Anda di halaman 1dari 13

DAFTAR ISI

Halaman Judul ........................................................................................................1


Lembar Pengesahan................................................................................................2
Daftar isi.................................................................................................................3
BAB

I Pendahuluan...........................................................................................4

BAB

II Pembahasan...........................................................................................5
II. Patofisiologi..........................................................................................6
III Jenis penyakit......................................................................................9
III. 2 Inkompatibilitas Rhesus ..................................................................9
III. 3 Grave disesase.................................................................................11

BAB

III Penutup...............................................................................................14

Daftar Pustaka .......................................................................................................15

I. PENDAHULUAN
Penyakit

hipersensitivitas

biasanya

diklasifikasikan

berdasarkan

mekanisme

imunologi utama yang bertanggung jawab untuk cedera jaringan dan penyakit.(1) Reaksi
hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip HH Gell tahun 1963 dibagi kepada 4 tipe
reaksi berdasarkan kecepatan terjadi reaksi dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II,
III, dan IV.
Penyakit yang dimediasi antibodi (tipe 2), penyakit kompleks imun (tipe 3), dan
penyakit dimediasi sel T (tipe 4). Reaksi tipe I, II, III, dan IV terjadi karena interaksi antara
antigen dengan reseptor yang terdapat pada permukaan limfosit sehingga termasuk reaksi
seluler. Sesuai dengan waktu yang diperlukan untuk timbulnya reaksi, reaksi tipe I, II, III,
dan IV disebut reaksi tipe segera (immediate), walau reaksi yang satu timbul lebih cepat dari
yang lain, yaitu antara beberapa detik atau menit pada tipe I hingga beberapa jam pada tipe II
dan III. Sebaliknya tipe IV disebut reaksi tipe lambat (delayed type hypersensitivity reaction)
karena reaksi berlangsung lebih lambat dibandingkan tipe yang lain, yaitu umumnya lebih
dari 12 jam. Walaupun demikian, dalam praktek, mekanisme reaksi hipersensitivitas tidak
selalu berdiri sendiri atau terpisah satu dari yang lain, tetapi sering melibatkan lebih dari satu
mekanisme reaksi imunologik.1

II PERBAHASAN
I. Klasifikasi Hipersensitivitas
Tipe I merupakan reaksi yang dipicu oleh pengikatan antigen ke reseptor IgE
berafinitas tinggi pada permukaan sel mast pada jaringan atau basofil yang bersirkulasi dalam
pembuluh darah atau keduanya. Reaksi IgE menyebabkan pelepasan mediator kimia yang
sedia ada, seperti histamin dan tryptase, dan mediator yang baru dihasilkan, seperti
leukotrien,

prostaglandin,

dan

platelet-activating

factor,

yang

berkontribusi

pada

pengembangan gejala klinis alergi, dengan anafilaksis sebagai gejala yang paling menonjol.
Beberapa jam setelah respon awal, reaksi fase akhir dapat berkembang, di mana ada
masuknya sel-sel inflamasi lainnya, seperti basofil, eosinofil, monosit, limfosit, dan neutrofil,
dan mediator inflamasi. Perekrutan sel-sel ini menyebabkan gejala sering timbul dan bersifat
kronis.
Tipe II (reaksi sitotoksisitas antibodi) melibatkan IgM, IgG, IgA atau antibodi yang
berikatan dengan permukaan sel. Reaksi ikatan ini dapat mengaktifkan seluruh jalur
komplemen, mengakibatkan lisis sel atau pelepasan anaphylatoxins, seperti C3a, C4a, dan
C5a. Anaphylatoxins ini memicu degranulasi sel mast, sehingga pelepasan mediator
inflamasi. Antigen yang di target bisa antigen permukaan membran sel, seperti sel-sel darah
merah (anemia hemolitik); permukaan sel molekul trombosit (trombositopenia); molekul
membran basement di ginjal (sindrom Goodpasture); rantai alpha dari reseptor asetilkolin
pada neuromuscular junction (myasthenia gravis); dan thyroid-stimulating hormone
receptor pada sel tiroid (penyakit Graves). Sebuah contoh klasik dari reaksi tipe II adalah
penyakit hemolitik pada bayi baru lahir akibat ketidakcocokan Rhesus (Rh)
Tipe III (reaksi imun kompleks) melibatkan pembentukan antigen-antibodi atau
kekebalan kompleks, yang masuk ke dalam sirkulasi dan disimpan dalam jaringan, seperti
5

pembuluh darah dan organ penyaringan (hati, limpa, ginjal). Kompleks ini menyebabkan
kerusakan jaringan dengan mengaktifkan cascade komplemen dan dengan merekrut neutrofil
yang melepaskan mediator beracun. Reaksi lokal yang disebabkan oleh suntikan antigen ke
dalam jaringan disebut reaksi Arthus. Administrasi antigen dalam jumlah besar menyebabkan
serum sickness, contoh klasik dari jenis reaksi III. Reaksi tipe III lainnya termasuk
hipersensitivitas pneumonitis dan beberapa sindrom vaskulitis (Henoch-Schnlein purpura).
Tipe IV (reaksi hipersensitivitas tertunda) melibatkan pengenalan antigen oleh sel T yang
tersensitasi. Sel-sel antigen menyajikan membentuk peptida yang diekspresikan pada
permukaan sel dalam hubungan dengan MHC kelas II molekul. Sel memori T mengenali
antigen peptida / MHC kelas II kompleks. Sitokin, seperti interferon-, tumor necrosis factor, dan granulosit-macrophage colony-stimulating factor, disekresikan dari interaksi ini, yang
mengaktifkan dan menarik makrofag jaringan. Alergi kontak (nikel, poison ivy, obat topikal)
dan kekebalan terhadap TBC adalah reaksi tipe IV.(5)

II. Patofisiologi

Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan


antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Antigen tersebut dapat
merupakan molekul intrinsic normal bagi membrane sel atau matriks ekstraseluler atau dapat
merupakan antigen eksogen yang diabsorbsi (misalnya metabolit obat).

Respon

hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yang di ikuti salah satu dari tiga
mekanisme bergantung antibodi, yaitu:2
1. Opsonisasi dan Fagositosis yang diperantarai Komplemen dan Fc Receptor

Sel-sel yang menjadi target antibodi

diopsonisasi oleh molekul-molekul

yang

mampu menarik fagosit, sehingga sel-sel tersebut mengalami deplesi. Saat antibodi
(IgG/IgM) terikat pada permukaan sel, terjadi pengaktifan sistem komplemen. Aktivasi
komplemen terutama menghasilkan C3b dan C4b, yang akan terikat pada permukaan sel. C3b
dan C4b ini akan dikenali oleh fagosit yang mengekspresikan reseptor C3b dan C4b. Sebagai
tambahan, sel-sel yang di-opsonisasi oleh antibodi IgG dikenali oleh fagosit reseptor Fc.
Hasil akhirnya yaitu fagositosis dari sel yang di-opsonisasi, kemudian sel tersebut
dihancurkan. Aktivasi komplemen juga menyebabkan terbentuknya membrane attack
complex, yang mengganggu integritas membran dengan membuat lubang-lubang menembus
lipid bilayer, sehingga terjadi lisis osmotik sel.2
Kerusakan sel yang dimediasi antibodi dapat terjadi melalui proses lain yaitu
antibody-dependent cellular cytotoxicity (ADCC). Bentuk jejas yang ditimbulkan tidak
melibatkan fiksasi komplemen melainkan membutuhkan kerjasama leukosit. Sel yang di
selubungi dengan IgG konsentrasi rendah lalu dibunuh oleh berbagai macam sel efektor yang
berikatan pada sel target dengan reseptor untuk fragmen Fc dari IgG dan sel akan lisis tanpa
mengalami fagositosis. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam leukosit, termasuk
neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipun secara khusus ADCC diperantarai oleh
antibodi IgG, dalam kasus tertentu (misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh
eosinofil) yang digunakaan adalah IgE. Peran dari ADCC dalam hipersensitivitas masih
belum dapat dipastikan2

2. Inflamasi yang diperantarai Komplemen dan Fc Receptor(6)


Saat antibodi terikat pada jaringan ekstraselular (membran basal dan matriks),
kerusakan yang dihasilkan merupakan akibat dari inflamasi, bukan fagositosis/lisis sel.
Antibodi yang terikat tersebut akan mengaktifkan komplemen, yang selanjutnya
7

menghasilkan terutama C5a (yang menarik neutrofil dan monosit). Sel yang sama juga
berikatan dengan antibodi melalui reseptor Fc. Leukosit aktif, melepaskan bahan-bahan
perusak (enzim dan intermediate oksigen reaktif), sehingga menghasilkan kerusakan jaringan.
Reaksi ini berperan pada glomerulonefritis dan vascular rejection dalam organ grafts.

3.

Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibody


Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel

merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh karena
itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalam motor end-plate otototot rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot. 2

Dari pembahasan di atas, dapat

disimpulkan bahwa prinsip dari reaksi

hipersensitivitas tipe II adalah adanya mediasi dari antibodi untuk menyebabkan sitolitik pada
sel terinfeksi melalui opsonisasi antigen yang menempel pada permukaan membran sel.
Kasus pada pemicu akibat adanya pengaruh obat bisa menjadi reaksi hipersensitivitas tipe II
melalui adanya pembentukan kompleks antigen-antibodi. Namun, hal tersebut sulit untuk
dibuktikan karena efek reaksi obat yang begitu cepat lebih mengarah pada adanya anafilaktik
obat yang merupakan manifestasi dari reaksi hipersensitivitas tipe I.
8

III. Jenis penyakit


Inkompatibilitas Rhesus
Inkompatibilitas Rhesus adalah kondisi medis dimana ibu dengan darah rhesus negatif
(Rh-negatif) dan bayi dengan darah rhesus positif (Rh-positif) sewaktu kehamilan. Perbedaan
golongan darah yang ditandai dengan tipe protein yang ditemukan pada permukaan sel darah
merah. Apabila faktor protein Rh muncul, individu dikatakan Rh positif. Di sisi lain, tidak
ditemukannya faktor Rh mengindikasikan individu tersebut merupakan Rh-negatif.
Inkompatibilitas Rh hanya dapat terjadi ketika ibu dengan Rh-negatif dan janinnya
dengan Rh-positif. Sistem kekebalan tubuh ibu menganggap sel-sel janin sebagai benda
asing, menyebabkan antibodi anti-Rh memasuki peredaran darah bayi dan menghancurkan
sel-sel darah merah bayi. Inkompatibilitas Rh sering tidak menimbulkan masalah pada
kehamilan pertama, akan tetapi, risiko meningkat seiring dengan setiap kehamilan. Hal ini
terjadi karena darah ibu berespon terhadap antibodi anti-Rh yang dihasilkan terhadap sel
darah merah Rh-positif (darah ibu dikatakan tersensitasi) akibat percampuran darah setelah
melahirkan anak pertama. Pada kehamilan berikutnya dengan bayi Rh-positif, antibodi antiRh akan mengenali janin sebagai benda asing dan menyerang sel-sel darah merah janin. Hal
ini berpotensi menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa pada bayi, seperti anemia,
ikterus, kerusakan otak, kematian prematur janin di dalam kandungan ibu.

DAMPAK PADA JANIN


Pada kehamilan selanjutnya, jika si bayi mempunyai Rh+ juga maka antibodi Rh+ dalam
darah ibu akan menyerang Rh+ dalam darah bayi yang mengakibatkan:

1. Penghancuran besar-besaran sel darah merah bayi sehingga sumsum tulang bayi aktif terus
memproduksi sel darah merah untuk mengimbangi penghancuran tersebut. Akibatnya banyak
sel-sel darah muda yang beredar dalam pembuluh darah bayi (Erythroblastosis fetalis)
2. Terjadi juga penghancuran sel darah merah di organ hati dan limpa yang mengakibatkan
organ hati dan limpa membesar
3. Fungsi hati tidak normal, produksi albumin menurun, tubuh bayi menjadi bengkak dan
melepuh (Hydrops fetalis)

DAMPAK PADA BAYI


Apabila kadar antibodi Rh+ dalam darah ibu tidak terlalu tinggi maka penghancuran
darah merah bayi tidak terlalu besar. Bilirubin yang dihasilkan dari penghancuran darah bayi
akan masuk ke dalam sistem peredaran darah ibu dan dinetralisir dalam tubuh ibu sehingga
bayi dapat lahir sehat dan normal.
Sisa bilirubin yang tetap ada dalam tubuh bayi saat bayi lahir akan menumpuk di
jaringan bayi dan memberikan warna kuning pada bayi. Hal ini perlu segera ditindaklanjuti,
karena jika tidak antibodi Rh+ yang masih ada dalam tubuh bayi akan terus memecah sel
darah bayi dan menyebabkan bilirubin terus naik. Apabila sudah mencapai kadar toksik (1820 mg/dl) maka akan menyebabkan kerusakan otak permanen (KERN IKTERUS).

PENANGANAN
Penanganan Kehamilan dengan Kelainan Rh
Biasanya, langkah pertama yang dilakukan dokter adalah memastikan jenis Rh ibu
dan melihat apakah antibodi telah tercipta. Jika antirhesus itu belum terbentuk, pada usia
kehamilan 28 minggu dan 72 jam setelah persalinan, ibu akan diberi injeksi antiD
immunoglobulin (RhoGam). Sebaliknya, jika antirhesus sudah tercipta, dokter akan

10

melakukan penanganan khusus terhadap janin yang dikandung. Diantaranya, monitoring


secara reguler dengan scanner ultrasonografi. Dokter akan memantau masalah pada
pernafasan dan peredaran darah, cairan paru-paru, atau pembesaran hati yang merupakan
gejala gejala akibat rendahnya sel darah merah.
Penanganan yang cepat dan tepat akan menyelamatkan bayi :
1. Transfusi ganti intra uterin (transfusi ganti dalam kandungan)
2. Segera lahirkan bayi setelah paru-paru bayi matang (32 minggu)
3. Transfusi ganti segera setelah lahir dengan darah Rh4. Foto terapi (terapi sinar)
PROGNOSIS
Dubia

PENYAKIT GRAVE
Penyakit Graves merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang paling sering
dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan pada
wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah dikenali ialah
adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/
hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, serta disertai dermopati, meskipun jarang.(7)
Penyakit Graves (goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering hipertiroidisme adalah
suatu penyakit otonium yang biasanya ditandai oleh produksi otoantibodi yang memiliki
kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas
dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma
difus, oftamopati (eksoftalmus/ mata menonjol) dan kadang-kadang dengan dermopati.
Grave's disease adalah suatu kelainan kelenjar tiroid yang dicirikan dengan pembesaran
kelenjar tiroid, exopthalmus, kulit selalu basah, dan hipertiroidisme Graves disease biasanya

11

terjadi pada usia sekitar tiga puluh dan empat puluh dan lebih sering ditemukan pada wanita
daripada pria. Terdapat predisposisi familial terhadap penyakit ini dan sering berkaitan
dengan bentuk-bentuk endokrinopati autoimun lainnya. Pada penyakit graves terdapat dua
kelompok gambaran utama, tiroidal dan ekstratiroidal, dan keduanya mungkin tampak. Ciriciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid, dan hipertiroidisme akibat sekresi
hormon tiroid yang berlebihan.
Penyebab
Penyebabnya tidak diketahui. Karena ini merupakan penyakit autoimun yaitu saat
tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang komponen spesifik dari jaringan itu sendiri,
maka penyakit ini dapat timbul tiba-tiba. Tidak diketahui mekanismenya secara pasti,
kebanyakan dijumpai pada wanita. Reaksi silang tubuh terhadap penyakit virus mungkin
merupakan salah satu penyebabnya ( mekanisme ini sama seperti postulat terjadinya diabetes
mellitus tipe I).
Obat-obatan tertentu yang digunakan untuk menekan produksi hormon kelenjar tiroid dan
Kurang yodium dalam diet dan air minum yang berlangsung dalam kurun waktu yang cukup
lama mungkin dapat menyebabkan penyakit ini. Walaupun etiologi penyakit Graves tidak
diketahui, tampaknya terdapat peran antibody terhadap reseptor TSH, yang menyebabkan
peningkatan produksi tiroid. Penyakit ini ditandai dengan peninggian penyerapan yodium
radioaktif oleh kelenjar tiroid.
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit otoimun, dimana penyebabnya
sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik
yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita
penyakit yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan
autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita

12

dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur. Angka kejadian tertinggi terjadi pada
usia antara 20 tahun sampai 40 tahun.(7)

Diagnosis
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan dari tanda dan gejala yang ada, dan dari hasil
laboratorium berupa kadar dari hormon tiroid (tiroksin/ T4, triyodotironin/ T3) dan kadar dari
tiroid stimulating hormone (TSH). Free T4 dan free T3 yang tinggi merupakan suatu petanda,
sambil TSH memberikan negative feedback. Peningkatan ikatan protein iodium mungkin
dapat terdeteksi. Struma yang besar kadang terlihat pada foto rontgen. Tiroid stimulating
antibodi mungkin dapat terlihat pada pemeriksaan serologi.

13

BAB III PENUTUP


Secara ringkasan hipersensitivitas tipe II adalah (reaksi sitotoksisitas antibodi)
melibatkan IgM, IgG, IgA atau antibodi yang berikatan dengan permukaan sel. Reaksi ikatan
ini dapat mengaktifkan seluruh jalur komplemen, mengakibatkan lisis sel atau pelepasan
anaphylatoxins, seperti C3a, C4a, dan C5a. Anaphylatoxins ini memicu degranulasi sel mast,
sehingga pelepasan mediator inflamasi. Antigen yang di target bisa antigen permukaan
membran sel, seperti sel-sel darah merah (anemia hemolitik); permukaan sel molekul
trombosit (trombositopenia); molekul membran basement di ginjal (sindrom Goodpasture);
rantai alpha dari reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction (myasthenia gravis); dan
thyroid-stimulating hormone receptor pada sel tiroid (penyakit Graves). Sebuah contoh klasik
dari reaksi tipe II adalah penyakit hemolitik pada bayi baru lahir akibat ketidakcocokan
Rhesus (Rh) dan juga Grave disease.

14

DAFTAR PUSTAKA
1. Sylvia A. price, Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit
edisi 6. Buku kedokteran EGC.
2. Opy Dyah Paramita, Harsoyo N, Henry Setiawan. 2013. Hubungan Asma, Rinitis Alergik,
Dermatitis Atopik dengan IgE Spesifik Anak Usia 6-7 Tahun. Sari pediatri ; 14 (6) : 39-17
3. Lim A. Anaphylaxis and anaphylactoid reactions and allergies. Sydney Skin & Vein Clini.
2004.
4. Wistiani, N Harsoyo. Hubungan Pajanan Alergen Terhadap Kejadian Alergi pada Anak.
Dalam: Sari Pediatri, Vol. 13, No. 3, Oktober 2011.
5. Estelle RS et al. World Allergy Organization Guidelines for the Assessment and Management
of Anaphylaxis. WAO Journal. 2011. 1-25.
6. Lane RD, Bolte RG. Pediatric Emergency Care: Pediatric Anaphylaxis. Lippincot Williams &
Wilkins. 2007;23(1):49.
7. Kliegman et al. Nelson Teexbooks of Pediatrics, 18th Ed. Elsevier. 2007
8. Arwin AP Akib, Zakiusin Munasir, Nia Kurniati. 2008. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak
edisi kedua. Halaman 121-124
9. Mustafa SS. Anaphylaxis. Medscape Reference: Semin Respir Crit Care Medfusion.
2004;25(6):695-703. [cited 14 December 2014]
10. Lieberman P, Anderson JA. Current Clinical Practice: Allergic Diseases: Diagnosis
andTreatment, 3rd Ed. Totowa: Humana Press; 2006.
11. JD Peter. 2012. Overview of Hipersensitivitas: The Merck Manuals Online Medical Library
for Healthcare Professional. http://www.merckmanuals.com. Diakses: 1 Desember 2013
12. Wayan H. Terapi Penyakit Grave dengan Sodium : 2004;25(6):695-703. [cited 15 Januari
2014]

15

Anda mungkin juga menyukai