Anda di halaman 1dari 61

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Undang-Undang kesehatan tahun 2009, Kesehatan adalah keadaan
sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. (UU Kesehatan No 36,
2009).
Hal ini perawat memiliki peran yang sangat penting dalam dunia kesehatan.
Sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang
Keperawatan bahwa Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan
profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang
didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga,
kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit. (UU Keperawatan No 38,
2014). Oleh karena itu, perawat dapat memberikan pelayanan keperawatan di fasilitas
kesehatan dan diluar fasilitas kesehatan seperti LAPAS.
Lembaga permasyarakatan secara umum dapat dikatakan sebagai sebuah
institusi korektif. Hal ini sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai tempat bagi mereka
menjalani hukuman pidana kurungan (selaku narapidana) dalam jangka waktu
tertentu untuk mendapat pembinaan. Diharapkan, setelah selesai menjalani hukuman,
mereka dapat diterima kembali dalam masyarakat dan tidak melakukan lagi tindakan
pidana.
Hukuman di dalam lembaga pemasyarakatan yang dijalankan oleh narapidana
hanya merupakan sebuah reaksi formal yang diberikan oleh negara, yang bertujuan
untuk mendisiplinkan rakyatnya. Dalam hal ini, narapidana hanyalah dibatasi ruang
geraknya dalam kurun waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh pengadilan sesuai
dengan tingkat berat dan seriusnya kejahatan yang dilakukan, sementara itu hak-hak
lainnya sebagai warga negara harus tetap terpenuhi.
Dalam survei tahun 1994, 41% dari narapidana California positif
terjangkit Hepatitis C, termasuk 61% narapidana lakilaki positif terjangkit

HIV, dan 85% narapidana perempuan positif terjangkit HIV. Penelitian lain di
Nova Scotia menemukan bahwa pengguna narkoba jenis suntik cenderung
lebih mudah terinfeksi Hepatitis C, yaitu sekitar 52% di bandingkan dengan
pengguna narkoba non-injkesi yang memiliki tingkat infeksi hanya 3%.
Walaupun undang-undang yang mengatur tentang hak-hak narapidana
telah diberlakukan, namun pada kenyataannya hak-hak narapidana, khususnya
yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan, masih banyak yang
terabaikan. Isu pemenuhan hak narapidana masih menjadi hal yang terabaikan
dari perhatian publik. Hal ini terjadi karena masih adanya anggapan dari
masyarakat bahwa narapidana hanyalah sekelompok manusia yang tidak
berguna, yang keberadaannya hanya akan menyusahkan masyarakat terutama
lingkungan sekitarnya. Sehingga, perlakuan yang tidak manusiawi terhadap
narapidana dianggap sebagai hal yang wajar. Padahal, narapidana juga
merupakan bagian dari masyarakat yang tetap memiliki hak-haknya sebagai
manusia dan warga negara.
Permasalahan kesehatan di lapas merupakan hal yang sangat penting
untuk diperhatikan. Karena kondisi kesehatan yang baik merupakan modal
utama bagi warga binaan untuk mencapai tujuan dari sistem pemasyarakatan,
yakni proses integrasi. Tanpa dimilikinya kondisi kesehatan yang baik, maka
warga binaan juga tidak dapat mengikuti jalannya proses pembinaan dengan
baik.
Terjadinya over kapasitas dalam lapas mengakibatkan hak-hak para
narapidana untuk mendapatkan pelayanan kesehatan berupa tempat tinggal
yang layak serta lingkungan yang sehat menjadi tidak terpenuhi. Sehingga,
masalah penyakit yang muncul bukan hanya penyakit yang dibawa oleh
narapidana dari luar lapas seperti HIV dan TBC, namun juga berbagai
penyakit yang timbul akibat lingkungan yang tidak sehat, asupan gizi yang
kurang, serta masalah kesehatan psikologis narapidana.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami Asuhan Keperawatan Komunitas Kelompok
Binaan di lembaga pemasyarakatan dan masalah-masalah yang terdapat di
dalamnya.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami konsep Lembaga Pemasyarakatan.
b. Mahasiswa mampu memahami permasalahan yang berhubungan dengan
kebutuhan dasar manusia di dalam lembaga pemasyarakatan serta
program pemerintah untuk Kelompok Binaan Lembaga Pemasyarakatan
c. Mahasiswa mampu membuat Asuhan Keperawatan Komnitas pada
kelompok Binaan Lembaga Pemasyarakatan
1.3 Manfaat
Adapun manfaat yang ingin dicapai dengan adanya makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Akademis
Mahasiswa

mampu

menjelaskan

dan

memahami

definisi,

konsep

keperawatan, pelayanan kesehatan, dan asuhan keperawatan pada komunitas


pada kelompok binaan di lembaga pemasyarakatan.
2. Praktis
Makalah ini dapat dijadikan bahan materi selanjutnya tentang konsep
keperawatan, pelayanan kesehatan, dan asuhan keperawatan pada komunitas
pada kelompok binaan di lembaga pemasyarakatan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Lembaga Pemasyarakatan


Lembaga Pemasyarakatan (disingkat Lapas) adalah tempat untuk melakukan
pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. (Pasal 1
Angka 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan). Sebelum dikenal
istilah Lapas di Indonesia, tempat tersebut disebut dengan istilah penjara. Lembaga
pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksanaan Teknis di bawah Direktorat Jendral
Pemasyarakatan

Kementrian

Hukum

dan

Hak

Asasi

Manusia.

Lembaga

Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)


bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksutnya orang tersebut masih berada
dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim
(Daud,2013).
Sistem pemasyarakatan merupakan serangkaian penegak hukum yang
bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki
diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembanguna, dan dapat hidup
secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab (Daud,2013).
2.2 Ciri-ciri Warga Binaan Pemasyarakatan
Warga Binaan Pemasyarakatan terdiri dari:
1. Narapidana
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di
LAPAS.
2. Anak Didik Pemasyarakatan adalah :
a. Anak Didik
b. Anak Pidana
c. Anak Negara
d. Anak Sipil
2.3 Klasifikasi
1. Asas Pelaksanaan Sistem Pembinaan
Menurut pasal 1 ayat 7 UU Nomor. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
dilaksanakan berdasarkan :
a. Pengayoman
b. Persamaan perlakuan dan pengayoman
4

c.
d.
e.
f.
g.

Pendidikan
Pembimbingan
Penghormatan harkat dan martabat manusia
Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderita, dan
Terjaminya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-

orang tertentu. (Pasal 5)


2. Penggolongan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan
penggolongan atas dasar :
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Lama pidana yang dijatuhkan
d. Jenis kejahatan
e. kriteria lainnya sesuai kebutuhan atau perkembangan pembinaan (Pasal
12)
3. Hak Narapidana (Pasal 14)
a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan
b. Mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani
c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran
d. Mendapatkan pelayanan kesehatan , makanan yang layak
e. Menyampaikan keluhan
f. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
g. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hokum, atau orang lainnya
h. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
i. Mendaapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga
j. Mendapatkan pembebasan bersyarat
k. Mendapatkan cuti menjelang bebas, dan
l. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undang
yang berlaku.
2.4 Pertumbuhan dan Perkembangan Fisik Kognitif dan Psikososial di Lembaga
Pemasyarakatan
Jumlah kriminalitas secara kuantitas maupun kualitas semakin meningkat.
Secara kuantitas hampir semua lembaga pemasyarakatan overcapacity. Banyaknya
kasus pembunuhan semakin sadis dilakukan dengan mutilasi; kasus pemerkosaan
pada anak, korbannya semakin muda dan pelakunya dapat dilakukan oleh saudara,
paman, guru, pejabat bahkan ayah kandung sendiri; dan kasus korupsi juga makin
marak melibatkan pejabat.
5

Dari perspektif psikologi penyebab kriminalitas adalah multifaktor, salah


satunya adalah aspek psikologis seseorang yang berinteraksi dengan penyebab
eksternal, seperti kontrol diri kurang dan masalah emosi yang berinteraksi dengan
pengaruh eksternal seperti pengaruh kelompok sebaya yang negatif. Seorang anak
yang pengelolaan emosi dan kontrol dirinya negatif dan adanya pengaruh buruk
teman kelompok dapat menyebabkan anak terlibat tawuran dan berakibat kematian.
Dengan perspektif tersebut, diperlukan rehabilitasi dalam penanganan kriminal.
Lapas adalah muara dari sebuah sistem hukum, tempat pembinaan para pelaku
kriminal yang sudah divonis bersalah oleh peradilan pidana. Fungsi Lapas dalam
kacamata psikologi menjadi lebih dituntut untuk menjalankan fungsi konstruktif yang
menekankan pada upaya menciptakan konstruk perubahan perilaku; fungsi
rehabilitatif yang mengkoreksi/memperbaiki dan memulihkan atas perilaku yang
salah menjadi lebih benar; dan fungsi transformatif yaitu membangun manusia baru
yang kemudian akan siap menjadi bagian masyarakat yang lebih produktif secara
sosial dan tidak mengulang tindak kejahatan. Peran psikologi menjadi lebih urgent
untuk memaksimalkan peran lembaga pemasyarakatan baik dalam tataran keilmuan
maupun praktik profesi psikologi itu sendiri, baik untuk perlakuan terhadap Warga
Binaan Pemasyarakatan (WBP) maupun untuk kesiapan mental para petugas
pemasyarakatan dalam mengemban amanat UU Pemasyarakatan.
Beberapa masalah psikologis yang muncul di lembaga pemasyaratan yang
membutuhkan penanganan psikolog antara lain:
1. Overcapacity

sel

akan

menimbulkan

perasaan

ketersesakan

yang

mempengaruhi proses kognitif dan emosi serta perilaku WBP. Interaksi antara
berbagai perangkat hukum yang ada di Lapas, seperti sistem hukum, prosedur
keamanan dan pengamanan, tata ruang dan orang-orang yang terlibat di
dalamnya baik itu Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), petugas
pemasyarakatan sampai Kepala Lapas dan pengunjung Lapas memproduksi
satu proses psikologis yang kental dengan ketidaknyamanan.

2. Berbagai dimensi sosial, budaya, ekonomi, hukum kriminal, dan politik


berkonfigurasi dan turut berinteraksi menjadi sebuah proses belajar yang
menghasilkan perilaku unik, baik pada WBP maupun petugas. Secara teoritis,
berbagai situasi di Lapas kerap menjadi pencetus terjadinya sebuah proses
keterasingan yang ditandai dengan meningkatnya rasa kesepian, hasrat hidup
yang menurun, hasrat untuk meraih sesuatu namun sulit untuk meraihnya.
Kondisi seperti ini berisiko tidak mampu ditampung dalam jendela toleransi
individu sehingga potensial terjadi keadaan frustrasi dengan respon-respon
yang tidak diharapkan mulai dari meningkatnya agresivitas sampai pada
situasi krisis emosional dan kognitif yang berujung pada keadaan depresif dan
perilaku bunuh diri.Intervensi Krisis merupakan salah satu program yang
sangat dibutuhkan. Bukan hanya sekali dua kali terjadi tindakan bunuh diri
atau pembunuhan pada WBP di dalam Lapas.
3. Pada masing-masing terpidana mati, meskipun memiliki kondisi yaitu
menunggu proses eksekusi yang telah dijadwalkan, ternyata memiliki kondisi
psikologis yang berbeda satu sama lain sehingga membutuhkan pendekatan
dan perlakuan psikologis yang berbeda.
Tujuan pendampingan psikologis adalah mengupayakan kestabilan emosi
masing-masing terpidana dalam menghadapi proses eksekusi agar lebih
mampu menyiapkan diri dengan risiko minimal seperti kemungkinan
terjadinya perilaku agresif ke dalam dirinya sendiri (menyakiti diri hingga
bunuh diri), atau perilaku agresif keluar (menyakiti hingga melukai orang
lain). Memberikan kesempatan pada terpidana untuk menyampaikan apapun
yang dipikirkan dan dirasakan tanpa disalahkan akan menjadi saluran untuk
melepas emosinya, dan teknik-teknik stabilisasi serta beberapa teknik
menemukan insight sangat membantu terpidana dalam menghadapi situasi
yang sangat berat bagi diri dan kehidupannya. Hal tersebut diakui secara
langsung oleh para terpidana yang mendapatkan dampingan psikologis.

Manusia secara individual tidak bisa lepas dari entitas sosialnya. Selalu ada
proses belajar sosial dan pertukaran sosial. Struktur kepribadian individu
berada dalam kondisi sosial psikologis lingkungannya akan membentuk
pengalaman hidup yang dipersepsi secara individual dan mempengaruhi
perilaku. Dengan makin banyaknya warga negara asing yang menjalankan
masa pidananya di Lapas Indonesia, terjadi saling bertukar budaya dengan
para WBP lain dan para petugas pemasyarakatan. Berbagai motif sosial dan
motif personal saling berinteraksi mewujudkan perilaku tertentu.
Khususnya pada Anak Didik Pemsyarakatan (ADP), perlu penanganan
psikologis yang lebih khusus agar perilaku di lapas bisa terwujud. Pendidikan
bagi ADP menjadi problem tersendiri yang perlu dipikirkan beriringan dengan
solusi penanganan perilaku secara tepat. Gambaran secara umum kondisi
psikologis ADP di Lapas, anak berisiko dalam hal penghayatan mereka
terhadap kondisi kesepian, persepsi terhadap minimalnya dukungan sosial,
rendahnya tingkat self efficacy, kepekaan yang rendah terhadap masa depan
sampai ke berbagai kecemasan menjelang masa bebas karena mereka
mengkhawatirkan adanya stigma yang menghambat masa depan mereka.
Diperlukan intervensi psikologis seperti pembinaan kepribadian dan
kemandirian sebagai upaya pemasyarakatan, konseling dan psikoterapi untuk
membantu ADP mengatur proses berpikir dan emosinya, di samping kegiatan
keagamaan, kegiatan hobi dan kegiatan ketrampilan.
Selain itu, diperlukan program yang memberi kesempatan pada ADP untuk
mengenali dan menyadari potensi diri, diberi kesempatan untuk menampilkan
diri dan potensi dirinya dengan umpan balik yang apresiatif. Programprogram untuk optimalisasi tumbuh kembang anak seperti lingkungan pola
asuh yang penuh cinta serta pemberian model positif menuntut perilaku
petugas pemasyarakatan untuk lebih sensitif dalam isu perilaku moral. ADP
membutuhkan pula stimulasi perkembangan kognitif dan emosi agar mampu
mengembangkan manifestasi pola pikir yang positif disertai kemampuan

meregulasi emosi secara adaptif. Isu psikososial saat ADP berada dalam usia
pubertas dan remaja dapat diantisipasi melalui pendidikan seksual yang
dirancang secara berkesinambungan hingga tertanam pemahaman seksualitas
dan moral.
Jika dikaitkan dengan Lapas perempuan, maka diperlukan intervensi
psikologis yang sensitif terhadap isu gender dan peran seorang perempuan.
Misalnya ketika berhadapan dengan situasi dimana WBP perempuan tersebut
ternyata sedang mengandung dan harus melahirkan dalam masa hukumannya
sehingga tentunya akan menjadi masalah psikologis ganda, baik bagi WBP
perempuan itu dan bagi anak yang dilahirkannya (Widianti, 2011).
2.5 Masalah Kesehatan di Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan atau LAPAS adalah satuan usaha pemasyarakatan
yang menampung, merawat dan membina narapidana, yaitu seseorang yang sedang
menjalani pidana yang hilang kemerdekaan. Narapidana juga punya hak yang sama
untuk mendapatkan derajat kesehatan yang optimal.
Masalah kesehatan pada narapidana di lembaga pemasyarakatan diperkirakan
karena beberapa faktor salah satunya kelebihan kapasitas yang meningkatkan resiko
penyakit menular, keterlambatan deteksi penyakit, kurangnya ruangan isolasi,
ketidaktepatan pengobatan. Sementara pada sisi lain, kondisi fasilitas dan tenaga
kesehatan belum sepenuhnya optimal (Arif, 2014).
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya masalah kesehatan di lembaga
pemasyarakatan antara lain:
1. Usia
Hurlock (2008) membagi masa usia dewasa menjadi tiga bagian yaitu
dewasa awal 18-40 tahun, dewasa madya 41-60 tahun dan dewasa akhir lebih
dari 60 tahun. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Hurlock (2008)
warga binaan wanita menjelang bebas di lembaga pemasyarakatan wanita klas
II A Bandung berada pada kategori dewasa awal yaitu 18-40 tahun dimana
pada rentang usia ini pengalaman hidup seseorang masih sedikit sehingga

ketika masalah dalam kehidupan muncul akan menimbulkan stres yang


berlebihan.
Hal inilah yang menyebabkan warga binaan wanita menjelang bebas di
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Bandung memiliki tingkat
kecemasan berat, karena pengalaman hidup warga binaan jika dilihat pada
usia ini masih sedikit sehingga dalam menyikapi setiap permasalahan yang
ada akan menjadi besar. Berbeda ketika usia seseorang tersebut berada pada
usia yang jauh lebih tua dimana pengalaman hidupnya sudah sangat banyak
sehingga dalam menyikapi permasalahan yang ada akan menjadi semakin
bijak. Hal ini, diperkuat oleh Shinkfield (2010), yang menyatakan bahwa Usia
merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pada narapidana
menjelang bebas. Usia yang lebih tua kemungkinan lebih tinggi untuk
menjadi cemas atau tertekan sebelum masa pembebasan dari pada usia yang
lebih muda. Hal ini disebabkan oleh pengalaman yang terjadi sebelumnya
pada usia yang lebih tua. Oleh sebab itu, banyaknya usia yang lebih muda
pada warga binaan wanita menjelang bebas di Lembaga Pemasyarakatan
Wanita Klas II A Bandung menimbulkan kecemasan berat dan inilah yang
mempengaruhi tingkat kecemasan pada warga binaan wanita menjelang bebas
(Indriyani, 2012).
2. Jenis Kelamin
Di lembaga pemasyarakatan sekalipun, perempuan juga tetap dianggap
lebih rendah daripada laki-laki dan kebutuhan yang memang sama-sama
diperlukan oleh narapidana laki-laki maupun narapidana perempuan tidak
pernah disetarakan, hal ini dapat dilihat dari perbedaan yang ada di lembaga
pemasyarakatan. Di Lembaga Pemasyarakatan laki-laki ada tempat untuk para
narapidana laki-laki yang ingin melakukan hubungan seks, disediakan tempat
oleh petugas lembaga pemasyarakatan (bilik asmara), sedangkan di lembaga
pemasyarakatan wanita tidak ada tempat seperti (bilik asmara) untuk
melepaskan nafsu birahinya
Karena jumlah lapas untuk perempuan sedikit, mereka cenderung
dipenjarakan jauh dari rumah; jarak yang memisahkan mereka dari anak-anak,

10

keluarga dan teman-teman meningkatkan isolasi mereka dan dapat menjadi


sumber dari stres tambahan seperti kecemasan dan kesulitan ekonomi, baik
bagi perempuan terkait maupun keluarga mereka.
Setelah dibebaskan, stigma pernah dipenjara lebih berat ditanggung
oleh perempuan dibanding laki-laki. Di beberapa negara, perempuan
didiskriminasikan dan tidak dapat kembali ke komunitasnya segera setelah
dibebaskan dari lapas, bahkan suami mereka pun mendiskriminasikan mereka.
3. Lingkungan Fisik Ruang Tahanan
a. Kepadatan Hunian Kamar
Laporan Dengar Pendapat Komisi III DPR RI mengatakan bahwa saat
ini jumlah lapas dan rutan adalah 457 unit, sebagian besar dalam kondisi
over kapasitas, dalam 6 tahun terakhir pertumbuhan tingkat hunian di
Lapas/Rutan mengalami peningkatan yang cukup pesat. Jumlah penghuni
pada tahun 2008 adalah 135.985 orang, sedangkan pada saat ini berjumlah
155.914 orang. Kapasitas hunian saat ini sebesar 108.186 orang, sehingga
mengalami over kapasitas sebesar 44% atau 47.728 orang.
Dampak daripada over kapasitas/kelebihan penghuni di lapas/rutan,
seperti

buruknya

kondisi

kesehatan

narapidana/tahanan,

suasana

psikologis narapidana/tahanan memburuk, mudah terjadinya konflik antar


penghuni, meningkatnya ketidakpuasan penghuni, pembinaan tidak
berjalan sesuai ketentuan dan terjadi pemborosan anggaran akibat
meningkatnya konsumsi air, listrik, makanan dan pakaian.
Keadaan lembaga pemasyarakatan yang over kapasitas menyebabkan
pemenuhan hak-hak mutlak dari narapidana tidak optimal. Banyak lapas
yang minim fasilitas, baik sarana olah raga, bengkel, tempat ibadah, dan
lainnya..Selain itu buruknya fasilitas hunian, sanitasi dan kesehatan lapas
menyebabkan narapidana tidak dapat mengaktualisasikan dirinya.
Kepadatan hunian dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam
ruangan, dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin
cepat udara di dalam ruangan akan mengalami pencemaran.Selain
mempengaruhi kualitas udara, kepadatan hunian juga mempengaruhi
kemudahan dalam proses penularan penyakit pernafasan seperti ISPA.

11

Semakin banyak jumlah penghuni dalam ruangan maka apabila dalam


ruangan tersebut terdapat penderita ISPA akan terjadi pencemaran udara
oleh mikroorganisme penyebab ISPA yang berasal dari droplet penderita.
Kepadatan merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat
menyebabkan stress, penyakit atau akibat-akibat negatif pada perilaku
masyarakat.
b. Luas Ventilasi
Luas ventilasi yang memenuhi syarat disebabkan karena ventilasi yang
digunakan berupa jendela yang terbuat dari kaca yang dapat dibuka dan
ditutup. Jendela tersebut juga dilengkapi dengan besi-besi sebagai
keamanan tetapi udara bisa tetap masuk.
Fungsi ventilasi selain sebagai masuknya udara juga untuk menjaga
tempat tinggal dalam tingkat kelembaban yang optimum karena
kelembaban dapat menjadi media yang baik untuk bakteri-bakteri, patogen
(bakteri-bakteri penyebab penyakit).
c. Suhu
Suhu yang normal disebabkan karena dipengaruhi salah satunya suhu
adalah karena ventilasi yang ada dimana di lembaga pemasyarakatan
menggunakan ventilasi berupa jendela yang dapat dibuka dan ditutup.
Suhu juga berpengaruh pada kelembaban dimana hal itu berguna untuk
membebaskan bakteri dan virus karena suhu yang tidak memenuhi syarat
kesehatan menjadi faktor resiko terjadinya ISPA sebesar 4 kali.
d. Pencahayaan
Pencahayaan yang tidak memenuhi syarat disebabkan karena sinar
matahari masuk langsung melalui jendela yang ada tanpa terhalang
sehingga pencahayaan cukup tinggi >120 lux.
Dalam penggunaan jendela, sinar matahari yang masuk terlalu banyak
dapat berpengaruh pada tingginya suhu ruangan namun dengan sinar
matahari yang mudah masuk ke dalam ruangan juga berperan mematikan
bibit penyebab penyakit. Sinar matahari yang masuk terlalu sedikit juga
berpengaruh pada berkembangnya bibit penyakit. Pencahayaan yang tidak
memenuhi syarat dapat berperan terjadinya ISPA dari faktor lingkungan.
e. Kelembaban

12

Kelembaban udara yang memenuhi syarat karena didukung oleh


adanya ventilasi yang memenuhi syarat yaitu jendela yang luasnya 10%
dari luas lantai.
Kelembaban udara yang <40% dari kelembaban normal dapat
mempengaruhi

penurunanan

daya

tahan

tubuh

seseorang

dan

meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama penyakit


infeksi. Penurunan daya tahan tubuh terjadi ketika kondisi ruangan panas
oleh pencahayaan yang berlebihan maka proses radiasi dan konduksi
tubuh melalui kulit menurun serta tidak terjadi evaporasi.
4. Personal Hygiene Dan Kebiasaan Merokok
a. Personal Hygiene
Personal hygiene merupakan hal yang sangat penting dan harus
diperhatikan karena kebersihan mempengaruhi kesehatan dan psikis
seseorang. Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene
adalah dampak fisik banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang
karena tidak terpeliharanya personal higiene dengan baik seperti gangguan
integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan
telinga, dan gangguan fisik pada kuku.
b. Kebiasaan Merokok
Hal ini disebabkan karena narapidana sudah mempunyai kebiasaan
merokok sebelum tinggal di lembaga pemasyarakatan. Kebiasaan
merokok juga dilakukan narapidana didalam lembaga pemasyarakatan
karena tidak terdapat aturan larangan merokok sehingga kebiasaan
merokok narapidana tidak dibatasi waktu dan tempat.
Konsumsi rokok narapidana bisa dilakukan di dalam ataupun di luar
kamar sel dan juga secara tidak langsung terbantu oleh adanya kantin
didalam lembaga pemasyarakatan yang menjual batang rokok sehingga
kebutuhan akan rokok bisa terpenuhi sewaktu-waktu. Selain dari kantin,
peran teman juga berpengaruhi karena kebutuhan rokok bisa jadi didapat
dari sanak saudara yang berkunjung. Dengan itu, teman yang tidak
mempunyai uang untuk membeli batang rokok di kantin dapat
mengkonsumsi rokok dari pemberian temannya.

13

Remaja mulai merokok berkaitan dengan adanya krisis aspek


psikososial yang dialami pada masa perkembangannya yaitu masa ketika
mencari jati diri. Dalam masa remaja ini sering terjadi ketidaksesuaian
antara perkembangan psikis dan perkembangan sosial. Bahwasannya
perilaku merokok bagi remaja merupakan perilaku simbolisasi. Simbol
dari kematangan, kekuatan, kepemimpinan, dan daya tarik terhadap lawan
jenis.
Masalah kesehatan yang terjadi di lembaga pemasyarakatan meliputi:
1. ISPA
Hal

ini

dikarenakan

Lembaga

Pemasyarakatan

membolehkan

narapidana merokok di mana saja termasuk di dalam kamar narapidana yang


mana asap dari rokok dapat menyebabkan pencemaran udara dalam ruangan
yang dapat merusak mekanisme paru-paru bagi orang yang menghisapnya.
Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi salah satunya oleh
kepadatan hunian. Kategori padat di mana kepadatan di dalam kamar yang
tidak sesuai dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang
disebabkan

oleh

pengeluaran

panas

badan

penghuninya

dan

akan

meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut.


2. Skabies
Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya skabies yaitu
buruknya personal hygiene. Salah satu indikator personal hygiene buruk yaitu
penggunaan handuk bersama. Penggunaan handuk secara bersama diduga
menjadi salah satu cara penularan skabies apabila handuk yang digunakan
oleh penderita skabies membawa tungau sarcoptes scabies berpindah dari
handuk ke tubuh penjamu (host) yang kemudian menginfeksinya.
Selain penggunaan handuk bersama, tidur dengan penderita skabies
bisa menjadi faktor resiko dalam menularkan skabies dimana aktivitas tungau
sarcoptes scabiei banyak lakukan dimalam hari ketika orang tidur, ditambah
kondisi kamar yang padat akan memudahkan terjadinya kontak fisik sehingga
penularan penyakit meningkat.
Penularan skabies terjadi ketika perlengkapan kebersihan seperti sabun
dan handuk, fasilitas asrama serta fasilitas umum yang dipakai secara

14

bersama-sama di lingkungan padat penduduk. Pemakaian alat dan fasilitas


umum bersama-sama membuat kebersihan kurang maksimal salah satunya
kebersihan badan.
3. Hipertensi
Salah satu faktor yang yang dapat mempengaruhi hipertensi yaitu usia.
Seiring bertambahnya usia, terjadi penurunan fungsi alami jantung, pembuluh
darah dan hormon yang membuat arteri kehilangan elastisitas atau kelenturan.
Berdasarkan pembagian umur, sebagian besar hipertensi primer terjadi
pada usia 25-45 tahun dan hanya pada 20% terjadi dibawah usia 20 tahun dan
diatas 50 tahun. Hal ini disebabkan karena orang pada usia produktif kurang
memperhatikan kesehatan, seperti pola makan dan pola hidup yang kurang
sehat seperti merokok.
Rendahnya angka penderita hipertensi di lembaga pemasyarakatan
bisa jadi disebabkan oleh rendahnya tingkat stress dimana stress merupakan
salah satu faktor resiko hipertensi. Rendahnya stress bisa disebabkan dari
adanya fasilitas yang diberikan oleh lembaga pemasyarakatan seperti fasilitas
makan 3 kali sehari, perlengkapan mandi yang diberikan 3 bulan sekali dan
juga adanya kegiatan rutin seperti senam setiap pagi yang juga difungsikan
sebagai hiburan bagi narapidana (Arif, 2014)
Selain itu, masalah kesehatan di lembaga pemasyarakatan adalah masalah
kesehatan reproduksi pada narapidana wanita. Lingkungan lembaga pemasyarakatan
tidak selalu mempertimbangkan keadaan/kondisi yang mendukung kesehatan
reproduksi perempuan. Ketersediaan kebutuhan spesifik dari perempuan kurang
mendapat perhatian, misalnya ketersediaan kebutuhan mandi, kebutuhan lain saat
menstruasi, kebutuhan mencuci pakaian dalam serta pengadaan secara cuma-cuma
untuk kebutuhan tersebut (WHO, 2009). Kondisi ini bisa menjadi pemicu untuk
terjadinya masalah kesehatan reproduksi wanita di lembaga pemasyarakatan.
Permasalahan kesehatan reproduksi lain di lembaga pemasyarakatan adalah
HIV. Perempuan di lembaga pemasyarakatan beresiko terhadap HIV karena
kombinasi antara ketimpangan gender, stigma dan diskriminasi meningkatkan
kerentanan perempuan terhadap infeksi HIV (UNODC-UNAIDS, 2008). Selain

15

masalah IMS dan HIV/AIDS masalah yang dijumpai di lembaga pemasyarakatan


adalah kekerasan pada perempuan.
Berbagai persepsi tentang kekerasan perempuan yang berkisar dari pelecehan
verbal, kekerasan fisik sampai dengan mengingkari hak asasi perempuan. Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan sebagai instrument
internasional mengenai perlindungan hak perempuan telah mencamtumkan
kekerasan, intimidasi dan rasa takut, sebagai kendala bagi perempuan untuk dapat
berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan bermasyarakat. Secara konseptual,
kekerasan dalam berbagai bentuknya merupakan indikasi adanya penyalahgunaan
kekuasaan, ketidaksetaraan dan dominasi (Komnas Perempuan, 2002). Kekerasan
yang terjadi pada perempuan juga terjadi di lembaga pemasyarakatan, hal ini
mempengaruhi kesehatan reproduksi perempuan (Apriani, 2012)
Permasalahan lain yang dijumpai di lembaga pemasyarakatan adalah masalah
kesehatan mental yang dapat memperburuk kesehatan reproduksi perempuan di
lembaga pemasyarakatan. Masalah umum yang terjadi pada perempuan yang
berkaitan dengan gender adalah depresi, kecemasan dan kesakitan yang signifikan
berhubungan dengan kekerasan berbasis gender dan kondisi sosial ekonomi, situasi
ini sangat mempengaruhi perempuan dan berdampak negatif pada kesehatan
reproduksi perempuan (Berer & Ravindran 1999; Astbury & Cabral de Mello, 2000)
Narapidana adalah individu pelaku tindak pidana yang telah diputus bersalah
oleh majelis hukum dan dihukum penjara selama kurun waktu tertentu, kemudian
ditempatkan dalam rumah tahanan sebagai tempat pelaksanaan hukuman tersebut.
Rumah tahanan merupakan suatu institusi yang diberi kewenangan untuk
memperbaiki perilaku pelanggar hukum (Atmasasmita, 1995).
Tujuan adanya pidana penjara itu adalah agar individu dengan masalah
kriminal menjadi jera, tidak mengulang kembali perbuatan kriminal yang telah
dilakukan, mampu beradaptasi kembali ke masyarakat setelah masa hukuman
berakhir dan menjunjung norma-norma yang ada di masyarakat.
Remaja yang menjalani pidana penjara dituntut untuk mampu beradaptasi dan
bersosialisasi dengan peraturan penjara yang sangat menekan, rutinitas kehidupan

16

penjara yang sangat membosankan, dan kehidupan sosial bersama narapidana lain
yang sering terjadi keributan, pemerasan, dan tindak kekerasan yang dirasakan
sebagai suatu penderitaan lain di samping hukuman pidana sendiri (Atmasasmita,
1995). Hal tersebut menyebabkan remaja merasa tidak berharga dibandingkan dengan
anak seusianya, mendapat celaan dari orang lain, merasa tidak punya harapan, merasa
gagal sehingga pada akhirnya dapat menimbulkan depresi (Manik, 2007).
Beberapa masalah yang sering terjadi menjadi konflik pribadi para narapidana
anak yang merupakan stressor kecemasan antara lain: 1) takut tidak diterima oleh
lingkungannya, 2) rasa malu bergaul untuk kembali pada lingkungannya, 3) gangguan
harga diri, dan 4) masyarakat condong untuk menjauhi mereka (Nies dan Mc Ewan,
2001 dalam Efendi, 2009).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sulcha (1993) disebutkan bahwa
terdapat hubungan yang negatif antara konsep diri dengan tingkat kecemasan
narapidana remaja, di mana semakin rendah konsep diri remaja maka semakin tinggi
tingkat kecemasan yang dirasakan. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan
oleh Collins, dkk (2010) yang menyebutkan bahwa 20,3% remaja yang menjalani
masa hukuman mengalami ansietas.
Karakteristik remaja pada kelompok intervensi yang terlibat dalam penelitian
di Rutan dan Lapas wilayah Jawa Barat rata-rata berusia 16.74 tahun, penghasilan
orang tua rata-rata Rp. 725.740, pendidikan tamat SMP, pola asuh orang tua
protective, mayoritas mengalami ansietas berat (Widianti, 2011).
2.6 Program Pemerintah di Lembaga Pemasyarakatan
Peran dari suatu negara tidak hanya mengurusi politik, ekonomi, keamanan,
sosial dan budaya namun mencakup segala aspek dalam kehidupan bernegara
termasuk pada masyarakat yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini
dapat dilakukan Pemerintah dengan memberikan pembinaan atau pelayanan kepada
narapidana yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Sesuai Undang undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 pasal 2 tentang Pemasyarakatan yang
menyatakan bahwa : sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam membentuk

17

Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari


kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.31 Tahun
1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, pada
pasal 1 ayat 1 juga menyatakan bahwa: Pembinaan adalah kegiatan untuk
meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap
dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan

(Peran

Negara

dalam

Implementasi

Program

Pembinaan

Narapidana Wanita: 57).


Beberapa peran negara yang di laksanakan melalui program pemerintah dalam
pembinaan narapidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan yang dalam hal ini
kami mengambil contoh dari Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang,
meliputi, pertama, pemberian pendidikan kepada masyarakat yang ada di Lembaga
Pemasyarakatan maksudnya adalah pemerintah sebagai penyedia sarana dan
prasarana atas terselenggaranya berbagai macam pendidikan,pelatihan-pelatihan, dan
diklat kepada petugas. Bentuk-bentuk pendidikannya meliputi pendidikan umum,
pendidikan jasmani, dan pendidikan rohani. Kedua, memberikan keterampilan kepada
warga binaan maksudnya dengan ini peran negara penyedia anggaran, sarana,
prasarana perlengkapan, peralatan, dan semua kebutuhan yang di butuhkan guna
menunjang terlaksananya pemberian keterampilan kepada warga binaan. Ada
beberapa jenis ketrampilan yang dipelajari diantaranya keterampilan untuk
mendukung usaha usaha mandiri, ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha
mandiri, ketrampilan untuk medukung-mendukung usaha kecil, ketrampilan yang
dikembangkan sesuai dengan minat dan bakat masing-masing, serta ketrampilan
untuk mendukung usaha-usaha industri, pertanian, dan perkebunan, dengan teknolog i.
Ketiga, peran negara sebagai perencana, pembuat, pelaksana dan yang melakukan
evaluasi terhadap Undang-undang, kebijakan, dan aturan-aturan yang telah di buatnya
dalam pemberian pembinaan, sehingga dapat terlaksana dengan baik dan berjalan

18

sesuai dengan dengan yang diharapkan. Peran regulasi yang digunakan Negara dalam
menjalankan pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan, meliputi pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dan pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 tahun 1999 tentang Kerjasama
Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Keempat, lembaga pemasyarakatan menggunakan anggaran yang telah diberikan oleh
Negara untuk menjalankan roda organisasi. Lembaga Pemasyarakatan sangat
tergantung dari anggaran yang diberikan oleh negara dalam melakukan pembiayaan
para aparaturnya, pemenuhan sarana dan prasarana lembaga pemasyarakatan, proses
pembinaan dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Kelima, negara sebagai
pelaksana atau pengelola anggaran yang di gunakan dengan sebaik-baiknya untuk
menjalankan roda organisasi dan pemberian pembinaan kepada narapidana. Anggaran
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan semua kegiatan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan meliputi pembayaran gaji pegawai, gaji pegawai meliputi gaji pokok
dan tunjangannya, pemenuhan sarana dan prasarana yang dimaksud adalah
infrastruktur, perlengkapan dan peralatan kantor, petugas/pegawai, dan narapidana,
kemudian transportasi, pemenuhan proses pembinaan yaitu pemenuhan kelengkapan
penunjang implementasi program pembinaan seperti : peralatan dan perlengkapan
pembinaan ketrampilan, pemasaran ketrampilan, dan mendatangkan para ahli ahli
untuk memberikan pelatihan-pelatihan kepada narapidana maupun petugas, dan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti makan, minum, perawatan bangunan,
keperluan wanita, keperluan peribadatan dan pemenuhan kebutuhan operasional.
(Peran Negara dalam Implementasi Program Pembinaan Narapidana Wanita: 59 60)
Beberapa bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini
pihak Lembaga Kemasyarakatan, maupun perorangan dalam menunjang fungsi
pemberdayaan adalah sebagai berikut:

19

a. Dalam Pembinaan kesadaran beragama Pihak Lembaga Pemasyarakatan


Wanita Kelas IIA Malang bekerja sama dengan Kemenag Kota/Kabupaten
Malang,

Yayasan

Aisyah,

Rohmatul

Ummat,

gereja-gereja

seluruh

Kabupaten/Kota Malang, Muhammadiyah, dan NU.


b. Dalam Pembinaan Berbangsa dan Bernegara Pihak Lembaga Pemasyarakatan
Wanita Kelas IIA Malang bekerja sama dengan Universitas-universitas
terkemuka yang ada di Malang dan juga kantor sospol di Malang.
c. Dalam

Pembinaan

Keintelektualan

selain

dari

petugas

Lembaga

Pemasyarakatan sendiri yang memberikan pendidikan juga mengundang guru


melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Kab/Kota Malang.
d. Dalam Pembinaan Kesadaran Hukum selain dari petugas Lembaga
Pemasyarakatan sendiri yang melakukan penyuluhan namun juga melakukan
kerjasama dalam pemasaran pernak-pernik dan hasil dari menyulam, merajut
dan bordir.
e. Dalam Pemberian Asimilasi pihak Lembaga Pemasyarakatan juga bekerja
sama dengan Kejaksaan Negeri dan Kementrian Hukum dan Ham melalui
Balai Pemasyarakatan (BAPAS).
Berikut ini merupakan alur pembuatan program pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang :
Usul dari warga
binaan atau petugas
lembaga

Sidang tim pengamat


pemasyarakatan

Evaluasi program
pembinaan

Dikaji oleh kepala


lembaga
pemasyarakatan
sudah sesuai dengan
peraturan atau belum

Implementasi
program pembinaan

20

(Peran Negara dalam Implementasi Program Pembinaan Narapidana Wanita: 61)


2.7 Pelayanan Kesehatan di Lembaga Pemasyarakatan
1. Pengertian Pelayanan Kesehatan
Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan
diperhatikan oleh Pemerintah. Di samping itu kesehatan juga merupakan salah
satu indikator kesejahteraan masyarakat negara di samping ekonomi dan sosial.
Pelayanan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
derajat kesehatan baik perorangan, kelompok maupun kelompok masyarakat
secara

keseluruhan.

Pelayanan

kesehatan

adalah

setiap

upaya

yang

diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk


memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan
penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan/atau
masyarakat (Abdul Bari Syaifudin, 2002).
2. Pelayanan Kesehatan Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan
Dalam peraturan standar minimum bagi perlakuan terhadap narapidana
yang disepakati oleh kongres pertama PBB di Jenewa tahun 1995 dan disetujui
oleh Dewan Ekonomi dan Sosial dengan resolusinya tanggal 31 Juli 1975 dan
tanggal 13 Mei 1977 menyebutkan bahwa pelayanan narapidana adalah perlakuan
terhadap orang-orang yang dihukum di penjara atau tindakan yang serupa
tujuannya haruslah sejauh mana hukumnya mengizinkan untuk menumbuhkan di
dalam diri mereka kemauan untuk menjalani hidup mematuhi hukum serta
memenuhi kebutuhan diri sendiri setalah bebas.
Bentuk-bentuk pelayanan kesehatan di lembaga pemasyarakatan adalah
(Azrul Anwar, 1996):
a. Pelayanan Umum
Pelayanan umum adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada
narapidana sebagaimana biasanya sesuai dengan program pelayanan
kesehatan yang telah ditetapkan di lapas. Rangka kelancaran pelaksanaan

21

program pelayanan kesehatan di Lapas tersebut, diperlukan tersedianya :


ketenagaan, peralatan, tempat/ruang pelayanan kesehatan, dan obat-obatan.
b. Sarana dan Prasarana
Disamping pelayanan kesehatan umum di Lapas juga ada pelayanan
kesehatan khusus karena sifat dan jenis penyakitnya yang memerlukan
penanganan secara spesifik dan profesional kepada penderita. Jenis penyakit
tersebut seperti TBC, HIV/AIDS, Jiwa, dan Wanita hamil/melahirkan. Dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara khusus di Lapas maka
pengadaan tenaga medis dan para medis dilakukan melalui kerjasama dengan
dinas kesehatan setempat.
3. Konsep Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pelayanan Kesehatan dan
Makanan bagi Narapidana (Warga Binaan)
Pemahaman standar minimal secara memadai bagi masyarakat merupakan
hal yang signifikan karena berkaitan dengan hak hak konstitusional perorangan
maupun kelompok masyarakat yang harus mereka peroleh dan wajib dipenuhi
oleh pemerintah, berupa tersedianya pelayanan yang harus dilaksanakan
pemerintah kepada masyarakat. Dengan dikeluarkannya surat edaran Menteri
Dalam Negeri Nomor 100|7S7|OTDA dan Penggunaan standar pelayanan
minimal agar masing masing institusi pemerintah memiliki kesamaan persepsi
dan pemahaman serta tindak lanjut dalam penyelenggaraan standar pelayanan
minimal. Dalam surat edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100|757|OTDA
tanggal 8 Juli 2002, dirumuskan bahwa standar pelayanan minimal adalah tola
ukur untuk mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib daerah yang
berkaitan dengan pelaanan dasar kepada masyarakat. Standar pelayanan minimal
harus mampu menjalin terwujudnya hak hak individu serta menjamin akses
masyarakat mendapat pelayanan dasar dari pemerintah daerah sesuai patokan dan
ukuran yang ditetapkan oleh pemerintah. (Surat Edaran Menteri Dalam Negeri
Nomor 100|757|OTDA, 2002).

22

Rangka kelancaran pelaksanaan program pelayanan kesehatan di Lapas,


maka melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor:
E.03.PP.02.10 tahun 2003 telah ditetapkan standar pelayanan minimal upelayanan
kesehatan narapidana di Lapas sebagai berikut :
a. Secara melembaga pelayanan kesehatan yang ada masih dalam taraf
sederhana yaitu pelayanan dokter dan klinik yang sifatnya pertolongan
pertama.
b. Rujukan penderita dilakukan secara seadanya, tergantung kondisi pada
masing-masing Lapas.
c. Bentuk-bentuk pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
dilakukan secara sistematis.
2.8 Peran Perawat
Peran perawat kesehatan komunitas di Lembaga Pemasyarakatan mempunyai
peran sebagai berikut:
1. Care Provider
Peran perawat pelaksana (care provider) bertugas untuk memberikan
pelayanan asuhan keperawatan secara langsung kepada klien. Asuhan
keperawatan ini dapat dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dasar
manusia melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan
proses keperawatan, sehingga masalah yang muncul dapat ditentukan
diagnosis keperawatannya, perencanaannya dan dilakukan tindakan yang tepat
sesuai

dengan

kebutuhannya,

sehingga

dapat

dievaluasi

tingkat

perkembangannya. Asuhan keperawatan yang diberikan melalui hal yang


sederhana sampai dengan masalah yang kompleks (Mubarak & Chayatin,
2009).
Contohnya : Apabila ada warga binaan yang mengeluh sakit maka kita
dapat

memberikan

pelayanan

seperti

melakukan

anamnesa

setalah

mendapatkan data kita kaji dan diagnosa setelah itu lakukan tindakan yang
sesuai dengan masalah klien. Jangan lupa untuk memberikan kebutuhan dasar

23

manusia seperti memberi rasa nyaman atau menenangkan klien apabila klien
cemas.

2. Edukator (pendidik)
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat
pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahka tindakan yang diberikan,
sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien sesudah dilakukan pendidikan
kesehatan (konsorsium ilmu kesehatan:1989 dalam Hidayat:2007).
3. Kolabolator
Peran perawat disini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan
yang terdiri dari dokter, ahli gizi, fisioterapis, dan lain lain dengan berupaya
mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi
atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya
(konsorsium ilmu kesehatan:1989 dalam Hidayat:2007).
Contohnya : apabila ada warga binaan yang sedang sakit maka akan dibawa
ke klinik yang ada di Lembaga Pemasyarakatan namun jika di klinik tidak
dapat ditangi dan memerlukan rujukan maka dapat dirujuk ke rumah sakit.
4. Peran sebagai peneliti
Peran perawat sebagai peneliti yaitu perawat berperan dalam mendeteksi dan
menemukan kasus serta penelusuran terjadinya penyakit yang menyerang para
penghuni lapas (konsorsium ilmu kesehatan:1989 dalam Hidayat:2007).
Contohnya: banyak warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan yang
menderita penyakit kulit maka perawat dapat meneliti apa yang menyebabkan
banyak warga binaan menderita penyakit kulit apakah dari lingkungan yang
kurang bersih atau penggunaan air yang kurang bersih.
5. Peran sebagai konselor (konsultan)
Peran perawat sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan
keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan

24

klien tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan (konsorsium ilmu


kesehatan:1989 dalam Hidayat:2007).

2.9 Proses Keperawatan


2.9.1 Pengertian
Secara umum dapat dikatakan bahwa proses keperawatan adalah metode
pengorganisasian yang sistematis, dalam melakuan asuhan keperawatan
pada
individu, kelompok dan masyarakat yang berfokus pada identifikasi dan
pemecahan masalah dari respon pasien terhadap penyakitnya (Tarwoto &
Wartonah, 2004)
2.9.2 Tahapan Keperawatan
2.9.2.1 Pengkajian
Tujuan perawatan pada kelompok binaan Lembaga Pemasyarakatan
adalah untuk meningkatkan

kemampuan memperbaiki gaya hidup

dalam menaikkan status kesehatan.

Selain itu kelompok binaan

Lembaga Pemasyarakatan mempercayai bahwa dengan mengontrol gaya


hidup akan menghasilkan halyang positif dan akan meningkatkan kulitas
hidupnya. Pengkajian yang menyeluruh pada kelompok binaan Lembaga
pemasyarakatan yang dilakukan oleh perawat meliputi
.a Pengkajian Sosial
.a Umur
Pada masa kini banyak orang yang tinggal dalam
lembaga pemasyarakatan baik anak muda maupun
dewasa. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan
oleh anak muda berhubungan dengan kekerasan dan
penyalahgunaan obat. Hal ini berarti bahwa pemberian
pelayanan kesehatan harus memenuhi kebutuhan
perkembangan usia anak muda ,sedangkan penghuni
Dewasa mengalami penuaan berarti bahwa perawat

25

harus mengatasi masalah utama yang terjadi pada orang


dewasa.
.b Genetik
Ada 2 faktor genetik yang mempengaruhi kesehatan
dalam correctional setting adalah jenis kelamin dan
etnisitas.
a) Jenis kelamin
Secara umum fasilitas dalam institisi correctional
terpisah antara pria dan wanita. Sehingga perawat
yang bekerja dengan tahanan pria tidak bekerja
seperti tahanan wanita .Namun apapun gender,
perawat mungkin menemukan masalah yang unik
dalam kelompok baik pria maupun wanita. Tahanan
wanita mengalami masalah kesehatan yang berbeda
karena jumlah mereka kecil.
b) Etnisitas
Merupakan aspek lain yang dipertimbangkan dalam
populasi penjara. Anggota kelompok minoritas
mempunyai status kesehatan yang rendah dan
memiliki resiko terkena penyakit menular selama
dipenjara.

Perawat perlu

mengkaji

kelompok

minoritas ini untuk mengetahui masalah utama yang


terjadi pada kelompok ini.
.b Pengkajian Epidemiologi
Perawat dalam correctional setting perlu mengkaji klien
secara individu untuk mengetahui masalah kesehatan fisik.
Perawat perlu untuk mengidentifikasi masalah yang
memiliki kejadian yang tinggi di institusi. Area yang perlu
diperhatikan meliputi penyakit menular, penyakit kronik,
cedera dan kehamilan.Penyakit menular meliputi TBC,
HIV AIDS , hepatitis B , dan penyakit seksual lain.
a) TBC

26

Perawat sebaiknya menanyakan gejala dan riwayat


penyakit agar pasien yang terinfeksi dapat diisolasi.
b) HIV AIDS
Perawat mengkaji riwayat HIV, perilaku beresiko tinggi
dan riwayat atau gejala infeksi oportunistik yang
mungkin terjadi pada semua tahanan.
c) Hepatitis B dan penyakit seksual lain
Perawat mengkaji riwayat penyakit menular seksual
dan hepatitis B serta waspada adanyatanda fisik dan
gejala penyakit ini.Penyakit kronis yang biasa terjadi
antara lain : diabetes, penyakit jantung, dan paru serta
kejang.Perawat harus mengkaji dengan tepat riwayat
kesehatan dari klien, anggota keluarga dan pemberi
pelayanan kesehatan di komunitas. Perawat harus
mengkaji adanya penyakit / kondisi kronik pada klien
dan mengidentifikasi masalah dengan tingkat kejadian
yang tinggi di institusi / populasi dimana ia bekerja.
d) Cedera
Merupakan area lain dari fungsi fisiologis yang harus
dikaji oleh perawat. Cedera mungkin diakibatkan
karena aktivitas sebelum penahanan, tindakan petugas
atau kecelakaan yang terjadi selama di tahanan.
Perawat harus memperhatikan potensial terjadinya
cedera internal dan mengkaji tanda tanda trauma.
.c Pengkajian Perilaku dan lingkungan
Faktor faktor yang mempengaruhi kesehatan
di correctional setting meliputi diet, penyalahgunaan obat,
merokok, kesempatan berolahraga / rekreasi , serta
penggunaan

kondom

di

lingkungan correctional

setting.Pengkajian psikologis pada correctional setting juga


penting karena :
1) Banyak tahanan yang mengalami penyakit mental yang
terjadi selama berada di tahanan.

27

2) Berada di tahanan merupakan hal yang menimbulkan


stress dan menimbulkan efek psikis seperti depresi dan
bunuh

diri.

Perawat

di correctional

setting harus

mewaspadai tanda tanda depresi dan masalah


mental ( correctional setting ) lain pada tahanan dan
mengkaji

potensi

terjadinya

bunuh

diri.

Semua correctional settingharus mempunyai program


pencegahan bunuh diri dan penaganan bunuh diri.
Perwat harus melakukan pengawasan yang ketat pada
tahanan yang berada dalam isolasi .
3) Lingkungan dalam correctional setting juga dapat
menimbulkan kekerasan seksual yang menimbulkan
konsekuensi psikis. Dalam mengkaji hal ini, perawat
harus mewaspadai tanda tanda kekerasan dan
menanyakan pada klien mengenai masalah ini. Jika
kekerasan seksual telah terjadi, perawat perlu untuk
melindungi klien dari cedera yang lebih lanjut.
4) Layanan kesehatan mental mungkin kurang

di

beberapa correctional setting.


5) Tahanan yang dihukum mati, memerlukan dukungan
emosi dan psikologis. Perawat harus mengkaji masalah
psikis yang timbul dan membantu mereka melalui
konseling dengan tepat

2.9.2.2 Diagnosa Keperawatan


a. Diagnosa Keperawatan : 00004 - Risk for infection (resiko infeksi)
Domain 11
: Keamanan/ perlindungan
Kelas 1
: Infeksi
Definisi
: Rentan mengalami Inveasi dan multiplikasi
organism
Batasan Karakteristik
b. Diagnosa Keperawatan

patogenik yang dapat mengganggu kesehatan.


: Peningkatan paparan lingkungan pathogen
: 00188 Risk - Prone Health Behaviour
28

Domain 1
Kelas 2
Definisi

(Perilaku Kesehatan Cenderung Beresiko)


: Health Promotion
: Health Management
:Kemampuan yang rendah untuk memodifikasi

gaya hidup / perilaku dalam sebuah cara yang meningkatkan status


kesehatan
Batasan Karakteristik

:Kegagalan untuk mengambil tindakan dalam

mencegah masalah kesehatan


c. Diagnosa Keperawatan : 00146- Ansietas
Domain 9
: Koping / Toleransi Stres
Kelas 2
: Respon Koping
Definisi
: Perasaan ketidak nyamanan atau ketakutan
disertai dengan respon otonom (sumber sering tidak spesifik atau tidak
diketahui oleh individu); perasaan ketakutan yang disebabkan oleh
antisipasi bahaya. merupakan tanda menyiagakan yang memperingatkan
bahaya yang akan datang dan memungkinkan individu untuk mengambil
langkah-langkah untuk menghadapi ancaman yang
Batasan Karakteristik
: Khawatir terhadap perubahan hidup
2.9.2.3 Perencanaan
2.9.2.3.1 Intervensi yang bisa dilakukan di lembaga pemasyarakatan
1.
Assertive Community Treatment ( ACT )
Nama asli dari terapi ini adalah Training in Community Living
( TCL ), terapi ini cocok dilakukan untuk kelompok yang berada di
luar layanan perawatan pasien ( diluar Rumah Sakit). ACT digunakan
secara interdispliner ( perawat psikiatrik, social worker, activity
therapist ). Terapi ini biasanya digunakan pada klien yang mengalami
gangguan jiwa berat.
2.
Multisystemic Theraphy
Pendekatan pengobatan yang sangat fleksibel yang membahas
beberapa kebutuhan dari klien, emosional klien dan keluarganya. Bisa
digunakan pada setting rumah tahanan, sekolah,dan setting di
lingkungan rumah. Terapi ini digunakan pada orang dewasa yang
mengalami gangguan emosional.
3.
Therapeutic Elements

29

Therapeutic elements terdiri dari pragmatic, outcome-oriented,


treatment approaches, home-based interventions, dan individual
treatment.
Diagnosa 1 :00004 - Risk for infection (resiko infeksi)
NOC
Prevensi Primer:

NIC
Prevensi Primer:

192404 Mengidentifikasi risiko infeksi

5510 Pendidikan kesehatan

pada kegiatan sehari-hari (1 3)


1. Ajarkan strategi yang dapat
192.407 Mengidentifikasi strategi untuk

digunakan untuk melawan

melindungi diri dari orang lain dengan

perilaku tidak sehat / yang

infeksi (2-4)

beresiko daripada memberikan


nasihat untuk menjauhi /
merubah perilaku.
2. Datangkan pember informasi
untuk menyampaikan
informasi dengan maksimum,

Prevensi Sekunder:
280103Ketersediaan program skrining
preventif (2 - 4)

disaat yang tepat


Prevensi Sekunder:
1. Identifikasi risiko (6610)
1.
Mengarahkan
Masyarakat
Menjadwalkan Kegiatan

280104 Sasaran tingkat partisipasi


penduduk dalamprogram skrining
preventif (2 - 4)

2.

Cek Up
Ulasan riwayat
kesehatan masa lalu dan

280119 Pemantauan insiden penyakit

dokumen untuk bukti

kronis (2 - 4)

yang ada atau diagnosa


medis dan keperawatan

280120 Pemantauan prevalensi penyakit

sebelumnya dan
30

kronis (1 - 5)

3.

perawatan
Mengidentifikasi risiko
biologis, lingkungan,
dan perilaku dan
hubungan timbal balik di

4.

dalam lapas
Instruksikan pada faktor
risiko dan rencana

5.

pengurangan risiko
Memotivasi penghuni
Untuk Secara Aktif
Mendatangi Pelayanan
cek Kesehatan di dalam
lapas.

Prevensi Tersier:
192411 Menjaga lingkungan yang
bersih (2 - 4)
192413 Kembangkan pengendalian
infeksi yang efektif strategi (2 - 4 )
192415 Praktek tangan sanitasi (2 - 4)

Prevensi Tersier:
2280 Bantuan rumah Pemeliharaan
1. Tentukan kebutuhan
pemeliharaan lapas
2. Libatkan penghuni lapas
dalam memutuskan
persyaratan pemeliharaan
lapas
3. Memberikan informasi

192416 Praktek pengendalian infeksi (2

tentang bagaimana

- 4)

membuat lingkungan
yang aman dan bersih di

192417 Mengatur strategi pengendalian


infeksi (1 - 3 )

dalam lapas.
4. Sarankan layanan untuk
pengendalian virus atau

192420 Monitor perubahan status

infeksi menular, yang

kesehatan umum (2 - 4)

diperlukan
31

5. Memfasilitasi
192421 Membawa tindakan segera
untuk mengurangi risiko (2 - 4 )

membersihkan lingkungan
kotor
6. Sarankan layanan untuk

192427 Berusaha memberikan

perbaikan lapas, yang

informasi tentang kesehatan risiko (2 4)

diperlukan
7. Diskusikan biaya
pemeliharaan yang
diperlukan dan sumber
daya yang tersedia
8. Menawarkan solusi untuk
kesulitan keuangan
9. Memberikan informasi
tentang perawatan yang
cukup, sesuai kebutuhan
10. Mengkoordinasikan
penggunaan sumber daya
penghuni lapas

Diagnosa 2 : 00188 Risk - Prone Health Behaviour (Perilaku


Kesehatan Cenderung Beresiko)
NOC
Prevensi Primer:
162515

Gunakan

NIC
Prevensi Primer:
sistem

dukungan 5510 Pendidikan kesehatan

personal (24)
1. Ajarkan strategi yang dapat
digunakan

untuk

melawan

perilaku tidak sehat / yang


190627

Mencari

informasi

terbaru

mengenai bahaya penggunaan tembakau


(1-3)

beresiko daripada memberikan


nasihat

untuk

menjauhi

merubah perilaku

32

190625

Menjauhi

situasi

yang 4490 Bantuan penghentian merokok

mendukung penggunaan tembakau (2-4)


1. Promosikan

kebijakan

menentapkan

dan

melaksanakan
170514 Fokus dalam mempertahankan

yang

lingkungan

bebas rokok

perilaku kesehatan (1-3)

Prevensi Sekunder:

Prevensi Sekunder:

162528 Kurangi penggunaan tembakau 5210 Bimbingan antisipasi


(14)
1. Bantu

pasien

bagaimana

memutuskan

masalah

akan

dipecahkan
1906

Kontrol

resiko:

penggunaan

tembakau (1-3)

2. Bantu

pasien

memutuskan

siapa yang akan memecahkan


masalah

162503 Identifikasi manfaat berhenti


merokok (1-3)

6610 Identifikasi resiko


1. Tentukan

162504 Identifikasi dampak negatif dari


penggunaan tembakau (1-3)

kualitas

ketersediaan
sumber

dan

(contoh:

psikologi, keuangan, tingkat


pendidikan,

keluarga

dan

masyarakat

lain

dan

komunitas)
162506 Identifikasi penghalang untuk
33

2. Identifikasi
eliminasi tembakau (1-3)

resiko

biologi,

lingkungan dan perilaku dan


hubungan timbal balik

160202

Monitor

lingkungan

yang

beresiko (2-4)

3. Pertimbangkan standar yang


berguna dalam bidang prioritas
untuk

mengurangi

resiko

(contoh: tingkat kesadaran dan


motivasi, keefektifan, biaya,
160203 Monitor perilaku personal yang

kemungkinan

beresiko (2-4)

pilihan, keadilan, stigmatisasi,

dikerjakan,

dan beratnya hasil jika resiko


tetap belum terselesaikan)
4. Diskusikan

dan

rencanakan

aktivitas pengurangan resiko


dalam

kolaborasi

dengan

individu / kelompok
5. Laksanakan

aktivitas

pengurangan resiko
6. Rencanakan

untuk

monitor

jangka panjang dari resiko


kesehatan
7. Rencanakan
lanjut
strategi

untuk

jangka

tindak

panjang

dan

dari

aktivitas

pengurangan resiko

34

4490 Bantuan penghentian merokok


1. Catat status merokok terbaru
dan riwayat merokok
2. Menentukan kesiapan pasien
untuk belajar tentang berhenti
merokok
3. Monitor kesiapan pasien untuk
mencoba berhenti merokok
4. Bantu
alasan

pasien
untuk

identifikasi
berhenti

dan

penghalang untuk berhenti

Prevensi Tersier:

Prevensi Tersier:

162512 Gunakan strategi modifikasi 4360 Modifikasi Perilaku


perilaku (2-4)
1. Diskusikan proses modifikasi
perilaku dengan pasien dan
orang lain yang penting
162514

Memperoleh

bantuan

dari

profesional kesehatan (2-4)


5602 Pembelajaran: proses penyakit
162517

Gunakan

nikotin (2-4)

terapi

pengganti

1. Diskusikan
hidup
diperlukan

perubahan
yang
untuk

gaya

mungkin
mencegah

35

komplikasi yang akan datang


dan

mengontrol

proses

penyakit

162518 Gunakan terapi alternatif (2-4)

162525 Ikuti konseling (1-3)

4490 Bantuan penghentian merokok


1.Beri tahu pasien tentang produk
pengganti nikotin (contoh: permen

162526 Ikuti konseling telepon (1-3)

karet,

semprotan

untuk

hidung,

membantu

inhaler)

mengurangi

penarikan gejala
2.Atur terapi pengganti nikotin
3.Dorong pasien untuk ikut kelompok
yang mendukung berhenti merokok
setiap minggu
4.Bantu pasien merencanakan strategi
koping

spesifik

dan

memecahkan

masalah dari hasil berhenti merokok


5.Ikuti pasien selama 2 tahun setelah
berhenti jika mungkin, memberikan
semangat
6.Atur
frekuensi

untuk
kontak

mempertahankan
telepon

dengan

pasien
7. Dukung pasien yang mulai merokok
36

kembali

dengan

mengidentifikasi

membantu
apa

yang

dipelajari
Diagnosa 3 : 00146 - Asietas
NOC

NIC

Preventif Primer
Preventif Primer
121001 Distres ( 2-4 )
5820-Menurunkan tingkat ansietas
121004 Kurang percaya diri ( 2-4 )
1. Lakukan pendekatan secara
121015 Mencari sumber ketakutan
perlahan
(1-3)
2. Jelaskan tingkat harapan
terhadap kebiasaan pasien
3. Dampingi pasien untuk
mendorong

rasa

nyaman

dan menurunkan rasa takut


4. Mendengarkan
penuh
perhatian
Prevensi Sekunder

Preventif sekunder

140203 Mengurangi rangsangan 6040 Terapi Relaksasi


lingkungan saat gelisah (1-3)
140206

Menggunakan

strategi

1. Jelaskan alasan untuk relaksasi


dan manfaat, batasan, dan jenis

koping yang efektif (1-3)

relaksasi

yang

tersedia

140214 Menjaga tidur yang cukup

(misalnya,

musik,

meditasi,

(2-4)

berirama pernapasan, rahang

140217 Kontrol respon kecemasan

relaksasi, dan relaksasi otot

(2-3)

progresi
2. Menimbulkan

perilaku

dikondisikan

yang
untuk

menghasilkan relaksasi, seperti


bernapas

dalam,

menguap,

pernapasan perut, atau


pencitraan damai
37

untuk
telah

3. Secara teratur mengevaluasi


laporan

individu

relaksasi

dicapai, dan berkala memantau


ketegangan

otot,

denyut

jantung, tekanan darah, dan


suhu kulit, yang sesuai
Prevensi Tersier
Prevensi Tersier
130205- penerimaan situasi secara
5230-Peningkatan Koping :
verbal (2-3)
1. Dorong
pasien
untuk
130213Menghindari
situasi
mengidentifikasi gambaran
terlalu stress(2-4)
realistis perubahan dalam
130223- Memperoleh bantuan dari
peran
kesehatan professional(2-4)
2. Mencegah
pengambilan
130218- Laporan peningkatan
keputusan saat pasien berada
kenyamanan psikologis(1-4)
di bawah stres berat
090605Mengakui
yang
3. Mendorong kegiatan sosial
bertentangan

dengan

keinginan

orang lain (2-3)

dan masyarakat
4. Mendorong
penerimaan
keterbatasan lain
5. Mengakui spiritual

latar

belakang pasien / budaya


6. Mendorong
penggunaan
sumber daya spiritual, jika
diinginkan
7. Jelajahi prestasi sebelumnya
pasien
8. Dorong

pasien

mengidentifikasi

untuk
kekuatan

dan kemampuan sendiri


2.9.2.3 Implementasi
Bentuk implementasi dalam asuhan keperawatan di Lembaga Pemasyarakatan
No

Kegiatan

Hasil
38

Memberikan vaksin

100% para warga binaan


lama

dan

baru,dapat

hadir untuk berpatisipasi


2

dalam pemberian vaksin


Memberikan health education berupa penyuluhan Para warga binaan aktif
mengenai personal hygiene, perilaku hidup bersih bertanya

dan sehat dalam kondisi apapun


penyuluhan
Melakukan pemeriksaan kesehatan rutin seminggu Setiap warga
sekali

selama

sesi
binaan

berantusias

melakukan

pemeriksaan

kesehatan

Membuka layanan konseling untuk setiap warga

setiap minggu
Setiap warga

binaan

berantusias

untuk

meceritakan

setiap

binaan

kejadian dan pengalaman


yang baik ataupun buruk
di dalam sel tahanan
A. Evaluasi
Evaluasi

memuat

keberhasilan

proses

dan

keberhasilan

tindakan

keperawatan. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan membandingkan antara


proses dengan pedoman atau rencana proses tersebut. Sedangkan keberhasilan
tindakan dapat dilihat dengan membandingkan antara tingkat kemandirian
masyarakat dalam perilaku kehidupan sehari-hari dan tingkat kemajuan
kesehatan masyarakat komunitas dengan tujuan yang telah ditetapkan atau
dirumuskan sebelumnya (Mubarak, 2009).
Evaluasi Asuhan Kepeawatan di Lembaga Pemasyarakatan :
a. Kesehatan warga binaan dapat dimanajemen dengan baik
b. Jumlah penderita penyakit menular (TBC, ISPA, gatal gatal) di Lapas dapat
menurun

39

c. Warga mulai sadar dan tanggap akan pentingnya kesehaan serta dapat
menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat
d. Warga binaan dapat menangani ansietas dengan baik

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

40

c.1 Askep Kasus


Sebuah

lembaga

pemasyarakatan

berdiri

tahun

1990.

Lembaga

pemasyarakatan ini khusus untuk warga binaan laki laki dengan kapasitas 450
orang sedangkan tahanan terhitung berjumlah 607 orang dengan rentang usia 19 59
tahun. Kondisi bangunan lapas sudah tua dan tidak standar untuk bangunan lapas dan
melebihi kapasitas. Selain itu sanitasi dan kesehatan lapas juga tidak memadai.
Kegiatan setiap harinya dimulai dari pukul 05.00, kegiatan yang menjadi rutinitas
yaitu kegiatan setiap harinya keagamaan, olahraga, pembinaan kepribadian,
keterampilan, pemberian motivasi, dan pemeriksaan kesehatan. Untuk pemeriksaan
kesehatan rutin dilaksanakan dua kali seminggu sekali. Kegiatan yang dilaksanakan
dilapas berjalan sesuai jadwal yang telah ditentukan. Namun beberapa bulan terakhir
terjadi masalah terkait kesehatan dari beberapa warga binaan yang tergolong serius.
a. Pengkajian
1. Data Demografi
a. Umur
b.
Jenis kelamin
c. Jumlah warga binaan
d.
Pendidikan

: 19 tahun 59 tahun
: laki laki
: 607 orang
: Tingkat pendidikan terakhir kelompok

e.
f.

65 % diantaranya hanya lulusan SD


Pekerjaan
: Sudah tidak bekerja lagi
Agama
: Mayoritas kelompok beragama Islam

g.

80%, dan 20% beragama Kristen


Nilai nilai
: Nilai nilai kekeluargaan kelompok

ini terjalin dengan baik dan rukun


2. Perilaku
a. Diet :petugas memberikan makan kepada warga binaan
b.

sebanyak 3 kali sehari


Merokok: Sebagian besar tahanan merokok dengan persentase

70% dari penghuni seluruhnya


3. Delapan subsistem yang mempengaruhi komunitas
a. Lingkungan Fisik
Kondisi bangunan lapas sudah tua dan tidak standar untuk
bangunan lapas dan melebihi kapasitas. System layanan kesehatan

41

kurang efektif karena terlalu banyak warga binaan namun tenaga


kesehatan terbatas.
b.

Ekonomi
Status ekonomi sudah memenuhi karena adanya sumbangsih
dari Pemerintah

c.

Keamanan
Lingkungan

LAPAS

dikatakan

cukup

aman.

Hal

ini

dikarenakan tingkat keamanan pada LAPAS cukup ketat terlihat


dari jumlah penjaga 45 orang dan setiap hari shift penjagaan
berganti 2 kali sehari setiap pukul 08.00 dan 20.00.
d.

Politik dan kebijakan pemerintah


Upaya pemerintah yang ada di kawasan LAPAS dengan
memberikan

kegiatan

keagamaan,

pembinaan

kepribadian,

keterampilan, pemberian motivasi kepada penghuni LAPAS


e.

Sistem komunikasi
Sistem komunikasi sosialisasi penghuni dengan petugas

LAPAS cukup baik. Penghuni dan penjaga melakukan interaksi


secara langsung dengan berbincang-bincang.
f.

Pendidikan
Tingkat pendidikan penghuni LAPAS masih rendah karena 65
% diantaranya hanya lulusan SD.

g.

Rekreasi
Penghuni LAPAS jarang mendapatkan hiburan dan rekreasi
karena keterbatasan waktu.

4. Pemeriksaan Fisik Kesehatan


Pemeriksaan kesehatan rutin dilaksanakan dua kali seminggu sekali.
5. Data kesehatan Narapidana:
Dalam kurun waktu 6 bulan terakhir, terdapat penyakit:
a.

30% terserang ISPA

42

b.

b.
30% terserang TBC
c. 40% penyakit kulit
ANALISIS DATA

Data
Hasil angket:
a.

Penghuni

Masalah
Resiko Infeksi
lapas

banyak

yang

terserang penyakit.
1. 30% terserang ISPA
2. 30% terserang TBC
3. 40% penyakit kulit
b.

Hasil winshield survey I:


1. Kondisi

bangunan

lapas

sudah tua dan tidak standar


untuk bangunan lapas dan
melebihi kapasitas.
2. Kapasitas yang disediakan
lapas berjumlah 150 kamar
untuk 450 orang (1 kamar
berisi

orang),

namun

karena terlalu banyak warga


maka terpaksa setiap kamar
berisi 4 orang dan ada pula
1 kamar berisi 5 orang.
3. Normalnya

untuk

kelembapan udara di dalam


sebuah ruangan adalah 40
% sampai dengan 60% RH.
Namun Sebanyak 50 kamar
kelembaban udara kurang
dari 40%.
4. Sistem layanan kesehatan

43

kurang efektif karena terlalu


banyak

warga

namun

tenaga

binaan
kesehatan

terbatas.
c.

Hasil wawancara:
1. Warga

binaan

juga

lapas

tempat

mereka

terlalu

mengeluh
tinggal

sempit untuk tinggal 607


orang warga binaan dan
kondisi sanitasi lapas juga
kurang

baik

dan

kelembaban

ruangan

kurang.
2. Penghuni lapas mengatakan

bahwa
a.

personal

hygiene

tidak dihiraukan..
Hasil angket:

Perilaku

kesehatan

cenderung

1. 70% dari seluruh penghuni beresiko


mengaku

memiliki

kebiasaan merokok.
2. Penghuni lapas banyak yang
terserang penyakit.

b.

a).

30% terserang ISPA

b).

30% terserang TBC

c).

40% penyakit kulit

Hasil winshield survey:


1. Kondisi lapas yang terlalu
sempit untuk tinggal 607

44

orang warga binaan.


c.

Hasil wawancara:
1. Banyak

warga

mengaku

binaan

tidak

ditempat

merokok

yang

telah

disediakan

namun

disembarang tempat.
2. Penghuni lapas mengatakan
tidak bisa memberhentikan
kebiasaan merokok.
4.

Diagnosa 1
Diagnosa Keperawatan
Domain 11
Kelas 1
Definisi

: Risk for infection (resiko infeksi)


: Keamanan/ perlindungan
: Infeksi
: Rentan mengalami Inveasi dan multiplikasi

organisme patogenik yang dapat mengganggu kesehatan.


Batasan Karakteristik : 00004 Peningkatan paparan lingkungan
Pathogen

Diagnosa 1
Data

Diagnosis

DS:

Keperawatan
Risk for infection Prevensi Primer:

1. Warga binaan juga (resiko


mengeluh
tempat

lapas 00004
tinggal

mereka

terlalu

sempit

untuk

tinggal 607 orang


warga binaan dan
kondisi

sanitasi

NOC

infeksi)

NIC
Prevensi Primer:
5510

192404 Mengidentifikasi
risiko infeksi pada kegiatan
sehari-hari (1 3)
192.407 Mengidentifikasi
strategi untuk melindungi diri
dari orang lain dengan infeksi
(2-4)

Pendidikan
kesehatan
3.

Ajarkan
strategi yang dapat
digunakan

untuk

melawan perilaku
tidak sehat / yang

45

lapas juga kurang

beresiko daripada

baik

memberikan

dan

kelembaban

nasihat

ruangan kurang.
2. Penghuni
lapas

menjauhi

merubah perilaku.
4.
Datangkan

mengatakan bahwa
personal

untuk

hygiene

pember informasi

kurang

untuk

diperhatikan

menyampaikan
informasi

DO:

dengan

maksimum, disaat

1. Penghuni

lapas

banyak

yang

terserang penyakit.
a. 30% terserang
ISPA
b. 30% terserang
TBC
c. 40%

penyakit

kulit

Prevensi Sekunder:
280103 Ketersediaan
program

skrining

preventif (2 - 4)

untuk

ruangan adalah 40

Sebanyak 50 kamar
kelembaban udara
kurang dari 40%.
3. Kondisi bangunan
lapas sudah tua dan

6. Mengarahka
Menjadwalka

partisipasi

penduduk

preventif (2 - 4)

Kegiatan

Cek Up
7. Ulasan
riwayat

280119 Pemantauan insiden


penyakit kronis (2 - 4)

% sampai dengan
60% RH. Namun

risiko (6610)

280104 Sasaran tingkat

kelembapan udara
di dalam sebuah

2. Identifikasi

n Masyarakat

dalam program skrining


2. Normalnya

yang tepat
Prevensi Sekunder:

kesehatan
masa

lalu

dan dokumen
280120 Pemantauan
prevalensi penyakit
kronis (1 - 5)

untuk
yang

bukti
ada

atau diagnosa
medis

dan

keperawatan
sebelumnya

46

tidak standar untuk

dan

bangunan lapas dan

perawatan
8. Mengidentifi

melebihi kapasitas.
4. Kapasitas
yang
disediakan

lapas

berjumlah

150

kasi

risiko

biologis,
lingkungan,

kamar untuk 450

dan perilaku

orang

(1

kamar

dan

berisi

orang),

hubungan

namun

karena

timbal balik

terlalu

banyak

di

warga

maka

terpaksa

setiap

kamar

berisi

dalam

lapas
9. Instruksikan
pada

faktor

risiko

orang dan ada pula

dan

rencana

1 kamar berisi 5

pengurangan

orang.

risiko
10. Memotivasi
penghuni
Untuk Secara
Aktif
Mendatangi
Pelayanan
cek
Kesehatan di
dalam lapas.

Prevensi Tersier:
192411 Menjaga lingkungan

Prevensi Tersier:
2281

Bantuan

47

yang bersih (2 - 4)

rumah
Pemeliharaan
11.
Tentuk

192413 Kembangkan
pengendalian

an kebutuhan

infeksi

pemeliharaan

yang efektif strategi

lapas
12.
Libatka

(2 - 4 )

n
192415 Praktek tangan
sanitasi (2 - 4)

penghuni

lapas

dalam

memutuskan
persyaratan

192416 Praktek pengendalian


infeksi (2 - 4)
192417

pemeliharaan
lapas
13.
Membe

Mengatur

strategi

pengendalian infeksi (1 - 3 )

rikan
informasi
tentang

192420 Monitor perubahan

bagaimana

status kesehatan umum (2 - 4)

membuat
lingkungan

192421 Membawa tindakan

yang

segera

dan bersih di

untuk

mengurangi

risiko (2 - 4 )
192427 Berusaha memberikan
informasi tentang kesehatan
risiko (2 - 4)

aman

dalam lapas.
14.
Sarank
an

layanan

untuk
pengendalian
virus
infeksi
menular,
yang

48

atau

diperlukan
15.
Memfa
silitasi
membersihka
n lingkungan
kotor
16.
Sarank
an

layanan

untuk
perbaikan
lapas,

yang

diperlukan
17.
Diskusi
kan

biaya

pemeliharaan
yang
diperlukan
dan

sumber

daya

yang

tersedia
18.
Menaw
arkan solusi
untuk
kesulitan
keuangan
19.
Membe
rikan
informasi
tentang
perawatan
yang cukup,

49

sesuai
kebutuhan
20. Mengkoordin
asikan
penggunaan
sumber daya
penghuni
lapas
1. Diagnosa 2
Diagnosa Keperawatan

: 00188 Risk - Prone Health Behaviour

(Perilaku Kesehatan Cenderung Beresiko)


Domain 1
: Health Promotion
Kelas 2
: Health Management
Definisi
: Kemampuan yang rendah untuk memodifikasi
gaya hidup / perilaku dalam sebuah cara yang meningkatkan status kesehatan
Batasan Karakteristik
: Kegagalan untuk mengambil tindakan dalam
mencegah masalah kesehatan

Data
DS:

Diagnosis Keperawatan
NOC
Perilaku
kesehatan Prevensi Primer:

1. Banyak warga cenderung


binaan

berhubungan

NIC
Prevensi Primer:

beresiko 162515 Gunakan sistem 5510


dengan dukungan personal (24)

mengaku tidak merokok (00188)

Pendidikan

kesehatan
2.

Ajarkan

merokok

190627 Mencari informasi

strategi

ditempat yang

terbaru mengenai bahaya

dapat

digunakan

telah

penggunaan tembakau (1-

untuk

melawan

disediakan

3)

perilaku

namun

sehat

yang

tidak
/

yang

disembarang

190625 Menjauhi situasi

beresiko daripada

tempat.

yang

memberikan

mendukung

50

2. Penghuni
lapas

penggunaan tembakau (2-

nasihat

4)

menjauhi

mengatakan
tidak

bisa

merubah perilaku
170514

Fokus

dalam

memberhentik

mempertahankan perilaku 4490

an

kesehatan (1-3)

kebiasaan

untuk

Bantuan

penghentian merokok

merokok.

2.

DO:

Promosikan
kebijakan

1. 70%

dari

yang

menentapkan dan

seluruh

melaksanakan

penghuni

lingkungan bebas

mengaku

rokok

memiliki
kebiasaan
merokok.
2. Penghuni
lapas

banyak

yang terserang
penyakit.
a. 30%
terserang
b.

ISPA
30%

Prevensi Sekunder:
162528

Prevensi Sekunder:

Kurangi 5210

penggunaan tembakau (1 antisipasi


4)

3.

TBC
40%
penyakit

Bantu pasien
memutuskan

1906

Kontrol

resiko:

bagaimana

penggunaan tembakau (1-

masalah

3)

akan

dipecahkan
Bantu pasien

4.

terserang
c.

Bimbingan

162503

Identifikasi

manfaat berhenti merokok

memutuskan siapa
yang

akan

memecahkan

(1-3)

masalah

kulit
162504
dampak

Identifikasi
negatif

dari

penggunaan tembakau (1-

6610

Identifikasi

resiko

51

3)

8.

Tentukan
ketersediaan

162506
penghalang

Identifikasi

kualitas

untuk

(contoh:

eliminasi tembakau (1-3)

dan

sumber

psikologi,
keuangan, tingkat

160202

Monitor

pendidikan,

lingkungan yang beresiko

keluarga

dan

(2-4)

masyarakat

lain

160203 Monitor perilaku


personal yang beresiko (24)

dan komunitas)
9.
Identifikasi
resiko

biologi,

lingkungan

dan

perilaku

dan

hubungan timbal
balik
10. Pertimbangka
n

standar

berguna

yang
dalam

bidang

prioritas

untuk mengurangi
resiko

(contoh:

tingkat kesadaran
dan

motivasi,

keefektifan, biaya,
kemungkinan
dikerjakan,
pilihan, keadilan,
stigmatisasi,

dan

beratnya hasil jika

52

resiko tetap belum


terselesaikan)
11. Diskusikan
dan

rencanakan

aktivitas
pengurangan
resiko

dalam

kolaborasi dengan
individu

kelompok
12. Laksanakan
aktivitas
pengurangan
resiko
13. Rencanakan
untuk

monitor

jangka

panjang

dari

resiko

kesehatan
14. Rencanakan
untuk

tindak

lanjut

jangka

panjang

dari

strategi

dan

aktivitas
pengurangan
resiko
4490

Bantuan

penghentian merokok
5.

Catat

53

status

merokok

terbaru

dan

riwayat

merokok
6.
Menentukan
kesiapan

pasien

untuk

belajar

tentang

berhenti

merokok
7.
Monitor
kesiapan
untuk

pasien
mencoba

berhenti merokok
8.
Bantu pasien
identifikasi alasan
untuk
dan

berhenti
penghalang

untuk berhenti

Prevensi Tersier:

Prevensi Tersier:

162512 Gunakan strategi 4360


modifikasi perilaku (2-4)

Perilaku
2.

162514

Modifikasi

Memperoleh

Diskusikan
proses modifikasi

bantuan dari profesional

perilaku

dengan

kesehatan (2-4)

pasien dan orang


lain yang penting

162517

Gunakan

terapi

pengganti nikotin (2-4)

5602

Pembelajaran:

proses penyakit
162518

Gunakan

terapi

2.

Diskusikan

54

alternatif (2-4)

perubahan

gaya

hidup

yang

162525 Ikuti konseling (1-

mungkin

3)

diperlukan untuk
mencegah

162526

Ikuti

telepon (1-3)

konseling

komplikasi

yang

akan datang dan /


mengontrol proses
penyakit
4490

Bantuan

penghentian merokok
1.Beri tahu pasien
tentang

produk

pengganti nikotin
(contoh:

permen

karet, semprotan
hidung,

inhaler)

untuk membantu
mengurangi
penarikan gejala
2.Atur

terapi

pengganti nikotin
3.Dorong

pasien

untuk

ikut

kelompok

yang

mendukung
berhenti merokok
setiap minggu
4.Bantu

pasien

55

merencanakan
strategi

koping

spesifik

dan

memecahkan
masalah dari hasil
berhenti merokok
5.Ikuti

pasien

selama 2 tahun
setelah
jika

berhenti
mungkin,

memberikan
semangat
6.Atur

untuk

mempertahankan
frekuensi kontak
telepon

dengan

pasien
7. Dukung pasien
yang

mulai

merokok kembali
dengan membantu
untuk
mengidentifikasi
apa

yang

dipelajari

5.
No
1

Implementasi

Kegiatan
Hasil
Memberikan vaksin TBC kepada warga binaan 100% para warga binaan

56

telah

baru

yang

baru

hadir

berpatisipasi
2

Memberikan

health

education

untuk
dalam

pemberian vaksin TBC


berupa Para warga binaan aktif

penyuluhan kesehatan tentang bahaya merokok bertanya

selama

sesi

dengan focus pada masalah penularan TBC dan penyuluhan


penyuluhan mengenai personal hygiene, perilaku
3

hidup bersih dan sehat dalam kondisi apapun


Melakukan pemeriksaan kesehatan rutin Setiap
seminggu sekali

warga

melakukan

binaan

pemeriksaan

kesehatan
EVALUASI
Evaluasi dari proses keperawatan yang diberikan kepada komunitas :
6. Kesehatan warga binaan dapat dimanajemen dengan baik
7. Jumlah penderita penyakit menular (TBC, ISPA, gatal gatal) di
Lapas dapat menurun
8. Warga mulai sadar dan tanggap akan pentingnya kesehaan serta
dapat menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat

57

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Lembaga pemasyarakatan atau lapas adalah suatu lembaga koreksi untuk
meluruskan perilaku pelanggar hukum apabila pelanggar hukum dianggap sebagai
perilaku yang menyimpang. Lapas dikenal dengan konsep yang menakutkan,
menyeramkan, dan dapat membuat efek jera untuk pelaku perilaku menyimpang.
Masalah yang timbul dalam lapas adalah masalah-masalah kesehatan, mental,
dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Contoh masalah kesehatan yang timbul
adalah penyebaran penyakit HIV, hepatitis, maupun tubercolosis. Masalah mental
yang timbul seperti takutnya dikucilkan oleh masyarakat setelah keluar lapas.
Masalah pemenuhan kebutuhan dasar seperti masalah sanitasi, kebersihan, dan lainlain.
4.2 Saran
Lembaga pemasyarakatan merupakan salah satu sasaran dari perawatan
komunitas. Dalam memberikan asuhan keperawatan, perawat diharapkan mampu
memberikan pelayanan yang komprehensif, selain mengatasi masalah fisik, perawat
juga harus mampu mengatasi masalah mental. Perawat juga diharapkan dapat lebih
berhati-hati saat mengatasi masalah di lembaga pemasyarakatan terkait dengan
sasaran perawatan yang memiliki riwayat perilaku menyimpang karena semua benda
yang tujuan sebenarnya adalah untuk mengobati, mampu menjadi benda yang dapat
membahayakan orang-orang di sekitar.

58

DAFTAR PUSTAKA
Apriani, Evi. 2012. Pengalaman Perempuan Berkaitan dengan Masalah Kesehatan
Reproduksi di Lembaga Pemasyarakatan Cilacap. Diakses online pada
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20301325-T30488%20-%20Pengalaman
%20perempuan.pdf tanggal 27 September 2016 [pukul 09.45 WIB]
Arif, Nur Dwi Humananda, dkk. 2014. Analisis Permasalahan Kesehatan pada
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Ambarawa. Diakses online
pada

http://perpusnwu.web.id/karyailmiah/documents/3859.pdf

tanggal

27

September 2016 [pukul 09.45 WIB]


Atmasasmita, Ramli. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Jakarta:
Mandar Maju
Cocazzo Jl: Mental illness in American prisons, Seattle, 1993, National Coalition for
Mental Illness in Criminal Justice Systems.
Cohen F: Deliberate indifference to detainees serious medical needs shown,
Corrections Mental Health Rep 1 (4): 65, 1999b.
Cohen F: Prisons duty to provide psychotropic medication includes post-release
supply, Corrections Mental Health Rep 1 (4): 49, 1999a.
Collins, et.al. 2010. Psychiatric Disorder in Detained Male Adolescents: A
Systematic Literature Review. The Canadian Journal of Psychiatric.

59

Darmabrata, wahyudi. 2003. Psikiatri Forensik. Jakarta: EGC


Depkes.go.id. 2012. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Diakses dalam
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatanindonesia/profil-kesehatan-indonesia-2012.pdf pada 12 Oktober 2016 [pukul 0:
25 WIB]
Efendi, Ferry dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan
Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Herdman, T. H &Kamitsuru. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses:
Definition and Classification 2015-2017. Oxford :Wiley Blacwell
Indriyani, Dewi Utari, dkk. 2012. Gambaran Tingkat Kecemasan pada Warga Binaan
Wanita menjelang Bebas di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A
Bandung.

Diakses

online

http://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/article/viewFile/777/823

pada
tanggal

27

September 2016 [pukul 09.45 WIB]


Manik. 2007. Analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri pada
Narapidana Remaja di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak Tanjung
Gusta Medan. Skripsi. Tidak dipublikasikan
Marry Jo Clark.1999. Nursing In The Community. Appleton a Lange : Amerika
Marry A Nies. 2001.Community Health Nursing. Saunders company. Lipincolt
Moorhead Sue. Johson Marion.et. al. 2013Nursing Outcome Classification
(NOC). Elsevier :USA

60

Mubarak I W. 2009.Pengantar dan Teori Ilmu Keperawatan Komunitas 1. CV


Sagung Seto: Jakarta
Sulcha. 1993. Hubungan Konsep Diri dan Tingkat Kecemasan Narapidana di Balai
BISPA Klas I Surabaya. Surabaya. Skripsi. Tidak dipublikasikan
Tarwoto, Wartonah. (2004). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Edisi ketiga. Jakarta : Salemba Medika
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
diakses dalam http://sireka.pom.go.id/requirement/UU-36-2009-Kesehatan.pdf
pada 12 Oktober 2016 [pukul 0: 09 WIB]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
diakses dalam https://ina-respond.net/wp-content/uploads/2015/05/3-UU-No36-tahun-2009-tentang-Kesehatan.pdf pada 12 Oktober 2016 [pukul 0: 13 WIB]
Widianti, Efri. 2011. Tesis Pengaruh Terapi Logo dan Terapi Suportif Kelompok
terhadap Ansietas Remaja di Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan
Wilayah Provinsi Jawa Barat. Depok: UI

61

Anda mungkin juga menyukai