasar lengkap.
10. Penggunaan masker
Rekomendasi WHO (2007) tentang Kebersihan Pernapasan /
Etika Batuk. Pencegahan dan pengendalian penyebaran patogen dari
pasien yang terinfeksi (pencegahan dan pengendalian sumber)
menjadi kunci untuk menghindari penularan akibat kontak tanpa
pelindung salah satunya dengan penggunaan masker. Untuk penyakit
yang ditularkan melalui droplet besar dan/atau droplet nuklei,
kebersihan pernapasan/etika batuk harus diterapkan oleh semua
orang yang memperlihatkan gejala infeksi pernapasan. Semua orang
(petugas kesehatan, penderita ISPA, keluarga penderita, dan
pengunjung) yang memperlihatkan tanda-tanda dan gejala infeksi
pernapasan harus: Menutup mulut dan hidung mereka saat
batuk/bersin; Menggunakan tisu, saputangan, masker linen, atau

26
masker bedah bila tersedia, sebagai pencegahan dan pengendalian
sumber untuk menahan sekret pernapasan, dan membuangnya ke
tempat limbah; Menggunakan masker bedah menghadapi orang yang
batuk/bersin bila memungkinkan; dan Membersihkan tangan.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U. (2008). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah,. Universitas


Indonesia.
Akbulut, H. H. (2010). Hubungan status Gizi, Berat Badan Lahir (BBL).
Imunisasi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
pada Balita di Wilayaj Kerja Puskesmas Tunikamaseang Kabupaten
Maros. In Media Gizi Pangan (Vol. 9, Issue 1).
Ali, P. H. F. J. A. R. (2019). PERAWATANINFEKSISALURAN
PERNAFASAN AKUT (ISPA)PADA BALITA. 1, 25–34.
Amin, M., Heru Listiono, & Sutriyati. (2020). ANALISIS FAKTOR RESIKO
KEJADIAN ISPA PADA BALITA d. 12, 169–180.
Aula, E. L. (2010). Stop Merokok (Sekarang atau Tidak Sama Sekali).
Gerailmu.
Christi, H., Pangestuti, D., & Nugraheni, S. (2015). FAKTOR–FAKTOR
YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BAYI
USIA 6 – 12 BULAN YANG MEMILIKI STATUS GIZI NORMAL (Studi
di Wilayah Kerja Puskesmas Candilama Kota Semarang). Jurnal
Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 3(2), 107–117.
Gunarni, A., Vincentius, S., M. (2018). Studi tentang Sanitasi Rumah dan
Kejadian ISPA pada Balita di Dese Gemarang Kecamatan
Kedunggalar Kabupaten Ngawi”. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara
Forikes, 3(3), 1–25.

27
Hartono, R & Rahmawati, D. (2012). Gangguan Pernapasan pada Anak.
In Nuha Medika (Vol. 7).
Irmayani. (2019). HUBUNGAN KEBERADAAN PEROKOK DENGAN
KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS PACCERAKKANG
MAKASSAR. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis, 14 No 3.
Jangga, M. (2018). ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN KERJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT
PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN
PANGKEP. Jurnal Media Analis Kesehatan, 9 No 2(2 Novemver
2018). http://www.tjyybjb.ac.cn/CN/article/downloadArticleFile.do?
attachType=PDF&id=9987
Kalsum, U. . W. ode, Sabriyati, N., Utami, N., & Monalisa. (2018). Trio
Dispa : Effort To Establish Family Health Experts in Acute Respiratory
Infections. Indonesian Contemporary Nursing Journal, 4(2), 64-71,
4(2), 1–8.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011a). Pedoman
Pengendalian Infeksi saluran pernafasan akut.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011b). Pedoman
Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,. 1–47.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Laporan Nasional
Riset Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan RI, 1–582.
Khin, M. ., Win, H., Zaw, A. K., Myint, T., Myat, K. K. S., Kyi, S., & Lwin, T.
T. (2005). Indoor Air Pollution: Impact of Intervention on Acute
Respiratory Infection (ARI) in Under-five Children. Regional Health
Forum, 9(1).
Mahendra, I. G. A. P., & Farapti, F. (2018). Relationship between
Household Physical Condition with The Incedence of ARI on Todler at
Surabaya. Jurnal Berkala Epidemiologi, 6(3), 227.
https://doi.org/10.20473/jbe.v6i32018.227-235
Masriadi. (2017). Epidemiologi Penyakit Menular. PT RAJAGRAFINDO

28
PERSADA. Depok.
Misnadiarly. (2013). Penyakit Infeksi Saluran Napas. In Pustaka Obor
Populer.
Najmah. (2016). Epidemiologi Penyakit Menular. CV.Trans Info Media.
Jakarta Timur.
Natalia, S. (2013). Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah Sakit Kecil
Negara Berkembang.
Notoadmojo, S. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. In Rineka
Cipta.
Noviyanti, F. (2017). Model Estimasi Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) di Kota Makassar.
Putri, A. . (2017). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEJADIAN ISPA PADA ORANG DEWASA DI DESA BESUK
KECAMATAN BANTARAN KABUPATEN PROBOLINGGO. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Media Husada Tingginya, 02, 111–118.
Rahayu, I., Yuniar, N., & Fachlevy, A. F. (2018). Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Soropia Kabupaten Konawe tahun 2017. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Kesehatan, 3(3), 1–12.
Sabri, R., Effendi, I., & Aini, N. (2019). Faktor Yang Memengaruhi
Tingginya Penyakit Ispa Pada Balita Di Puskesmas Deleng
Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara. Scientific Periodical of Public
Health and Coasta, 2(2), 69–82.
Slamet, J. . (2018). Kesehatan Lingkungan. In Gadjah Mada University
Press (Vol. 151, Issue 2).
Syahidi, M. H., Gayatri, D., & Bantas, K. (2016). Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
pada Anak Berumur 12-59 Bulan di Puskesmas Kelurahan Tebet
Barat, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, Tahun 2013. Jurnal
Epidemiologi Kesehatan Indonesia, 1(1), 23–27.
https://doi.org/10.7454/epidkes.v1i1.1313

29
Taarelluan, K. T. (2016). Hubungan Pengetahuan dan Sikap Masyarakat
terhadap Tindakan Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) di Desa Tataaran 1 Kecamatan Tondano Selatan Kabupaten
Minahasa. Jurnal Kedokteran Komunitas Dan Tropik, 4(1).
Wahyuni, F., Mariati, U., & Zuriati, T. S. (2020). Hubungan Pemberian Asi
Eksklusif dan Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada
Anak Usia 12-24 Bulan. Jurnal Ilmu Keperawatan Anak, 3(1), 9.
https://doi.org/10.32584/jika.v3i1.485
Wahyuningsih, S., Raodhah, S., Basri, S., & Kunci, K. (2017). Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Pesisir Desa
Kore Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima.
Wijaya, I. (2019). FAKTOR RISIKO KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAROMBONG KOTA MAKASSAR.
1(2), 10–17.
World Health Organization. (2020). Severe Acute Respiratory Infections
Treatment Centre. World Health Organization Publications, March,
120.
Wulandhani, S., & Purnamasari, A. B. (2019). Analisis Faktor Risiko
Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut ditinjau dari Lingkungan
Fisik. Sainsmat : Jurnal Ilmiah Ilmu Pengetahuan Alam, 8(2), 70.
https://doi.org/10.35580/sainsmat82107212019
Wulaningsih, I., & Hastuti, W. (2018). Hubungan Pengetahuan Orang Tua
tentang ISPA dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Dawungsari
Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal. Jurnal Smart
Keperawatan, 5(1), 90. https://doi.org/10.34310/jskp.v5i1.25

30

Anda mungkin juga menyukai