Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kekurangan vitamin A atau KVA merupakan salah satu masalah gizi yang
ada di negara berkembang. Asia Tenggara memiliki prevalensi KVA balita
tertinggi dibandingkan dengan wilayah lain seperti Afrika, Amerika, Eropa, Timur
Tengah dan Pasifik Barat. Di Indonesia masalah kekurangan vitamin A pada
tahun 2011 sudah dapat dikendalikan, namun secara subklinis prevalensi
kekurangan vitamin A terutama pada kadar serum retinol dalam darah kurang
dari 20g/dl masih mencapai 0,8% (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi,
2012).
Kekurangan vitamin A disebabkan karena kurangnya intake vitamin A
dalam tubuh. Intake vitamin A didapatkan dari asupan makanan yang
mengandung vitamin A dari sumber hewani atau pro-vitamin A dari sumber
nabati. Makanan yang mengandung vitamin A tergolong mahal dipasaran,
sehingga sebagian besar masyarakat miskin sangat sulit untuk mendapatkan
makanan sumber vitamin A untuk mencukupi kebutuhan akan vitamin A sehari-
hari (Nadimin, 2011).
Hasil Studi Masalah Gizi Mikro di 10 propinsi yang dilakukan Puslitbang
Gizi dan Makanan Departemen Kesehatan RI pada Tahun 2006 memperlihatkan
balita dengan Serum Retinol kurang dari 20g/dl adalah sebesar 14,6%. Hasil
studi tersebut menggambarkan terjadinya penurunan bila dibandingkan dengan
Survei Vitamin A Tahun 1992 yang menunjukkan 50% balita mempunyai serum
retinol kurang dari 20 g/dl. Oleh karena itu, masalah kurang Vitamin A (KVA)
sudah tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat lagi karena berada di bawah
15% (batasan IVACG). Hal tersebut salah satunya berkaitan dengan strategi
penanggulangan KVA dengan pemberian suplementasi Vitamin A yang dilakukan
setiap bulan Februari dan Agustus (Bulan Kapsul Vitamin A).
Direktorat Bina Gizi Masyarakat bekerja sama dengan SEAMEO
TROPMED RCCN Universitas Indonesia, UNICEF dan Micronutrient Initiative
pada tahun 2007 melakukan survei di 3 provinsi terpilih yaitu Kalimantan Barat,

1
Lampung dan Sulawesi Tenggara untuk melihat cakupan suplementasi Vitamin A
dan mengevaluasi manajemen program Vitamin A. Hasil survei menunjukkan
bahwa di provinsi Kalimantan Barat cakupan Vitamin A pada bayi (6-11 bulan)
adalah sebesar 55,8% dan anak balita (12-59 bulan) sebesar 56,6%, sementara
untuk provinsi Lampung cakupan pada bayi adalah 82,4% dan anak balita 80,4%,
dan Sulawesi Tenggara adalah 70,5% pada bayi dan anak balita sebesar 62,2%.
Hasil survei juga menemukan bahwa sebanyak 70,2% bayi umur 6-11 bulan dan
13,9% anak balita umur 12-59 bulan mendapatkan suplementasi Vitamin A
dengan dosis yang tidak sesuai umur.(Depkes.2009)
Pada tahun 2015 cakupan pemberian Vitamin A pada balita 6-59 bulan di
Indonesia sebesar 83,5%, sedikit menurun dibandingkan tahun 2014 yang sebesar
85,4%. Dari 31 provinsi yang melapor, sebelas provinsi di antaranya (35%) telah
mencapai cakupan pemberian Vitamin A 90%. Cakupan pemberian Vitamin A
pada balita 6-59 bulan tertinggi yaitu DI Yogyakarta sebesar 98,8% dan terendah
di Sumatera Utara sebesar 53,2%.
Menurut sasarannya, cakupan pemberian Vitamin A pada bayi 6-11 bulan
sebesar 75,4% dengan kisaran 16,4% (Sumatera Utara) sampai 99,3% (DI
Yogyakarta). Sedangkan pemberian Vitamin A pada anak 12-59 bulan sebesar
84,9% dengan kisaran antara 55,3% (DKI Jakarta) sampai 98,7% (DI
Yogyakarta). Di Provinsi Lampung sendiri cakupan pemberian Vitamin A pada
bayi 6-11 bulan sebesar 80,4% Sedangkan pemberian Vitamin A pada anak 12-59
bulan sebesar 82,2%.( Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2016 )

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi vitamin A ?
2. Bagaimana patofisiologi Kekurangan Vitamin A ?
3. Apa akibat dari Kekurangan Vitamin A ?
4. Bagaimana cara mencegah dan mengatasi Kekurangan Vitamin A ?

C.Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah Untuk memberikan beberapa
informasi mengenai KVA, cara pencegahannya dan penanggulangannya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.Pengertian
Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting yang larut dalam lemak
dan di simpan dalam hati, tidak dapat dibuat oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi
dari luar (essensial), berfungsi untuk penglihatan, pertumbuhan dan meningkatkan
daya tahan tubuh terhadap penyakit. (Depkes RI, 2005)

Menurut Almatsier (2006), vitamin A adalah suatu kristal alkohol


berwarna kuning dan larut dalam lemak. Dalam makanan vitamin A biasanya
terdapat dalam bentuk ester retinil, yaitu terikat pada asam lemak rantai panjang.
Didalam tubuh, vitamin A berfungsi dalam beberapa bentuk ikatan kimia aktif,
yaitu retinol (bentuk alkohol), retinal (aldehida), dan asam retinoat (bentuk asam).

Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak. Berdasarkan struktur


kimianya disebut retinol atau retina atau disebut juga dengan asam retinoat,
terdapat pada jaringan hewan dimana retinol 90-95% disimpan pada hati
(Haryadi, 2009).
Aktivitas vitamin A di dalam jaringan diukur dalam International Unit (IU)
atau satuan International (SI). Pada tahun 1967 FAO atau WHO menganjurkan
istilah Retinol Ekivalen (RE) sebagai unit pengukuran vitamin A, tetapi hingga
sekarang Satuan International (SI) masih umum dipakai. Satuan International, RE
dan ekivalennya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Satuan Vitamin A dan Ekivalen
1.0 g RE = 1.O g retinol
6.0 g beta karoten
12.0 g karotenoid lain
3.3 SI (Satuan International) retinol
9.9 SI (Satuan International) betakaroten
Sumber: Almatsier (2006).

3
WHO merekomendasikan untuk mengetahui kekurangan vtamin A
subklinis dengan diukur indikator biokimia. Meskipun semua indikator biokimia
yang tersedia saat ini memiliki keterbatasan.

Serum retinol merupakan indikator biokimia yang sudah established untuk


menentukan status vitamin A. Akan tetapi, penentuan kadar vitamin A serum juga
masih ada kelemahannya sebab belum dapat diketahui status vitamin A dalam
tubuh karena kadar vitamin A serum dipengaruhi oleh simpanan vitamin A dalam
hati. Kadar antara 0,35 dan 0,70 mmol/l cenderung ciri defisiensi sub klinis,
namun defisiensi sub klinis masih mungkin terjadi di tingkat antara 0,70 dan 1,05
mmol/l, dan kadang-kadang di atas 1,05 mmol/l. Prevalensi nilai dibawah 0,70
mmol/l (<20 g/dl) adalah ambang batas populasi umum untuk anak-anak
prasekolah. Infeksi klinis dan sub klinis dapat mengurangi konsentrasi serum
vitamin A rata-rata hingga 25% terlepas dari vitamin A. Oleh karena itu, pada
tingkat antara sekitar 0,5 dan 1,05 mmol/l (WHO 1996).

Pada kadar vitamin A serum (retinol) 20-30 g/dl dapat dikatakan bahwa
simpanan vitamin A masih cukup, bila kadarnya dalam serum dibawah 10 g/dl,
simpanan vitamin A dalam hati sudah sangat rendah dan biasanya tanda-tanda
klinis sudah mulai muncul. Untuk menghindari kesalahan penentuan status
vitamin A tubuh karena adanya kemampuan kompensasi dari cadangan dihati
maka diperlukan suatu metode disebut Relative Dose Response (RDR) dan akan
lebih baik lagi bila penentuan kadar vitamin A serum disertai dengan penentuan
kadar Retinol Binding Protein (RBP) sehingga status vitamin A dan status protein
tubuh dapat diketahui. Pada anak normal kadar RBP plasma 20-30 g/dl dan
dewasa 40-50 g/dl, sedangkan pada KVA kadar tersebut dapat turun sampai
50%. Berikut ini merupakan kategori status Vitamin A dapat dilihat pada Tabel 2.

4
Tabel 2 Kategori Status Vitamin A

Kategori Cut of Point


Defisiensi (Klinis) < 10 g/dl
Marginal (Rendah)-defisiensi <20-10 g/dl
Subklinis

Cukup 20-50 g/dl


Berlebih >50 g/dl
Defisiensi (Klinis) < 10 g/dl

Sumber: DepKes (2003).

Bentuk aktif vitamin A (Ester retinyl) hanya terdapat dalam pangan


hewani. Pangan nabati mengandung karotenoid yang merupakan prekusor
(provitamin) vitamin A. Diantara ratusan karotenoid yang terdapat di alam, hanya
bentuk alfa,beta dan gama serta kriptosantin yang berperan sebagai provitamin A.
Beta karoten adalah bentuk provitamin A paling aktif, yang terdiri atas dua
molekul retinol yang saling berkaitan. Vitamin yang berasal dari sumber pangan
nabati sulit untuk diserap karena pemecahan struktur karotenoid 2 kali struktur
retinoid (Almatsier 2006).

Kekurangan vitamin A (KVA) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan


rendahnya kadar vitamin A dalam jaringan penyimpanan (hati) dan melemahnya
kemampuan adaptasi terhadap kondisi gelap dan sangat rendahnya konsumsi
vitamin A (WHO 1998). KVA tingkat subklinis yaitu tingkat KVA yang belum
menampakkan gejala nyata atau tidak menunjukkan gejala secara fisik, masih
menimpa masyarakat luas terutama kelompok balita (Depkes 2003).

Ibu yang sedang mengalami nifas yang cukup mendapat vitamin A akan
meningkatkan kandungan vitamin A dalam air susu ibu (ASI), sehingga bayi yang
disusui lebih kebal terhadap penyakit. Di samping itu kesehatan ibu lebih cepat
pulih. Upaya perbaikan status vitamin A harus mulai sedini mungkin pada masa
kanak-kanak terutama anak yang menderita KVA (Depkes RI, 2005).

5
Angka kecukupan vitamin A yang di anjurkan untuk berbagai golongan
umur dan jenis kelamin untuk Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3 Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Untuk Vitamin A


Golongan AKG Golongan AKG
Umur ( RE ) Umur ( RE )

0-6 bulan 375 Wanita


7-11 bulan 400 10-12 tahun 600
1-3 tahun 400 13-15 tahun 600
4-6 tahun 450 16-18 tahun 600
7-9 tahun 500 19-29 tahun 600
30-49 tahun 600
Pria 50-64 tahun 600
10-12 tahun 600 > 64 tahun 600
13-15 tahun 600
16-18 tahun 600 Hamil : + 300
19-29 tahun 600
30-49 tahun 600 Menyusui:
50-64 tahun 600 0-6 bulan + 350
> 65 tahun 600 7-12 bulan + 350

Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2004 (Almatsier,2009)

Sumber Vitamin A
Vitamin A terdapat di dalam pangan hewani, sedangkan karoten terutama di
dalam pangan nabati. Sumber vitamin A adalah hati, kuning telur, susu (di dalam
lemaknya) dan mentega. Margarin biasanya diperkaya vitamin A. Karena vitamin
A tidak berwarna, warna kuning dalam telur adalah karoten yang tidak di ubah
yang tidak di ubah menjadi vitamin A. Minyak hati ikan digunakan sebagai
sumber vitamin A yang diberikan untuk proses penyembuhan.
Sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau tua serta sayuran dan buah-
buahan yang berwarna jingga, seperti daun singkong, daun kacang, kangkung,

6
bayam, kacang panjang, buncis, wortel, tomat, jagung kuning, papaya mangga,
nangka masak dan jeruk (Almatsier, 2009)

B. Prevalensi
Angka prevalensi kejadian kurang vitamin A di beberapa daerah di
Indonesia menurut beberapa survey adalah sebagai berikut :
1. Survei nasional pada xeroftalmia I tahun 1978 menunjukkan angkaangka
xeroftalmia di Indonesia sebesar 1,34% atau sekitar tiga kali lipat lebih
tinggi dari ambang batas yang ditetapkan oleh WHO (X16 < 0,5%).
2. Pada tahun 1992 survei nasional pada xeroftalmia II dilaksanakan,
prevalensi KVA mampu diturunkan secara berarti dari 1,34% menjadi
0,33%. Namun secara subklinis, prevalensi KVA terutama pada kadar
serum retinol dalam darah (< 20 mcg/100 ml) pada balita sebesar 50%,
ini menyebabkan anak balita di Indonesia berisiko tinggi untuk terjadinya
xeropthalmia dan menurunnya tingkat kekebalan tubuh sehingga mudah
terserang penyakit infeksi (Azwar, 2004). Akibatnya menjadi sangat
tergantung dengan kapsul vitamin A dosis tinggi.
3. Menurut hasil survey pemantauan status gizi dan kesehatan tahun 1998-
2002, yang menunjukkan bahwa sampai tahun 2002, sekitar 10 juta
(50%) anak Indonesia terancam kekurangan vitamin A, karena tidak
mengkonsumsi makanan mengandung vitamin A secara cukup.
4. Defisiensi vitamin A diperkirakan mempengaruhi jutaan anak di seluruh
dunia. Sekitar 250.000500.000 anak-anak di negara berkembang menjadi
buta setiap tahun karena kekurangan vitamin A, dengan prevalensi
tertinggi di Asia Tenggara dan Afrika. Dengan tingginya prevalensi
kekurangan vitamin A, WHO telah menerapkan beberapa inisiatif untuk
suplementasi vitamin A di negara-negara berkembang. Beberapa strategi
termasuk asupan vitamin A melalui kombinasi pemberian ASI, asupan
makanan, fortifikasi makanan, dan suplemen. Melalui upaya WHO dan
mitra-mitranya, yang diperkirakan 1,25 juta kematian sejak 1998 di 40
negara karena kekurangan vitamin A telah dihindari (Anonim, 2011).

7
5. Sementara itu pada Mei 2003 berdasarkan data WHO ditemukan bahwa
hingga kini masih ditemukan 3 propinsi yang paling banyak kekurangan
vitamin A yaitu : Propinsi Sulawesi Selatan tingkat prevalensi hingga
2,9%, propinsi Maluku 0,8% dan Sulawesi Utara sebesar 0,6%.

C. Etiologi
Pada dasarnya setiap permasalahan gizi selalu dapat dianalisis berdasarkan
penyebab langsung dan penyebab tak langsung. Penyebab langsung masalah gizi
diidentifikasi dari faktor asupan gizi yang diterima seseorang serta penyakit
infeksi yang diderita. Sedangkan penyebab tak langsung masalah gizi
diidentifikasi dari factor ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga, perilaku
atau asuhan ibu dan anak, serta pelayanan kesehatan yang ada. Penyebab
terjadinya Kekurangan Vitamin A antara lain:
1. Asupan gizi
a. Asupan Vitamin A Rendah
Kurangnya asupan makanan sumber vitamin A dan pro vitamin A (karoten).
Hal ini biasanya disebabkan karena kebiasaan balita yang susah untuk
menerima makanan terutama sayur dan buah yang banyak mengandung
vitamin. Atau bisa dipengaruhi dari pola asuh orang tua.
b. Bayi tidak menerima kolostrum dan disapih lebih awal.
Kolostrum merupakan ASI pertama yang berwarna agak kekuningan.
Kolostrum berguna untuk kekebalan tubuh bayi yang pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap tingkat kesakitan dan infeksi dari anak. Biasanya
orang awam menganggap jika kolostrum merupakan kotoran. Dan jika
disapih lebih awal bisa karena kesibukan si ibu yang merupakan wanita
karir dan lebih memilih untuk memberikan susu formula.

2. Penyakit infeksi (campak, diare, pneumonia dan TBC)


a. Penyakit infeksi dapat mempengaruhi sintesis hormon dan
metabolisme tubuh. Hal ini juga mengakibatkan terganggunya
sistem transport dan penyimpanan vitamin A di tubuh.
b. Absorbsi & Utilisasi Vitamin A yang rendah

8
Selain disebabkan oleh penyakit infeksi, absorbs dan utilisasi
vitamin A juga disebabkan karena adanya Pelarut Vitamin A yang
rendah dan KEP. Dimulai dengan persediaan Vitamin A dalam
hati habis sehingga kadar Vitamin A dalam plasma menurun dan
dapat menyebabkan disfungsi retina lalu terjadi perubahan
jaringan epitel.

D. Patofisiologi
Gejala klinis KVA pada mata akan timbul bila tubuh mengalami KVA yang
telah berlangsung lama. gejala tersebut akan lebih cepat muncul jika menderita
penyaki campak, diare, ISPA dan penyakit infeksi lainnya.Gejala klinis KVA
pada mata menurut klasifikasi WHO sebagai berikut :
1. Buta senja = XN. Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel batang retina.
Pada keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang yang remang-
remang setelah lama berada di cahaya yang terang. Penglihatan menurun pada
senja hari, dimana penderita tidak dapat melihat lingkungan yang kurang
cahaya.
2. Xerosis konjunctiva = XI A. Selaput lendir mata tampak kurang mengkilat atau
terlihat sedikit kering, berkeriput, dan berpigmentasi dengan permukaan kasar
dan kusam.
3. Xerosis konjunctiva dan bercak bitot = XI B. Gejala XI B adalah tanda-tanda
XI A ditambah dengan bercak bitot, yaitu bercak putih seperti busa sabun atau
keju terutama celah mata sisi luar. Bercak ini merupakan penumpukan keratin
dan sel epitel yang merupakan tanda khas pada penderita xeroftalmia, sehingga
dipakai sebagai penentuan prevalensi kurang vitamin A pada masyarakat.
Dalam keadaan berat tanda-tanda pada XI B adalah, tampak kekeringan
meliputi seluruh permukaan konjunctiva, konjunctiva tampak menebal, berlipat
dan berkerut.
4. Xerosis kornea = X2. Kekeringan pada konjunctiva berlanjut sampai kornea,
kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar.
5. Keratomalasia dan Ulcus Kornea = X3 A ; X3 B. Kornea melunak seperti
bubur dan dapat terjadi ulkus. Pada tahap ini dapat terjadi perforasi

9
kornea.Keratomalasia dan tukak kornea dapat berakhir dengan perforasi dan
prolaps jaringan isi bola mata dan membentuk cacat tetap yang dapat
menyebabkan kebutaan. Keadaan umum yang cepat memburuk dapat
mengakibatkan keratomalasia dan ulkus kornea tanpa harus melalui tahap-
tahap awal xeroftalmia.
6. Xeroftalmia Scar (XS) = jaringan parut kornea. Kornea tampak menjadi putih
atau bola mata tampak mengecil. Bila luka pada kornea telah sembuh akan
meninggalkan bekas berupa sikatrik atau jaringan parut. Penderita menjadi buta
yang sudah tidak dapat disembuhkan walaupun dengan operasi cangkok
kornea.
7. Xeroftalmia Fundus (XF). Tampak seperti cendolXN, XI A, XI B, X2
biasanya dapat sembuh kembali normal dengan pengobatan yang baik. Pada
stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera diobati
karena dalam beberapa hari bisa menjadi keratomalasia. X3A dan X3 B bila
diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang bahkan dapat
menyebabkan kebutaan total bila lesi pada kornea cukup luas sehingga
menutupi seluruh kornea.Prinsip dasar untuk mencegah xeroftalmia adalah
memenuhi kebutuhan vitamin A yang cukup untuk tubuh serta mencegah
penyakit infeksi. Selain itu perlu memperhatikan kesehatan secara umum
(Wardani, 2012).

E. Faktor yang berhubungan


1. Faktor sosial ekonomi
Kurang ketersediaan pangan sumber vitamin A. Distribusi pangan yang
tidak merata seperti terjadi paceklik atau rawan pangan, untuk memperoleh
sumber makanan yang mengandung vitamin A menjadi terkendala. Hal ini dapat
berakibat kurangnya konsumsi vitamin A.
2. Faktor sosial Budaya
1.1 Pola makan
a. Sebagian masyarakat yang memakan nasi/beras yang sudah
digiling akan mendapatkan asupan vitamin A yang lebih sedikit
dibandingkan dengan beras yang tidak digiling. Demikian pula

10
dengan masyarakat yang mengonsumsi makanan pokok selain
nasi/beras, misalnya seperti jagung dan singkong akan mendapat
asupan vitamin A yang lebih sedikit karena kandungan vitamin
A lebih besar pada beras dibandingkan dengan jagung dan
singkong.
b. Adanya tabu atau pantangan terhadap makanan tertentu terutama
yang merupakan sumber Vit A
c. Tidak memberikan suplementasi vitamin A pada anak
d. Masih ada masyarakat di Indonesia yang tidak mau membawa
anaknya ke posyandu. Padahal di posyandu telah disediakan
suplemen vitamin A untuk balita. Hal ini dapat menjadi salah
satu penyebab anak menjadi KVA
1.2 Faktor keluarga
a. Pendidikan
Pendidikan yang rendah biasanya mempunyai pengetahuan gizi
yang kurang. Karena keterbatasan pengetahuan gizi tersebut,
maka seseorang tidak memenuhi kebutuhan gizi anaknya untuk
memberikan makanan yang mengandung vitamin A.
b. Penghasilan
Penghasilan keluarga yang rendah akan lebih berisiko
mengalami KVA karena keluarga tersebut tidak dapat
memenuhi konsumsi makanan bergizi kaya vitamin A.
Walaupun demikian, besarnya penghasilan keluarga tidak
menjamin anaknya tidak mengalami KVA, karena harus
diimbangi dengan pengetahuan gizi yang cukup sehingga dapat
memberikan makanan kaya vitamin A.
c. Jumlah anak dalam keluarga
Semakin banyak anak semakin kurang perhatian orangtua dalam
mengasuh anaknya. Maka bisa jadi anak tersebut tidak
mendapatkan makanan yang mengandung vitamin A sehingga
menyebabkan anak tersebut mengalami KVA.
d. Pola asuh anak

11
Kurangnya perhatian pasangan suami istri (pasutri) yang bekerja
atau bercerai terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak
menyebabkan anak tersebut tidak mendapatan asupan makanan
kaya vitamin A.
1.3 Pelayanan Kesehatan
Cakupan pemberian vitamin A dan angka kesakitan karena
penyakit infeksi. Anak yang tidak mendapatkan asupan makanan
kaya vitaminn A, tidak mendapatkan suplementasi vitamin A,
ditambah dengan terkena infeksi seperti diare, akan menyebabkan
anak tersebut mengalami KVA.
3. Faktor Individu atau Biologis
a. Anak dengan Berat Lahir Rendah
b. Anak yang tidak mendapat ASI-Eksklusif dan tidak diberi ASI
sampai 2 tahun
c. Anak yang tidak mendapar MP-ASI yang cukup baik mutu dan
jumlahnya
d. Anak kurang gizi atau di Bawah Garis Merah (BGM) pada KMS.
e. Anak yang menderita penyakit dan infeksi (campak, diare, TBC,
pneumonia, malaria, kecacingan dan HIV/AIDS).
f. Anak yang tidak pernah mendapatkan kapsul vitamin A dan
imunisasi.
4. Faktor Goegrafis
Sulitnya akses ke sarana pelayanan kesehatan sehingga sulit
mendapatkan vitamin A dan penanganan apabila menderita penyakit.
Keadaan darurat seperti adanya bencana alam, daerah tandus, sering
paceklik atau rawan pangan juga dapat mempengaruhi kekurangan
Vitamin A.

F.Kelompok yang rentan


Kelompok umur yang terutama mudah mengalami kekurangan vitamin A
adalah kelompok bayi usia 6-11 bulan dan kelompok anak balita usia 12-59 bulan
(1-5 tahun). Sedangkan yang lebih berisiko menderita kekurangan vitamin A

12
adalah bayi berat lahir rendah kurang dari 2,5 kg, anak yang tidak mendapat ASI
eksklusif dan tidak diberi ASI sampai usia 2 tahun, anak yang tidak mendapat
makanan pendamping ASI yang cukup, baik mutu maupun jumlahnya, anak
kurang gizi atau di bawah garis merah pada KMS, anak yang menderita penyakit
infeksi (campak, diare, TBC, pneumonia) dan kecacingan, anak dari keluarga
miskin, anak yang tinggal di dareah dengan sumber vitamin A yang kurang, anak
yang tidak pernah mendapat kapsul vitamin A dan imunisasi di posyandu maupun
puskesmas, serta anak yang kurang/jarang makan makanan sumber vitamin A.
Terjadinya kekurangan vitamin A berkaitan dengan berbagai faktor dalam
hubungan yang kompleks seperti halnya dengan masalah kekurangan kalori
protein (KKP). Makanan yang rendah dalam vitamin A biasanya juga rendah
dalam protein, lemak dan hubungannya antara hal-hal ini merupakan faktor
penting dalam terjadinya kekurangan vitamin A.
Kekurangan vitamin A bisa disebabkan seorang anak kesulitan mengonsumsi
vitamin A dalam jumlah yang banyak, kurangnya pengetahuan orang tua tentang
peran vitamin A dan kemiskinan. Sedangkan untuk mendapatkan pangan yang
difortifikasi bukan hal yang mudah bagi penduduk yang miskin. Karena, harga
pangan yang difortifikasi lebih mahal daripada pangan yang tidak difortifikasi.
Pembedahan pada usus atau pankreas juga akan memberikan efek kekurangan
vitamin A. Bayi-bayi yang tidak mendapat ASI mempunyai risiko lebih tinggi
untuk menderita kekurangan vitamin A , karena ASI merupakan sumber vitamin
A yang baik. Kekurangan vitamin A sekunder dapat terjadi pada penderita Kurang
Energi Protein (KEP), penyakit hati, gangguan absorpsi karena kekurangan asam
empedu (Suhardjo, 2002).

G.Dampak
Kekurangan vitamin A (KVA) adalah kelainan sistemik yang mempengaruhi
jaringan epitel dari organ-organ seluruh tubuh, termasuk paru-paru, usus, mata
dan organ lain. Akan tetapi gambaran gangguan secara fisik dapat langsung
terlihat oleh mata. Kelainan kulit pada umumnya terlihat pada tungkai baeah
bagian depan dan lengan atas bagian belakang, kulit nampak kering dan bersisik.

13
Kelainan ini selain diebabkan oleh KVA dapat juga disebabkan kekurangan asam
lemak essensial, kurang vitamin golongan B atau KEP.
Akibat kekurangan Vitamin A menurut Almatsier antara lain:
1. Buta senja (niktalopia)
Yaitu ketidakmampuan menyesuaikan penglihatan dari cahaya terang ke
cahaya samar samar/senja, seperti bila memasuki kamar gelap dari
kamar terang. Kekurangan vitamin A menyebabkan kadar vitamin A
dalam darah menurun yang berakibat vitamin A tidak cukup diperoleh
retina mata untuk membentuk pigmen penglihatan rodopsin
2. Perubahan pada mata
Kornea mata terpengaruh secara dini oleh kekurangan Vitamin A.
Kelenjar air mata tidak mampu mengeluarkan air sehingga terjadi
pengeringan pada selaput yang menutupi kornea. Ini diikuti oleh tanda-
tanda atrofi kelenjar mata, keratinisasi konjungtiva, pemburaman,
plepasan sel-sel epitel kornea yang berakibat melunaknya dan pecahnya
kornea. Mata terkena infeksi dan terjadi pendarahan. Gejala ini dalam
bentuk ringan dinamakan xerosis konjungtiva, yaitu konjungtiva
menjadi kering, bercak bitot ( bitots spot ), yaitu berupa bercak putih
keabu-abuan pada konjungtiva. Dalam bentuk sedang dinamakan xerosis
kornea, yaitu kornea menjadi kering dan kehilangan kejernihannya.tahap
akhir adalah kerotomalasia, dimana kornea menjadi lunak dan bisa
pecah dan menyebabkan kebutaan total.istilah Xeroftalmia meliputi
semua aspek klinik yang berkaitan dengen defisiensi Vitamin A.
3. Perubahan pada kulit
Kulit menjadi kering dan kasar. Folikel rambut menjadi kasar,
mengeras, dan mengalami keratinasi yang dinamakan hiperkeratosis
folikular. Mula mula terkena lengan dan dan paha, kemudian dapat
menyebar ke seluruh tubuh. Asam retinoat sering diusapkan ke kulit
untuk menghilangkan kerutan kulit, jerawat, dan kelainan kulit lain
4. Gangguan pertumbuhan
kekurangan vitamin A, menghambat pertumbuhan sel sel, termasuk sel
sel tulang. Fungsi sel sel yang membentuk email pada gigi terganggu

14
dan terjadi atrofi sel sel yang membentuk dentin, sehingga gigi mudah
rusak.

5. Lai-lain
Perubahan lain yang dapat terjadi adalah keratinisasi sel sel pada
lidahyang menyebabkan kekurangan nafsu makan dan anemia.

Namun demikian perlu juga diperhatikan bahwa pemberian dosis Vitamin A


yang terlalu tinggi dalam waktu yang lama dapat menimbulkan akibat yang
kurang baik antara lain :
a. Hipervitaminosis A pada anak-anak dapat menimbulkan anak tersebut
cengeng, pada sekitar tulang yang panjang membengkak, kulit kering dan gatal-
gatal.
b. Hipervitaminosis pada orang dewasa menimbulkan sakit kepala, mual-
mual dan diare. (Sugiarno. 2010)

Kelebihan vitamin A hanya dapat terjadi bila memakan vitamin A sebagai


suplemen dalam takaran tinggi yang berlebihan. Gejala pada orang dewasa antara
lain sakit kepala, pusing, rasa nek, rambut rontok, kulit mengering; dan tidak ada
nafsu makan. Pada bayi terjadi pembesaran kepala, hidrosefalus, dan mudah
tersinggung yang dapat terjadi pada konsumsi 8.000 RE/ hari selama tiga puluh
hari (Almatsier, 2009).

H.Pencegahan
Upaya meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A melalui
proses Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) merupakan upaya yang paling aman.
Namun disadari bahwa penyuluhan tidak akan segera memberikan dampak nyata.
Selain itu kegiatan konsumsi kapsul vitamin A masih bersifat rintisan. Oleh sebab
itu penanggulangan KVA saat ini masih bertumpu pada pemberian kapsul vitamin
A dosis tinggi.

15
a. Bayi umur 6-11 bulan, baik sehat maupuan tidak sehat, dengan dosis 100.000
SI (warna biru). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak pada bulan
Februari dan Agustus.
b. Anak balita umur 1-5 tahun, baik sehat maupun tidak sehat, dengan dosis
200.000 SI (warna merah). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak
pada bulan Februari dan Agustus.
c. Ibu nifas, paling lambat 30 hari setelah melahirkan, diberikan satu kapsul
vitamin A dosis 200.000 SI (warna merah), dengan tujuan agar bayi
memperoleh vitamin A yang cukup melalui ASI (Depkes RI, 2009).
d. Wanita hamil : suplemen vitamin A tidak direkomendasikan selama kehamilan
sebagai bagian dari antenatal care rutin untuk mencegah maternal and infant
morbidity dan mortality. Namun, pada daerah dimana terdapat masalah
kesehatan publik yang berat yang berkaitan dengan kekurangan vitamin A,
maka suplementasi vitamin A direkomendasikan untuk mencegah rabun
senja. Secara khusus, wanita hamil dapat mengkonsumsi hingga 10,000 IU
vitamin A setiap harinya atau vitamin A hingga 25,000 IU setiap minggu.
Suplementasi dapat dilanjutkan hingga 12 minggu selama kehamilan hingga
melahirkan. Hal ini perlu ditekankan bahwa WHO mengidentifikasi populasi
berisiko sebagai mereka yang prevalensi menderita rabun senja 5% pada
wanita hamil atau 5% pada anak anak yang berusia 2459 bulan.(
McGuire, 2012)
e. Ibu nifas: suplementasi vitamin A pada ibu nifas tidaklah direkomendasikan
untuk mencegah morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi. ( McGuire S.
2012)
Kekurangan makan makanan bergizi yang berlarut-larut, selain membuat
orang menjadi kurus juga kekurangan vitamin-vitamin, termasuk kekurangan
vitamin A. penyakit usus yang menahun akan mengakibatkan penyerapan vitamin
A dari usus terganggu. Untuk melakukan pengobatan harus berobat pada dokter
dan biasanya dokter akan memberikan suntikan vitamin A setiap hari sampai
gejalanya hilang. Untuk mencegah kekurangan vitamin A makanlah pepaya,
wortel dan sayur-sayuran yang berwarna ( Hassan, 2008).

16
Program nasional pemberian suplemen vitamin A adalah upaya penting
untuk mencegah kekurangan vitamin A di antara anak-anak Indonesia. Tujuan
Program ini adalah untuk mendistribusikan kapsul vitamin A pada semua anak di
seluruh wilayah Indonesia dua kali dalam satu tahun. Setiap Februari dan
Agustus, kapsul vitamin A didistribusikan secara gratis kepada semua anak yang
mengunjungi Posyandu dan Puskesmas. Vitamin A yang terdapat dalam kapsul
tersebut cukup untuk membantu melindungi anak-anak dari timbulnya beberapa
penyakit yang pada gilirannya akan membantu menyelamatkan penglihatan dan
kehidupan mereka ( Maryam, 2010 ).
Pemberian vitamin A akan memberikan perbaikan nyata dalam satu
sampai dua minggu. Dianjurkan bila diagnosa defisiensi vitamin A ditegakkan
maka berikan vitamin A 200.000 IU peroral dan pada hari kesatu dan kedua.
Belum ada perbaikan maka diberikan obat yang sama pada hari ketiga. Biasanya
diobati gangguan proteinkalori mal nutrisi dengan menambah vitamin A, sehingga
perlu diberikan perbaikan gizi.
Pencegahan dan pengobatan di kutip berdasarkan keterangan dari brosur
suplementasi vitamin A kapsul yang terdiri dari :
a. Kapsul vitamin A berwarna biru (100.000 IU)
Tiap kapsul mengandung vitamin A palmitat 1,7 juta IU 64.7059 mg (setara
dengan vitamin A 100.000 IU) dengan dosis
1) Pencegahan bayi umur 6 bulan 11 bulan : 1 kapsul
2) Bayi dengan tanda klinis xerofthalmia :
- Saat ditemukan segera beri 1 kapsul
- Hari berikutnya 1 kapsul
- 4 minggu berikutnya 1 kapsul
3) Bayi dengan campak, pneumonia, diare, gizi buruk dan infeksi lainnya
diberi 1 kapsul.

b. Kapsul vitamin A berwarna merah (200.000 IU) tiap kapsul vitamin A


mengandung palmitat 1,7 juta IU 129.5298 mg (setara dengan vitamin A
200.000 IU) dengan dosis :
1). Pencegahan bayi umur 1 tahun 3 tahun : 1 kapsul
2). Bayi dengan tanda klinis xerofthalmia :

17
- Saat ditemukan segera beri 1 kapsul
- Hari berikutnya 1 kapsul
- 4 minggu berikutnya 1 kapsul
3). Bayi dengan campak, pneumonia, diare, gizi buruk dan infeksi dan
infeksi lainnya diberi 1 kapsul ( Puspitorini, 2007).

18
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari serangkaian penulisan makalah di atas adalah
sebagai berikut:
1. Vitamin A merupakan salah satu vitamin yang larut dalam lemak atau
minyak dan merupakan vitamin yang esensial untuk pemeliharaan
kesehatan dan kelangsungan hidup.
2. Vitamin A stabil terhadap panas, asam dan alkali tetapi sangat mudah
teroksidasi oleh udara dan akan rusak pada suhu tinggi.
3. Gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi WHO yaitu Buta
senja, Xerosis konjunctiva, Xerosis kornea, Keratomalasia dan Ulcus
Kornea, Xeroftalmia Scar serta Xeroftalmia Fundus.
4. Program penanggulangan masalah KVA bertujuan untuk menurunkan
prevalensi KVA terutama ditujukan kepada kelompok sasaran rentan
yaitu balita.
5. Hipervitaminosis Vitamin A adalah kadar vitamin A dalam darah sangat
tinggi sehingga menyebabkan timbulnya gejala-gejala yang tidak
diinginkan.
6. Dampak kekurangan Vitamin A bagi balita antara lain yaitu hemarolopia
atau rabun senja, frinoderma, pendarahan pada selaput usus, ginjal dan
paru-paru, xerosis konjungtiva, bercak bitot, xerosis kornea,
keratomalasia, ulserasi kornea, xeroftahalmia scars, terhentinya proses
pertumbuhan, serta terganggunya pertumbuhan pada bayi.
7. Ibu hamil dan menyusui seperti halnya juga anak-anak, berisiko
mengalami KVA karena pada masa tersebut ibu membutuhkan vitamin A
yang tinggi untuk pertumbuhan janin dan produksi ASI.
8. Pemberian kapsul vitamin A dilaksanakan dengan cara terjadwal,
kunjungan rumah atau pada kejadian tertentu.

19
B. Saran
1. Perlu adanya penyuluhan secara berkala mengenai pentingnya asupan
vitamin A yang cukup agar terhindar dari penyakit penyakit tertentu
seperti xeroptalmia.
2. Perlu adanya kerja sama dengan kelompok PKK di lingkungan sekitar
puskesmas dan fasilitas kesehatan dalam usaha fortifikasi vitamin A
dalam menu makanan keluarga sehari hari.
3. Diharapkan tenaga kesehatan agar dapat lebih pro aktif dalam
melakukan home visit terhadap klien yang tidak datang saat penyuluhan
mengenai pentingnya vitamin A ini berlangsung.

20
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S., 2009. Prinsip-prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama

Almatsier S, Soetardjo S, & Soekatri M. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan.
Jakarta :Gramedia Pustaka Utama

Arisman. 2002. Gizi dalam daur kehiduan.Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran
Universitas Palembang. Proyek peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Clagett-Dame, Margaret and Danielle Knutson. 2011. Vitamin A in Reproduction and


Development. University of Wisconsin-Madison.

Desi dan Dwi 2009. Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta. Nuha Medika.
Departemen Kesehatan RI, Konsumsi Kapsul Vitamin A pada Ibu Nifas.

Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.

Haryadi, Hendri. 2011 . Makalah Kekurangan Vitamin A Ilmu Gizi. Diakses dari
http://handri-haryadi.blogspot.com

Iskandar, Zulkarnaen. 2012. Kekurangan Vitamin A. Diakses dari


http://kuliahiskandar.blogspot.com.

Kemenkes RI, 2016. Profil Kesehatan 2015. Jakarta

Maryam,Siti dkk (2010). Asuhan Keperawatan pada Lansia. Trans Info Medika,
Jakarta.

21

Anda mungkin juga menyukai