Anda di halaman 1dari 27

BAB I

LATAR BELAKANG

A. PENDAHULUAN

Penyakit saluran pernapasan merupakan salah satu masalah kesehatan yang ada di Negara

maju dan berkembang. Hal ini karena tingginya angka kesakitan dan kematian akibat ISPA pada

anak balita. Menurut laporan WHO, angka kesakitan akibat infeksi saluran pernapasan akut

mencapai 8,2% kunjungan kesehatan akibat infeksi saluran pernapasan akut dilaporkan sebanyak

20% di Negara berkembang (WHO, 2014).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi saluran pernapasan yang

disebabkan oleh virus dan bakteri. Komplikasi ISPA yang berat mengenai jaringan paru dapat

menyebabkan terjadinya pneumonia (Balitbangkes Kemenkes RI, 2013)

Rencana pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010 adalah pembangunan

kesehatan masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam

lingkungan dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan

kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi

tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia (Dep Kes, 2002).

Untuk dapat mewujudkan hal tersebut diatas telah disusun pokok-pokok Program

pembangunan Kesehatan yang salah satunya adalah program penyakit menular, dan imunisasi

pelaksanaan program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernapasan akut adalah bagian dari

pembangunan kesehatan dan merupakan upaya yang mendukung peningkatan kualitas sumber

daya manusia serta merupakan bagian dari upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit

menular.
Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu gizi yang kurang, status imunisasi yang kurang lengkap, tidak

mendapatkan ASI yang memadai, defisiensi vitamin A, kepadatan tempat tinggal, polusi akibat

asap dapur dan orang tua perokok didalam rumah (DepKes, 2013).

Menurut DepKes RI (1993) anggota keluarga sangat penting mengetahui, dan harus

terampil menangani anak dengan ISPA termasuk perawatan di rumah berupa pemberian makan,

cairan, pemberian obat pelega dan pereda batuk, melanjutkan pemberian ASI, membersihkan

hidung dari ingus, dan mengobati demam. Penanganan ISPA tingkat keluarga atau rumah tangga

secara keseluruhannya dapat digolongkan menjadi tiga kategori yaitu perawatan penunjang oleh

ibu balita, tindakan segera dan pengamatan tentang perkembangan penyakit balita, dan pencarian

pertolongan (care seeking) pada pelayanan kesehatan. Dengan pengetahuan yang dimiliki

keluarga, diharapkan dapat membantu menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta

dampak pneumonia pada anak balita. Karena dari hasil penelitian yang dilakukan Joheston dkk

di Inggris ditemukan adanya korelasi antara penurunan paru dan produktivitas pada masa dewasa

dengan kejadian pneumonia pada masa balita. (Depkes, 1993).

Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016, pneumonia merupakan penyebab

kematian pada bayi mencapai 16%. Kategori populasi yang rentan terserang pneumonia yaitu

anak usia kurang dari 2 tahun, usia lebih dari 65 tahun, serta seseorang yang memiliki masalah

kesehatan (malnutrisi dan gangguan imunologi). Angka kematian akibat pneumonia lebih tinggi

pada kelompok umur 1-4 tahun sebesar 0,13% dibandingkan pada kelompok bayi yakni sebesar

0,06%. Salah satu provinsi yang memiliki kejadian kasus ISPA yang cukup tinggi terdapat di

Provinsi Jawa Tengah sebesar 3,61%. Angka kejadian ini lebih tinggi dibandingkan dengan
kejadian di provinsi lain seperti Bali sebesar 2,05%,Lampung sebesar 2,23 dan Riau sebesar

2,67% (Kementerian Kesehatan RI,2017).

Dan berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Maluku Tengah tahun 2016 pada

Puskesmas Masohi untuk kasus penyakit ISPA pada balita berjumlah 292 kasus, pada tahun

2017 berjumlah 296, dan pada tahun 2018 berjumlah 271. Berdasarakan data Dinas Kabupaten

Maluku Tengah.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dirumuskan rumusan masalah

dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya

penyakit ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Masohi 2019.

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Menganalisis pengetahuan ibu, sikap dan paparan merokok terhadap kejadian ISPA

pada wilayah kerja Puskemas Maohi tahun 2019.

2. Tujuan Khusus

a. Mendiskripsikan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Masohi.

b. Menganalisis faktor pengetahuan Ibu tentang penyakit ISPA diwilayah kerja

Puskesmas Masohi.

c. Menganalisis Sikap Ibu tentang penyakit ISPA pada balita di wilayah kerja

Puskesmas Masohi.

d. Menganalisis faktor paparan merokok dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah

kerja Puskesmas Masohi.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Ilmiah

Sebagai sumbangan pemikiran ilmiah bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi (IPTEK) dan diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan

pembaca.

2. Manfaat Institusi

Sebagai bahan informasi dan referensi serta acuan untuk pengembangan progam

dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA kedepan, sehingga dapat

menurunkan angka kejadian penyakit ISPA di wilayah kerja Puskesmas Masohi.

3. Manfaat Praktis

Sebagai pembelajaran juga pengalaman dalam melakukan penelitian yang terkait

dengan kesehatan masyarakat khususnya dalam bidang epidemologi dan menjadi

media pengembangan kompetensi diri sesuai dengan ilmu yang dipeoleh selama

perkuliahan dalam meneliti masalah kesehatan masyarakat.

4. Manfaat bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi yang dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat dalam menjaga dan meningkatkan kesehatan serta

kesadaran terhadap penyakit ISPA pada balita sehingga dapat melakukan pencegahan

dini.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Penyakit ISPA

1. Pengertian ISPA

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua, ISPA atas dan bawah

menurut Nelson (2002: 1456-1483), Infeksi saluran pernapasan atas adalah infeksi yang

disebabkan oleh virus dan bakteri termasuk nasofaringitis atau common cold, faringitis akut,

uvulitis akut, rhinitis, nasofaringitis kronis, sinusitis. Sedangkan, infeksi saluran pernapasan akut

bawah merupakan infeksi yang telah didahului oleh infeksi saluran atas yang disebabkan oleh

infeksi bakteri sekunder, yang termasuk dalam penggolongan ini adalah bronkhitis akut,

bronkhitis kronis, bronkiolitis dan pneumonia aspirasi.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang

salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksanya

(sinus, rongga telinga tengah, pleura)(Kemenkes, 2011).

2. Etiologi ISPA

Infeksi saluran pernafasan akut merupakan kelompok penyakit yang komplek dan

heterogen, yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih jenis

virus, bakteri, riketsia dan jamur. Virus penyebab ISPA antara lain golongan mikrovirus

(termasuk di dalamnya virus influenza, virus pra-influensa dan virus campak), dan adenovirus.

Bakteri penyebab ISPA misalnya: streptokokus hemolitikus, stafilokokus, pneumokokus,

hemofils influenza, bordetella pertusis dan karinebakterium diffteria. Bakteri tersebut di udara
bebas akan masuk dan menempel pada saluran pernafasan bagian atas yaitu tenggorokan dan

hidung. Biasanya bakteri tersebut menyerang anak-anak yang kekebalan tubuhnya lemah.

Golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus (termasuk di dalamnya

virus para-influenza, virus influenza, dan virus campak) dan adenovirus. Virus para-influenza

merupakan penyebab terbesar dari sindroma batuk rejan, bronkiolitis dan penyakit demam

saluran nafas bagian atas. Untuk virus influenza bukan penyebab terbesar terjadinya sidroma

saluran pernafasan kecuali hanya epidemi-epidemi saja. Pada bayi dan anak-anak, virus

influenza merupakan penyebab terjadinya lebih banyak penyakit saluran nafas bagian atas dari

pada saluran nafas bagian bawah.

Jumlah penderita infeksi pernapasan akut sebagian besar terjadi pada anak. Infeksi

pernapasan akut mempengaruhi umur anak, musim, kondisi tempat tinggal, dan masalah

kesehatan yang ada ( R.Haryono-Dwi Rahmawati H, 2012).

3. Tanda dan gejala ISPA

Tanda dan gejala penyakit infeksi saluran pernafasan dapat berupa batuk, kesulitan

bernafas, sakit tenggorokan, pilek, demam dan sakit kepala. Sebagian besar dari gejala saluran

pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk, kesulitan bernapas, sakit tenggorokan, pilek,

demam dan sakit kepala tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik. Namun sebagian anak

yang menderita radang paru (pneumonia), bila infeksi paru ini tidak diobati dengan anti biotik

akan menyebabkan kematian.

4. Patofisologi ISPA

Mengklasifikasikan penyakit Infeksi saluran Pernapasan Akut (ISPA) atas infeksi saluran

pernapasan akut bagian atas dan infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah, yaitu :

1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Bagian Atas


Adalah infeksi-infeksi yang terutama mengenai struktur-struktur saluran nafas di

sebelah atas laring. Kebanyakan penyakit saluran nafas mengenai bagian atas dan bawah secara

bersama-sama atau berurutan, tetapi beberapa di antaranya adalah Nasofaringitis akut (salesma),

Faringitis akut (termasuk Tonsilitis dan Faringotositilitis) dan rhinitis (Fuad, 2008).

2. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Bagian Bawah

Adalah infeksi-infeksi yang terutama mengenai struktur-struktur saluran nafas bagian

bawah mulai dari laring sampai dengan alveoli. Penyakit-penyakit yang tergolong Infeksi

Saluran Pernapasan Akut (ISPA) bagian bawah : Laringitis, Asma Bronchial, Bronchitis akut

maupun kronis, Broncho Pneumonia atau Pneumonia (Suatu peradangan tidak saja pada jaringan

paru tetapi juga pada brokioli (Fuad,2008).

5. Berdasarkan kelompok umur ISPA

1. Kelompok Pada Anak Umur kurang dari 2 Bulan, Dibagi Atas :

a. Pneumonia berat

Pada kelompok umur ini gambaran klinis pneumonia, sepsis dan meningitis dapat disertai

gejala klinis pernapasan yang tidak spesifik untuk masing-masing infeksi, maka gejala klinis

yang tampak dapat saja diduga salah satu dari tiga infeksi serius tersebut, yaitu berhenti

menyusu, kejang, rasa kantuk yang tidak wajar atau rasa sulit bangun, stidor pada anak yang

tenang, mengi (wheezing), demam (38°C), atau suhu tubuh yang rendah (dibawah 35,5 °C),

pernapasan cepat, penarikan dinding dada, sianosis sentral, serangan apnea, distensi abdomen

dan abdomen tegang.

b. Bukan penomunia

jika bernafas dengan frekuensi kurang dari 60 kali permenit dan tidak terdapat tanda

pneumonia.
A. Kelompok pada anak 2 bulan hingga 5 tahun bagi atas :

a. Penumonia berat

Batuk atau kesulitan bernapas, tarik dinding dada, tanpa disertai sianosis dan tidak

dapat diminum.

b. Penumonia

Batuk atau kesulitan bernafas tanpa pernapasan cepat tanpa disertai penarikan dinding

dada.

c. Bukan pneumonia

Batuk atau kesulitan bernapas tanpa pernapasan cepat atau penarikan dinding dada

(WHO, 2002).

6. Pencegahan ISPA

1. Berhati-hati dalam mencuci tangan dengan melakukannya ketika merawat anak yang

terinfeksi pernapasan.

2. Anak dan keluarga diajarkan untuk menggunakan tisu atau tangannya untuk menutup

hidung dan mulutnya ketika batuk/bersin.

3. Anak yang sudah terinfeksi pernafasan sebaiknya tidak berbagi cangkir minuman, baju

cuci atau handuk.

4. Peringatan perawat : untuk mencegah kontaminasi oleh virus pernapasan, mencuci tangan

dan jangan menyentuh mata atau hidungmu.

5. Mencegah anak berhubungan terlalu dekat dengan saudaranya atau anggota keluarga

lainnya yang sedang sakit ISPA. Tindakan semi isolasi mungkin dapat dilakukan seperti

anak yang sehat tidur terpisah dengan dengan anggota keluarga lainyang sedang sakit

ISPA.
6. Upayakan ventilasi yang cukup dalam ruangan / rumah.

7. Hindari anak dari paparan asap rokok ( R.Hartono-Dwi Rahmawati H, 2012).

6.Penatalaksanaan ISPA

Kriteria yang digunakan untuk pola tatalaksana panderita ISPA pada anak adalah anak

dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas yaitu:

1. Pemeriksaan

Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendifikasi gejala yang ada pada penderita.

2. Penentuan ada tidaknya tanda bahaya

Tanda bahaya, pada bayi umur kurang dari 2 bulan adalah tidak bias minum, kejang,

kesadaran menurun, stidor, wheezing, demam atau dingin. Tanda bahaya pada umur 2

bulan sampai < 5 tahun adalah tidak bias minum, kejang, keasadaran menurun, stidor dan

gizi buruk.

3. Tindakan dan pengobatan

Pada umur penderita < 2 bulan yang terdiagnosa pneumonia berat, harus segera

dibawah ke sarana rujukan dan diberi antibiotic 1 dosis

Pada umur penderita 2 bulan sampai < 5 tahun yang terdiagnosa pneumonia dapat

dilakukan perawatan rumah, pemberian antibiotic selama 5 hari, pengontrolan dalam 2

hari atau lebih cepat bila penderita memburuk, serta pengobatan demam yang dan ada.

Penderita di rumah untuk penderita pneumonia umur 2 bulan sampai kurang 5 tahun

meluputi :

1. Pemberian makanan yang cukup selama sakit dan menambah jumlahnya setelah

sembuh.
2. Pemberian cairan dengan minum lebih banyak dan meningkatkan pemberian asi

3. Pemberian obat pereda batuk dengan ramuan, yang aman dan sederhana penderita

umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun yang telah terdiagnosa pneumonia berat

segera dikirim ke rujukan diberi antibiotic 1dosis serta analgentik sebagai penurun

demam dan wheezing yang ada.

Penderita yang di beri antibiotic, pemeriksaan harus kembali dilakukan 2 hari jika keadaan

penderita membaik, pemberian antibiotic dapat diteruskan jika keadaan penderita tidak berubah,

antibiotic juga harus diganti atau penderita dikirim ke sarana rujukan.

Obat yang digunakan untuk penderita pneumonia adalah tablet kotrimakasol 480 mg,

kotrimakasol 120 mg, tablet parasetamol 500 mg dan tablet parasetamol 100 mg (R.Hartono-Dwi

Rahmawati H,2002).

8. Tinjauan umum tentang balita

Balita yaitu anak yang berusia di bawah 5 tahun merupakan generasi yang perlu mendapat

perhatian, karena balita merupakan generasi penerus dan modal dasar untuk kelangsungan hidup

bangsa, balita amat peka terhadap penyakit, tingkat kematian balita masih tinggi. Balita

diharapkan tumbuh dan berkembang dalam keadaan sehat jasmani, sosial dan bukan hanya bebas

dari penyakit dan kelemahan. Masalah kesehatan balita merupakan masalah nasional, mengingat

angka kesakitan dan angka kematian pada balita masih cukup tinggi.Salah satu faktor penyebab

kematian maupun yang berperan dalam proses tumbuh kembang balita yaitu ISPA, penyakit

yang dapat dicegah dengan imunisasi. Untuk itu kegiatan yang dilakukan terhadap balita antara

pemeriksaan perkembangan dan pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan perkembangan kecerdasan,


pemeriksaan penyakit infeksi, imunisasi, perbaikan gizi dan pendidikan kesehatan pada orang

tua.

B.Tinjauan Umum Tentang variabel Penelitian

1. Pengetahuan

a. Definisi Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan adalah merupakan suatu hasil dari tahu

sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui indera penglihatan dan pendengaran.

Apabila suatu tindakan didasari oleh suatu pengetahuan maka perilaku tersebut akan bersifat

langgeng, sebaliknya apabila tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan

berlangsung lama. Pengetahuan merupakan desain yang sangat penting dalam membentuk

tindakan seseorang.

Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang

berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingakat pengetahuan yakni :

1. Tahu (know) \

Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling tendah, yang diberikan sebagai

mengingat suatu materi yang telah di pelajari sebelumnya dengan cara menyebutkan,

menguraikan, mendefinisikan menyatakan dan sebagainya.

2. Memahami (comprehevion)

Memahami di artikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui dan dapat mengintropeksikan dengan benar pula.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila seseorang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat

menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang
lain. Misalnya seseorang yang telah paham tentang proses perencanaan ia harus dapat

membuat perencanaan progam kesehatan ditempat dia berkeja.

4. Analisis (anakysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam

komponen-komponen tetapi masih dalam struktur orgnanisasi dan masih ada kaitannya

satu sama lain.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukan suatu kemampuan untuk meletakan atau menghubungkan bagian-

bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifaikasi atau penilaian

terhadap suatu materi atau objek berdasarkan criteria sendiri atau menggunakan criteria

yang sudah ada.

Beberapa factor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu :

1. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di

dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup, pendidikan mempengaruhi

proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut

memberikan informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk

mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media masa semakin banyak

informasi yang masuk semakin pula pengetahuan yang didapatkan tentang kesehatan.
2. Media informasi

Media informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal

dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan

perubahan atau peningkatan pengetahuan mempunyai pengaruh besar terhadap

pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Dalam menyampaikan informasi sebagai

tugas pokoknya, media masa membawa pada pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat

mempengaruhi opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal

memberikan landasan kognitif baru bagi membentuknya pengetahuan terhadap hal

tersebut.

3. Social budaya dan ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran apakah

yang dilakukan baik atau buruk dengan demikian seseorang akan bertambah

pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan

menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga

status social ekonomi ini akan memperngaruhi pengetahuan seseorang.

4. Lingkugan

Lingkungan merupakan segala sesuatu yang berada disekitar individu, baik lingkungan

fisik, biologis, maupun social. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya

pengetahuan kedalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi

karna adanya interaksi timbale baik maupun tidak yang akan direspon sebagai

pengetahuan oleh setiap individu.

5. Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh

kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh

dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar selama

bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan

manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah

nyata dalam bidang kerjanya.

6. Usia

Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola piker seseorang. Semakin bertambah usia

akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya. Sehingga pengetahuan

yang diperolehnya semakin membaik.

a. Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang ISPA

Pengetahuan merupakan suatu proses belajar dengan menggunakan panca indera yang

dilakukan oleh seseorang terhadap suatu objek terntentu untuk dapat menghasilkan pengetahuan

atau keterampilan (Wilmar Tambunan, 1988 dalam buku Hidayat, 2008). Faktor-faktor yang

mempengaruhi pengetahuan adalah umur, pendidikan, inteligasia, sumber informasi, status social

ekonomi serta pengalaman, pengetahuan juga bisa didapatkan melalui pengalaman pribadi

manusia yang terjadi berulangkali, jika seseorang memiliki pengalaman yang lebih maka

menghasilkan pengetahuan yang lebih. Hasil penelitian pada ibu yang berpengetahuan yang baik

didapatkan karena ibu sudah berpengalaman dalam mengasuh anaknya ( mempunyai anak/balita

lebih dari 1) serta ibu (46,67% berusia 26-30 tahun). Hal ini juga menunjukan bahwa usia ibu

mempengaruhi dalam memperoleh informasi yang lebih banyak secara langsung maupun tidak

langsung.
B. Sikap

a. Definsi sikap

Sikap merupakan factor penentu perilaku, karena sikap berhubungan dengan prepesi,

kepribadian dan motivasi. Sikap atau antitude adalah kesiapan-kesiapan mental yang dipelajari

dan diorganisasi melalaui pengalaman dan memepunyai pengaruh terntentu atas tanggap

seseorang terhadap orang lain, objek dan situasi yang berhubungan dengannya.

Menrurut Azwar S (2012) struktur sikap dibedakan atas 3 komponen yang saling

menunjuang yaitu :

1. Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercaya oleh individu pemilik

sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotype yang dimiliki individu mengenai

sesuatu yang dapat disamarkan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut

masalah isu problem yang kontrovesial.

2. Komponen alfektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek

emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan

merupakan aspek paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah

mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki

seseorang terhadap sesuatu.

3. Komponen konatif merupakan aspek kecendrungan berperilaku tertentu sesuai dengan

sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan berisi terdensi aau kecendrungan untuk

bertindak/bereaksi terhadap sesuatu dengan cara tertentu dan berkaitan dengan objek

yang dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah

dicerminkan dalm bentuk terdensi perilaku.


b. Ciri-ciri sikap

Ciri-ciri sikap menurut Wawan dan Dewi (2011) adalah :

1. sikap bukan dibawah sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang

pengembangan itu dalam hubungan dengan objeknya. Sifat ini yang membedakan dengan

sifatmotif-motif biogenesiss seperti lapar, haus, kebutuhan akan istirahat.

2. Sikap dapat berubah-ubah karena sikap dapat dipelajari dan sikap dapat berubah pada

orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang

mempermudah sikap orang itu.

3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap

suatu objek dengan kata lain sikap itu terbentuk dipelajari atau berubah senantiasa

berkenan dengan suatu objek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas.

4. Sikap mempunyai segi-segi motifasi dan segi-segi perasaan, sifat alamiah yang

membedakan sikap atau kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang.

c. Tingkatan sikap

Menurut notoatmodjo (2014), sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu :

1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperatihkan stimulus yang

diberikan (objek).

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan tugas yang diberikan adalah suatu

indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau tugas yang

diberikan. Terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang tersebut

menerima ide itu.


3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap

suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tinggi.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah

mempunyai sikap yang paling tinggi.

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap

Menurut Azwar (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi sikap terhadap objek sikap

antara lain :

1. Pengalaman pribadi

Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah

meningkatkan kesan yang kuat. Karena itu sikap akan lebih mudah terbentuk apabila

pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan factor emosional.

2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap konformis atau searah dengan

sikap orang yang dianggap penting. Kecendrungan ini antara lain dimotifasi oleh

keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.

3. Pengaruh kebudayaan

Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap

berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya karena

kebudayaannya yang memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat

asuhannya.
e. Cara mengukur sikap

Salah satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap dan perilaku manusia adalah

masalah pengukapan (assessment) dan pengukuran (measurement) sikap (Azwar, 2012).

4. Perilaku

Perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat di amati

langsung, maupun yang tidak dapat diamati langsung oleh pihak luar. (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Lawrence green (1980) perilaku kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:

1. Faktor predisposisi

Termasuk didalamnya adalah pengetahuan, sikap, kepercayaan keyakinan dan nilai-nilai.

Faktor-faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku pada

diri seseorang atau masyarakat adalah pengetahuan dan sikap seseorang atau masyarakat

adalah pengetahuan dan sikap seseorang atau masyarakat tersebut terhadap apa yang akan

dilakukan misalnya dengan pengetahuan yang dimiliki ibu tentang ISPA maka dia akan

yang harus dilakukan untuk mencegah penyakit tersebut.

2. Faktor Pemungkin

Faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku adalah fasilitas sarana atau

prasarana yang mendukung atau yang menfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau

masyarakat misalnya, lingkungan, udara yang bersih, untuk pengobatan ISPA pada anak

diperlukan tenaga kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, dan

rumah sakit.

3. Faktor penguat
Pengetahuan, sikap, dan fasilitas yang tersedia kadang-kadang belum menjamin

terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Dengan adanya pengalaman pribadi serta

adanya pengaruh dari luar seperti teman maka akan dapat memperkuat terjadinya

perilaku.

Perilaku pencegahan adalah segala kegiatan yang dilakukan baik langsung maupun tidak

langsung untuk mencegah suatu masalah kesehatan atau penyakit (Levin dan Clark 2007).

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2007) pencegahan adalah proses, cara, tindakan

mencegah merupakan tindakan pencegahan indentik dengan perilaku.

Tahapan-tahapan pencegahan penyakit ada tiga yaitu :

1. Pencegahan Primer

Segala upaya dan kegiatan untuk menghindari terjadinya sakit atau kejadian yang

mengakibatkan seseorang sakit atau menderita cedera dan cacat (Ranuh, 2008).

2. Pencegahan Sekunder

Suatu kegiatan untuk melakukan pengobatan dini sesuai dengan diagnosis yang tepat

kegiatan ini bertujuan untuk mencegah dan menghentikan perkembangan penyakit agar

tidak di inginkan yaitu sampai meninggal maupun meninggalkan sisa cacat fisik maupun

mental (Ranuh, 2008).

3. Pencegahan Tersier

Membatasi gejala sisa dengan upaya pemulihan seseorang agar dapat hidup mandiri tanpa

bantuan orang lain ( Ranuh, 2008).

C.Kerangka Konsep

Kerangka konsep terdiri dari variabel terkait (dependen) dan variabel bebas (independen).

Variabel terkait terikat sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya penyakit ISPA,
sedangkan variabel bebas terdiri dari pengetahuan, sikap, dan perilaku. Hubungan variabel

tersebut dapat dilihat pada bagian dibawah ini :

Variabel Independen Variabel Dependen

Pengetahuan ibu
Faktor-faktor yang
SSikap orang tua mempengaruhi
tingginya penyakit
ISPA
Perilaku orang tua
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian faktor-faktor yang memperngaruhi

tingginya penyakit ISPA pada wilayah kerja puskesmas Masohi adalah penelitian deskrptif

dengan pendekatan cross sectional. Deskrptif adalah studi yang ditujukan untuk menentukan

jumlah atau frekuensi serta distribusi penyakit disuatu daerah berdasarkan varaibel orang,

tempat, dan waktu. Cross sectional adalah melakukan penelitian dengan cara pendekatan,

observasi, atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat tetentu (Notoatmodjo, 2010).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Masohi, Kabupaten Maluku

tengah.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada sementara antara.

3. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah Pasien penyakit ISPA pada wilayah kerja

Puskesmas Masohi, Kabupaten Maluku Tengah.


b. Sampel

Perhitungan sampel diambil berdasarkan data jumlah pasien penyakit

ISPA di wilayah kerja Puskesmas Masohi, Kabupaten Maluku Tengah. dengan

menggunakan rumus yang dikutip dari Suryono (2011) sebagai berikut :


𝑁
𝑛 = 1+𝑁 (𝑑2 )

Keterangan :

n : Besar sampel

N : Besar populasi

d2 : presisi (5% atau 0,05)


84
𝑛 = 1+84 (0.052 )

84
𝑛 = 1+84 (0.0025)

84
𝑛 = 1+0.21

84
𝑛 = 1.21

𝑛 = 69

Jadi total sampel yang akan diteliti dari hasil perumusan slovin yaitu sebanyak 69

pasien penyakit ISPA.


4. Variabel Penelitian

a. Variabel Independen

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independennya adalah pengetahuan

ibu tentang ISPA, sikap orang tua tentang ISPA dan perilaku merokok dalam hubungan

penyakit ISPA .

b. Variabel Dependen

Dalam hal ini yang dimaksudkan oleh peneliti adalah faktor-faktor yang

mempengaruhi tingginya penyakit ISPA di wilayah kerja Puskesmas Masohi, Kabupaten

Maluku Tengah.

5. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional

berdasarkan karakteristik yang damati, memungkinkan peneliti melakukan penelitian

secara observasi dan pengukuran secara tepat terhadap suatu objek. Definisi operasional

dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 3.1 Definisi Operasional

NO Variabel Definisi Cara ukur Alat Hasil ukur Skala

Operasional ukur

Baik jika
Segala seuatu ≥50%
yang pengetahuan
diketahui responden
1. Pengetahuan (pengetahuan) Menyebarkan kuesioner pengetahuan
orang tua kuesioner penyakit
tentang kepada ISPA
penyakit Ibu Kurang baik
ISPA jika < 50%
pengetahuan
responden
tentang
pengetahuan
penyakit
ISPA

1.Negatif,
jika skor
Tanggapan dibawah
atau sikap Menyebarkan yaitu < 50%
2. Sikap orang tua kuesioner Kuesioner 2. Positif
yang merawat kepada jika skor di
balita yang Orang tua bawah
terkena ≥50%
penyakit
ISPA
resiko yang 1.merokok
terjadi jika
3. Perilaku orang tua Menyebarkan Kuesioner 2.tidak merokok
yang kuesioner
mempunyai kepada orang
kebiasaan tua
merokok

6. Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner berupa daftar pertanyaan yang akan

diberikan kepada responden.

7. Teknik pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan jenis data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan

melalui wawancara langsung dengan responden dengan menggunakan kuisioner. Kiusioner

terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan reabilitas. Validitas menunjukan sejauh mana ukuran

yang diperoleh benar-benar menyatakan hasil pengukuran yang akan diukur. Sedangkan

realibitas merupakan indeks yang menununjukan sejauh mana alat ukur dapat dipercaya atau

dapat diandalkan (Notoatmodjo 2010). Data sekunder penelitian ini adalah data yang didapat dari

Puskesmas Masohi Kabupaten Maluku Tengah.


8. Pengolahan Data

a. Editing (pemeriksaan data)

Upaya untuk melakukan pemeriksaan kembali terhadap kebenaran data yang telah

diperoleh atau dikumpulkan.

b. Coding (pengkodean)

Memberikan pengkodean dalam bentuk angka pada setiap variabel yang diteliti sehingga

dapat mempermudah dalam proses pengolahan data.

c. Entri Data

Data entri merupakan kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan kedalam master

tabel maupun data base komputer, kemudian membuat tabel kontingensi.

d. Tabulating (penyusunan data)

Penyusunan data merupakan pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan mudah

untuk dapat dijumlahkan, disusun dan disajikan secara analisis.

e. Cleaning

Membersihkan data yang merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah

dientri apakah ada kesalahan atau tidak.

9. Analisa Data

Analisa univariat adalah analisa yang menghasilkan tiap variabel dari hasil penelitian,

dan mampu menggambarkan setiap karakteristik dari sampel yang digunakan dalam faktor-

faktor yang mempengaruhi tingginya penyakit ISPA.


DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. Profil kesehatan Indonesia 2001 Menuju Indonesia sehat

2010. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2002:40.

Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan.

Jurnal ilmiah volume 11 no 3, September 2014 tentang Depkes RI 1993.

Kemenkes RI. 2017. Profil Kesehatan Indonesia 2016. Keputusan Menteri kesehatan Republik

Indonesia. Jakarta.

Nelson, Behrmen, Kliegman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 vol 2. Jakarta : EGC,

2000

Departemen Kesehatan RI,“Pengertian Infeksi saluran pernafasan Akut”, 2011.

http://terbaca.com

Rahmawati, dwi & Hartono. (2012). Gangguan pernapasan pada anak ISPA Yogyakarta: Nuha

Medika.

Notoatmodjo, Soekidjo, “Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku”, Renka Cipta, Jakarta, 2007.

Anda mungkin juga menyukai