Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran
atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus,
rongga telinga tengah dan pleura.1 ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas penyakit menular yang sangat tinggi pada bayi, anak-anak dan orang usia

lanjut di dunia.1 Sebesar 20% kematian terjadi pada anak kurang dari 5 tahun akibat
ISPA dengan perhitungan sekitar 2,04 juta kematian per tahun.2
ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak Indonesia dengan
episode penyakit batuk pilek diperkirakan 3-6 kali pertahun. 3 Berdasarkan kunjungan di
puskesmas, 40%-60% kunjungan adalah Penyakit ISPA. Seluruh kematian yang
disebabkan oleh ISPA mencakup 20%- 30%.4 Prevalensi ISPA pada semua umur
meningkat dari tahun 2007 hingga 2013 sebesar 25 %.5
Asia Tenggara memiliki prevalensi menempati peringkat pertama pada kejadian
ISPA, diperkirakan lebih dari 80%.2 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013, diketahui bahwa prevalensi ISPA di Indonesia sebesar 25%. Provinsi yang
memiliki prevalensi tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur sebesar 41,7%. Laporan dari
DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi yaitu
sekitar 25,5% yang menempati posisi ke-10 dari total 33 provinsi saat itu. Karakteristik
penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok usia 1-4 tahun sebesar
25,8%. Penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan kuintil
indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah.5
Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 didapat prevalensi ISPA di Sumatera
Utara berjumlah sekitar 10,9%. Jumlah kasus ISPA di kota Medan mencapai belasan
ribu tiap bulannya.5 Tercatat bulan Mei 2015, kasus ISPA mencapai 13.175 orang, Juni
11.481 orang dan Juli 14.631 orang. Ini merupakan data dari laporan sejumlah
Puskesmas Kota Medan Kepada Dinas Kesehatan Kota Medan.6

1
1.2 Rumusan Masalah

Untuk melihat sejauh mana keberhasilan Puskesmas Medan Sunggal dalam


program pengendalian penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan apa saja
kendala yang mempengaruhi tingginya angka kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) di Puskesmas Medan Sunggal pada tahun 2021.

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum


Evaluasi program ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan dan
cakupan program pengendalian penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di
Puskesmas Medan Sunggal pada tahun 2021.

1.3.2 Tujuan Khusus


- Mengetahui pelaksanaan dan pencapaian program Pengendalian Penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Puskesmas Medan Sunggal.
- Mengetahui masalah yang terdapat pada program Pengendalian Penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Puskesmas Medan Sunggal

1.4 Manfaat Penelitian

- Bagi Instansi
Hasil evaluasi program ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Puskesmas
Medan Sunggal dalam meningkatkan kinerja program pengendalian penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
- Bagi Masyarakat
Hasil evaluasi program ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat
melalui petugas kesehatan, kader dan tokoh masyarakat terkait pengendalian
penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
- Bagi Penulis
Hasil evaluasi program ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengendalian penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) di Puskesmas Medan Sunggal.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) memiliki pengertian yaitu: infeksi


adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernapasan adalah
organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus,
rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai
dengan 14 hari.7
Infeksi saluran pernapasan adalah mulai dari infeksi saluran pernapasan atas dan
andeksanya hingga parenkim paru. Pengertian akut adalah infeksi yang berlangsung
hingga 14 hari. Infeksi saluran pernapasan atas adalah infeksi primer respiratori di atas
laring, sedangkan infeksi laring ke bawah disebut infeksi saluran pernapasan bawah.
Infeksi saluran pernapasan atas terdiri dari rinitis,faringitis, tonsilitis, rinosinusitis, dan
otitis media. Sedangkan infeksi saluran pernapasan bawah terdiri atas epiglotitis, croup
(laringotrakeobronkitis), bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia. Sebagian besar infeksi
saluran pernapasan biasanya terbatas pada infeksi saluran pernapasan atas saja, tapi
sekitar 5% melibatkan laring dan respiratori bawah berikutnya sehingga berpotensi
menjadi serius.7

2.2 Epidemiologi

ISPA sering terjadi pada anak-anak dikarenakan sistem pertahanan tubuh mereka
yang belum matang dibandingkan orang dewasa sehingga proses penyebaran
penyakitnya lebih cepat.8
Epidemik ISPA yang sering disebut penyakit musiman ini, pada negara dengan
empat musim berlangsung pada musim gugur dan musim dingin, sekitar bulan Oktober
sampai Maret. Pada negara tropis seperti di Indonesia dapat berlangsung sepanjang
tahun dengan puncaknya pada musim hujan. Hal ini dikarenakan etiologi ISPA seperti
bakteri atau virus menyukai daerah dengan kelembapan dan temperatur yang rendah.
Pada pergantian musim, kejadian ISPA juga meningkat dikarenakan menurunnya
pertahanan tubuh oleh karena cuaca yang sering berubah.8

3
Episode batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan sekitar 2- 3 kali dalam
setahun.9 Infeksi ini menjadi salah satu penyebab utama pasien ke tempat pelayanan
kesehatan yakni puskesmas sebesar 40-60% dan rumah sakit sebesar 15-30%.10

2.3 Etiologi

Etiologi atau penyebab penyakit ISPA adalah sebagai berikut : bakteri antara lain
Diplococcus pneumoniae, Pneumococcus, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus
aureus, Haemophilus influenzae, danlain-lain. Virus antara lain influenza, adenovirus,
sitomegalovirus. Jamur antara lain Aspergillus sp., Candida albicans, Histoplasma, dan
lain-lain. Aspirasi antara lain makanan, asap kendaraan bermotor, BBM (bahan bakar
minyak) biasanya minyak tanah, cairan amnion pada saat lahir, benda asing (biji-bijian,
mainan plastik kecil, dan lain-lain).11

2.4 Faktor Resiko

Faktor yang mempengaruhi timbulnya kejadian ISPA adalah12 :


- Usia
Kejadian ISPA lebih banyak pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Anak-anak
mengalami sekitar 3-8 kali ISPA yang disebabkan oleh virus per tahunnya, remaja dan
orang dewasa mengalami sekitar 2-4 kali per tahun, sedangkan usia >60 tahun
mengalami <1 kali per tahunnya.
- Jenis kelamin
Pada umumnya tidak ada perbedaan insidens ISPA akibat virus atau bakteri pada laki-
laki dan perempuan. Namun menurut penelitian Putra DP pada tahun (2016)
menunjukkan bahwa jenis kelamin balita penderita ISPA yang mempunyai presentasi
paling tinggi yaitu perempuan sebanyak 55,7%.
- Pendidikan
Tingkat pendidikan menunjukkan adanya hubungan antara angka kejadian dengan
kematian ISPA. Tingkat pendidikan ini berhubungan erat dengan keadaan sosial
ekonomi, dan juga berkaitan dengan tingkat pengetahuan. Kurangnya pengetahuan
menyebabkan sebagian kasus ISPA tidak diketahui sehingga tidak diobati. Status sosial
ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan faktor-faktor lain seperti nutrisi,
lingkungan dan penerimaannya layanan kesehatan. Anak yang berasal dari keluarga

4
dengan status sosial ekonomi rendah mempunyai risiko lebih besar mengalami episode
ISPA.
- Status gizi
Status gizi anak merupakan faktor risiko penting dari timbulnya ISPA. Gizi buruk
merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA pada anak. Hal ini dikarenakan adanya
gangguan respons imun. Vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi. Anak
dengan defisiensi vitamin A yang ringan mengalami ISPA dua kali lebih banyak
daripada anak yang tidak mengalami defisiensi vitamin A. Oleh karena itu, selain
perbaikan gizi dan pemberian ASI, harus dilakukan pula perbaikan terhadap defisiensi
vitamin A untuk mencegah ISPA.
- Imunisasi
Campak, pertusis dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko terkena ISPA
dan memperberat ISPA itu sendiri, tetapi sebetulnya hal ini dapat dicegah. Di India,
anak yang baru sembuh dari campak, selama 6 bulan berikutnya dapat mengalami ISPA
enam kali lebih sering daripada anak yang tidak terkena campak. Campak, pertusis, dan
difteri bersama-sama dapat menyebabkan 15-25% dari seluruh kematian yang berkaitan
dengan ISPA.
- Kondisi lingkungan
Syarat rumah sehat meliputi bahan bangunan yang terdiri dari jenis lantai, dinding,
atap, dan tiang rumah, ventilasi, pencahayaan, serta faktor polusi yang terdiri dari dua
aspek yaitu cerobong asap dan kebiasaan merokok. Faktor lain yang dapat
menyebabkan ISPA yaitu adanya pencemaran udara. Menurut Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Pengendalian
Pencemaran Udara di Daerah, pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya
zat, energi atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu udara yang telah ditetapkan. Pencemaran udara akibat kebakaran
hutan, gas buang dari transportasi dan industri, asap rokok, asap pembakaran di rumah
tangga, dan asap obat nyamuk bakar juga merupakan ancaman kesehatan lingkungan
yang merupakan penyebab terjadinya ISPA. Substansi pencemar yang terdapat di udara
dapat masuk ke dalam tubuh melalui sistem pernafasan. Jauhnya penetrasi zat
pencemar ke dalam tubuh bergantung kepada jenis pencemar. Partikulat berukuran
besar dapat tertahan di saluran pernapasan bagian atas, sedangkan partikulat berukuran
kecil dan gas dapat mencapai paru-paru. Dari paru-paru, zat pencemar diserap oleh
sistem peredaran darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Penyebab terjadinya ISPA dan
5
penyakit gangguan saluran pernafasan lain adalah rendahnya kualitas udara di dalam
rumah atau di luar rumah baik secara biologis, fisik, maupun kimia. Komponen rumah
dan lingkungan di sekitarnya yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor
risiko berbagai jenis penyakit, khususnya jenis penyakit yang berbasis lingkungan.
Kondisi lingkungan yang tidak sehat akan meningkatkan agent penyebab penyakit
untuk berkembang biak dan akan memudahkan proses penularan penyakit.

2.5 Patofisiologi

Perjalanan alamiah penyakit ISPA dibagi 4 tahap yaitu :


a. Tahap prepatogenesis : penyebab telah ada tetapi belum menunjukkan reaksi apa-
apa.
b. Tahap inkubasi : virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi
lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya rendah.
c. Tahap dini penyakit : dimulai dari munculnya gejala penyakit, timbul gejala
demam dan batuk.
d. Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat yaitu dapat sembuh sempurna,
sembuh dengan atelektasis, atau menjadi kronis dan meninggal akibat pneumonia.
Saluran pernafasan selama hidup selalu terpapar dengan dunia luar sehingga
untuk mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efisien.
Ketahanan saluran pernafasan tehadap infeksi maupun partikel dan gas yang ada di
udara amat tergantung pada tiga unsur alami yang selalu terdapat pada orang sehat yaitu
keutuhan epitel mukosa dan gerak mukosilia, makrofag alveoli, dan antibodi. Infeksi
bakteri mudah terjadi pada saluran nafas yang sel-sel epitel mukosanya telah rusak
akibat infeksi yang terdahulu. Selain hal itu, hal-hal yang dapat mengganggu keutuhan
lapisan mukosa dan gerak silia adalah asap rokok dan gas SO2 (polutan utama dalam
pencemaran udara), sindroma imotil, pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25 %
atau lebih). Makrofag banyak terdapat di alveoli dan akan dimobilisasi ke tempat lain
bila terjadi infeksi. Asap rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag membunuh
bakteri, sedangkan alkohol akan menurunkan mobilitas sel-sel ini.
Antibodi setempat yang ada di saluran nafas ialah Ig A. Antibodi ini banyak
ditemukan di mukosa. Kekurangan antibodi ini akan memudahkan terjadinya infeksi
saluran nafas, seperti yang terjadi pada anak. Penderita yang rentan
(immunocompromised) mudah terkena infeksi ini seperti pada pasien keganasan yang

6
mendapat terapi sitostatika atau radiasi. Penyebaran infeksi pada ISPA dapat melalui
jalan hematogen, limfogen, perkontinuitatum dan udara nafas.7

2.6 Klasifikasi

Klasifikasi ISPA berdasarkan lokasi anatomi, yaitu sebagai berikut:13


a. Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut (ISPaA), infeksi yang menyerang hidung
sampai bagian faring, seperti pilek, otitis media, faringitis.
b. Infeksi Saluran Pernapasan bawah Akut (ISPbA), infeksi yang menyerang mulai
dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan
organ saluran pernapasan, seperti epiglotitis, laringitis, laringotrakeitis, bronkitis,
bronkiolitis, pneumonia.

2.7 Manifestasi Klinis

ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran
pernapasan atas maupun bawah. ISPA memiliki gejala berdasarkan tingkatan penyakit,
berikut gejala ISPA10 :
- Gejala ISPA Ringan
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih gejala-
gejala seperti batuk, serak (anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara seperti
berbicara atau menangis), pilek (mengeluarkan lender atau ingus dari hidung), dan
panas atau demam (suhu badan lebih dari 37° C).
- Gejala ISPA Sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA ringan
disertai satu atau lebih gejala seperti pernapasan lebih dari 50 kali per menit, suhu lebih
39° C, tenggorokan berwarna merah, timbul bercak-bercak merah pada kulit
menyerupai campak, telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari 9 lubang telinga,
pernapasan berbunyi seperti mengorok.
- Gejala ISPA Berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala ISPA ringan atau
ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala seperti bibir atau kulit membiru, lubang
hidung kembang kempis pada waktu bernapas, anak tidak sadar atau kesadaran
menurun, pernapasan berbunyi seperti orang mengorok, anak tampak gelisah, sela iga

7
tertarik ke dalam pada waktu bernapas, nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau
tidak teraba, serta tenggorokkan berwarna merah.

2.8 Diagnosis

ISPA ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang sesuai
dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya, disertai pemeriksaan penunjang.
Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi dan atau serologi.10
Pemeriksaan penunjang yang lazim dilakukan pada ISPA adalah :
a. Pemeriksaan kultur/biakan kuman (swab) : hasil yang didapatkan adalah biakan
kuman (+) sesuai jenis kuman.
b. Pemeriksaan hidung jenis leukosit: laju endap darah meningkat disertai dengan
adanya leukositosis dan bisa juga disertai dengan adanya thrombositopenia.
c. Pemeriksaan foto thoraks jika diperlukan.10

2.9 Pencegahan

Pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan10:


a. Menyediakan makanan bergizi sesuai preferensi anak dan kemampuan untuk
mengkonsumsi makanan untuk mendukung kekebalan tubuh alami.
b. Pemberian imunisasi lengkap kepada anak
c. Keadaan fisik rumah yang baik, seperti: ventilasi dirumah dan kelembaban yang
memenuhi syarat.
d. Menjaga kebersihan rumah, tubuh, makanan, dan lingkungan agar bebas kuman
penyakit.
e. Menghindari pajanan asap rokok, asap dapur.
f. Mencegah kontak dengan penderita ISPA dan isolasi penderita ISPA untuk
mencegah penyebaran penyakit.

2.10 Penatalaksanaan

Terapi untuk ISPA tidak selalu dengan antibiotik karena sebagian besar kasus
ISPA atas disebabkan oleh virus. Infeksi Saluran Pernapasan Akut yang disebabkan
oleh virus tidak memerlukan antiviral, tetapi cukup dengan terapi suportif. Terapi
suportif berguna untuk mengurangi gejala dan meningkatkan performa pasien.

8
Antibiotik hanya digunakan untuk terapi penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Terapi yang dapat diberikan adalah10:
- Analgesik – Antipiretik
Obat ini digunakan untuk mengurangi gejala letargi, malaise, dan demam terkait
infeksi saluran pernapasan.
- Antihistamin
Antihistamin bekerja dengan menghambat pelepasan mediator inflamasi seperti
histamin serta memblok migrasi sel. Ada dua kelompok antihistamin yaitu: generasi
pertama yang terdiri dari chlorpheniramine, diphenhydramine, hydroxyzine dan
generasi kedua yang terdiri dari astemizole, cetirizine, loratadine, terfenadine,
acrivastine. Antihistamin generasi pertama mempunyai efek samping yaitu sedasi
yang dipengaruhi dosis, merangsang SSP, dan menimbulkan mulut kering.
Antihistamin generasi kedua tidak menyebabkan sedasi dan tidak merangsang SSP.
- Dekongestan
Dekongestan digunakan untuk mengurangi peradangan pada nasal. Beberapa agen
dekongestan diantaranya pseudoefedrin dan fenilpropanolamin yang digunakan
secara oral serta oxymetazolin, fenilefrin, dan xylometazolin yang digunakan secara
topikal. Dekongestan oral bekerja dengan cara meningkatkan pelepasan noradrenalin
dari ujung neuron. Agen topikal bekerja pada reseptor α pada permukaan otot polos
pembuluh darah, menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah, sehingga
mengurangi edema mukosa hidung. Dekongestan topikal efektif, namun
pemakaiannya hendaknya dibatasi maksimum tujuh hari karena mampu
menimbulkan kongesti berulang.
- Antibiotik
Hanya digunakan untuk terapi penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri,
idealnya berdasarkan jenis kuman penyebab, utama ditujukan pada pneumonia,
influenza, dan aureus.10

2.11 Komplikasi

Penyakit ini sebenarnya merupakan self limited disease, yang sembuh sendiri 5-6
hari jika tidak terjadi invasi kuman lainnya. Komplikasi yang dapat terjadi adalah
sinusitis paranasal, penutupan tuba eusthacii dan penyebaran infeksi.

9
a. Sinusitis paranasal
Komplikasi ini hanya terjadi pada anak besar karena pada bayi dan anak kecil sinus
paranasal belum tumbuh. Gejala umum tampak lebih besar, nyeri kepala
bertambah, rasa nyeri dan nyeri tekan biasanya didaerah sinus frontalis dan
maksilaris. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan foto rontgen dan
transiluminasi pada anak besar. Proses sinusitis sering menjadi kronik dengan
gejala malaise, cepat lelah dan sukar berkonsentrasi (pada anak besar).
Kadangkadang disertai sumbatan hidung, nyeri kepala hilang timbul, bersin yang
terus menerus disertai secret purulen dapat unilateral ataupun bilateral. Bila
didapatkan pernafasan mulut yang menetap dan rangsang faring yang menetap
tanpa sebab yang jelas perlu yang dipikirkan terjadinya komplikasi sinusitis.
Sinusitis paranasal ini dapat diobati dengan memberikan antibiotik.
b. Penutupan tuba eusthachii
Tuba eusthachii yang buntu memberi gejala tuli dan infeksi dapat menembus
langsung kedaerah telinga tengah dan menyebabkan otitis media akut (OMA).
Gejala OMA pada anak kecil dan bayi dapat disertai suhu badan yang tinggi
(hiperpireksia) kadang menyebabkan kejang demam. Anak sangat gelisah, terlihat
nyeri bila kepala digoyangkan atau memegang telinganya yang nyeri (pada bayi
juga dapat diketahui dengan menekan telinganya dan biasanya bayi akan menangis
keras). Kadang-kadang hanya ditemui gejala demam, gelisah, juga disertai muntah
atau diare. Karena bayi yang menderita batuk pilek sering menderita infeksi pada
telinga tengah sehingga menyebabkan terjadinya OMA dan sering menyebabkan
kejang demam, maka bayi perlu dikonsul kebagian THT. Biasanya bayi dilakukan
parsentesis jika setelah 48-72 jam diberikan antibiotika keadaan tidak membaik.
Parasentesis (penusukan selaput telinga) dimaksudkan mencegah membran timpani
pecah sendiri dan terjadi otitis media perforata (OMP). Faktor-faktor OMP yang
sering dijumpai pada bayi dan anak adalah Tuba eustachii pendek, lebar dan lurus
hingga merintangi penyaluran sekret, Posisi bayi anak yang selalu terlentang selalu
memudahkan perembesan infeksi juga merintangi penyaluran sekret dan Hipertrofi
kelenjar limfoid nasofaring akibat infeksi telinga tengah walau jarang dapat
berlanjut menjadi mastoiditis atau ke syaraf pusat (meningitis).

10
c. Penyebaran infeksi
Penjalaran infeksi sekunder dari nasofaring kearah bawah seperti laryngitis,
trakeitis, bronkitis dan bronkopneumonia. Selain itu dapat pula terjadi komplikasi
jauh, misalnya terjadi meningitis purulenta.10

11
BAB III
METODE

3.1 Analisis Situasi Program Kesehatan

Dalam melakukan analisis situasi untuk melakukan evaluasi, beberapa hal bisa
dilakukan seperti observasi, mengamati pelaksanaan suatu program, meninjau data yang
didapat melalui pengumpulan data primer (wawancara dengan pelaksana
program/dokter/perawat/bidan) dan/atau melalui data sekunder (misalkan dari aktivitas
monitoring/laporan bulanan/tahunan), dimana data primer bisa didapatkan melalui
berbagai metode seperti kuesioner, FGD, wawancara, ceklist dsb.
Evaluasi program ini dilakukan dengan mendeskripsikan serta menganalisis data
dengan tujuan utama untuk memberikan gambaran mengenai suatu keadaan secara
objektif yang bersifat aktual. Rancangan evaluasi program yang digunakan berupa
wawancara dengan tujuan membuat penilaian terhadap suatu kondisi dan
penyelenggaraan suatu program dan hasilnya digunakan untuk menyusun perencanaan
perbaikan program tersebut.

3.2 Mengidentifikasi dan Mendefinisikan Masalah

Dalam identifikasi masalah, penulis hendaknya mengetahui standar atau target


capaian program yang telah ditentukan oleh pelaksana program. Target capaian
program in kemudian dibandingkan dengan capaian yang berhasil dicapai dalam
pelaksanaan baik dalam data bulanan maupun tahunan untuk melihat apakah ada
masalah dalam program tersebut. Apabila capaian tidak tercapai, penulis hendaknya
dapat mendapat data atau wawancara kepada pelaksana program terkait kendala-
kendala yang terjadi.

3.3 Menentukan Prioritas Masalah

Karena berbagai keterbatasan, maka daftar masalah yang sudah diperoleh harus
dikerucutkan menjadi prioritas masalah yang paling penting diselesaikan. Ada berbagai
metode pemilihan prioritas. Salah satu metode adalah matriks USG.

12
Kriteria Matriks USG
a. Seberapa mendesak isu itu harus dibahas dan disclesaikan (U = Urgency).
b. Seberapa serius, kaparahan akibat yang ditimbulkan jika tidak diselesaikan (S =
Severity).
c. Seberapa bear kemungkinan akan memburuk jika isu atau masalah dibiarkan saja (G
= Growth).
Untuk semua variable (unsur-unsur U, S dan G) diberikan nilai antara 1 (tidak
penting) sampai dengan 5 (sangat penting), misalkan untuk variable U (Urgensi),
urgensi yang paling tinggi diberikan nilai yang tertinggi (5), sedangkan urgensi
terendah diberi nilai 1.
Tabel 3.1 Contoh Matriks USG
No. Masalah Tingkat Tingkat Tingkat TOTAL
Urgensi Keseriusan Perkembanga
(U) (S) n (G)
1 Masalah A 5 3 3 11
2 Masalah B 4 4 4 12
3 Masalah C 3 5 5 13

3.4 Menentukan Kerangka Konsep

Setelah mendapatkan satu masalah yang dianggap paling penting untuk


dievaluasi, maka masalah tersebut hendaknya dicari faktor penghambat tercapainya
capaian sehingga mendapatkan hal-hal yang akan dibahas.
Kerangka konsep yang dibuat hendaknya membahas hubungan sebab-akibat
berdasarkan data dan wawancara, dan bukan sekedar aspek yang kita curigai secara
personal sebagai penyebab. Hal ini untuk memastikan bahwa tidak ada unsur yang
terlewat, walaupun ada kemungkinan bahwa aspek tersebut tidak sesuai untuk kasus
saat ini. Penggunaan istilah yang netral, alih- alih negatif, juga penting dalam
pembentukan kerangka ini. Sebagai contoh, gunakan istilah "pendanaan" dan bukan
"tidak ada dana" untuk menyebutkan salah satu kemungkinan penyebab masalah.
Perlu diperhatikan bahwa setiap penyebab masalah dapat saling berhubungan.
Oleh karena itu, hubungan ini harus dapat ditemukan, dan jika memungkinkan,
beberapa penyebab dapat dikelompokkan dan akar penyebab dicari. Hal ini harus
teridentifikasi dalam diagram manapun yang digunakan.

13
Diagram Tulang Ikan atau Ishikawa
Diagram tulang ikan adalah bentuk yang lebih terstruktur dari diagram pohon, di mana
setiap penyebab digolongkan menurut kriteria tertentu. Salah satu kategori generik
adalah Man (sumber daya manusia), Material (alat dan sarana), Method (proses, SOP),
Material (bahan habis pakai, komoditas), Money (biaya atau dana), dan Environment
(pengaruh lingkungan). Tidak semua M harus digunakan dalam setiap kasus. Metode
lain adalah penggolongan departemen dalam rumah sakit, seperti Farmasi, Dokter, Ners
Station, dsb untuk masalah pemberian obat yang tepat, atau dibagi berdasarkan struktur
sebuah program (untuk evapro), seperti Input, Proses biasanya di isi komponen POAC
(Planning, Organizing, Actuating, Controlling), Lingkungan, dan Umpan Balik. Contoh
dapat diamati di bawah.

14
Gambar 3.1 Contoh Diagram Tulang atau Ishikawa

3.5 Mengidentifikasi dan Mendefinisikan Prioritas Penyebab

Pada prinsipnya, penyebab masalah dapat didentifikasi menggunakan tahap yang


sama dengan identifikasi masalah, yaitu dengan melihat adanya perbedaan antara
indikator dan pencapaian di aspek input, proses, dan lingkungan. Selisih ini yang
kemudian didefinisikan sebagai penyebab masalah yang harusdiselesaikan.
Oleh karena itu, pengamatan mendalam terhadap indikator yang telah ditetapkan
oleh pelaksana layanan menjadi penting, dan jika diperlukan, kita dapat membuat
indikator yang sama sekali baru dengan literature yang sesuai, apalagi jika data yang
tersedia dari monitoring tidak mencukupi. Jika dibutuhkan, penyebab masalah dapat
diprioritaskan untuk menyempitkan fokus pencarian alternatif penyelesaian masalah,
menggunakan matriks IxT×R atau USG yang sudah dibahas sebelumnya.

3.6 Membuat Alternatif Penyelesaian Masalah

Untuk dapat mencari akar penyebab masalah, maka beberapa alternatif solusi
dapat diajukan. Karena pihak yang paling mengerti pelaksanaan program atau layanan
adalah pelaksana itu sendiri, maka penting untuk mendapatkan sudut pandang mereka
terkait hal ini. Wawancara atau FGD dapat menjadi metode untuk mendapatkan
pandangan dari pelaksana. Sumber lainnya dapat diperoleh dari para ahli atau literatur
ilmiah.

3.7 Membuat Prioritas Alternatif Penyelesaian Masalah

Solusi yang telah diputuskan di atas harus diprioritaskan sesuai dengan


kemampuan laksana dan pengaruh terhadap akar penyebab, jika kondisi membatasi
kemampuan tim untuk melaksanakan semuanya. Metode yang digunakan dalam
panduan ini adalah matriks kriteria (M×I×V)/C.
(MxIxV)/C terdiri atas Magnitude (besarnya kemampuan solusi dalam mengatasi
masalah), Importance (seberapa permanen solusi tersebut mampu bertahan),
Vulnerability (seberapa cepat solusi tersebut mampu mempengaruhi masalah), dan Cost
(seberapa besar biaya implementasi masalah tersebut). Keempat komponen diberi skor
1-5, dengan komponen M, I, dan V diberikan skor tinggi jika kemampuan

15
mempengaruhinya besar, sedangkan komponen C diberi skor tinggi seiring dengan
peningkatan biaya. Kemudian prioritas (P) dihitung dengan mengalikan M, I, V sebagai
bagian dari Effectivity dan dibagi dengan C yang merupakan komponen Efficiency.
- M = Magnitude (Besarnya masalah yang dapat diselesaikan. Makin besar masalah
yang dapat diatasi makin tinggi).
- I = Importantcy (Pentingnya jalan keluar dikaitkan dengan kelanggengan
penyelesaian masalah. Makin lama bebas masalah, makin penting jalan keluar
tersebut).
- V = Vulnerability (Sensitivitas jalan keluar, dikaitkan dengan kecepatan jalan keluar
untuk mengatasi masalah. Makin cepat teratasi, makin sensitive jalan keluar
tersebut).
- C = Cost (Ukuran efisiensi alternatif jalan keluar. Nilai efisiensi ini biasanya
dikaitkan dengan biaya (cost) yang diperlukan untuk melaksanakan jalan keluar.
Makin besar biaya yang diperlukan, makin tidak efisien jalan keluar tersebut.
Berikan angka 1 (biaya paling sedikit) sampai dengan angka 5 (biaya paling besar).
Nilai prioritas (P) untuk setiap alternatif jalan keluar dihitung dengan membagi
hasil perkalian nilai M x I x V dengan C. Jalan keluar dengan nilai P tertinggi adalah
prioritas jalan keluar terpilih.
Tabel 3.2 Contoh Matriks MICV
No ]Alternatif Penyelesaian Masalah Effectivity C M x I x V/C
. M I V

3.8 Menyusun Proposal Rekomendasi

Untuk modul ini, evaluasi program selesai dengan membuat kesimpulan berupa
ringkasan dan rekomendasi yang konkrit/mampu laksana, bagaimana solusi yang
ditawarkan dapat dilaksanakan.
- Dari pemecahan masalah terbaik, dibuat proposal lengkap, yang terdiri dari:
a. Latar belakang
b. Tujuan
c. Metode atau bentuk kegiatan program

16
d. Sasaran
- Tentukan cara membuat pengukuran keberhasilan ketika rekomendasi di terapkan.
- Harus diingat bahwa dalam membuat proposal rekomendasi harus selalu
menerapkan metoda 5W & 1H.
a. 5W
- Why = mengapa perbaikan harus dilakukan?
- What = Apa rencana perbaikannya?
- Where = Dimana lokasi perbaikan akan dilakukan?
- When = Kapan (rentang waktu) dilakukannya perbaikan?
- Who = Siapa yang bertanggung jawab?
b. H (how)
Ada beberapa jenis penerapan dalam mengajukan pertanyaan H (How) yang pada
dasarnya semua benar dan bisa digunakan.
- Menggunakan satu H = Bagaimana cara melaksanakan perbaikan?
- Menggunakan dua H
How = Bagaimana cara melaksanakan perbaikan?
How much = Berapa hasil yang akan dicapai setelah perbaikan?
- Menggunakan tiga H
How = Bagaimana cara melaksanakan perbaikan?
How much effort = Berapa besar daya upaya atau usaha yang telah dilakukan
dalam perbaikan ini?
How much benefit = Berapa nilai hasil yang akan dicapai setelah perbaikan
ini?

17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Situasi Program Kesehatan

4.1.1 Data Umum

4.1.1.1 Keadaan Geografis

Puskesmas Medan Sunggal terletak di Jalan TB Simatupang No. 251,


Kelurahan Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan, Batas-batas
wilayah kerja Puskesmas Medan Sunggal adalah sebagai berikut: Kelurahan
Desa Lalang di sebelah utara, Kelurahan PB Selayang di sebelah timur,
Kabupaten Deli Serdang di sebelah Barat, dan Kelurahan Asam Kumbang di
sebelah selatan.

18
Gambar 4.1 Peta Wilayah Kecamatan Medan Sunggal

Luas wilayah kerja Puskesmas Medan Sunggal adalah 9.81 Ha yang


terbagi menjadi 4 kelurahan, 53 lingkungan, 75.865 jiwa penduduk. Keempat
kelurahan yang menjadi bagian wilayah kerja puskesmas adalah Kelurahan
Sunggal, Kelurahan Babura, Kelurahan Tanjung Rejo, dan Kelurahan Simpang
Tanjung.
Puskesmas Medan Sunggal memiliki letak yang strategis karena
berdekatan dengan sekolah, pasar, komando rayon militer, kantor kepolisian
sektor, rumah ibadah, dan Kantor Kecamatan Medan Sunggal. Akses menuju
Puskesmas Medan Sunggal sangat mudah dicapai dan dapat ditempuh dengan
kendaraan roda dua maupun roda empat melalui jalan beraspal.
Data wilayah kerja Puskesmas Medan Sunggal yang mencakup luas
wilayah, jumlah lingkungan, jumlah KK, dan jumlah penduduk dapat dilihat
pada tabel berikut ini :

Tabel 4.1 Data Wilayah Kerja Puskesmas Medan Sunggal

No Kelurahan Luas Jumlah Jumlah Jumlah


. Wilayah Lingkungan KK Pendudu
(Ha) k

1. Sunggal 4.93 14 7.665 32.347

2. Babura 1.06 11 3.940 9.740

3. Tanjung Rejo 3.50 24 6.734 32.865

4. Simpang Tanjung 0.32 4 344 913

Jumlah 9.81 53 18.683 75.865

Sumber data: Data Dasar Puskesmas Medan Sunggal 2021

4.1.1.2 Kondisi Demografis

Jumlah penduduk di Kecamatan Medan Sunggal tahun 2021 mencapai


75.865 jiwa yang terdiri dari 37.461 penduduk laki-laki dan 38.404 penduduk
perempuan. Data demografi Puskesmas Medan Sunggal disajikan dalam tabel
berikut:

19
Tabel 4.2 Demografi Puskesmas Medan Sunggal

No. Data Jumlah


1. Luas Wilayah 9,81 Ha
2. Jumlah Kelurahan 4
3. Jumlah Lingkungan 53
4. Jumlah Penduduk 75.865
5. Jumlah Pria 37.461

6. Jumlah Perempuan 38.404


7. Jumlah Bayi 1.104
8. Jumlah Baduta 4.412
9. Jumlah Balita 5.515
10. Jumlah Murid SD 4.543
11. Jumlah Murid SLTP 4.867
12. Jumlah Murid SLTA 2.375
13. Jumlah BUMIL 1.248
14. Jumlah WUS 40.227

Sumber data: Data Dasar Puskesmas Medan Sunggal 2021

4.1.2 Data Khusus

Tabel 4.3 Daftar 10 Penyakit Terbanyak di Puskesmas Medan Sunggal Tahun 2021

No Nama Penyakit Laki-laki Perempuan Jumlah


.
1. ISPA 1.788 1.730 3.518
2. Tekanan Darah Tinggi 764 960 1724
3. Infeksi Penyakit Usus Lainnya 386 458 844
4. Penyakit pada Sistem Otot dan 256 289 547
Jaringan Pengikat (Rematik)
5. Karies Gigi 192 308 500
6. Penyakit Kulit Infeksi 172 218 390
7. Kelainan Refraksi 148 155 303
8. TB Paru 193 85 278
20
9. Penyakit Pulpa dan Jaringan 103 152 255
Pariapikal
10. Katarak 92 115 207

Tabel 4.3 menunjukkan 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Medan Sunggal


pada tahun 2021 dimana penyakit ISPA menempati peringkat pertama dengan jumlah
3.518 kasus diikuti dengan penyakit tekanan darah tinggi, infeksi penyakit usus
lainnya, penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat (rematik), karies gigi,
penyakit kulit infeksi, kelainan refraksi, TB paru, penyakit pulpa dan jaringan
pariapikal dan katarak.
Masalah yang ditemukan adalah tingginya angka kejadian ISPA di Puskesmas
Medan Sunggal, yaitu sebanyak 1.788 kasus pada laki-laki dan 1.730 kasus pada
perempuan.

4.2 Identifikasi Masalah

Tabel 4.5 Identifikasi Masalah


No Upaya Kesehatan Cakupa Masalah
. n
Program P2P
1. Pelayanan Pencegahan dan 3.518 Tingginya angka kejadian
Pengendalian Penyakit ISPA di kasus ISPA di wilayah kerja
Puskesmas Medan Sunggal Puskesmas Medan Sunggal
Tahun 2021 pada tahun 2021

Berdasarkan tabel 4.5 dapat dilihat bahwa angka kejadian ISPA di wilayah
kerja Puskesmas Medan Sunggal pada tahun 2021 masih tinggi, sehingga
teridentifikasi terdapat masalah dalam program pencegahan dan pengendalian
penyakit ISPA.

4.3 Prioritas Masalah

Mengingat indikator masalah yang difokuskan dalam program pencegahan dan


pengendalian penyakit adalah tingginya angka kejadian ISPA di Puskesmas Medan

21
Sunggal pada tahun 2021, maka prioritas masalah dapat langsung ditetapkan. Jika
ditelaah dari metode USG, yaitu Urgency (tingkat urgensi), Seriousness (tingkat
keseriusan) dan Growth (tingkat perkembangan), maka prioritas masalah program
pencegahan dan pengendalian penyakit ISPA dapat dilihat melalui tabel berikut:

Tabel 4.6 Penetapan Prioritas Masalah


No. Masalah Tingkat Tingkat Tingkat U+S+G
Urgensi Keseriusan Perkembangan
(U) (S) (G)
1. Tingginya angka 5 5 4 14
kejadian ISPA di
wilayah kerja
Puskesmas Medan
Sunggal pada tahun
2021

Keterangan: Skor 1 = Sangat kecil


Skor 2 = Kecil
Skor 3 = Sedang
Skor 4 = Besar
Skor 5 = Sangat Besar

22

Anda mungkin juga menyukai