Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi pernafasan merupakan radang akut yang paling banyak terjadi pada anak-anak yang disebabkan
oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun tanpa atau disertai dengan radang parenkim paru
(Wong, 2013). ISPA adalah masuknya mikroorganisme (bakteri, virus, riketsi) ke dalam saluran
pernapasan yang menimbulkan gejala penyakit yang dapat berlangsung sampai 14 hari. (Sari, 2013).

Penyakit ISPA sering terjadi pada anak Balita, karena sistem pertahanan tubuh anak masih rendah.
Kejadian batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3 sampai 6 kali pertahun, yang berarti seorang
balita rata-rata mendapat serangan batuk-pilek 3 sampai 6 kali setahun. ISPA dapat ditularkan melalui
air ludah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran
pernapasannya, terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan umur, jika
berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan
dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak hygiene. (Sundari, dkk. 2014).

Berbagai faktor risiko yang meningkatkan kejadian, beratnya penyakit dan kematian karena ISPA, yaitu
status gizi (gizi kurang dan gizi buruk memperbesar risiko), pemberian ASI (ASI eksklusif mengurangi
risiko), suplementasi vitamin A (mengurangi risiko), suplementasi zinc (mengurangi risiko), bayi berat
badan lahir rendah (meningkatkan risiko), vaksinasi (mengurangi risiko), dan polusi udara dalam kamar
terutama asap rokok dan asap bakaran dari dapur (meningkatkan risiko). (Kemenkes RI, 2015).

World Health Organization (2018), memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di
negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20%
pertahun pada golongan usia balita. Pada tahun 2018, jumlah kematian pada balita Indonesia sebanyak
151.000 kejadian, dimana 14% dari kejadian tersebut disebabkan oleh pneumonia (Agrina, 2019). Period
prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. 2 Lima provinsi dengan ISPA tertinggi
adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Sumatera Utara (30,0%), Nusa Tenggara Barat
(28,3%), dan Jawa Timur (28,3%). Pada Riskesdas 2017, Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi
tertinggi dengan ISPA. Period prevalence ISPA Indonesia menurut Riskesdas 2013, (25,0%) tidak jauh
berbeda dengan 2017 (25,5%). Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada
kelompok umur 1-4 tahun (25,8%). Menurut jenis kelamin, tidak berbeda antara laki- laki dan
perempuan. Penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks
kepemilikan terbawah dan menengah bawah (Kemenkes RI, 2018).

Sampai dengan tahun 2018, angka cakupan penemuan ISPA balita tidak mengalami perkembangan
berarti yaitu berkisar antara 20%-30%. Pada tahun 2019, terjadi peningkatan angka cakupan penemuan
ISPA sebesar 63,45%. Angka kematian akibat ISPA pada balita sebesar 0,16%, lebih tinggi dibandingkan
dengan tahun 2017 yang sebesar 0,08%. Pada kelompok bayi angka kematian sedikit lebih tinggi yaitu
sebesar 0,17% dibandingkan pada kelompok umur 1-4 tahun yang sebesar 0,15% (Kemenkes RI, 2018).

Pada tahun 2018 cakupan penemuan ISPA Sumatera Utara mencapai 67 %. Faktor resiko yang
berkontribusi terhadap insidens ISPA tersebut antara lain gizi kurang, ASI eksklusif rendah, polusi udara
dalam ruangan, kepadatan, cakupan imunisasi campak rendah dan BBLR. (DinKes Prov Sumut, 2018).
Kejadian ISPA pada balita merupakan penyakit terbanyak yang dialami oleh balita dibandingkan dengan
penyakit-penyakit lainnya seperti diare, cacingan, asma, dan lain-lain. Menurut Sudiharto (2015),
puskesmas mempunyai peran yang sangat penting dalam peningkatan mutu dan daya saing sumber
daya manusia di indonesia maupun internasional. Puskesmas bertanggung jawab mengupayakan
kesehatan pada jenjang tingkat pertama dan berkewajiban menanamkan budaya hidup sehat kepada
setiap keluarga. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu menyelenggarakan asuhan keperawatan
keluarga.

1.3 Perumusan Masalah

Bagaimana asuhan keperawatan pada An.D dengan gangguan sistem pernafasan : ISPA di Puskesmas
rambung Dalam Kecamatan Binjai Selatan Kota Binjai tahun2020. 1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis studi kasus ini adlah untuk pengembangan ilmu keperawatan dalam pembuatan
Asuhan Keperawatan tentang klien ISPA agar perawat mampu memenuhi kebutuhan dasar pasien
selama dirawat di Puskesmas
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Dasar

2.1.1. Defenisi ISPA

Infeksi pernafasan merupakan penyakit akut yang paling banyak terjadi pada anak-anak (Wong,
2016). Infeksi saluran pernafasan akut menurut Sari (2015) adalah radang akut saluran pernapasan atas
maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun reketsia tanpa atau
disertai dengan radang parenkim paru. ISPA adalah masuknya mikroorganisme (bakteri, virus, riketsi) ke
dalam saluran pernapasan yang menimbulkan gejala penyakit yang dapat berlangsung sampai 14 hari.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan suatu infeksi yang bersifat akut yang menyerang salah
satu atau lebih saluran pernafasan mulai dari hidung sampai alveolus termasuk (sinus, rongga telinga
tengah, pleura) (Depkes, 2017). Djojodibroto (2009), menyebutkan bahwa ISPA dibagi menjadi dua
bagian, yaitu infeksi saluran pernafasan bagian atas dan infeksi saluran bagian bawah.

Infeksi Saluran Pernafsan Akut mempunyai pengertian sebagai berikut (Fillacano, 2016) :

a. Infeksi adalah proses masuknya kuman atau mikroorganisme lainnya ke dalam manusia dan akan
berkembang biak sehingga akan menimbulkan gejala suatu penyakit.

b. Saluran pernafasan adalah suatu saluran yang berfungsi dalam proses respirasi mulai dari hidung
hingga alveolus beserta adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah, dan pleura

. c. Infeksi akut merupakan suatu proses infeksi yang berlangsung sampai 14 hari. Batas 14 hari
menunjukan suatu proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat di golongkan ISPA ini
dapat berlangsung lebih dari 14 hari

2.1.2. Etiologi ISPA

Etiologi ISPA terdiri dari agen infeksius dan agen non- infeksius. Agen infeksius yang paling
umum dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut adalah virus, seperti respiratory syncytial
virus (RSV), nonpolio enterovirus 7 (coxsackie viruses Adan B), Adenovirus, Parainfluenza, dan Human
metapneumo viruses. Agen infeksius selain virus juga dapat menyebabkan ISPA, staphylococcus,
haemophilus influenza, Chlamydia trachomatis, mycoplasma, dan pneumococcus (Wilson, 2015).
Misnadiarly (2016), menyebutkan bahwa selain agen infeksius, agen noninfeksius juga dapat
menyebabkan ISPA seperti inhalasi zat-zat asing seperti racun atau bahan kimia, asap rokok, debu, dan
gas. Etiologi Infeksi Saluran Pernapasan Akut lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan jamur. Bakteri
penyebabnya antar lain dari genus streptokokus, stafilokokus, pnemokokus, hemofilus, bordetella dan
korinebacterium. Virus penyebabnya antara lain golongan mikovirus, adenovirus, koronavirus,
pikornavirus, mikroplasma dan herpervirus.

Bakteri dan virus yang paling sering menjadi penyebab ISPA diantaranya bakteri stafilokokus
dan sterptokokus serta virus influenza yang di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran
pernapasan bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung (Sari, 2015).

Biasanya bakteri dan virus tersebut menyerang anak-anak usia di bawah 2 tahun yang kekebalan
tubuhnya lemah atau belum sempurna. Peralihan musim kemarau ke musim hujan juga menimbulkan
resiko serangan ISPA. Beberapa faktor lain yang diperkirakan berkontribusi terhadap kejadian ISPA pada
anak adalah rendahnya asupan antioksidan, status gizi kurang, dan buruknya sanitasi lingkungan (Sari,
2015).

2.1.3. Pafofisiologi

Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh. Masuknya
virus sebagai antigen kesaluran pernapasan akan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan
saluran napas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu rangkapan refleks
spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa
saluran pernapasan (Kending, 2014).

Iritasi kulit pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering (Seliff). Kerusakan
struktur lapisan dinding saluran pernapasan menyebabkan kenaikan aktivitas kelenjar mukus yang
banyak terdapat pada dinding saluran pernapasan sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang
melebihi normal. Rangsangan cairan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal
gejala ISPA yang sangat menonjol adalah batuk.

Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat infeksi tersebut
terjadi kerusakan mekanisme mokosiloris yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran
pernapasan sehingga memudahkan infeksi baakteri-bakteri patogen patogen yang terdapat pada
saluran pernapasan atas seperti streptococcus pneumonia, Haemophylus influenza dan staphylococcus
menyerang mukosa yang rusak tersebut.

Infeksi sekunder bakteri tersebut menyebabkan sekresi mukus berlebihan atau bertambah banyak dapat
menyumbat saluran napas dan juga dapat menyebabkan batuk yang produktif. Infeksi bakteri dapat
dipermudah dengan adanya faktor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu menyebutkan bahwa
dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran napas dapat menimbulkan gangguan gisi akut
pada bayi dan anak (Tyrell, 2015).
Virus yang menyerang saluran napas atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain di dalam
tubuh sehingga menyebabkan kejang, demam dan dapat menyebar ke saluran napas bawah, sehingga
bakteri-bakteri yang biasanya hanya diturunkan dalam saluran pernapasan atas, akan menginfeksi paru-
paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri. Terjadinya infeksi antara bakteri dan flora normal di
saluran nafas. Infeksi oleh bakteri, virus dan jamur dapat merubah pola kolonisasi bakteri. Timbul
mekanisme pertahanan pada jalan nafas seperti filtrasi udara inspirasi di rongga hidung, refleksi batuk,
refleksi epiglotis, pembersihan mukosilier dan fagositosis. Karena menurunnya daya tahan tubuh
penderita maka bakteri pathogen dapat melewati mekanisme sistem pertahanan tersebut akibatnya
terjadi invasi di daerah-daerah saluran pernafasan atas maupun bawah (Fuad, 2016)

Pathway Infeksi

2.1.4. Tanda dan Gejala

Saluran Pernafasan merupakan bagian tubuh yang seringkali terjangkit infeksi oleh berbagai jenis
mikroorganisme. Tanda dan gejala dari infeksi yang terjadi pada sluran pernafasan tergantung pada
fungsi saluran pernafasan yang terjangkit infeksi, keparahan proses infeksi, dan usia seseorang serta
status kesehatan secara umum (Porth, 2014). Djojodibroto (2016), menyebutkan tanda dan gejala ISPA
sesuai dengan anatomi saluran pernafasan yang terserang yaitu:

a. Gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas. Gejala yang sering timbul yaitu pengeluaran cairan
(discharge) nasal yang berlebihan, bersin, obstruksi nasal, mata berair, konjungtivitis ringan, sakit
tenggorokan yang ringan sampai berat, rasa kering pada bagian posterior palatum mole dan uvula, sakit
kepala, malaise, lesu, batuk seringkali terjadi, dan terkadang timbul demam.

b. Gejala infeksi saluran pernafasan bagian bawah. Gejala yang timbul biasanya didahului oleh gejala
infeksi saluran pernafasan bagian atas seperti hidung buntu, pilek, dan sakit tenggorokan. Batuk yang
bervariasi dari ringan sampai berat, biasanya dimualai dengan batuk yang tidak produktif. Setelah
beberapa hari akan terdapat produksi sputum yang banyak; dapat bersifat mucus tetapi dapat juga
mukopurulen. Pada pemeriksaan fisik, biasanya akan ditemukan suara wheezing atau ronkhi yang dapat
terdengar jika produksi sputum meningkat.

Dan juga tanda dan gejala lainnya dapat berupa batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan,
pilek, demam dan sakit kepala. Sebagian besar dari gejala saluran pernapasan hanya bersifat ringan
seperti batuk, kesulitan bernapas, sakit tenggorokan, pilek, demam dan sakit kepala tidak memerlukan
pengobatan dengan antibiotic (Rahmayatul, 2016). Adapun tanda dan gejala ISPA yang seering ditemui
adalah :

a. Demam, pada neonatus mungkin jarang terjadi tetapi gejala demam muncul jika anak sudah
mencaapai usia 6 bulan sampai dengan 3 tahun. Seringkali demam muncul sebagai tanda pertama
terjadinya infeksi. Suhu tubuh bisa mencapai 39,50C-40,50C.
b. Meningismus, adalah tanda meningeal tanpa adanya infeksi pada meningens, biasanya terjadi selama
periodik bayi mengalami panas, gejalanya adalah nyeri kepala, kaku dan nyeri pada punggung serta
kuduk, terdapatnya tanda kernig dan brudzinski.

c. Anorexia, biasa terjadi pada semua bayi yang mengalami sakit. Bayi akan menjadi susah minum dan
bhkan tidak mau minum.

d. Vomiting, biasanya muncul dalam periode sesaat tetapi juga bisa selama bayi tersebut mengalami
sakit.

e. Diare (mild transient diare), seringkali terjadi mengiringi infeksi saluran pernafasan akibat infeksi
virus.

f. Abdominal pain, nyeri pada abdomen mungkin disebabkan karena adanya lymphadenitis mesenteric.
g. Sumbatan pada jalan nafas/ Nasal, pada saluran nafas yang sempit akan lebih mudah tersumbat oleh
karena banyaknya sekret.

h. Batuk, merupakan tanda umum dari tejadinya infeksi saluran pernafasan, mungkin tanda ini
merupakan tanda akut dari terjadinya infeksi saluran pernafasan.

i. Suara nafas, biasa terdapat wheezing, stridor, crackless, dan tidak terdapatnya suara pernafasan
(Wong, 2015).

2.1.5. Penatalaksanaan

Menurut WHO (2017), penatalaksanaan ISPA meliputi :

1. Suportif Meningkatkan daya tahan tubuh berupa nutrisi yang adekuat, pemberian multivitamin
2. Antibiotik

a) Idealnya berdasarkan jenis kuman penyebab

b) Utama ditujukan pada pneumonia, influenza dan Aureus

c) Pneumonia rawat jalan yaitu kotrimoksasol 1mg, amoksisillin 3 x ½ sendok teh, amplisillin (500mg) 3
tab puyer/x bungkus / 3x sehari/8 jam, penisillin prokain 1 mg.

d) Pneumonia berat yaitu Benzil penicillin 1 mg, gentamisin (100 mg) 3 tab puyer/x bungkus/3x
bungkus/3x sehari/8 jam.

e) Antibiotik baru lain yaitu sefalosforin 3 x ½ sendok teh, quinolon 5 mg,dll.

f) Beriobat penurun panas seperti paracetamol 500 mg, asetaminofen 3 x ½ sendok teh. Jika dalam 2
hari anak yang diberikan antibiotik tetap sama ganti antibiotik atau rujuk dan jika anak membaik
teruskan antibiotik 12 sampai 3 hari (Kepmenkes RI, 2017)
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang
sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien. Pengkajian dilakukan dengan cara berurutan, perawat harus
mengetahui data aktual apa yang diperoleh, faktor resiko yang penting, keadaan yang potensial
mengancam pasien dan lain-lain (Nursalam, 2015).

Tujuan pengkajian adalah untuk mengumpulkan informasi dan membuat data dasar pasien. Pengkajian
dilakukan saat pasien masuk instansi pelayanan kesehatan.

Data yang diperoleh sangat berguna untuk menentukan tahap selanjutnya dalam proses keperawatan.
Pengumpulan data pasien dapat dilakukan dengan cara :

a. Anamnesis/wawancara.

b. Observasi

. c. Pemeriksaan fisik

. d. Pemeriksaan penunjang/diagnostik.

Klasifikasi dan Analisa Data

a. Klasifikasi data adalah aktivitas pengelompokan data-data klien atau keadaan tertentu dimana klien
mengalami permasalahan kesehatan atau keperawatan berdasarkan kriteria permasalahanya. Klasifikasi
ini dikelompokan dalam data subyektif dan data obyektif.

b. Analisa Data adalah mengaitkan data dan menghubungkan dengan konsep teori dan prinsip yang
relevan untuk membuat kesimpulan dalam mentukan masalah kesehatan dan keperawatan.

c. Analisa data dibuat dalam bentuk tabel yang terdiri dari kolom : Data, Penyebab, dan Masalah. Kolom
data berisi ; data subyektif, data obyektif dan faktor resiko.Kolom penyebab berisi : 1 (satu) kata/kalimat
yang menjadi penyebab utama dari masalah. Kolom masalah berisi : pernyataan masalah keperawatan

Data yang perlu dikaji pada pasien ISPA dapat berupa :

a. Identifikasi klien yang meliputi:


b. nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, suku bangsa, alamat, tanggal MRS dan diagnose
medis.

b. Riwayat penyakit meliputi :


keluhan utama, biasanya klien datang dengan keluhan batuk pilek serta panas, kesehatan sekarang,
kesehatan yagn lalu, riwayat kesehatan keluarga, riwayat nutrisi, eliminasi, personal hygiene.

c. Pemeriksaan fisik berfokus pada system pencarnaan meliputi :

keadaan umum (penampilan, kesadaran, tinggi badan, BB dan TTV), kulit, kepala dan leher, mulut,
abdomen.

c. Aktivitas dan isrirahat Gejala :


d. kelemahan, kelelahan, cape atau lelah, insomnia, tidak bisa tidur pada malam hari, karena badan
demam.

e. Eliminasi Gejala :

Tekstur feses bervariasi dari bentuk lunak, bau, atau berair Tanda : kadang – kadang terjadi peningkatan
bising usus.

f. Makanan atau cairan Gejala :

klien mengalami anoreksia dan muntah, terjadi penurunan BB. Tanda : kelemahan, turgor kulit klien
bisa buruk, membrane mukosa pucat

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinik tentang respon individu, keluarga dan masyarakat
tentang masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual atau potensial, sebagai dasar seleksi
intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan
perawat (NANDA, 2014). Berdasarkan NANDA (2014), diagnosa keperawatan terbagi atas :

a. Diagnosa keperawatan aktual, Suatu diagnosis aktual menggambarkan respon manusia terhadap
kondisi kesehatan/proses kehidupan yang benar nyata pada individu, kelompok, atau komunitas.

b. Diagnosa Keperawatan Promosi Kesehatan : Penilaian klinis tentang motivasi dan keinginan individu,
keluarga, kelompok atau komunitas untuk meningkatkan kesehjateraan dan mewujudkan potensi
kesehatan manusia.

c. Diagnosa Keperawatan Risiko : Kerentanan, terutama sebagai akibat dari paparan terhadap faktor-
faktor yang meningkatkan peluang kecelakaan atau kehilangan.

d.Diagnosa Keperawatan Syndrom : penilaian klinis memjelaskan kelompok khusus diagnosa


keperawatan yang terjadi bersama dan paling tepat dihadapi secara bersama-sama dan melalui
intervensi yang serupa.

Langkah-langkah menentukan diagnosa keperawatan :


a.) Interpretasi data, perawat bertugas membuat interpretasi atas data yang sudah dikelompokkan
dalam bentuk masalah keperawatan atau masalah kolaboratif. Untuk menuliskan diagnosa keperawatan
Gordon menguraikan komponen yang harus ada sebagai berikut :

1)Diagnosa aktual : komponen terdiri dari tiga bagian, yaitu :

a) Problem/masalah = P

b) Etiologi/penyebab = E

c) Sign and symptom/tanda dan gejala = S

2) Diagnosa resiko, potensial/possible : P+E

b.) Perumusan diagnosa keperawatan, setelah perawat mengelompokan, mengidentifikasi dan


memvalidasi data-data yang signifikan maka tugas perawat pada tahap ini adalah merumuskan suatu
diagnosa keperawatan (Nursalam, 2015).

Menurut Nurarif, dkk (2015) masalah keperawatan yang lazim timbul pada pasien ispa:

1) Ketidakefektifanbersihan jalan nafas, berhubungan dengan peningkatan jumlah sekret.

2) Hipertermi berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh (proses penyakit).

3) Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada membran mukosa faring dan tonsil.

4) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan obstruksi bronkospasme, respon pada dinding
bronkus.

5) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan intake
inadekuat, penurunan nafsu makan, nyeri menelan.

6) Ansietas berhubungan dengan perkembangan penyakit dan perubahan status kesehatan.

2.2.3 Perencanaan

Perencanaan adalah proses kegiatan mental yang memberi pedoman atau pengarahan secara
tertulis kepada perawat atau anggota tim kesehatan lainnya tentang intervensi/tindakan keperawatan
yang akan dilakukan kepada pasien. Rencana keperawatan merupakan rencana tindakan keperawatan
tertulis yang menggambarkan masalah kesehatan pasien, hasil yang akan diharapkan, tindakan-tindakan
keperawatan dan kemajuan pasien secara spesifik.

Intervensi keperawatan merupakan bagian dari fase pengorganisasian dalam proses keperawatan
sebagai pedoman untuk mengarahkan tindakan keperawatan dalam usaha membantu, meringankan,
memecahkan masalah atau untuk memenuhi kebutuhan klien (Nursalam, 2015).
Rencana keperawatan merupakan serangkai kegiatan atau intervensi untuk mencapai tujuan
pelaksanaan asuhan keperawatan. Intervensi keperawatan adalah preskripsi untuk perilaku spesifik yang
diharapkan oleh pasien dan atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat. (Wong, 2016).

Tujuan yang direncanakan harus spesifik dan tidak menimbulkan arti ganda, tujuan
keperawatan harus dapat diukur, khususnya tentang perilaku klien, dapat diukur, didengar, diraba,
dirasakan, dicium. Tujuan keperawatan harus dapat dicapai serta dipertanggung jawabkan secara ilmiah
dan harus mempunyai waktu yang jelas. Pedoman penulisan kriteria hasil berdasarkan “SMART”

S : Spesifik, tujuan harus spesifik dan tidak menimbulkan arti ganda

M : Measureble, tujuan keperawatan harus dapat diukur, khusunya tentang prilaku klien, dapat dilihat,
didengar, diraba, dan dirasakan

A : Achievable, tujuan harus dapat dicapai

R : Reasonable, tujuan harus dapat dipertanggung jawabkan

T : Time, harus memiliki batas waktu yang sesuai

a.) Kegiatan dalam tahap perencanaan, meliputi :

1) Menentukan prioritas masalah keperawatan.

2) Menetapkan tujuan dan kriteria hasil.

3) Merumuskan rencana tindakan keperawatan.

4) Menetapkan rasional rencana tindakan keperawatan

b.) Tipe rencana tindakan keperawatan, meliputi :

1) Observasi keperawatan, diawali kata kerja: kaji, monitor, pantau, observasi, periksa, ukur, catat,
amati.

2) Terapi keperawatan, diawali kata kerja: lakukan, berikan, atur, bantu, ubah, pertahankn, latih.

3) Pendidikan kesehatan, diawali kata kerja: ajarkan, anjurkan, jelaskan, sarankan, informasikan.

4) Kolaborasi/pemberian obat/pengaturan nutrisi, diawali kata kerja: rujuk, instrusikan, laporkan,


delegasikan, berikan, lanjutkan, pasang.
Adapun intervensi keperawatan pada pasien ispa, berupa :

Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan Pasien ISPA

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Rencana Asuhan Rasional


Hasil Keperawatan
Intervensi RasionaL
1 Ketidakefektifan Tujuan : Setelah 1. Kaji tandatanda vital Beberapa derajat
bersihan jalan nafas, dilakukan tindakan dan auskultasi bunyi spasme bronkus terjadi
berhubungan dengan keperawatan napas. dengan obstruksi jalan
peningkatan jumlah selama 3x24 jam napas.
sekret jalan napas 2. Berikan pasien untuk
menjadi efektif. posisi yang nyaman Peninggian kepala
Kriteria hasil : 1. dengan posisi semi tempat tidur
Menyatakan/ fowler. mempermudah fungsi
menunjukkan pernapasan.
hilangnya dispnea. 3. Pertahankan
2. lingkungan yang Pencetus tipe reaksi
Mempertahankan nyaman. alergi pernapasan yang
jalan nafas paten dapat mentriger episode
dengan bunyi nafas 4. Tingkatkan masukan akut.
bersih. 3. cairan, dengan
Mengeluarkan memberi air hangat. Membantu
sekret tanpa mempermudah
kesulitan. 4. 5. Dorong atau bantu pengeluaran sekret.
Menunjukkan latihan napas dalam
perilaku untuk atau batuk efektif. Memberikan cara untuk
memperbaiki/ mengatasi dan
mempertahankan 6. Kolaborasi dalam mengontrol dispnea,
bersihan jalan pemberian obat dan mengeluarkan secret.
nafas humidifikasi, seperti
nebulizer. Menurunkan
kekentalan sekret dan
mengeluarkan sekret.
2 Hipertermi Tujuan : Setelah 1. Kaji/pantau TTV. Perubahan TTV dalam
berhubungan dengan dilakukan tindakan rentang abnormal
peningkatan suhu keperawatan 2. Berikan kompres mengindikasikan adanya
tubuh (proses selama 3x24 jam hangat. respon tubuh.
penyakit). suhu tubuh
kembali normal. 3. Anjurkan klien untuk
Kriteria hasil : memperbanyak minum Terjadinya
Tanda-tanda vital air putih. vasodilatasisehi ngga
(TTV) dalam batas suhu tubuh cepat
normal; 4. Kolaborasi dalam kembali normal.
1. TD : 120/80 pemberian terapi obat.
mmHg. Mencegah terjadinya
kekurangan cairan
2. N : 80 x/ment. karena dehidrasi.

3. RR : 20 x/menit. Pemberian terapi


mempercepat proses
4. S : 37,00C penyembuhan.
3 Nyeri akut 1. Tanyakan pasien
berhubungan dengan tentang nyeri, Membantu dalam
inflamasi pada Tujuan : Setelah Tentukan karaktersitik evaluasi gejala nyeri
membran mukosa dilakukan tindakan nyeri kanker yang dapat
faring dan tonsil. keperawatan melibatkan visera, saraf
selama 3x24 jam 2. Kaji pernyataan atau jaringan tulang.
nyeri hilang atau verbal dan non verbal
berkurang. Kriteria nyeri pasien. Ketidaksesuaian antara
hasil : verbal dan non verbal
3 Evaluasi menunjukan.der ajat
1. Tampak rileks keefektifan nyeri.
dan tidur/istrahat pemberian
dengan baik. obat Memberikan obat
. 4. Berikan berdasarkan aturan
2. Melaporkan tindakan
nyeri kenyamanan, ubah Meningkatkan relaksasi
hilang/terkontrol. posisi, pijatan dan pengalihan
punggung dll. perhatian.
3. Berpatisipasi
dalam aktivitas 5. Berikan Penurunan stress,
yang diinginkan lingkungan tenang. menghemat energi.

6. Kolaborasi: Mempertahanka n kadar


Berikan analgesik obat, menghindari
rutin s/d indikasi. puncak periode nyeri.
4 Ketidakefektifan pola Tujuan : Setelah 1. Kaji frekuensi Kecepatan biasanya
napas berhubungan dilakukan tindakan kedalaman pernapasan mencapai kedalaman
dengan obstruksi keperawatan dan ekspansi dada. pernapasan bervariasi
bronkospasme, respon selama 3x24 jam tergantung derajat gagal
pada dinding bronkus. pola napas kembali 2. Auskultasi bunyi napas.
efektif. napas.

3. Tinggikan kepala
Kriteria hasil : 1. dan bentuk mengubah Ronchi dan mengi
Pola napas efektif. posisi. menyertai obstruksi
2. Bunyi napas jalan napas.
normal kembali. 3. 4. Kolaborasi
Batuk berkurang. pemberian oksigen. Memudahkan dalam
ekspansi paru dan
pernapasan.

Memaksimalkan
bernapas dan
menurunkan kerja
napas.
5 Ketidakseimbang an Tujuan : 1. Kaji kebiasaan diet. Pasien distress
nutrisi kurang dari Setelah dilakukan Evaluasi berat badan pernapasan akut sering
kebutuhan tubuh tindakan dan ukuran tubuh. anoreksia karena
berhubungan dengan keperawatan dispnea, produksi
penurunan intake selama 3x24 2. Aukultasi bising sputum, dan obat-
inadekuat, penurunan jampasien akan usus. obatan.
nafsu makan, nyeri menunjukan
menelan. perbaikan nutrisi. 3. Berikan makanan Membantu dalam
dalam jumlah kecil dan menentukan respon
Kriteria hasil: dalam waktu yang untuk makan atau
sering dan teratur. berkembangnya
1. Tidak tampak komplikasi.
mual muntah, 4. Anjurkan perawatan
oral, dan cara Meningkatkan proses
2. Peningkatan mengeluarkan sekret. pencernaan dan
pengecapan dan toleransi pasien
menelan. terhadap nutrisi yang
diberikan dan dapat
3. Nafsu makan meningkatkan
meningkat. kerjasama pasien saat
makan.

Rasa tak enak, bau, dan


penampilan adalah
pencegah utama
terhadap nafsu makan
dan dapat membuat
mual dan muntah
dengan peningkatan
kesulitan napas.
6 Ansietas berhubungan Tujuan : 1. Evaluasi tingkat Pemahaman persepsi
dengan perkembangan Setelah dilakukan pemahaman melibatkan susunan
penyakit dan tindakan pasien/orang terdekat tekanan perawatan
perubahan status keperawatan tentang diagnosa. individu dan
kesehatan. selama 3x24 jam memberikan informasi.
ansietas hilang 2. Akui rasa takut,
atau berkurang masalah pasien, dan Memberi waktu
dorong untukmengidentifikasi
mengekspresikan perasaan.
Kriteria hasil : perasaan. Dapat memperbaiki
perasaan kontrol.
1. Tampak rileks 3. Libatkan
pasien/orang terdekat
2. Klien dapat dalam perencanaan
beristrahat. keperawatan.
3. Dapat bekerja
sama dalam
program terapi.

2.2.4 Implementasi

Implementasi merupakan tahap ketika perawat mengaplikasikan atau melaksanakan rencana asuhan
keperawatan kedalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang telah
ditetapkan (Nursalam, 2015).

Pada tahap pelaksanaan ini kita benar-benar siap untuk melaksanakan intervensi keperawatan dan
aktivitas-aktivitas keperawatan yang telah dituliskan dalam rencana keperawatan pasien. Dalam kata
lain dapat disebut bahwa pelaksanaan adalah peletakan suatu rencana menjadi tindakan yang
mencakup :

a. Penulisan dan pengumpulan data lanjutan

b. Pelaksanaan intervensi keperawatan

c. Pendokumentasian tindakan keperawatan

d. Pemberian laporan/mengkomunikasikan status kesehatan pasien dan respon pasien terhadap


intervensi keperawatan

Pada kegiatan implementasi diperlukan kemampuan perawat terhadap penguasaan teknis keperawatan,
kemampuan hubungan interpersonal, dan kemampuan intelektual untuk menerapkan teori-teori
keperawatan kedalam praktek.

2.2.5 Evaluasi

Evaluasi adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan untuk menentukan apakah rencana
keperawatan efektif dan bagaimana rencana keperawatan dilanjutkan, merevisi rencana atau
menghentikan rencana keperawatan (Nursalam, 2015).

Dalam evaluasi pencapaian tujuan ini terdapat 3 (tiga) alternatif yang dapat digunakan perawat untuk
memutuskan/menilai sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dalam rencana keperawatan tercapai,
yaitu :

a. Tujuan tercapai
b. Tujuan sebagian tercapai.
c. .Tujuan tidak tercapai.
 Evaluasi dibagi menjadi 2 (dua) tipe, yaitu :

a) Evaluasi Proses (Formatif) Evaluasi ini menggambarkan hasil observasi dan analisis perawat terhadap
respon klien segera stelah tindakan. Evaluasi formatif dilakukan secara terus menerus sampai tujuan
yang telah ditentukan tercapai.

b) Evaluasi Hasil (sumatif) Evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas proses keperawatan selesai
dilakukan. Menggambarkan rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisis status kesehatan
klien sesuai dengan kerangka waktu yang ditetapkan. Evaluasi sumatif bertujuan menjelaskan
perkembangan kondisi klien dengan menilai dan memonitor apakah tujuan telah tercapai.

Evaluasi pencapaian tujuan memberikan umpan balik yang penting bagi perawat untuk
mendokumentasikan kemajuan pencapaian tujuan atau evaluasi dapat menggunakan kartu/format
bagan SOAP (Subyektif, Objektif, Analisis dan Perencanaan). Evaluasi keperawatan yang diharapkan
pada pasien ispa harus sesuai dengan rencana tujuan yang telah ditetapkan yaitu :

a. Jalan napas menjadi efektif.

b. Suhu tubuh dalam batas normal.

c. Nyeri berkurang/hilang.

d. Pola napas kembali efektif.

e. Kebutuhan nutrisi terpenuhi.

f. Ansietas hilang/ berkurang.

3.2. Masalah Keperawatan Pada COPD (Chronic Obsstructive Pulmonary Desease)

3.2.1Pengertian COPD

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau juga dikenali sebagai Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) merupakan obstruksi saluran pernafasan yang progresif dan ireversibel terjadi
bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau kedua - duanya (Snider, 2003). Penyakit Paru Obstruksi
Kronis (PPOK) bukanlah penyakit tunggal, tetapi merupakan satu istilah yang merujuk kepada penyakit
paru kronis yang mengakibatkan gangguan pada sistem pernafasan. The Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD) guidelines mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang ditandai
dengan gangguan pernafasan yang ireversibel, progresif, dan berkaitan dengan respon inflamasi yang
abnormal pada paru akibat inhalasi partikel-partikel udara atau gas-gas yang berbahaya (Kamangar,
2010). Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan satu kelompok penyakit paru yang
mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten dari jalan nafas di dalam paru, yang termasuk
dalam kelompok ini ialah: bronkitis menahun, empisemia menahun, asma terutama yang menahun, dan
bronkiekstasi (Murwani, 2008).

3.2.2. Diagnosis PPOK

a. Anamnesis PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan tanda dan gejala.
Diagnosis lain seperti asma, TB paru, bronkiektasis, keganasan dan penyakit paru kronik lainnya dapat
dipisahkan. Anamnesis lebih lanjut dapat menegakkan diagnosis. Gejala klinis yang biasa ditemukan
pada penderita PPOK adalah sebagai berikut:

1) Batuk kronik Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun terakhir yang
tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi sepanjang hari atau intermiten.
Batuk kadang terjadi pada malam hari.

2) Berdahak kronik Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang - kadang pasien
menyatakan hanya berdahak terus menerustanpa disertai batuk. Karakterisktik batuk dan dahak kronik
ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur.

3) Sesak napas Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi
dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus
dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak:

Sesak nafas Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas


0 Tidak asda sesak kecuali dengan aktivitas berat

1 Sesak mulai timbul bila berjalan


cepat atau naik tangga 1 tingkat.
2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak

3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit


4 Sesak bila mandi atau berpakaian

Selain gejala klinis, dalam anamnesis pasien juga perlu ditanyakan riwayat pasien dan keluarga
untuk mengetahui apakah ada faktor resiko yang terlibat. Merokok merupakan faktor resiko utama
untuk PPOK. Lebih dari 80 % kematian pada penyakit ini berkaitan dnegan merokok dan orang yang
merokok memiliki resiko yang lebih tinggi (12-13 kali) dari yang tidak merokok.
Risiko untuk perokok aktif sekitar 25%. Akan tetapi, faktor resiko lain juga berperan dalam peningkatan
kasus PPOK. Faktor resiko lain dapat antara lain paparan asap rokok pada perokok pasif, paparan kronis
polutan lingkungan atau pekerjaan,

penyakit pernapasan ketika masa kanak-kanak, riwayat PPOK pada keluarga dan defisiensi α1-
antitripsin. Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan
adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas terutama
pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.

3.2.3..Patofisiologi

Pada bronkitis kronik terjadi penyempitan saluran nafas. Penyempitan inidapat mengakibatkan
obstruksi jalan nafas dan menimbulkan sesak. Pada bronkitis kronik, saluran pernafasan kecil yang
berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit. Berkelok-kelokdan berobliterasi. Penyempitan ini
terjadi karenametaplasia sel goblet. Saluran nafas besar juga menyempit karena hipertrofi dan
hiperplasi kelenjar mukus. Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas disebabkan oleh
berkurangnya elastisitas paru-paru (Mansjoer, 2001).

Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan nafas yaitu: inflamasi dan pembengkakan
bronki, produksi lendir yang berlebihan, kehilangan rekoilelastik jalan nafas, dan kolaps bronkiolus serta
redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi. Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area
permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secarakontinu berkurang mengakibatkan
kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahapakhireliminasi
karbondioksida mengalami kerusakan mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dalam darah arteri
(hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respirastorius individu dengan emfisema mengalami obstruksi
kronik kealiran masuk dan aliran keluar dari paru. Untuk mengalirkan udara ke dalam dan keluar paru-
paru, dibutuhkan tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang adekuat harus
dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi (Mansjoer, 2001) (Diane. C. Baughman, 2000)

3.2.4.Klasifikasi COPD

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease(GOLD), (2011) PPOK diklasifikasikan
berdasarkan derajat berikut:

a. Derajat 0 (berisiko) Gejala klinis: Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan
dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko. Spirometri : Normal

b. Derajat I (PPOK ringan) Gejala klinis: Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum.Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1. Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%
c. Derajat II (PPOK sedang) Gejala klinis: Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi
sputum.Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas). Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 50%
< FEV1 < 80%

d. Derajat III (PPOK beratGejala klinis: Sesak napas derajat sesak 3 dan 4. Eksaserbasi lebih sering terjadi.
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%

e. Derajat IV (PPOK sangat berat) Gejala klinis: Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai
komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan. Spirometri: FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau <
50%

3.2.5.Etiologi COPD

Faktor - faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronik(PPOK) adalah :

a. Kebiasaan merokok

b. Polusi udara

c. Paparan debu,asap,dan gas - gas kimiawi akibat kerja

d. Riwayat infeksi saluran nafas

e. Bersifat genetik yaitudifisiensiα-1 antitripsin merupakan predisposisi untukberkembangnya Penyakit


Paru Obstruksi Kronik dini (Mansjoer, 2001)

3.2.6. Gejala – gejala COPD

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi akut dimana kondisi
pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya dan bersifat akut. Eksaserbasi akut ini dapat
ditandai dengan gejala yang khas, seperti sesak nafas yang semakin memburuk,batuk produktif dengan
perubahan volume atau purulensi sputum atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti
malaise, kelelahan dan gangguan tidur. Gejala klinis PPOK eksaserbasi akut ini dapat dibagikan menjadi
dua yaitu gejala respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi berupa sesak nafas yang semakin
bertambah berat, peningkatan volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering, dan nafas
yang dangkal dan cepat. Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut
nadi serta gangguan status mental pasien (Riyanto, 2006).

Diagnosis PPOK dipertimbangkan apabila pasien mengalami gejala batuk, sputum yang produktif, sesak
nafas, dan mempunyai riwayat terpajan faktor risiko. Diagnosis memerlukan pemeriksaan spirometri
untuk mendapatkan nilai volume forced expiratory maneuver (FEV 1) dan force vital capacity (FVC). Jika
hasil bagi antara FEV 1 dan FVC kurang dari 0,7 maka terdapat pembatasan aliran udara yang tidak
reversibel sepenuhnya (Fahri, Sutoyo, Yunus, 2009).

Pada orang normal volume forced expiratory maneuver (FEV 1) adalah 28 ml per tahun. Sedangkan
pada pasien PPOK adalah 50 - 80 ml. Menurut National Population Health Study (NPHS), 51%
penderitaPPOK mengeluhkan bahwa sesak nafas yang mereka alami menyebabkan keterbatasan
aktivitas di rumah, kantor dan lingkungan social (Abidin, Yunus, Wiyono, 2009).

3.2.7. Faktor Risiko PPOK atau COPD Terdapat beberapa faktor – faktor yang dapat memicu terjadi PPOK
ini, yaitu:

a. Kebiasaan merokok Pada perokok berat kemungkinan untuk mendapatkan PPOK menjadi lebih tinggi.
WHO menyatakan hampir 75% kasus bronkitis kronik dan emfisema diakibatkan oleh rokok (The
Tobacco Atlas, 2002). Dilaporkan perokok adalah 45% lebih beresiko untuk terkena PPOK dibanding yang
bukan perokok WHO, (2010).

b. Polusi udara Polutan adalah bahan – bahan yang ada di udara yang dapat membahayakan kehidupan
manusia. Polutan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu senyawa-senyawa di dalam udara murni (pure air)
yang kadarnya dia atas normal, molekul - molekul (gas - gas) selain yang terkandung dalam udara murni
tanpa memperhitungkan kadarnya dan partikel.

c. Pekerjaan

Pekerja tambang yang bekerja di lingkungan yang berdebu akan lebih mudah terkena PPOK. Perjalanan
debu yang masuk ke saluran pernapasan dipengaruhi oleh ukuran partikel tersebut. Partikel yang
berukuran 5 μm atau lebih akan mengendap di hidung, nasofaring, trakea dan percabangan bronkus.
Partikel yang berukuran kurang dari 2 μm akan berhenti di bronkiolus respiratorius dan alveolus. Partikel
yang berukuran kurang dari 0,5 μm biasanya tidak sampai mengendap di saluran pernapasan akan tetapi
akan dikeluarkan lagi. Apabila terdapat debu yang masuk ke sakkus alveolus, makrofag yang ada di
dinding alveolus akan memfagositosis debu tersebut. Akan tetapi kemampuan fagositik makrofag
terbatas, sehingga tidak semua debu dapat difagositosis.

Debu yang ada di dalam makrofag sebagian akan di bawa ke bulu getar yang selanjutnya akan
dibatukkan dan sebagian lagi tetap tertinggal di interstisium bersama debu yang tidak sempat di
fagositosis. Debu organik dapat menimbulkan fibrosis sedangkan debu mineral (inorganik) tidak selalu
menimbulkan akibat fibrosis jaringan. Reaksi tersebut dipengaruhi juga oleh jumlah dan lamanya
pemaparan serta kepekaan individu untuk menghadapi rangsangan yang diterima (Amin, 1996).

d. Berbagai faktor lain, yakni :

1) Jenis kelamin, dimana pasien pria lebih banyak daripada wanita.Ini dikarenakan perokok pria lebih
banyak 2 kali lipat daripada wanita (Fisher, 1990 dalam Amin, 1996).

2) Usia, ini berhubungan dengan lamanya seseorang merokok, berapa banyak bungkus rokok yang telah
dihabiskan. Semakin dewasa usia seseorang maka semakin banyak rokok yang telah dihisap (Kamangar,
2010).
3) Infeksi saluran pernapasan. Infeksi saluran pernapasan adalah faktor resiko yang berpotensi untuk
perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Infeksi saluran pernapasan pada anak-anak juga
dipercaya berpotensi sebagai faktor predisposisi perkembanganPPOK. Walaupun infeksi saluran
pernapasan adalah salah satu penyebab penting terjadinya eksaserbasi PPOK, hubungan infeksi saluran
pernapasan dewasa dan anak-anak dengan perkembangan PPOK masih belum bisa dibuktikan (Reilly,
Edwin, Shapiro, 2008).

4) Hiperresponsif saluran pernapasan. Ini bisa menjurus kepada remodelling saluran pernapasan yang
menyebabkan terjadinya lebih banyak obstruksi pada penderita PPOK (Kamangar, 2010).

5) Faktor genetik, dimana terdapat protease inhibitor yang rendah. Inhibitor adalah sekelompok protein
atau peptida yang menunjukkan sifat menghalangi kerja enzim proteolitik. Fungsi inhibitor protease
adalah untuk mengontrol protease yang selalu berperan dalam berbagai proses biologis (Janoff 1985,
Kimbel 1975, Kueppers 1975, Lieberman 1975 dalam Amin, 1996)

3.2.8. Cara Pencegahan COPD

a. Berhenti merokok Berhenti merokok dapat membantu mengelola kondisidan meningkatkan kualitas
hidup. Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia berbahaya dan racun yang ketika dihirup
mempengaruhi paruparu. Seiring waktu, racun ini menyebabkan iritasi paru-paru yang abnormal,
menyebabkan timbulnya PPOK (Sugeng, 2016).

b. Hindari polusi Membatasi ekspos terhadap iritasi paru-paru umum, seperti asap rokok dan polusi
udara lainnya. Debu, serbuk sari, asap, bulu hewan peliharaan dan bahan kimia dari produk pembersih,
cat atau tekstil dapat menyebabkan masalah ini muncul. Bahkan wewangian sintetis yang digunakan
dalam penyegar udara memancarkan bahan kimia beracun yang buruk bagi paru-paru (Sugeng, 2016).

c. Hindari cuaca ekstrim Bahkan sedikit perubahan cuaca atau suhu dapat memicu gejala PPOK, seperti
sesak napas, batuk dan produksi dahak (Sugeng, 2016).

d. Hindari infeksi saluran pernafasan

Karena kerusakan paru-paru, orang yang memiliki PPOK lebih rentan terhadap infeksi bakteri dan virus.
Bakteri berbahaya dan virus menyebabkan gangguan pada lapisan saluran udara, menyebabkan
peradangan dan masalah pernapasan. Mereka dapat menyebabkan komplikasi serius pada orang yang
menderita penyakit paru-paru (Sugeng, 2016).

e. Latihan pernapasan Latihan pernapasan dapat membantu meningkatkan pernapasan pada orang
yang menderita PPOK. Mengerutkan bibir saat melakukan pernapasan dan pernapasan diafragma sangat
membantu dalam hal ini. Mengerucutkan bibir saat pernapasan adalah latihan sederhana untuk
mengontrol sesak napas. Hal ini juga mendorong relaksasi, mengurangi kecemasan dan membuatnya
lebih mudah untuk bernapas normal (Sugeng, 2016).
f. Olahraga teratur Penderita PPOK mungkin merasa sulit untuk olahraga dengan gejala PPOK, namun
latihan fisik secara teratur dapat memperkuat otot-otot untuk membantu bernapas dengan benar dan
meningkatkan kesehatan secara keseluruhan (Sugeng, 2016).

g. Vitamin D Orang dengan PPOK cenderung memiliki kadar rendah vitamin D dalam tubuh mereka.
Padahal vitamin penting ini melindungi tubuh terhadap infeksi virus dan bakteri. Hal ini juga mengurangi
senyawa dalam tubuh yang merusak jaringan dan membantu fungsi paru-paru (Sugeng, 2016)

. h. Akupunktur dan akupresur Akupunktur dan akupresur adalah pengobatan tradisional Cina yang
dapat membantu mengelola gejala PPOK. Dalam akupunktur, jarum yang sangat tipis digunakan pada
titik-titik akupresur yang terletak di sepanjang meridian dalam tubuh Anda. Dalam akupresur, tekanan
diberikan pada titik-titik bukan dengan jarum melainkan jari (Sugeng, 2016)

3.2.9. Pengobatan COPD

Aprilia (2017) mengatakan bahwa ada empat pendekatan utama untuk pengobatan PPOK, tergantung
pada tingkat keparahan penyakit Anda: perubahan gaya hidup, terapi, rehabilitasi paru, obat-obatan dan
yang terakhir, operasi

. a. Mengobati PPOK dengan perubahan gaya hidup Dalam kasus PPOK yang ringan, kebanyakan dokter
akan menganjurkan perubahan gaya hidup. Bahkan dengan kondisi yang sedang atau parah. Perubahan
pertama adalah berhenti merokok.Cobalah untuk menghindari asap rokok dan iritan lainnya di udara
seperti debu, asap pembakaran, dan bahan kimia beracun lainnya. Pastikan udara yang dihirup bersih
dan bebas dari pemicu PPOK (Aprilia, 2017). Perubahan kedua adalah perihal olahraga. Tentunya
penderita PPOK dianjurkan oleh dokter untuk menghindari atau membatasi olahraga karena tidak dapat
bernapas dengan sangat baik dengan PPOK. Penderita memang harus membatasi jumlah olahraga yang
dilakukan, tetapi tidak boleh berhenti berolahraga sepenuhnya.

Olahraga dapat memperkuat diafragma (otot di antara paru-paru dan perut yang membantu
bernapas). Konsultasikan pada dokter mengenai aktivitas fisik yang tepat bagi kesehatan penderita
(Aprilia, 2017). Perubahan ketiga adalah perihal diet. Mungkin penderita merasa kesulitan untuk
menelan makanan keras, atau kelelahan bisa membuat makan menjadi sulit. Penderita dapat
mendapatkan nutrisi dengan makan dalam porsi lebih kecil dan menggunakan vitamin dan suplemen
mineral. Beristirahat sebelum makan mungkin juga bisa membantu (Aprilia, 2017).

b. Mengobati PPOK dengan terapi PPOK merusak kemampuan penderita untuk bernapas. Terapi oksigen
dapat membuat napas penderita menjadi lebih mudah dan memasok cukup oksigen bagi paru-paru.
Terapi oksigen dapat membantu penderita:

1) Mengurangi gejala PPOK

2) Memasok oksigen bagi darah dan organ lainnya


3) Memudahkan untuk tidur

4) Mencegah gejala dan memperpanjang masa hidup

c. Mengobati PPOK dengan rehabilitasi paru Rehabilitasi paru (rehabilitasi pernapasan) adalah program
khusus bagi para penderita penyakit paru. penderita bisa mempelajari cara untuk mengendalikan
pernapasan melalui olahraga, nutrisi dan pikiran positif (Aprilia, 2017).

d. Mengobati PPOK dengan obat-obatan Berbagai jenis obat-obatan bisa digunakan untuk mengobati
gejala PPOK (Aprilia, 2017):

1) Bronkodilator

Bronkodilator adalah obat untuk membuka saluran bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru dari
jalan napas). Inhaler atau nebulizer dapat digunakan dengan obat ini. Jika tidak tahu cara untuk
menggunakan perangkat ini, berikut panduan carapenggunaan inhaler dan cara penggunaan nebulizer.
Perangkat ini akan menghantarkan obat secara langsung ke paru-paru dan jalan napas.Berikut dua kelas
bronkodilator: β-agonis dan antikolinergik (Aprilia, 2017).

a) β-agonis bisa berbentuk kerja cepat (misalnya albuterol) atau kerja lambat (misalnya salmeterol). β-
agonis kerja cepat sering disebut sebagai “inhaler penyelamat” karena dapat digunakan untuk
memperbaiki pernapasan dengan cepat saat terjadi flareup PPOK. β-agonis kerja lambat, yang
digunakan dua kali sehari, merupakan bagian dari terapi pemeliharaan (Aprilia, 2017).

b) Obat-obatan antikolinergik, seperti Atrovent, bekerja dengan memblokir bahan kimia acetylcholine,
yang menyebabkan penyempitan saluran napas. Penderita dapat menggunakan obat ini setiap 6 jam
(Aprilia, 2017).

2)Kortikosteroid

Kortikosteroid, seperti prednisone, adalah obat yang terkenal untuk mengurangi peradangan di paru-
paru yang disebabkan oleh infeksi atau iritan seperti asap rokok, suhu udara yang ekstrem, atau asap
yang berbahaya. Kortikosteroid dapat digunakan dalam inhaler, nebulizer, tablet, atau injeksi (Aprilia,
2017)

3)Antibiotik dan vaksin

Antibiotik digunakan untuk mencegah infeksi PPOK. Terkena infeksi saat menderita PPOK bisa membuat
bernapas, yang awalnya sudah merupakan pekerjaan berat, menjadi lebih sulit. Antibiotik hanya bekerja
pada bakteri dan tidak pada virus. Untuk mencegah infeksi virus, penderita harus menjalankan vaksinasi
untuk penyakit seperti flu atau pneumonia.Berhati-hatilah terhadap efek antibiotik pada kesehatan.
Penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat menyebabkan resistensi antibiotik. Penderita hanya boleh
menggunakan antibiotik jika dibutuhkan
4) Obat yang membantu berhenti merokok Jika penderita kesulitan untuk berhenti, penderita dapat
menggunakan obat untuk berhenti merokok. Obat-obatan ini bertujuan untuk menggantikan nikotin
dalam batang rokok dengan bahan kimia lain yang tidak begitu berbahaya bagi tubuh. Pengobatan
pengganti nikotin bisa tersedia dalam bentuk permen karet, patch, dan bahkan inhaler.Dalam beberapa
kasus, antidepresan dapat membantu pasien berhenti merokok, tetapi harus menanyakan pada dokter
tentang efek samping sebelum menggunakannya. Dokter mungkin juga akan memberikan tips untuk
berhenti merokok, seperti mengunyah permen karet, atau memperkenalkan kelompok rehabilitasi
(Aprilia, 2017).

5) Anxiolitik (obat anti-kecemasan) PPOK adalah penyakit kronis. Seiring perkembangannya, penderita
bisa mengalami kecemasan atau depresi akibat gejalanya. Obatobatan untuk mengatasi kecemasan
seperti diazepam (Valium) dan alprazolam (Xanax) telah terbukti menenangkan pasien pada stadium
akhir dan terminal PPOK, sehingga menghasilkan peningkatan kualitas hidup (Aprilia, 2017).

6) Opioid Opioid, disebut juga obat-obatan narkotik atau anti nyeri. Obatobatan ini memiliki kegunaan
lain yaitu mengurangi kebutuhan oksigen (atau “lapar udara”) dengan memblokir sinyal dari tubuh ke
otak. Opioid sering diberikan hanya untuk PPOK tingkat lanjut karena bisa jadi adiktif.Opioid paling
sering diberikan dalam bentuk cairan dan diserap melalui selaput di mulut

e. Mengobati PPOK dengan operasi Beberapa kasus PPOK bisa memanfaatkan operasi.

Tujuan pengobatan dengan operasi adalah untuk membantu paru-paru bekerja dengan lebih baik.
Secara umum ada tiga jenis operasi:

1) Bullectomy
Jika mengalami kerusakan, paru-paru bisa meninggalkan kantung udara di area dada. Kantung
udara ini disebut bulla. Prosedur untuk mengangkat kantung udara ini disebut bullectomy. Operasi
ini dapat membuat paru-paru berfungsi dengan lebih baik (Aprilia, 2017).
2) Operasi
pengurangan volume paru (LVRS) Sesuai namanya, prosedur ini mengurangi ukuran paru-paru
dengan mengangkat bagian yang rusak. Operasi ini mengandung banyak risiko dan tidak selalu
efektif. Meskipun begitu, pada beberapa pasien, operasi ini dapat meningkatkan pernapasan dan
kualitas hidup (Aprilia, 2017).
3) Transplantasi paru
Dalam PPOK yang parah, mungkin membutuhkan transplantasi paru untuk dapat bernapas dan
hidup. Operasi ini mengandung banyak risiko. Penderita bisa terkena infeksi. Tubuh bisa menolak
paru yang baru. Kedua risiko tersebut bisa jadi fatal. Ketika berhasil, operasi ini dapat meningkatkan
fungsi paru dan kualitas hidup (Aprilia, 2017).
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

1 Kesimpulan

1. Pengkajian terhadap masalah ISPA telah dilakukan secara komperhensif dan diperoleh hasil yaitu
terdapat keluhan utama batuk, pilek, susah mengeluarkan sekret, disertai demam dan malas makan,
keadaan umum sedang, kesadaran composmentis, tanda-tanda vital: pernapasan: 42 x/menit, nadi: 106
x/menit, suhu: 37,8oC, berat badan: 24 kg.

2. Diagnosa yang dimunculkan pada An. D adalah ketidakefektigan bersihan jalan nafas berhubungan
dengan penumpukan sekret di bronkus ditandai dengan gejala seperti batuk, sesak nafas, RR 42x/menit,
adanya pernafasan cuping hidung retraksi dada, dan suara nafas ronki. Diagnosa kedua
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia ditandai
dengan orang tua klien mengatakan anaknya batuk, pilek disertai demam sejak 3 hari yang lalu dan
malas makan selama dirumah sakit, keadaan umum sedang, kesadaran compomentis, tanda-tanda vital:
pernapasan: 42 x/menit, nadi: 106 x/menit, suhu: 37,8oC, berat badan 24 kg.

3. Perencanaan yang disusun untuk mengatasi masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas dengan
memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi, memberikan latihan teknik batuk efektif dan
cupping / fisioterapi dada, memonitor respirasi dan beeeerkolaborasi dalam pemberian terapi sesuai
program. Sedangkan diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan
memberikan yaitu terapi pemberian makan dalam porsi kecil tapi sering.

4. Implementasi keperawatan yang dilakukan pada An. D selama 3 hari. Implementasi sesuai dengan
intervensi, sebagian besar rencana tindakan keperawatan dapat dilaksanakan pada implementasi
keperawatan.

5. Hasil evaluasi keperawatan dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas, catatan perkembangan
klien mengalami kemajuan yang signifikan, serta menunjukkan kemajuan yang baik dibuktikan oleh
keadaan umum klien baik, tidak batuk hidung bersih, tidak sesak, suara nafas vesikuler, tidak ada tarikan
dinding dada dan TTV dalam batas normal. Masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh pada An. D sudah 42 dapat teratasi pada hari ketiga dan intervensi dihentikan.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan satu kelompok penyakit paru yang
mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten dari jalan nafas di dalam paru, yang termasuk
dalam kelompok ini ialah: bronkitis menahun, empisemia menahun, asma terutama yang menahun, dan
bronkiekstasi (Murwani, 2008). Faktor - faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi
Kronik(PPOK) adalah : kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu,asap,dan gas - gas kimiawi akibat
kerja, riwayat infeksi saluran nafas.

5.2 Saran

Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan ISPA, penulis memberikan usulan
dan masukan yang positif khususnya dibidang kesehatan antara lain:

1. Bagi institusi pelayanan kesehatan Hal ini diharapkan Puskesmas dapat memberikan pelayanan
kesehatan dan mempertahankan hubungan kerja sama antar tim kesehatan maupun klien. sehingga
dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang optimal pada umumnya dan pasien
ISPA khususnya, diharapkan pelayanan kesehatan dapat menyediakan fasilitas serta sarana dan
prasarana yang mendukung kesembuhan pasien.

2. Bagi tenaga kesehatan khususnya perawat Diharapkan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan
lainnya dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien agar lebih maksimal, khususnya pada pasien
dengan ISPA. Perawat diharapkan dapat memberikan pelayanan profesonal dan komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA

Syahrani. (2012). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Penatalaksanaan ISPA Terhadap


Pengetahuan Dan Keterlampiran Ibu Merawat Balita ISPA Dirumah. Diunduh dari
Http://Ejournal,Stikestelogorejo.ac.id./index.php/ Simonl, et al. (2015).

“Lecture Notes: Pediatrika”, Jakarta: Erlangga. Tamsuri. (2016). Klien Gangguan Pernafasan. Jakarta :
EGC Tarwoto, dkk. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta: Trans Info
Medikal.

Aprilia. 2017. Berbagai Pilihan Pengobatan untuk Mengatasi Penyakit Paru Obstruktif Kronis. [online].
Termuat dalam: https://hellosehat.com/pusatkesehatan/ppok/pengobatan-penyakit-paru-obstruktif-
kronis-ppok/. Diakses pada tanggal 24 September 2017. Dharmage. 2009.

Risk Factor of Acute Lower Tract Infection in Children Under Five Years of Age. Jakarta: Medical Public
Health. Depkes RI. 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI. Depkes RI. 2005. Pharmacetical Care Untuk Penyakit Saluran
Pernafasan.Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Anda mungkin juga menyukai