Anda di halaman 1dari 9

Cara Penularan Penyakit ISPA

Bibit penyakit ISPA berupa jasad renik ditularkan melalaui udara. Jasad renik yang berada di
udara akan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan dan menimbulkan infeksi,
penyakit ISPA dapat pula berasal dari penderita yang kebetulan mengandung bibit penyakit,
baik yang sedang jatuh sakit maupun karier. Jika jasad renik bersal dari tubuh manusia maka
umumnya dikeluarkan melalui sekresi saluran pernafasan dapat berupa saliva dan sputum.
Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda yang telah
dicemari jasad renik (hand to hand transmission). Oleh Karena salah satu penularan melalui
udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan , maka penyakit
ISPA termasuk golongan Air Borne Diseases.
Tanda dan Gejala ISPA
Penyakit ISPA pada anak dapat menimbulkan bermacam-macam tanda dan gejala seperti batuk,
kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga dan demam.
Gejala dari ISPA Ringan
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala
sebagai berikut :
a. Batuk
b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu
berbicara atau menangis)
c. Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370C
Gejala dari ISPA Sedang
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai
satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
a. Pernafasan cepat (fast breating) sesuai umur yaitu : untuk kelompok umur kurang dari 2
bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih dan kelompok umur 2 bulan - <5
tahun : frekuensi nafas 50 kali atau lebih untuk umur 2 <12 bulan dan 40 kali per menit
atau lebih pada umur 12 bulan <5 tahun
b. Suhu lebih dari 390C (diukur dengan termometer)
c. Tenggorokan berwarna merah
d. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak
e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
f. Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)
Gejala dari ISPA Berat
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejal-gejala ISPA ringan
atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
a. Bibir atau kulit membiru
b. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
c. Pernafasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah
d. Sela iga tertarik kedalam pada waktu bernafas
e. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba
f. Tenggorokan berwarna merah
Epidemiologi Penyakit ISPA
Distribusi dan Frekuensi Penyakit ISPA
Epidemiologi penyakit ISPA yaitu mempelajari frekuensi, distribusi penyakit ISPA serta Faktor-
faktor (determinan) yang mempengaruhinya. Dalam distribusi penyakit ISPA ada 3 ciri variabel
yang dapat dilihat yaitu variabel orang (person), variabel tempat (place), dan variabel waktu
(time).
Menurut Orang (person)
ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak-anak. Daya tahan tubuh anak sangat
berbeda dengan orang dewasa karena sistem pertahanan tubuhnya belum kuat. Apabila di
dalam satu rumah ada anggota keluarga terkena pilek, anak-anak akan lebih mudah tertular.
Dengan kondisi anak yang masih lemah, proses penyebaran penyakit menjadi lebih cepat. ISPA
merupakan penyebab utama kematian pada bayi dan balita di Indonesia. Menurut para ahli
hampir semua kematian ISPA pada bayi dan balita umumya disebabkan oleh ISPA bawah.
Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) mengakibatkan kematian pada anak dalam jumlah
kecil, tetapi menyebabkan kecacatan seperti otitis media yang merupakan penyebab ketulian
sehingga dapat mengganggu aktifitas belajar pada anak.
Berdasarkan data SKRT 2001, menunjukkan bahwa proporsi ISPA sebagai penyebab kematian
bayi < 1 tahun adalah 27,6% sedangkan proporsi ISPA sebagai penyebab kematian anak balita
22,68%.

Hasil survei program P2ISPA di 12 propinsi di Indonesia (Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Bengkulu, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat)
selama kurun waktu 2000-2002 prevalensi ISPA terlihat berfluktuasi, tahun 2000 prevalensi
sebesar 30,1% (479.283 kasus), tahun 2001 prevalensi sebesar 22,6% (620.147 kasus) dan tahun
2002 pervalensi menjadi 22,1% (532.742 kasus)

Menurut Tempat (place)
ISPA masih merupakan masalah kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang.
Dalam satu tahun rata-rata seorang anak di pedesaan dapat terserang ISPA tiga kali, sedangkan
daerah perkotaan sampai enam kali.17
Dari pengamatan epidemiologi dapat diketahui bahwa angka kesakitan ISPA di kota
cenderung lebih besar daripada di desa. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat kepadatan
tempat tinggal dan pencemaran lingkungan di kota yang lebih tinggi daripada di desa

Menurut Waktu (time)
Berdasarkan Data SKRT (1986-2001), bahwa proporsi kematian karena ISPA di Indonesia pada
bayi dan balita menunjukkan penurunan dan peningkatan yaitu pada bayi pada tahun 1986
dengan PMR 18,85%, tahun 1992 PMR 36,40%, tahun 1995 PMR 32,10% dan tahun 2001 PMR
27,60%. Sementara pada balita pada tahun 1986 PMR 22,80%, tahun 1992 PMR 18,20%, tahun
1995 PMR 38,80% dan tahun 2001 PMR 22,80%.


Determinan Penyakit ISPA

Faktor Agent (Bibit Penyakit)
Proses terjadinya penyakit disebabkan adanya interaksi antara agent atau faktor penyebab
penyakit, manusia sebagai pejamu atau host dan faktor lingkungan yang mendukung
(environment). Ketiga faktor tersebut dikenal sebagai trias penyebab penyakit. Berat ringannya
penyakit yang dialami amat ditentukan oleh sifat- sifat dari mikroorganisme sebagai penyebab
penyakit seperti : patogenitas, virulensi, antigenitas, dan infektivitas.
Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) seperti Faringitis dan Tonsilitis akut dapat
disebabkan oleh karena infeksi virus, bakteri ataupun jamur. Setengah dari infeksi ini
disebabkan oleh virus yakni virus influenza, parainfluenza, adeno virus, respiratory sincytial
virus dan rhino virus.

Faktor Host (Pejamu)
Umur
Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA. Oleh sebab itu kejadian
ISPA pada bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dewasa.
Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih berat dan
jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan anak balita umumnya merupakan kejadian
infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara alamiah.
Sedangkan orang dewasa sudah banyak terjadi kekebalan alamiah yang lebih optimal akibat
pengalaman infeksi yang terjadi sebelumnya.
Hasil survei kesehatan Rumah tangga (SKRT) tahun 1992 menunjukkan prevalensi ISPA untuk
bayi 42,4% dan anak umur 1-4 tahun 40,6% sedangkan Case Spesific Death Rate (CSDR) karena
ISPA pada bayi 21% dan untuk anak 1-4 tahun 35%.

Jenis Kelamin
Berdasarka hasil penelitian dari berbagai negara termsuk Indonesia dan berbagai publikasi
ilmiah, dilaporkan berbagai faktor risiko yang meningkatkan insiden ISPA adalah anak dengan
jenis kelamin laki-laki. Berdasarkan hasil penelitian Ruli Handayani Kota Palembang Tahun 2004,
dengan desain Prospectice Cohort Study berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan ada
hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian gangguan saluran pernafasan diperoleh p value
= 0,089 dan diperoleh nilai Relative Risk (RR) 1,77 (CI 95% : 1,162-2,716) artinya risiko anak laki-
laki terkena gangguan saluran pernafasan sebesar 1,77 dibandingkan dengan anak perempuan.

Status Gizi
Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak adalah makanan dan penyakit infeksi
yang mungkin diderita oleh anak. Anak yang mendapat makanan baik tetapi sering diserang
penyakit infeksi dapat berpengaruh terhadap status gizinya. Begitu juga sebaliknya anak yang
makanannya tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya pasti lemah dan akhirnya mempengaruhi
status gizinya. Gizi kurang menghambat reaksi imunologis dan berhubungan dengan tingginya
prevalensi dan beratnya penyakit infeksi
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya
penyakit infeksi. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk
mempertahankan diri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan
tubuh akan menurun yang berarti kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap serangan
infeksi menjadi turun. Oleh karena itu, setiap bentuk gangguan gizi sekalipun dengan gejala
defisiensi yang ringan merupakan pertanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap
penyakit infeksi.
Hasil penelitian Calvin S di wilayah puskesmas Curug Kabupaten Tangerang (2004),
dengan desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat menujukkan ada hubungan
antara status gizi anak balita dengan penyakit ISPA diperoleh nilai p = 0,001 dan Ratio Prevalens
5,980 (CI 95%; 2,090-17,111). Artinya balita yang mempunyai status gizi tidak baik merupakan
faktor resiko untuk terjadinya ISPA.




Faktor Lingkungan (Environment)
Kepadatan Hunian Ruang Tidur
Berdasarkan KepMenkes RI No.829 tahun 1999 tentang kesehatan perumahan menetapkan
bahwa luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur
dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.
Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak
kurangnya oksigen didalam ruangan sehingga daya tahan penghuninya menurun, kemudian
cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan seperti ISPA. Kepadatan di dalam kamar terutama
kamar balita yang tidak sesuai dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang
disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air
dari pernapasan tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur
maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan
banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh
peningkatan CO2 ruangan dan dampak peningkatan CO2 ruangan adalah penurunan kualitas
udara dalam ruangan.
Hasil penelitian Calvin S di wilayah puskesmas Curug Kabupaten Tangerang (2004), dengan
desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat menujukkan ada hubungan antara
kepadatan hunian ruang tidur anak balita dengan penyakit ISPA diperoleh nilai p = 0,004 dan
Ratio Prevalens 4,930 (CI 95%; 1,682-14,451). Artinya balita yang tinggal dalam rumah dengan
padat penghuni merupakan faktor resiko untuk terjadinya ISPA.

Penggunaan Anti Nyamuk Bakar
Penggunaan anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat menyebabkan
gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya
pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru
sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.
Hasil penelitian Calvin S di wilayah puskesmas Curug Kabupaten Tangerang (2004), dengan
desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat menujukkan ada hubungan antara
Pemakaian anti nyamuk bakar dengan penyakit ISPA pada anak balita diperoleh nilai p = 0,000
dan Ratio Prevalens 4,930 (CI 95%; 1,342-16,115). Artinya balita yang tinggal dalam rumah yang
menggunakan obat nyamuk bakar merupakan faktor resiko untuk terjadinya ISPA

Bahan Bakar Untuk Memasak
ISPA merupakan penyakit yang paling banyak di derita anak-anak. Salah satu penyebab ISPA
adalah pencemaran kualitas udara di dalam ruangan seperti pembakaran bahan bakar yang
digunakan untuk memasak dan asap rokok.
Berdasarkan penelitian Safwan di puskesmas Alai Kota Padang Sumatera Barat (2003), dengan
menggunakan desain case control, berdasarkan analisis bivariat hubungan bahan bakar minyak
tanah/kayu bakar dengan kejadian ISPA pada balita diperoleh nilai p = 0,012 dan Odds Ratio
2,24 (CI 95%; 1,221-4,089). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian
ruang tidur dengan kejadian ISPA pada balita. Niali OR sebesar 2,24 artinya balita yang
dirumahnya menggunakan bahan bakar minyak tanah/kayu bakar berpeluang menderita ISPA
sebesar 2,24 kali lebih banyak dibanding dengan balita yang dirumahnya menggunakan bahan
bakar gas.

Keberadaan Perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap rokok terdiri dari
4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain Carbon Monoksida (CO),
Polycyclic Aromatic Hidrocarbons (PAHs) dan lain-lain.
Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti (2003), secara keseluruhan prevalensi
perokok pasif pada semua umur di Indonesia adalah sebesar 48,9% atau 97.560.002 penduduk.
Prevalensi perokok pasif pada laki-laki 32,67% atau 31.879.188 penduduk dan pada perempuan
67,33% atau 65.680.814 penduduk. Sedangkan perokok aktif pada laki-laki umur 10 tahun ke
atas adalah sebesar 54,5%, pada perempuan 1,2%. Prevalensi perokok pasif pada balita sebesar
69,5 %, pada kelompok umur 5-9 tahun sebesar 70,6% dan kelompok umur muda 10-14 tahun
sebesar 70,5%. Tingginya prevalensi perokok pasif pada balita dan umur muda disebabkan
karena mereka masih tinggal serumah dengan orangtua ataupun saudaranya yang merokok
dalam rumah. 31
Berdasarkan penelitian Safwan di puskesmas Alai Kota Padang Sumatera Barat (2003), dengan
menggunakan desain case control, berdasarkan analisis bivariat hubungan kebiasaan perokok
dengan kejadian ISPA pada balita diperoleh nilai p = 0,031 dan OR 1,81 (CI 95%; 1,085-2,996).
Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian ruang tidur dengan
kejadian ISPA pada balita. OR 1,81 artinya balita yang tinggal dirumah yang anggota
keluarganya mempunyai kebiasaan merokok dalam rumah berpeluang menderita ISPA sebesar
1,81 kali lebih banyak dibanding dengan balita yang anggota keluarganya tidak merokok
didalam rumah.

Pencegahan Penyakit ISPA
Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Ditujukan pada orang sehat dengan usaha peningkatan derajat kesehatan (health promotion)
dan pencegahan khusus (spesific protection) terhadap penyakit tertentu.Termasuk disini adalah
:
a. Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan dapat
mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat meningkatkan
faktor resiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berup penyuluhan penyakit
ISPA, penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada
ibu dan anak, penyuluhan kesehatan lingkungan, penyuluhan bahaya rokok.
b. Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka kesakitan
ISPA
c. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi mal nutrisi.
d. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah.
e. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah polusi di
dalam maupun di luar rumah.

Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)14
Dalam penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan dan diagnosis sedini
mungkin. Dalam pelaksanaan program P2 ISPA, seorang balita keadaan penyakitnya termasuk
dalam klasifikasi bukan pneumonia apabila ditandai dengan batuk, serak, pilek, panas atau
demam (suhu tubuh lebih dari 370C), maka dianjurkan untuk segera diberi pengobatan.
Upaya pengobatan yang dilakukan terhadap klasifikasi ISPaA atau bukan pneumonia adalah
tanpa pemberian obat antibiotik dan diiberikan perawatan di rumah. Adapun beberapa hal
yang perlu dilakukan ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA adalah :
a) Mengatasi panas (demam)
Untuk balita, demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres dengan
menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
b) Pemberian makanan dan minuman Memberikan makanan yang cukup tinggi gizi sedikit-
sedikit tetapi sering., memberi ASI lebih sering. Usahakan memberikan cairan (air putih, air
buah) lebih banyak dari biasanya.

Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita yang bukan pneumonia agar tidak menjadi lebih
parah (pneumonia) dan mengakibatkan kecacatan (pneumonia berat) dan berakhir dengan
kematian.
Upaya yang dapat dilakukan pada pencegahan Penyakit bukan pneumonia pada bayi dan balita
yaitu perhatikan apabila timbul gejala pneumonia seperti nafas menjadi sesak, anak tidak
mampu minum dan sakit menjadi bertambah parah, agar tidak bertambah parah bawalah anak
kembali pada petugas kesehatan dan pemberian perawatan yang spesifik di rumah dengan
memperhatikan asupan gizi dan lebih sering memberikan ASI.

Anda mungkin juga menyukai