Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kesehatan merupakan aspek penting dari hak asasi manusia (HAM).
Negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-
hak asasi kesehatan tersebut. Pemerintah telah menyusun berbagai program
pembangunan dalam bidang kesehatan antara lain kegiatan pemberantasan
Penyakit Menular (P2M) baik yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif di semua aspek lingkungan kegiatan pelayanan kesehatan.
Pembangunan kesehatan telah berhasil meningkatkan umur harapan hidup
penduduk indonesia menjadi 69,8% pada tahun 2012. Keberhasilan juga
ditunjukkan dalam menurunkan angka kesakitan dari berbagai penyakit
menular. Namun demikian, Indonesia masih dihadapkan dengan berbagai
tantangan dalam pencegahan dan pengendalian penyakit menular, antara lain
masih tingginya angka kesakitan dan kematian akibat infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA).1
ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Terdapat 156 juta
kasus per tahun di seluruh dunia, dimana 151 juta (96,7%) terjadi di negara
berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta),
Pakistan (10 juta), dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta
kasus. Dari semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus berat dan
memerlukan perawatan rumah sakit. ISPA merupakan salah satu penyakit
utama dengan kunjungan pasien yang tinggi di Puskesmas (40-60%) dan
rumah sakit (15-30%).1
Menurut hasil Riskesdas 2013, prevalensi ISPA di Indonesia adalah 25%.
Prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun sebesar
25,8% dan <1 tahun sebesar 22%. Di provinsi Riau, prevalensi ISPA pada
kelompok umur <1 tahun sebesar 28,6%. Data dari Dinas Kesehatan Kota
Pekanbaru menunjukkan ISPA masih mendominasi sepuluh penyakit terbesar
di Puskesmas. Jumlah balita menderita ISPA di seluruh Puskesmas di Kota
Pekanbaru sebanyak 20.936 balita. Jumlah kunjungan terbanyak dari 20
Puskesmas yang terdapat di kota Pekanbaru salah satunya ada di wilayah
kerja Puskesmas Sidomulyo Rawat Inap. Data Puskesmas Sidomulyo Rawat
Inap Kota Pekanbaru Provinsi Riau tahun 2018, ISPA merupakan penyakit
menular terbanyak pertama dipuskesmas sidomulyo rawat inap.
ISPA adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang
disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau
lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli
(saluran bawah). Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang
kemudian diikuti dengan napas cepat dan napas sesak. Pada tingkat yang
lebih berat terjadi kesukaran bernapas, tidak dapat minum, kejang, kesadaran
menurun dan meninggal bila tidak segera diobati. Usia Balita adalah
kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan.5
Beberapa kondisi dianggap menjadi faktor risiko terhadap timbulnya
ISPA, antara lain kurangnya pemberian ASI eksklusif, status gizi, imunisasi,
polusi udara dalam ruangan, kepadatan penduduk, status merokok orang tua,
dan tingkat pendidikan orang tua.1
Berdasarkan data diatas terlihat bahwa kasus ISPA masih tinggi, sehingga
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai ISPA di Puskesmas
Sidomulyo Rawat Inap Pekanbaru. Dengan mengangkat judul “Hubungan
Perilaku Merokok Anggota Keluarga Dengan Kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) di Poli Anak Puskesmas Sidomulyo Rawat Inap
Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru Provinsi Riau.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah Bagaimana Hubungan Perilaku Merokok Anggota
Keluarga dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Poli
Anak Puskesmas Sidomulyo Rawat Inap Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru
Tahun 2020?
1.3. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari rumusan masalah tersebut yaitu:
Terdapat hubungan perilaku merokok anggota keluarga dengan kejadian
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Poli Anak Puskesmas Sidomulyo
Rawat Inap Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru Tahun 2020?
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan perilaku merokok anggota keluarga dengan
kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Poli Anak Puskesmas
Sidomulyo Rawat Inap Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru Tahun 2020.
1.4.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui kejadian infeksi saluran pernapasan akut di Poli
Anak Puskesmas Sidomulyo Rawat Inap Kecamatan Tampan Kota
Pekanbaru Tahun 2020.
b. Untuk mengetahui hubungan perilaku merokok anggota keluarga
dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Poli
Anak Puskesmas Sidomulyo Rawat Inap Kecamatan Tampan Kota
Pekanbaru Tahun 2020.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Peneliti
Penelitian ini diharapkan menambah wawasan peneliti mengenai
hubungan perilaku merokok anggota keluarga dengan kejadian infeksi
saluran pernapasan akut.
1.5.2. Instansi Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu
sumber informasi yang dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka
perencanaan program, khususnya dalam rangka pengendalian penyakit
menular.
1.5.3. Masyarakat
Dapat mengetahui faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
infeksi saluran pernapasan akut dan dapat melakukan pencegahan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)


2.1.1. Definisi
Infeksi Saluran Pernapasan Akut, atau disingkat dengan ISPA,
adalah suatu penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian
atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung sampai alveoli
termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah,
dan pleura yang berlangsung selama 14 hari.
Menurut WHO (2007), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya
menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit mulai
dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang
parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor
lingkungan, dan faktor pejamu.
ISPA sering disebut sebagai “the leading killer of children” yang
berarti ISPA merupakan penyakit pembunuh pertama pada anak-anak.
ISPA juga sering dikenal dengan “the fogotten pandemic”, pandemik
yang terlupakan karena banyak kematian yang disebabkan oleh
penyakit ini namun tidak mendapatkan perhatian yang cukup, baik
dari pemerintah, komunitas kesehatan global, donor, industri farmasi ,
ataupun masyarakat sehingga penyakit ini juga dikenal dengan “the
forgotten killer”.
2.1.2. Epidemiologi
ISPA merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia, baik
di negara maju maupun di negara berkembang. ISPA banyak terjadi di
negara berkembang dan sering menyerang anak-anak terutama bayi
dan balita. Di Bangladesh, ISPA merupakan penyakit infeksi yang
menyebabkan kematian sebesar dua per tiga dari total kematian anak
berusia di bawah 1 tahun. Insidens kejadian ISPA menurut kelompok
umur balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di negara
berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per tahun
dimana 151 juta episode (96,7%) terjadi di negara berkembang. Kasus
terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta), Pakistan (10 juta),
dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta episode.
Di Indonesia, angka kejadian ISPA pada tahun 2013 sebesar 25,0%
. Lima provinsi dengan prevalensi ISPA tertinggi yaitu Nusa Tenggara
Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat
(28,3%), dan Jawa Timur (28,3%).

Gambar 2.1. Angka Kejadian ISPA berdasarkan provinsi di Indonesia


tahun 2012 dan 2013
Karakteristik pasien yang mengalami ISPA yang tertinggi terjadi
pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%). Tidak ada perbedaan angka
kejadian ISPA pada laki-laki maupun perempuan. Penyakit ini lebih
banyak dialami pada kelompok penduduk dengan ekonomi terbawah
dan menengah bawah.
2.1.3. Etiologi
ISPA merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau virus.
Etiologi ISPA meliputi lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia.
Bakteri penyebab ISPA yang paling sering adalah dari genus
Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus, Hemophylus,
Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain
adalah golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus,
Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain. Kebanyakan ISPA disebabkan
oleh virus.
2.1.4. Klasifikasi
Berdasarkan lokasi anatomi terkena infeksi, ISPA dibagi menjadi :
1. ISPA bagian Atas
Adapun yang termasuk dalam ISPA bagian atas adalah
nasofaringitis atau common cold, faringitis akut, uvulitis akut,
rhinitis, nasofaringitis kronis, dan sinusitis.
2. ISPA bagian Bawah
Adapun yang termasuk dalamm ISPA bagian bawah adalah
bronkitis akut, bronkitis kronis, bronkiolitis dan pneumonia.

Gambar 2.2. Klasifikasi ISPA berdasarkan lokasi anatomi terkena


infeksi Sumber: repository.usu.ac.id

Menurut Kemenkes RI (2012) dalam Pedoman Pengendalian ISPA,


ISPA diklasifikasikan menjadi:
1. ISPA Pneumonia, merupakan ISPA yang sampai mengenai
jaringan paru- paru (alveoli).
2. ISPA bukan Pneumonia, merupakan penyakit yang dikenal
masyarakat dengan istilah batuk dan pilek (common cold).
Berdasarkan kelompok umur, ISPA diklasifikasikan lagi menjadi:
1. Kelompok Umur 2 bulan - <5 tahun
- Pneumonia berat, apabila terdapat gejala batuk dan/atau sukar
bernapas disertai adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam (chest indrawing).
- Pneumonia, apabila terdapat gejala batuk dan/atau sukar
bernapas disertai napas cepat sesuai golongan umur :
2 bulan – <1 tahun : 50 kali atau lebih/menit
1 – < 5 tahun : 40 kali atau lebih/menit
- Bukan pneumonia, apabila hanya terdapat gejala batuk dan/atau
sukar bernapas.
2. Kelompok umur < 2 bulan
- Pneumonia berat, apabila terdapat gejala batuk dan/atau sukar
bernapas disertai napas cepat >60 kali per menit atau tarikan
kuat dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing).
- Bukan pneumonia, apabila hanya terdapat gejala batuk dan/atau
sukar bernapas.
2.1.5. Faktor Risiko
Ada 3 faktor yang menetukan terjadinya ISPA, yaitu :
1. Faktor mikroorganisme penyebab
Penyebab tersering ISPA adalah virus karena sifatnya yang
mudah menular sehingga angka kejadian ISPA di masyarakat
menjadi tinggi. Akan tetapi, ISPA yang disebabkan virus ini tidak
memerlukan tatalaksana khusus karena bersifat self limiting.
2. Faktor penjamu
- Usia
Mikroorganisme penyebab ISPA sangat banyak jenisnya dan
bisa menyerang segala usia sehingga infeksi saluran pernapasan
akut dapat terjadi pada siapa saja baik pada anak-anak maupun
dewasa.
ISPA lebih sering terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun
(Riskesdas, 2013). Anak berusia <2 tahun mempunyai risiko
mendapat ISPA lebih besar dari pada anak yang lebih tua.
Keadaan ini terjadi mungkin karena pada anak usia <2 tahun
belum memiliki imunitas yang sempurna dan lumen saluran
pernapasan yang relatif sempit (Daulay, 2008). Kasus ISPA
banyak terjadi pada usia yang lebih muda karena daya tahan
tubuh yang masih rendah.
- Jenis kelamin
Pada suatu penelitian, laki-laki lebih banyak menglami ISPA
daripada perempuan. Tetapi dalam Riskesdas (2013), tidak ada
perbedaan angka kejadian ISPA pada laki-laki maupun
perempuan. Memang ada sedikit perbedaan anatomi saluran
napas antara anak laki-laki dan perempuan, namun hal ini tidak
mempengaruhi kejadian ISPA.
- Berat badan lahir
ISPA cenderung terjadi pada balita dengan berat badan lahir
rendah (BBLR) dibandingkan dengan balita tidak BBLR Bayi
BBLR memiliki sistem pertahanan tubuh yang belum sempurna
yang mengakibatkan bayi BBLR mempunyai daya tahan tubuh
yang rendah. Selain itu, bayi BBLR juga memiliki pusat
pengaturan pernapasan yang belum sempurna, surfaktan paru-
paru masih kurang, otot-otot pernapasan dan tulang iga yang
masih lemah, dan dapat disertai penyakit hialin membran. Bayi
BBLR juga mudah mengalami infeksi paru-paru dan gagal
pernapasan
- Status Gizi
Status gizi menggambarkan baik atau buruknya konsumsi zat
gizi seseorang. Zat gizi diperlukan untuk pembentukan sistem
kekebalan tubuh seperti antibodi. Semakin baik zat gizi yang
dikonsumsi seseorang maka semakin baik pula status gizinya
sehingga sistem kekebalan tubuhnya pun semakin baik. Infeksi
saluran pernafasan akut merupakan penyakit yang sebagian
besar disebabkan oleh virus. Penyakit yang disebabkan oleh
virus sangat dipengaruhi oleh sistem kekebalan tubuh. Sistem
kekebalan tubuh yang baik menyebabkan tubuh kebal terhadap
serangan virus. Selain itu kesembuhan dari penyakit akibat
serangan virus juga akan menjadi lebih cepat.
Berdasarkan penelitian, anak dengan malnutrisi lebih sering
mengalami ISPA daripada anak dengan nutrisi yang cukup.
- Status Imunisasi
Daya tahan tubuh anak yang rendah dapat mempengaruhi
terjadinya ISPA. Anak yang tidak mendapatkan imunisasi secara
lengkap cenderung akan mengalami ISPA. Namun, hubungan
status imunisasi dengan kejadian ISPA tidak terjadi secara
langsung. Kebanyakan kasus ISPA pada anak terjadi akibat
komplikasi dari campak yang merupakan faktor risiko yang
dapat dicegah dengan pemberian imunisasi. Jadi, pemberian
imunisasi seperti imunisasi campak, dipteri, dan imunisasi
lainnya bukan untuk memberikan kekebalan tubuh terhadap
ISPA secara langsung melainkan untuk mencegah faktor risiko
yang memicu terjadinya ISPA. Walaupun mendapatkan
imunisasi yang lengkap, angka kejadian ISPA pada anak,
khususnya balita, tetap tinggi karena belum adanya vaksin yang
mencegah terjadinya ISPA secara langsung.
Daya tahan tubuh anak yang rendah dapat memicu terjadinya
ISPA walaupun telah mendapatkan imunisasi yang lengkap.
Kemampuan tubuh untuk menangkal suatu penyakit dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu: faktor genetik dan kualitas vaksin.
Jadi, walaupun seorang anak telah menerima imunisasi lengkap,
kemungkinan untuk menderita ISPA tetap ada apabila daya
tahan tubuhnya menurun.
- Pemberian ASI eksklusif
Pemberian ASI hingga bayi berusia 6 bulan merupakan
langkah yang efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan
gizi dan memberikan perlindungan bagi bayi dari serangan
infeksi khususnya ISPA (IDAI, 2008). ASI mengandung banyak
faktor kekebalan dan bermanfaat terhadap pencegahan ISPA
terutama sejak pemberian ASI di awal kelahiran bayi hingga
bayi berusia 6 bulan. Salah satu faktor kekebalan terhadap
ISPA yang terkandung dalam ASI adalah imunoglobulin.
Imunoglobulin yang banyak ditemukan pada saluran cerna dan
saluran napas adalah Imunoglobulin A (IgA). Sedangkan
antibodi terhadap penyakit saluran pernapasan yang ditransfer
dengan bantuan jaringan limfosit adalah Bronchus Assosiated
Immunocompetent Lymphoid tissue (BALT) (IDAI, 2008).
Dari penelitian dilakukan sepuluh tahun terakhir ini
menunjukkan bahwa ASI kaya akan faktor antibodi untuk
melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus. Terutama selama
minggu pertama (4 sampai 6 hari) payudara akan menghasilkan
kolostrum, yaitu ASI awal yang mengandung zat kekebalan
(imunoglobin, komplemen, lisozim, laktoferin, dan sel-sel
leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari
serangan infeksi. Penelitian di beberapa negara sedang
berkembang menunjukkan bahwa ASI melindungi bayi terhadap
infeksi saluran pernapasan berat.
Bayi yang diberi ASI ekslusif cenderung tidak pernah
mengalami ISPA sedangkan bayi yang mendapatkan ASI non-
eksklusif cenderung sering mengalami ISPA. Risiko anak yang
diberi ASI tidak secara eksklusif lebih besar dibandingkan
dengan anak yang diberi ASI secara eksklusif. Menurut Roesli
(2001) yang mengutip pendapat Cunningham dan Howwie
(1990) bahwa kematian akibat penyakit saluran pernapasan 2 – 6
kali lebih banyak pada bayi yang diberi susu formula dari pada
bayi yang mendapat ASI. Balita yang menderita ISPA 5,3 kali
tidak mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dengan anak
balita yang tidak menderita ISPA.
- Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat
berpengaruh terhadap kesehatan. Lemahnya manajemen kasus
oleh petugas kesehatan dan pengetahuan yang kurang di
masyarakat akan gejala dan upaya penanggulangannya
menyebabkan banyak kasus ISPA yang datang ke sarana
pelayanan kesehatan sudah dalam keadaan berat karena kurang
mengerti bagaimana cara mengatasinya dan bagaiamana
pencegahan agar tidak mudah terserang penyakit ISPA.
3. Faktor lingkungan
Keadaan fisik sekitar manusia berpengaruh terhadap kesehatan
manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Ada
beberapa faktor dari lingkungan yang berpengaruh terhadap
kesehatan meliputi udara, kelembaban, air dan pencemaran udara.
Berkaitan dengan ISPA yang termasuk air borne disease
merupakan penyakit yang penularannya melalui udara yang
tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran
pernapasan. Oleh karena itu udara secara epidemologi
mempunyai peranan penting yang besar pada transmisi penyakit
infeksi saluran pernapasan. Selain itu faktor dari lingkungan yang
meningkatkan risiko terjadinya kejadian ISPA adalah cerobong
asap yang dihasilkan dari pabrik, asap kenderaan di jalanan,
keberadaan perokok, bahan bakar untuk memasak, kurangnya
ventilasi di rumah, suhu ruangan rumah dibawah 180C atau diatas
300C, kepadatan hunian rumah, penggunaan antinyamuk, dan
partikel-partikel debu di sekitar tempat tinggal.
2.1.6. Manifestasi Klinis
Penyakit ISPA pada anak dapat menimbulkan berbagai macam
tanda dan gejala seperti batuk, kesulitan bernapas, nyeri tenggorokan,
pilek, nyeri telinga dan demam.
Gejala ISPA dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Gejala ISPA ringan
Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika
ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
a. Batuk
b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan
suara seperti pada waktu berbicara atau menangis
c. Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C
2. Gejala ISPA sedang
Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika
dijumpai gejala ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala
sebagai berikut :
a. Pernapasan cepat (fast breathing) sesuai umur
- Kelompok umur <2 bulan : frekuensi napas 60 kali per menit
atau lebih
- Kelompok umur 2 – <12 bulan : frekuensi napas 50 kali per
menit atau lebih
- Kelompok umur 12 bulan – < 5 tahun : frekuensi napas 40
kali per menit atau lebih
b. Suhu tubuh lebih dari 39°C
c. Tenggorokan berwarna merah
d. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak
campak
e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
f. Pernapasan berbunyi seperti mengorok/mendengkur
3. Gejala ISPA Berat
Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA berat jika
dijumpai gejala- gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai
satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
a. Bibir atau kulit membiru
b. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
c. Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak
gelisah
d. Sela iga tetarik ke dalam pada waktu bernapas
e. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba
f. Tenggorokan berwarna merah
2.1.7. Diagnosis
Diagnosis etiologi ISPA pada bayi/balita cukup sulit ditegakkan
karena pengambilan dahak sulit dilakukan. Prosedur pemeriksaan
imunologi pun belum bisa memberikan hasil yang memuaskan untuk
menentukan penyebab ISPA. Pemeriksaan darah dan pembiakan
spesimen fungsi atau aspirasi paru bisa dilakukan untuk diagnosis
penyebab ISPA. Cara ini cukup efektif untuk menentukan etiologi
ISPA, namun cara ini dianggap merupakan prosedur yang berbahaya
dan bertentangan dengan etika. Dengan pertimbangan inilah diagnosis
etiologi penyebab ISPA di Indonesia didasarkan pada hasil penelitian
asing (melalui publikasi WHO) bahwa Streptococcus, Pnemonia dan
Haemophylus influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan
pada penelitian etiologi di negara berkembang sedangkan di negara
maju sering disebabkan oleh virus.
Diagnosis ISPA juga bisa ditegakkan berdasarkan gejala yang
timbul pada bayi/balita seperti yang telah dijelaskan pada uraian
manifestasi klinis di atas.
2.1.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ISPA dikembangkan melalui suatu Managemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS). Melalui MTBS ini semua penderita
ISPA langsung ditangani di unit yang menemukan. Namun, bila
kondisi bayi/balita sudah berada dalam pneumonia berat sedangkan
peralatan tidak mencukupi maka penderita langsung dirujuk ke unit
dengan fasilitas yang lebih lengkap.
Pengobatan penyakit ISPA dilaksanakan berdasarkan klasifikasi
ISPA sebagaimana diuraikan secara ringkas pada bagan berikut.

Gambar 2.3. Tatalaksana ISPA berdasarkan umur < 2


bulan Sumber: Kemenkes RI, 2012
Gambar 2.4. Tatalaksana ISPA berdasarkan umur 2 bulan - <
5 tahun Sumber: Kemenkes RI, 2012
Obat antibiotik yang digunakan adalah kotrimoksazol, amoksisilin
selama 3 hari dan obat simptomatis yang diperlukan seperti
parasetamol, salbutamol. Setelah mendapat antibiotik, penderita
ditindak lanjut pada kunjungan ulang setiap dua hari di fasilitas
pelayanan kesehatan. Bila pasien menderita pneumonia berat atau
penyakit sangat berat, pasien dapat dirujuk ke ahlinya.
Konseling/edukasi antara dokter/tenaga kesehatan lainnya dengan
ibu/keluarga anak yang menderita ISPA perlu diberikan agar
pengobatan yang diberikan berhasil dan tidak sia-sia. Adapun
konseling yang perlu dilakukan menurut MTBS adalah sebagai
berikut:
a. Konseling tentang cara pemberian obat oral di rumah
Dokter menunjukkan obat yang diberikan kemudian dijelaskan
kepada ibu tentang penggunaan dosis obat, alasan obat
diberikan, peragaan cara mengukur atau membuat dosis
kemudian ibu mempraktikkan sendiri.
b. Konseling tentang cara menyinari bayi dengan cahaya matahari
Manfaat cahaya matahari bagi bayi adalah memberikan
kehangatan pada tubuh bayi, memicu keluarnya lendir
tenggorokan, mengandung vitamin D yang berperan dalam
penyerapan kalsium pada tulang, dan mengurangi tanda ikterus
pada ikterus neonatorum fisiologis pada bayi. Jelaskan kepada
ibu bahwa penyinaran bayi dengan matahari dilakukan pada
waktu pagi mulai jam 07.00 – 08.00 selama 30 menit dengan 15
menit telentang dan 15 menit tengkurap dan atur posisi kepala
bayi agar wajah tidak menghadap matahari langsung.
c. Konseling tentang cara meningkatkan ASI
Jelaskan kepada ibu bahwa bayi sebaiknya diberikan ASI siang
dan malam sampai bayi tidak mau menyusui lagi, menyusui
lebih sering karena merupakan kebutuhan bayi, menyusui
dilakukan secara bergantian antara payudara kiri dan payudara
kanan. Apabila bayi tidur selama 3 jam, bangunkan untuk
disusui.
d. Konseling tentang cara menyusui yang benar
Jelaskan kepada ibu bahwa untuk menyusui diawali dengan
memegang/menyanggah seluruh tubuh bayi, jangan hanya di
leher dan bahunya saja. Kemudian kepala bayi dan tubuh lurus,
dihadapkan ke dada sehingga hidung bayi berhadapan dengan
puting susu, sentuhkan bibir bayi ke puting susu, lalu tunggu
sampai mulut terbuka lebar. Setelah bibir terbuka lebar, segera
dekatkan bayi ke payudara sehingga bibir bawah berada di
bawah puting susu.
e. Konseling tentang cara mencegah infeksi dan pemberian
imunisasi
Dijelaskan kepada ibu agar selalu mencuci tangan setiap kali
memegang bayi, setiap kali mengganti popok segera cuci
tangan, hindari bayi kontak dengan orang sakit, dan berikan
imunisasi sesuai jadwal.
f. Konseling tentang kapan segera dibawa ke petugas kesehatan
Jelaskan kepada ibu bahwa sebaiknya anak dibawa ke petugas
kesehatan apabila pada bayi ditemukan tanda dan gejala sebagai
berikut: gerak bayi kurang atau tidak normal, napas cepat, sesak
napas, perubahan warna kulit (kebiruan atau kuning), malas
minum, badan teraba dingin atau panas, dan BAB bercampur
darah.
g. Konseling tentang kapan kunjungan ulang
Jelaskan kepada ibu untuk melakukan kunjungan ulangnya 2
hari apabila gejala masih tetap ada atau semakin berat walaupun
sudah diobati.
h. Konseling tentang kesehatan sendiri pada ibu
Jelaskan kepada ibu bahwa ibu harus selalu menjaga
kesehatannya dan dianjurkan untuk makan dan istirahat yang
cukup.
2.1.9. Pencegahan
a. Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan
ini diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat
terhadap hal- hal yang dapat meningkatkan faktor risiko
penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa
penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI eksklusif,
penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan
anak, penyuluhan kesehatan lingkungan rumah, penyuluhan
bahaya rokok,dan penyuluhan pendidikan dan pengetahuan
orang tua.
b. Imunisasi, merupakan strategi spesifik untuk mengurangi angka
kesakitan (insidensi) ISPA.
c. Usaha di bidang gizi dengan tujuan mengurangi malnutrisi dan
defisiensi vitamin A.
d. Program Konsling yang menangani pengetahuan ibu tentang
kejadian ISPA menurut pendidikan dan pemahamannya
e. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang
menangani masalah polusi di dalam maupun di luar rumah.
2.2. Merokok
2.2.1 Kandungan Rokok
Merokok merupakan kebiasaan yang memiliki daya merusak cukup besar

terhadap kesehatan. Menurut WHO tahun 2010, merokok merupakan kegiatan

berbahaya bagi kesehatan tubuh karena rokok mengandung zat adiktif yang

memiliki kandungan sekitar 4000 senyawa kimia, didalamnya berbahaya bagi

kesehatan tubuh yang secara farmakologis terbukti beracun yang dapat

menyebabkan mutasi genetik dan kanker (Sibu Ps, dkk, 2007).

Rokok mengandung 3 racun utama yang berbahaya yaitu nikotin, tar, dan

karbonmonoksida. Saat kandungan dalam rokok terbakar, ia memproduksi

bermacam senyawa volatile, semi-volatile, dan non-volatile seperti Polycyclic

Aromatic Hydrocarbons (PAH), polynuclear hydrocarbons, azarenes, N-

nitrosamines, aromatic amines, aldehydes, hydrazine, senyawa organik benzena,

vinyl chloride, dan senyawa anorganik seperti nikel (Ni), arsenik (As), kromium

(Cr), timbal (Pb), kadmium (Cd), dan polonium-210 (Po-210) (Wigand,2006;

WHO,2010).

Asap rokok merupakan salah satu Particulate Matter (PM) yang berada di

udara. Ukuran partikel PM ada yang besar atau gelap sehingga sebagai asap
(smoke), dengakan partikel lainnya berukuran sangat kecil sehingga hanya tampak

jika diperiksa dengan mikroskop elektron. Partikel yang halus dapat terhirup

masuk ke bagian paling dalam paru sehingga dapat terserap ke dalam pembuluh

darah atau mengendap dalam waktu yang lama. Jika PM terhirup dapat

menimbulkan iritasi, mengganggu pernapasan dan merusak paru. Paparan kronis

PM dapat menyebabkan risiko penyakit kardiovaskuler dan pernapasan serta

kanker paru. Nikotin merupakan zat paling sering dibicarakan dan diteliti orang,

meracuni saraf tubuh, meningkatkan tekanan darah, menimbulkan penyempitan

pembuluh darah tepi, serta menyebabkan ketagihan dan ketergantungan pada

pemakainya (Sibu Ps, dkk, 2007).

Kadar nikotin sekitar 4-6 mg yang dihisap oleh orang dewasa setiap hari

sudah bisa membuat seseorang ketagihan. Seseorang yang merokok menghisap

bahan kimia yang terkandung di dalam rokok dan merangsang permukaan sel

saluran pernapasan sehingga mengakibatkan keluarnya lendir atau dahak. Bulu

getar yang terdapat dalam hidung sebagian besar dilumpuhkan oleh asap rokok

sehingga lendir disaluran pernapasan tidak dapat keluar sepenuhnya sehingga

menjadi tempat berkembangbiaknya bakteri yang menyebabkan ISPA (Rohilla,

2013).

Rokok merupakan benda beracun yang memberi efek yang sangat

membahayakan pada perokok aktif ataupun perokok pasif, terutama pada balita

yang tidak sengaja terkontak asap rokok. Nikotin dengan ribuan bahaya beracun

asap rokok lainnya masuk ke saluran pernapasan bayi yang dapat menyebabkan

Infeksi pada saluran pernapasan. Nikotin dengan ribuan bahaya beracun asap
rokok lainnya masuk ke saluran pernapasan bayi. Nikotin yang terhirup melalui

saluran pernapasan dan masuk ke tubuh melalui ASI ibunya akan berakumulasi di

tubuh bayi dan membahayakan kesehatan si kecil (Hidayat, 2005).

Anak-anak yang menjadi perokok pasif lebih beresiko terserang penyakit

dibandingkan orang dewasa, dimana sudah terbukti bahwa anak - anak menyerap

nikotin dua kali lebih banyak dibandingkan orang dewasa (Hanas, 2007). Balita

yang menjadi perokok pasif didalam rumahnya memiliki resiko yang lebih tinggi

untuk terserang penyakit bronkitis, pneumonia dan infeksi saluran pernafasan

lainnya serta penyakit asma dan juga infeksi telinga (Edlin & Golanty, 2010).

Tar merupakan kandungan senyawa kimia yang mematikan dan berbahaya

dari asap rokok yaitu berupa cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang

merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat karsinogenik dan dapat

menyebabkan gangguan pernapasan seperti ISPA. Asap rokok yang mengandung

tar tersebut masuk ke dalam tubuh akan mengalami pengendapan dan

menimbulkan gangguan pada silia permukaan organ paru dan mengiritasi dinding

paru. Silia tersebut berfungsi sangat penting yaitu untuk memfilter berbagai

kuman dan zat toksik yang masuk ke jaringan paru dan selanjutnya dibuang keluar

tubuh. Selain itu, tar juga akan menyebabkan paralisis silia akibat tar mengalami

pengendapan sehingga akan mempengaruhi saraf dan peredaran darah di paru

menyebabkan kesulitan dalam bernapas (Kemenkes RI, 2013; Nyoman, 2014).

2.2.2 Kebiasaan Merokok


Kebiasaan merokok di Indonesia terus mengalami peningkatan.

Berdasarkan Riskesdas (2013), Pada tahun 2007 presentase penduduk Indonesia

umur 10 tahun ke atas yang merokok sebesar 23.7% dan pada tahun 2013 sebesar
29.3% dan didapatkan bahwa perokok aktif di Indonesia melakukan aktivitas

merokok di rumah ketika bersama anggota rumah tangga lain sebesar 85.4%.

Penelitian yang dilakukan oleh Pradono dan Kristanti (2003) juga

menyebutkan bahwa perokok pasif terbesar adalah anak balita dengan prevalensi

69.5%. Tingginya prevalensi perokok pasif pada anaka adalah karna mereka

masih tinggal satu rumah dengan orang dewasa, baik orang tua atau saudara, yang

merupakan perokok aktif.

Merokok adalah membakar tembakau kemudian dihisap asapnya, baik

menggunakan rokok maupun pipa (Sitepoe cit Fawzani dan Triratnawati, 2005).

Seperti yang diungkapkan Leventhal dan Clearly dalam Purba (2009), terdapat

empat tahapan bagi seseorang hingga dapat disebut sebagai perokok. Keempat

tahapan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:

1) Tahap Preparatory adalah ketika pertama kali muncul minat untuk mulai

merokok pada seseorang. Orang mendapat gambaran yang menyenangkan

tentang merokok dengan cara mendengar, melihat, atau dari hasil

membaca.

2) Tahap Initiation adalah fase perintisan dimana seseorang memutuskan

apakah akan meneruskan perilaku merokoknya ataukah berhenti.

3) Tahap Becoming A Smoker terjadi setelah seseorang tetap meneruskan

kebiasaan merokoknya dan mulai menghisap rokok minimal empat batang

dalam sehari. Pada tahapan ini kecenderungan untu k menjadi seorang

perokok aktif semakin kuat.


4) Tahap Maintenance of Smoking adalah masa saat merokok telah menjadi

salah satu bagian dari cara pengaturan diri (self regulating). Pada saat ini

menghisap rokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang

menyenangkan. Saat pertama kali merokok, gejala-gejala yang mungkin

terjadi adalah batuk-batuk, lidah terasa getir, dan perut menjadi mual.

Walaupun demikian, para perokok pemula mengabaikan perasaan tersebut

dan lambat laun berlanjut menjadi kebiasaan yang pada akhirnya berubah

menjadi ketergantungan. Banyak diantara perokok yang justru

mempersepsikan ketergantungan ini sebagai kenikmatan yang memberikan

kepuasan psikologis. Gejala ini dapat dijelaskan dari konsep

ketergantungan rokok (tobacco dependency), yang berarti perilaku

merokok merupakan perilaku menyenangkan dan telah bergeser menjadi

aktivitas yang bersifat obsesif. Hal ini disebabkan adanya kandungan

nikotin sebagai zat adiktif di dalam rokok (Komalasari dan Helmi, 2008).

Seperti halnya yang diungkapkan Sitepoe dalam Syazana (2010), semakin

awal seseorang merokok maka semakin sulit baginya untuk berhenti

merokok. Rokok juga diketahui memiliki dose response effect, artinya

semakin muda onset merokok maka akan semakin besar pula

pengaruhnya. Dampak buruk rokok baru akan terasa setelah 10-20 tahun

pasca merokok. Secara umum, perokok dapat dikategorikan dalam:

1) Perokok aktif Menurut Bustan dalam Syazana (2010), rokok aktif

adalah asap rokok yang berasal dari hisapan perokok atau asap

utama pada rokok yang dihisap (mainstream smoke). Dari


pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perokok aktif adalah

orang yang merokok dan langsung menghisap rokok serta bisa

mengakibatkan bahaya bagi kesehatan diri sendiri maupun

lingkungan sekitar.

2) Perokok pasif ialah orang lain yang tidak merokok dan menghirup

asap samping rokok (side stream smoke), golongan ini menghirup

karbon monoksida lima kali lebih banyak serta nikotin dan tar

empat kali lipat dibanding perokok aktif.

2.2.3 Hubungan Perilaku Merokok Anggota Keluarga Dengan Kejadian

ISPA

Paparan asap rokok terjadi karena kebiasaan merokok anggota keluarga

yang menyebabkan kejadian ISPA pada anak. Kebiasaan merokok orang tua

didalam rumah menjadikan balita perokok pasif yang selalu terpapar asap rokok.

Rumah yang anggota keluarganya mempunyai kebiasaan merokok berpeluang

meningkatkan kejadian ISPA 7,83 kali dibandingkan rumah anak yang orang

tuanya tidak merokok di dalam rumah.

Asap rokok mengakibatkan mortalitas dan morbiditas pada ISPA dengan

merusak mekanisme pertahanan fisik pada saluran nafas dan mengubah respons

imun selular dan humoral terhadap mikroba. Mekanisme yang terlibat ditengarai

berupa peningkatan respons Immunoglobulin-E (IgE) melalui Interleukin-4 (IL-4)

yang diproduksi oleh limfosit CD4. Pajanan asap rokok juga mengubah respons T

helper tipe 1 yang ditandai dengan diproduksinya Interferon (IFN) gamma, IL-2,

Tumor Necrosis Factor (TNF) α, dan IL-2 yang mengakibatkan fagositosis.


Sehingga, merokok dapat meningkatkan kemampuan mikroba saluran nafas untuk

menginfeksi inang dan menurunkan kemampuan inang dalam mengontrol infeksi .

Pajanan asap rokok pasif memiliki efek pada sel T dapat memberikan

dampak berupa regulasi gen, fungsi inflamasi sel, produksi sitokin, dan sintesis

IgE. Efek tersebut cukup penting untuk diperhatikan dalam konteksnya terhadap

sistem imun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rohilla et al pada

tahun 2013, didapatkan bahwa pajanan asam rokok primer dan sekunder secara

selektif menghambat induksi interferon gamma dari beberapa fungsi makrofag,

termasuk fagositosis sel darah merah domba yang diopsonisasi oleh

imunoglobulin, ekspresi kompleks histokompatibilitas tipe II mayor, dan sintesis

oksida nitrat, dimana semua mekanisme tersebut merepresentasikan efek terhadap

imunitas. Perubahan presentasi antigen tersebut dapat terjadi tidak hanya dalam

saluran pernapasan, namun juga dapat terjadi pada bagian tubuh lain dimana zat

toksik dalam asap rokok terdistribusi. Makrofag adalah sel efektor poten dalam

responsifitas imun; penghambatan dalam kemampuannya untuk merespon

lingkungan dapat memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap fungsi imun.

Pajanan asap rokok menyebabkan inflamasi saluran nafas dan peningkatan

permeabilitas saluran nafas terhadap molekul baik kecil maupun besar, di

antaranya patogen penyebab infeksi pada saluran nafas. Ada beberapa komponen

spesifik dari pajanan asap rokok sekunder yang dapat memberikan dampak buruk

pada paru-paru anak, di antaranya adalah endotoksin bakteri yang dikenal sebagai

lipopolisakarida.
Aktivasi makrofag dapat terjadi akibat dari pajanan endotoksin tersebut.

Hal ini menyebabkan terjadinya kaskade inflamasi dan sintesis sitokin yang

berkaitan seperti IL-1, IL-6, dan IL-8, serta metabolit asam arakidonat yang

merupakan komponen penting dalam pembentukan molekul prostaglandin.

Obstruksi jalan nafas reversibel telah dihubungkan dengan inhalasi endotoksin.

Pajanan terhadap endotoksin dari asap rokok sekunder in utero, selama masa bayi,

dan kanak-kanak dapat meningkatkan inflamasi saluran nafas dan meningkatkan

kemungkinan infeksi saluran nafas.

Trisnawati dan Juwarni (2012) berpendapat bahwa adanya kecederungan

bahwa semakin berat perilaku merokok orang tua maka semakin besar potensi

anak balitanya menderita ISPA. Hal ini diperkuat dengan uji statistik yang

diperoleh nilai korelasi Chi-square didapat nilai P-value 0,000 (<0,05) yang

berarti ada hubungan antara perilaku merokok orang tua terhadap kejadian ISPA

pada balita. Dengan OR 13,325 berarti balita dengan orang tua perokok

mempunyai risiko 13,325 kali terkena penyakit ISPA daripada orang tua yang

bukan perokok.

Kebiasaan merokok didalam rumah sangat berpengaruh Pada keluarga

yang merokok, secara statistik anakya mempunyai kemungkinan terkena ISPA 2

kali lipat dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tidak merokok. Penelitian

lain menunjukkan bahwa episode ISPA meningkat 2 kali lipat akibat orang tua

merokok.
2.3. Kerangka Teori

Faktor Risiko

Asi Perilaku
Imunisasi Pendidikan Status Gizi
Eksklusif Merokok

Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA)

2.4. Kerangka Konsep


Variabel Bebas Variabel Terikat

Perilaku merokok anggota Infeksi Saluran Pernapasan


keluarga Akut (ISPA)

2.5 Hipotesis
Terdapat hubungan perilaku merokok anggota keluarga dengan kejadian infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) di Poli Anak Puskesmas Sidomulyo Rawat Inap
Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru Tahun 2020
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan
rancangan crossectional untuk menganalisis hubungan perilaku merokok
anggota keluarga dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di
Poli Anak Puskesmas Sidomulyo Rawat Inap Kecamatan Tampan Kota
Pekanbaru Tahun 2020.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Puskesmas Sidomulyo Rawat Inap
Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru yang beralamat di Jl. Garuda, Delima
Kota Pekanbaru, pada tanggal 10-30 Oktober 2020.
3.3 Variabel Penelitian
3.3.1 Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah perilaku merokok anggota
keluarga.
3.3.2 Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah ISPA.
3.4 Definisi Operasional
Untuk menyampaikan pemahaman variabel dalam penelitian ini, perlu
ditetapkan definisi operasional dari masing-masing variabel penelitian dan
tertera pada tabel.

Tabel 1. Definisi Operasional

Definisi
Variabel Alat Ukur Kategori Rasio
Operasional
Perilaku Ada anggota Kuesioner 0= Tidak Nominal
merokok keluarga yang 1= Ya
anggota terbiasa merokok
yang bertempat
keluarga
tinggal sama dengan
balita
ISPA penyakit infeksi akut Rekam 0= Tidak ISPA Nominal
yang menyerang medis 1= ISPA
salah satu bagian
atau lebih dari
saluran napas mulai
dari hidung sampai
alveoli termasuk
jaringan adneksanya
seperti sinus, rongga
telinga tengah, dan
pleura yang
berlangsung selama
14 hari

3.5 Alat dan Bahan


Alat yang di gunakan dalam penelitian ini untuk mengukur hubungan

perilaku merokok anggota keluarga dengan kejadian infeksi saluran pernapasan

akut (ISPA) adalah kuesioner dan rekam medis. Kuesioner yang digunakan

untuk mengukur perilaku merokok anggota keluarga yang dibuat berdasar kan

teori yang relevan. Kategori jawaban perilaku merokok anggota keluarga dari

pernyataan “tidak” diberi skor 0 dan “ya” diberi skor 1. Alat ukur untuk variable

ISPA diambil berdasarkan rekam medis. Kategori jawaban ISPA diberi skor 1

dan tidak diberi skor 0.

3.6 Populasi dan Sampel


3.6.1 Populasi
3.6.1.1 Populasi Target
Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh pasien ISPA di
wilayah kerja Puskesmas Sidomulyo Rawat Inap Kecamatan
Tampan Kota Pekanbaru.
3.6.1.2 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah seluruh pasien
penderita ISPA yang datang berobat ke Poli Anak Puskesmas
Sidomulyo Rawat Inap Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru pada
tanggal 10-30 oktober 2020.
3.6.2 Sampel
Besar sampel pada penelitian ini diambil secara accidental
sampling yaitu dimana teknik penentuan sampel berdasarkan
kebetulan, responden yang secara kebetulan/insidental bertemu dengan
peneliti dan digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang
kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data.
3.7 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.7.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi pada penelitai ini adalah
1. Pasien yang berobat jalan untuk ISPA di Puskesmas Sidomulyo
Rawat Inap Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru pada tanggal 10-
20 oktober 2020.
2. Pasien poli anak usia <7 tahun.
3. Pasien yang memiliki rekam medis di Puskesmas Rawat Inap
Sidomulyo Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru.
4. Pasien yang bersedia ikut dalam penelitian ini.
3.7.2 Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah pasien yang tidak bersedia
ikut dalam penelitian ini.
3.8 Besar Sampel
Pada penelitian ini besar sampel yang didapatkan adalah sebesar 30 pasien
berdasarkan pasien yang datang berobat ke Poli Anak Puskesmas Sidomulyo
Rawat Inap Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru pada tanggal 10-30 oktober
2020.
3.9 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini berdasarkan pengisian kuesioner
yang diperoleh dari orang tua pasien ISPA di Poli Anak Puskesmas
Sidomulyo Rawat Inap Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru pada tanggal 10-
30 oktober 2020.
3.10 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
3.10.1 Teknik pengolahan data
Setelah pengumpulan data selesai, kemudian dilakukan pengolahan
data :
1. Editing
Langkah ini digunakan untuk memeriksa kembali data yang
diperoleh mencakup kelengkapan / kesempurnaan data, kekeliruan
pengisian, data sampel yang tidak sesuai / tidak lengkap.
2. Coding
Data yang diperoleh diberikan kode tertentu untuk mempermudah
pembacaan data.
3. Tabulasi
Data yang terkumpul dimasukkan dalam tabel frekuensi komputer
sesuai dengan kategori masing-masing. Melakukan analisis data
menggunakan program statistik komputer.

3.11 Analisis Data


Analisis data menggunakan program SPSS 21 dengan tahapan analisis
sebagai berikut:
a. Analisis Univariat
Analisis univariat untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik
setiap variabel penelitian yaitu perilaku merokok anggota keluarga dan
kejadian ISPA pada pasien yang datang berobat jalan ke Puskesmas
Sidomulyo Rawat Inap Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan kedua variabel, yaitu
variabel bebas dan variabel terikat. Analisis bivariat yang digunakan yaitu
uji fisher.
3.12 Etika Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan berpedoman pada etika, yaitu:
a. Informed consent (persetujuan medis) merupakan bentuk persetujuan
antara peneliti dengan responden dengan kesediaannya untuk menjadi
responden penelitian
b. Anonymity (tanpa nama) merupakan jaminan dalam penggunaan subjek
penelitian dengan cara tidak mencantumkan nama responden pada lembar
alat ukur, cukup berupa penulisan kode di lembar pengumpulan data atau
hasil.
c. Confidentiality (kerahasiaan) memberikan jaminan kerahasiaan hasil
penelitian dan semua informasi yang dikumpulkan oleh peneliti.

Anda mungkin juga menyukai