LAPORAN KASUS
FEBRUARI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
OLEH :
DAFTAR ISI
Judul Halaman
Daftar Isi
Halaman Pengesahan
Laporan Kasus
Identitas Pasien
Anamnesis Keluhan
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Penunjang
Assessment
Planning
Follow Up
Tinjauan Pustaka
I.
II.
Pendahuluan
10
III.
13
IV.
18
22
V.
Pembahasan
36
Daftar Pustaka
38
HALAMAN PENGESAHAN
NIM
Judul
: C 111 11 871
: Manajemen Jalan Napas
Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan klinik pada
Bagian Anestesiologi, Terapi Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
Makassar,
KONSULEN
Februari 2016
PEMBIMBING
LAPORAN KASUS
Manajemen Jalan Napas pada Pasien dengan Kesadaran Menurun
Identitas Pasien
Nama
: Muhsin
Umur
: 34 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
RM
: 730216
BB
: 54 kg
TB
: 160 cm
IMT
Anamnesis:
Laki laki 34 tahun dari BTP dengan traumatic brain injury GCS 8 akibat kecelakaan
lalu lintas direncanakan penatalaksanaan manajemen jalan napas. Pasien datang
dibawa oleh keluarga dengan luka pada kepala dialami sejak 4 jam sebelum masuk
rumah sakit akibat terbentur kepala di aspal . Riwayat tidak sadarkan diri ada.
Riwayat muntah
hipertensi tidak ada. Riwayat DM tidak ada. Riwayat asma, alergi obat dan makanan
tidak ada. Riwayat kebiasaan merokok, alkohol, herbal, jamu-jamuan tidak ada. Saat
ini pasien tidak batuk, tidak sesak, tidak demam.
Pemeriksaan fisik
B1
tampak kelainan, gerak leher bebas, nyeri telan (-), massa di leher (-),
trakea di tengah.
B2
B5 :
B6 :
Mobilitas (+),edema (-), nyeri tekan (-), massa tumor (-), fraktur (-)
RESULT
25.2 x 103/uL
3.72 x 106/uL
12.3 g/dL
37 %
392 x 103/uL
11.9 detik
NORMAL VALUE
4.0 10.0 x 103
4.0 6.0 x 106
12 18
37 48
150 400 x 103
10 - 14
INR
APTT
GDS
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin
Natrium
Kalium
Klorida
HbSAg
CT
1.14
26 detik
76 mg/dL
23u/L
12 u/L
42 mg/dL
1.33 mg/dL
142 mmol/L
3.9 mmol/L
109 mmol/L
Non Reactive
7.00
<1,5
22,0 - 30,0
<140
<38
<41
10-50
0,5-1,2
136 - 145
3,5 - 5,1
97 - 111
Non Reactive
BT
3.00
Pemeriksaan CT Scan kepala tanpa kontras iriisan aksial (25 Januari 2016):
Pendarahan subarachnoid
Brain swelling
Head up 300
ceftazidime 1 g/8jam/IV
Ketorolac 30mg/8jam/IV
Ranitidin 50mg/8jam/IV
Follow Up
25/01/2016
Dilakukan
intubasi
-/- ,Wh-/-.
mode TV 400 RR 16 VC
26/02/2016
Pasang
IV
cath
18G
tpm
Head up 30 0
normal
Maintenance:
fentanyl
30mcg/jam/SP
midazolam 1,5mg/jam/SP
6x (E2M4Vx)
Atracurium 2cc/jam/sp
6x (E2M4Vx)
SpO2 99%
IVFD RL 21 tpm
-/- ,Wh-/-.
Head up 30 0
Fentanyl 30mcg/jam/SP
midazolam 1,5mg/jam/SP
atracurium 2 cc/jam/sp
Ceftazidime 1g/8jam/iv
O2 via ventilator
(E2M4Vx)
IVFD RL 20 tpm
Head up 30 0
-/- ,Wh-/-.
TV 400, RR 20 SpO2
90%, FiO2 60%
Fentanyl 30mcg/jam/IV
midazolam 2mg/jam/IV
atracurium 2 cc/jam/sp
Ceftazidime 1g/8jam/iv
normal
B6: edema (-), fraktur (-)
A: kesadaran menurun ec TBI GCS
5x (E2M3Vx)
28/01/2016
100%
IVFD RL 20 tpm
-/- ,Wh-/-.
Head up 30 0
Fentanyl 30mcg/jam/SP
Ranitidin 50mg/12jam/IV
Ceftazidime 1 gr/8jam/IV
atracurium 2 cc/jam/sp
100% SpO2 96 %
IVFD RL 20 tpm
-/- ,Wh-/-.
Head up 30 0
Fentanyl 30mcg/jam/SP
Ranitidin 50mg/12jam/IV
Ceftazidime 1 gr/8jam/IV
Atracurium 2cc/jam/SP
TINJAUAN PUSTAKA
MANAJEMEN JALAN NAFAS
I.
PENDAHULUAN
Dalam hal kegawatdaruratan medik kita mengenal trias kedokteran gawat darurat,
yakni resusitasi, kedaruratan medik dan intensive care. Untuk menunjang kehidupan
selama masa kritis, ketiga prinsip di atas bisa dikerjakan di rumah sakit, di tempat
kejadian, selama transportasi dan didalam rumah sakit. Dalam hal tindakan resusitasi
jantung paru, kita membagi menjadi 3 tahap: 1
1. Bantuan hidup dasar (BHD)/ Basic Life Support dengan tujuan untuk
oksigenasi yang adekuat, meliputi:
A. Airway control
B. Breathing support
C. Circulation support
2. Bantuan hidup lanjut/ Advanced Life Support dengan tujuan memulihkan dan
mempertahankan sirkulasi spontan, meliputi:
D. Drug and fluid treatment
E. Electrocardiography
F. Fibrilation treatment
3. Bantuan hidup jangka panjang/ Prolonged Life Support dengan tujuan untuk
pengelolaan intensif mentasi manusia, meliputi:
G. Gauging
H. Human mentation
I. Intensive care
Berdasarkan tahapan tersebut, manajemen jalan napas merupakan salah satu
dari tiga jenis bantuan hidup dasar bersama dengan ventilasi dan manajemen
sirkulasi, yang akan bersifat darurat bila tidak ditangani segera.
10
Sistem respirasi mencakup saluran napas yang menuju paru, paru itu sendiri, dan
struktur,struktur thoraks (dada) yang berperan menyebabkan aliran udara masuk dan
keluar paru melalui saluran napas. Saluran napas adalah tabung atau pipa yang
mengangkut udara antara atmosfer dan kantung udara (alveolus), alveolus merupakan
satu-sarunya tempat pertukaran gas anrara udara dan darah. Saluran napas berawal
dari saluran nasal (hidung). Saluran hidung membuka ke dalam faring (tenggorokan),
yang berfungsi sebagai saluran bersama untuk sistem pernapasan dan pencernaan.
Terdapat dua saluran yang berasal dari faring trakea, yang dilalui oleh udara untuk
menuju paru, dan esofagus, yang dilalui oleh makanan untuk menuju lambung. 3
Udara dalam keadaan normal masuk ke faring melalui hidung, tetapi udara
juga dapat masuk melalui mulut ketika saluran hidung tersumbat; yaitu, anda dapat
bernapas melalui mulut ketika anda pilek. Karena faring berfungsi sebagai saluran
bersama untuk udara dan makanan maka sewaktu menelan terjadi mekanisme refleks
yang menutup trakea agar makanan masuk ke esofagus dan bukan ke saluran napas.
Esofagus selalu tertutup kecuaii ketika menelan untuk mencegah udara masuk ke
lambung sewaktu bernapas. 3
Laring atau voice box, terlerak di pintu masuk trakea. Tonjolan anterior laring
membentuk jakun ("Adam:s apple"). Pita suara, dua pita jaringan elastik yang
melintang di pintu masuk laring, dapat diregangkan dan diposisikan dalam berbagai
bentuk oleh otot laring. Sewaktu udara dilewatkan melalui pita suara yang kencang,
lipatan tersebut bergetar untuk menghasilkan berbagai suara bicara. Bibir, lidah, dan
palatum mole memodifikasi suara menjadi pola suara yang dapat dikenali. Sewaktu
menelan, pita suara melaksanakan fungsi yang tidak berkaitan dengan bicara;
keduanya saling mendekat untuk menutup pintu masuk ke trakea. 3
11
Sumbatan parsial jalan napas, ditandai dengan usaha napas masih ada, suara
napas masih terdengar dan desiran udara ekspirasi dari mulut atau hidung
pasien masih terasa, yang dapat diketahui dari desiran udara yang melalui
pemeriksaan dengan punggung tangan atau telinga dekat mulut atau hidung.
Gejala dan tanda lain yang dapat dilihat pada sumbatan jalan napas parsial
adalah:
o Aktivitas otot-otot bantu pernapasan
o Retraksi suprasternal dan interkostal
o Terdengar stridor, snoring, atau gargling
o Terdapat tanda-tanda hipoksia dan hiperkarbia 3
Sumbatan total jalan napas, ditandai dengan tidak terdengarnya suara napas
sama sekali, tidak terasa desiran udara dari mulut atau hidung
pasien, usaha napas pasien lebih meningkat dengan timbulnya gerakan dada
paradoksal dan lebih meningkatnya aktivitas otot bantu napas. Tanda hipoksia
dan hiperkarbia bertambah berat. Bila keadaan ini tidak segera ditanggulangi
akan segera diikuti dengan berhentinya fungsi jantung karena hipoksia berat.
Normal
meningkat
sangat meningkat
tanpa gerak
Berdasarkan lokasi sumbatan, obstruksi jalan napas dapat dibagi menjadi 3 lokasi: 1
1. Sumbatan di atas laring
Terasa
a. Lidah yang
jatuh ke hipofaring.sangat berkurang
berkurang
tak terasa
13
Hal ini bisa terjadi pada pasien tidak sadar, terutama pada pasien
gemuk, leher pendek dan lidah besar, misalnya pada bayi. Pada pasien
tidak sadar, tonus otot penyangga lidah menurun sehingga lidah jatuh ke
arah posterior (terutama pada pasien dengan posisi terlentang) dan
menempel pada dinding posterior faring, sehingga terjadi sumbatan parsial
yang ditandai dengan suara napas ngorok (snoring).
Usaha pertolongan yang dilakukan adalah triple airways manauver dari
Safar, yaitu: 1) ekstensi kepala, 2) dorong mandibula ke depan, dan 3)
angkat dagu. Pada pasien yang menderita patah tulang leher, manuver ini
harus dilakukan dengan hati-hati, tergantung keperluan. Karena patah
tulang servikal tertutup hanya dapat dideteksi melalui perangkat
radiologis, maka untuk penanganan akut kita menganggap ada fraktur
sevikal pada setiap pasien multi trauma, terlebih bila ada gangguan
kesadaran dan atau perlukaan di atas klavikula. 2
Ekstensi kepala dapat dilakukan dengan dengan mudah, yaitu menaruh
bantal atau benda lain di bahu pasien. Bila dengan cara ini sudah dapat
membebaskan jalan napas, posisi ini dipertahankan dan kepala pasien
dimiringkan untuk mencegah sumbatan karena benda cair, atau pasien
dimiringkan dengan posisi miring stabil. Apabila dengan cara ini tidak
berhasil dapat dipasang pipa orofaring.
b. Benda asing
Sangat banyak benda asing yang dapat menyebabkan sumbatan jalan
napas, misalnya lendir, bekuan darah, gigi palsu yang lepas, muntahan
atau makanan lainnya. Biasanya terjadi sumbatan parsial yang ditandai
dengan suara napas gargling (seperti orang berkumur), bila sumbatannya
disebabkan oleh benda cair.
Upaya pertolongannya adalah dengan membuka jalan napas melalui
triple airway manauver, kemudian memiringkan kepala korban sambil
14
mengorek dengan tangan (sapuan) atau mengisap dengan alat isap. Bila
belum berhasil melapangkan jalan napas, dapat dilakukan laringoskopi
dan kemudian mengambil denda yang ada di rongga mulut
c. Penyakit infeksi atau tumor jalan napas bagian atas
Penyakit infeksi atau tumor jalan napas bagian atas yang dapat
menimbulkan sumbatan jalan napas bagian atas adalah pembesaran tonsil,
polip pada rongga hidung dan beberapa tumor lain di rongga mulut dan
dasar lidah.
Usaha pertolongannya adalah dengan cara operatif, yaitu mengangkat
tumor, atau bila tumornya tidak mungkin diangkat dan sumbatannya
bersifat
darurat
dan
mengancam
dapat
dilakukan
tindakan
sumbatan
jalan
napas
parsial
sampai
total.
Usaha
medikamentosa
dapat
diberikan
akan
tetapi
selalu
d. Tumor laring
Polip pada laring dan pita suara, dan tumor lain yang terdapat pada
laring, secara langsung akan menutup jalan napas secara parsial atau total
tergantung besar dan lokasi tumor.
16
perolongannya
tergantung
penyebabnya,
bila
karena
b. Bronkus
Sumbatan pada bronkus dapat disebabkan oleh benda asing, spasme
bronkus, dan tumor. Bila sumbatannya disebabkan oleh aspirasi benda
asing padat dan pada saat kejadian pasien berdiri, maka benda asing ini
akan cenderung masuk ke bronkus kanan. Hal ini disebabkan karena
anatomi bronkus kanan lebih vertikal. Gejala yang dapat dijumpai pada
pasien tergantung dari derajat sumbatan, bisa parsial, atau total pada satu
paru.
Usaha pertolongannya adalah melihat langsung bronkus dengan osteaosteanya menggunakan bronkoskopi, selanjutnya menghisapnya atau
menjepit benda asing yang masuk dengan alat penjepit khusus.
Bila sumbatannya oleh karena spasme bronkus, akan terdengar suara
napas wheezing dan adanya tanda-tanda hipoksia atau hiperkarbia. Usaha
pertolongannya adalah segera memberikan bronkodilator.
IV.
18
Cara: dorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah depan sehingga
barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas. Atau gunakan
ibujari ke dalam mulut bersama dengan jari-jari lain tarik dagu ke
depan.
19
Gambar 3.1. (a) oropharyngeal airway tube, (b) nasopharyngeal airway tube
20
21
jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi serta mempermudah pemberian
ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi
endotrakeal adalah :
a. Mempermudah pemberian anesthesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernapasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung ( pada keadaan tidak
sadar, lambung penuh dan tidak ada reflex batuk ).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakeal menurut Gisele tahun 2002 1
antara lain :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat yang tidak dapat dikoreksi
dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
22
Gambar 5.1. Sniffing position. leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala
dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the air position. Kesalahan
yang umum adalah mengekstensikan kepala dan leher. 7
23
Panjang (cm)
12
14 + usia/2
7,0-7,5
7,5-9,0
24
24
Pasang monitor takaran darah (NIBP), irama jantung (EKG) dan saturasi
oksigen (pulse oxymeter)
24
Intubasi:
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang
dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan lapangan
pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang
diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.
Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat
sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.
Jeratan bibir antara gigi dan blade laringoskop sebaiknya dicegah. Tracheal tube
diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan melewati pita suara sampai
balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten
diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak
dengan jelas. Bila mengganggu, stylet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi
diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon
pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi
dengan plester.
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi,
25
dilakukan auskultasi dada dengan steteskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri
sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi
intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tandatanda berupa suara nafas
kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadangkadang timbul suara wheezing, sekret
lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada
ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama.
Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium atau
gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang
kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin
membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah
diberikan oksigenasi yang cukup.
KRITERIA INTUBASI
Pernafasan Ireguler
Frekwensi Nafas < 10 atau > 40 kali / menit
Volume Tidal < 3,5 ml / KgBB
Vital Capacity < 15 ml / KgBB
PaO2
< 70 mmHg
26
KRITERIA EKSTUBASI
NIF > - 20 cm H2O
RR
TV
> 5 ml / KgBB
TV / RR
VC > 10 ml / Kg BB
PaO2
Qs / Qt
> 10
< 20 %
> + 40 cm H2O
Vd / Vt < 0.6
27
Perforasi cuff
b. Pada saat tube diposisikan
Malposisi
Ekstubasi yang tidak disengaja
Intubasi endobronkial
Posisi laringeal cuff
Trauma jalan nafas
Inflamasi dan ulserasi mukosa
Ekskoriasi hidung
Malfungsi tube
Ignition
Obstruksi
c. Mengikuti Ekstubasi
Trauma jalan nafas
Edema dan stenosis (glottik, sub glottik, trakhea)
Parau (granuloma atau paralisis pita suara)
Malfungsi dan aspirasilaring
Refleks fisiologis
Laringospasme.
b. KRIKOTIROIDOTOMI-TRAKEOSTOMI 2
Krikotiroidotomi adalah melakukan penusukan pada membrana krikotiroid
dengan jarum berukuran besar sebagai jalan pintas untuk melakukan oksigenasi dan
ventilasi
padapenderita
gagal
napas
akibat
sumbatan
jalan
napas
atas.
Perdarahan
Teknik Krikotiroidotomi
Tindakan Krikotiroidotomi
1) Desinfeksi daerah leher dengan antiseptik
2) Palapasi membrana krikotiroidea, sebelah anterior antara kartilago
tiroid dan krikoid. Pegang trakea dengan ibu jari dan telunjuk dengan
tangan kiri agar trakea tidak bergerak ke lateral pada waktu prosedur.
3) Dengan tangan kanan tusuk kulit pada garis tengah (midline) di atas
membrana krikotiroidea dengan jarum besar ukuran 12-14 yang telah
dipasang pada semprit. Untuk memudahkan masuknya jarum maka
dapat dilakukan insisi kecil ditempat yang akan ditusuk dengan pisau
ukuran 11.
4) Arahkan jarum dengan sudut 450 ke arah kaudal, kemudian dengan
hati-hati tusukkan jarum sambil mengisap semprit. Bila teraspirasi
udara atau tampak gelembung udara pada semprit yang terisi akuades
menunjukkan masuknya jarum ke dalam lumen trakea.
5) Lepas semprit dengan kateter IV, kemudian tarik madrin sambil
dengan lembut mendorong kateter ke bawah.
6) Sambungkan ujung kateter dengan salah satu ujung selang oksigen
berbentuk Y.
29
2.
3.
Garis inflasi.
Indikasi : 5
1)
Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway
Pada
penatalaksanaan dificult
airway yang
diketahui
atau
yang
tidak
diperkirakan.
30
3)
Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan
diri.
4)
Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi dapat
adalah pengecualian ).
2)
Pasien-pasien
dengan
penurunan
compliance
sistem
pernafasan,
karena seal yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran
pada tekanan
inspirasi
Tekanan inspirasi
tinggi
puncak
dan
harus
akan
dijaga
terjadi
kurang
pengembangan
dari
20
cm
lambung.
H2O
untuk
lama
Keuntungan LMA :
Kurang invansif (trauma laringoskopi berkurang), pemasangan mudah, berguna pada
pasien dengan kesulitan intubasi dan ventilasi, tidak memerlukan relaxan,
mengurangi penggunaan obat analgetik
Macam-Macam Laryngeal Mask Berdasarkan Perbedaan Volume Cuff Untuk
Beragam Pasien 7
Mask Size
Patient Size
Weight (kg)
Infant
<6.5
24
31
Mask Size
Patient Size
Weight (kg)
Child
6.520
Up to 10
21/2
Child
2030
Up to 15
Small adult
>30
Up to 20
Normal adult
60-70
Up to 30
Larger adult
>70-80
Up to 30
Efek Samping
Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, dengan insidensi
10 % dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA. Efek samping yang
utama adalah aspirasi.
Teknik Induksi dan Insersi 7
Untuk melakukan insersi cLMA membutuhkan kedalaman anestesi yang lebih besar.
Kedalaman anestesi merupakan suatu hal yang penting untuk keberhasilan selama
pergerakan insersi cLMA dimana jika kurang dalam sering membuat posisi mask
yang tidak sempurna. Sebelum insersi, kondisi pasien harus sudah tidak ber respon
dengan mandibula yang relaksasi dan tidak ber-respon terhadap tindakan jaw thrust.
Tetapi, insersi cLMA tidak membutuhkan pelumpuh otot. Hal lain yang dapat
mengurangi tahanan yaitu pemakaian pelumpuh otot. Meskipun pemakaian pelumpuh
otot bukan standar praktek di klinik, dan pemakaian pelumpuh otot akan mengurangi
trauma oleh karena reflex proteksi yang ditumpulkan, atau mungkin malah akan
meningkatkan trauma yang berhubungan dengan jalan nafas yang relax/menyempit
jika manuver jaw thrust tidak dilakukan.
32
Propofol merupakan agen induksi yang paling tepat karena propofol dapat
menekan refleks jalan nafas dan mampu melakukan insersi cLMA tanpa batuk atau
terjadinya gerakan. Introduksi LMA ke supraglotis dan inflasi the cuff akan
menstimulasi dinding pharing akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan
nadi. Perubahan kardiovaskuler setelah insersi LMA dapat ditumpulkan dengan
menggunakan dosis besar propofol yang berpengaruh pada tonus simpatis jantung.
Insersi dilakukan dengan posisi seperti akan dilakukan laryngoscopy
( Sniffing Position ) dan akan lebih mudah jika dilakukan jaw thrust oleh asisten
selama dilakukan insersi. Cuff cLMA harus secara penuh di deflasi dan permukaan
posterior diberikan lubrikasi dengan lubrikasi berbasis air sebelum dilakukan insersi.
Meskipun metode standar meliputi deflasi total cuff, beberapa klinisi lebih menyukai
insersi LMA dengan cuff setengah mengembang. Tehnik ini akan menurunkan resiko
terjadinya nyeri tenggorokan dan perdarahan mukosa pharing .
Dokter anestesi berdiri dibelakang pasien yang berbaring supine dengan satu
tangan men-stabilisasi kepala dan leher pasien, sementara tangan yang lain
memegang cLMA. Tindakan ini terbaik dilakukan dengan cara menaruh tangan
dibawah occiput pasien dan dilakukan ekstensi ringan pada tulang belakang leher
bagian atas. cLMA dipegang seperti memegang pensil pada perbatasan mask dan
tube. Rute insersi cLMA harus menyerupai rute masuknya makanan. Selama insersi,
cLMA dimajukan ke arah posterior sepanjang palatum durum kemudian dilanjutkan
mengikuti aspek posterior-superior dari jalan nafas. Saat cLMA berhenti selama
insersi, ujungnya telah mencapai cricopharyngeus ( sfingter esofagus bagian atas )
dan harusnya sudah berada pada posisi yang tepat. Insersi harus dilakukan dengan
satu gerakan yang lembut untuk meyakinkan titik akhir ter-identifikasi. 6
33
34
PEMBAHASAN
Laki laki 34 tahun dari BTP dengan traumatic brain injury GCS 8 akibat
kecelakaan lalu lintas direncanakan penatalaksanaan manajemen jalan napas. Pasien
35
datang dibawa oleh keluarga dengan luka pada kepala dialami sejak 4 jam sebelum
masuk rumah sakit akibat terbentur kepala di aspal . Riwayat tidak sadarkan diri ada.
Riwayat muntah
hipertensi tidak ada. Riwayat DM tidak ada. Riwayat asma, alergi obat dan makanan
tidak ada. Riwayat kebiasaan merokok, alkohol, herbal, jamu-jamuan tidak ada. Saat
ini pasien tidak batuk, tidak sesak, tidak demam.
B1
B5 :
B6 :
Mobilitas (+),edema (-), nyeri tekan (-), massa tumor (-), fraktur (-)
Pasien dikonsul dari bagian Bedah untuk penanganan jalan napas pada pasien
pada tanggal 25/01/2016. Pada hari pertama, pemeriksaan kesadaran pasien yaitu
GCS 8 (E2M4V2) dengan uraian sebagai berikut: pasien nampak sedikit membuka
mata dan mengeluarkan suara tidak jelas mirip mendengkur dengan pemberian
rangsangan nyeri pada sternum, pasien tidak dapat mengangkat tangannya sampai
melewati dada untuk maksud menapis rangsangan nyeri namun pasien memunjukkan
reaksi menghindar saat diberi rangsang nyeri pada kuku jari. Oleh dokter bedah,
pasien diberi antibiotik profilaksis berupa ceftazidime 1g /8jam/IV, ketorolak
36
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku G, Senapahi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia Dan Reanimasi.
Jakarta. Penerbit Indeks. 2010.
2. Fildes J. Advanced Trauma Life Support Dor Doctors. American College Of
Surgeons Committee On Trauma. 8th Ed. 2008.
3. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 22nd Ed. 2010.
4. Vlymen JM, Coloma M, Tongier K, White PF. Use Of The Intubating
Laryngeal Mask Airway; Are Muscle Relaxants Necessary? Lippincot
Williams & Wilkins, Inc. 2000.
5. Timmermann A. Modern Airway Management Using Supraglottic Airways.
Vol 12. AJA-Online.Com. 2011
6. Grady DM, Mchardy F, Wong J, Jin F, Tong D, Chung F. Pharungolaryngeal
Morbidity With The Laryngeal Mask Airway In Spontaneously Breathing
Patients; Does Size Matter? Lippincot Williams & Wilkins, Inc. 2001.
7. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhails Clinical
38