Anda di halaman 1dari 48

Imunitas Non Spesifik

Perbedaan antara imunitas non spesifik dan spesifik adalah imunitas non spesifik
berespons dengan cara yang sama pada paparan berikutnya dengan mikroba, sedangkan
imunitas spesifik akan berespons lebih efisien karena adanya memori imunologik.
Komponen imunitas non spesifik
Sistem imun non spesifik terdiri dari epitel (sebagai barrier terhadap infeksi), sel-sel dalam
sirkulasi dan jaringan, serta beberapa protein plasma.
Barrier epitel
Tempat masuknya mikroba yaitu kulit, saluran gastrointestinal, dan saluran pernapasan
dilindungi oleh epitel yang berfungsi sebagai barrier fisik dan kimiawi terhadap infeksi. Sel
epitel memproduksi antibodi peptida yang dapat membunuh bakteri. Selain itu, epitel juga
mengandung limfosit intraepitelial yang mirip dengan sel T namun hanya mempunyai reseptor
antigen yang terbatas jenisnya. Limfosit intraepitelial dapat mengenali lipid atau struktur lain
pada mikroba. Spesifisitas dan fungsi limfosit ini masih belum jelas.
Sistem fagosit
Terdapat 2 jenis fagosit di dalam sirkulasi yaitu neutrofil dan monosit, yaitu sel darah yang dapat
datang ke tempat infeksi kemudian mengenali mikroba intraselular dan memakannya
(intracellular killing).
Sel Natural Killer (NK)
Sel natural killer (NK) adalah suatu limfosit yang berespons terhadap mikroba intraselular
dengan cara membunuh sel yang terinfeksi dan memproduksi sitokin untuk mengaktivasi
makrofag yaitu IFN-. Sel NK berjumlah 10% dari total limfosit di darah dan organ limfoid
perifer. Sel NK mengandung banyak granula sitoplasma dan mempunyai penanda permukaan
(surface marker) yang khas. Sel ini tidak mengekspresikan imunoglobulin atau reseptor sel T.
Sel NK dapat mengenali sel pejamu yang sudah berubah akibat terinfeksi mikroba. Mekanisme
pengenalan ini belum sepenuhnya diketahui. Sel NK mempunyai berbagai reseptor untuk
molekul sel pejamu (host cell), sebagian reseptor akan mengaktivasi sel NK dan sebagian yang
lain menghambatnya. Reseptor pengaktivasi bertugas untuk mengenali molekul di permukaan sel
pejamu yang terinfeksi virus, serta mengenali fagosit yang mengandung virus dan bakteri.
Reseptor pengaktivasi sel NK yang lain bertugas untuk mengenali molekul permukaan sel
pejamu yang normal (tidak terinfeksi). Secara teoritis keadaan ini menunjukkan bahwa sel NK
membunuh sel normal, akan tetapi hal ini jarang terjadi karena sel NK juga mempunyai reseptor
inhibisi yang akan mengenali sel normal kemudian menghambat aktivasi sel NK. Reseptor
inhibisi ini spesifik terhadap berbagai alel dari molekul major histocompatibility complex (MHC)
kelas I.
Terdapat 2 golongan reseptor inhibisi sel NK yaitu killer cell immunoglobulin-like receptor
(KIR), serta reseptor yang mengandung protein CD94 dan subunit lectin yang disebut NKG2.
Reseptor KIR mempunyai struktur yang homolog dengan imunoglobulin. Kedua jenis reseptor
inhibisi ini mengandung domains structural motifs di sitoplasmanya yang dinamakan
immunoreceptor tyrosine-based inhibitory motif (ITIM) yang akan mengalami fosforilasi ke
residu tirosin ketika reseptor berikatan dengan MHC kelas I, kemudian ITIM tersebut
mengaktivasi protein dalam sitoplasma yaitu tyrosine phosphatase. Fosfatase ini akan
menghilangkan fosfat dari residu tirosin dalam molekul sinyal (signaling molecules), akibatnya
aktivasi sel NK terhambat. Oleh sebab itu, ketika reseptor inhibisi sel NK bertemu dengan MHC,
sel NK menjadi tidak aktif.
Berbagai virus mempunyai mekanisme untuk menghambat ekspresi MHC kelas I pada sel yang
terinfeksi, sehingga virus tersebut terhindar dari pemusnahan oleh sel T sitotoksik CD8
+
. Jika hal
ini terjadi, reseptor inhibisi sel NK tidak teraktivasi sehingga sel NK akan membunuh sel yang
terinfeksi virus. Kemampuan sel NK untuk mengatasi infeksi ditingkatkan oleh sitokin yang
diproduksi makrofag, diantaranya interleukin-12 (IL-12). Sel NK juga mengekspresikan reseptor
untuk fragmen Fc dari berbagai antibodi IgG. Guna reseptor ini adalah untuk berikatan dengan
sel yang telah diselubungi antibodi (antibody-mediated humoral immunity).
Setelah sel NK teraktivasi, sel ini bekerja dengan 2 cara. Pertama, protein dalam granula
sitoplasma sel NK dilepaskan menuju sel yang terinfeksi, yang mengakibatkan timbulnya lubang
di membran plasma sel terinfeksi dan menyebabkan apoptosis. Mekanisme sitolitik oleh sel NK
serupa dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T sitotoksik. Hasil akhir dari reaksi ini
adalah sel NK membunuh sel pejamu yang terinfeksi. Cara kerja yang kedua yaitu sel NK
mensintesis dan mensekresi interferon- (IFN-) yang akan mengaktivasi makrofag. Sel NK dan
makrofag bekerja sama dalam memusnahkan mikroba intraselular: makrofag memakan mikroba
dan mensekresi IL-12, kemudian IL-12 mengaktivasi sel NK untuk mensekresi IFN-, dan IFN-
akan mengaktivasi makrofag untuk membunuh mikroba yang sudah dimakan tersebut.
Tubuh menggunakan sel T sitotoksik untuk mengenali antigen virus yang ditunjukkan oleh
MHC, virus menghambat ekspresi MHC, dan sel NK akan berespons pada keadaan dimana tidak
ada MHC. Pihak mana yang lebih unggul akan menentukan hasil akhir dari infeksi.
Sistem komplemen
Sistem komplemen merupakan sekumpulan protein dalam sirkulasi yang penting dalam
pertahanan terhadap mikroba. Banyak protein komplemen merupakan enzim proteolitik. Aktivasi
komplemen membutuhkan aktivasi bertahap enzim-enzim ini yang dinamakan enzymatic
cascade.
Aktivasi komplemen terdiri dari 3 jalur yaitu jalur alternatif, jalur klasik, dan jalur lektin. Jalur
alternatif dipicu ketika protein komplemen diaktivasi di permukaan mikroba dan tidak dapat
dikontrol karena mikroba tidak mempunyai protein pengatur komplemen (protein ini terdapat
pada sel tuan rumah).
Jalur ini merupakan komponen imunitas non spesifik.
Jalur klasik dipicu setelah antibodi berikatan dengan mikroba atau antigen lain. Jalur ini
merupakan komponen humoral pada imunitas spesifik.
Jalur lektin teraktivasi ketika suatu protein plasma yaitu lektin pengikat manosa
(mannose-binding lectin) berikatan dengan manosa di permukaan mikroba. Lektin
tersebut akan mengaktivasi protein pada jalur klasik, tetapi karena aktivasinya tidak
membutuhkan antibodi maka jalur lektin dianggap sebagai bagian dari imunitas non
spesifik.
Protein komplemen yang teraktivasi berfungsi sebagai enzim proteolitik untuk memecah protein
komplemen lainnya. Bagian terpenting dari komplemen adalah C3 yang akan dipecah oleh enzim
proteolitik pada awal reaksi complement cascade menjadi C3a dan C3b. Fragmen C3b akan
berikatan dengan mikroba dan mengaktivasi reaksi selanjutnya. Ketiga jalur aktivasi komplemen
di atas berbeda pada cara dimulainya, tetapi tahap selanjutnya dan hasil akhirnya adalah sama.
Sistem komplemen mempunyai 3 fungsi sebagai mekanisme pertahanan. Pertama, C3b
menyelubungi mikroba sehingga mempermudah mikroba berikatan dengan fagosit (melalui
reseptor C3b pada fagosit). Kedua, hasil pemecahan komplemen bersifat kemoatraktan untuk
neutrofil dan monosit, serta menyebabkan inflamasi di tempat aktivasi komplemen. Ketiga, tahap
akhir dari aktivasi komplemen berupa pembentukan membrane attack complex (MAC) yaitu
kompleks protein polimerik yang dapat menembus membran sel mikroba, lalu membentuk
lubang-lubang sehingga air dan ion akan masuk dan mengakibatkan kematian mikroba.
Sitokin pada imunitas non spesifik
Sebagai respons terhadap mikroba, makrofag dan sel lainnya mensekresi sitokin untuk
memperantarai reaksi selular pada imunitas non spesifik. Sitokin merupakan protein yang mudah
larut (soluble protein), yang berfungsi untuk komunikasi antar leukosit dan antara leukosit
dengan sel lainnya. Sebagian besar dari sitokin itu disebut sebagai interleukin dengan alasan
molekul tersebut diproduksi oleh leukosit dan bekerja pada leukosit (namun definisi ini terlalu
sederhana karena sitokin juga diproduksi dan bekerja pada sel lainnya). Pada imunitas non
spesifik, sumber utama sitokin adalah makrofag yang teraktivasi oleh mikroba. Terikatnya LPS
ke reseptornya di makrofag merupakan rangsangan kuat untuk mensekresi sitokin. Sitokin juga
diproduksi pada imunitas selular dengan sumber utamanya adalah sel T helper (T
H
).
Sitokin diproduksi dalam jumlah kecil sebagai respons terhadap stimulus eksternal (misalnya
mikroba). Sitokin ini kemudian berikatan dengan reseptor di sel target. Sebagian besar sitokin
bekerja pada sel yang memproduksinya (autokrin) atau pada sel di sekitarnya (parakrin). Pada
respons imun non spesifik, banyak makrofag akan teraktivasi dan mensekresi sejumlah besar
sitokin yang dapat bekerja jauh dari tempat sekresinya (endokrin).
Sitokin pada imunitas non spesifik mempunyai bermacam-macam fungsi, misalnya TNF, IL-1
dan kemokin berperan dalam penarikan neutrofil dan monosit ke tempat infeksi. Pada
konsentrasi tinggi, TNF menimbulkan trombosis dan menurunkan tekanan darah sebagai akibat
dari kontraktilitas miokardium yang berkurang dan vasodilatasi. Infeksi bakteri Gram negatif
yang hebat dan luas dapat menyebabkan syok septik. Manifestasi klinis dan patologis dari syok
septik disebabkan oleh kadar TNF yang sangat tinggi yang diproduksi oleh makrofag sebagai
respons terhadap LPS bakteri. Makrofag juga memproduksi IL-12 sebagai respons terhadap LPS
dan mikroba yang difagosit. Peran IL-12 adalah mengaktivasi sel NK yang akan menghasilkan
IFN-. Pada infeksi virus, makrofag dan sel yang terinfeksi memproduksi interferon (IFN) tipe I.
Interferon ini menghambat replikasi virus dan mencegah penyebaran infeksi ke sel yang belum
terkena.
Protein plasma lainnya pada imunitas non spesifik
Berbagai protein plasma diperlukan untuk membantu komplemen pada pertahanan melawan
infeksi. Mannose-binding lectin (MBL) di plasma bekerja dengan cara mengenali karbohidrat
pada glikoprotein permukaan mikroba dan menyelubungi mikroba untuk mempermudah
fagositosis, atau mengaktivasi komplemen melalui jalur lectin. Protein MBL ini termasuk dalam
golongan protein collectin yang homolog dengan kolagen serta mempunyai bagian pengikat
karbohidrat (lectin). Surfaktan di paru-paru juga tergolong dalam collectin dan berfungsi
melindungi saluran napas dari infeksi. C-reactive protein (CRP) terikat ke fosforilkolin di
mikroba dan menyelubungi mikroba tersebut untuk difagosit (melalui reseptor CRP pada
makrofag). Kadar berbagai protein plasma ini akan meningkat cepat pada infeksi. Hal ini disebut
sebagai respons fase akut (acute phase response).
Cara kerja respons imun non spesifik dapat bervariasi tergantung dari jenis mikroba. Bakteri
ekstraselular dan jamur dimusnahkan oleh fagosit, sistem komplemen, dan protein fase akut.
Sedangkan pertahanan terhadap bakteri intraselular dan virus diperantarai oleh fagosit dan sel
NK, serta sitokin sebagai sarana penghubung fagosit dan sel NK.
Penghindaran mikroba dari imunitas non spesifik
Mikroba patogen dapat mengubah diri menjadi resisten terhadap imunitas non spesifik sehingga
dapat memasuki sel pejamu. Beberapa bakteri intraselular tidak dapat didestruksi di dalam
fagosit. Lysteria monocytogenes menghasilkan suatu protein yang membuatnya lepas dari vesikel
fagosit dan masuk ke sitoplasma sel fagosit. Dinding sel Mycobacterium mengandung suatu lipid
yang akan menghambat penggabungan fagosom dengan lisosom. Berbagai mikroba lain
mempunyai dinding sel yang tahan terhadap komplemen. Mekanisme ini digunakan juga oleh
mikroba untuk melawan mekanisme efektor pada imunitas selular dan humoral.
Peran imunitas non spesifik dalam menstimulasi respons imun spesifik
Selain mekanisme di atas, imunitas non spesifik berfungsi juga untuk menstimulasi imunitas
spesifik. Respons imun non spesifik menghasilkan suatu molekul yang bersama-sama dengan
antigen akan mengaktivasi limfosit T dan B. Aktivasi limfosit yang spesifik terhadap suatu
antigen membutuhkan 2 sinyal; sinyal pertama adalah antigen itu sendiri, sedangkan mikroba,
respons imun non spesifik terhadap mikroba, dan sel pejamu yang rusak akibat mikroba
merupakan sinyal kedua. Adanya sinyal kedua ini memastikan bahwa limfosit hanya berespons
terhadap agen infeksius, dan tidak berespons terhadap bahan-bahan non mikroba. Pada vaksinasi,
respons imun spesifik dapat dirangsang oleh antigen, tanpa adanya mikroba. Dalam hal ini,
pemberian antigen harus disertai dengan bahan tertentu yang disebut adjuvant. Adjuvant akan
merangsang respons imun non spesifik seperti halnya mikroba. Sebagian besar adjuvant yang
poten merupakan produk dari mikroba.
Mikroba dan IFN- yang dihasilkan oleh sel NK akan merangsang sel dendrit dan makrofag
untuk memproduksi 2 jenis sinyal kedua pengaktivasi limfosit T. Pertama, sel dendrit dan
makrofag mengekspresikan petanda permukaan yang disebut ko-stimulator. Ko-stimulator ini
berikatan dengan reseptor pada sel T naif, kemudian bersama-sama dengan mekanisme
pengenalan antigen akan mengaktivasi sel T (lihat Gambar 4-2). Kedua, sel dendrit dan
makrofag mensekresi IL-12. Interleukin ini merangsang diferensiasi sel T naif menjadi sel
efektor pada imunitas selular .
Mikroba di dalam darah mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur alternatif. Pada aktivasi
komplemen, diproduksi C3d yang akan berikatan dengan mikroba. Pada saat limfosit B
mengenali antigen mikroba melalui reseptornya, sel B juga mengenali C3d yang terikat pada
mikroba melalui reseptor terhadap C3d. Kombinasi pengenalan ini mengakibatkan diferensiasi
sel B menjadi sel plasma. Dalam hal ini, produk komplemen berfungsi sebagai sinyal kedua
pada respons imun humoral.
http://allergycliniconline.com/2012/02/01/imunitas-non-spesifik/

A. Pengertian
Innate immunity atau kekebalan alami adalah pertahanan paling awal pada manusia untuk
mengeliminasi mikroba patogen bagi tubuh. Innatte immunity merupakan kekebalan non-
spesifik. Artinya semua bentuk mikroba yang masuk akan dieliminasi tanpa memperhatikan jenis
dari mikroba itu. Pada imunitas bawaan ini memiliki dua sistem pertahanan, pertahanan tingkat
pertama dan pertahanan tingkat kedua. Pada pertahanan tingkat pertama tubuh akan dilindungi
dari segala macam mikroba patogen yang menyerang tubuh secara fisik, kimia dan flora normal.
Dan pertahanan kedua yang dilakukan oleh tubuh untuk melawan mikroba patogen meliputi
fagosit, inflamasi demam dan substansi antimikroba. Yang termasuk sel fagosit adalah makrofag,
sel dendrit, neutrofil. Sedangkan Inflamasi merupakan respon tubuh terhadap sel yang rusak,
repon ini ditandai dengan adanya kemerahan, nyeri, panas, bengkak. Tujuan inflamasi adalah
untuk membatasi invasi oleh mikroba agar tidak menyebar lebih luas lagi, serta memperbaiki
jaringan atau sel yang telah rusak oleh mikroba. Dan jenis pertahanan kedua yang terakhir yaitu
substansi mikroba.
Substansi mikroba yang dimaksud adalah komplemen. Sistem komplemen merupakan
sistem yang penting dalam innate immunity karena fungsinya sebagai opsonisator untuk
meningkatkan fagositosis sel fagosit dan kemoatrtaktor untuk menarik sel-sel radang yang
menyebabkan inflamasi.
Innate immunity, atau sering disebut imunitas alamiah, merupakan mekanisme pertama
yang akan terjadi saat infeksi berlangsung, terjadi secara cepat terhadap infeksi mikrobia, dan
terjadi antara jam ke-0 sampai jam ke-12 infeksi. Sistem imun turunan terdiri dari berbagai sel
dan mekanisme yang mempertahankan tubuh suatu organisme dari infeksi organisme lain, secara
non-spesifik. Ini berarti sel-sel dari sistem imun turunan mengenali dan merespon patogen dalam
cara yang umum, namun tidak seperti sistem imun adaptif, sistem imun turunan tidak
menyediakan kekebalan yang protektif dan jangka panjang bagi organisme yang memilikinya.
Sistem imun turunan menyediakan pertahanan menengah melawan infeksi, dan dapat ditemukan
pada semua tumbuhan dan hewan.
Sedangkan menurut Sherwood (2001) sistem imun bawaan atau sistem imun nonspesifik
adalah respon pertahanan inheren yang secara nonselektif mempertahankan tubuh dari invasi
benda asing atau abnormal dari jenis apapun, walaupun baru pertama kali terpajan. Respon ini
membentuk lini pertama pertahanan terhadap berbagai faktor yang mengancam, termasuk agen
infeksi, iritan kimiawi, dan cedera jaringan yang menyertai trauma mekanis atau luka bakar
termasuk dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme. Sistem ini disebut nonspesifik
karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu (Baratawidjaya, 2002). Selain itu
sistem imun ini memiliki respon yang cepat terhadap serangan agen patogen atau asing, tidak
memiliki memori immunologik, dan umumnya memiliki durasi yang singkat.
B. Sifat-sifat Sistem Imun Nonspesifik
Sistem imun nonspesifik memiliki sifat:
1. Resistensi tidak berubah oleh infeksi berulang
2. Umumnya efektif terhadap semua zat asing
3. Terjadi pada awal infeksi untuk menghancurkan virus, mencegah atau mengendalikan
infeksi
4. Eksposur menyebabkan respon maksimal segera, berlangsung cepat
5. Tidak ada memori imunologikal
6. Respon tidak spesifik, umumnya efektif terhadap semua mikroba
C. Faktor-Faktor Determinan Yang Mempengaruhi Sistem Imun Nonspesifik
Berbagai faktor yang disebut determinan berpengaruh terhadap sistem imun nonspesifik
sebagai berikut :
1. Spesies
Perbedaan spesies memiliki perbedaan kerentanan yang jelas terhadap mikroorganisme asing.
Misalnya, tikus sangat resisten, sedang manusia sangat rentan terhadap difteri.

2. Keturunan dan usia
Peranan heriditer yang menentukan resistensi terhadap infeksi terlihat dari studi tuberkolosis
pada pasangan kembar. Bila satu dari kembar homozigot menderita tuberkolosis, pasangan
lainnya menunjukkan resiko lebih besar untuk juga menderita tuberkolosis dibanding dengan
pasangan kembar yang heterozigot. Infeksi sering terjadi lebih berat pada anak usia balita dan
binatang muda dibanding usia dewasa. Hal tersebut disebabkan karena sistem imun yang belum
matang pada usia muda. Yang berarti:
a. Peran hereditas menentukan resistensi terhadap infeksi
b. Usia muda (anak) lebih rentan terkena infeksi karena system imun yang belum matang
c. Usia lanjut disertai dengan penurunan resistensi terhadap infeksi
3. Hormon
a. Sebelum pubertas sistem imun pada pria dan wanita sama
b. System imun berkembang pada usia dewasa
c. Hormon estrogen pada wanita membantu meningkatkan system imun bayi
d. Pada diabetes melitus, hipotiroidisme dan disfungsi adrenal ditemukan resistensi yang menurun
terhadap infeksi. Sebabnya belum diketahui. Steroid yang merupakan antiinflamsi berefek
menurunkan kemampuan fogositosis, tetapi juga menghambat efek tosik endotoksin yang
dihasilkan kuman.
4. Suhu
Kelangsungan hidup banyak jenis mikroorganisme tergantung pada suhu.
a. Pada suhu normal beberapa mikroorganisme tidak menginfeksi manusia
b. Suhu mempengaruhi tingkat infeksi tergantung karakteristik mikroorganismenya
5. Faktor nutrisi
Nutrisi yang baik dapat meningkatkan system imun, begitu juga sebaliknya.

6. Flora normal
Flora normal kulit dapat memproduksi berbagai bahan anti microbial.
7. Stress
Stress juga dapat mempengaruhi katahanan tubuh menjadi kurang baik.
D. Macam-macam dan fungsi dari pertahanan humoral dan seluler dari sistem imun
nonspesifik
Sistem imun nonspesifik dibagi menjadi :
1. Pertahanan Fisik/Mekanik
Dalam sistem pertahanan fisik, kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin,
merupakan garis pertahanan terdepan terhadap infeksi. Kulit yang rusak misalnya oleh luka
bakar dan selaput lendir yang rusak oleh asap rokok akan meninggikan resiko infeksi.
2. Pertahanan Biokimia
Bahan yang disekresi mukosa saluran nafas, kelenjar sebaseus kulit, kel kulit, telinga,
spermin dalam semen, mengandung bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh secara
biokimiawi. Asam HCL dalam cairan lambung, lisozim dalam keringat, ludah, air mata dan air
susu dapat melindungi tubuh terhadap berbagai kuman gram positif dengan menghancurkan
dinding selnya. Air susu ibu juga mengandung laktoferin dan asam neuraminik yang mempunyai
sifat antibacterial terhadap E. coli dan staphylococcus.
Lisozim yang dilepas oleh makrofag dapat menghancurkan kuman gram negatif dan hal
tersebut diperkuat oleh komplemen. Laktoferin dan transferin dalam serum dapat mengikat zan
besi yang dibutuhkan untuk kehidupan kuman pseudomonas
3. Pertahanan Humoral
Sistem imun nonspesifik ini menggunakan berbagai molekul larut tertentu yang diproduksi
di tempat infeksi dan berfungsi lokal, misalnya peptida antimikroba (defensin, katelisidin, dan
IFN dengan efek antiviral). Namun juga ada faktor larut lainnya yang diproduksi di tempat yang
lebih jauh dan dikerahkan ke jaringan sasaran melalui sirkulasi seperti komplemen dan PFA
(Protein Fase Akut).
Pertahanan humoral diperankan oleh komplemen, interferon dan CRP (C Reaktif Protein /
protein fase akut), kolektin MBL 9 (Manan Binding Lectin):
a. Komplemen
Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruktif bakteri dan parasit karena:
1) Komplemen dapat menghancurkan sel membran bakteri
2) Merupakan faktor kemotaktik yang mengarahkan makrofag ke tempat bakteri
3) Komponen komplemen lain yang mengendap pada permukaan bakteri memudahkan makrofag
untuk mengenal dan memfagositosis (opsonisasi).
b. Interferon
Interferon adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel manusia yang
mengandung nukleus dan dilepaskan sebagai respons terhadap infeksi virus. Interveron
mempunyai sifat anti virus dengan jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus
sehingga menjadi resisten terhadap virus. Disamping itu, interveron juga dapat mengaktifkan
Natural Killer cell (sel NK). Sel yang diinfeksi virus atau menjadi ganas akan menunjukkan
perubahan pada permukaannya. Perubahan tersebut akan dikenal oleh sel NK yang kemudian
membunuhnya. Dengan demikian penyebaran virus dapat dicegah.
c. Reactive Protein (CRP)
Peranan CRP adalah sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen. CRP dibentuk oleh
badan pada saat infeksi. CRP merupakan protein yang kadarnya cepat meningkat (100 x atau
lebih) setelah infeksi atau inflamasi akut. CRP berperanan pada imunitas non spesifik, karena
dengan bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai molekul yang terdapat pada banyak bakteri dan
jamur.
d. Kolektin MBL 9 (Manan Binding Lectin)
Lektin mannose-binding (MBL), juga disebut protein mannose-binding protein atau mannan-
binding (MBP), merupakan lektin yang berperan dalam kekebalan bawaan. MBL milik kelas
collectins dalam tipe C lektin superfamili, yang fungsinya tampaknya pengenalan pola pada baris
pertama pertahanan dalam host pra-imun. MBL mengakui pola karbohidrat, ditemukan pada
permukaan sejumlah besar patogen mikro-organisme, termasuk bakteri, virus, protozoa dan
jamur. Pengikatan MBL ke mikro-organisme hasil di aktivasi jalur lektin dari sistem komplemen
. Fungsi penting lain MBL adalah bahwa molekul ini mengikat pikun dan apoptosis sel dan
meningkatkan terperosok keseluruhan, sel apoptosis utuh, serta puing-puing sel oleh fagosit.
4. Pertahanan Selular
Sel-sel sistem imun nonspesifik ini dapat ditemukan dalam sirkulasi atau jaringan. Contoh
sel yang dapat ditemukan di sirkulasi adalah neutrofil, eosinofil. basofil, monosit, sel T, sel B, sel
NK, sel darah merah dan trombosit. Contoh sel yang dapat ditemukan di jaringan adalah
eosinofil, sel mast, makrofag, sel T, sel plasma dan sel NK.
Pertahanan selular diperankan oleh sel-sel imun yang terdiri dari oleh fagosit, sel makrofag,
sel dendrik, sel mastosit, sel mast, sel NK (Natural Kiler).
a. Fagosit
Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis tetapi sel utama yang berperaan
dalam pertahanan non spesifik adalah sel mononuclear (monosit dan makrofag) serta sel
polimorfonuklear seperti neutrofil. Dalam kerjanya sel fagosit juga berinteraksi dengan
komplemen dan sistem imun spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingakt
sebagai berikut: Kemotaksis, menangkap, memakan (fagosistosis), membunuh dan mencerna.
Kemotaksis adalah gerakan fagosit ketempat infekis sebagai respon terhadap berbagai factor
sperti produk bakteri dan factor biokimiawi yang dilepas pada aktivasi komplemen. Antibody
seperti pada halnya dengan komplemen C3b dapat meningkatkan fagosistosis (opsonisasi).
Antigen yang diikat antibody akan lebih mudah dikenal oleh fagosit untuk kemudian
dihancurkan. Hal tersebut dimungkinkan oleh adanya reseptor untuk fraksi Fc dari
immunoglobulin pada permukaan fagosit. Yang termasuk sel fagosit adalah makrofag, sel
dendrit, dan neutrofil.
1) Makrofag
Makrofaga berasal dari bahasa Yunani yang berarti pemakan sel yang besar. Makrofaga adalah
leukosit fagositik yang besar, yang mampu bergerak hingga keluar system vaskuler dengan
menyebrang membran sel dari pembuluh kapiler dan memasuki area antara sel yang sedang
diincar oleh patogen. Di jaringan, makrofaga organ-spesifik terdiferensiasi dari sel fagositik yang
ada di darah yang disebut monosit. Makrofaga adalah fagosit yang paling efisien, dan bisa
mencerna sejumlah besar bakteri atau sel lainnya. Pengikatan molekul bakteri ke reseptor
permukaan makrofaga memicu proses penelanan dan penghancuran bakteri melalui "serangan
respiratori", menyebabkan pelepasan bahan oksigen reaktif. Patogen juga menstimulasi
makrofaga untuk menghasilkan kemokin, yang memanggil sel fagosit lain di sekitar wilayah
terinfeksi.
2) Neutrofil.
Neutrofil bersama dengan dua tipe sel lainnya: eosinofil dan basofil dikenal dengan nama
granulosit karena keberadaan granula di sitoplasma mereka, atau disebut juga dengan
polymorphonuclear karena bentuk inti sel mereka yang aneh. Granula neutrofil mengandung
berbagai macam substansi beracun yang mampu membunuh atau menghalangi pertumbuhan
bakteri dan jamur. Mirip dengan makrofag, neutrofil menyerang patogen dengan serangan
respiratori. Zat utama yang dihasilkan neutrofil untuk melakukan serangan respiratori adalah
bahan pengoksidasi kuat, termasuk hidrogen peroksida, oksigen radikal bebas, dan hipoklorit.
Neutrofil adalah tipe fagosit yang berjumlah cukup banyak, umumnya mencapai 50-60% total
leukosit yang bersirkulasi, dan biasanya menjadi sel yang pertama hadir ketika terjadi infeksi di
suatu tempat. Sumsum tulang normal dewasa memproduksi setidaknya 100 miliar neutrofil
sehari, dan meningkat menjadi sepuluh kali lipatnya juga terjadi inflamasi akut.
3) Sel dendritik
Sel dendritik adalah sel fagositik yang terdapat pada jaringan yang terhubung dengan lingkungan
eksternal, utamanya adalah kulit (umum disebut sel Langerhans) dan lapisan mukosa dalam dari
hidung, paru-paru, [lambung], dan usus. Mereka dinamai sel dendritik karena dendrit neuronal
mereka, namun mereka tidak berhubungan dengan sistem syaraf. Sel dendritik sangat penting
dalam proses kehadiran antigen dan bekerja sebagai perantara antara sistem imun turunan dan
sistem imun adaptif. Fagositosis dari sel dari organisme yang memilikinya umumnya merupakan
bagian dari pembentukan dan perawatan jaringan biasa. Ketika sel dari organisme tersebut mati,
melalui proses apoptosis ataupun oleh kerusakan akibat infeksi virus atau bakteri, sel fagositik
bertanggung jawab untuk memindahkan mereka dari lokasi kejadian. Dengan membantu
memindahkan sel mati dan mendorong terbentuknya sel baru yang sehat, fagositosis adalah
bagian penting dari proses penyembuhan jaringan yang terluka.
b. Natural Killer cell (sel NK)
Sel NK adalah sel limfoid yang ditemukan dalam sirkulasi dan tidak mempunyai cirri sel limfoid
dari siitem imun spesifik, maka karena itu disebut sel non B non T (sel NBNT) atau sel poplasi
ketiga. Sel NK dapat menghancurkan sel yang mengandung virus atau sel neoplasma dan
interveron meempunyai pengaruh dalam mempercepat pematangan dan efeksitolitik sel NK. Sel
NK memiliki ukuran yang agak lebih besar dari limfosit T dan limfosit B. Sel ini dinamakan sel
pemusnah karena sel-sel ini membunuh mikroba dan sel-sel kanker tertentu. Istilah alami
(natural) digunakan karena sel-sel ini siap membunuh sel target segera setelah dibentuk, tanpa
perlu melewati proses pematangan seperti pada limfosit T dan limfosit B. Sel NK juga
menghasilkan beberapa sitokin yang mengatur sebagian fungsi limfosit T, limfosit B dan
makrofag.
http://sofiatussholeha.blogspot.com/2013/06/makalah-imun-non-spesifik.html
Mekanisme Sistem Imun dalam Tubuh
19 September 2012 | Fitria Ramdhany Permatasari
Sistem imun ialah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya
terhadap bahaya yang dapat menimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Respons
imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen, untuk
mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan
protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi
secara kompleks. Imunitas mempunyai tiga fungsi utama :
a) Perannya dalam pertahanan adalah menghasilkan resistensi terhadap agen penginvasi
seperti mikroorganisme.
b) Perannya dalam surveilans adalah mengindentifikasi dan menghancurkan sel-sel tubuh
sendiri yang bermutasi dan berpotensi menjadi neoplasma.
c) Perannya dalam homeostasis adalah membersihkan sisa-sisa sel dan zat-zat buangan
sehingga tipe-tipe sel tetap seragam dan tidak berubah.
Untuk melindungi dirinya, tubuh memerlukan mekanisme yang dapat membedakan sel-sel itu
sendiri (Self) dari agen-agen penginvasi (nonself). Pertahanan imun terdiri atas sistim imun
alamiah atau nonspesifik (natural/innate) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired).
1. 1. Sistem Imun Non Spesifik
Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan
berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respons langsung. Disebut sistem non
spesifik karena tidak ditujukan terhadap satu mikroorganisme tertentu, telah ada pada tubuh kita
dan siap berfungsi sejak lahir. Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik
disebut juga respons imun alamiah. Imunitas non spesifik dibedakan menjadi 3 yaitu fisik, larut,
dan seluler. Sedang imunitas non spesifik larut terdiri dari biokimia dan Humoral.
a) Pertahanan Fisik
Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik, kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan
bersin, merupakan garis pertahanan terdepan terhadap infeksi. Permukaan tubuh merupakan
pertahanan pertama terhadap penetrasi mikroorganisme. Bila penetrasi mikroorganisme terjadi
juga, maka mikroorganisme yang masuk akan berjumpa dengan berbagai elemen lain dari sistem
imunitas alamiah. Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula silia
pada mukosa.
b) Pertahanan Biokimia
Pertahanan biokimia terdiri dari lisozim (keringat), sekresi sebaseus, asam lambung, laktoferin,
dan asam neuraminik. Enzim seperti lisozim dapat merusak dinding sel mikroorganisme.
c) Pertahanan Humoral
Berbagai bahan dalam sirkulasi berperan dalam pertahanan humoral. Bahan-bahan tersebut
antara lain antibodi, komplemen, interferon dan C-Reactive Protein (CRP).
1) Komplemen memiliki 3 fungsi, antara lain dalam proses lisis, kemotaktik dan opsonisasi
bakteri. Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai macam bakteri secara
langsung sehingga eliminasi terjadi melalui proses lisis atau fagositosis oleh makrofag atau
leukosit yang distimulasi oleh opsonin dan zat kemotaktik, karena sel-sel ini mempunyai reseptor
untuk komponen komplemen (C3b) dan reseptor kemotaktik. Zat kemotaktik akan memanggil
sel monosit dan polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme dan memfagositnya.
2) Interferon adalah sitokin berupa glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel tubuh yang
mengandung nukleus dan dilepas sebagai respon terhadap infeksi virus. Interferon dapat
menginduksi sel-sel di sekitar sel yang terinfeksi virus menjadi resisten terhadap virus. Di
samping itu, interferon juga dapat mengaktifkan Natural Killer Cell (sel NK).
3) Protein Fase Akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat adanya kerusakan
jaringan. C-Reactive Protein (CRP) merupakan salah satu contoh dari Protein Fase Akut. Hati
merupakan tempat utama sintesis protein fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali
protein khas ini dikenal karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari pneumokok.
Interaksi CRP ini juga akan mengaktivasi komplemen jalur alternatif yang akan melisis antigen
d) Pertahanan Seluler
Fagosit, makrofag, sel NK berperan dalam sistem imun non spesifik seluler. Meskipun
berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis, tetapi sel utama yang berperan dalam
dalam pertahana non spesifik adalah sel mononukliear (monosit dan makrofag) serta sel
polimorfonuklier atau granulosit. Morfologi sel NK merupakan limfosit dengan granula besar.

1. 2. Sistem Imun Spesifik
Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas
spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang
diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti
sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme pertahanan
spesifik disebut juga respons imun didapat. Sel sistem imun spesifik terdiri atas sel B dan sel T
yang masing-masing merupakan sekitar 10% dan 70-85% dari semua limfosit dalam sirkulasi.
Sel B tidak mempunyai subset tetapi sel T terdiri atas beberapa subset: sel Th, Ts, Tc dan Tdh.
Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing berperan pada imunitas selular dan imunitas
humoral. Sel limfosit T akan meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni antigen.
Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang akan
menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen oleh komplemen, serta
meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandung antigen yang dinamakan proses antibody
dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC).
a) Sistem Imun Spesifik Humoral
Sel B merupakan asal dari sel plasma yang membentuk imunoglobulin (Ig) yang terdiri atas
IgG,IgM,IgA,IgE dan IgD. IgD berfungsi sebagai opsonin, dapat mengaglutinasikan
kuman/virus, menetralisir toksin dan virus, mengaktifkan komplemen (jalur klasik) dan
berperanan pada Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC). ADCC tidak hanya
merusak sel tunggal tetapi juga mikroorganisme multiselular seperti telur skistosoma, kanker,
penolakan transplan, sedang ADCC melalui neutrofil dan eosinofil berperan pada imunitas
parasit. IgM dibentuk terdahulu pada respons imun primer sehingga kadar IgM yang tinggi
menunjukkan adanya infeksi dini. IgM merupakan aglutinator antigen serta aktivator komplemen
(jalur klasik) yang poten. IgA ditemukan sedikit dalam sekresi saluran napas, cerna dan kemih,
air mata, keringat, ludah dan air susu ibu dalam bentuk IgA sekretori (sIgA). IgA dan sIgA dapat
menetralisir toksin, virus, mengagglutinasikan kuman dan mengaktifkan komplemen (jalur
alternatif). IgE berperanan pada alergi, infeksi cacing, skistosomiasis, penyakit hidatid,
trikinosis. Peranan IgD belum banyak diketahui dan diduga mempunyai efek antibodi pada alergi
makanan dan autoantigen.
b) Sistem Imun Spesifik Seluler
Peran sel T dapat dibagi menjadi 2 fungsi utama : fungsi regulator dan fungsi efektor. Fungsi
regulator terutama dilakukan oleh salah satu subset sel T, sel T helper (juga dikenal sebagai sel
CD4 karena petanda cluster of differentiation di permukaan sel diberi nomor 4). Sel-sel CD4
mengeluarkan molekul yang dikenal dengan nama sitokin (protein berberat molekul rendah yang
disekresikan oleh sel-sel sistem imun) untuk melaksanakan fungsi regulatornya. Sitokin-sitokin
dari sel CD4 mengendalikan proses-proses imun seperti membantu sel B untuk memproduksi
antibodi, pengaktivan sel T lain, dan pengaktivan makrofag. Fungsi efektor dilakukan oleh sel T
sitotoksik (dahulu dikenal sebagai sel T killer; saat ini dikenal sebagai CD8 karena cluster of
differentiation diberi nomor 8). Sel-sel CD8 mampu mematikan sel yang terinfeksi oleh virus, sel
tumor, dan jaringan transplantasi dengan menyuntikan zat kimia yang disebut perforin ke dalam
sasaran asing. Cara ini bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi. Limfokin disekresikan
oleh sel T untuk mempengaruhi dan mengaktivasi makrofag dan sel NK sehingga meningkat
secara nyata pada penyerangan virus.

Antigen eksogen masuk ke dalam tubuh melalui endosistosis atau fagositosis. Antigen-presenting
cell (APC) yaitu makrofag, sel denrit, dan limfosit B merombak antigen eksogen menjadi
fragmen peptida melalui jalan endositosis. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu CD4, untuk
mengenal antigen bekerja sama dengan Mayor Hystocompatablity Complex (MHC) kelas II dan
dikatakan sebagai MHC kelas II restriksi. Antigen endogen dihasilkan oleh tubuh inang. Antigen
endogen dirombak menjadi fraksi peptida yang selanjutnya berikatan dengan MHC kelas I pada
retikulum endoplasma. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu CD8, mengenali antigen
endogen untuk berikatan dengan MHC kelas I, dan ini dikatakan sebagai MHC kelas I restriksi.
Limfosit adalah sel yang ada di dalam tubuh hewan yang mampu mengenal dan menghancurkan
berbagai determinan antigenik yang memiliki dua sifat pada respons imun khusus, yaitu
spesifitas dan memori. Limfosit berperan dalam respons imun spesifik karena setiap individu
limfosit dewasa memiliki sisi ikatan khusus sebagai varian dari prototipe reseptor antigen.
Reseptor antigen pada limfosit B adalah bagian membran yang berikatan dengan antibodi yang
disekresikan setelah limfosit B yang mengalami diferensiasi menjadi sel fungsional, yaitu sel
plasma yang disebut juga sebagai membran imunoglobulin. Reseptor antigen pada limfosit T
bekerja mendeteksi bagian protein asing atau patogen asing yang masuk sel inang
Sel limfosit B berasal dari sumsum tulang belakang dan mengalami pendewasaan pada jaringan
ekivalen bursa. Jumlah sel limfosit B dalam keadaan normal berkisar antara 10 dan 15%. Setiap
limfosit B memiliki 105 B cell receptor (BCR), dan setiap BCR memiliki dua tempat pengikatan
yang identik. Antigen yang umum bagi sel B adalah protein yang memiliki struktur tiga dimensi.
BCR dan antibodi mengikat antigen dalam bentuk aslinya. Hal ini membedakan antara sel B dan
sel T, yang mengikat antigen yang sudah terproses dalam sel.
Jajaran ketiga sel limfoid adalah natural killer cells (sel NK) yang tidak memiliki reseptor
antigen spesifik dan merupakan bagian dari sistem imun nonspesifik. Sel ini beredar dalam darah
sebagai limfosit besar yang khusus memiliki granula spesifik yang memiliki kemampuan
mengenal dan membunuh sel abnormal, seperti sel tumor dan sel yang terinfeksi oleh virus. Sel
NK berperan penting dalam imunitas nonspesifik pada patogen intraseluler.
http://blog.ub.ac.id/cdrhfitria/2012/09/19/mekanisme-sistem-imun-dalam-tubuh/
FISIOLOGI IMUN DAN MEKANISME PERTAHANAN
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleksterhadap
antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat melibatkan berbagai
macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dansitokin yang saling
berinteraksi secara kompleks. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme pertahanan
non spesifik dan mekanisme pertahanan spesifik.
Substansi asing yang bertemu dengan system itu bekerja sebagai antigen, anti melawan, + genin
menghasilkan. Contohnya jika terjadi suatu substansi terjadi suatu respon dari tuan rumah,
respon ini dapat selular, humoral atau keduanya. Antigen dapat utuh seperti sel bakteri sel tumor
atau berupa makro molekul, seperti protein, polisakarida atau nucleoprotein. Pada keadaan apa
saja spesitas respon imun secara relatif dikendalikan oleh pengaruh molekuler kecil dari
antigendetenniminan antigenic untuk protein dan polisakarida, determinan antigenic terdiri atas
empat sampai enam asam amino atau satuan monosa karida. Jika komplek antigen Yang
memiliki banyak determinan misalnya sel bakteri akan membangkitkan satu spectrum respon
humoral dan selular. Antibodi, disebut juga imunoglobulin adalah glikkoprotein plasma
yang bersirkulasi dan dapat berinteraksi secara spesifik dengan determinan antigenic yang
merangsang pembentukan antibody, antibody disekresikan oleh sel plasma yang terbentuk
melalui proliferasi dan diferensiasi limfosit B. Pada manusia ditemukan lima kelas
imunoglobulin, Ig.G, terdiri dari dua rantai ringan yang identik dan dua rantai berat yang identik
diikat oleh ikatan disulfida dan tekanan non kovalen. Ig G merupakan kelas yang paling banyak
jumlahnya, 75 % dari imunoglobulin serum IgG bertindak sebagai suatu model bagi kelas-kelas
yang lain.
Adjuvant Senyawa yang jika dicampur dengan imunogen meningkatkan respon imun
terhadap imunogen : BCG, FCA, LPS, suspensi AL(OH)3
Imunogen senyawa yang mampu menginduksi respon imun
Hapten: Molekul kecil yang tidak mampu menginduksi respon imun dalam keadaan murni,
namun bila berkonyugasi dengan protein tertentu (carrier) atau senyawa BM besar dapat
menginduksi respon imun.
Epitop atau Antigenik Determinan :Unit terkecil dari suatu antigen yang mampu berikatan
dengan antibodi atau dengan reseptor spesifik pada limfosit
Mekanisme pertahanan tubuh
1. Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif atau innate, atau
imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu jenis
antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan
terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan pertahanan khusus
untuk antigen tertentu.
2. Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen adaptif atau imunitas
didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, karena
itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh non
spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau ditimbulkan terlebih dahulu
oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan pertahanan tubuh non spesifik sudah
ada sebelum ia kontak dengan antigen.
Mekanisme Pertahanan Non Spesifik
Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga respons imun
alamiah. Yang merupakan mekanisme pertahanan non spesifik tubuh kita adalah kulit dengan
kelenjarnya, lapisan mukosa dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan enzimnya seperti
kelenjar air mata. Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit, polimorfonuklear) dan
komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non spesifik.
Permukaan tubuh, mukosa dan kulit
Permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap penetrasi mikroorganisme. Bila
penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka mikroorganisme yang masuk akan berjumpa
dengan pelbagai elemen lain dari sistem imunitas alamiah.
Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit
Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula silia pada mukosa.
Enzim seperti lisozim dapat pula merusak dinding sel mikroorganisme.
Komplemen dan makrofag
Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai macam bakteri secara langsung
sehingga eliminasi terjadi melalui proses lisis atau fagositosis oleh makrofag atau leukosit yang
distimulasi oleh opsonin dan zat kemotaktik, karena sel-sel ini mempunyai reseptor untuk
komponen komplemen (C3b) dan reseptor kemotaktik. Zat kemotaktik akan memanggil sel
monosit dan polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme dan memfagositnya.
Protein fase akut
Protein fase akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat adanya kerusakan jaringan.
Hati merupakan tempat utama sintesis protein fase akut. C-reactive protein (CRP) merupakan
salah satu protein fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali protein khas ini dikenal
karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari pneumokok. Interaksi CRP ini juga akan
mengaktivasi komplemen jalur alternatif yang akan melisis antigen.
Sel natural killer (NK) dan interferon
Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang dihuni virus atau sel tumor. Interferon
adalah zat yang diproduksi oleh sel leukosit dan sel yang terinfeksi virus, yang bersifat dapat
menghambat replikasi virus di dalam sel dan meningkatkan aktivasi sel NK.
Mekanisme Pertahanan Spesifik
Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas
spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang
diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti
sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme pertahanan
spesifik disebut juga respons imun didapat.
Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen yang merupakan
ligannya. Di samping itu, respons imun spesifik juga menimbulkan memori imunologis yang
akan cepat bereaksi bila host terpajan lagi dengan antigen yang sama di kemudian hari. Pada
imunitas didapat, akan terbentuk antibodi dan limfosit efektor yang spesifik terhadap antigen
yang merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi antigen. Sel yang berperan dalam imunitas
didapat ini adalah sel yang mempresentasikan antigen (APC = antigen presenting cell =
makrofag) sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing
berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T akan meregulasi respons
imun dan melisis sel target yang dihuni antigen. Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel
plasma dan memproduksi antibodi yang akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen
dan lisis antigen oleh komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandung
antigen yang dinamakan proses antibody dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC). Limfosit
berperan utama dalam respon imun diperantarai sel. Limfosit terbagi atas 2 jenis yaitu Limfosit
B dan Limfosit T. Berikut adalah perbedaan antara Limfosit T dan Limfosit B.
Limfosit B Limfosit T
Dibuat di sumsum tulang yaitu sel batang yang
sifatnya pluripotensi(pluripotent stem cells) dan
dimatangkan di sumsum tulang(Bone Marrow)
Dibuat di sumsum tulang dari sel batang yang
pluripotensi(pluripotent stem cells) dan
dimatangkan di Timus
Berperan dalam imunitas humoral Berperan dalam imunitas selular
Menyerang antigen yang ada di cairan antar sel Menyerang antigen yang berada di dalam sel
Terdapat 3 jenis sel Limfosit B yaitu :
Limfosit B plasma, memproduksi
antibodi
Limfosit B pembelah, menghasilkan
Limfosit B dalam jumlah banyak dan
cepat
Limfosit B memori, menyimpan
mengingat antigen yang pernah masuk
ke dalam tubuh
Terdapat 3 jenis Limfosit T yaitu:
Limfosit T pempantu (Helper T cells),
berfungsi mengantur sistem imun dan
mengontrol kualitas sistem imun
Limfosit T pembunuh(Killer T cells) atau
Limfosit T Sitotoksik, menyerang sel
tubuh yang terinfeksi oleh patogen
Limfosit T surpressor (Surpressor T
cells), berfungsi menurunkan dan
menghentikan respon imun jika infeksi
berhasil diatasi
I munitas selular
Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan
komponen sistem imun lainnya. Limfosit T adalah limfosit yang berasal dari sel pluripotensial
yang pada embrio terdapat pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa, lalu pada sumsum
tulang. Dalam perkembangannya sel pluripotensial yang akan menjadi limfosit T memerlukan
lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur.
Di dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan molekul tertentu pada permukaan
membrannya yang akan menjadi ciri limfosit T. Molekul-molekul pada permukaan membran ini
dinamakan juga petanda permukaan atau surface marker, dan dapat dideteksi oleh antibodi
monoklonal yang oleh WHO diberi nama dengan huruf CD, artinya cluster of differentiation.
Secara garis besar, limfosit T yang meninggalkan timus dan masuk ke darah perifer (limfosit T
matur) terdiri atas limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD4 dan limfosit T dengan
petanda permukaan molekul CD8. Sel limfosit CD4 sering juga dinamakan sel T4 dan sel
limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi monoklonal yang dipakai adalah keluaran Coulter
Elektronics).
Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga terjadi penataan kembali gen
(gene rearrangement) untuk nantinya dapat memproduksi molekul yang merupakan reseptor
antigen dari sel limfosit T (TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus, setiap limfosit T sudah
memperlihatkan reseptor terhadap antigen diri (self antigen) biasanya mengalami aborsi dalam
timus sehingga umumnya limfosit yang keluar dari timus tidak bereaksi terhadap antigen diri.
Secara fungsional, sel limfosit T dibagi atas limfosit T regulator dan limfosit T efektor. Limfosit
T regulator terdiri atas limfosit T penolong (Th = CD4) yang akan menolong meningkatkan
aktivasi sel imunokompeten lainnya, dan limfosit T penekan (Ts = CD8) yang akan menekan
aktivasi sel imunokompeten lainnya bila antigen mulai tereliminasi. Sedangkan limfosit T
efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang melisis sel target, dan limfosit T yang
berperan pada hipersensitivitas lambat (Td = CD4) yang merekrut sel radang ke tempat antigen
berada.
Pajanan antigen pada sel T
Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD = T dependent antigen), artinya antigen
akan mengaktifkan sel imunokompeten bila sel ini mendapat bantuan dari sel Th melalui zat
yang dilepaskan oleh sel Th aktif. TD adalah antigen yang kompleks seperti bakteri, virus dan
antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang tidak tergantung pada sel T (TI = T
independent antigen) adalah antigen yang strukturnya sederhana dan berulang-ulang, biasanya
bermolekul besar.
Limfosit Th umumnya baru mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul produk
MHC (major histocompatibility complex) kelas II yaitu molekul yang antara lain terdapat pada
membran sel makrofag. Setelah diproses oleh makrofag, antigen akan dipresentasikan bersama
molekul kelas II MHC kepada sel Th sehingga terjadi ikatan antara TCR dengan antigen. Ikatan
tersebut terjadi sedemikian rupa dan menimbulkan aktivasi enzim dalam sel limfosit T sehingga
terjadi transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Th aktif dan sel Tc memori.
Sel Th aktif ini dapat merangsang sel Tc untuk mengenal antigen dan mengalami transformasi
blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Tc memori dan sel Tc aktif yang melisis sel target
yang telah dihuni antigen. Sel Tc akan mengenal antigen pada sel target bila berasosiasi dengan
molekul MHC kelas I (lihat Gambar 3-2). Sel Th aktif juga dapat merangsang sel Td untuk
mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Td memori dan sel Td
aktif yang melepaskan limfokin yang dapat merekrut makrofag ke tempat antigen.
Limfokin
Limfokin akan mengaktifkan makrofag dengan menginduksi pembentukan reseptor Fc dan C3B
pada permukaan makrofag sehingga mempermudah melihat antigen yang telah berikatan dengan
antibodi atau komplemen, dan dengan sendirinya mempermudah fagositosis. Selain itu limfokin
merangsang produksi dan sekresi berbagai enzim serta metabolit oksigen yang bersifat bakterisid
atau sitotoksik terhadap antigen (bakteri, parasit, dan lain-lain) sehingga meningkatkan daya
penghancuran antigen oleh makrofag.
Aktivitas lain untuk eliminasi antigen
Bila antigen belum dapat dilenyapkan maka makrofag dirangsang untuk melepaskan faktor
fibrogenik dan terjadi pembentukan jaringan granuloma serta fibrosis, sehingga penyebaran
dapat dibatasi.
Sel Th aktif juga akan merangsang sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
plasma yang mensekresi antibodi (lihat bab tentang imunitas humoral). Sebagai hasil akhir
aktivasi ini adalah eliminasi antigen. Selain eliminasi antigen, pemajanan ini juga menimbulkan
sel memori yang kelak bila terpajan lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan
berdiferensiasi.
I munitas humoral
Imunitas humoral adalah imunitas yang diperankan oleh sel limfosit B dengan atau tanpa
bantuan sel imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan dilaksanakan oleh imunoglobulin yang
disekresi oleh sel plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu IgM, IgG,
IgA, IgD, dan IgE.
Limfosit B juga berasal dari sel pluripotensial yang perkembangannya pada mamalia dipengaruhi
oleh lingkungan bursa fabricius dan pada manusia oleh lingkungan hati, sumsum tulang dan
lingkungan yang dinamakan gut-associated lymphoid tissue (GALT). Dalam perkembangan ini
terjadi penataan kembali gen yang produknya merupakan reseptor antigen pada permukaan
membran. Pada sel B ini reseptor antigen merupakan imunoglobulin permukaan (surface
immunoglobulin). Pada mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah kelas IgM, dan pada
perkembangan selanjutnya sel B juga memperlihatkan IgG, IgA dan IgD pada membrannya
dengan bagian F(ab) yang serupa. Perkembangan ini tidak perlu rangsangan antigen hingga
semua sel B matur mempunyai reseptor antigen tertentu.
Pajanan antigen pada sel B
Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th (bagi
antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B sedemikian rupa hingga terjadilah
transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan
membentuk sel B memori. Selain itu, antigen TI dapat secara langsung mengaktivasi sel B tanpa
bantuan sel Th.
Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga infektivitasnya hilang, atau
berikatan dengan antigen sehingga lebih mudah difagosit oleh makrofag dalam proses yang
dinamakan opsonisasi. Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan komplemen
yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks antigen-antibodi pada
sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis serta penghancuran antigen oleh makrofag.
Adhesi kompleks antigen-antibodi komplemen dapat lebih erat karena makrofag selain
mempunyai reseptor Fc juga mempunyai reseptor C3B yang merupakan hasil aktivasi
komplemen.
Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc yang mempunyai
reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini disebut antibody-dependent cellular mediated
cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat pula terjadi karena aktivasi komplemen. Komplemen
berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi komplemen yang menyebabkan
terjadinya lisis antigen.
Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel memori yang kelak bila
terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi. Hal inilah yang
diharapkan pada imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur panjang, kadar
antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif dan berlangsung dalam waktu
cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi tertentu atau infeksi alamiah. Hal ini disebabkan
karena adanya antigen yang tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan
dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di kemudian hari.
Jumlah normal sel leukosit.
Leukosit adalah sel darah Yang mengendung inti, disebut juga sel darahputih. Didalam darah
manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 5000-9000 sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari
12000, keadaan ini disebut leukositosis, bilakurang dari 5000 disebut leukopenia. Dilihat dalam
mikroskop cahaya maka sel darah putih mempunyai granula spesifik (granulosit), yang dalam
keadaan hidup berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti
yang bervariasi, Yang tidak mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan inti bentuk
bulat atau bentuk ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler : linfosit sel kecil, sitoplasma
sedikit; monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih banyak. Terdapat tiga jenis
leukosir granuler: Neutrofil, Basofil, dan Asidofil (atau eosinofil) yang dapat dibedakan dengan
afinitas granula terhadap zat warna netral basa dan asam.
Granula dianggap spesifik bila ia secara tetap terdapat dalam jenis leukosit tertentu dan pada
sebagian besar precursor (pra zatnya). Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler
dan humoral organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid
dan melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara sel-
sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung. Jumlah leukosit per mikroliter darah,
pada orang dewasa normal adalah 4000-11000, waktu lahir 15000-25000, dan menjelang hari ke
empat turun sampai 12000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal. Variasi kuantitatif dalam
sel-sel darah putih tergantung pada usia. waktu lahir, 4 tahun dan pada usia 14 -15 tahun
persentase khas dewasa tercapai. Bila memeriksa variasi Fisiologi dan Patologi sel-sel darah
tidak hanya persentase tetapi juga jumlah absolut masing-masing jenis per unit volume darah
harus diambil.
Neutrofil
Neutrofil berkembang dalam sum-sum tulang dikeluarkan dalam sirkulasi, selsel ini merupakan
60 -70 % dari leukosit yang beredar. Garis tengah sekitar 12 um, satu inti dan 2-5 lobus.
Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-granula spesifik (0;3-0,8um) mendekati batas resolusi
optik, berwarna salmon pinkoleh campuran jenis romanovky. Granul pada neutrofil ada dua :
- Azurofilik yang mengandung enzym lisozom dan peroksidase.
- Granul spesifik lebih kecil mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal (protein
Kationik) yang dinamakan fagositin.
Neutrofil jarang mengandung retikulum endoplasma granuler, sedikit mitokonria, apparatus
Golgi rudimenter dan sedikit granula glikogen. Neutrofil merupakan garis depan pertahanan
seluler terhadap invasi jasad renik, menfagosit partikel kecil dengan aktif. Adanya asam amino D
oksidase dalam granula azurofilik penting dalam penceran dinding sel bakteri yang mengandung
asam amino D. Selama proses fagositosis dibentuk peroksidase. Mielo peroksidase yang terdapat
dalam neutrofil berikatan dengan peroksida dan halida bekerja pada molekultirosin dinding sel
bakteri dan menghancurkannya. Dibawah pengaruh zat toksik tertentu seperti streptolisin toksin
streptokokus membran granula-granula neutrofil pecah, mengakibatkan proses pembengkakan
diikuti oleh aglutulasiorganel- organel dan destruksi neutrofil. Neotrofil mempunyai
metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara arrob maupun
anaerob. Kemampuan nautropil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan,
karena mereka dapat membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan
nekrotik. Fagositosis oleh neutrfil merangsang aktivitas heksosa monofosfat shunt,
meningkatkan glicogenolisis.
EOSINOFIL
Jumlah eosinofil hanya 1-4 % leukosit darah, mempunyai garis tengah 9um (sedikit lebih kecil
dari neutrofil). Inti biasanya berlobus dua, Retikulum endoplasma mitokonria dan apparatus
Golgi kurang berkembang. Mempunyai granula ovoid yang dengan eosin asidofkik, granula
adalah lisosom yang mengandung fosfatae asam, katepsin, ribonuklase, tapi tidak mengandung
lisosim. Eosinofil mempunyai pergerakan amuboid, dan mampu melakukan fagositosis, lebih
lambat tapi lebih selektif dibanding neutrifil. Eosinofil memfagositosis komplek antigen dan anti
bodi, ini merupakan fungsi eosinofil untuk melakukan fagositosis selektif terhadap komplek
antigen dan antibody. Eosinofil mengandung profibrinolisin, diduga berperan mempertahankan
darah dari pembekuan, khususnya bila keadaan cairnya diubah oleh proses-proses Patologi.
Kortikosteroid akan menimbulkan penurunan jumlah eosinofil darah dengan cepat.
BASOFIL
Basofil jumlahnya 0-% dari leukosit darah, ukuran garis tengah 12um, inti satu, besar bentuk
pilihan ireguler, umumnya bentuk huruf S, sitoplasma basofil terisi granul yang lebih besar, dan
seringkali granul menutupi inti, granul bentuknya ireguler berwarna metakromatik, dengan
campuran jenis Romanvaki tampak lembayung. Granula basofil metakromatik dan mensekresi
histamin dan heparin, dan keadaan tertentu, basofil merupakan sel utama pada tempat
peradangan ini dinamakan hypersesitivitas kulit basofil. Hal ini menunjukkan basofil mempunyai
hubungan kekebalan.
LIMFOSIT
Limfosit merupakan sel yang sferis, garis tengah 6-8um, 20-30% leukosit darah.Normal, inti
relatifbesar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat, anak inti baru terlihat
dengan electron mikroskop. Sitoplasma sedikit sekali, sedikit basofilik, mengandung granula-
granula azurofilik. Yang berwarna ungu dengan Romonovsky mengandung ribosom bebas dan
poliribisom. Klasifikasi lainnya dari limfosit terlihat dengan ditemuinya tanda-tanda molekuler
khusus pada permukaan membran sel-sel tersebut. Beberapa diantaranya membawa reseptos
seperti imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya. Lirnfosit dalam
sirkulasi darah normal dapat berukuran 10-12um ukuran yang lebih besar disebabkan
sitoplasmanya yang lebih banyak. Kadang-kadang disebut dengan limfosit sedang. Sel limfosit
besar yang berada dalam kelenjar getah bening dan akan tampak dalam darah dalam keadaan
Patologis, pada sel limfosit besar ini inti vasikuler dengan anak inti yang jelas. Limfosit-limfosit
dapat digolongkan berdasarkan asal, struktur halus, surface markers yang berkaitan dengan sifat
imunologisnya, siklus hidup dan fungsi.
MONOSIT
Merupakan sel leukosit yang besar 3-8% dari jumlah leukosit normal, diameter 9-10 um tapi
pada sediaan darah kering diameter mencapai 20um, atau lebih. Inti biasanya eksentris, adanya
lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda. Kromatin kurang padat, susunan lebih fibriler, ini
merupakan sifat tetap momosit Sitoplasma relatif banyak dengan pulasan wrigh berupa bim abu-
abu pada sajian kering. Granula azurofil, merupakan lisosom primer, lebih banyak tapi lebih
kecil. Ditemui retikulim endoplasma sedikit. Juga ribosom, pliribosom sedikit, banyak
mitokondria. Apa ratus Golgi berkembang dengan baik, ditemukan mikrofilamen dan
mikrotubulus pada daerah identasi inti. Monosit ditemui dalam darah, jaingan penyambung, dan
rongga-rongga tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuclear (system retikuloendotel) dan
mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya. Untuk imunoglobulin dan
komplemen. Monosit beredar melalui aliran darah, menembus dinding kapiler masuk kedalam
jaringan penyambung. DaIam darah beberapa hari. Dalam jaringan bereaksi dengan limfosit dan
memegang peranan penting dalam pengenalan dan interaksi sel-sel immunocmpetent dengan
antigen.
BAB II
RESPON ANTIBODI TERHADAP KANKER DAN VIRUS POLIO
Respon antibodi terhadap tumor.
Tumor ganas/kanker adalah jenis penyakit yang sangat berbahaya, karena dapat menyebabkan
kematian bagi penderitanya. Sehingga identifikasi prilaku pertumbuhan tumor yang imunogenik
(dapat menstimulasi respon imun) adalah penting dan perlu dilakukan, terutama untuk tujuan
imunoterapi. Melalui simulasi dengan metode Runge Kutta Gill dapatlah dianalisis pertumbuhan
tumor tersebut. Sistem imun CMI (cell-mediated-immunity) tubuh manusia dapat menghambat
dan mengontrol pertumbuhan tumor secara efektif untuk tumor yang masih berada dalam
stadium praklinik ( tumor 1cm = 109 sel ) dalam bentuk immunologic-surveillance.
Berdasarkan hasil simulasi diperoleh bahwa respon model sistem CMI yang dilakukan oleh sel-
sel efektor imun Tc, NK dan Ma terhadap tumor padat (dengan asumsi tumor tumbuh mulai dari
l sel hingga mencapai ukuran maksimum 3.10 ) yang tumbuh secara Gompertz akan dapat
menghambat pertumbuhan tumor, tetapi tidak dapat memperkecil ukuran tumor tersebut.
Simulasi model respon CMI dalam interval waktu 20 hari pertama, menunjukkan bahwa
pertumbuhan tumor mulai konstan ( 1,94.105 sel) pada hari yang ke delapan. Sedangkan model
sistem CMI + ADCC (cell mediated immunity + antibody dependent cell mediated cytotoxicity)
sebagai pengembangan dari model sistem CMI, dapat memberikan hasil simulasi yang lebih
baik, di mana selain pertumbuhan tumor mulai konstan pada hari yang ke delapan sampai dengan
hari yang ke sepuluh ( 2,75.103 sel) juga pertumbuhan tumor tersebut menjadi menurun
eksponensial sampai mencapai ukuran 1,6.103 sel tumor pada hari yang ke lima belas, setelah
itu tumor tidak tumbuh lagi (konstan).
Makrofag telah mengidentifikasikan sel kanker. Ketika melampaui batas menyatukan dengan sel
kanker, makrofag (sel putih yang lebih kecil) akan menyuntkan toksin yang akan membunuh sel
tumo
Respon Imun Terhadap Infeksi Virus Polio
Respon imun/kekebalan alami memegang peranan penting dalam penentuan trofisme jaringan
dan patogenitas virus polio. Pada tikus transgenik CD155, jaringan non syaraf yang tidak
menjadi target replikasi untuk virus polio menunjukkan peningkatan aktivitas gen yang
distimulasi oleh interferon dan respon interferonnya lebih cepat dibandingkan jaringan syaraf.
Hal ini menimbulkan dugaan adanya peran penting interferon dalam melindungi jaringan non
syaraf tersebut. Ketika tikus transgenik CD155 tersebut di-knock out interferon alfa-beta-nya,
titer virus polio di jaringan non syaraf meningkat dan terjadi peningkatan frekuensi paralisis
dibandingkan dengan tikus transgenik CD155 liar . Respon sistem kekebalan humoral berperan
penting dalam perlindungan dan kekebalan jangka panjang. Antibodi yang dihasilkan setelah
infeksi polio virus liar, atau setelah vaksinasi dengan vaksin polio oral (OPV/oral poliovirus
vaccine. Ada yang menyebutnya vaksin polio hidup) atau IPV (inactivated polio vaccine, atau
ada yang menyebutnya vaksin polio mati) dapat mencegah terjadinya poliomielitis karena
mencegah terjadinya viremia, sehingga mencegah infeksi pada sistem syaraf pusat.
Dibandingkan IPV, infeksi virus polio liar atau vaksin polio oral akan menghasilkan produksi
IgG sirkulasi yang lebih banyak dan juga sekresi IgA di usus halus. Akibatnya dosis yang
dibutuhkan oleh virus polio untuk melakukan re-infeksi akan mengalami peningkatan. Selain itu,
jika terjadi re-infeksi, jumlah dan durasi pengeluaran virus polio di tinja akan menurun. Jumlah
dan durasi pengeluaran virus polio di tinja ini berperan besar dalam proses penyebaran virus
polio. Makin banyak dan makin lama virus polio dikeluarkan via tinja oleh si penderita, maka
resiko penyebarannya akan semakin besar.
Selain respon sistem kekebalan humoral, sistem kekebalan seluler mungkin juga berperan besar
dalam menghadapi infeksi virus polio. Secara teoritik, sel T CD4+ membantu sel B dalam respon
kekebalan humoral. Sel T sitolitik mungkin mempunyai peranan dalam proses pembersihan virus
secara langsung dengan cara melisiskan seln yang terinfeksi virus. Sel T gamma atau delta dan
sel NK (yang merupakan bagian dari respon kekebalan alami) mungkin berperan dalam respon
kekebalan adaptif sel T. Meskipun begitu, bagaimana sebenarnya mekanisme sistem kekebalan
seluler dalam menghadapi infeksi virus polio masih belum jelas
BAB III
REGULASI RESPONS IMUN
Setelah antigen dapat dieliminasi, maka agar tidak terjadi aktivasi sistem imun yang tak
terkendali, maka diperlukan adanya regulasi respons imun. Ada 3 macam mekanisme tubuh
untuk meregulasi respons imun yang sudah terjadi.
Regulasi oleh antibodi yang terbentuk
Antibodi yang terbentuk akibat paparan antigen dapat mempengaruhi produksi antibodi
selanjutnya. Pada waktu kadar antibodi masih rendah, yaitu pada waktu tahap respons
permulaan, antibodi yang terbentuk akan merangsang sel B yang mempunyai kapasitas
memproduksi antibodi dengan afinitas tinggi. Jadi antibodi yang baru terbentuk merupakan
faktor penting untuk mendorong proses maturasi afinitas. Hal ini terjadi karena antibodi yang
terbentuk akan berkompetisi dengan reseptor antigen pada sel B untuk mengikat antigen,
sehingga yang terangsang adalah sel B yang mempunyai daya ikat tinggi terhadap antigen atau
berafinitas tinggi, karena itu antibodi yang dihasilkan juga berafinitas tinggi.
Adanya efek antibodi seperti tersebut dipengaruhi oleh tipe isotip antibodi. Umumnya IgM
mempunyai tendensi untuk meningkatkan produksi antibodi, tetapi IgG lebih sering bersifat
supresif. Di samping itu, pada tahap respons permulaan, pada saat rasio antigen masih lebih
besar daripada antibodi, maka adanya antibodi akan mempermudah kompleks Ag-Ab terfiksasi
pada sel makrofag melalui reseptor Fc, hingga dapat dipresentasikan pada sel Th yang kemudian
merangsang sel B membentuk antibodi. Jadi pada permulaan terjadi peningkatan jumlah maupun
afinitas antibodi. Tetapi bila antibodi sudah ada dalam konsentrasi tinggi, yaitu setelah mencapai
jumlah cukup untuk menetralkan antigen yang ada, antibodi akan merupakan umpan balik
negatif agar tidak terbentuk antibodi yang sama lebih lanjut. Hal ini terjadi karena dengan
terikatnya bagian F(ab)2 antibodi pada epitop antigen maka reseptor antigen pada sel B tidak
akan terangsang lagi oleh epitop antigen tersebut, sehingga tidak terjadi aktivasi dan priming sel
B terhambat (lihat Gambar 3-3).
Di samping itu, antibodi yang bertambah dapat pula merupakan umpan balik negatif melalui
bagian Fc-nya. Sel B selain mempunyai reseptor antigen juga mempunyai reseptor Fc. Dengan
terikatnya antibodi pada reseptor Fc sel B, maka epitop antigen yang terikat pada reseptor
antigen pada sel B tidak dapat mengadakan bridging oleh karena adanya gabungan silang antara
reseptor antigen dan reseptor Fc, sehingga tidak terjadi aktivasi sel B (lihat Gambar 3-4). Tidak
adanya bridging antara suatu reseptor antigen dengan reseptor antigen lainnya pada sel B
mengakibatkan tidak terjadinya aktivasi enzim, sehingga sel B tidak terangsang untuk
mengalami transformasi blast, berproliferasi dan berdiferensiasi, dan akibatnya pembentukan
antibodi makin lama makin berkurang.
Regulasi idiotip spesifik
Akibat stimulasi antigen terhadap sel B akan terbentuk antibodi yang makin lama makin
bertambah. Pada kadar tertentu, idiotip dari antibodi tersebut akan bertindak sebagai stimulus
imunogenik yang mengakibatkan terbentuknya anti-idiotip. Dasar reaksi ini sebenarnya belum
jelas karena merupakan kontradiksi dari self tolerance. Tetapi fakta memang membuktikan
adanya limfosit yang dapat mengenal dan bereaksi dengan idiotip antibodi, karena ada limfosit
yang mempunyai reseptor untuk idiotip ini. Anti-idiotip yang terbentuk juga mempunyai idiotip
hingga akan merangsang terbentuknya anti-idiotip, dan seterusnya.
Pada binatang adanya anti-idiotip ini terlihat pada waktu fase respons imun mulai menurun.
Anti-idiotip yang terbentuk dengan sendirinya mirip antigen asal, karena itu dinamakan internal
image dari antigen asal. Tetapi adanya antibodi anti-idiotip ini pada respons imun yang normal
tidak akan merangsang kembali terjadinya antibodi terhadap antigen asal. Terbentuknya anti-
idiotip berturut-turut mengakibatkan jumlah antibodi makin lama makin berkurang. Dapat
dipersamakan seperti batu yang jatuh ke
dalam ir dan menimbulkan gelembung air yang makin lama makin menghilang. Regulasi
melalui pembentukan anti-idiotip adalah regulasi untuk menurunkan respons imun (down
regulation) yang dikenal sebagai jaringan imunoregulator dari Jerne (1974).
Regulasi oleh sel T supresor (Ts)
Dalam tubuh kita terdapat limfosit yang dapat meregulasi limfosit lainnya untuk meningkatkan
fungsinya yang dinamakan sel T helper (Th = CD4). Selain itu terdapat juga limfosit yang
menekan respons imun yang terjadi secara spesifik yang dinamakan sel T supresor (Ts = CD8).
Sel Ts dapat juga diaktifkan pada respons imun normal dengan tujuan mencegah respons imun
yang tak terkendali. Bagaimana cara sel Ts melakukan tugasnya belumlah jelas, tetapi secara in
vitro dapat diketahui bahwa pada aktivasi sel Ts akan dilepaskan faktor spesifik yang akan
menekan respons imun yang sedang berlangsung.
Sel Ts dapat diaktifkan melalui tiga cara, yaitu 1) oleh antigen yang merangsang respons imun
itu sendiri. Antigen merangsang CD4 yang 2H4+ 4B4- untuk mengeluarkan faktor supresi
antigen spesifik yang akan merangsang sel Ts untuk menekan sel efektor, 2) oleh antigen yang
mengadakan bridging antara sel Ts dengan sel limfosit lainnya, seperti sel B dan sel Th,
sehingga Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th, 3) oleh sel B atau sel Th yang mempunyai
reseptor idiotip dari idiotip sel Ts, sehingga sel Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th.
PERKEMBANGAN LIMFOSlT DALAM PROSES IMMUN
Seperti kita ketahui bahwa limfosit yang bersikulasi terutama berasal dari timus dan organ
limfoid perifer, limpa, limfonodus, tonsil dan sebagainya. Akan tetapi mungkin semua sel
pregenitor limfosit berasal dari sum-sum tulang, beberapa diantara limfositnya yang secara relatif
tidak mengalami diferensiasi ini bermigrasi ke timus, lalu memperbanyak diri, disini sel limfosit
ini memperoleh sifat limfosit T, kemudian dapat masuk kembali kedalam aliran darah, kembali
kedalam sum-sum tulang atau ke organ limfoid perifer dan dapat hidup beberapa bulan atau
tahun. Sel-sel T bertanggung jawab terhadap reaksi immune seluler dan mempunyai reseptor
permukaan yang spesifik untuk mengenal antigen asing. Limfosit lain tetap diam disum-sum
tulang berdiferensiasi menjadi limfosit B berdiam dan berkemban.didalam kompertemenya
sendiri. Sel B bertugas untuk memproduksi antibody humoral antibody response yang beredar
dalam peredaran darah dan mengikat secara khusus dengan antigen asing yang menyebabkan
antigen asing tersalutantibody, kompleks ini mempertinggi fagositosis, lisis sel dan sel
pembunuh (killer sel atau sel K) dari organisme yang menyerang. Sel T dan sel B secara
marfologis hanya dapat dibedakan ketika diaktifkan oleh antigen. Tahap akhir dari diferensiasi
sel-sel B yang diaktifkan berwujud sebagai sel plasma. Sel plasma mempunyai retikulum
endoplasma kasar yang luas yang penuh dengan molekul-molekul antibody, sel T yang
diaktifkan mempunyai sedikit endoplasma yang kasar tapi penuh dengan ribosom bebas.
Terjadinya respon imun dari tubuh.
Kepekaan tubuh terhadap benda asing (antigen 0 akan menimbulkan reaksi tubuh yang dikenal
sebagai Respon imun Respon imun ini mempunyai dampak positif terhadap, tubuh yaitu dengan
timbulnya suatu proses imunisasi kekebalan tubuh terhadap antigen tersebut, dan dampak
negatifnya berupa reaksi hypersensitifitas. Hypersensitifitas merupakan reaksi yang berlebihan
dari tubuh terhadap antigen dimana akan mengganggu fungsi sistem imun yang menimbulkan
efek protektif yaitumerusak jaringan. Proses kerusakan yang paling cepat terjadi berupa
degranulasi sel dan derifatnya (antara lain sel basofil, set Mast dan sel plasma) yang melepaskan
mediator-mediatonya yaitu histamin, serotonin, bradikinin, SRS=A, lekotrin Eusinohil
chemotactic Factor (ECF) dan sebagainya. Reaksi tubuh terhadap pelepasan mediator ini
menimbulkan penyakit berupa asthma bronchial, rhinitis aIergika, urtikaria, diaree dan bisa
menimbulkan shock. Secara lambat akan terjadi reaksi kerusakan jaringan berupa sitolisis dari
sel-sel darah merah sitotokis terhadap organ tubuh seperti ginjal (glomeruloneftitis), serum
siknesdermatitis kontak, reaksi tuberculin dan sebagainya, rheumatoid arthritis. coom dan gell
membagi 4 jenis sesitifitas, dimana dapat dilihat apa yang terjadi pada sel-sel leukosit. Pada type
I (padareaksi anafilaktik) terjadi antigen bergabung dengan IgE (imunoglobin tipe E-antibodies
tipe E) yang terikat pada mast sel -sel basofil dan sel plasma. Reaksi terhadap tubuh terjadi
dalam beberapa menit.
Pada type II (pada reaksi sititoksik) dimana antigen mengikat diri pada membran sel, yang pada
penggabungan anti gen mengikat IgG atau IgM yang bebas dalam cairan tubuh akan
menghancurkan sel yang mengikat anti gen tersebut. Reaksi ini terdapat pada tranfusi darah,
anemia hemolitika.
Pada Type III ( reaksi artrhus ) merupakan reaksi anti gen dan antibody komplek dimana gen
bergabung dengan IgG atau IgM menjadi suatu komplek, yang
mengikat diri antara lain sel-sel ginjal, paru-paru dan sendi. Terjadilah aktifitas dari komplemen
(komplemen protein dalam darah) dan pelepasan zat-toksis. Ditemui pada glomerulo nephritis,
serum scness, rheumatk arthritis.
Type IV ( delayed ), antigen merupakan sel protein atau sel asing yang bereaksi dengan limfosit,
limfosit melepaskan mediator aktif yaitu limfokin, terjadi reaksi pada kulit, reaksi pada
tranplantasi, reaksi tuberculin dan dermatitis kontak.
BAB IV
IMONOPATOGENESIS.
Pada Imunopatologi menjelaskan bahwa reaksi alergi diawali dengan tahap sensit, kemudian
diikuti reaksi ale yang terlepas dari sel-sel mast (mastosit) dan atau sel basofil yang berkontak
ulang dengan allergen spesifiknya (IS hizaka, Tomiko dan Ishizaka 1971). Saat ini lebih jelas
terutama pada rhinitis alergika diketahui terdiri dari dua fase (Kaliner 1987, Lichtensin 1988,
pertama reaksi alergi fase cepat (RAFC,immediet phas-allergic reaction), berlangsung sampai
satu jam setelah berkontak alergan kedua, reaksi alergis fase lambat (RAFL, Late phase allergic
reaction) yang berlangsung sampai 24 jam bahkan sampai 48 jam kemudian, dengan puncak
reaksi pada 4 8 jam pertama.
1. Tahap Sensitasi
Pada awal reaksi alergis sebenarnya dimulai dengan respon pengenalan alergan/antigen oleh sel
darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit (Brown dkk, 1991) dan atau sel denritik (Mc
William, 1996) Sel-sel tersebut berperan sebagai sel penyaji (antigen presenting cells, sel APC)
dan berada dimukosa (dalam dimukosa hidung), antigen/allergen yang menempel pada
permukaan mukosa ditangkap oleh sel APC, setelah melalui proses internal dalam sel APC, dari
malergen tersebut terbentuk fragmen pendek peptida imunogenik, Frakmen ini bergabung
dengan molekul HLA = kelas II @B heterodimer dalam endoplasmic reticullum sel APC.
Penggabungan yang terjadi akan membentuk komplek peptide-MHC-class II (mayor
histocompatibility comlolex class II) yang kemudian dipresentasikan dipermukaan sel APC;
kepada salah satu limfosit T yaitu Holper-T cell (klon T-CD4 +, dimana Tho), jika selanjutnya
tho ini memiliki molekul reseptor spesifik terhadap molekul komplek peptide MHC-II maka
akan terjadi penggabungan kedua molekul tersebut. Akibat selanjutnya sel APC akan melepas
sitokin Salah satunya Interkulin I (IL-I),sitokin akan mempengaruhi limfosit jenis T-CD4 +
(Tho) yang jika sinyal kostimulator (pro-inflamotori second Signal) induksinya cukup memadai,
maka akan terjadi aktivasi dan proliferasi sel Tho menjadi Th2 dan Th1; sel ini akan
memproduksi sitokin yang mempunyai spectrum luas sebagai molekulimunoregulator, antara
lain interleukin-3 (IL-3), IL-4, IL-5 dan IL-13. Sitokin IL-4 dan IL-13 akan ditangkap
resepiornya pada permukaan limfisit B istirahat (resting B sel), sehingga terjadi aktivasi limfosit
B. Limfosit B ini memproduksi imunoglobulin E (IgE), sedangkan IL-13 dapat berperan sendiri
dalam keadaan IL-4 rendah (Naclerio dkk, 1985, Geha, 1988), sehingga molekul IgE akan
melimpah dan berada di mukosa atau peredaran darah.
2. Reaksi Alergis
Molekul IgE yang beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan akan ditangkap
oleh reseptor IgE yang berada pada permukaan sel metacromatik (mastosit atau sel basofil), sel
ini menjadi aktif. Apabila dua light chain IgE berkonta dengan allergen spesifiknya maka akan
terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit/basofil dan akibainya terlepas mediator-
mediator alergis. Reaksi alergis yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan reaksi
alergi fase cepat (RAFC )yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pada paparan alergen dan
berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang RAFC mastosit juga melepaskan molekul-
molekul kemotaktik (penarik sel darah putih ke organ sasaran). Reaksi alergis fase cepat dapat
berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian
(Kaliner 1987. Lichtenstein 1988). Tanda khas RAFL adalah terlihatnya pertambahan jenis dan
jumlah sel-sel inflamasi yang berakumulasi (berkumpul) di jaringan sasaran. Sepanjang RAFL
(creticos 1998) sel eosiinofil aktif akan melepas berbagai mediator, antara lain basic protein,
leukotriens cytokines, Sedangkan basofil akan melepas histamin, leukotriens dan cytokines.
Disamping itu berbagai sel mononuclear akan melepas histamin releasing factors (HRFs) Yang
akan memacu mastosit dan basofil dan melepas histamin lebih banyak lagi. Sepanjang reaksi
alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) sel-sel inflamasi dilepaskan
sebagai prodak protein yang merupakan hasil
kenerja DNA sel-sel inflamasi tersebut yang dapat dibagi dalam tiga jenis, Gran dkk
1991;Bocher dkk; Coffman 1994 schleimer dkk 199. Durham and Till 1998 Greticos 1998; Nel
dkk 1998. Mediator-mediator mastosit / basofil dan eosinofil, histamin, prostaglandin,
Leukotrien, ECFA,(eosinofi chemotactic factorof anaphylactic) NCFA (Neutrophil chematactic
factor of anaphylactic), dan kinin. Mediator yang berasal dari sel eosinofil. PAF,LTB4,C5a
kemoaktraktan. LTC4 PAF, ECP;. Molekul-molekul sitokin inductor/stimulator/aktivalator RIA
yang terdiri atas, IL-44 dan IL-33 yang mempengaruhi limfosit B dalam memproduksi IgE. IL-3
dan IL-4 mempengaruhi basofil memproduksi histamin. LTs dan sitokin-sitokin. IL-3 dan IL-5
mempengaruhi sel eosinofil dalam memproduksi protein-protein basa LTs dan sitokin. HRFs
yang mempengaruhi mastosit dan basofil melepas histamin lebih banyak lagi. IL-4
mempengaruhi epitel, IL-13 mempengaruhii endotel dalam memproduksi VCAM (Vascular cell
adhesion molecule). Molekul-molekul activator/survival sel eosinofil, GM=CSF dan IL-3 IL-3
dan IL-5 (inerleukin-3 dan interleukin-5) Fibronektin Molekul sitokin kemoaktraktan bagi sel
eosinofil. IL-5 IL-3.GM=CSF,IL-8 Lain-lain Interaksi EOS aktif dan epitel mukosa hidung
membentuk IL-8, RNTES dan GGM=CSF. Molekul-molekul protein utama produk sel-sel
inflamasi, sel endotel dan mukosa yang berperan langsung menimbulkan alergi adalah antara
lain; histamin, leukotrien, prostak landing, kinin, platelet e activating factor (PAF), sitokin dan
kimokin. Histamin, dapat menggunakan H2 reseptor-mediated-antiinflmnatoriyactivity meliputi
inhibisi penglepasan enzin lisosomal neutrfil, inhibisi pelepasan histamin dari leukosit perifer,
dan aktivasi suppressor T-lymllocytes ( Metcalfe et al, 1981, cit White 1999). Histamin
menggunakan efeknya pada berbagai sel seperti sel oto polos, neuron, sel-sel kelenjar (endokrin
dan Eksokrin, sel-sel darah, dan sel-sel sistem imun (pearce 1991, cit White 1999), Histamin
merupakan vasodilator, konstruktor otot polos, stimulsn pennabilitas vaskuler yang kuat,
stimulan sekresi kelenjar mukosa saluran nafas dansekresi kelenjar lambung. (White 1999).
Leukotrien diproduksi oleh berbagai sel inflanlasi seperti mastosit basofil, eosinofil, neutrofil
dan monosit. Prostaglandin, berasal dari pecahan arachodonic acid membran sel yang paling
banyak diproduksi oleh mastosit paru-paru PGD2 (White 1999). Seperti kita ketahui bahwa efek
biologis dari prostaglandin adalah, memodulasi kontraksi otot polos, penurunan permeabbilitas
vaskuler, rasa gatal dan nyeri, dan agregasi serta degranulasi platelet.(trombosit). Kinin
merupakan hormon peptida yang kuat terbentuk de novo dalam cairan tubuh dan jaringan
sepanjang inflamasi. Tiga jenis-jenis kinin yang penting dalam tubuh adalah bredykinin,
kallilidin (Iysbradykinin) dan met-lys bradykinin. Pada reaksi inflamasi alergi dalam hidung
kinin sangat banyak ditemukan. Platelet activating factor (PAF) merupakan sebuah ether-linked
phospholipid. PAF diproduksi oleh mastosit, macrofag dan eosinofil.
Aktifitas biologisnya meliputi pletelet aktivasi neutrofil,dan kontraksi otot palos, PAF juga
merangsang akumulasi eosinofil ke permukaan endothelium yang merupakan langkah awal
pengerahan eosinofil kedalam jaringan. PAF memacu eosinofil untuk melepas berbagai protein
basa yang menyebabkan peningkatan kerusakan mukosa (terutama oleh MBP) dan menyebabkan
peningkatan ekspresi low-affiniti IgE reseptors pada eosinofil dan monosit. PAF banyak
dibentuk oleh sel eosinofil yang dapat menarik sel eosinofil lainya memasuki jaringan.
Sitikin (cytokine) memainkan peran yang penting sepanjang reaksi alergi fase lambat, mastosit
adalah sumber dari sitokin multifungsi ( Bradding et al 1996) cit White 1999 antara lain:
1. Aktifitas sel-sel inflasi (makrofag, selT, sel B dan eosinofil) diatur oleh IL=1, IL-4, IL-5, IL-6,
TNF- dan GM=CSF.
2. Pertumbuhan dan proliferasi sel B, dan pertumbuhan sel-T-helfer ditingkatkan oleh IL-1.
3. IL-2 memacu proliferasi limfosit T dan aktivasi Limfosit B
4. IL- menyebabkan diferensiasi limfosit B menjadi IgE sekresing plasmasel dan bersama TNF-
@ meninkatkan pengaturan ekpresi high-dan low affinity IgE reseptor pada sel-sel APC.
5. IL-5 menyebabkan aktivasi limfosit B, diferensiasi dan pemanjangan umur eosinofil.
Leukosit dan turunannya merupakan sel dan struktur dalam tubuh manusia yang didistribusikan
keseluruh tubuh dengan fungsi utamanya melindungi organismo terhadap invasi dan
pengrusakan oleh mikro organisme dan benda asing lainnya. Sel-sel limfosit ini, mempunyai
kemampuan untuk membedakan dirinya sendiri (makromolekuler organisme sendiri) dari yang
bukan diri sendiri (benda asing) dan mengatur penghancuran dan inaktivasi dari benda asing
yang mungkin merupakan molekul yang terisolasi atau bagian dari mikro organisme Semua
leukosit berasal dari sum-sum tulang. kemudian mengalami kematangan pada organ limfoid
lainnya.
KELAINAN SISTEM IMUN: ALERGI
Alergi, kadang disebut hipersensitivitas, disebabkan respon imun terhadap antigen. Antigen yang
memicu alergi disebut allergen. Reaksi alregi terbagi atas 2 jenus yaitu:reaksi alergi langsung
dan reaksi alergi tertunda. Reaksi alergi langsung disebabkan mekanisme imunitas humoral.
Reaksi ini disebabkan oleh prosuksi antibodi IgE berlebihan saat seseorang terkena antigen.
Antibodi IgE tertempel pada sel Mast,leukosit yang memiliki senyawa histamin. Sel mAst
banyak terdapat pada paru-paru sehingga saat antibodi IgE menempel pada sel Mast, Histamin
dikeluarkan dan menyebabkan bersin-bersin dan mata berair. Reaksi alergi tertunda disebabkan
oleh perantara sel. Contoh yang ekstrim adalah saat makrofag tidak dapat menelan antigen atau
menghancurkannya. Akhirnya Limfosit T segera memicu pembengkakan pada jaringan.
KELAINAN SISTEM IMUN: PENOLAKAN ORGAN TRANSPLANTASI
Sistem imun menyerang sesuatu yang dianggap asing di dalam tubuh individu normal, yang
diserang adalah organ transplantasi. Saat organ ditransplantasikan, MHC organ donor dikenali
sebagai senyawa sing dan kemudian diserang. Untuk mengatasi hal ini, ilmuwan mencari donor
transplantasi yang MHC punya banyak kesamaan dengan milik si resipien. Resipien organ
tranplantasi juga diberi obat untuk menekan sistem imun mereka dan menghindarkan penolakan
dari organ transplantasi.
Jika organ tranplantasi mengandung Limfosit T yang berbeda jenisnya dengan Limfosit T milik
donor seperti pada cangkok sumsum tulang, Limfosit T dari organ tranplantasi ini bisa saja
menyerang organ dan jaringan donor. Unutk mengatasi hal ini, ilmuwan meminimalisir reaksi
graft versus host(GVH) dengan cara menghilangkan semua Limfosit T dewasa sebelum
dilakukan tranplantasi.
KELAINAN SITEM IMUN: DEFISIENSI IMUN
Salah satu penyakit defisiensi sistem imun yaitu AIDS(Acquired Immune deficiency Syndrome)
yang disebabkan oleh HIV(Human Immunodeficiency Virus). HIV menyerang Limfosit T
pembantu karena Limfosit T pembantu mengatur jalannya kontrol sistem imun. Dengan
diserangkan Limfosit T pembantu, maka pertahanan tubuh akan menjadi lemah. Defisiensi
sistem imun dapata terjadi karena radiasi yang menyebabkan turunnya produksi limfosit.
Sindrom DiGeorge adalah kelainan sistem imun yang disebabkan karena penderita tidak punya
timus dan tidak dapat memproduksi Limfosit T dewasa. Orang dengan kelainan ini hanya bisa
mengandalkan imunitas humoralnya secara terbatas dan imunitas diperantarai selnya sangat
terbatas. Contoh ekstrim penyakit defisiensi sistem imun yang diturunkan secara genetika adalah
Severe Combined Immuno Deficiency(SCIED). Penderita SCID tidak punya Limfosit B dan T
maka ia harus diisolasi dari lingkungan luar dan hidup dengan betul-betul steril karena mereka
bisa saja mati disebabkan oleh infeksi.
KELAINAN SISTEM IMUN: PENYAKIT AUTOIMUN
Autoimunitas adalah respon imun tubuh yang berbalik menyerang organ dan jaringan sendiri.
Autoimunitas bisa terjadi pada respon imun humoral atau imunitas diperantarai sel. Sebagai
contoh, penyakit diabetes tipe 1 terjadi karena tubuh membuat antibodi yang menghancurkan
insulin sehingga tubuh penderita tidak bisa membuat gula. Pada myasthenia gravis, sistem imun
membuat antibodi yang menyerang jaringan normal seperti neuromuscular dan menyebabkan
paralisis dan lemah. Pada demam rheumatik, antibodi menyerang jantung dan bisa menyebabkan
kerusakan jantung permanen. Pada Lupus Erythematosus sistemik, biasa disebut lupus, antibodi
menyerang bebeagai jaringan yang berbeda, menyebabkan gejalan yang menyebar.
Daftar pustaka
Baratawijaya, karnen,.1996. Immunologi Dasar. Jakarta : gaya baru .
Goodman JW. The Immune Response. In: Stites DP, Terr AI eds. Basic and Clinical
Immunology, 8 ed. Connecticut: Prentice Hall Int. Inc, 1994: 40-9
http://pur07.wordpress.com/2009/07/05/fisiologi-imun-dan-mekanisme-pertahanan/
Mekanisme Pertahanan Tubuh
Posted: Januari 16, 2014 in serambi Ilmu
0
Sistem kekebalan tubuh yang sehat merupakan kekebalan yang dapat membedakan antara bagian
tubuh dari sistem itu sendiri dan benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Secara garis besar,
sistem imun menurut sel tubuh dibagi menjadi sistem imun humoral dan sistem imun seluler.
Sistem imun humoral terdiri atas antibodi dan cairan yang disekresikan organ tubuh tubuh
(saliva, air mata, serum, keringat, asam lambung, pepsin, dan lain-lain). Sedangkan sistem imun
dalam bentuk seluler berupa makrofag, limfosit, dan neutrofil yang berada di dalam sel.
Tubuh manusia mempunyai banyak sekali mekanisme pertahanan yang terdiri dari berbagai
macam sistem imun yaitu organ limfoid (thymus, lien, sumsum tulang) beserta sistem
limfatiknya. Jantung, hati, ginjal, dan paru-paru juga termasuk dalam mekanisme pertahanan
tubuh. Sistem limfatik baru akan dikatakan mengalami gangguan jika muncul tonjolan yang
membesar dibandingkan keadaan biasanya. Hal ini dikarenakan kelenjar limfe sedang
berpasangan melawan kuman yang masuk dalam tubuh. Organ limfoid seperti thymus sendiri
mempunyai tanggungjawab dalam pembentukan sel T. Kelenjar thymus sangat penting bagi bayi
yang baru lahir, karena bayi yang tidak memiliki kelenjar thymus akan mempunyai sistem imun
yang buruk.
Leukosit (sel darah putih) dihasilkan oleh thymus, lien dan sumsum tulang belakang. Leukosit
bersirkulasi di dalam tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah, sehingga sistem imun
bekerja terkoordinasi baik memonitor tubuh dari kuman maupun substansi lain yang bisa
menyebabkan permasalahan dalam tubuh. Leukosit pada umumnya memiliki dua tipe, yaitu
fagosit yang bertugas memakan organisme yang masuk ke dalam tubuh dan limfosit yang
bertugas mengingat dan mengenali yang masuk ke dalam tubuh serta membantu tubuh
menghancurkan benda asing tersebut. Sel lainnya adalah netrofil, yang bertugas melawan
bakteri. Kadar netrofil bisa dijadikan indikator adanya infeksi dari bakteri.
Limfosit terdiri dari dua tipe, yaitu limfosit B dan Limfosit T. Limfosit dihasilkan oleh sumsum
tulang belakang. Limfosit yang berada di dalam sumsum tulang belakang jika matang menjadi
limfosit sel B, atau jika meninggalkan sumsum tulang belakang menuju kelenjar thymus menjadi
limfosit T.
Limfosit B dan T mempunyai fungsi yang berbeda dimana limfosit B berfungsi untuk mencari
target dan mengirimkan tentara untuk mengunci keberadaan benda asing. Benda asing yang
telah diidentifikasi oleh sel B kemudian akan dihancurkan oleh sel T. Jika terdapat antigen
(benda asing yang masuk ke dalam tubuh) terdeteksi, maka beberapa tipe sel bekerjasama untuk
mencari tahu sel yang akan memberikan respon. Sel-sel ini memicu limfosit B untuk
memproduksi antibodi, suatu protein khusus yang mengarahkan kepada suatu antigen spesifik.
Antibodi sendiri bisa menetralisir toksin yang diproduksi dari berbagai macam organisme, dan
juga antibodi bisa mengaktivasi kelompok protein protein yang disebut komplemen yang
merupakan bagian dari sistem imun dan membantu menghancurkan bakteri, virus,
mikroorganisme patogen, ataupun sel yang terinfeksi.
Sistem Kekebalan Tubuh Pada Manusia
Mekanisme Imunitas terhadap Antigen yang Berbahaya
Beberapa mekanisme pertahanan tubuh dalam mengatasi agen yang berbahaya di lingkungannya
yaitu:
1. Pertahanan fisik dan kimiawi: kulit, sekresi asam lemak dan asam laktat melalui kelenjar keringat
dan sebasea (kelenjar berbentuk kantong kecil yang terletak di dermis), sekresi lendir,
pergerakan silia, sekresi air mata, air liur, urin, asam lambung serta lisozim dalam air mata.
2. Simbiosis dengan bakteri flora normal yang memproduksi zat yang dapat mencegah invasi
mikroorganisme seperti laktobasilus pada epitel organ.
3. Innate immunity
4. Imunitas spesifik yang didapat.
Respon Imune I nnate
Respon ini merupakan mekanisme pertahanan tubuh non-spesifik yang mencegah masuk dan
menyebarnya mikroorganisme dalam tubuh serta mencegah terjadinya kerusakan jaringan. Ada
beberapa komponen innate immunity, yaitu :
1. Pemusnahan bakteri intraselular oleh sel poli-morfonuklear (PMN) dan makrofag.
2. Aktivasi komplemen melalui jalur alternatif.
3. Degranulasi sel mast yang melepaskan mediator inflamasi.
4. Protein fase akut: C-reactive protein (CRP) yang mengikat mikroorganisme, selanjutnya terjadi
aktivasi komplemen melalui jalur klasik yang menyebabkan lisis mikroorganisme.
5. Produksi interferon alfa (IFN-) oleh leukosit dan interferon beta (IFN-) oleh fibroblast yang
mempunyai efek antivirus.
6. Pemusnahan mikroorganisme ekstraselular oleh sel natural killer (sel NK) melalui pelepasan
granula yang mengandung perforin.
7. Pelepasan mediator eosinofil seperti major basic protein (MBP) dan protein kationik yang dapat
merusak membran parasit.
Respon Imunitas Spesifik
Bila mikroorganisme dapat melewati pertahanan nonspesifik/innate immunity, maka tubuh akan
membentuk mekanisme pertahanan yang lebih kompleks dan spesifik. Mekanisme imunitas ini
memerlukan pengenalan terhadap antigen lebih dulu. Mekanisme imunitas spesifik ini terdiri dari
imunitas humoral, yaitu produksi antibodi spesifik oleh sel limfosit B (T dependent dan non T
dependent) dan mekanisme Cell mediated immunity (CMI). Sel limfosit T berperan pada
mekanisme imunitas ini melalui produksi sitokin serta jaringan interaksinya dan sel sitotoksik
matang di bawah pengaruh interleukin 2 (IL-2) dan interleukin 6 (IL-6).
Presentasi Antigen
Respons imun tubuh dipicu oleh masuknya antigen/mikroorganisme ke dalam tubuh dan
dihadapi oleh sel makrofag yang selanjutnya akan berperan sebagai antigen presenting cell
(APC). Sel itu akan menangkap sejumlah kecil antigen dan diekspresikan ke permukaan sel yang
dapat dikenali oleh sel limfosit Th atau T helper. Sel Th ini akan teraktivasi dan (selanjutnya sel
Th ini) akan mengaktivasi limfosit lain seperti sel limfosit B atau sel limfosit T sitotoksik. Sel T
sitotoksik ini kemudian berpoliferasi dan mempunyai fungsi efektor untuk mengeliminasi
antigen. Sel limfosit dan sel APC bekerja sama melalui kontak langsung atau melalui sekresi
sitokin regulator. Sel-sel ini dapat juga berinteraksi secara simultan dengan sel tipe lain atau
dengan komponen komplemen, kinin atau sistem fibrinolitik yang menghasilkan aktivasi fagosit,
pembekuan darah atau penyembuhan luka. Respon imun dapat bersifat lokal atau sistemik dan
akan berhenti bila antigen sudah berhasil dieliminasi melalui mekanisme kontrol.
Peran Major Histocompatibility Complex (MHC)
Respon imun sebagian besar antigen hanya dimulai bila antigen telah ditangkap dan diproses
serta dipresentasikan oleh sel APC. Oleh karena itu, sel T hanya mengenal imunogen yang
terikat pada protein MHC pada permukaan sel lain. terdapat 2 kelas MHC yaitu:
1. Protein MHC kelas I. Diekspresikan oleh semua tipe sel somatik dan digunakan untuk presentasi
antigen kepada sel TCD8 yang sebagian besar adalah sel sitotoksik. Hampir sebagian besar sel
mempresentasikan antigen ke sel T sitotoksik (sel Tc) serta merupakan target/sasaran dari sel Tc
tersebut. MHC kelas I digunakan ketika merepson infeksi virus.
2. Protein MHC kelas II. Diekspresikan hanya oleh makrofag dan beberapa sel lain untuk presentasi
antigen kepada sel TCD4 yang sebagian besar adalah sel T helper (Th). Aktivasi sel Th ini
diperlukan untuk respon imun yang sesungguhnya dan sel APC dengan MHC kelas II merupakan
poros penting dalam mengontrol respon imun tersebut. MHC kelas II digunakan ketika
merespon infeksi bakteri.
T Helper 1 (Th1) dan T Helper 2 (Th2)
Sel-sel T berperan sebagai penghantar imunitas yang dimediasi sel dalam respon imun adaptif
yang digunakan untuk mengontrol patogen intraseluler serta meregulasi respon sel B, termasuk
aktivasi sel imun lainnya dengan pelepasan sitokin (Uzel 2000). Terdapat dua subset utama
limfosit yang dibedakan dengan keberadaan molekul (petanda) permukaan CD4 dan CD8.
Limfosit T yang mengekspresikan CD4 juga dikenal sebagai sel T helper, penghasil sitokin
terbanyak. Subset ini dibagi lagi menjadi Th1 dan Th2, dan sitokin yang dihasilkan disebut
sebagai sitokin tipe Th1 dan sitokin tipe Th2. Sitokin tipe Th1 cenderung menghasilkan respon
proinflamatori yang bertanggung jawab terhadap killing parasit intraseluler dan mengabadikan
respon autoimun. Sitokin tipe Th1 terdiri dari interferon gamma, interleukin-2, serta limfotoksin-
yang merangsang imunitas tipe 1, ditandai aktivitas fagositik yang kuat.
Respon proinflamatori yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan jaringan yang tidak
terkontrol. Tubuh mempunyai suatu mekanisme untuk menetralkan aksi mikrobisidal
berlebih yang dimediasi Th1 ini, yaitu dengan respon Th2. Sitokin yang termasuk dalam
mekanisme Th2 ini adalah interleukin 4, 5, 9, dan 13, yang disertai IgE dan respon eosinofilik
dalam atopi, dan juga interleukin-10, dengan respon yang lebih bersifat anti-inflamatori.
Imunitas tipe 2 yang distimulasi Th2 ditandai dengan kadar antibodi tinggi (Berger 2000). Bagi
kebanyakan infeksi, imunitas tipe 1 bersifat protektif, sedang respon tipe 2 membantu resolusi
inflamasi yang dimediasi sel. Stres sistemik yang berat, imunosupresi, atau inokulasi mikrobial
yang berlebihan (overwhelming) mengakibatkan sistem imun meningkatkan respon tipe 2
terhadap infeksi yang seharusnya dikendalikan oleh imunitas tipe 1 (Spellberg 2001).
Kemungkinan prekursor sel-T penolong akan menjadi sel tipe 1 atau tipe 2 tergantung pada
beberapa faktor, yaitu dilihat dari sudut pandang patogen seperti sifat dan kuantitas patogen,
route infeksi, pengaruh komponen imunomodulator dan infeksi bersamaan, serta faktor pejamu
termasuk predisposisi genetik, jumlah sel-T yang merespon, kompleks histokompatiliti mayor
haplotype individu, sifat sel yang mempresentasikan antigen, serta lingkungan sitokin sel-T
selama dan pasca aktivasi (Nahid 1999).
Mekanisme Respon Tubuh terhadap Serangan Mikroba
Respons tubuh terhadap serangan mikroba dapat terjadi dalam beberapa jenjang tahapan.
Tahapan pertama bersifat nonspesifik atau innate, yaitu berupa respons inflamasi. Tahapan
kedua bersifat spesifik dan adaptif, yang diinduksi oleh komponen antigenik mikroba. Tahapan
terakhir adalah respon peningkatan dan koordinasi sinergistik antara sel spesifik dan nonspesifik
yang diatur oleh berbagai produk komponen respon inflamasi, seperti mediator kimia. Sistem
kekebalan adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari
makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit.
Sistem kekebalan dalam tubuh juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan
molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel yang teraberasi menjadi
tumor.
Kemampuan sistem kekebalan untuk membedakan komponen sel tubuh dari komponen patogen
asing akan menopang amanat yang diembannya guna merespon infeksi patogen, baik yang
berkembang biak di dalam sel tubuh (intraseluler) seperti misalnya virus, maupun yang
berkembang biak di luar sel tubuh (ekstraseluler) sebelum berkembang menjadi penyakit.
Meskipun demikian, sistem kekebalan mempunyai sisi yang kurang menguntungkan. Pada
proses peradangan, penderita dapat merasa tidak nyaman oleh karena efek samping yang dapat
ditimbulkan sifat toksik senyawa organik yang dikeluarkan sepanjang proses perlawanan
berlangsung. Pertahanan awal terhadap organisme asing adalah jaringan terluar dari tubuh yaitu
kulit, yang memiliki banyak sel termasuk makrofag dan neutrofil yang siap memfagosit
organisme lain pada saat terjadi penetrasi pada permukaan kulit, dengan tidak dilengkapi oleh
antibodi. Pertahanan yang kedua adalah kekebalan tiruan.
Walaupun sistem pada kedua pertahanan mempunyai fungsi yang sama, terdapat beberapa
perbedaan yang nyata, antara lain :
sistem kekebalan tiruan tidak dapat terpicu secepat sistem kekebalan turunan
o sistem kekebalan tiruan hanya merespon imunogen tertentu, sedangkan sistem yang
lain merespon nyaris seluruh antigen.
o sistem kekebalan tiruan menunjukkan kemampuan untuk mengingat imunogen
penyebab infeksi dan reaksi yang lebih cepat saat terpapar lagi dengan infeksi yang
sama. Sistem kekebalan turunan tidak menunjukkan kemampuan immunological
memory.
Imunologi Toleransi Terhadap Antigen bakteri
Toleransi adalah properti dari host dimana ada pengurangan imunologis spesifik dalam respon
imun terhadap antigen tertentu. Toleransi ke Antigen bakteri tidak melibatkan kegagalan umum
dalam respon imun tetapi kekurangan tertentu dalam kaitannya dengan antigen dari bakteri
tertentu. Jika ada respon kekebalan yang tertekan terhadap antigen yang relevan dari parasit,
proses infeksi difasilitasi. Toleransi dapat melibatkan baik AMI (Antibody-Mediated Immunity)
atau CMI (Cell Mediated Immunity) atau kedua lengan dari respon imunologi. Toleransi terhadap
suatu Antigen dapat timbul dalam berbagai cara, tetapi tiga yang mungkin relevan dengan infeksi
bakteri.
1. Paparan Antigen Janin terpapar Antigen. Jika janin terinfeksi pada tahap tertentu dari
perkembangan imunologi, mikroba Antigen dapat dilihat sebagai diri, dengan demikian
menyebabkan toleransi (kegagalan untuk menjalani respon imunologi) ke Antigen yang dapat
bertahan bahkan setelah kelahiran.
2. High persistent doses of circulating Antigen. Toleransi terhadap bakteri atau salah satu
produknya mungkin timbul ketika sejumlah besar antigen bakteri yang beredar dalam darah
menyebabkan sistem kekebalan menjadi kewalahan.
3. Molecular mimicry. Jika Antigen bakteri sangat mirip dengan antigen host normal, respon
kebal terhadap Antigen ini mungkin lemah memberikan tingkat toleransi. Kemiripan antara
Antigen bakteri dan host Antigen disebut sebagai mimikri molekuler. Dalam hal ini determinan
antigenik dari bakteri sangat erat terkait kimiawi untuk host komponen jaringan yang sel-sel
imunologi tidak dapat membedakan antara dua dan respon imunologi tidak dapat
ditingkatkan. Beberapa kapsul bakteri tersusun dari polisakarida (hyaluronic acid, asam sialic)
sehingga mirip dengan host polisakarida jaringan yang tidak imunogenik.
Antibodi yang diserap oleh Antigen bakteri Larut
Beberapa bakteri dapat membebaskan komponen antigen permukaan dalam bentuk yang larut ke
dalam cairan jaringan. Antigen ini larut dan dapat menggabungkan dengan menetralisir
antibodi sebelum mereka mencapai sel-sel bakteri. Misalnya, sejumlah kecil endotoksin (LPS)
dapat dilepaskan ke cairan sekitarnya oleh bakteri Gram-negatif. Otolisis bakteri Gram-negatif
atau Gram-positif dapat melepaskan komponen antigen permukaan dalam bentuk yang larut.
Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis diketahui melepaskan polisakarida
kapsuler selama pertumbuhan dalam jaringan. Bakteri ini ditemukan dalam serum pasien dengan
pneumonia pneumokokus dan dalam cairan serebrospinal pasien dengan meningitis. Komponen-
komponen sel bakteri yang larut dalam dinding adalah antigen yang kuat dan melengkapi
aktivator sehingga mereka berkontribusi dengan cara utama untuk patologi yang diamati pada
penderita meningitis dan pneumonia.
Secara umum tahapan sistem kekebalan tubuh terhadap mikroba adalah sebagai berikut:
Tahap pertama
Respons inflamasi tubuh merupakan salah satu sel tubuh yang timbul sebagai akibat invasi
mikroba pada jaringan. Respons ini terdiri dari aktivitas sel-sel inflamasi, antara lain sel leukosit
(polimorfonuklear, limfosit, monosit), sel makrofag, sel mast, sel natural killer, serta suatu
sistem mediator kimia yang kompleks baik yang dihasilkan oleh sel (sitokin) maupun yang
terdapat dalam plasma. Sel fagosit, mononuklear maupun polimorfonuklear berfungsi pada
proses awal untuk membunuh mikroba, dan mediator kimia dapat meningkatkan fungsi ini.
Mediator kimia akan berinteraksi satu dengan lainnya, juga dengan sel radang seperti komponen
sistem imun serta fagosit, baik mononuklear maupun polimorfonuklear untuk memfagosit dan
melisis mikroba. Mediator tersebut antara lain adalah histamin, kinin/bradikinin, komplemen,
prostaglandin, leukotrien dan limfokin. Respons inflamasi ini bertujuan untuk mengeliminasi dan
menghambat penyebaran mikroba.
Histamin yang dilepaskan sel mast akibat stimulasi anafilatoksin akan menyebabkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular untuk memfasilitasi peningkatan aliran
darah dan keluarnya sel radang intravaskular ke jaringan tempat mikroba berada.
Kinin/bradikinin adalah peptida yang diproduksi sebagai hasil kerja enzim protease kalikrein
pada kininogen. Mediator ini juga menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah. Faktor Hageman yang diaktifkan oleh karena adanya kerusakan pembuluh
darah serta endotoksin bakteri gram negatif, juga sel dalam menginduksi mediator kimia lainnya.
Produk aktivasi komplemen yang pada mulanya melalui jalur alternatif dapat meningkatkan
aliran darah, permeabilitas pembuluh darah, keinotaksis dan fagositosis, serta hasil akhir aktivasi
komplemen adalah lisis mikroba. Prostaglandin, leukotrien dan fosfolipid lainnya yaitu mediator
yang merupakan hasil metabolit asam arakidonat dapat menstimulasi motilitas leukosit yang
dibutuhkan untuk memfagosit mikroba dan merangsang agregasi trombosit untuk memperbaiki
kerusakan pembuluh darah yang ada. Prostaglandin juga dapat bekerja sebagai pirogen melalui
pusat termoregulator di hipotalamus. Dikatakan bahwa panas juga merupakan mekanisme sel
tubuh, tetapi sukar dibuktikan. Mikroba tertentu memang tidak dapat hidup pada suhu panas
tetapi suhu tubuh yang tinggi akan memberikan dampak yang buruk pada pejamu.
Protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP), protein yang mengikat lipopolisakarida,
protein amiloid A, transferin dan 1-antitripsin akan dilepaskan oleh hati sebagai respons
terhadap inflamasi. Peranannya dapat sebagai stimulator atau inhibisi. Protein 1-antitripsin
misalnya akan menghambat protease yang merangsang produksi kinin. Transferin yang
mempunyai daya ikat terhadap besi, akan menghambat proliferasi dan pertumbuhan mikroba.
Protein yang mengikat lipopolisakarida akan menginaktifkan endotoksin bakteri Gram negatif.
Limfokin, yaitu sitokin yang dihasilkan limfosit, merupakan mediator yang kuat dalam respons
inflamasi. Limfokin ini dan sebagian diantaranya juga disekresi oleh makrofag akan
meningkatkan permeabilitas vaskular dan koagulasi, merangsang produksi prostaglandin dan
faktor kemotaksis, merangsang diferensiasi sel induk hematopoietik dan meningkatkan
pertumbuhan serta diferensiasi sel hematopoietik, serta mengaktivasi neutrofil dan sel endotel.
Sel radang yang ada akan memfagosit mikroba, sedangkan monosit dan makrofag juga akan
memfagosit debris pejamu dan patogen yang tinggal sebagai hasil penyerangan enzim neutrofil
dan enzim lainnya. Fungsi makrofag akan ditingkatkan oleh faktor aktivasi makrofag seperti
komponen C3b, interferon dan faktor aktivasi makrofag yang disekresi limfosit.
Tahapan kedua
Jika mikroba berhasil melampaui mekanisme sel nonspesifik, terjadi tahapan kedua berupa
pertahanan spesifik yang dirangsang oleh antigen mikroba itu sendiri, atau oleh antigen yang
dipresentasikan makrofag. Tahapan ini terdiri atas imunitas humoral dan imunitas selular.
Imunitas humoral yang diperankan oleh antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai hasil
aktivasi antigen mikroba terhadap limfosit B, akan menetralkan toksin yang dilepaskan mikroba
sehingga tidak menjadi toksik lagi. Antibodi juga akan menetralkan mikroba sehingga tidak
infeksius lagi. Antibodi juga bersifat sebagai opsonin, sehingga memudahkan proses fagositosis
mikroba. Antibodi juga berperan dalam proses ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity)
baik oleh sel Tc maupun sel NK sehingga terjadi lisis sel yang telah dihuni mikroba. Antibodi
juga dapat mengaktifkan komplemen untuk melisis mikroba. Imunitas selular yang diperankan
oleh limfosit T melalui limfokin yang dilepas sel T akan meningkatkan produksi antibodi oleh
sel plasma, fungsi sel fagosit untuk memfagosit mikroba; dan sel NK untuk melisis sel yang
dihuni virus (lihat Bab 3). Limfokin juga meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel prekursor
Tc serta fungsi sel Tc untuk melisis sel yang dihuni mikroba. Inteleukin (IL)- 2, IL-12 dan IFN-
meningkatkan imunitas selular. Imunitas selular adalah mekanisme utama tubuh untuk terminasi
infeksi mikroba intraselular seperti infeksi virus, parasit dan bakteri intraselular.
Tahapan Akhir
Tahapan terakhir ini terdiri atas peningkatan respons imun baik melalui aktivasi komplemen
jalur klasik maupun peningkatan kemotaksis, opsonisasi dan fagositosis. Sel makrofag dan
limfosit T terus memproduksi faktor yang selanjutnya akan meningkatkan lagi respons inflamasi
melalui ekspresi molekul adesi pada endotel serta merangsang kemotaksis, pemrosesan antigen,
pemusnahan intraselular, fagositosis dan lisis, sehingga infeksi dapat teratasi.
Respons imun yang terkoordinasi yang melibatkan sel T, antibodi, sel makrofag, sel PMN,
komplemen dan pertahanan nonspesifik lainnya akan terjadi pada kebanyakan penyakit infeksi.
Mekanisme Respon Tubuh terhadap Serangan Virus
Virus berbeda dengan agen penyebab infeksi lainnya dalam hal struktur dan biologi, khususnya
reproduksi. Walaupun virus membawa informasi genetik didalam DNA atau RNA, tetapi ada
kekurangan sistem sintesis yang diperlukan untuk memproses informasi ini kedalam materi virus
baru. Replikasi baru terjadi setelah virus menginfeksi sel inang yang kemudian mengendalikan
sel inang untuk melakukan transkripsi dan/atau translasi informasi genetik demi kelangsungan
hidup virus. Virus dapat menginfeksi setiap bentuk kehidupan sehingga sering menyebabkan
penyakit yang diantaranya berakibat cukup serius. Beberapa virus dapat memasukkan informasi
genetiknya kedalam genom manusia kemudian menyebabkan kanker. Permukaan luar partikel
virus adalah bagian yang pertamakali mengadakan kontak dengan membran dari sel inang. Hal
yang penting untuk diketahui untuk dapat mengerti bagaimana proses virus dapat menginfeksi
sel inang adalah dengan mempelajari struktur dan fungsi dari permukaan luar partikel virus.
Secara umum, virus yang tidak beramplop (virus yang telanjang) resisten hidup dialam bebas,
bahkan mereka tahan terhadap asam empedu saat menginfeksi saluran cerna. Virus yang
beramplop lebih rentan terhadap dipengaruhi oleh lingkungan seperti kekeringan, asiditas cairan
lambung dan empedu. Perbedaan dalam hal kerentanan ini yang mempengaruhi cara
penularan virus.
Infeksi virus terhadap sel inang melewati beberapa tahap, yaitu virus menyerang sel inang, lalu
melakukan penetrasi yang merupakan proses pemasukan materi genetik virus kedalam sel inang
dan selanjutnya tahap uncoating yang ditunjukan pada gambar 1.

Siklus hidup yang dialami virus saat menginfeksi sel inang, yaitu sekali virus berada didalam
sitoplasma sel inang maka dia tidak infeksius lagi. Setelah terjadi fusi antara virus dan
membramn sel inang, atau difagosit dalam bentuk fagosom, maka partikel virus dibawa ke
sitoplasma melalui plasma membran. Pada tahap ini amplop dan/atau kapsid akan terkuak
nukleus virus akan terurai. Sekarang virus tidak infeksius lagi dan ini disebut eclipse phase.
Keadaan ini menetap sampai terbentuk partikel virus baru melalui replikasi. Asam nukleat
sendiri yang menentukan bagaimana cara replikasi berlangsung. Pertama-tama virus harus
membentuk messenger RNA (mRNA). Virus hanya mempunyai salah satu asam nukleat yaitu
RNA atau DNA dan tidak pernah kedua-duanya. Asam nukleat tampil sebagai single atau double
strandad dalam bentuk linier (DNA dan RNA) atau sirkuler (DNA). Genom dari virus terdapat
dalam satu atau beberapa molekul dari asam nukleat. Dengan diversitas ini maka tidak heran bila
proses replikasi dari tiap virus berbeda. Pada virus DNA, mRNA dapat dibentuk sendiri oleh
virus dengan cara menggunakan RNA polimerase dari sel inang, kemudian langsung
mentranskrip kode genetik yang berada pada DNA virus. Sedangkan virus RNA tidak dapat
dengan cara ini, karena tidak ada polymerase dari sel inang yang sesuai. Oleh karena itu untuk
melakukan transkripsi maka virus harus menyediakan sendiri polimerasenya yang dapat
diperoleh dari nukleokapsid atau disintesa setelah infeksi.
Virus RNA memproduksi mRNA dengan beberapa cara yang berbeda. Pada virus dsRNA, satu
strand yang pertama ditranskrip oleh polimerase virus menjadi mRNA. Pada ssRNA terdapat
tiga rute yang jelas berbeda dalam pembentukan mRNA yaitu:
1. Bila single strand mempunyai konfigurasi positive sense (misalnya mempunyai sekuen basa yang
sama seperti yang dibutuhkan pada saat translasi), maka konfigurasi ini dapat langsung
dipergunakan sebagai mRNA.
2. Bila mempunyai konfigurasi negative sense, maka pertama-tama harus diterjemahkan
(transcribe) dengan memgunakan polimerase dari virus kedalam positive sense strand yang
kemudian bertindak sebagai mRNA.
3. Retrovirus mempunyai pola yang berbeda. Pertama-tama positive sense ssRNA oleh reverse
transcriptase (enzim dari virus, terdapat dalam nukleokapsid) diubah menjadi negative sense
ssDNA. Setelah terbentuk dsDNA kemudian akan memasuki nukleus dan kemudian berintegrasi
dengan genom sel inang dan selanjutnya sel inang membentuk mRNA virus.
Tahapan selanjutnya yaitu, mRNA virus kemudian ditranslasi kedalam sitoplasma sel inang
untuk menghasilkan protein yang dibutuhkan virus. Sekali mRNA virus terbentuk maka akan
ditanslasi dengan memanfaatkan ribosom dari sel inang untuk mensintesa protein yang
dibutuhkan virus dan ditunjukkan pada Gambar 3. RNA virus biasanya monocistronic
(mempunyai single coding region) dapat mengubah mRNA dari ribosom sel inang untuk
menghasilkan protein yang lebih disukai. Pada fase awal diproduksi protein yang diperlukan
untuk replikasi asam nukleat virus seperti enzim dan molekul regulator. Pada fase selanjutnya
diproduksi protein yang penting unutk pembentukan kapsid. Virus dengan genom single nucleic
acid molecule mentranslasi poli protein yang multifungsi, kemudian akan dipecah secara
enzimatik. Sedangkan virus yang genomnya tersebar didalam beberapa molekul, maka akan
terbentuk beberapa macam mRNA yang masing-masing akan membuat protein. Setelah translasi
protein dapat diglikosilasi kembali dengan menggunakan enzim sel inang.
Virus juga harus mereplikasi asam nukleatnya untuk pembentukan kapsid baru berarti
memerlukan produksi molekul tambahan. Oleh karena itu virus harus mereplikasi asam nukleat
sehingga dapat menyediakan materi genetik yang kemudian akan dibungkus oleh kapsid tersebut.
Pada virus positive sense ssRNA seperti poliovirus, polimerase yang ditranslasi dari
template mRNA virus menghasilkan negative sense RNA yang selanjutnya ditranskripsi lebih
banyak positif ssRNA. Siklus transkripsi ini terus berlangsung menghasilkan strand positif dalam
jumlah yang besar, yang kemudian dikemas dengan menggunakan protein yang telah dibentuk
sebelumnya dari mRNA untuk membentuk partikel virus yang baru. Untuk virus negative sense
ssRNA (misalnya virus rabies) transkripsi oleh polimerase virus akan menghasilkan positive
sense ssRNA yang kemudian akan meghasilkan negative sense mRNA yang baru.
Replikasi ini terjadi dalam sitoplasma sel inang, sedangkan pada virus lainnya seperti campak
dan influensa replikasi terjadi di inti sel sehingga sejumlah besar negative sense RNA akan
ditranskripsi membentuk partikel baru. Replikasi pada inti sel inang juga terjadi pada virus
dsRNA seperti rotavirus yang kemudian akan memproduksi positive sense RNA seperti diatas.
Yang kemudian akan bertindak sebagai template pada partikel subviral untuk memsintesa
negative sense RNA yang baru guna memperbaiki kondisi double stranded. Replikasi virus
DNA terjadi di inti sel inang kecuali poxvirus yang terjadi di sitoplasma Virus DNA membentuk
kompleks dengan histon dari sel inang untuk menghasilkan struktur yang stabil. Pada virus
herpes, mRNA ditranslasi dalam sitoplasma menghasilkan polymerase DNA yang penting untuk
sintesa DNA yang baru. Adenovirus menggunakan baik enzim dari sel inang maupun virus
untuk kepentingan ini. Sedangkan retrovirus mensintesa RNA virus baru di inti sel inang.
Polimerase RNA sel inang ditranskrip dari DNA virus yang sudah berintegrasi dengan genom sel
inang. Virus hepatitis B (suatu virus dsDNA) secara unik menggunakan ssRNA (sebagai
perantara) yang kemudian ditranskrip untuk menghasilkan DNA baru. Retrovirus dan virus
hepatitis B merupakan virus-virus yang mempunyai aktifitas reverse transkriptase.

Stadium akhir dari replikasi adalah penyusunan dan pelepasan parikel virus baru. Penyusunan
virus baru melibatkan gabungan dari asam nukleat yang telah direplikasi dengan kapsomer yang
baru disintesa untuk kemudian membentuk nukleokapsid baru. Aktifitas ini terjadi di sitoplasma
atau di inti sel inang. Amplop dari virus melalui beberapa tahapan sebelum dilepaskan. Protein
amplop dan glikoprotein yang ditranslasi dari mRNA virus didisipkan pada membran sel inang
(biasanya membrana plasma). Nukleokapsid yang muda ini bergabung dengan membran secara
spesifik melalui glikoprotein dan menbentuk tonjolan. Virus baru memerlukan membran dari sel
inang ditambah dengan molekul dari virus untuk membentuk amplop. Enzim dari virus seperti
muraminidase pada virus influensa ikut berperan dalam proses ini. Enzim dari sel inang (seperti
protease seluler) dapat memecah protein amplop yang besar, suatu proses yang diperlukan
dimana virus muda sangat infeksius. Pada virus herpes terjadi proses yang sama. Pelepasan virus
yang sudah beramplop tidak harus disertai dengan kematian sel, jadi sel inang yang sudah
terinfeksi dapat terus menghasilkan protein virus dalam waktu yang lama. Insersi molekul virus
kedalam membran sel inang membuat sel inang berbeda secara antigenik. Respon imun ekspresi
antigen ini yang menjadi dasar perkembangan terapi anti virus.
Pada respon innate terhadap patogen intraseluler, seperti virus, sasaran utama adalah sel-sel yang
sudah terinfeksi. Sel terinfeksi virus tertentu dikenali oleh limfosit non-spesifik, disebut
sel natural killer (NK). Sesuai dengan namanya, sel NK mengakibatkan kematian sel yang
terinfeksi dengan menginduksi sel terinfeksi menuju apoptosis. Sel NK juga membunuh sel
kanker tertentu (in vitro) dan melengkapi dengan mekanisme menghancurkan sel sebelum sel
berkembang menjadi tumor. Sel normal (tidak terinfeksi dan tidak ganas) mengandung molekul
permukaan yang melindungi terhadap serangan sel NK. Respon antivirus lain dimulai dalam sel
yang terinfeksi sendiri. Sel terinfeksi virus ini memproduksi interferon- (IFN-) yang disekresi
ke dalam ruang ekstraseluler, dimana akan terikat pada permukaan sel yang tidak terinfeksi
sehingga kebal terhadap infeksi berikutnya. Cara kerja interferon ini adalah dengan cara
mengaktivasi suatu sinyal transduction pathway dengan akibat phosphorilasi yang diikuti
translasi faktor elF2. Sel yang mengalami respons ini tidak dapat mensintesa protein virus yang
diperlukan untuk replikasi virus.
Respon imun terhadap serangan virus melibatkan interferon. Interferon merupakan sitokin yang
mengatur aktivitas semua komponen sistem imun, merupakan bagian dari sistem imun non-
spesifik yang timbul pada tahap awal infeksi virus sebelum timbulnya reaksi
dari sistem imun spesifik. Interferon gamma (IFN-
) dihasilkan oleh sel T yang telah teraktivasi dan sel NK, sebagai
reaksi terhadap antigen (termasuk antigen virus dalam derajat rendah) atau
sebagai akibat stimulasi limfosit oleh mitogen. IFN- meningkatkan ekspresi
molekul MHC-II pada Antigen Presenting Cell (APC) yang kemudian akan
meningkatkan presentasi antigen pada sel T helper. IFN- juga dapat mengaktifkan
kemampuan makrofag untuk melawan infeksi virus (aktivitas virus intrinsik)
dan membunuh sel lain yang telah terinfeksi (aktivitas virus ekstrinsik) (Ianaro 2000).
Mekanisme Respon Tubuh terhadap Serangan Bakteri
Bakteri adalah kelompok organisme yang tidak memiliki membran inti. Beberapa kelompok
bakteri dikenal sebagai agen penyebab infeksi dan penyakit. Bakteri dapat ditemukan di hampir
semua tempat seperti di tanah, air, udara, dalam simbiosis dengan organisme lain maupun
sebagai agen parasit (patogen), bahkan dalam tubuh manusia. Respon imun terhadap sebagian
besar antigen seperti bakteri ini hanya dimulai bila antigen telah ditangkap dan diproses serta
dipresentasikan oleh sel APC (Antigen Presenting Cell).
Keberhasilan bakteri masuk ke dalam sitoplasma sel bergantung pada kemampuannya untuk
menghindar dari respon imun. Infeksi bakteri akan berbeda sesuai dengan sistem kerja dari
bakteri tersebut. Dimana dalam hal ini dipaparkan infeksi bakteri ekstraseluler dan interaseluler
beserta mekanisme pertahanan tubuh manusia (Munasir 2001).
Infeksi bakteri berbeda dengan infeksi virus. Respons imun terhadap bakteri ada dua yaitu,
ekstraselular dan intraselular.
1. 1. Respons imun terhadap bakteri ekstraselular
Bakteri ekstraselular dapat menimbulkan penyakit melalui beberapa mekanisme yaitu:
1. Merangsang reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi jaringan di tempat infeksi. Sebagai
contoh misalnya kokus piogenik yang sering menimbulkan infeksi supuratif yang hebat.
2. Produksi toksin yang menghasilkan berbagai efek patologik. Toksin dapat berupa endotoksin dan
eksotoksin. Endotoksin yang merupakan komponen dinding bakteri adalah suatu
lipopolisakarida yang merupakan stimulator produksi sitokin yang kuat, suatu ajuvan serta
aktifator poliklonal sel limfosit B. Sebagian besar eksotoksin mempunyai efek sitotoksik dengan
mekanisme yang belum jelas benar. Sebagai contoh toksin difteri menghambat sintesis protein
secara enzimatik serta menghambat faktor elongasi-2 yang diperlukan untuk sintesis semua
peptida. Toksin kolera merangsang sintesis AMP siklik (cAMP) oleh sel epitel usus yang
menyebabkan sekresi aktif klorida, kehilangan cairan serta diare yang hebat. Toksin tetanus
merupakan suatu neurotoksin yang terikat motor endplate pada neuromuscular junction yang
menyebabkan kontraksi otot persisten yang sangat fatal bila mengenai otot pernapasan. Toksin
Clostridium dapat menyebabkan nekrosis jaringan yang dapat menghasilkan gas gangren.
Respon imun terhadap bakteri ekstraselular ditujukan untuk eliminasi bakteri serta netralisasi
efek toksin Imunitas Alamiah terhadap
Bakteri Ekstraselular
Respon imun alamiah terhadap bakteri ekstraselular terutama melalui mekanisme
fagositosis oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan. Resistensi bakteri terhadap
fagositosis dan penghancuran dalam makrofag menunjukkan virulensi bakteri. Aktivasi
komplemen tanpa adanya antibodi juga memegang peranan penting dalam eliminasi
bakteri ekstraselular. Lipopolisakarida (LPS) dalam dinding bakteri gram negatif dapat
mengaktivasi komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibodi. Salah satu hasil aktivasi
komplemen ini yaitu C3b mempunyai efek opsonisasi bakteri serta meningkatkan
fagositosis. Selain itu terjadi lisis bakteri melalui membrane attack complex (MAC) serta
beberapa hasil sampingan aktivasi komplemen dapat menimbulkan respon inflamasi
melalui pengumpulan serta aktivasi leukosit. Endotoksin yang merupakan LPS
merangsang produksi sitokin oleh makrofag serta sel lain seperti endotel vaskular.
Beberapa jenis sitokin tersebut antara lain tumour necrosis factor (TNF), IL-1, IL-6 serta
beberapa sitokin inflamasi dengan berat molekul rendah yang termasuk golongan IL-8.
Fungsi fisiologis yang utama dari sitokin yang dihasilkan oleh makrofag adalah
merangsang inflamasi non-spesifik serta meningkatkan aktivasi limfosit spesifik oleh
antigen bakteri. Sitokin akan menginduksi adhesi neutrofil dan monosit pada endotel
vaskular pada tempat infeksi yang diikuti migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel
inflamasi.
Kerusakan jaringan yang terjadi adalah akibat efek samping mekanisme pertahanan untuk
eliminasi bakteri tersebut. Sitokin juga merangsang demam dan sintesis protein fase akut.
Banyak fungsi sitokin yang sama yaitu sebagai co-stimulator sel limfosit T dan B yang
menghasilkan mekanisme amplifikasi untuk imunitas spesifik. Sitokin dalam jumlah
besar atau produknya yang tidak terkontrol dapat membahayakan tubuh serta berperan
dalam menifestasi klinik infeksi bakteri ekstraselular. Yang paling berat adalah gejala
klinis oleh infeksi bakteri gram negatif yang menyebabkan disseminated intravascular
coagulation (DIC) yang progresif serta shock septik atau shock endotoksin. Sitokin TNF
adalah mediator yang paling berperan pada shock endotoksin ini.


I munitas Spesifik terhadap Bakteri Ekstraselular
Kekebalan humoral mempunyai peran penting dalam respon kekebalan spesifik terhadap
bakteri ekstraselular. Lipopolisakarida merupakan komponen yang paling imunogenik
dari dinding sel atau kapsul mikroorganisme serta merupakan antigen yang thymus
independent. Antigen ini dapat langsung merangsang sel limfosit B yang menghasilkan
imunoglobin (Ig)M spesifik yang kuat. Selain itu produksi IgG juga dirangsang yang
mungkin melalui mekanisme perangsangan isotype switching rantai berat oleh sitokin.
Respon sel limfosit T yang utama terhadap bakteri ekstraselular melalui sel TCD4 yang
berhubungan dengan molekul MHC kelas II yang mekanismenya telah dijelaskan
sebelumnya. Sel TCD4 berfungsi sebagai sel penolong untuk merangsang pembentukan
antibodi, aktivasi fungsi fagosit dan mikrobisid makrofag. Ada 3 mekanisme efektor yang
dirangsang oleh IgG dan IgM serta antigen permukaan bakteri, yaitu:
1. Opsonisasi bakteri oleh IgG serta peningkatan fagositosis dengan mengikat reseptor Fc
pada monosit, makrofag dan neutrofil. Antibodi IgG dan IgM mengaktivasi komplemen
jalur klasik yang menghasilkan C3b dan iC3b yang mengikat reseptor komplemen
spesifik tipe 1 dan tipe 3 dan selanjutnya terjadi peningkatan fagositosis. Pasien
defisiensi C3 sangat rentan terhadap infeksi piogenik yang hebat.
2. Netralisasi toksin bakteri oleh IgM dan IgG untuk mencegah penempelan terhadap sel
target serta meningkatkan fagositosis untuk eliminasi toksin tersebut.
3. Aktivasi komplemen oleh IgM dan IgG untuk menghasilkan mikrobisid MAC serta
pelepasan mediator inflamasi akut.
1. 1. Respons Imun terhadap Bakteri Intraselular
Sejumlah bakteri dan semua virus serta jamur dapat lolos dan mengadakan replikasi di
dalam sel pejamu. Yang paling patogen di antaranya adalah yang resisten terhadap
degradasi dalam makrofag.
I munitas Alamiah terhadap Bakteri I ntraselular
Mekanisme terpenting imunitas alamiah terhadap mikroorganisme intraselular adalah
fagositosis. Akan tetapi bakteri patogen intraselular relatif resisten terhadap degradasi
dalam sel fagosit mononuklear. Oleh karena itu mekanisme kekebalan alamiah ini tidak
efektif dalam mencegah penyebaran infeksi sehingga sering menjadi kronik dan
eksaserbasi yang sulit diberantas.
I munitas Spesifik terhadap Bakteri I ntraselular
Respon imun spesifik terhadap bakteri intraselular terutama diperankan oleh cell
mediated immunity (CMI). Mekanisme imunitas ini diperankan oleh sel limfosit T tetapi
fungsi efektornya untuk eliminasi bakteri diperani oleh makrofag yang diaktivasi oleh
sitokin yang diproduksi oleh sel T terutama interferon- (IFN-). Respon imun ini analog
dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Antigen protein intraselular merupakan
stimulus kuat sel limfosit T. Beberapa dinding sel bakteri mengaktivasi makrofag secara
langsung sehingga mempunyai fungsi sebagai ajuvan. Misalnya muramil dipeptida pada
dinding sel mikrobakteria. Telah disebutkan sebelumnya bahwa fungsi sel limfosit T pada
CMI adalah produksi sitokin terutama IFN-. Sitokin IFN- ini akan mengaktivasi
makrofag termasuk makrofag yang terinfeksi untuk membunuh bakteri. Beberapa bakteri
ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi antigen yang kronik. Keadaan ini akan
menimbulkan pengumpulan lokal makrofag yang teraktivasi yang membentuk granuloma
sekeliling mikroorganisme untuk mencegah penyebarannya.
Reaksi inflamasi seperti ini berhubungan dengan nekrosis jaringan serta fibrosis yang
luas yang menyebabkan gangguan fungsi yang berat. Jadi kerusakan jaringan ini
disebabkan terutama oleh respon imun terhadap infeksi oleh beberapa bakteri intraselular.
Contoh yang jelas dalam hal ini adalah infeksi mikobakterium. Mikobakterium tidak
memproduksi toksin atau enzim yang secara langsung merusak jaringan yang terinfeksi.
Paparan pertama terhadap Mycobacterium tuberculosis akan merangsang inflamasi
selular lokal dan bakteri mengadakan proliferasi dalam sel fagosit. Sebagian ada yang
mati dan sebagian ada yang tinggal dormant. Pada saat yang sama, pada individu yang
terinfeksi terbentuk imunitas sel T yang spesifik. Setelah terbentuk imunitas, reaksi
granulomatosa dapat terjadi pada lokasi bakteri persisten atau pada paparan bakteri
berikutnya. Jadi imunitas perlindungan dan reaksi hipersensitif yang menyebabkan
kerusakan jaringan adalah manifestasi dalam respon imun spesifik yang sama.
Netralisasi toksin
Infeksi bakteri Gram negatif dapat menyebabkan pengeluaran endotoksin yang akan
menstimulasi makrofag. Stimulasi yang berlebihan terhadap makrofag akan
menghasilkan sejumlah sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF. Proses ini akan memacu
terjadinya reaksi peradangan yang menyebabkan kerusakan sel, hipotensi, aktivasi sistem
koagulasi, gagal organ multipel dan berakhir dengan kematian. Antibodi yang
mengandung reseptor sitokin dan antagonisnya, berperan dalam menghilangkan sejumlah
sitokin dalam sirkulasi dan mencegah sitokin berikatan pada sel target.
Antibodi yang beredar dalam sirkulasi akan menetralisasi molekul antifagositik dan
eksotoksin lainnya yang diproduksi bakteri. Mekanisme netralisasi antibodi terhadap
bakteri terjadi melalui dua cara. Pertama, melalui kombinasi antibodi di dekat lokasi
biologi aktif infeksi yaitu secara langsung menghambat reaksi toksin dengan sel target.
Kedua, melalui kombinasi antibodi yang terletak jauh dari lokasi biologi aktif infeksi
yaitu dengan mengubah konformasi alosterik toksin agar tidak dapat bereaksi dengan sel
target. Dengan ikatan kompleks bersama antibodi, toksin tidak dapat berdifusi sehingga
rawan terhadap fagositosis, terutama bila ukuran kompleks membesar karena deposisi
komplemen pada permukaan bakteri akan semakin bertambah.
Opsonisasi
Opsonisasi adalah pelapisan antigen oleh antibodi, komplemen, fibronektin, yang
berfungsi untuk memudahkan fagositosis. Opsonisasi ada dua yaitu opsonisasi yang tidak
tergantung antibodi dan yang ditingkatkan oleh antibodi. Pada opsonisasi yang tidak
tergantung antibodi, protein pengikat manose dapat terikat pada manose terminal pada
permukaan bakteri, dan akan mengaktifkan C1r dan C1s serta berikatan dengan C1q.
Proses tersebut akan mengaktivasi komplemen pada jalur klasik yang dapat berperan
sebagai opsonin dan memperantarai fagositosis. Lipopolisakarida (LPS) merupakan
endotoksin yang penting pada bakteri Gram negatif. Sel ini dapat dikenal oleh tiga kelas
molekul reseptor. Sedangkan opsonisasi yang ditingkatkan oleh antibodi adalah bakteri
yang resisten terhadap proses fagositosis akan tertarik pada sel PMN dan makrofag bila
telah diopsonisasi oleh antibodi. Dalam opsonisasi terdapat sinergisme antara antibodi
dan komplemen yang diperantarai oleh reseptor yang mempunyai afinitas kuat untuk IgG
dan C3b pada permukaan fagosit, sehingga meningkatkan pengikatan di fagosit. Efek
augmentasi dari komplemen berasal dari molekul IgG yang dapat mengikat banyak
molekul C3b, sehingga meningkatkan jumlah hubungan ke makrofag (bonus effect of
multivalency). Meskipun IgM tidak terikat secara spesifik pada makrofag, namun
merangsang adesi melalui pengikatan komplemen.
Antibodi akan menginisiasi aksi berantai komplemen sehingga lisozim serum dapat
masuk ke dalam lapisan peptidoglikan bakteri dan menyebabkan kematian sel. Aktivasi
komplemen melalui penggabungan dengan antibodi dan bakteri juga menghasilkan
anfilaktoksin C3a dan C5a yang berujung pada transudasi luas dari komponen serum,
termasuk antibodi yang lebih banyak, dan juga faktor kemotaktik terhadap neutrofil
untuk membantu fagositosis.
Sel PMN merupakan fagosit yang predominan dalam sirkulasi dan selalu tiba di lokasi
infeksi lebih cepat dari sel lain, karena sel PMN tertarik oleh sinyal kemotaktik yang
dikeluarkan oleh bakteri, sel PMN lain, komplemen atau makrofag lain, yang lebih
dahulu tiba di tempat infeksi. Sel PMN sangat peka terhadap semua faktor kemotaktik.
Sel PMN yang telah mengalami kemotaktik selanjutnya akan melakukan adesi pada
dinding sel bakteri, endotel maupun jaringan yang terinfeksi. Kemampuan adesi PMN
pada permukaan sel bakteri akan bertambah kuat karena sinyal yang terbentuk pada
proses adesi ini akan merangsang ekspresi Fc dan komplemen pada permukaan sel. Sel
PMN juga akan melakukan proses diapedesis agar dapat menjangkau bakteri yang telah
menginfeksi.
Proses penelanan bakteri oleh fagosit diawali dengan pembentukan tonjolan pseudopodia
yang berbentuk kantong fagosom untuk mengelilingi bakteri, sehingga bakteri akan
terperangkap di dalamnya, selanjutnya partikel granular di dalam fagosom akan
mengeluarkan berbagai enzim dan protein untuk merusak dan menghancurkan bakteri
tersebut.
Mekanisme pemusnahan bakteri oleh enzim ini dapat melalui proses oksidasi maupun
nonoksidasi, tergantung pada jenis bakteri dan status metabolik pada saat itu. Oksidasi
dapat berlangsung dengan atau tanpa mieloperoksidase. Proses oksidasi dengan
mieloperoksidase terjadi melalui ikatan H
2
O
2
dengan Fe yang terdapat pada
mieloperoksidase. Proses ini menghasilkan komplek enzim-subtrat dengan daya oksidasi
tinggi dan sangat toksik terhadap bakteri, yaitu asam hipoklorat (HOCl).
Proses oksidasi tanpa mieloperoksidase berdasarkan ikatan H
2
O
2
dengan superoksida dan
radikal hidroksil namun daya oksidasinya rendah. Proses nonoksidasi berlangsung
dengan perantaraan berbagai protein dalam fagosom yaitu flavoprotein, sitokrom-b,
laktoferin, lisozim, kaptensin G dan difensin. Pada proses pemusnahan bakteri, pH dalam
sel fagosit dapat menjadi alkalis. Hal ini terjadi karena protein yang bermuatan positif
dalam pH yang alkalis bersifat sangat toksik dan dapat merusak lapisan lemak dinding
bakteri Gram negatif. Selain itu, bakteri juga dapat terbunuh pada saat pH dalam fagosom
menjadi asam karena aktivitas lisozim. Melalui proses ini PMN memproduksi antibakteri
yang dapat berperan sebagai antibiotika alami (natural antibiotics).
Sistem imun sekretori
Permukaan mukosa usus mempunyai mekanisme pertahanan spesifik antigen dan
nonspesifik. Mekanisme nonspesifik terdiri dari peptida antimikrobial yang diproduksi
oleh neutrofil, makrofag dan epitel mukosa. Peptida ini akan menyebabkan lisis bakteri
melalui disrupsi pada permukaan membran. Imunitas spesifik diperantarai oleh IgA
sekretori dan IgM, dengan dominasi IgA1 pada usus bagian awal dan IgA2 pada usus
besar. Antibodi IgA mempunyai fungsi proteksi dengan cara melapisi (coating) virus dan
bakteri dan mencegah adesi pada sel epitel di membran mukosa. Reseptor Fc dari kelas Ig
mempunyai afinitas tinggi terhadap neutrofil dan makrofag dalam proses fagositosis.
Apabila agen infeksi berhasil melewati barier IgA, maka lini pertahanan berikutnya
adalah IgE.
Adanya kontak antigen dengan IgE akan menyebabkan pelepasan mediator yang menarik
agen respons imun dan menghasilkan reaksi inflamasi akut. Adanya peningkatan
permeabilitas vaskular yang disebabkan oleh histamin akan menyebabkan transudasi IgG
dan komplemen, sedangkan faktor kemotaktik terhadap neutrofil dan eosinofil akan
menarik sel efektor yang diperlukan untuk mengatasi organisme penyebab infeksi yang
telah dilapisi oleh IgG spesifik dan C3b. Penyatuan kompleks antibodi-komplemen pada
makrofag akan menghasilkan faktor yang memperkuat permeabilitas vaskular dan proses
kemotaktik. Apabila organisme yang diopsonisasi terlalu besar untuk difagosit, maka
fagosit dapat mengatasi organisme tersebut melalui mekanisme ekstraseluler, yaitu
Antibody-Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC).
Terminologi Sitokin
Sitokin merupakan protein-protein kecil yang berfungsi sebagai mediator dan
pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. Sitokin disekresikan oleh sel-sel
tertentu dari sistem kekebalan tubuh yang membawa sinyal antara sel-sel lokal sehingga
memiliki efek pada sel lain. Sitokin dihasilkan sebagai respon terhadap stimulus sistem
imun. Sitokin bekerja dengan mengikat reseptor-reseptor membran spesifik, yang
kemudian membawa sinyal ke sel melalui tirosine kinase (second messanger). Sitokina
berfungsi sebagai sinyal interseluler yang mengatur hampir semua proses biologi penting
seperti halnya aktivasi, pertumbuhan, proliferasi, diferensiasi, proses inflamasi sel,
imunitas, serta pertahanan jaringan ataupun morfogenesis. Sitokina mempunyai berat
molekul rendah sekitar 8-40 kilo dalton, di samping kadarnya juga sangat rendah.
Klasifikasi sel Sitokin
Sitokin adalah nama umum dari hasil sekresi sel tertentu, nama yang lain diantaranya
limfokin (dihasilkan limfosit), monokin (sitokin yang dihasilkan monosit), kemokin
(sitokin dengan aktivitas kemotaktik), dan interkulin (sitokin yang dihasilkan oleh satu
leukosit dan bereaksi pada leukosit lain). Sitokina biasanya diproduksi oleh sel sebagai
respon terhadap rangsangan. Sitokina yang dibentuk segera dilepas dan tidak disimpan di
dalam sel. Satu sitokina dapat bekerja terhadap beberapa jenis sel dan dapat
menimbulkan efek melalui berbagai mekanisme. Setiap jenis sitokin dihasilkan oleh sel
berbeda dan digunakan pada sel target yang berbeda juga sehingga fungsinya pun akan
berbeda.
http://duniahermanto.wordpress.com/2014/01/16/mekanisme-pertahanan-tubuh/

Anda mungkin juga menyukai